Index
”Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”
Index
"Bid'ah"
Index
"Kesesatan Sufi (Tarekat)"
Index
“Fitnah Terhadap Negeri Tauhid Saudi Arabia”
http://lamurkha.blogspot.com/2019/05/index-fitnah-terhadap-negeri-tauhid.html?m=0
Mana Jalan Yang Harus Ditempuh ? Antara Jalan Allah Atau Jalan Iblis Dan Pengikutnya.
http://lamurkha.blogspot.com/2019/05/index-fitnah-terhadap-negeri-tauhid.html?m=0
Mana Jalan Yang Harus Ditempuh ? Antara Jalan Allah Atau Jalan Iblis Dan Pengikutnya.
Syaikh Abdul Malik Bin Ahmad Ramdhani
Ketahuilah
–semoga Allah merahmatimu- bahwa jalan yang menjamin nikmat Islam bagimu hanya
satu, tidak bercabang. Allah telah menetapkan keberuntungan hanya untuk satu
golongan saja. Allah berfirman.
أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلآَإِنَّ
حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Mereka
itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah
itulah golongan yang beruntung. [Al Mujadalah:22].
Dan Dia
(Allah) menetapkan kemenangan hanya untuk mereka pula. Allah berfirman.
وَمَن يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
Dan
barangsiapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman menjadi
penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.
[Al Maidah:56].
Bagaimanapun,
jika anda mencari dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam, maka anda tidak akan menemukan di dalamnya (dalil, Red.)
pengkotak-kotakan umat kepada jama’ah-jama’ah, partai-partai atau
golongan-golongan, kecuali perbuatan itu dicela dan tercela. Allah berfirman.
وَلاَتَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
. مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا
لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
Dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu
orang-orang yang memecah-belah agama mereka, dan mereka menjadi beberapa
golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka. [Ar Rum:31-32].
Bagaimana
mungkin Allah mengakui dan melegitimasi perpecahan ummat, setelah Dia
memelihara mereka dengan tali (agama)Nya? Lagi pula, Allah telah melepaskan
tanggung jawab NabiNya -Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam - atas umatnya,
manakala mereka berpecah-belah, dan (dia) mengancam mereka atas perpecahan
tersebut. Allah berfirman.
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ
وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَىْءٍ إِنَّمَآأَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ
ثُمَّ يُنَبِئُهُم بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
Sesungguhnya
orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa
golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya
urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan
memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. [Al An’am:159].
Dari
Muawiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu 'anhu berkata, ketahuilah, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdiri di tengah-tengah kami,
lalu bersabda.
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ
أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ
هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ
فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
Ketahuilah,
bahwasanya Ahlul Kitab sebelum kalian terpecah menjadi tujuhpuluh dua golongan.
Dan bahwasanya, umat ini akan terpecah menjadi tujupuluh tiga golongan.
Tujuhpuluh dua di neraka, dan hanya satu yang di surga, yaitu Al Jama’ah.
[1]
Mengomentari
hadits ini, Amir Ash Shan’ani rahimahullah berkata,“Penyebutan bilangan pada
hadits ini, bukan untuk menjelaskan banyaknya orang yang binasa. Akan tetapi,
hanya untuk menerangkan luasnya jalan-jalan kesesatan dan cabang-cabang
kesesatan, serta untuk menjelaskan bahwa jalan kebenaran itu hanya satu. Hal
ini, sama dengan yang telah disebutkan oleh ulama ahli tafsir berkaitan firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا
فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dan
bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia;
dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. [Al An’am:153].
Pada
ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menggunakan bentuk jamak pada kata yang
menerangkan “jalan-jalan yang dilarang mengikutinya”, guna menerangkan
cabang-cabang dan banyaknya jalan-jalan kesesatan serta keluasannya. Sedangkan
pada kata “jalan petunjuk dan kebenaran“, Allah Subhanahu wa Ta'ala menggunakan
bentuk tunggal. (Ini) dikarena jalan al haq itu hanya satu, dan tidak
berbilang. [2]
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, ia
berkata.
