Karena Pemimpin Ormas Islam terbesar dan
terkuat sejagat, kegemarannya Menghina (melecehkan, mengguyonkan) Agama tidak
tersentuh (kebal) hukum dan didukung oleh pengikutnya. Beda dengan di Saudi
Arabia, hukum ditegakkan kepada siapapun hatta keluarga Raja.
Sa'id Aqil; Jika Ditanya Malaikat Munkar
dan Nakir "Man Robbuka", Jawab Saja Pengikut Hasyim Asy'ari
Termasuk Kesesatan Rafidhah
Setelah kita mengetahui keterangan di
atas, kita melihat bahwa berbagai firqah yang menyimpang memiliki keyakinan
kema’shûman untuk selain para Nabi, dan mereka tidak mampu mendatangkan dalil
yang shahih (kuat) dan sharîh (jelas) yang mendasari aqidah mereka ini. Dalil
mereka hanya syubhat dan hawa nafsu belaka.
Di antara kelompok menyimpang itu adalah
Syi’ah Imâmiyah. Mereka meyakini kema’shûman para imam dua belas mereka, bahkan
mereka tinggikan derajat para imam itu melebihi derajat para Nabi dan malaikat.
Mereka menyatakan bahwa ‘ishmah (kema’shûman) adalah, “Kekuatan dalam akal yang
menghalangi pemiliknya dari menyelisihi beban (aturan syari’at) padahal dia
mampu menyelisihi”. [asy-Syî’ah fii ‘Aqâidihim wa Ahkâmihim, hlm. 322; karya
al-Kazhimi a-Qazwaini]
Khumaini menyatakan, “Sesungguhnya
kema’shûman yang dimiliki oleh al-ma’shûm (imam dua belas menurut Syi’ah-pent)
hanyalah karena sebab kedudukan yang tinggi dan maqâm yang terpuji yang tidak
dicapai oleh malaikat yang dekat (dengan Allâh) dan Nabi yang diutus. Juga
dengan sebab kekuasaannya (imam ma’shûm) yang berkaitan dengan alam semesta,
yang seluruh atom alam ini tunduk terhadap kekuasaannya.” [al-Hukûmah
al-Islâmiyyah, hlm. 47]
Lihatlah bagaimana ghuluwnya kelompok
Syi’ah ini, sampai mereka mengangkat derajat imam mereka ke derajat ketuhanan.
Demi Allâh, ini adalah syirik yang nyata. Ya Allâh ! Tunjukkanlah dan
tetapkanlah kami di atas jalan yang lurus.
Termasuk Kesesatan Shufi
Sebagaimana Syi’ah, maka kelompok
shûfiyah juga menetapkan sifat ma’shûm kepada panutan mereka yang dianggap
sebagai wali. Walaupun mereka mengecoh umat dengan mengunakan istilah hifzh
(penjagaan) sebagai ganti istilah ‘ishmah (kema’shûman).
al-Qusyairi, seorang tokoh shûfi,
menerangkan definisi wali sebagai berikut, “Orang yang selalu taat tanpa
diselingi kemaksiatan, dan bahwa Allâh mengurusi hifzh (penjagaan) terhadapnya,
sehingga Allâh tidak menciptakan khidzlân (penghinaan), yaitu kemampuan berbuat
kemaksiatan.” [ar-Risâlah al-Qusyairiyah; dinukil dari Kitab Auliyâ’ullâh baina
al-mafhûm ash-shûfi wal manhaj as-sunni as-salafi, karya syaikh Abdurrahman
Dimasyqiyyah]
Karena keyakinan demikian, maka tidak
aneh dalam praktek perbuatan di kalangan shufi seorang mursyid (pembimbing;
syaikh; guru) dianggap memiliki sifat ma’shûm, sehingga seorang murid sama sekali
tidak boleh membantah gurunya, walaupun di dalam hatinya! Sehingga tidak ada
amar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap guru.
Mereka mengatakan, “Diantara adab murid
terhadap gurunya adalah tidak membantahnya dalam seluruh perkara yang dilakukan
oleh guru, walaupun zhahirnya haram. Dan seorang murid di hadapan gurunya
menjadi seperti mayit di hadapan orang yang memandikannya.” [Tanwîrul Qulûb fii
Mu’âmalati ‘Allâmil Ghuyûb, hlm. 479 dan 529; dinukil dari Kitab Auliyâ’ullâh
baina al-mafhûm ash-shûfi wal manhaj as-sunni as-salafi, karya syaikh
Abdurrahman Dimasyqiyyah]
Al-Qusyairi berkata, “Barangsiapa
menemani seorang guru, kemudian dia membantahnya dengan hatinya, maka lepaslah
perjanjian persahaatan (dengan gurunya itu).” [ar-Risâlah al-Qusyairiyah, hlm.
