Kenapa Dinasti Fathimiyyun yang besar dan
mengklaim Memiliki Nasab Sampai Fatimah RA, saat ini tidak meninggalkan jejak
keturunannya (terdata)?
Bani Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun juga
menyatakan bahwa mereka memiliki nasab (silsilah keturunan) sampai Fatimah. Ini
hanyalah suatu kedustaan. Tidak ada satu pun ulama yang menyatakan demikian.
Ahmad bin ‘Abdul Halim juga mengatakan
dalam halaman yang sama, “Sudah
diketahui bersama dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa siapa yang menganggap
mereka di atas keimanan dan ketakwaan atau menganggap mereka memiliki silsilah
keturunan sampai Fatimah, sungguh ini adalah suatu anggapan tanpa dasar ilmu
sama sekali. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al
Israa’: 36). Begitu juga Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali orang
yang bersaksi pada kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Az Zukhruf:
86). Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf (yang artinya), “Dan kami hanya
menyaksikan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81). Perlu diketahui bahwa
tidak ada satu pun ulama yang menyatakan benarnya silsilah keturunan mereka
sampai pada Fatimah.”
Begitu pula Ibnu Khallikan mengatakan,
“Para ulama peneliti nasab mengingkari klaim mereka dalam nasab [yang katanya
sampai pada Fatimah].” (Wafayatul A’yan, 3/117-118)
Perhatikanlah pula perkataan Al Maqrizy
di atas, begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun,
kurang lebih ada 25 perayaan. Bahkan lebih parah lagi mereka juga mengadakan
perayaan hari raya orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (Tahun Baru
Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Al Khomisul ‘Adas
(perayaan tiga hari selelum Paskah). Ini pertanda bahwa mereka jauh dari Islam.
Bahkan perayaan-perayaan maulid yang diadakan oleh Fatimiyyun tadi hanyalah
untuk menarik banyak masa supaya mengikuti madzhab mereka. Jika kita menilik
aqidah mereka, maka akan nampak bahwa mereka memiliki aqidah yang rusak dan
mereka adalah pelopor dakwah Batiniyyah yang sesat. (Lihat Al Bida’ Al
Hawliyah, 146, 158)
‘Abdullah At Tuwaijiriy mengatakan, “Al
Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap rahasia dan
mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun
adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan
Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali sebagai
ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali
memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan
Nashrani.
Al Qodhi Abu Ya’la dalam kitabnya Al
Mu’tamad menjelaskan panjang lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Bani
Fatimiyyun. Begitu pula Abu Hamid Al Ghozali membantah aqidah mereka dalam
kitabnya Fadho-ihul Bathiniyyah (Mengungkap kesalahan aliran Batiniyyah).” (Al
Bida’ Al Hawliyah, 142-143)
Inilah sejarah yang kelam dari Maulid
Nabi. Namun, kebanyakan orang tidak mengetahui sejarah ini atau mungkin sengaja
menyembunyikannya. Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan:
Pertama: Maulid Nabi tidak ada asal
usulnya sama sekali dari salafush sholeh. Tidak kita temukan pada sahabat atau para tabi’in yang
merayakannya, bahkan dari imam madzhab.
Kedua: Munculnya Maulid Nabi adalah pada
masa Daulah Fatimiyyun sekitar abad tiga Hijriyah. Daulah Fatimiyyun sendiri
dibinasakan oleh Shalahuddin Al Ayubi pada tahun 546 H.
Ketiga: Fatimiyyun memiliki banyak
penyimpangan dalam masalah aqidah sampai aliran ekstrim di antara mereka
mengaku Ali sebagai Tuhan. Fatimiyyun adalah orang-orang yang gemar berbuat
bid’ah, maksiat dan jauh dari ketaatan
pada Allah dan Rasul-Nya.
Keempat: Merayakan Maulid Nabi berarti
telah mengikuti Daulah Fatimiyyun yang pertama kali memunculkan perayaan
maulid. Dan ini berarti telah ikut-ikutan dalam tradisi orang yang jauh dari
Islam, senang berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya, telah menyerupai di
antara orang yang paling fasiq dan paling kufur. Padahal Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum,
maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam
dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Fatimiyyun
yang Sebenarnya
Kebanyakan orang belum mengetahui
siapakah Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun. Seolah-olah Fatimiyyun ini adalah
orang-orang sholeh dan punya i’tiqod baik untuk mengagungkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tetapi senyatanya tidak demikian. Banyak ulama menyatakan
sesatnya mereka dan berusaha membongkar kesesatan mereka.
Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab
khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul
Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau
membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang
menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.”
Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad
Dimasqiy mengatakan, “Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah
kerajaan Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang
yang zholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan perkara
yang wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang menyelisihi Al Kitab
dan As Sunnah, dan menjadi pendukung orang munafik dan ahli bid’ah. Perlu
diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas
(‘Abbasiyah) lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih
unggul dalam keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit
berbuat bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah
kedua daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.”
