Upaya dua dedengkot yang membela aliran sesat syiah ini
sering mendapatkan tanggapan yang terang-terangan membuka kesesatan mereka.
Syiah itu sendiri sudah sesat, ditambah dengan kesesatan pembelanya, maka
tambah tampak sesatnya.
Berbagai tulisan yang bernada melecehkan, menghujat dan
mendiskreditkan para sahabat utama Nabi seperti dilakukan Jalaludin Rakhmat
dalam karangan-karangannya tidak bisa dikatakan tidak sesat! Namun sungguh
aneh, para penyokong dan pendakwah Syiah seperti Jalaludin Rakhmat dan Haidar
Bagir selalu meminta kaum Sunni kedepankan akhlak dan mengangkat persatuan
ummat di hadapan ajaran-ajaran yang menyinggung akidah dan perasaan Sunni.
Inilah di
antara sorotannya.
***
Membaca Kerancuan Jalaludin Rakhmat
Oleh; Fahmi
Salim
DALAM artikelnya “Menyikapi Fatwa MUI Jatim” di Harian Republika (08/11/2012)
Dr. KH. Ma’ruf Amin (Ketua MUI Pusat) menyimpulkan bahwa Fatwa MUI Jatim dan
Sampang tentang Syiah sudah pada tempatnya dan sesuai aturan. Tak lama
berselang, Jalaludin Rakhmat, tokoh Syiah yang juga Ketua Dewan Syura IJABI
dalam artikelnya “Menyikapi Fatwa tentang Fatwa” di Republika
(10/11/2012) menggugat KH. Ma’ruf Amin dan Fatwa MUI Jatim.
Inti
gugatannya, Pertama, fatwa yang salah sama seperti obat yang salah
diberikan kepada pasien, alih-alih menyembuhkan, ia justru bisa membunuh. Lebih
jauh Jalal menyebut Fatwa MUI Sampang ikut serta membunuh muslim di Sampang dan
Fatwa MUI Jatim juga menjadi dasar bagi Pengadilan Tinggi Jawa Timur
untuk memberi tambahan hukuman 2 tahun penjara kepada Tajul Muluk.
Kedua, menurut
Jalal, Fatwa MUI Jatim dan KH. Ma’ruf Amin mengabaikan dan tidak membaca keputusan
Konferensi Islam Internasional di Jordania 4-6 Juli 2005 yang melahirkan
Risalah Amman yang poinnya menegaskan bahwa pengikut dua mazhab Syiah (Ja’fari
dan Zaidi) adalah Muslim sebagaimana pengikut empat mazhab Sunni
(Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali) dan tidak boleh mengkafirkannya.
Menjawab
gugatan pertama, fatwa resmi yang dikeluarkan oleh lembaga ulama seperti MUI,
terutama menyangkut akidah dan paham agama, adalah dalam rangka meluruskan
pemahaman dan membentengi akidah umat.
MUI sangat
peka terhadap penyimpangan agama dan akan segera menghadapinya dengan serius
dan sungguh-sungguh, “Penetapan fatwa (MUI, pen) bersifat responsif, proaktif,
dan antisipatif.” (Himpunan Fatwa MUI:5) dan “Setiap usaha pendangkalan agama
dan penyalahgunaan dalil-dalil adalah merusak kemurnian dan kemantapan hidup
beragama. Oleh karena itu, MUI bertekad menanganinya secara serius dan terus
menerus.” (Fatwa MUI, 1 Juni 1980, dalam Himpunan Fatwa MUI: 42).
Fatwa MUI
berdasarkan dalil-dalil yang jelas untuk mendapatkan kebenaran dan kemurnian
agama, “Fatwa MUI berdasarkan pada Al-Qur’an, Sunnah (Hadis), Ijma’ dan Qiyas, serta
dalil lain yang dianggap muktabar.” (Himpunan Fatwa MUI:5), dan “MUI berwenang
menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan secara umum, terutama
masalah hukum (fikih) dan masalah akidah yang menyangkut kebenaran dan
kemurnian keimanan umat Islam Indonesia” (Himpunan Fatwa MUI:7). Jelasnya,
Fatwa tidak pernah dirumuskan untuk menciptakan permusuhan dan apalagi
pembunuhan. Fakta ini sangat gamblang untuk direnungkan.
