[Plus
Download Audio]
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسانٍ إلى يوم الدين.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
فإن أصدقَ الحديث كتاب الله وخيرَ الهدي هديُ محمد صلى الله عليه وسلم وشرَّ الأمور محدثاتها وكلَّ محدثة بدعة وكلَّ بدعة ضلالة وكلَّ ضلالة في النار، أما بعد ؛
Pertama dan utama sekali
kita ucapkan puji syukur kepada Allah subhaanahu
wa ta’ala, yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita, sehingga pada kesempatan yang
sangat berbahagia ini kita dapat berkumpul dalam rangka menambah wawasan
keagamaan kita sebagai salah satu bentuk aktivitas ‘ubudiyah kita kepada-Nya.
Kemudian salawat beserta salam buat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah bersusah payah memperjuangkan agama yang kita cintai ini,
untuk demi tegaknya kalimat tauhid di permukaan bumi ini, begitu pula untuk
para keluarga dan sahabat beliau beserta orang-orang yang setia berpegang teguh
dengan ajaran beliau sampai hari kemudian.
Selanjutnya tak lupa ucapan
terima kasih kami aturkan untuk para panitia yang telah memberi kesempatan dan
mempercayakan kepada kami untuk berbicara di hadapan para hadirin semua pada
kesempatan ini, serta telah menggagas untuk terlaksananya acara tabliq akbar
ini dengan segala daya dan upaya semoga Allah menjadikan amalan mereka tercatat
sebagai amal saleh di hari kiamat kelak, amiin ya Rabbal ‘alamiin.
Dalam kesempatan yang penuh
berkah ini, panitia telah mempercayakan kepada kami untuk berbicara dengan
topik: Apa Wahabi Itu?, semoga Allah memberikan taufik dan inayah-Nya kepada kami dalam
mengulas topik tersebut.
Pertanyaan yang amat singkat
di atas membutuhkan jawaban yang cukup panjang, jawaban tersebut akan tersimpul
dalam beberapa poin berikut ini:
Keadaan yang melatar
belakangi munculnya tuduhan wahabi.
Kepada siapa ditujukan
tuduhan wahabi tersebut diarahkan?.
Pokok-pokok landasan dakwah
yang dicap sebagai wahabi.
Bukti kebohongan tuduhan
wahabi terhadap dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Ringkasan dan penutup.
Keadaan yang Melatar
Belakangi Munculnya Tuduhan Wahabi
Para hadirin yang kami
hormati, dengan melihat gambaran sekilas tentang keadaan Jazirah Arab serta
negeri sekitarnya, kita akan tahu sebab munculnya tuduhan tersebut, sekaligus
kita akan mengerti apa yang melatarbelakanginya. Yang ingin kita tinjau di sini
adalah dari aspek politik dan keagamaan secara umum, aspek aqidah secara
khusus.
Dari segi aspek politik
Jazirah Arab berada di bawah kekuasaan yang terpecah-pecah, terlebih khusus
daerah Nejd, perebutan kekuasaan selalu terjadi di sepanjang waktu, sehingga
hal tersebut sangat berdampak negatif untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan
agama.
Para penguasa hidup dengan
memungut upeti dari rakyat jelata, jadi mereka sangat marah bila ada kekuatan
atau dakwah yang dapat akan menggoyang kekuasaan mereka, begitu pula dari
kalangan para tokoh adat dan agama yang biasa memungut iuran dari pengikut
mereka, akan kehilangan objek jika pengikut mereka mengerti tentang aqidah dan
agama dengan benar, dari sini mereka sangat hati-hati bila ada seseorang yang
mencoba memberi pengertian kepada umat tentang aqidah atau agama yang benar.
Dari segi aspek agama, pada
abad (12 H / 17 M) keadaan beragama umat Islam sudah sangat jauh menyimpang
dari kemurnian Islam itu sendiri, terutama dalam aspek aqidah, banyak sekali di
sana sini praktek-praktek syirik atau bid’ah, para ulama yang ada bukan berarti
tidak mengingkari hal tersebut, tapi usaha mereka hanya sebatas lingkungan
mereka saja dan tidak berpengaruh secara luas, atau hilang ditelan oleh arus
gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang karena jumlah mereka yang
begitu banyak di samping pengaruh kuat dari tokoh-tokoh masyarakat yang
mendukung praktek-praktek syirik dan bid’ah tersebut demi kelanggengan pengaruh
mereka atau karena mencari kepentingan duniawi di belakang itu, sebagaimana
keadaan seperti ini masih kita saksikan di tengah-tengah sebagian umat Islam,
barangkali negara kita masih dalam proses ini, di mana aliran-aliran sesat
dijadikan segi batu loncatan untuk mencapai pengaruh politik.
Pada saat itu di Nejd sebagai
tempat kelahiran sang pengibar bendera tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
sangat menonjol hal tersebut. Disebutkan oleh penulis sejarah dan penulis
biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, bahwa di masa itu pengaruh keagamaan
melemah di dalam tubuh kaum muslimin sehingga tersebarlah berbagai bentuk
maksiat, khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya. Karena ilmu agama mulai
minim di kalangan kebanyakan kaum muslimin, sehingga praktek-praktek syirik
terjadi di sana sini seperti meminta ke kuburan wali-wali, atau meminta ke
batu-batu dan pepohonan dengan memberikan sesajian, atau mempercayai dukun,
tukang tenung dan peramal. Salah satu daerah di Nejd, namanya kampung
Jubailiyah di situ terdapat kuburan sahabat Zaid bin Khaththab (saudara Umar
bin Khaththab) yang syahid dalam perperangan melawan Musailamah Al Kadzab,
manusia berbondong-bondong ke sana untuk meminta berkah, untuk meminta berbagai
hajat, begitu pula di kampung ‘Uyainah terdapat pula sebuah pohon yang
diagungkan, para manusia juga mencari berkah ke situ, termasuk para kaum wanita
yang belum juga mendapatkan pasangan hidup meminta ke sana.