Beliau rahimahullah juga mengatakan,
“Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat)
dan paling kufur.” (Majmu’ Fatawa, 35/127)
Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang
memberi taufik.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Dalam masa kebingungan besar (‘hairatusy
syi’ah’) pasca wafatnya Hasan Al ‘Askari (imam ke-11 mereka, 260 H), skenario
hebat seorang Yahudi Munafiq (Maimun Al Qaddah) yang dekat dengan cucunya
Ja’far Shadiq (Muhammad bin Isma’il), mengkloning nama anaknya (Abdullah) sama
dengan nama cucu Ismail bin Ja’far Shadiq (Abdullah Bin Muhammad bin Ismail bin
Ja’far Shadiq). Juga anak cucunya dengan nama-nama anak cucu Muhammad bin
Isma’il.
Hingga suatu ketika nanti kaum Yahudi tersebut
akan mengklaim dirinya sebagai ahlul bait anak cucu Muhammad bin Isma’il bin
Ja’far Ash Shadiq! Kita sama-sama tahu bahwa kedua sekte alias Isma’iliyah dan
Qaramithah sama-sama menganggap Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq sebagai imam;
salah seorang cucu Maimun Al Qaddah yang bernama Ubeidullah bin Husein bin
Ahmad bin Abdillah bin Maimun Al Qaddah mendapat kesempatan emas untuk
mendirikan daulah di Maghrib. Ia berangkat ke Maghrib dan bersama sejumlah
pengikutnya mengumumkan berdirinya daulah Isma’iliyah, lalu menjuluki dirinya
dengan nama Al Mahdi. Ia mengaku sebagai imamnya ajaran Isma’iliyah, dan
mengaku sebagai anak cucu Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, dan mengatakan bahwa
imam-imam sebelumnya dari leluhurnya hingga Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq konon
bersembunyi selama ini.
Nama-nama Misterius (tokoh syiah)
Dapat dipastikan bahwa banyak dari
pembaca kaget saat membaca sejarah perkembangan Syi’ah. Tentunya kami tidak
menulis sejarah untuk sekedar tambah wawasan, akan tetapi agar mengambil ‘ibrah
dan pelajaran, lalu dapat berinteraksi dengan berbagai krisis yang menyelimuti
kita dengan cara lebih baik dan visi yang lebih jelas.
Oleh karenanya, mengabaikan sejarah tadi
merupakan kejahatan terhadap generasi mendatang. Kita seakan menutup diri dari
cahaya saat enggan mempelajari akar masalah ini, apalagi kita telah diperintah
jauh sebelumnya untuk mempelajari kisah umat-umat terdahulu dan menerapkan
pelajaran yang dikandungnya pada realita kita sekarang.
Allah Ta’ala berfirman,
فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Maka ceritakanlah kisah-kisah tersebut
agar mereka berfikir.” (Qs. Al A’raf: 176)
Karenanya, masalah ini semestinya tidak
berhenti pada sekedar menceritakan, namun harus direnungkan pula. Kemudian
menentukan langkah apa yang mesti kita ambil untuk memahami realita dan
membangun masa depan kita.
Pertama-tama, saya ingin membuka artikel
ini dengan dua peringatan penting:
Pertama, agar anda memahami dan mendapat
faedah dari artikel ini, anda harus membaca artikel sebelumnya tentang pokok
keyakinan Syi’ah. Sebab di sana ada akar sejarah perkembangan mereka, dan
pokok-pokok akidah mereka yang membantu anda untuk memahami kronologi yang
terjadi di lapangan.
Kedua, sampai saat ini saya baru sekedar
membacakan sejarah dan menyampaikan riwayat-riwayat yang shahih. Saya belum
memberi ulasan final yang menjelaskan bagaimana sikap kita yang sebenarnya
terhadap Syi’ah, dan bagaimana hubungan yang mesti dijalin. Tema yang penting
ini akan kusendirikan dalam tulisan berikutnya atas izin Allah. Dan menurutku
sangat besar manfaatnya bagiku bila mendapat opini para pembaca tentang bentuk
hubungan yang mesti terjalin antara kita dan mereka (syi’ah), terutama jika
berangkat dari latar belakang sejarah dan agama yang telah kami jelaskan.
Kembali ke masalah Syi’ah…
Pasca wafatnya Hasan Al ‘Askari (yang
dinobatkan sebagai imam ke-11 oleh mereka), Syi’ah memasuki masa kebingungan
besar yang terkenal dalam sejarah dengan periode ‘hairatusy syi’ah’. Dalam masa
tersebut mereka saling terpecah menjadi banyak firqah (sekte), dan setiap
firqah memoles agamanya semaunya demi mendapat keuntungan politis yang lebih
baik… dan konon firqah yang paling terkenal adalah firqah “itsna ‘asyariyah”
(12 imam), yang telah kita singgung dalam tulisan sebelumnya.
Namun firqah Itsna Asyariah ini bukanlah
satu-satunya di lapangan, di sampingnya juga tumbuh firqah lain yang lebih
berbahaya. Munculnya firqah yang satunya ini pernah menjadi malapetaka bagi
umat Islam. Firqah ini bernama Isma’iliyyah.
Syi’ah Isma’iliyah telah sesat terlampau
jauh hingga mayoritas ulama mengeluarkannya dari Islam. Munculnya sekte
Isma’iliyah adalah lewat skenario hebat seorang Yahudi yang ingin membuat makar
bagi umat Islam, orang tersebut bernama Maimun Al Qaddah.
Mulanya orang ini menampakkan diri
sebagai muslim dan mendekati Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, bahkan
berteman akrab dengannya. Muhammad bin Isma’il termasuk ahlul bait, karena
merupakan cucu dari Ja’far Ash Shadiq, imam keenam kaum Syi’ah Itsna Asyariyah.