Mengabaikan
Akar Masalah
Jalaludin
Rakhmat dalam artikelnya sama sekali tidak menyebutkan akar masalah yang memicu
keluarnya Fatwa MUI Jatim, yang didahului sebelumnya oleh MUI Sampang tentang
ajaran Syiah yang dibawa oleh Tajul Muluk di Sampang.
Dalam
konsideran Fatwa MUI Sampang disebutkan bahwa Tajul Muluk telah menyebarkan
ajaran-ajaran yang terindikasi menyimpang dari ajaran Islam sebagai
berikut: a. Mengimani imam yang 12 dan menganggap perkataan mereka
sebagai wahyu, b. Al-Quran yang ada saat ini dianggap sudah tidak
orisinil,c. Melaknat sahabat Nabi Muhammad, Abu Bakar, Umar dan
Usman, d. Shalat Jumat tidak wajib, e. Haji tidak wajib ke
Makkah cukup ke Karbala, f. Nikah mut’ah dianggap sunnah, g. Hanya
taat kepada imam yang 12 dan memusuhi musuh-musuhnya imam yang 12, h. Shalat
hanya dilakukan tiga waktu, i. Aurat yang wajib ditutup hanya alat
vital saja, j. Shalat Tarawih, Dhuha dan Puasa Asyuro haram. (Fatwa
MUI Sampang tanggal 8 shafar 1433, 1 Januari 2012)
Sebelum keluar
fatwa MUI Sampang yang dikukuhkan oleh fatwa MUI Jatim, para ulama Sampang dan
Madura terlebih dahulu mengumpulkan para saksi warga yang pernah mengikuti
pengajian-pengajian Tajul Muluk. Dari pengakuan para saksi warga
terkumpul 29 poin ajaran yang ditanyakan warga
kepada ulama dan dianggap menyimpang. (temuan 50 Ulama Madura, ada 22 poin
ajaran yang menyimpang).
Dalam dokumen
“Dakwaan Kesesatan yang Dituduhkan kepada Tajul Muluk Ma’mun” terungkap
beberapa ajaran krusial misalnya, a) Mereka
menganggap bahwa Kitab Suci Al-Qur’an yang ada pada tangan Muslimin se-alam
dunia tidak murni diturunkan Allah, akan tetapi sudah terdapat penambahan,
pengurangan dan perubahan dalam susunan Ayat-ayatnya (no.4), b) Mereka
menganggap bahwa semua ummat Islam – selain kaum Syi’ah – mulai dari para
Shahabat Nabi hingga hari qiamat – termasuk didalamnya tiga Khalifah Nabi (Abu
Bakar, Umar, Utsman) dan imam empat Madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’ie,
Ahmad) termasuk pula Bujuk Batu Ampar – adalah orang-orang pendusta, dan
beraqidah dengan aqidah bodoh lagi murtad karena membenarkan tiga Khalifah
tersebut di dalam merebut kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (no.5).
(lihat Dokumen Fatwa MUI Jatim dan Sampang tentang Ajaran Tajul Muluk di
Sampang)
Tidak hanya
Tajul Muluk, Jalaludin Rakhmat sendiri terbukti banyak sekali melecehkan para
Sahabat Nabi. Berikut ini adalah sebagian
daftar pelecehan Jalaludin Rakhmat terhadap para sahabat utama Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wassalam yang menjelek-jelekkan, melaknat dan bahkan
mengkafirkan mereka.