Adapun daerah Hijaz (Mekkah
dan Madinah) sekalipun tersebarnya ilmu dikarenakan keberadaan dua kota suci
yang selalu dikunjungi oleh para ulama dan penuntut ilmu. Di sini tersebar
kebiasaan suka bersumpah dengan selain Allah, menembok serta membangun
kubah-kubah di atas kuburan serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan
atau untuk menolak mara bahaya dsb (lihat pembahasan ini dalam kitab Raudhatul Afkar karangan Ibnu
Qhanim). Begitu pula halnya dengan negeri-negeri sekitar hijaz, apalagi negeri
yang jauh dari dua kota suci tersebut, ditambah lagi kurangnya ulama, tentu
akan lebih memprihatinkan lagi dari apa yang terjadi di Jazirah Arab.
Hal ini disebut Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya al-Qawa’id
Arba’: “Sesungguhnya kesyirikan
pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang lalu, kesyirikan umat
yang lalu hanya pada waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat
menghadapi bahaya, sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap
waktu, baik di saat aman apalagi saat mendapat bahaya.” Dalilnya firman Allah:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka menaiki
kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama padanya, maka
tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, seketika mereka kembali
berbuat syirik.” (QS. al-Ankabut: 65)
Dalam ayat ini Allah
terangkan bahwa mereka ketika berada dalam ancaman bencana yaitu tenggelam
dalam lautan, mereka berdoa hanya semata kepada Allah dan melupakan berhala
atau sesembahan mereka baik dari orang sholeh, batu dan pepohonan, namun saat
mereka telah selamat sampai di daratan mereka kembali berbuat syirik. Tetapi
pada zaman sekarang orang melakukan syirik dalam setiap saat.
Dalam keadaan seperti di
atas Allah membuka sebab untuk kembalinya kaum muslimin kepada Agama yang
benar, bersih dari kesyirikan dan bid’ah.
Sebagaimana yang telah
disebutkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
« إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا »
“Sesungguhnya Allah mengutus
untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang memperbaharui
untuk umat ini agamanya.” (HR. Abu Daud no. 4291, Al
Hakim no. 8592)
Pada abad (12 H / 17 M)
lahirlah seorang pembaharu di negeri Nejd, yaitu: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Dari Kabilah Bani Tamim.
Yang pernah mendapat pujian
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam sabda beliau: “Bahwa mereka (yaitu Bani Tamim) adalah umatku yang terkuat
dalam menentang Dajjal.” (HR. Bukhari
no. 2405, Muslim no. 2525)
tepatnya tahun 1115 H di
‘Uyainah di salah satu perkampungan daerah Riyadh. Beliau lahir dalam
lingkungan keluarga ulama, kakek dan bapak beliau merupakan ulama yang
terkemuka di negeri Nejd, belum berumur sepuluh tahun beliau telah hafal
al-Qur’an, ia memulai pertualangan ilmunya dari ayah kandungnya dan pamannya,
dengan modal kecerdasan dan ditopang oleh semangat yang tinggi beliau
berpetualang ke berbagai daerah tetangga untuk menuntut ilmu seperti daerah
Basrah dan Hijaz, sebagaimana lazimnya kebiasaan para ulama dahulu yang mana
mereka membekali diri mereka dengan ilmu yang matang sebelum turun ke medan
dakwah.
Hal ini juga disebut oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya Ushul
Tsalatsah: “Ketahuilah semoga Allah
merahmatimu, sesungguhnya wajib atas kita untuk mengenal empat masalah; pertama
Ilmu yaitu mengenal Allah, mengenal nabinya, mengenal agama Islam dengan
dalil-dalil”. Kemudian beliau sebutkan dalil tentang pentingnya ilmu sebelum
beramal dan berdakwah, beliau sebutkan ungkapan Imam Bukhari: “Bab berilmu
sebelum berbicara dan beramal, dalilnya firman Allah yang berbunyi:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Ketahuilah sesungguhnya
tiada yang berhak disembah kecuali Allah dan minta ampunlah atas dosamu.” Maka dalam ayat ini Allah
memulai dengan perintah ilmu sebelum berbicara dan beramal”.
Setelah beliau kembali dari
pertualangan ilmu, beliau mulai berdakwah di kampung Huraimilak di mana ayah
kandung beliau menjadi Qadhi (hakim). Selain berdakwah, beliau tetap menimba
ilmu dari ayah beliau sendiri, setelah ayah beliau meninggal tahun 1153, beliau
semakin gencar mendakwahkan tauhid, ternyata kondisi dan situasi di Huraimilak
kurang menguntungkan untuk dakwah, selanjut beliau berpindah ke ‘Uyainah,
ternyata penguasa ‘Uyainah saat itu memberikan dukungan dan bantuan untuk
dakwah yang beliau bawa, namun akhirnya penguasa ‘Uyainah mendapat tekanan dari
berbagai pihak, akhirnya beliau berpindah lagi dari ‘Uyainah ke Dir’iyah,
ternyata masyarakat Dir’iyah telah banyak mendengar tentang dakwah beliau
melalui murid-murid beliau, termasuk sebagian di antara murid beliau keluarga
penguasa Dir’iyah, akhirnya timbul inisiatif dari sebagian dari murid beliau
untuk memberi tahu pemimpin Dir’yah tentang kedatangan beliau, maka dengan
rendah hati Muhammad bin Saud sebagai pemimpin Dir’iyah waktu itu mendatangi
tempat di mana Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menumpang, maka di situ
terjalinlah perjanjian yang penuh berkah bahwa di antara keduanya berjanji akan
bekerja sama dalam menegakkan agama Allah. Dengan mendengar adanya perjanjian
tersebut mulailah musuh-musuh Aqidah kebakaran jenggot, sehingga mereka berusaha
dengan berbagai dalih untuk menjatuhkan kekuasaan Muhammad bin Saud, dan
menyiksa orang-orang yang pro terhadap dakwah tauhid.