Ayahnya adalah Isma’il, saudara Musa Al Kazhim yang notabene imam ketujuh
menurut Syi’ah Itsna Asyariyah.
Maimun telah melakukan sesuatu yang luar
biasa, yang menunjukkan betapa jahatnya makar dia terhadap umat Islam. Tujuan
makar tersebut ialah menghancurkan Islam walau sekian abad kemudian setelah
kematiannya! Maimun menamakan anaknya dengan nama anak Muhammad bin Isma’il,
yaitu Abdullah. Ia berwasiat kepada sang anak agar kelak menamai anak cucunya
dengan nama-nama anak cucu Muhammad bin Isma’il. Hingga suatu ketika nanti kaum
Yahudi tersebut akan mengklaim dirinya sebagai ahlul bait anak cucu Muhammad
bin Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq!
Bahkan tidak sekedar itu,
mereka kelak akan mengklaim bahwa Al Imamah Al Kubra (kepemimpinan terbesar)
yang seharusnya memimpin umat Islam seluruhnya, haruslah dari keturunan Isma’il
bin Ja’far Ash Shadiq, bukan dari keturunan Musa Al Kazhim bin Ja’far Ash
Shadiq sebagaimana yang diklaim oleh Syi’ah Itsna Asyariyah. Maimun si Yahudi akhirnya mendapatkan
cita-citanya… firqah Isma’iliyah pun berkembang, dan anak cucunya mulai meracik
pemikiran dan keyakinan sesat mereka yang bertentangan dari A-Z dengan akidah
Islam. Keyakinan terburuk mereka di antaranya ialah bahwa Allah menitis kepada
Imam mereka saat itu, hingga mereka menganggapnya sebagai Ilah. Mereka juga
meyakini adanya reinkarnasi arwah, alias bahwa arwah yang telah tiada,
lebih-lebih arwah para imam akan hidup kembali di tubuh orang lain yang masih
hidup. Mereka meyakini bahwa semua imam mereka akan kembali ke dunia setelah
wafat. Di samping itu mereka juga sangat liberal dan menganggap halal semua
maksiat. Mereka terang-terang menghujat sahabat, bahkan menghujat Rasulullah
yang kepadanya mereka menisbatkan diri.
Di antara misi terbesar mereka ialah
melakukan pembunuhan tersembunyi terhadap tokoh-tokoh Ahlussunnah wal Jama’ah
di dunia Islam, dan kami akan menjelaskan betapa besar sepak terjang mereka selanjutnya.
Dakwah Isma’iliyah dengan segala pemikiran
merusaknya pun semakin marak. Ia tersebar di tengah-tengah kaum muslimin yang
bodoh dan memanfaatkan kecintaan masyarakat terhadap ahlul bait. Mereka
berhasil meyakinkan sejumlah orang bodoh tadi bahwa mereka adalah anak cucu
Rasul (?)! Sejumlah besar orang keturunan Persia juga terlibat dalam dakwah
mereka yang menampakkan keislaman, namun menyembunyikan kemajusian.
Di antara orang Persi tadi adalah Husein Al
Ahwazi, yang tergolong pendiri dan da’i Ismai’iliyah paling terkenal. Ia konon
beraktivitas di wilayah Basrah, dan di sana ia berkenalan dengan tokoh yang
sangat jahat dalam sejarah Islam, namanya Hamdan bin Asy’ats.
Orang terakhir ini asal usulnya masih
diperselisihkan… ada yang bilang bahwa ia majusi asal Persia, namun ada yang
bilang dia yahudi asal Bahrain. Hamdan bin Asy’ats lalu menjuluki dirinya
dengan nama ‘Qirmith’, dan seiring dengan berjalannya waktu ia membentuk
kelompok khusus yang dinisbatkan kepadanya. Kelompok ini bernama ‘Qaramithah’
yang merupakan cabang dari Isma’iliyah meski sebenarnya lebih berbahaya lagi.
Sekte Qaramithah meyakini bahwa harta dan
wanita adalah milik bersama. Mereka menghalalkan semua kemunkaran seperti
pembunuhan, perzinaan, pencurian dan merekalah yang bertindak sebagai perampas,
perampok, dan penyamun. Lalu secara ikut-ikutan, seluruh penyamun dan
pemberontak pun bergabung dengan mereka, hingga mereka menjadi salah satu
firqah yang paling berbahaya dalam sejarah umat Islam.
Semua perkembangan ini –dan perkembangan-perkembangan
lain yang belum dijelaskan– terjadi di paruh
kedua abad 3 hijriyah. Kemudian setelah itu muncul lagi firqah-firqah
besar yang masing-masing mengaku paling benar. Mereka saling berselisih dalam
hal akidah, prinsip, hukum-hukum dan semuanya. Ketiga firqah tadi; yaitu Syi’ah
Itsna Asyariyah, Syi’ah Ismai’iliyah, dan Syi’ah Qaramithah, sama-sama memusuhi
Ahlussunnah di samping juga saling bermusuhan satu sama lain karena tidak puas
dengan keyakinan pihak lain. Hal ini wajar mengingat ketiganya tumbuh dari hawa
nafsu dan bid’ah dalam agama.