Di dalam
buku-buku yang diedit atau ditulisnya sendiri ditemukan antara lain;
Syiah melaknat
orang yang dilaknat Fatimah (Emilia Renita AZ dalam “40 Masalah Syiah”.
Bandung: IJABI. Cet ke 2. 2009. hal. 90);
Dan yang
dilaknat Fatimah adalah Abu Bakar dan Umar (Jalaluddin Rakhmat dalam “Meraih
Cinta Ilahi”, Depok: Pustaka IIMaN, 2008. hal. 404-405);
Para sahabat
suka membantah perintah Nabi Muhammad (Jalaluddin Rakhmat dalam “Sahabat
Dalam Timbangan Al-Quran, Sunnah dan Ilmu Pengetahuan”, PPs UIN Alauddin
2009. hal. 7);
“Para Sahabat Merobah-robah Agama” (Jalal dalam artikel di Buletin al
Tanwir Yayasan Muthahhari Edisi Khusus No. 298. 10 Muharram 1431 H. hal.
3);
Para Sahabat Murtad (Ibid. hal. 4);
Utsman tidak
menikahi dua putri Nabi Saw, tapi dua wanita lain (Jalaluddin Rakhmat dalam “Al
Mushthafa (Manusia Pilihan yang Disucikan)”, Bandung: Simbiosa Rekatama
Media, 2008 hal.164).
Dia jelas
membenci julukan Dzu-Nuraini (pemilik dua cahaya) karena
Utsman bin Affan menikah dengan dua puteri Rasulullah SAW. Julukan itu
kata Jalal, harus kita hapus (mansukh)! (Ibid, hal.165-166);
Tragedi Karbala merupakan gabungan dari pengkhianatan
sahabat dan kelaliman musuh (Bani umayyah) (Jalaluddin Rakhmat dalam “Meraih
Cinta Ilahi Depok”, Pustaka IIMaN, 2008 hal.493).
Tentu saja, berbagai tulisan
yang bernada melecehkan, menghujat dan mendiskreditkan para sahabat utama Nabi
seperti di atas tidak bisa dikatakan tidak sesat! Namun sungguh aneh, para
penyokong dan pendakwah Syiah seperti Jalaludin Rakhmat dan Haidar Bagir selalu
meminta kaum Sunni kedepankan akhlak dan mengangkat persatuan ummat di hadapan
ajaran-ajaran yang menyinggung akidah dan perasaan Sunni.
Dalam artikelnya di Republika (02/11/2012)
berjudul ‘Wa’tashimu bi Hablillahi Jami’an’, Haidar Bagir
menyitir perkataan Imam At-Thahawi dalam ‘Al-‘Aqidah Al-Thahawiyah’ bahwa,
“Kita tidak menisbatkan kekafiran, kemusyrikan dan kemunafikan kepada seseorang
selama tidak tampak dari mereka sesuatu yang menunjukkan hal-hal demikian itu.
Dan sebagai gantinya, kita menyerahkan semua yang tidak tampak itu kepada
Allah, kita hanya menghukum berdasar yang tampak saja.”
Tampaknya ia sedang meminta kaum Sunni untuk tidak
menghukumi kafir dan seterusnya kepada Syiah. Padahal dalam kitab yang sama,
jika mau jujur, Imam At-Thahawi sangat keras
menghukumi orang yang berani lancang menghujat para sahabat Nabi berdasarkan
kaidah “Kita hanya menghukum berdasar yang tampak saja”.
Beliau menulis, “Kita mencintai
para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam dan tidak berlebihan dalam
mencintai salah seorang mereka, kita juga tidak berlepas diri dari mereka. Kita
membenci orang yang membenci mereka (para sahabat) dan yang menyebut mereka
tidak baik. Kita tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai
mereka adalah agama, iman dan ihsan. Membenci mereka adalah kekafiran, kemunafikan
dan sikap melampaui batas (thughyan).” (Al-‘Aqidah Al-Thahawiyah dan Syarahnya
karya Ibnu Abi Al-‘Izz hlm.689)
Kontroversi Risalah Amman
Gugatan Jalaludin kedua adalah masalah Deklarasi Amman.