Kepada Siapa Dituduhkan
Gelar Wahabi Tersebut
Karena hari demi hari dakwah
tauhid semakin tersebar mereka para musuh dakwah tidak mampu lagi untuk melawan
dengan kekuatan, maka mereka berpindah arah dengan memfitnah dan menyebarkan
isu-isu bohong supaya mendapat dukungan dari pihak lain untuk menghambat laju
dakwah tauhid tersebut. Diantar fitnah yang tersebar adalah sebutan wahabi
untuk orang yang mengajak kepada tauhid. Sebagaimana lazimnya setiap penyeru
kepada kebenaran pasti akan menghadapi berbagai tantangan dan onak duri dalam
menelapaki perjalanan dakwah.
Sebagaimana telah dijelaskan
pula oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab beliau Kasyfus Syubuhaat: “Ketahuilah
olehmu, bahwa sesungguhnya di antara hikmah Allah subhaanahu wa ta’ala, tidak diutus
seorang nabi pun dengan tauhid ini, melainkan Allah menjadikan baginya
musuh-musuh, sebagaimana firman Allah:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
“Demikianlah Kami jadikan
bagi setiap Nabi itu musuh (yaitu) setan dari jenis manusia dan jin, sebagian
mereka membisikkan kepada bagian yang lain perkataan indah sebagai tipuan.” (QS. al-An-’am: 112)
Bila kita membaca sejarah
para nabi tidak seorang pun di antara mereka yang tidak menghadapi tantangan
dari kaumnya, bahkan di antara mereka ada yang dibunuh, termasuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dari tanah kelahirannya, beliau dituduh sebagai orang gila,
sebagai tukang sihir dan penyair, begitu pula pera ulama yang mengajak kepada
ajarannya dalam sepanjang masa. Ada yang dibunuh, dipenjarakan, disiksa, dan sebagainya.
Atau dituduh dengan tuduhan yang bukan-bukan untuk memojokkan mereka di hadapan
manusia, supaya orang lari dari kebenaran yang mereka serukan.
Hal ini pula yang dihadapi
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam lanjutan
surat beliau kepada penduduk Qashim: “Kemudian tidak tersembunyi lagi atas
kalian, saya mendengar bahwa surat Sulaiman bin Suhaim (seorang penentang
dakwah tauhid) telah sampai kepada kalian, lalu sebagian di antara kalian ada
yang percaya terhadap tuduhan-tuduhan bohong yang ia tulis, yang mana saya
sendiri tidak pernah mengucapkannya, bahkan tidak pernah terlintas dalam
ingatanku, seperti tuduhannya:
Bahwa saya mengingkari
kitab-kitab mazhab yang empat.
Bahwa saya mengatakan bahwa
manusia semenjak enam ratus tahun lalu sudah tidak lagi memiliki ilmu.
Bahwa saya mengaku sebagai
mujtahid.
Bahwa saya mengatakan bahwa
perbedaan pendapat antara ulama adalah bencana.
Bahwa saya mengkafirkan
orang yang bertawassul dengan orang-orang saleh (yang masih hidup -ed).
Bahwa saya pernah berkata;
jika saya mampu saya akan runtuhkan kubah yang ada di atas kuburan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bahwa saya pernah berkata,
jika saya mampu saya akan ganti pancuran ka’bah dengan pancuran kayu.
Bahwa saya mengharamkan
ziarah kubur.
Bahwa saya mengkafirkan
orang bersumpah dengan selain Allah.
Jawaban saya untuk
tuduhan-tuduhan ini adalah: sesungguhnya ini semua adalah suatu kebohongan yang
nyata. Lalu beliau tutup dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang
beriman jika orang fasik datang kepada kamu membawa sebuah berita maka
telitilah, agar kalian tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan.” (QS. al-Hujuraat: 6) (baca
jawaban untuk berbagai tuduhan di atas dalam kitab-kitab berikut, 1. Mas’ud
an-Nadawy, Muhammad bin Abdul
Wahab Muslih Mazlum, 2. Abdul Aziz Abdul
Lathif, Da’awy Munaawi-iin
li Dakwah Muhammad bin Abdil Wahab, 3. Sholeh
Fauzan, Min A’laam Al
Mujaddidiin, dan kitab lainnya)
Pokok-Pokok Landasan Dakwah
yang Dicap Sebagai Wahabi
Pokok landasan dakwah yang
utama sekali beliau tegakkan adalah pemurnian ajaran tauhid dari berbagai
campuran syirik dan bid’ah, terutama dalam mengkultuskan para wali, dan kuburan
mereka, hal ini akan nampak jelas bagi orang yang membaca kitab-kitab beliau,
begitu pula surat-surat beliau (lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam
kita Majmu’ Muallafaat Syeikh Muhammad bin
Abdul Wahab, jilid 3).
Dalam sebuah surat beliau
kepada penduduk Qashim, beliau paparkan aqidah beliau dengan jelas dan
gamblang, ringkasannya sebagaimana berikut: “Saya bersaksi kepada Allah dan
kepada para malaikat yang hadir di sampingku serta kepada anda semua:
Saya bersaksi bahwa saya
berkeyakinan sesuai dengan keyakinan golongan yang selamat yaitu Ahlus Sunnah
wal Jama’ah, dari beriman kepada Allah dan kepada para malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, kepada hari berbangkit setelah mati, kepada
takdir baik dan buruk.
Termasuk dalam beriman
kepada Allah adalah beriman dengan sifat-sifat-Nya yang terdapat dalam
kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya tanpa tahriif (mengubah pengertiannya) dan tidak
pula ta’tiil (mengingkarinya). Saya berkeyakinan bahwa tiada satupun yang
menyerupai-Nya. Dan Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Dari ungkapan
beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menyerupakan Allah
dengan makhluk (Musabbihah atau Mujassimah))
Saya berkeyakinan bahwa
al-Qur’an itu adalah kalamullah yang diturunkan, ia bukan makhluk, datang dari
Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Saya beriman bahwa Allah itu
berbuat terhadap segala apa yang dikehendaki-Nya, tidak satupun yang terjadi
kecuali atas kehendak-Nya, tiada satupun yang keluar dari kehendak-Nya.