Sampai periode ini, semua firqah tadi
sekedar gerakan-gerakan yang menimbulkan kekacauan dalam tubuh umat Islam, dan
belum memiliki kekuasaan yang mampu mengatur jalannya sejarah. Tapi seiring
berakhirnya abad ketiga hijriyah dan permulaan abad keempat, kondisi mulai
berubah drastis dan menimbulkan dampak yang sangat berbahaya…
Konon yang paling awal mencapai kekuasaan
dari ketiga firqah tadi adalah sekte Qaramithah, mengingat mereka lah yang
paling ganas dan buas. Salah seorang da’i mereka yang bernama Rustum bin Husein
berhasil mendirikan daulah Qaramithah di Yaman. Ia lalu menyurati orang-orang
di berbagai tempat dan mengajak mereka kepada akidahnya. Bahkan suratnya ada
yang sampai ke wilayah Maghrib (Maroko & sekitarnya)! Akan tetapi daulah
ini segera lenyap seiring dengan munculnya Qaramithah model lain, yaitu di
Jazirah Arab, tepatnya di wilayah Bahrain (Bahrain tempo dulu bukan kerajaan
Bahrain yg ada sekarang, tapi mencakup sebelah timur Jazirah Arab). Di wilayah
ini berdirilah daulah Qaramithah yang sangat mengancam eksistensi kaum
muslimin. Mereka melakukan pembantaian terhadap jemaah haji, dan yang paling
sadis di antaranya ialah serbuan mereka ke Masjidil Haram saat hari tarwiyah (8
Dzulhijjah) tahun 317 H. Di sana mereka
membantai jemaah haji dalam mesjid, dan mencuri Hajar Aswad setelah
menghancurkannya!
Mereka lalu mengirim Hajar Aswad tadi ke
ibukota daulah mereka di daerah Hajar, timur jazirah Arab dan Hajar Aswad tetap
berada di sana selama 22 tahun penuh, hingga akhirnya dikembalikan ke Ka’bah
tahun 339 H!
Sedangkan sekte Isma’iliyah mendapatkan bumi
maghrib sebagai lahan subur mereka. Di sana pemikiran Rustum bin Husein yang
tadinya menguasai Yaman mulai berkembang. Hal itu terjadi lewat seseorang yang
bernama Abu Abdillah Asy Syi’i. Kita sama-sama tahu bahwa kedua sekte alias
Isma’iliyah dan Qaramithah sama-sama menganggap Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq
sebagai imam; karenanya, salah seorang cucu Maimun Al Qaddah yang bernama
Ubeidullah bin Husein bin Ahmad bin Abdillah bin Maimun Al Qaddah mendapat
kesempatan emas untuk mendirikan daulah di Maghrib. Ia berangkat ke Maghrib dan
bersama sejumlah pengikutnya mengumumkan berdirinya daulah Isma’iliyah, lalu
menjuluki dirinya dengan nama Al Mahdi. Ia mengaku sebagai imamnya ajaran
Isma’iliyah, dan mengaku sebagai anak cucu Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, dan
mengatakan bahwa imam-imam sebelumnya dari leluhurnya hingga Isma’il bin Ja’far
Ash Shadiq konon bersembunyi selama ini.
Ia berusaha menarik simpati masyarakat dengan
menamakan daulahnya dengan daulah Fathimiyah, yang secara dusta mengaku
keturunan Fathimah binti Rasulillah! Padahal asal usulnya adalah Yahudi!!
Dakwahnya berkembang pesat memanfaatkan
kebodohan dan simpati masyarakat terhadap hakikat mereka. Mereka mulai
melebarkan sayap kekuasaanya hingga mencakup Afrika Utara. Mereka menyebarkan
berbagai bid’ah, kemunkaran, dan caci makian terhadap sahabat. Mereka
mengatakan bahwa roh-roh dapat menitis dan reinkarnasi, dsb. Ekspansi daulah
ini berhasil menguasai Mesir pada tahun 359 H, lewat salah seorang panglima
mereka yang bernama Jauhar As Siqilli Al Isma’iliy di masa Al Mu’izz
lidienillah Al Ubeidy. Inilah nama yang tepat untuk mereka: ‘al ubeidy’, nisbat
kepada Ubeidillah Al Mahdi; dan bukannya ‘al Fathimiy’!
Al Mu’izz lidienillah Al Ubeidy lalu
masuk ke Mesir dan mendirikan kota Cairo. Ia juga menguasai mesjid Al Azhar
demi menyebarkan faham Syi’ah Isma’iliyah di sana. Ia membantai ulama-ulama
Ahlussunnah dan menampakkan caci makian terhadap para sahabat. Hal itu terus
dilanjutkan oleh imam-imam Isma’iliyah setelahnya. Bahkan sebagian dari mereka
lebih gila lagi dengan mengaku sebagai Ilah, seperti Al Haakim biamrillah.
Mereka konon banyak membangun mesjid untuk menyebarkan pemikiran mereka. Mereka
tetap menguasai Mesir, Syam, dan Hijaz selama dua abad, hingga kebusukan mereka
akhirnya dihapus oleh Shalahuddien Al Ayyubi pada tahun 567 H, dan beliau membebaskan
Mesir dari kekuasaan sekte Isma’iliyah.