Seperti disebutkan Jalaludin Rakhmat, sebenarnya bukanlah Ijma’ Ulama
dalam pengertian yang fixed dalam ushul fikih. Risalah Amman, juga deklarasi
Makkah dan Bogor lebih bersifat politis. Ia dipicu oleh konflik Sunni–Syiah di
Iraq pasca tumbangnya Saddam Husain tahun 2003 yang digulingkan oleh AS dan
Sekutu yang berkolaborasi dengan kaum Syiah Iraq dengan kompensasi politik yang
menguntungkan posisi Syiah di Iraq pasca Saddam.
Tak pelak terjadi eskalasi kekerasan antara Sunni-Syiah,
di mana Sunni menuding Syiah menyerahkan kedaulatan Iraq kepada Amerika dengan
keuntungan politik tertentu, telah membantai ribuan kaum Sunni Iraq dan
merampas tanah-tanah wakaf Ahlus Sunnah di Iraq.
Dalam rangka merespons konflik sektarian yang berdarah itu, maka terjadilah upaya-upaya mediasi dunia Islam seperti pertemuan Amman, Makkah dan Bogor.
Dalam rangka merespons konflik sektarian yang berdarah itu, maka terjadilah upaya-upaya mediasi dunia Islam seperti pertemuan Amman, Makkah dan Bogor.
Bukti bahwa Risalah Amman 2005 itu sekedar basa-basi politis (bukan
fatwa keagamaan) dan tidak mengikat seluruh ulama yang hadir, adalah fakta
Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi yang ikut tercantum namanya (diundang dan
menandatangani Risalah Amman) ternyata merilis tiga fatwa tentang Syiah
Imamiyah 12 di dalam kitab “Fatawa Mu’ashirah” jilid 4 yang
terbit pada tahun 2009.
Dalam fatwanya, beliau membongkar kesesatan Syiah
Imamiyah 12 dengan membentangkan pokok-pokok perbedaan akidah antara Ahlus
Sunnah dan Syiah, hukum mencaci para sahabat Nabi dan sikapnya tentang
pendekatan (Taqrib) sunni-syiah pasca Muktamar Doha-Qatar tanggal 20-22 Januari
2007.
Tampak dari fatwa Syeikh Al-Qaradhawi (2009) bahwa kaum
Syiah masih dikategorikan Muslim (seperti yang dinyatakan oleh Risalah Amman),
tapi itu tidak berarti golongan Muslim tersebut bersih dan terbebas dari
kesesatan terutama dalah hal-hal pokok akidah sebagaimana dijelaskan panjang
lebar oleh Qaradhawi.
Tentu saja Syeikh Al-Qaradhawi lebih alim dan mumpuni
dari pada Jalaludin Rakhmat, sehingga mampu bedakan mana kekufuran dan
kesesatan. Sehingga wajar para ulama MUI Jatim dan KH. Ma’ruf Amin juga merasa
tak perlu menengok Risalah Amman yang terbukti bukan Ijma Ulama itu.
Ada baiknya kita mengaca kepada sikap institusi Al-Azhar
Mesir dalam menyikapi dakwah Syiah. Grand Syeikh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad
At-Thayyib, menyatakan seperti di lansir Koran Ahram (09/11/2012)
bahwa Al-Azhar menolak keras penyebaran ajaran syiah di negeri-negeri Ahlus
Sunnah, karena akan merongrong persatuan dunia Islam, mengancam stabilitas,
memecah belah umat dan membuka peluang kepada zionisme untuk menimbulkan
isu-isu perselisihan mazhab di Negara-negara Islam. Wallahua’lam.*
Penulis adalah Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI
Red: Cholis Akbar/ hidayatullah.com, Rabu, 14 November
2012
Ilustrasi islamic-defenders
(nahimunkar.com)