Saya beriman dengan segala
perkara yang diberitakan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallamtentang apa yang akan
terjadi setelah mati, saya beriman dengan azab dan nikmat kubur, tentang akan
dipertemukannya kembali antara ruh dan jasad, kemudian manusia dibangkit
menghadap Sang Pencipta sekalian alam, dalam keadaan tanpa sandal dan pakaian,
serta dalam keadaan tidak bekhitan, matahari sangat dekat dengan mereka, lalu
amalan manusia akan ditimbang, serta catatan amalan mereka akan diberikan
kepada masing-masing mereka, sebagian mengambilnya dengan tangan kanan dan
sebagian yang lain dengan tangan kiri.
Saya beriman dengan telaga
Nabi kita Muhammadshallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Saya beriman dengan shirat
(jembatan) yang terbentang di atas neraka Jahanam, manusia melewatinya sesuai
dengan amalan mereka masing-masing.
Saya beriman dengan syafa’at
Nabi kita Muhammadshallallahu ‘alaihi wa
sallam, bahwa Dia adalah orang
pertama sekali memberi syafa’at, orang yang mengingkari syafa’at adalah
termasuk pelaku bid’ah dan sesat. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan
bohong bahwa beliau orang yang mengingkari syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Saya beriman dengan surga
dan neraka, dan keduanya telah ada sekarang, serta keduanya tidak akan sirna.
Saya beriman bahwa orang
mukmin akan melihat Allah dalam surga kelak.
Saya beriman bahwa Nabi kita
Muhammadshallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah penutup segala nabi dan rasul, tidak sah iman seseorang sampai ia
beriman dengan kenabiannya dan kerasulannya. (Dari ungkapan beliau ini
terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengaku sebagai nabi atau
tidak memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. bahkan beliau mengarang
sebuah kitab tentang sejarah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan judul Mukhtashar sirah Ar Rasul, bukankah ini
suatu bukti tentang kecintaan beliau kepada Rasulshallallahu ‘alaihi wa sallam.)
Saya mencintai para sahabat
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para keluarga beliau, saya memuji mereka, dan mendoakan
semoga Allah meridhai mereka, saya menutup mulut dari membicarakan kejelekan
dan perselisihan yang terjadi antara mereka.
Saya mengakui karamah para
wali Allah, tetapi apa yang menjadi hak Allah tidak boleh diberikan kepada
mereka, tidak boleh meminta kepada mereka sesuatu yang tidak mampu melakukannya
kecuali Allah. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau
orang yang mengingkari karamah atau tidak menghormati para wali)
Saya tidak mengkafirkan
seorang pun dari kalangan muslim yang melakukan dosa, dan tidak pula menguarkan
mereka dari lingkaran Islam. (dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong
bahwa beliau mengkafirkan kaum muslimin, atau berfaham khawarij, baca juga Manhaj syeikh Muhammad bin Abdul Wahab fi masalah at takfiir, karangan Ahmad Ar Rudhaiman)
Saya berpandangan tentang
wajibnya taat kepada para pemimpin kaum muslimin, baik yang berlaku adil maupun
yang berbuat zalim, selama mereka tidak menyuruh kepada perbuatan maksiat. (dari
ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menganut
faham khawarij (teroris))
Saya berpandangan tentang
wajibnya menjauhi para pelaku bid’ah, sampai ia bertaubat kepada Allah, saya
menilai mereka secara lahir, adapun amalan hati mereka saya serahkan kepada
Allah.
Saya berkeyakinan bahwa iman
itu terdiri dari perkataan dengan lidah, perbuatan dengan anggota tubuh dan
pengakuan dengan hati, ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan
kemaksiatan.
Bukti Kebohongan Tuduhan Wahabi
Tehadap Dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah
Dengan membandingkan antara
tuduhan-tuduhan sebelumnya dengan aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang
kita sebutkan di atas, tentu dengan sendirinya kita akan mengetahui kebohongan
tuduhan-tuduhan tersebut.
Tuduhan-tuduhan bohong
tersebut disebar luaskan oleh musuh dakwah Ahluss sunnah ke berbagai negeri
Islam, sampai pada masa sekarang ini, masih banyak orang tertipu dengan
kebohongan tersebut. sekalipun telah terbukti kebohongannya, bahkan seluruh
karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membantah tuduhan tersebut.
Kita ambil contoh kecil saja
dalam kitab beliau “Ushul Tsalatsah” kitab yang kecil sekali, tapi penuh dengan mutiara ilmu, beliau mulai
dengan menyebutkan perkataan Imam Syafi’i, kemudian di pertengahannya beliau
sebutkan perkataan Ibnu Katsir yang bermazhab syafi’i jika beliau tidak
mencintai para imam mazhab yang empat atau hanya berpegang dengan mazhab
Hambali saja, mana mungkin beliau akan menyebutkan perkataan mereka tersebut.
Bahkan beliau dalam salah
satu surat beliau kepada salah seorang kepala suku di daerah Syam berkata:
“Saya katakan kepada orang yang menentangku, sesungguhnya yang wajib atas
manusia adalah mengikuti apa yang diwasiatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bacalah buku-buku yang terdapat pada kalian, jangan kalian ambil
dari ucapanku sedikitpun, tetapi apabila kalian telah mengetahui perkataan
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam kitab kalian tersebut maka ikutilah, sekalipun
kebanyakan manusia menentangnya.” (lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau
dalam kitab Majmu’ Muallafaat
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, jilid 3)
Dalam ungkapan beliau di
atas jelas sekali bahwa beliau tidak mengajak manusia kepada pendapat beliau,
tetapi mengajak untuk mengikuti ajaran Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Para ulama dari berbagai
negeri Islam pun membantah tuduhan-tuduhan bohong tersebut setelah mereka
melihat secara nyata dakwah yang beliau tegakkan, seperti dari daerah Yaman
Imam Asy Syaukani dan Imam As Shan’any, dari India Syekh Mas’ud An-Nadawy, dari
Irak Syaikh Muahmmad Syukri Al Alusy.