خَطَّ لَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا
سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ
قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا
شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ
وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda,”Ini adalah jalan Allah,”
kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis tersebut,
lalu bersabda,”Ini adalah jalan-jalan (yang banyak). Pada setiap jalan ada
syetan yang mengajak kepada jalan itu,” kemudian beliau membaca.
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah
jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan
(yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. [Al
An’am:153]. [3].
Redaksi hadits ini menunjukkan, bahwa jalan
(kebenaran, pent.) itu hanya satu. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Dan
ini disebabkan, karena jalan yang mengantarkan (seseorang) kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala hanyalah satu. Yaitu sesuatu yang dengannya, Allah mengutus
para rasulNya dan menurunkan kitab-kitabNya. Tiada seorangpun yang dapat sampai
kepadaNya, kecuali melalui jalan ini. Seandainya manusia datang dengan menempuh
semua jalan, lalu mendatangi setiap pintu dan meminta agar dibukakan, niscaya
seluruh jalan tertutup dan terkunci buat mereka; terkecuali melalui jalan yang
satu ini. Karena jalan inilah, yang berhubungan dengan Allah dan bisa
mengantarkan kepadaNya. [4]
Aku (penyusun) mengatakan: Akan tetapi,
banyaknya liku-liku di jalan ini yang cukup memberatkan, menyebabkan seseorang
menjadi ragu, lalu meninggalkannya. Dan sesungguhnya kelompok-kelompok yang
menyimpang, telah menyelisihi jalan ini. (Penyebabnya), karena merasa senang
dan tenang pada jalan yang banyak, serta merasa berat untuk menyendiri. Ingin
segera tiba (tergesa-gesa, Red.) dan takut memikul beban perjalanan yang
panjang. Ibnul Qayyim berkata, “Barangsiapa menganggap jauh satu jalan ini,
maka dia tidak akan mampu menempuhnya.”
MENGENAL JALAN YANG
SATU
(Menyimpulkan)
dari pendapat Ibnul Qayyim di atas, maka jelaslah jalan yang dimaksud. Dan
jelas, bahwa jalan yang dimaksud disini, ialah “rukun yang kedua” dari rukun
tauhid. (Yaitu) setelah syahadat (persaksian) bahwa tidak ada sesembahan yang
haq selain Allah, maka (yang kedua, Red.) persaksian bahwa Muhammad adalah
utusan Allah. Dan (kalimat) ini, juga menjadi syarat kedua diterimanya suatu
amal ibadah. Karena -sebagaimana sudah diketahui- bahwa amal ibadah tidak akan
diterima, kecuali setelah memenuhi dua syarat; Pertama, mengikhlaskan agama
(ketaatan) karena Allah semata. Kedua, dalam beribadah hanya dengan mengikuti
(cara yang dicontohkan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Pada
kesempatan ini, saya tidak bermaksud menjadikan untuk kaidah yang mashur ini
sebagai dalil dalam pembahasan ini. Sebab, tujuan utama bahasan ini untuk
menjelaskan bahwa jalan yang pernah ditempuh Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, itulah satu-satunya jalan yang bisa mengantarkan seorang hamba kepada
Allah Azza wa Jalla.
(Pengenalan
terhadap jalan ini amat penting, pent); karena ketidak tahuan terhadap jalan
ini, rintangan-rintangannya, serta tidak mengerti maksud dan tujuannya, hanya
akan menghasilkan kepayahan yang sangat, tanpa bisa mendapatkan manfaat yang
berarti. [5]
Tujuan
pembahasan ini, juga untuk menjelaskan, bahwa jalan itu hanya satu. Sehingga
tidak boleh berdusta mengatas-namakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dengan menda’wahkan, bahwa jalan menuju Allah Azza wa Jalla itu (jumlahnya
banyak, pent.), sejumlah bilangan nafas manusia. Atau ungkapan-ungkapan lain,
yang menurut agama Allah Azza wa Jalla–yang datang guna menyatukan pemeluknya
dan bukan untuk memecah-belah mereka- jelas nyata kebathilannya. Allah
berfirman.
