AHLUS SUNNAH WAL
JAMA’AH Adalah:
Mereka yang menempuh seperti
apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah ‘Alaihi Asholatu wa Sallam dan para
Shahabatnya Radhiyallahu Ajma’in. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka)
berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para Shahabatnya Radhiyallahu Ajma’in.
As-Sunnah menurut bahasa
adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk[1].
Sedangkan menurut ulama
‘aqidah, as-Sunnah adalah petun-juk yang telah dilakukan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad
(keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah as-Sunnah yang wajib
diikuti, orang yang mengiku-tinya akan dipuji dan orang-orang yang menyalahinya
akan dicela.[2]
Pengertian as-Sunnah menurut
Ibnu Rajab al-Hanbaly Rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang
teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan
perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf
terdahulu tidak menamakan as-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup
ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashry (wafat
th. 110 H), Imam al-Auza’iy (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh
(wafat th. 187 H).” [3]
Disebut al-Jama’ah, karena
mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah belah dalam urusan agama,
berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada)
al-haq/kebenaran, tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang
telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.[4]
Jama’ah menurut ulama
‘aqidah adalah generasi pertama dari umat ini, yaitu kalangan Shahabat, Tabi’in
serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat, karena
berkumpul di atas kebenaran.[5]
Kata Imam Abu Syammah
as-Syafi’i Rahimahullah (wafat th. 665 H): “Perintah
untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya ialah ber-pegang kepada kebenaran dan
mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang
menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah
yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamj
dan para Shahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang
(melakukan kebathilan) sesudah mereka.”
Sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu[6]:
“ Artinya : Al-Jama’ah
adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.” [7]
Jadi, Ahlus Sunnah wal
Jama’ah adalah orang yang mem-punyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah
dalam agama.
Karena mereka adalah
orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga
disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka
juga dikatakan sebagai ath-Thaifah al-Manshuurah (golongan yang mendapatkan
pertolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghuraba’
(orang asing).
Tentang at-Thaifah
al-Manshuurah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Senantiasa ada
segolongan dari umatku yang selalu dalam kebenaran menegakkan perintah Allah,
tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolongnya dan orang yang
menye-lisihinya sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang
demikian itu.” [8]
Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Islam awalnya
asing, dan kelak akan kembali asing sebagai-mana awalnya, maka beruntunglah
bagi al-Ghuraba’ (orang-orang asing).” [9]
Sedangkan makna al-Ghuraba’
adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash
Radhiyallahu ‘anhu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari
menerangkan tentang makna dari al-Ghuraba’, beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Artinya : Orang-orang yang
shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, orang yang
mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya.” [10]
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghuraba’:
“Artinya : Yaitu,
orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya
manusia.” [11]
Dalam riwayat yang lain
disebutkan: “Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.” [12]
Ahlus Sunnah, at-Thaifah
al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits.
Penyebutan Ahlus Sunnah, at-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan
Ahlul Hadist suatu hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena
penyebutan itu merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas
yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti,
‘Abdullah Ibnul Mubarak, ‘Ali Ibnul Madiiny, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhary,
Ahmad bin Sinan dan yang lainnya, Rahimahullah[13].
Imam asy-Syafi’i [14] (wafat
th. 204 H) Rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat
seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari Shahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang
terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita dan
wajib atas kita berterima kasih atas usaha mereka.”[15]
Imam Ibnu Hazm az-Zhahiri
(wafat th. 456 H) menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah, “Ahlus Sunnah yang kami
sebutkan itu adalah Ahlul Haq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah.
Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Shahabat Radhiyallahu Ajma’in
dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih,
kemudian Ash-habul Hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap
generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka
baik di timur maupun di barat.” [16]
[Disalin dari kitab Syarah
Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir
1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lisanul ‘Arab (VI/399).
[2]. Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah (hal. 16).
[3]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam (hal. 495) oleh Ibnu Rajab, tahqiq dan ta’liq
Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, cet. II, Daar Ibnul Jauzy, th. 1420 H.