Syaikh Muhammad Syukri Al
Alusy berkata setelah beliau menyebutkan berbagai tuduhan bohong yang disebar
oleh musuh-musuh terhadap dakwah tauhid dan pengikutnya: “Seluruh tuduhan
tersebut adalah kebohongan, fitnah dan dusta semata dari musuh-musuh mereka,
dari golongan pelaku bid’ah dan kesesatan, bahkan kenyataannya seluruh
perkataan dan perbuatan serta buku-buku mereka menyanggah tuduhan itu semua.”
(al Alusy, Tarikh Nejd, hal: 40)
Begitu pula Syaikh Mas’ud
An-Nadawy dari India berkata: “Sesungguhnya kebohongan yang amat nyata yang
dituduhkan terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah
penamaannya dengan wahabi, tetapi orang-orang yang rakus berusaha mempolitisir
nama tersebut sebagai agama di luar Islam, lalu Inggris dan turki serta Mesir
bersatu untuk menjadikannya sebagai lambang yang menakutkan, yang mana setiap
muncul kebangkitan Islam di berbagai negeri, lalu orang-orang Eropa melihat
akan membahayakan mereka, mereka lalu menghubungkannya dengan wahabi, sekalipun
keduanya saling bertentangan.” (Muhammad bin Abdul Wahab
Mushlih Mazhluum, hal: 165)
Begitu pula Raja Abdul Aziz
dalam sebuah pidato yang beliau sampaikan di kota Makkah di hadapan jamaah haji
tgl 11 Mei 1929 M dengan judul “Inilah Aqidah Kami”: “Mereka menamakan kami
sebagai orang-orang wahabi, mereka menamakan mazhab kami wahabi, dengan
anggapan sebagai mazhab khusus, ini adalah kesalahan yang amat keji, muncul
dari isu-isu bohong yang disebarkan oleh orang-orang yang mempunyai tujuan
tertentu, dan kami bukanlah pengikut mazhab dan aqidah baru, Muhammad bin Abdul
Wahab tidak membawa sesuatu yang baru, aqidah kami adalah aqidah salafus
sholeh, yaitu yang terdapat dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, serta apa
yang menjadi pegangan salafus sholeh. Kami memuliakan imam-imam yang empat,
kami tidak membeda-bedakan antara imam-imam; Malik, Syafi’i , Ahmad dan Abu
Hanifah, seluruh mereka adalah orang-orang yang dihormati dalam pandangan kami,
sekalipun kami dalam masalah fikih berpegang dengan mazhab hambaly.” (al Wajiz fi Sirah Malik Abdul Aziz, hal: 216)
Dari sini terbukti lagi
kebohongan dan propaganda yang dibuat oleh musuh Islam dan musuh dakwah
Ahlussunnah bahwa teroris diciptakan oleh wahabi. Karena seluruh buku-buku
aqidah yang menjadi pegangan di kampus-kampus tidak pernah luput dari
membongkar kesesatan teroris (Khawarij dan Mu’tazilah). Begitu pula tuduhan
bahwa Mereka tidak menghormati para wali Allah atau dianggap membikin mazhab
yang kelima. Pada kenyataannya semua buku-buku yang dipelajari dalam seluruh
jenjang pendidikan adalah buku-buku para wali Allah dari berbagai mazhab.
Pembicara sebutkan di sini buku-buku yang menjadi panduan di Universitas Islam
Madinah.
Untuk mata kuliah Aqidah:
kitab “Syarah Aqidah Thawiyah” karangan Ibnu Abdil ‘iz Al Hanafi, “Fathul
Majiid” karangan Abdurahman bin
Hasan Al hambaly. Ditambah sebagai penunjang, “Al
Ibaanah“ karangan Imam Abu Hasan Al
Asy’ari, “Al Hujjah” karangan Al Ashfahany Asy Syafi’i, “Asy
Syari’ah” karangan Al Ajurry, Kitab “At Tauhid” karangan Ibnu
Khuzaimah, Kitab “At Tauhid” karangan Ibnu Mandah, dll.
Untuk mata kuliyah Tafsir: Tafsir Ibnu Katsir Asy Syafi’i, Tafsir Asy Syaukany. Ditambah sebagai penunjang: Tafsir
At Thobary, Tafsir Al Qurtuby Al Maliky, Tafsir Al Baghawy As Syafi’i, dan lainnya.
Untuk mata kuliyah Hadits: Kutub As Sittah beserta
Syarahnya seperti: “Fathul Bary” karangan Ibnu Hajar Asy Syafi’i, “Syarah
Shahih Muslim” karangan Imam An Nawawy Asy
Syafi”i, dll.
Untuk mata kuliyah fikih: “Bidayatul Mujtahid”karangan Ibnu
Rusy Al maliky, “Subulus Salam”karangan Ash Shan’any. Ditambah sebagai penunjang: “al Majmu’” karangan Imam
An Nawawy Asy Syafi”i, kitab “Al Mughny” karangan Ibnu Qudamah Al Hambali, dll. Kalau ingin untuk melihat lebih
dekat lagi tentang kitab-kitab yang menjadi panduan mahasiswa di Arab Saudi
silakan berkunjung ke perpustakaan Universitas Islam Madinah atau perpustakaan
mesjid Nabawi, di sana akan terbukti segala kebohongan dan propaganda yang
dibikin oleh musuh Islam dan kelompok yang berseberangan dengan paham
Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tuduhan teroris dan wahabi.