Adapun firqah ketiga yaitu sekte Itsna
Asyariyah, meskipun sarat dengan berbagai macam bid’ah, mereka relatif lebih
ringan bahayanya dibanding dua firqah sebelumnya. Mereka mengaku beriman kepada
Allah (?) kepada Rasul-Nya (?) dan kepada hari kebangkitan, namun membikin
bid’ah-bid’ah dan kemunkaran besar yang menjijikkan dalam agama. Sebagian da’i
mereka berhasil merasuki sejumlah keluarga besar di
wilayah Persia dan Irak, hingga akibatnya mereka dapat mencapai
kekuasaan di berbagai daerah.
Mereka berhasil merasuki keluarga Bani Saman
yang berasal dari Persia hingga keluarga ini menjadi syi’ah, dan mereka konon
menguasai banyak wilayah di Persia (Iran yg sekarang). Daulah Bani Saman ini
berlangsung sejak tahun 261 H hingga 389 H, akan tetapi kesyi’ahan mereka baru
nampak di awal abad keempat hijriyah kira-kira.
Mereka juga merasuki
keluarga Bani Hamdan yang berasal dari Arab, dari kabilah Bani Tighlab yang
mulanya menguasai wilayah Mosul di Irak sejak tahun 317 H hingga 369 H.
Kekuasaan mereka terus berkembang hingga meliputi kota Halab (Aleppo, Suriah)
pada tahun 333 hingga 392 H. Sedangkan penetrasi mereka yang paling berbahaya
ialah terhadap keluarga Bani Buwaih yang berasal dari Persia. Mereka berhasil
mendirikan sebuah daulah di wilayah Persia, lalu berkembang hingga akhirnya
menguasai khilafah Abbasiyah tahun 334 H, dengan tetap membiarkan Khalifah Bani
Abbas di pusatnya agar tidak memicu pemberontakan kaum muslimin Ahlussunnah terhadap mereka.
Selama lebih dari seratus tahun penuh mereka menguasai khilafah Abbasiyah, dari
tahun 334 hingga 447 H, hingga muncullah orang-orang Turki Seljuk yang
bermazhab Ahlussunnah, dan menyelamatkan Irak dari kekuasaan syi’ah ini.
Dalam rentang waktu tersebut, kaum syi’ah
menampakkan betapa besar dendam mereka terhadap ulama-ulama Ahlussunnah dan
khalifah mereka. Mereka bahkan menulis caci-makian terhadap sahabat di
gerbang-gerbang mesjid. Mereka bahkan mencaci Abu Bakar dan Umar secara nyata
dalam khutbah-khutbah mereka, dan ini merupakan periode yang sangat menyedihkan
dalam sejarah kita umat Islam.
Sebagaimana yang kita
saksikan, abad keempat memang murni abad syi’ah. Kaum Syi’ah Buwaihiyun
berhasil menguasai sejumlah wilayah Iran dan seluruh wilayah Irak. Sedangkan
kaum Samaniyun menguasai Iran timur, sejumlah wilayah Afghanistan dan timur
dunia Islam. Adapun
Hamdaniyun menguasai wilayah antara Mosul hingga Aleppo, dan Qaramithah
menguasai timur Jazirah Arab, dan kadang-kadang sampai ke Hijaz, Damaskus, dan
Yaman. Adapun daulah Ubeidiyyah (yang sering disebut Fathimiyah), maka lebih
liar lagi… mereka berhasil menguasai Afrika Utara bahkan mencaplok Palestina,
Suriah dan Lebanon!
Di akhir abad keempat hijriyah, daulah
Qaramithah runtuh. Lalu di pertengahan abad kelima hijriyah (th 447), daulah
Bani Buwaih juga sirna. Sedangkan daulah Isma’iliyah Ubeidiyah tetap eksis
hingga pertengahan abad keenam (th 567 H), dan dengan begitu dunia Islam
kembali ke kuasaan Ahlussunnah di seluruh wilayahnya, meskipun dakwah kaum Syi’ah
Itsna Asyariyah tetap ada di sejumlah wilayah Persia dan Irak, namun tanpa
kekuasaan.
Kondisi tetap seperti itu hingga tahun
907 H, ketika Isma’il Ash Shafawi mendirikan daulah Syi’ah Shafawiyah Itsna
Asyariyah di Iran. Istilah ‘shafawiyah’ ialah nisbat kepada leluhurnya yang
bernama Shafiyuddin Al Ardabiliy, seorang keturunan Persia yang wafat tahun 729
H. Daulah ini semakin melebarkan kekuasaannya, dan menjadikan kota Tabriz (yg
terletak di barat laut Iran sekarang) sebagai ibukotanya. Daulah Shafawiyah
terlibat perang sengit dengan tetangganya, yaitu Khilafah Turki Utsmani yang
bermazhab Sunni. Kaum Shafawiyyin bahkan bersekutu dengan orang-orang Portugis
untuk melawan Utsmaniyyin dan berhasil menduduki sejumlah wilayah di Irak yang
semula dikuasai Utsmaniyyin. Mereka hampir berhasil menyebarkan faham syi’ah di
sana, kalau saja Sultan Turki Utsmani yang bernama Saliem I berhasil
mengalahkan mereka dalam sebuah pertempuran besar yang bernama Perang Jaldeiran
tahun 920 H. Sultan Saliem I berhasil memukul telak mereka dan mengusir mereka
dari Irak.