150; dinukil dari Kitab Auliyâ’ullâh baina al-mafhûm ash-shûfi wal manhaj
as-sunni as-salafi, karya syaikh Abdurrahman Dimasyqiyyah]
Dengan penyimpangan pemahaman adanya
selain Nabi yang memiliki sifat ma’shûm, kemudian diiringi dengan ketaatan
mutlak untuknya, maka sesungguhnya hal ini akan memunculkan berbagai
penyimpangan dalam beragama, fanatisme guru dan golongan, bahkan perpecahan dan
keburukan lainnya. Maka tidak ada jalan selamat kecuali kembali kepada agama
yang dibawa oleh Rasul yang mulia, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
, yang telah diamalkan oleh para muridnya yang utama, para sahabat yang setia,
dengan meninggalkan seluruh bid’ah (perkara baru) di dalam agama, yang telah
merusak keindahan Islam yang telah sempurna.
Semoga Allâh menunjukkan kebenaran kepada
kita sebagai kebenaran, dan memberikan kepada kita kekuatan untuk mengikutinya.
Dan semoga Allâh menampakkan kepada kita kebatilan sebagai kebatian dan
memberikan kepada kita kekuatan untuk meninggalkannya. Amiin.
Yang Ma’shum Hanya Nabi
Shallallahu Alaihi Wa Sallam
Allâh Azza wa Jalla telah mengutus Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar beliau mengeluarkan manusia dari
berbagai kegelapapan menuju cahaya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
melaksanakan kewajiban ini dengan sebaik-baiknya, menunaikan amanah,
menyampaikan risalah, dan menasehati umat.
Dan kedudukan Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagai Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntut umat untuk
mengikuti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh perkara yang
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan. Kedudukan ini tidak dimiliki oleh
manusia siapapun selain Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allâh Azza wa
Jalla berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ
حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya. [An-Nisa’/4: 65]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Allâh Azza wa Jalla bersumpah dengan diri-Nya yang mulia, yang suci, bahwa
seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai hakim dalam segala perkara. Maka apa yang Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam putuskan adalah haq, wajib diikuti secara lahir dan batin.
Oleh karena inilah Allâh berfirman, (yang artinya), “kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” Yaitu jika mereka telah menjadikanmu
sebagai hakim, mereka mentaatimu dalam batin mereka, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka tunduk kepadanya lahir batin, serta menerimanya dengan sepenuhnya, tanpa
menolak dan membantah”. [Tafsir Ibnu Katsir, surat an-Nisa’/4:65]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا
قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allâh dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allâh dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. [Al-Ahzab/33: 36)]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Ayat ini umum (mencakup) segala perkara, yaitu jika Allâh dan Rasul-Nya telah
menetapkan sesuatu, maka tidak ada hak bagi siapapun untuk menyelisihinya, dan
di sini tidak ada pilihan (yang lain) bagi siapapun, tidak ada juga pendapat
dan perkataan.” [Tafsîr Ibnu Katsîr, surat al-Ahzâb/33:36]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni
rahimahullah berkata, “Bahwa tidak ada perbedaan antara keputusan Allâh Azza wa
Jalla dengan keputusan Rasul-Nya, orang mukmin tidak ada pilihan untuk
menyelisihi keduanya, dan bahwa maksiat kepada Rasul sama dengan maksiat kepada
Allâh Azza wa Jalla , itu merupakan kesesatan yang nyata.” [al-Hadîts Hujjatun
Binafsihi, hlm. 33]
Yang Ma’shum Hanya Nabi
Dengan penjelasan di atas, maka kita
mengetahui bahwa derajat manusia yang ditaati secara mutlak hanyalah derajat
kenabian. Seandainya seorang Nabi berbuat kesalahan, maka Allâh Subhanahu wa
Ta’ala segera mengingatkannya, sehingga kesalahannya tidak diikuti oleh umat.
Adapun selain Nabi, seperti para Ulama atau lainnya, maka mereka tidak ma’shûm,
sehingga tidak semua perkataannya harus diikuti. Karena tidak boleh taat kepada
makhluk dalam bermaksiat kepada al-Khâliq.
Kema’shuman adalah terjemah dari kata
‘ish-mah dalam bahasa Arab, berasal dari kata ‘ashoma (عَصَمَ). Imam Ibnu
Qutaibah rahimahullah berkata, “’Ashama (عَصَمَ) artinya mana’a,
darinya muncul kata ‘ish-mah (اَلْعِصْمَةُ) dalam agama,
yaitu: terjaga dari kemaksiatan. [at-Taqrîb 1/324, karya imam Ibnu Qutaibah;
Dinukil dari Kitab Naskh Aqîdatil Imam Ma’shûm, hlm. 3]
Menurut Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah,
kema’shûman adalah sifat para Nabi, yaitu mereka semua terjaga dari kesalahan
dalam menyampaikan agama. Mereka juga terjaga dari dosa-dosa besar. Adapun
dosa-dosa kecil, atau lupa, atau keliru, maka para Nabi terkadang mengalaminya.