Selanjutnya kami mengajak
para hadirin semua apabila mendengar tuduhan jelek tentang dakwah Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab, atau membaca buku yang menyebarkan tuduhan jelek
tersebut, maka sebaiknya ia meneliti langsung dari buku-buku Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahab atau buku-buku ulama yang seaqidah dengannya, supaya ia
mengetahui tentang kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut, sebagaimana perintah
Allah kepada kita:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang
beriman, bila seorang fasik datang kepadamu membawa sebuah berita maka
telitilah, agar kamu tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan, sehingga kamu
menjadi menyesal terhadap apa yang kamu lakukan.”
Karena buku-buku Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab bisa didapatkan dengan sangat mudah terlebih-lebih
pada musim haji dibagikan secara gratis, di situ akan terbukti bahwa beliau
tidak mengajak kepada mazhab baru atau kepercayaan baru yang menyimpang dari
pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun semata-mata ia mengajak untuk beramal
sesuai dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, sesuai dengan mazhab Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, meneladani Rasulullah dan para sahabatnya serta generasi
terkemuka umat ini, serta menjauhi segala bentuk bid’ah dan khurafat.
Ringkasan Dan Penutup
Ringkasan:
Seorang da’i hendaklah
membekali dirinya dengan ilmu yang cukup sebelum terjun ke medan dakwah.
Seorang da’i hendaklah
memulai dakwah dari tauhid, bukan kepada politik, selama umat tidak beraqidah
benar selama itu pula politik tidak akan stabil.
Seorang da’i hendaklah sabar
dalam menghadapi berbagai rintangan dan tantang dalam menegakkan dakwah.
Seorang da’i yang ikhlas
dalam dakwahnya harus yakin dengan pertolongan Allah, bahwa Allah pasti akan
menolong orang yang menolong agama-Nya.
Tuduhan wahabi adalah tuduhan
yang datang dari musuh dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dengan tujuan untuk
menghalangi orang dari mengikuti dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Muhammad bin Abdul Wahhab
bukanlah sebagai pembawa aliran baru atau ajaran baru, tetapi seorang yang
berpegang teguh dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Perlunya ketelitian dalam
membaca atau mendengar sebuah isu atau tuduhan jelek terhadap seseorang atau
suatu kelompok, terutama merujuk pemikiran seseorang tersebut melalui tulisan
atau karangannya sendiri untuk pembuktian berbagai tuduhan dan isu yang
tersebar tersebut.
Penutup
Sebagai penutup kami mohon
maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan dalam penyampaian materi ini, semua
itu adalah karena keterbatasan ilmu yang kami miliki, semoga apa yang kami
sampaikan ini bermanfaat bagi kami sendiri dan bagi hadirin semua, semoga Allah
memperlihatkan kepada kita yang benar itu adalah benar, kemudian menuntun kita
untuk mengikuti kebenaran itu, dan memperlihatkan kepada kita yang salah itu
adalah salah, dan menjauhkan kita dari mengikuti yang salah itu.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت وأستغفرك وأتوب إليك.
***
*) Penulis adalah Rektor Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam
Syafii, Jember, Jawa Timur
Disampaikan dalam tabligh
Akbar 21 Juli 2005 di kota Jeddah, Saudi Arabia
sumber: http://www.muslim.or.id
Download Kajian Dengan Tema
“Apa Itu Wahhabi?” yang disampaikan oleh Penulis Artikel ini pada link berikut
ini :
Download Juga Tanya Jawab
Bersama Ust. Zainal Abidin dengan tema ini pada link berikut ini
ADA
APA DENGAN “WAHHABI”?
Maret 21, 2011
ADA APA DENGAN
“WAHHABI”?
Oleh : Syaikh Muhammad bin
Jamîl Zain?
Orang-orang biasa menuduh “wahhâbî” kepada
setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid’ah mereka, sekalipun
keperca-yaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Qur`ânul
Karîm dan hadîts-hadîts shahîh. Mereka menentang dakwah
kepada tauhîd dan enggan berdo’a (memohon) hanya kepada Allôh semata.
Suatu kali, di depan seorang
syaikh penulis (Syaikh Jamîl Zain?) membacakan hadîts riwayat Ibnu Abbâs
yang terdapat dalam kitab Al-Arba’în
An-Nawawîyah.hadîts itu berbunyi:
إذا سألتَ فاسأل الله
و إذا استعنت فاستعن بالله ” (رواه الترمذي و قال حديث حسن)
“Jika engkau memohon maka
mohonlah kepada Allôh, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah
pertolongan kep-da Allôh.” (HR.
At-Tirmidzî, ia berkatahadîts hasan
shahîh)
Penulis sungguh kagum
terhadap keterangan Imâm An-Nawawî ketika beliau mengatakan,
“ثم
إن كانت الحاجة التي يسألها ، لم تجر العادة بجريانها على أيدي خلقه ، كطلب
الهداية و العلم .. و شفاء المرض و حصول العافية سأل ربه ذلك ، و أما
سؤال الخلق و الاعتماد عليهم فمذموم“
“Kemudian jika kebutuhan
yang dimintanya –menurut tradisi– di luar batas kemampuan manusia, seperti
meminta hidâyah (petunjuk), ‘ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan maka
hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allôh semata. Dan jika hal-hal di
atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela.”
Lalu kepada syaikh tersebut
penulis katakan, “hadîts ini berikut keterangannya menegaskan tidak
dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allôh.” Ia lalu menyergah,
“Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan!”
Penulis lalu bertanya, “Apa
dalîl anda?” Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi,
“Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa’d!” dan Aku bertanya padanya,
“Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa’d dapat memberi manfaat kepadamu?” Ia menjawab,
“Aku berdo’a (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Allôh,
lalu Allôh menyembuhkanku.”
Lalu penulis berkata,
“Sesungguhnya engkau adalah seorang ‘âlim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk
membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil
‘aqîdah dari bibimu yang bodoh itu.”