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ
إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ
إِخْوَانًا
Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah
kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara [Ali Imran:103]
Tali
yang menjamin kaum muslimin adalah kitab Allah Azza wa Jalla, sebagaimana
penafsiran para ulama kaum muslimin. Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu
berkata.
إِنَّ هَذَا
الصِّرَاطَ مُحْتَضَرٌ تَحْضُرُهُ الشَّيَاطِينُ يُنَادُونَ يَا عَبْدَ اللَّهِ
هَلُمَّ هَذَا الصِّرَاطُ لِيَصُدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللهِ فَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ فَإِنَّ حَبْلَ اللَّهِ الْقُرْآنُ
Sesungguhnya,
jalan ini dihadiri para syetan. Mereka berseru,”Wahai hamba-hamba Allah,
kemarilah. Ini adalah jalan (yang benar).” (Mereka melakukan ini, pent.) untuk
menghalang-halangi manusia dari jalan Allah Azza wa Jalla. Maka, berpegang
taguhlah kalian dengan hablullah. Sesungguhnya, hablullah itu adalah Kitabullah
(Al Qur’an). [6].
Ungkapan
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ini, mengandung dua makna yang sangat penting.
Pertama
: Jalan menuju Allah itu hanya satu. Hanya saja, jalan itu dikelilingi oleh
syetan yang ingin memisahkan manusia dari jalan ini. Sementara itu, syetan
tidak menemukan jalan terbaik untuk mencerai-beraikan mereka dari jalan ini,
kecuali dengan menda’wakan, bahwa jalan-jalan itu banyak. Maka, barangsiapa
yang hendak memasukkan suatu anggapan kepada manusia, bahwa kebenaran (al haq)
itu tidak hanya terbatas pada satu jalan saja, berarti dia adalah syetan. Dan
sungguh Allah berfirman.
فَمَاذَا
بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ
Maka
tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. [Yunus:32].
Kedua
:Tafsir hablullah (tali Allah Azza wa Jalla) yang wajib dipegang teguh oleh
kaum muslimin agar tetap bersatu, ialah kitab Allah, Al Qur’a Al Karim. Tafsir
ini tidak bertentangan dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu
yang berbunyi.
الصِّرَاطُ
الْمُستَقـِيْمُ الَّذِي تَرَكَنَا عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ
Jalan
yang lurus, yaitu jalan yang kami lalui ketika kami ditinggal oleh Rasulullah.
[7]
Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewariskan dua pusaka untuk mereka, yaitu
Al Qur’an dan Sunnah, sebagaimana sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
تَرَكْتُ
فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَبَدًاكِتَابَ
اللَّهِ وَسُنَّتِيْ
Aku
tinggalkan untuk kalian sesuatu. Jika kalian berpegang teguh kepadanya, kalian
tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku.. [8]
Ditinjau
dari ekstensinya, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu sama
dengan kitab Allah sebagai wahyu, dan Sunnah itu sebagai penjelas bagi Kitab
Allah Azza wa Jalla. Bahkan, makhluk terbaik yang menafsirkan Al Qur’an adalah
Rasulullah, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.
وَأَنزَلْنَآ
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ
Dan Kami
turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka. [An Nahl:44].
Aisyah
Radhiyallahu 'anha berkata.
كَانَ خُلُقُهُ
القُرْآنَ
Akhlaq
beliau adalah Al Qur’an. [9]
Oleh
karena itu pula, jika timbul perpecahan dan perselisihan diantara mereka,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan umatnya agar berpegang
teguh dengan sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bersada.