Dan jika mereka berbuat kesalahan, maka Allâh Ta’ala segera meluruskannya.
Para ulama yang tergabung dalam al-Lajnah
ad-Dâimah lil Buhûts al-‘Ilmiyyah wal Iftâ’ (Lembaga Tetap untuk Penelitian
Ilmiyyah dan Fatwa) Kerajaan Saudi Arabia menyatakan, “Para Nabi dan Rasul
terkadang berbuat kesalahan, tetapi Allâh Azza wa Jalla tidak membiarkan mereka
dalam kesalahan mereka, bahkan Allâh menjelaskan kesalahan mereka kepada
mereka, karena kasih sayang (Nya) kepada mereka dan umatnya, dan Allâh
memaafkan ketergelinciran mereka serta menerima taubat mereka, karena karunia
dan rahmat dari-Nya, dan Allâh Maha Pengampun dan Pengasih.” [Fatâwâ al-Lajnah
ad-Dâimah lil Buhûts al-‘ilmiyyah wal Iftâ’, 3/264, fatwa no. 6290]
Ahlus Sunnah menetapkan sifat ma’shûm ini
hanya untuk para Nabi, bukan untuk manusia selainnya. Karena manusia selain
Nabi sangat banyak berbuat kesalahan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ
الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Setiap anak Adam banyak melakukan
kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak melakukan kesalahan adalah mereka
yang banyak bertaubat. [HR. Ibnu Mâjah, dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu ;
dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam al Misykah dan Shahîh Sunan Ibni Mâjah]
Demikian juga Ahlus Sunnah menetapkan
sifat ma’shûm ini bagi umat Islam ketika mereka ijmâ’ dalam suatu perkara. Oleh
karena itu ijma’ wajib diikuti, karena itu merupakan kebenaran.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ : إِنَّ اللَّهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِى – أَوْ
قَالَ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ – – عَلَى ضَلاَلَةٍ
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allâh tidak akan mengumpulkan
umatku –atau umat Muhammad- di atas kesesatan”. [HR. Tirmidzi; dishahihkan oleh
al-Albâni]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Ahlus Sunnah tidak menjadikan perkataan seseorang dari mereka ini
(yakni para Ulama seperti imam Mâlik, Syâfi’i, Ahmad, dan lainnya-pen) ma’shûm
(terjaga dari kesalahan) yang wajib diikuti. Bahkan jika mereka berbeda
pendapat tentang sesuatu, mereka mengembalikan kepada Allâh dan Rasul-Nya.”
[Minhâjus Sunnah an-Nabawiyah, 4/123]
Kalau dikalangan umat ini tidak ada
seseorang yang ma’shûm selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma’
umat, maka perkataan siapa saja selain Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dari kalangan umat ini, tidak harus diikuti secara mutlak. Jika perkataan itu
sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka diterima, dan
jika bertentangan dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka
ditolak, siapapun orangnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahuhullah berkata, “Sesungguhnya perkataan seorang ma’shûm (orang yang
terjaga dari kesalahan) tidak akan kontradiksi. Dan tidak ada perselisihan di
antara kaum Muslimin bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ma’shûm
dalam perkara yang dia sampaikan dari Allâh Azza wa Jalla . Maka Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ma’shûm dalam perkara yang beliau syari’atkan
untuk umat dengan ijma’ kaum Muslimin. Demikian juga umat (Islam) ini ma’shûm
dari bersepakat di atas kesesatan, berbeda dengan selainnya. Oleh karena itu
pendapat imam-imam agama adalah setiap manusia, pendapatnya bisa diambil dan
bisa ditinggalkan, kecuali Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena
Allâh telah mewajikan kepada seluruh manusia beriman kepada Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan mentaatinya, juga (mewajibkan) menghalalkan apa yang
beliau halalkan, dan mengharamkan apa yang beliau haramkan. Dengan Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Allâh memisahkan antara orang Mukmin dengan
orang kafir, penduduk surga dengan penduduk neraka, petunjuk dengan kesesatan,
dan antara ikut hawa nafsu dengan ikut kebenaran. Adapun orang-orang Mukmin,
penduduk surga, orang yang mengikuti petunjuk dan kebenaran, mereka adalah
orang-orang yang ittiba’ (mengikuti ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam). Sedangkan orang-orang kafir, penduduk neraka, orang yang mengikuti
hawa nafsu dan kesesatan, mereka adalah orang-orang yang tidak mengikuti beliau
(Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ).” [Majmû’ Fatâwâ, 33/28]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