Ia lalu berkata, “Pola
pikirmu adalah pola pikir wahhâbî.Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahhâbî.”
Padahal penulis tidak
mengenal sedikitpun tentangwahhâbî kecuali sekedar penulis
dengar dari para syaikh. Mereka berkata tentang wahhâbî, “Orang-orang wahhâbîadalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak
percaya kepada para wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan
berbagai tuduhan dusta lainnya.”
Jika orang-orang wahhâbî adalah mereka
yang percaya hanya kepada pertolongan Allôh semata, dan percaya yang
menyembuhkan hanyalah Allôh, maka aku wajib mengenal wahhâbî lebih jauh.”
Kemudian penulis tanyakan
jama’ahnya, sehingga penulis mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore
mereka menyelenggarakan pertemuan untuk mengkaji pelajaran tafsîr, hadîts dan fiqih.
Bersama anak-anak penulis
dan sebagian pemuda intelektual, penulis mendatangi majelis mereka. Kami masuk
ke sebuah ruangan yang besar. Sejenak kami menanti, sampai tiada berapa lama
seorang syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada
kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, beliau lalu
duduk di kursi dan tak seorang pun berdiri untuknya. Penulis berkata dalam
hati, “Ini adalah seorang syaikh yang tawâdhu` (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati).”
Lalu syaikh membuka
pelajaran dengan ucapan,
إن الحمد لله نحمد و
نستعينه و نستغفره
“Sesungguhnya segala puji
adalah untuk Allôh. Kepada Allôh kami memuji, memohon pertolongan dan
ampunan…”, dan seterusnya hingga selesai, sebagaimana Ras?lullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallambiasa membuka khutbah dan pelajarannya.
Kemudian syaikh itu memulai
bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau menyampaikanhadîts-hadîts
seraya menjelaskan derajat shahîhnya dan para perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabî, beliau
mengucapkan shalâwat atasnya. Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis
diajukan kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalîl dari Al-Qur`ânul
Karîm dan sunnah Nabî Shallâllâhu ‘alaihi
wa Sallam. Beliau berdiskusi dengan
hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata :
الحمد لله على أننا
مسلمون و سلفيون ، و بعض الناس يقولون إننا وهابيون فهذا تنابز بالألقاب و قد
نهانا الله عن هذا بقوله :
“Segala puji bagi Allôh
bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan salaf. Sebagian orang menuduh kita orang-orang wahhâbî. Ini termasuk tanâbuzun bil alqâb(memanggil dengan panggilan-panggilan yang buruk). Allôh melarang kita
dari hal itu dengan firmanNya,
“ولا تنابزوا بالألقاب” (سورة الحجرات)
“Dan janganlah kamu
panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” (Al-Hujurat: 11)
Dahulu, mereka menuduh Imâm
Asy-Syâfi’î denganrâfidhah. Beliau lalu membantah mereka
dengan mengatakan,
إنْ كان رفضا حبّ آل
محمد فليشهد الثقلان أني رافضي
“Jika râfidah (berarti)
mencintai keluarga Muhammad. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan
bahwa sesungguhnya aku adalah rafidhah.”
Maka, kita juga membantah
orang-orang yang menuduh kita wahhâbî, dengan ucapan salah seorang penyair,
إنْ كان تابعُ أحمدٍ
مُتوهِّبا فأنا المقِرُّ بأنني وهّابي
“Jika pengikut Ahmad
adalah wahhâbî. Maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku wahhâbî.”
Ketika pelajaran usai, kami
keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh
‘ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka
berkata, هذا هو الشيخ الحقيقي !!! “Inilah syaikh yang sesungguhnya!”
PENGERTIAN WAHHABI
Musuh-musuh tauhîd
memberi gelar wahhâbî kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allôh), sebagai nisbat kepada Muhammad bin
Abdul Wahhâb, Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan“محمدي” Muhammadî nisbat
kepada namanya yaitu Muhammad. Betapapun begitu, ternyata Allôh
menghendaki namawahhâbî sebagai nisbat kepada “الوهاب” Al-Wahhâb(Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allôh yang paling
baik (Asmâ’ul Husnâ).
Jika shufi menisbatkan namanya kepada
jama’ah yang memakai shuf (kain wol) maka sesungguhnya wahhâbîmenisbatkan diri mereka dengan Al-Wahhâb (Yang Maha Pemberi), yaitu Allôh yang memberikan tauhîd dan
meneguhkannya untuk berdakwah kepada tauhîd.
MUHAMMAD BIN ABDUL
WAHHAB
Beliau dilahirkan di kota
‘Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Qur`ân sebelum berusia sepuluh
tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hambali, belajar hadîts dan tafsîr kepada para syaikh dari berbagai negeri, terutama di
kota Madînah. Beliau memahami tauhîd dari Al-Kitâb dan As-Sunnah.
Perasaan beliau tersentak setelah menyaksikan apa yang terjadi di negerinya
Nejed dengan negeri-negeri lainnya yang beliau kunjungi berupa kesyirikan,
khurôfât dan bid’ah. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur,
suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.
Ia mendengar banyak wanita
di negerinya ber-tawassuldengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata,
“يا
فحل الفحول أريد زوجا قبل الحول“
“Wahai pohon kurma yang
paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini.”
Di Hijaz, ia melihat
pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabî (ahlul bait), serta
kuburan Ras?lullâhShallâllâhu ‘alaihi wa
Sallam, hal yang sesungguhnya
tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allôh semata.