[4]. Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah.
[5]. Syarah Khalil Hirras, hal. 61.
[6]. Seorang Shahabat Nabi j, nama lengkapnya ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil
bin Habib al-Hadzali, Abu ‘Abdirrahman, pimpinan Bani Zahrah. Beliau masuk
Islam pada awal-awal Islam di Makkah, yaitu ketika Sa’id bin Zaid dan isterinya,
Fathimah bintu Khaththab, masuk Islam. Beliau melakukan dua kali hijrah,
mengalami shalat di dua kiblat, ikut serta dalam perang Badar dan perang
lainnya. Beliau termasuk orang yang paling ‘alim tentang al-Qur-an dan
tafsirnya sebagai-mana telah diakui oleh Nabi diakui oleh Nabi. Beliau dikirim
oleh ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu ke Kufah untuk mengajar kaum
muslimin dan diutus oleh ‘Utsman ke Madinah. Beliau Radhiyallahu ‘anhu wafat
tahun 32 H. Lihat al-Ishaabah (II/368 no. 4954).
[7]. Al-Baa’its ‘alaa Inkaaril Bida’ wal Hawaadits hal. 91-92, tahqiq oleh
Syaikh Masyhur bin Hasan Salman, Syarah Ushuulil I’tiqaad karya al-Laalika-iy
no. 160.
[8]. HR. Al-Bukhari (no.
3641) dan Muslim (no. 1037 (174)), dari Shahabat Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu.
[9]. HR. Muslim no. 145 dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[10]. HR. Ahmad (II/177, 222), Ibnu Wadhdhah no. 168. Hadits ini dishahihkan
oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad (VI/207 no. 6650).
Lihat juga Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajas Salaf hal.
125.
[11]. HR. Abu Ja’far ath-Thahawy dalam Syarah Musykilul Atsaar (II/170 no.
689), al-Laalika-iy dalam Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah no. 173 dari
Shabahat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini shahih li ghairihi
karena ada beberapa syawahidnya. Lihat Syarah Musykiilul Atsaar (II/170-171)
dan Silsilah Ahaadits as-Shahiihah no. 1273.
[12]. HR. At-Tirmidzi no. 2630, beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari
Shabahat ‘Amr bin ‘Auf Radhiyallahu ‘anhu.
[13]. Sunan at-Tirmidzi, Kitaabul Fitan no. 2229. Lihat Silsilah Ahaadits
ash-Shahiihah karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany Rahimahullah (I/539 no.
270) dan Ahlul Hadits Humuth Thaifah al-Manshurah karya Syaikh Dr. Rabi’ bin
Hadi al-Madkhaly.
[14]. Nama lengkap beliau, Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas
al-Qurasyi asy-Syafi’i Rahimahullah, yang terkenal dengan sebutan Imam
asy-Syafi’i, beliau punya hubungan nasab dengan anak paman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang bertemu dengannya pada silsilah ‘Abdi
Manaf. Beliau dilahirkan tahun 150 H. Para ulama sepakat bahwa beliau adalah
orang yang tsiqah, amanah, adil, zuhud, wara’, ‘alim, faqih dan dermawan.
Beliau wafat di Mesir th. 204 H dalam usia 54 tahun. Di antara kitab-kitab
karya beliau adalah kitab al-Umm dalam bidang fiqih, ar-Risaalah dalam ushul
fiqih dan lainnya. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (X/5-99). Untuk menge-tahui
lebih jelas tentang manhaj Imam asy-Syafi’i dalam masalah ‘aqidah dapat dilihat
pada kitab Manhajul Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah karya Dr. Muham-mad
bin ‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil, cet. I-1419 H, dalam dua jilid.
[15]. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (X/60).
[16]. Al-Fishaal fil Milaal wal Ahwaa’ wan Nihaal II/271-Daarul Jiil, Beirut
Artikel Abu Fahmi Abdullah dipublikasi ulang olehabangdani.worpdress.com
Maret 4, 2011