juga berkata, “Barangsiapa mewajibkan taat kepada seseorang selain Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dalam seluruh perkara yang dia perintahkan; Dan
mewajibkan orang meyakini kebenaran seluruh perkara yang dia beritakan; dan
menetapkan sifat ma’shûm atau terjaga dari kesalahan dalam seluruh perkara yang
dia perintahkan dan dia beritakan dari perkara agama, maka dia telah menjadikan
pada orang tersebut tandingan dan keserupaan bagi Rasulullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hal-hal yang menjadi kekhususan para rasul sesuai
dengan kadarnya. Baik yang dijadikan tandingan bagi Rasulullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam itu adalah sebagian sahabat, atau kerabat Nabi, atau imam,
atau syaikh, atau pemimpin dari kalangan para raja dan lainnya. [Jâmi’ur
Rasâ’il, 1/273]
Beliau juga berkata, “Ini termasuk
perkara yang disepakati oleh Ulama Islam: yaitu wajib mengimani semua Nabi, dan
barangsiapa mengingkari satu orang Nabi maka dia kafir, dan barangsiapa mencela
seorang Nabi, dia wajib dibunuh berdasarkan kesepakatan Ulama. Adapun kepada
selain Nabi, maka tidak demikian, baik selain Nabi itu dinamakan wali, imam,
orang bijak, Ulama’, atau lainnya. Barangsiapa menjadikan selain Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang ma’shûm, yang wajib diimani
semua perkataannya, maka dia telah memberikan kepadanya makna/sifat kenabian,
walaupun dia tidak memberikan lafazh kenabian kepadanya (yakni tidak
menyebutnya sebagai Nabi-pen).” [Minhâjus Sunnah, 6/187-188]
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
01/Tahun XV/1433H/2012.]
Dirangkum oleh Hartono Ahmad Jaiz
Bercanda yang Mengandung Olok-olok
terhadap Allah, Ayat-ayat-Nya, atau Agama Islam
Hukum mengolok-olok Allah Ta’ala,
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan Sunnahnya.
Mengolok-olok Orang yang Teguh dengan
Perintah Allah dan Rasul-Nya
Perkara-perkara Tauhid, Tidak Ada Kilah
Meremehkan Islam Menjadikan Kafir
1. Bercanda yang Mengandung Olok-olok
terhadap Allah, Ayat-ayat-Nya, atau Agama Islam
Soal: Ada orang yang bercanda dengan
perkataan yang mengandung olok-olok/ penghinaan terhadap Allah, ayat-ayat-Nya,
Rasul-Nya atau agama Islam. (Bagaimana hukumnya)?
Jawab Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin:
Perbuatan ini yaitu mengolok-olok Allah,
atau kitab-Nya, atau Rasul-Nya, atau agama-Nya; walaupun atas jalan gurauan,
walaupun pada jalan membuat tertawa kaum, maka itu adalah perbuatan kafir dan
munafik (kufur dan nifaq). Perbuatan itulah yang terjadi pada masa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pada orang-orang yang berkata: “Belum pernah kami
melihat orang seperti para ahli baca Al-Qur’an ini, orang yang lebih buncit
perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam perang”, mereka
maksudkan adalah Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, para ahli membaca Al-Qur’an
(al-quro’). Lalu turunlah ayat mengenai mereka:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا
كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka
(tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab:
“Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. (QS At-Taubah/
9: 65).
Karena mereka datang kepada Nabi dengan
berkata, sesungguhnya kami hanyalah mengobrol sebagaimana obrolan orang-orang
yang bepergian jauh, kami dengan mengobrol itu memotong capaiknya perjalanan.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka apa yang
diperintahkan Allah:
أَبِاللَّهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ
تَسْتَهْزِئُونَ(65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan
Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”
Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu
kafir sesudah beriman…” (QS At-Taubah/ 9: 65, 66).
Segi Rububiyyah (Ketuhanan), Risalah
(kerasulan), wahyu, dan agama adalah segi muhtarom (yang dihormati). Tidak
boleh seseorang bermain-main padanya, tidak boleh dengan olok-olokan, tidak
dengan penertawaan, dan tidak dengan penghinaan. Kalau orang mengerjakannya,
maka dia jadi kafir, karena dia menunjukkan atas penghinaannya kepada Allah,
para Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, dan syari’at-Nya. Orang yang mengerjakan itu
wajib bertaubat kepada Allah dari apa yang ia perbuat, karena hal ini termasuk
kemunafikan, maka wajib dia bertaubat kepada Allah, minta ampun dan memperbaiki
amalnya, dan menjadikan di dalam hatinya takut Allah, mengagungkan-Nya, takut
kepada-Nya, dan mencintai-Nya.
(Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin,
Mausu’ah al-Fatawa al-Islamiyyah, Az-Zuhri lilbaromajiyyat, Kairo, tt.):
هذا الفعل وهو الاستهزاء بالله أو بكتابه أو
برسوله أو دينه ولو كان على سبيل المزاح ولو كان سبيل إضحاك القوم فهو كفر ونفاق
وهو نفس الذي وقع على عهد النبي صلى الله عليه وسلم في الذين قالوا ما رأينا مثل
قرائنا هؤلاء أرغب بطوناً و لا أكذب لساناً و لا أجبن عند اللقاء يعنون رسول الله
وأصحابه القراء فنزلت فيهم ( ولئن سألتهم ليقولن إنما كنا نخوض ونلعب ) لأنهم
جاءوا إلى النبي يقولون إنما كنا نتحدث حديث الركب نقطع به عناء الطريق . فكان
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لهم ما أمره الله به ( أبالله وآياته ورسوله
كنتم تستهزءون . لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم ) فجانب الربوبية والرسالة
والوحي والدين جانب محترم لا يجوز لأحد أن يعبث فيه لا باستهزاء و لا بإضحاك و لا
بسخرية فإن فعل فإنه كافر لأنه يدل على استهانته بالله ورسله وكتبه وشرعه وعلى من
فعل هذا أن يتوب إلى الله مما صنع لأن هذا من النفاق فعليه أن يتوب إلى الله
ويستغفر ويصلح عمله ويجعل في قلبه خشية الله وتعظيمه وخوفه ومحبته
2. Hukum mengolok-olok Allah Ta’ala,
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan Sunnahnya.
Apa hukum mengolok-olok Allah Ta’ala atau
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, atau sunnahnya shallallahu ‘alaihi
wasallam?
Fatwa Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin:
Mengolok-olok Allah Ta’ala atau Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sunnahnya shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah perbuatan kafir dan murtad (kufur dan riddah), mengeluarkan manusia dari
Islam karena perbuatannya itu. Karena firman Allah Ta’ala:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا
كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ
تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَاتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَإِيمَانِكُمْ إِنْ
نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا
مُجْرِمِينَ (66)
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka
(tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab:
“Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah:
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”
Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu
kafir sesudah beriman. Jika Kami mema`afkan segolongan daripada kamu (lantaran
mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan
mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS At-taubah/ 9: 65, 66).
Setiap orang yang mengolok-olok/ menghina
Allah, atau Rasul-Nya, atau agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka
sesungguhnya dia kafir murtad. Wajib atasnya untuk bertaubat kepada Allah. Apabila
ia bertaubat kepada Allah maka Allah menerima taubatnya. Karena firman Allah
terhadap mereka yang mengolok-olok itu:
لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ
إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً
بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ(66)
Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu
kafir sesudah beriman. Jika Kami mema`afkan segolongan daripada kamu (lantaran
mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan
mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS At-taubah/ 9: 66).
Allah menjelaskan bahwa Dia mengampuni
segolongan dari mereka, dan itu tidak terjadi kecuali dengan taubat kepada
Allah dari kekafiran mereka yang tadinya karena olok-olokan mereka itu kepada
Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya.
(Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin,
Mausu’ah al-Fatawa al-Islamiyyah, Az-Zuhri lilbaromajiyyat, Kairo, tt.):
ما حكم الاستهزاء بالله تعالى أو برسوله صلى الله
عليه وسلم أو سنة رسوله صلى الله عليه وسلم
________
الاستهزاء بالله تعالى أو برسوله صلى الله عليه
وسلم أو سنة رسوله صلى الله عليه وسلم كفر وردة يخرج به الإنسان من الإسلام لقول
الله تعالى (ولئن سألتهم ليقولن إنما كنا نخوض ونلعب قل أبالله وآياته ورسوله كنتم
تستهزءون . لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم ) . فكل من استهزأ بالله أو برسول
الله صلى الله عليه وسلم أو بدين رسول الله صلى الله عليه وسلم فإنه كافر مرتد يجب
عليه أن يتوب إلى الله وإذا تاب إلى الله قبل الله توبته لقوله في هؤلاء
المستهزئين ( لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم إن نعف عن طائفة منكم نعذب طائفة
بأنهم كانوا مجرمين ) فبين الله أنه قد يعفو عن طائفة منهم و لا يكون ذلك إلا
بالتوبة إلى الله من كفرهم الذي كان باستهزائهم بالله وآياته ورسوله . (محمد بن
صالح العثيمن)
3. Mengolok-olok Orang yang Teguh dengan
Perintah Allah dan Rasul-Nya
Apa hukum orang yang menghina orang yang
teguh dengan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya?
Jawab Syaikh Shalih Al-‘Utsaimin:
Mengolok-olok/ menghina orang yang teguh
pada perintah-perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya karena keadaan mereka
mentaati perintah-perintah itu, maka (penghinaan itu) diharamkan, dan sangat
berbahaya bagi seseorang. Karena dikhawatirkan kebenciannya kepada mereka itu
lantaran kebencian terhadap apa-apa yang ada pada diri mereka yaitu istiqomah/
konsisten di atas agama Allah. Ketika itu maka penghinaanya kepada mereka
adalah penghinaan pada jalan mereka yang mereka jalani, maka menyerupai orang
yang Allah firmankan atas mereka:
وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ
وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا
قَدْكَفَرْتُمْ بَعْدَإِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ
طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (66)
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka
(tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab:
“Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah:
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”
Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu
kafir sesudah beriman..” (QS At-taubah/ 9: 65, 66).