Hari-hari terus berlalu dan perseteruan
berlanjut antara Shafawiyyin dan Utsmaniyyin. Sebagian besar pertempuran mereka
terpusat di bumi Irak, dan hal ini berlanjut selama lebih dari dua abad. Daulah
Shafawiyah berkuasa di Iran sejak tahun 907-1148 H, kemudian jatuh pada
pertengahan abad ke-18 masehi, tepatnya tahun 1735. Akibatnya, Iran terpecah
menjadi beberapa wilayah yang diperebutkan antara Turki Utsmani, Rusia,
Afghanistan dan beberapa panglima perang bawahan Sultan Abbas III, yang
merupakan Sultan terakhir daulah Shafawiyah.
Daulah Utsmaniyah pun mulai memasuki
periode lemahnya… ia dikeroyok oleh kaum Eropa dan Rusia, dan hal ini
mengakibatkan lemahnya kekuasaan Utsmani terhadap wilayah barat Iran. Wilayah ini
silih berganti dipimpin oleh banyak pemimpin, namun mereka selalu loyal kepada
orang Barat. Sesekali mereka loyal kepada Inggeris yang menguasai India dan
Pakistan, sesekali kepada Perancis, dan di lain waktu kepada Rusia.
Pada tahun 1193 H/1779 M, Agha Muhammad
Gajar mengambil alih kekuasaan di Iran. Ia berasal dari keturunan Persia dan
bermazhab syi’ah meski cenderung kepada sekulerisme. Dia tidak mengajak orang
kepada mazhab Itsna Asyariyah dan tidak memerintah dengan ajaran tersebut.
Kekuasaan Iran silih berganti dipegang oleh anak cucunya dengan luas wilayah
yang mengalami pasang-surut. Mereka konon menggunakan gelar ‘Shah’, hingga
keluarga ini jatuh saat Reza Pahlevi mengadakan pemberontakan terhadap mereka
tahun 1343 H/1925 M.
Reza Pahlevi lalu mengumumkan dirinya
sebagai Shah Iran atas bantuan Inggeris. Akan tetapi Inggeris lalu
menjatuhkannya tahun 1941 M karena perselisihan di antara mereka. Inggeris
mencopotnya dan menggantinya dengan puteranya yang bernama Muhamad Reza
Pahlevi, yang menjadi penguasa sekuler Iran hingga tahun 1399 H/1979 M. Setelah
itu bangkitlah Revolusi Syi’ah Itsna Asyariyah yang dipimpin oleh Khomeini
untuk mengembalikan kekuasaan syi’ah di wilayah Persia (Iran).
Demikianlah kisah kekuasaan syi’ah atas
dunia Islam sejak munculnya firqah-firqah syi’ah hingga zaman kita sekarang.
Dari ini semua, jelaslah bagi kita bahwa gerakan-gerakan syi’ah seluruhnya
muncul dalam bentuk pemberontakan dan konfrontasi terhadap pemerintahan Sunni.
Mereka selalu memakai ‘baju agama’ dengan mengaku cinta kepada ahlul bait atau
mengaku keturunan ahlul bait. Kita juga menyaksikan bahwa dalam seluruh periode
tadi tidak pernah sekalipun terjadi pertempuran antara firqah-firqah syi’ah
tadi dengan musuh-musuh Islam; baik terhadap kaum Salibis Rusia, Inggeris,
Perancis dan Portugis, maupun terhadap kaum Tartar (Mongol) dan lainnya. Akan
tetapi yang kita saksikan adalah kerjasama nyata yang terjadi berulang kali
antara syi’ah dengan musuh-musuh Islam sepanjang sejarah.
Pun demikian, kita tidak menyalahkan
generasi yang sekarang akibat kesalahan leluhur mereka, namun kita
mendiskusikan akidah, pemikiran, dan manhaj mereka yang sama persis dengan
akidah, pemikiran, dan manhaj leluhur mereka. Inilah problem utama dan akar
masalahnya… Selama mereka semua meyakini bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh
keturunan tertentu, dan meyakini bahwa Imam-imam mereka itu ma’shum, dan
menghujat Abu Bakar, Umar, Utsman dan seluruh sahabat beserta ummahatul
mu’minin… selama itu semua masih mereka lakukan, maka kita tidak boleh
berprasangka baik kepada mereka. Akan tetapi kita mesti mengatakan bahwa anak
cucu masih mengikuti ajaran leluhurnya…
Menurut Anda, bagaimana sikap kita
terhadap syi’ah? Bagaimana kita harus bermuamalah dengan mereka? Adakah
sebaiknya kita diamkan mereka atau kita jelaskan apa adanya? Apakah sebaiknya
kita acuhkan masalah ini ataukah kita pelajari? Inilah yang akan kita bahas
dalam tulisan berikutnya…
Semoga Allah memuliakan Islam dan kaum
muslimin…
Penulis: Dr. Ragheb Sirjani
Penerjemah: Abo Hozaifah Al Atsary
Artikel www.muslim.or.id
Dakwah Syiah Isma’iliyah di Yaman
Pada Abad 3H, di Yaman sudah merajalela
Syi’ah (Zaidiyah dan syiah ektrim Ismailiyah), jadi kebohongan besar yang
menyatakan orang Yaman Sesat, Bodoh dan Khawarij !!!