Di Madînah, ia mendengar
permohonan tolong (istighaatsah) kepada Ras?lullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, serta berdo’a (memohon) kepada selain Allôh, hal yang sungguh
bertentangan dengan Al-Qur`ân dan sabda Ras?lullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Al-Qur`ân menegaskan:
“و
لا تدع من دون الله ما لا ينفعك و لا يضرك فإنْ فعلت فإنك إذا من الظالمين “
“Dan janganlah kamu
menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi madharat
kepadamu selain Allôh, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu,
sesungguh-nya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zh’âlim.” (Yunus: 106)
Zhâlim dalam ayat ini
berarti syirik. Suatu kali, Ras?lullâhShallâllâhu
‘alaihi wa Sallam berkata kepada anak pamannya, Abdullâh bin Abbâs:
“إذا
سألت فاسأل الله و إذا استعنت فاستعن بالله ” (رواه الترمذي و قال حسن صحيح)
“Jika engkau memohon,
mohonlah kepada Allôh, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan
kepada Allôh.” (HR. At-Tirmidzî, ia berkata hasan shahîh)
Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhâb menyeru kaumnya kepada tauhîd dan berdo’a (memohon) kepada
Allôh semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan sedangkan
selain-Nya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari
orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amal
shalihnya, tidak dengan menjadikannya sebagai perantara antara manusia dengan
Allôh, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat bermohon selain daripada
Allôh.
PENENTANGAN ORANG-ORANG
BATIL TERHADAPNYA
Para ahli bid’ah menentang
keras dakwah tauhîd yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhâb. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhîd telah ada sejak
zaman Ras?lullâh Shallâllâhu ‘alaihi
wa SallamShallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Bahkan
mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhîd. Allôh berfirman:
“أجعل الله الآلهم إله واحدا إن هذا لشيء عجاب” (سورة ص)
“Mengapa ia menjadikan
tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal
yang sangat menghe-rankan.” (Shaad: 5)
Musuh-musuh syaikh memulai
perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong
tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar
dak-wahnya terputus dan tak berkelanjutan. Tetapi Allôh Azza wa Jalla menjaganya dan
memberinya penolong, sehingga dakwah tauhîd tersebar luas di Hijaz, dan
di negara-negara Islam lainnya.
Meskipun demikian, hingga
saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita
bohong. Misalnya mereka mengatakan, dia (Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhâb) adalah pembuat madzhab yang kelima, padahal dia adalah seorang penganut
madzhab Hanbalî. Sebagian mereka
mengatakan, orang-orang wahhâbî tidak mencintai Ras?lullâh Shallâllâhu
‘alaihi wa Sallam serta tidak bershalâwat
atasnya. Mereka anti bacaan shalâwat.
Padahal kenyataannya, Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhâb telah menulis kitab ” مختصر سيرة الرسول” “Ringkasan Sejarah Nabî“. Kitab ini bukti sejarah atas
kecintaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb kepada Ras?lullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhâb, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab
(diperhitungkan) pada hari Kiamat. Seandainya mereka mau mempelajari
kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan
Al-Qur`ân, hadîts dan ucapan sahabat
sebagai rujukannya.
Seseorang yang dapat
dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa ada salah seorang ulama yang
memperingatkan dalam pengajian-pengajiannya dari ajaran wahhâbî. Suatu hari,
salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhâb. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama
pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan
kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji
Muhammad bin Abdul Wahhâb.
FITNAH TANDUK SETAN DI NEJED
Dalam sebuah hadîts disebutkan:
“اللهم بارك لنا في شامنا و في يمننا ، قالوا و في نجدنا ، قال : من هنا يطلع قرنُ الشيطان” (رواه البخاري و مسلم)
“Ya Allôh, berilah
keberkahan kepada kami di negeri Syâm, dan di negeri Yaman. Mereka berkata,
‘Dan di negeri Nejed.’ Ras?lullâh berkata, ‘Di sana banyak terjadi berbagai
kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar Al-’Asqalânî dan
ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadîts di atas adalah Nejed Iraq. Hal itu terbukti dengan banyaknya
fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Aliradhiyallâhu ‘anhu dibunuh.
Hal ini berbeda dengan
anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hijaz, kota
yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi di Iraq.
Bahkan sebaliknya, yang tampak di Nejed Hijaz adalah tauhîd, yang
karenanya Allôh menciptakan alam, dan karenanya pula Allôh mengutus para rasul.
PUJIAN ULAMA TERHADAP SYAIKH
Banyak ulama menyebutkan
bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb adalah salah seorang mujaddid(pembaharu) abad dua belas
Hijriyah. Mereka menulis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang
menulis buku tentang Syaikh adalah Syaikh ‘Alî Thanthâwî. Beliau menulis buku
tentang سلسلة عن أعلام التاريخ “Silsilah Tokoh-tokoh Sejarah”, di antara mereka terdapat Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhâb dan Ahmad bin ‘Irfân (Mujaddid dari India yang terpengaruh
dengan dakwah Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb).
Dalam buku tersebut beliau
menyebutkan, ‘aqîdah tauhîd sampai ke India dan negeri-negeri lainnya
melalui jama’ah haji dari kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhîd
di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris yang menjajah India ketika itu,
bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi ‘aqîdah tauhîd tersebut.
Hal itu dilakukan karena mereka mengetahui bahwa ‘aqîdah tauhîd akan
menyatukan umat Islam dalam melawan mereka.
Selanjutnya mereka
mengomando kepada kaumMurtaziqah (shufî ahli bid’ah yang zindîq) agar mencemarkan nama baik dakwah
kepada tauhîd. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru
kepada tauhîd dengan kata wahhâbî. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid’ah,
sehingga memalingkan umat Islam dari ‘aqîdah tauhîd yang menyeru agar
umat manusia berdo’a hanya semata-mata kepada Allôh. Orang-orang bodoh itu
tidak mengetahui bahwa kata wahhâbî adalah nisbat kepadaAl-Wahhaab (yang Maha Pemberi), yaitu
salah satu dari Nama-nama Allôh yang paling baik (Asma’ul
Husna)yang memberikan kepadanya
tauhîd dan menjanjikannya masuk Surga.
Artikel abusalma.wordpress.com dipublikasi
ulang oleh abangdani.wordpress.com