Ayat itu hanya turun mengenai kaum dari
orang-orang munafiq yang berkata: “Belum pernah kami melihat orang seperti para
ahli baca Al-Qur’an ini –maksud mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallamdan para sahabatnya–, orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta
lisannya dan lebih pengecut dalam perang”, maka Allah turunkan ayat ini
mengenai mereka. Maka hendaknya berhat-hatilah orang-orang yang menghina ahli
kebenaran karena keadaan mereka dari ahli agama. Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ
الَّذِينَ ءَامَنُوا يَضْحَكُونَ(29)وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ
(30)وَإِذَا انْقَلَبُوا إِلَى أَهْلِهِمُ انْقَلَبُوا فَكِهِينَ(31)وَإِذَا
رَأَوْهُمْ قَالُوا إِنَّ هَؤُلَاءِ لَضَالُّونَ (32) وَمَا أُرْسِلُوا عَلَيْهِمْ
حَافِظِينَ (33) فَالْيَوْمَ الَّذِينَءَامَنُوا مِنَ الْكُفَّارِيَضْحَكُونَ (34)
عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُونَ (35) هَلْ ثُوِّبَ الْكُفَّارُ مَا كَانُوا
يَفْعَلُونَ(36)
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa,
adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman.
Dan apabila orang-orang yang beriman lalu
di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya.
Dan apabila orang-orang berdosa itu
kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira.
Dan apabila mereka melihat orang-orang
mu’min, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang
yang sesat”,
padahal orang-orang yang berdosa itu
tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mu’min.
Maka pada hari ini, orang-orang yang
beriman menertawakan orang-orang kafir,
mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil
memandang.
Sesungguhnya orang-orang kafir telah
diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS Al-Muthoffifien/
83: 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36).
(Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin,
Mausu’ah al-Fatawa al-Islamiyyah, Az-Zuhri lilbaromajiyyat, Kairo, tt):.
الاستهزاء بالملتزمين و بأوامر الله تعالى ورسوله
لكونهم التزموا بذلك محرم وخطير جداً على المرء لأنه يخشى أن تكون كراهته لهم
لكراهة ما هم عليه من الاستقامة على دين الله وحينئذ يكون استهزاؤه بهم استهزاء
بطريقهم الذي هم عليه فيشبهون من قال الله عنهم ( ولئن سألتهم ليقولن إنما كنا
نخوض ونلعب قل أبالله وآياته ورسوله كنتم تستهزءون . لا تعتذروا قد كفرتم بعد
إيمانكم ) فإنما نزلت في قوم من المنافقين قالوا ما رأينا مثل قرائنا هؤلاء –
يعنون رسول الله وأصحابه أرغب بطوناً و لا أكذب لساناً و لا أجبن عند اللقاء فأنزل
الله فيهم هذه الآية . فليحذر الذين يسخرون من أهل الحق لكونهم من أهل الدين فإن
الله يقول ( إن الذين أجرموا كانوا من الذين آمنوا يضحكون . وإذا مروا بهم
يتغامزون وإذا انقلبوا إلى أهلهم انقلبوا فكهين وإذا رأوهم قالوا إن هؤلاء لضالون
وما أرسلوا عليهم حافظين. فاليوم الذين آمنوا من الكفار يضحكون على الأرائك ينظرون
. هل ثوب الكفار ما كانوا يفعلون ) .
4. Perkara-perkara Tauhid, Tidak Ada
Kilah
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz:
Perkara-perkara Tauhid tidak ada alasan
(dalih untuk berkilah) selama berada di antara kaum muslimin. Adapun orang yang
jauh dari Muslimin dan jahil dengan itu maka urusannya ini pada Allah, dan
hukumnya adalah hukum ahlil fatrot (masa jeda tidak adanya Nabi) pada hari
qiyamat, di mana dia diuji. Adapun orang yang berada di antara Kaum Muslimin
dan dia mendengar firman Allah swt dan sabda Rasul saw, dia tidak memperhatikan
dan tidak mengarahkan pandangan, dan dia menyembah kuburan, meminta tolong
padanya, atau mencaci agama; maka dia ini kafir, kafir dengan senyatanya,
seperti ucapanmu “Fulan kafir”.
Wajib atas pemimpin yang memegang urusan,
yaitu penguasa-penguasa muslimin, untuk meminta dia (pelaku itu) bertaubat .