Masuknya Islam ke Yaman dan Kisah
Zaidiyyin
Pada masa kekhalifahan Al Makmun dari
bani Abasiyah, tepatnya tahun 199 H, salah seorang pengikut Zaidiyah bernama
Muhammad bin Ibrahim Thaba ’thaba’ membelot, dan memerintahkan keponakannya,
Ibrahim bin Muhammad pergi menuju Yaman guna memperoleh banyak dukungan.
Zaidiyah adalah sekte yang mengikuti manhaj yang digagas oleh Zaid bin Ali bin
Al Husain bin Ali bin Abi Thalib, yaitu manhaj yang masih tergolong ke dalam
syi’ah meskipun terdapat kedekatan yang signifikan antara Zaidiyah dengan
Ahlussunnah. Syiah Zaidiyah tidak menyatakan berbagai perkara bid’ah dan
khurafat sebagaimana yang dinyatakan oleh Syi’ah Itsna Asyariyah (Syi’ah Iran,
Iraq, Lebanon dan negara teluk) bahkan mereka mengamalkan Al Qur’an dan Sunnah
seperti umumnya kaum muslimin, hanya saja mereka memiliki beberapa pemikiran
khusus dalam masalah imamah. Mereka membatasi keimamahan hanya dari garis
keturunan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dengan Fatimah binti Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, namun mereka tidak membatasi secara person
tertentu dari garis keturunan tersebut, bahkan mereka mengatakan; seseorang
yang memenuhi syarat-syarat keimamahan seperti dari garis keturunan Fatimah,
berilmu, bertakwa juga baik pola pikirnya, hendaknya ia mengajukan diri, apabila
orang-orang membaiatnya maka keimamahannya dianggap sah. Bahkan mereka
melegalkan adanya dua imam sekaligus pada dua wilayah yang berbeda, karena itu
sebagaimana dinyatakan dalam setiap tingkatan sejarah, mereka selalu muncul
dalam jumlah yang banyak.
Terlebih, banyak ulama’ Ahlussunnah yang
menganggap Zaid bin Ali termasuk jajaran pembesar ulama’ dan imam Ahlisunnah.
Beliau juga pernah memerintahkan keluar (membelot) dari imam yang fasik,
memiliki perhatian yang sangat besar terhadap para sahabat radhiallahu ‘anhum
dan sangat memuliakan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, akan tetapi
beliau berpandangan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu lebih mulia
daripada mereka berdua, namunpandangan ini tidak benar dengan segala kemuliaan
tetap bagi Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Meskipun demikian Zaid bin Ali
tetap berpendapat sahnya kekhilafahan Abu Bakar dan Umar, karena menurutnya
keimamahan seorang yang mafdhul (tidak utama) tetap sah meskipun adayang lebih
utama.Pendapat itu kemudian menjadi perbedaan
yang sangat mendasar dengan pokok ajaran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah yang menolak
keimamahan Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma, bahkan cara mendekatkan diri
mereka kepada Allah adalah dengan melaknat keduanya sebagaimana yang dinyatakan
mereka. (team/syiahindonesia.com)
[1]Al Bukhari, kitab Al Maghazi; bab
“Qudum Al Asy’ariyin dan Ahli Yaman”no.4128 dan Muslim, kitab Iman, bab
”Tufadhil Ahli Yaman Fiihi wa Rujhaanu Ahli Yaman Fiihi” no.52
[2]Al Bukhari, kitab Fitan, bab sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam “Al
Fitnatu min Qibali As Syarq.” No 6681, Tirmidzi no.3953 dan Ahmad hadits
no.5987
Sumber: As-Syiah Nidhol am Dholal oleh DR. Raghib As Sirjani.
Sumber: As-Syiah Nidhol am Dholal oleh DR. Raghib As Sirjani.
Bersamaan dengan berdirinya Daulah Bani Russi
yang bermadzhab Zaidi, muncul pula dakwah Syiah Isma’iliyah di Yaman, akan
tetapi mereka berada di wilayah selatan Yaman. Seperti yang telah kami sebutkan
di makalah-makalah sebelumnya semisal; “Ushul As Syi’ah” dan “Saitharah As
Syi’ah”, bahwa Isma’iliyah hanyalah sebuah frasa dari madzhab Syi’ah yang
sangat parah penyelewengannya, sampai-sampai mayoritas para ulama’ Ahlisunnah
membuat pernyataan bahwa mereka telah keluar dari Islam. Mereka menguasai
wilayah selatan Yamansejak tahun 290 H, tapi daulah mereka jatuh dalam waktu
relatif singkat pada tahun 304 H.Dari peristiwa ini,wilayah Yaman pun terbagi
antara orang-orang Ya’far yang berpusat di kota Shan’a dan orang-orang Zaidiyah
Bani Russi yang berpusat di kota Sha’dah, kondisi semacam ini berlangsung
sepanjang abad keempat Hijriah.