فَإِنَّهُ مَنْ
يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
Dan
sesungguhnya, barangsiapa diantara kalian yang hidup setelahku, dia akan melihat
banyak perselisihan, maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan
sunnahku dan sunnah para khalifah yang diberi hidayah yang mereka di atas
petunjuk. Berpegang teguhlah padanya, dan gigitlah ia dengan gigi geraham
kalian (peganglah sekuat-kuatnya, Red.), serta jauhilah perkara-perkara yang
baru (dalam agama); karena sesungguhnya, setiap perkara yang baru (yang
diada-adakan dalam agama) adalah bid’ah. [10]
Ketika
menjelaskan sebab bersatunya salaf pada aqidah yang sama, Imam Ibnu Bathuthah
rahimahullah mengatakan,“Generasi pertama, semuanya masih tetap pada aqidah
ini. Hati dan mazdhab mereka menyatu. Kitab Allah sebagai jaminan yang
memelihara keutuhan mereka. Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
sebagai pedoman. Mereka tidak menuruti pendapat atau rasio mereka, (dan) tidak
menyandarkan pemahamannya kepada hawa nafsu. Kondisi umat pada saat itu terus
demikian. Hati-hati mereka terpelihara oleh penjagaan Allah Azza wa Jalla, dan
berkat ‘InayahNya jiwa-jiwa mereka terkendali dari hawa nafsu. [Lihat kitab Al
Ibanah atau Al Qadar, I].
Apa yang
dikatakan Ibnu Baththah rahimahullah itu benar ; karena agama Allah itu hanya
satu (dan) tidak ada pertentangan. Allah berfirman.
وَلَوْ كَانَ
مِنْ عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًا
Kalau
sekiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya. [An Nisa’:82].
Adapun
yang kami dakwahkan ini adalah jalan yang paling jelas, paling terang, paling
kaya (dengan dalil) dan paling sempurna. Dari Al Irbadh bin Sariyah, ia
berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لَقَدْ
تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا
بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ
Sesungguhnya,
aku telah meninggalkan kalian di atas jalan, seperti jalan yang sangat putih,
malamnya sama dengan siangnya. Tiada yang menyimpang sesudahku dari jalan itu,
kecuali orang (itu) akan binasa. [11]
Sehingga,
jika ada seseorang yang berupaya untuk “menyempurnakan atau menghiasinya”
dengan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah n dan tidak pula oleh
para sahabat g , berarti perbuatan itu hanyalah sebuah upaya untuk menyimpangkan
mereka kepada jalan-jalan kesesatan, bahkan menyimpangkan ke lembah-lembah
kebinasaan. Inilah yang dinamakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
البِدْعَةُ
الضَّلاَلَةُ
Bid’ah
adalah kesesatan
Oleh
karena itu, para salafush shalih sangat mengingkari orang-orang yang
menambah-nambah dalam (masalah) agama, atau mengotori agama ini dengan pendapat
rasionya. Umar bin Khathab Radhiyallahu 'anhu menuturkan.
إِيَّاكُمْ وَ
مُجَالَسَةَ أَصْحَابِ الرَّأْيِ فَإِنَّهُمْ أَعْدَاءُ السُّنَّةِ أُعِيَتْهُمُ
السُّنَّةُ أَنْ يَحْفَظُوْهَا وَنَسَوْا (وفي رواية) وَتَفَلَّتَتْ عَلَيْهِمُ
الأَحَادِيْثُ أَنْ يَعُوْدَهَا وَسُئِلُوْا عَمَّا لاَ يَعْلَمُوْنَ
فَاسْتَحْيَوْا أَنْ يَقُوْلُوْا لاَ نَعْلَمُ فَأَفْتَوْا بِرَأْيِهِمْ
فَضَلُّوْا فَأَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَ ضَلُّوْا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ . إِنَّ
نَبِيَّكُمْ لَمْ يَقْبِضْهُ اللهُ حَتَّى أَغْنَاهُ بِالْوَحْيِ عَنِ الرَّأْيِ
وَلَوْكَانَ الرَّأْيُ أَوْلَى مِنَ السُّنَّةِ لَكَانَ بَاطِنُ الْخُفَّيْنِ
أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ ظَاهِرِهِمَا
Janganlah
kalian duduk dengan orang-orang yang berpegang dengan rasio mereka; karena
sesungguhnya, mereka itu musuh Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Mereka tidak mampu memelihara Sunnah. Mereka lupa (dalam sebuah riwayat, mereka
diserang) hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga
mereka tidak mampu memahaminya. Mereka ditanya tentang masalah yang tidak
mereka ketahui, akan tetapi mereka malu untuk mengatakan,“Kami tidak
mengetahui,” lalu mereka berfatwa dengan rasionya, sehingga mereka tersesat dan
menyesatkan orang banyak. Mereka tersesat dari jalan yang lurus. Sesungguhnya
Nabi kalian tidaklah diwafatkan Allah, kecuali setelah Allah mencukupkannya
dengan wahyu dari rasio. Dan seandainya rasio itu lebih utama daripada Sunnah,
niscaya mengusap bagian bawah kedua sepatu (khuf), itu lebih utama daripada
mengusap bagian atasnya. [12]
Yang
demikian itu, karena agama ini dibangun diatas dasar ittiba’ (mengikuti wahyu),
bukan dengan ikhtira’ (mengada-ada). Sedangkan rasio, biasanya tercela; karena
banyak urusan agama yang tidak bisa dijangkau oleh akal semata. Apalagi akal
manusia memiliki perbedaan dalam menjangkau pemahaman dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya; meskipun terkadang pendapat itu patut mendapatkan pujian. [13]
Abdullah bin Mas’ud berkata.
اِتَّبِعُوْا
وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ عَلَيْكُمْ بِالْعَتِيْقِ
Ikutilah
dan jangan mengada-ada, karena sesungguhnya (ajaran syari’at Islam ini) telah
mencukupi kalian, hendaklah kalian berpegang dengan tuntunan agama yang
sediakala. [14]
Abdullah
bin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata.
كُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٍ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
Semua
bid’ah itu adalah sesat, meskipun manusia memandangnya baik. [15]
Dan
selama pembahasan kami tentang “pengaruh perbuatan bid’ah” yang menghalangi
seseorang dalam mencari jalan yang lurus, maka saya akan menyebutkan sebuah
ucapan Abdullah bin Abbas perihal masalah ini, yang menunjukkan luasnya ilmu
para sahabat.
Dari
Utsman bin Hadhir, ia berkata: Aku datang menjumpai Abdullah bin Abbas. Lalu
aku berkata kepadanya, أوصيني ( berilah
wasiat kepadaku); diapun berkata.
نَعَمْ
عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ وَ الإِسْتِِقَامَةِ وَ الأَثَرِ وَ لاَ تَبْتَدِعْ
“Ya ,
bertaqwalah engkau kepada Allah, istiqamahlah dan (berpeganglah pada) atsar
(jejak para salaf, pent). Ikutilah, dan jangan mengada-ada dalam urusan agama.
[16]
Cobalah
anda perhatikan ucapan ini. Dia memadukan dua hal. Pertama, taqwa kepada Allah,
yang maknanya sama dengan keikhlasan. Sebab ia dipadukan dengan perintah untuk
berittiba’ (perintah untuk mengikuti tuntunan Nabi, pent.). Kedua, al ittiba’,
yang maknanya mengikuti jalan yang lurus, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Selanjutnya,
beliau mengingatkan agar waspada terhadap yang bertolak belakang dengan kedua
hal di atas, yaitu bid’ah. Demikianlah mayoritas ucapan para salaf, meskipun
singkat, namun selalu mencakup dan membentengi (seseorang).
Merupakan
perangai Salafush Shalih, mereka selalu bersikap tegas dan keras terhadap orang
yang mencari-cari ucapan manusia (para tokoh) untuk menandingi hukum
Rasulullah, setinggi apapun kedudukan dan martabat tokoh-tokoh tersebut.