Apabila dia bertaubat (maka bebas), tetapi kalau tidak, maka dibunuh karena
kafir (sesudah beriman). Demikian pula orang yang mengolok-olok agama, atau
menghalalkan yang diharamkan Allah; seperti berkata, zina itu halal atau khamr
(minuman keras) itu halal, atau menghukumkan undang-undang bikinan itu halal,
atau berhukum kepada selain yang diturunkan Allah itu halal, atau bahwa ia
lebih utama dari hukum Allah; semua ini murtad dari Islam, na’udzubillah (kami
berlindung kepada Allah) dari yang demikian.
Wajib atas setiap pemerintahan Islam
untuk berhukum dengan syari’at Allah, dan meminta bertaubat orang yang dirinya
terdapat perbuatan yang merusak ke-Islamannya di antara rakyatnya. Apabila ia
bertaubat (maka bebas), tetapi kalau tidak, maka wajib (hukumah itu)
membunuhnya. Karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
Siapa yang mengganti agamanya (dari Islam
ke lainnya) maka kalian bunuhlah dia. (Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam
kitab Shahihnya). Dan dalam kitab Shahihain (Bukhari dan Muslim) dari Mu’adz
bin Jabal ra bahwa ia memerintahkan sebagian pemimpin untuk membunuh orang
murtad apabila ia tidak bertaubat. Dia berkata, sesungguhnya itu keputusan /
ketentuan Allah dan Rasul-Nya, wajib untuk melaksanakan itu dengan perantara
waliyul amri (pemimpin yang menguasai urusan Muslimin) dengan perantaraan
mahkamah-mahkamah syar’iyyah sehingga terlaksana hukum Allah di atas ilmu dan
penjelasan yang terang, dengan perantaraan pemimpin-pemimpin pemegang urusan
Muslimin lah Allah memperbaiki keadaan semuanya. Sesungguhnya Dia Maha mendengar
lagi Maha dekat.
(Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz,
Mausu’ah al-Fatawa al-Islamiyyah, Az-Zuhri lilbaromajiyyat, Kairo, tt.):
أمور التوحيد.. لا عذر فيها.
الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز:
أمور التوحيد ليس فيها عذر ما دام موجودا بين
المسلمين ، أما من كان بعيدا عن المسلمين وجاهلا بذلك فهذا أمره إلى الله ، وحكمه
حكم أهل الفترات يوم القيامة ، حيث يمتحن ، أما من كان بين المسلمين ويسمع قال
الله وقال رسوله ، ولا يبالي ولا يلتفت ، ويعبد القبور ويستغيث بها أو يسب الدين
فهذا كافر ، يكفر بعينه ، كقولك فلان كافر ، وعلى ولاة الأمور من حكام المسلمين أن
يستتيبوه فإن تاب وإلا قتل كافرا ، وهكذا من يستهزئ بالدين ، أو يستحل ما حرم الله
: كأن يقول الزنى حلال أو الخمر حلال ، أو تحكيم القوانين الوضعية حلال ، أو الحكم
بغير ما أنزل الله حلال ، أو أنه أفضل من حكم الله ، كل هذه ردة عن الإسلام نعوذ
بالله من ذلك ،
فالواجب على كل حكومة إسلامية أن تحكم بشرع الله
، وأن تستتيب من وجد منه ناقض من نواقض الإسلام من رعيتها فإن تاب وإلا وجب قتله ،
لقول النبي صلى الله عليه وسلم : من بدل دينه فاقتلوه أخرجه البخاري في صحيحه ،
وفي الصحيحين عن معاذ بن جبل رضي الله عنه أنه أمر بعض الولاة بقتل المرتد إذا لم
يتب وقال إنه قضاء الله ورسوله والواجب أن يكون ذلك بواسطة ولي الأمر بواسطة
المحاكم الشرعية حتى ينفذ حكم الله على علم وبصيرة بواسطة ولاة الأمر أصلح الله
حال الجميع إنه سميع قريب .
5. Meremehkan Islam Menjadikan Kafir
Fasal : Adapun perkataan Ibnu Taimiyyah,
meremehkan Islam menjadikan kafir,
sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا
كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ
تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka
(tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab:
“Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah:
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”
Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu
kafir sesudah beriman. (QS At-taubah/ 9: 65, 66).
Saya tidak tahu adanya perbedaan di
antara penukilan (ayat dan hadits) bahwa orang-orang yang dikenai turunnya ayat
ini adalah karena perkataan mereka, bukan karena penentangan mereka terhadap
Allah Ta’ala dengan ungkapan-ungkapan mereka, tetapi hanyalah karena mereka
meremehkan Rasul-Nya. Peremehan mereka kepada Rasul-Nya itu menjadi penghinaan
kepada-Nya swt, dan kepada ayat-ayat-Nya. Cukuplah dengan itu dia kafir.