Pada abad kelima Hijriah, daulah Ya’fariyah
tumbang, sementara daulah Zaidiyah mulai melemah meski eksistensinya masih ada,
namun mulai bermunculan pula daulah-daulah baru lainnya yang sangat berpengaruh
dalam perjalanan sejarah. Muncul satu daulah sunni yaitu Daulah Najahiyin (Bani
Najah) yang berpusat di Zabid (sebelah barat Yaman) dan berlangsung sejak tahun
403 H hingga tahun 555 H, di sekitar daulah ini muncul pula beberapa daulah
Isma’iliyah yang mengancam, semisal daulah Bani Shalih yang berpusat di Shan’a
semenjak tahun 439 H hingga tahun 532 H, ada juga daulah Bani Zurai’ yang
berpusat di ‘Adn sejak tahun 467 H hingga tahun 569 H, begitu juga daulah Bani
Hatim yang telah berhasil menguasai Shan’a sejak tahun 533 H hingga tahun 569 H.
Kekuatan dan bantuan
daulah-daulahIsma’iliyah ini ditopang oleh daulah Ubaidiyyah yang lebih dikenal
dengan Daulah Fathimiyah yang saat itu tengah menguasai Mesir dan sebagian
wilayah Syam,karena itu daulah-daulah Isma’iliyah tersebut tidak bertahan lama
dan kemudian tumbang bersamaan dengan tumbangnya Daulah Ubaidiyah di tangan
seorang pahlawan Islam, Shalahuddin AlAyyubi pada tahun 567 H.
Dengan lenyapnya beberapa daulah
Isma’iliyah dari Yaman,maka Yaman memulai frase baru yang penuh kebahagiaan
dengan hadirnya kepemerintahan sunni yang direpresentasikan oleh daulah
Ayyubiyah sejak tahun 569 H hingga tahun 626 H, kemudian daulah Bani Rusul yang
juga sunni dari tahun 626 H hingga tahun 858 H.
Meskipun demikian, kepemerintahan daulah
Zaidiyah tidak sepenuhnyalenyap dari Yaman, bahkan mereka semakin menunjukkan
eksistensinya di Sha’dah dan memiliki rentan waktu pertumbuhan yang sangat
urgen yang lebih dikenal dengan sebutan daulah Bani Russ kedua, yaitu pada
tahun 593 H hingga tahun 697 H di tengah-tengah kepemerintahan Dinasti
Ayyubiyah dan Rasuliyah.
Daulah Aimmah Shan’a
Pada abad kesepuluh Hijriyah,pemerintahan
di wilayah Yaman terbagi menjadi dua, yaitu pemerintahan Utsmaniyah dan
pemerintahan Zaidiyah, Utsmani memerintah sejak tahun 945 H hingga 1333 H (388
tahun), peta kekuasaan mereka terutama berada di sebelah selatan. Sementara
Bani Russi yang bermadzhab Zaidiyah menguasai wilayah Sha’dah yang berafeliasi
ke Shan’a, sehingga pada masa itu daulah ini lebih dikenal dengan daulah Aimmah
Shan’a yang berlangsung semenjak tahun 973 H hingga tahun 1382 H (409 tahun)
sampai mereka mampu menguasai seluruh Yaman setelah konflik yang terjadi dengan
pemerintahan Utsmani, konflik ini berakhir pada tahun 1333 H dengan kemenangan
ada di pihak Zaidiyah.
Daulah Zaidiyah memerintah Yaman hingga
tahun 1382 H/1962 M, tatkala terjadi revolusi Yaman yang dengannya
kepemerintahan Syiah Zaidiyah berakhir di Yaman, yaitu dimulai semenjak tahun
284 H atau lebih dari seribu tahun!
Dalam proses akselerasi ini, kita melihat
bahwa madzhab Zaidiyah telah mengakar kuat di tengah masyarakat Yaman, bahkan
mereka telah memiliki kepemerintahan sepanjang rentan waktu tersebut baik di
saat kuat atau lemah, meski di sekitar mereka muncul beberapa daulah sunni dan
Ismaili walaupun pengaruh manhaj isma’ili ini tidakberlangsung lama, sebab di
Yaman daulah ini hanya bertahan sekitar seratus tiga puluhan tahun dan tidak
mampu menguasai Yaman secara keseluruhan dalam jangka waktu yang panjang.
Sebagaimana yang kita perhatikan, pada
saat itu Syi’ah Itsna ‘Asyariyah (Imamiah) belum memiliki eksistensi di wilayah
Yaman, dari sini kita dapati bahwa jumlah pengikut Zaidiyah mendekati tiga
puluh persen dari penduduk Yaman,sementara prosentase jumlah pengikut sekte
Itsna ‘Asyariyah sangat kecil sekali bila dibandingkan dengan jumlah masyarakat
Yaman, meski disana tidak ada sensus yang akurat dalam masalah ini.
Bersamaan dengan itu, sekarang kita
mendengar berbagai problematikasehubungan dengan orang-orang Hautsi yang
mendominasi wilayah Yaman bagian selatan, terkhusus wilayah Sha’dah. Kita juga
mendengarItsna ‘Asyariyah sebagai madzhab mereka dan intervensi Iran terhadap
mereka.
Lalu darimana datangnya madzhab Itsna
‘Asyariyah ke Yaman?
Bagaimana masalah itu muncul sampai terjadi pertempuran berkepanjangan antara
pemerintahan Yaman dengan para pengikut Hautsi?
Sumber: As-Syiah Nidhol am Dholal oleh
DR. Raghib As Sirjani.
Keutamaan Negeri Yaman
(dalan Al Qur’an dan hadis-hadis Nabi shallallahu’alaihi wasallam)
Keutamaan Yaman (Dari Manakah Fitnah itu
Datang?)