Tidak
diragukan, bahwasanya beradab dan memelihara kesopanan terhadap para ulama’,
mencintai dan mendahulukan mereka atas lainnya, serta tudingan seseorang
terhadap rasionya jika disejajarkan dengan pendapat-pendapat para ulama; semua
itu perkara yang amat penting. Namun demikian, hal tersebut merupakan persoalan
lain. Sedangkan mendahulukan wahyu (Al Qur’an dan As Sunnah) setelah jelas
permasalahannya, juga merupakan perkara lain.
Urwah
berkata kepada Ibnu Abbas,“Celaka engkau. Engkau telah menyesatkan manusia,
karena memerintahkan untuk melakukan ibadah umrah pada sepuluh hari ( pertama
bulan Dzul Hijjah), padahal tiada umrah pada hari-hari itu.” Maka Ibnu Abbas
berkata,“Wahai Uray [17]. Tanyakanlah kepada ibumu.” Urwah berkata, “Bahwasanya
Abu Bakar dan Umar tidak pernah berkata (berpendapat) seperti itu, padahal
mereka benar-benar lebih mengetahui dan lebih mengikuti Rasulullah daripada
engkau.” Maka dijawab oleh Ibnu Abbas.
مِنْ هَهُنَا
تُؤْتَوْنَ نَجِيْئُكُمْ بِرَسُوْلِ اللهِ وَتَجِيْئُوْنَ بِأَبِيْ بَكْرٍ
وَعُمَرَ
Dari
sinilah kalian didatangi. Kami membawakan kepadamu (perkataan) Rasulullah, dan
kamu membawakan (perkataan) Abu Bakar dan Umar.
Dalam
riwayat lain, Ibnu Abbas berkata kepadanya.
أَهُمَا
–وَيْحَكَ- آثَرٌ عِنْدَكَ أَمْ مَا فِي كِِتَابِ اللهِ وَمَاسَنَّ رَسُوْلُ اللهِ
فِي أَصْحَابِهِ وَأُمَّتِهِ
Celaka
engkau. Apakah mereka berdua (Abu Bakar dan Umar, pent), lebih engkau dahulukan
ataukah yang tertulis dalam Kitab Allah dan disunahkan oleh Rasulullah bagi
sahabat dan umatnya?
Dalam
riwayat lain, ia bertutur.
أُرَاهُمْ
سَيُهْلَكُوْنَ أَقُوْلُ قَالَ النَّبِي وَيَقُوْلُ نَهَى أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ
Kelihatannya
mereka akan dibinasakan, aku katakan “Nabi berkata” sedang mereka berkata “Abu
Bakar dan Umar telah melarangnya”. [18]
Setelah
membawakan ucapan Ibnu Abbas di atas, Syaikh Abdurrahman bin Hasan
mengatakan,“Dalam ucapan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu terdapat isyarat yang
menunjukkan, bahwa seseorang yang telah sampai padanya dalil, lalu tidak
mengambilnya (tidak mengamalkannya) karena bertaklid kepada imamnya, maka orang
itu wajib diingkari dengan keras karena sikapnya yang menyelisihi dalil.” [19]
Beliau
juga mengatakan,”Kemungkaran ini, [20] telah merebak luas terutama dari mereka
yang menisbatkan diri kepada ilmu. Mereka telah menancapkan jerat-jerat dalam
menghalangi (manusia) dari mengambil Al Qur’an dan As Sunnah; menghalangi
mereka dari mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjunjung
tinggi perintah serta larangannya.”
Diantara
ucapan mereka, “tidak boleh berdalil dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah,
kecuali seorang mujtahid, sedangkan ijtihad telah terputus.” Ada juga yang
mengatakan, “orang yang aku taklidi (ikuti) padanya, lebih mengetahui daripada
kamu tentang hadits, nasikh dan mansukhnya” serta ucapan-ucapan serupa dengan
tujuan akhirnya untuk meninggalkan ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, yang (beliau) tidak pernah berbicara karena terdorong hawa
nafsu, lalu (mereka) bersandar kepada ucapan orang-orang yang bisa saja berbuat
kesalahan. Ada juga diantara imam yang menyelisihi dan mencegah dari perkataan
Rasulullah n dengan berdalih “tiada seorang ulama pun, kecuali yang dimilikinya
hanyalah sebagian ilmu, dan tidak semua (dikuasainya)”.