Kemudian beliau (Ibnu Taimiyyah) menyebut
apa yang dinukil dari kitab yang dikarangnya yang dinamai dengan as-Shorimul
maslul ‘ala syatimir Rasul (pedang terhunus atas pencaci Rasul), dikatakan:
Tidak diragukan bahwa peremehan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallamadalah kufur. Dan berhujjah dengan ayat ini menunjukkan bahwa
mengolok-olok Allah Ta’ala adalah kufur. Mengolok-olok ayat-ayat Allah Ta’ala
adalah kufur. Dan mengolok-olok Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah
kufur, dari segi bahwa mengolok-olok itu kafir dengan sendirinya dengan pasti.
Maka tidak disebut mengolok-olok ayat-Nya dan Rasul-Nya sebagai syarat dalam
hal itu. Telah diketahui bahwa mengolok-olok Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallamjuga kufur. Kalau tidak, maka tidak ada faidahnya dalam menyebutkannya.
Demikian pula mengolok-olok ayat-ayat.
Lagi pula sebenarnya olok-olok dengan
perkara-perkara ini adalah berkait-kaitan. Siapa yang mengolok-olok ayat-ayat
Allah Ta’ala yang dibawa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallammaka dia
mengolok-olok Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallamsecara pasti. Dan siapa yang
mengolok-olok Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallammaka dia mengolok-olok
risalahnya (kerasulannya) dengan nyata. Dan siapa yang mengolok-olok ayat-ayat
Allah dan Rasul-Nya maka dia mengolok-olok-Nya. Siapa yang mengolok-olok Allah
maka dia mengolok-olok ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya dengan jalan pertama.
(Ibnu Taimiyyah 661-728H, Arroddu ‘Alal
Bakri/ Talkhish Kitab Al-Istighotsah, Maktabah Al-Ghuroba’ Al-Atsariyah,
Madinah, Cet 1, 1417, Muhaqqiq Muhammad Ali ‘Ajal):
الرد على البكري ج: 2 ص: 665
فصل وأما قوله وجعل الاستخفاف به كفرا كما قال
الله تعالى قل أبالله وآياته ورسوله كنتم تستهزئون لا تعتذروا قد كفرتم بعد
إيمانكم ولا أعلم خلافا بين النقلة أن الذين نزلت فيهم هذه الآية بسبب كلامهم لم
يكونوا تعرضوا لله تعالى بعباراتهم و إنما تنقصوا رسوله فجعل استخفافهم برسوله
استهزاء به سبحانه و بآياته و كفى بذلك كفرا ثم ذكر ما نقله من الكتاب الذي صنفه المسمى
بالصارم المسلول على شاتم الرسول فيقال لا ريب أن الاستخفاف بالنبي صلى الله عليه
وسلم كفر و الاحتجاج بهذه الآية يدل على أن الاستهزاء بالله تعالى كفر و بآيات
الله تعالى كفر و برسوله صلى الله عليه وسلم كفر من جهة أن الاستهزاء كفر وحده
بالضرورة فلم يكن ذكر الاستهزاء بآياته و برسوله شرطا في ذلك فعلم أن الاستهزاء
بالرسول صلى الله عليه وسلم أيضا كفر وإلا لم يكن في ذكره فائدة و كذلك الاستهزاء
الرد على البكري ج: 2 ص: 666
بالآيات
و أيضا فإن الاستهزاء بهذه الأمور متلازم فإن من
استهزاء بآيات الله تعالى التي جاء بها الرسول صلى الله عليه وسلم فهو مستهزئ
بالرسول صلى الله عليه وسلم ضرورة و من استهزأ بالرسول صلى الله عليه وسلم فهو
مستهزئ برسالته حقيقة ومن استهزأ بآيات الله ورسوله فهو مستهزئ به ومن استهزأ
بالله فإنه مستهزئ بآياته ورسوله بطريق الأولى
Ancaman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا عَمِلُوا وَحَاقَ
بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ(33)
Dan nyatalah bagi mereka
keburukan-keburukan dari apa yang mereka kerjakan dan mereka diliputi oleh
(azab) yang mereka selalu memperolok-olokkannya. (QS Al-Jaatsiyah/ 45: 33).
وَقِيلَ الْيَوْمَ نَنْسَاكُمْ كَمَا نَسِيتُمْ
لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ(34)
ذَلِكُمْ بِأَنَّكُمُ اتَّخَذْتُمْ ءَايَاتِ
اللَّهِ هُزُوًا وَغَرَّتْكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فَالْيَوْمَ لَا يُخْرَجُونَ
مِنْهَا وَلَا هُمْ يُسْتَعْتَبُونَ(35)
Dan dikatakan (kepada mereka): “Pada hari
ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan (dengan)
harimu ini dan tempat kembalimu ialah neraka dan kamu sekali-kali tidak memperoleh
penolong.
Yang demikian itu, karena sesungguhnya
kamu menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olokan dan kamu telah ditipu oleh
kehidupan dunia, maka pada hari ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan
tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat. (QS Al-Jaatsiyah/ 45: 34,
35).