Maka
wajib bagi setiap mukallaf (orang yang telah terkena beban syari’at), jika
telah sampai kepadanya dalil Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah dan telah
dipahaminya, untuk berhenti padanya dan mengamalkannya, meskipun ada yang
menyelisihinya, sebagaimana firman Allah.
اتَّبِعُوا
مَآأُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ
قَلِيلاً مَاتَذَكَّرُونَ
Ikutilah
apa yang diturunkan kepada kamu sekalian dari Rabb-mu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya). [Al A’raf:3]
FirmanNya
أَوَلَمْ
يَكْفِهِمْ أَنَّآأَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي
ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan
apakah tidak cukup bagi mereka, bahwasannya Kami telah menurunkan kepadamu Al
Kitab (Al Qur'an) sedang dia dibacakan kepada mereka. Sesungguhnya di dalam (Al
Qur'an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang
beriman. [Al Ankabut:51].
Dan di
depan telah disampaikan perihal ijma’ (kesepakatan) para ulama’ terhadap yang
kami sampaikan ini, serta keterangan, bahwa muqallid (orang yang taklid) tidak
termasuk orang-orang yang berilmu. Demikian pula Abu Umar bin Abdil Barr dan
ulama’ lainnya, telah menceritakan ijma’ atas masalah ini. [21].
Pengagungan
kaum salaf terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, telah
sampai pada tingkatan menghunuskan pedang kepada orang yang menolak hadits
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dilakukan oleh Imam
Syafi’i. Beliau rahimahullah telah mengadu kepada Al Qadhi (pemimpin mahkamah
syari’at) Abul Bakhturi perihal Bisyir Al Marisi. [22] Beliau berkata,”Aku
berdialog dengan Al Marisi tentang mengundi, [23]. Dia berkata, “Wahai Abu
Abdillah, Al Qur’an (mengundi) itu judi,” maka kudatangi Abul Bakhturi, lalu
kukatakan kepadanya,”Aku mendengar Al Marisi berkata, mengundi itu judi,” Abul
Bakhturi menjawab,”Wahai Abu Abdillah, ajukan seorang saksi lagi. Aku akan
membunuhnya.” Dalam riwayat lain ida berkata,”Ajukan seorang saksi lagi,
niscaya akan kuangkatnya pada sebatang kayu, lalu kusalibnya.” [24]
(Diterjemahkan
Oleh : Ustadz Mubarak Bamualim, dari Sittu Durar Min Ushuli Ahlil Atsar, karya
Syaikh Abdul Malik Bin Ahmad Ramdhani)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
08/Tahun VII/1424H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647,
08157579296]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/102; Abu
Dawud no. 4597; Darimi 2/241; Thabrani 19/367, 88-885; Hakim 1/128; dan yang
lainnya. Hadits ini shahih.
Juga dikeluarkan oleh Ahmad 2/332; Abu
Dawud no. 4596; Tirmidzi no. 2642; Ibnu Majah no. 3990; Abu Ya’la no. 5910,
5978, 6117; Ibnu Hibban 14/6247 dan 15/6731; Hakim 1/6, 128, dan lainnya dari
hadits Abu Hurairah, dan Hakim mempunyai beberapa riwayat lain dalam jumlah
banyak dari hadits Anas bin Malik, Abdullah bin Amr bin Al Ash, dan yang
selainnya c . Hadits ini dishahihkan oleh Tirmidzi; Hakim; Adz Dzahabi, dan Al
Jazajani dalam kitab Al Abathil 1/302; Al Baghawi dalam Syarh Sunnah 1/213; Asy
Syathibi dalam Al I’tisham 2/698, tahqiq Salim Al Hilali; Ibnu Taimiyah dalam
Majmu’ Fatawa 3/345; Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 4/48; Ibnu Katsir dalam
tafsirnya 1/390; Ibnu Hajr dalam Tarikh Al Kasysyaf, halaman 63; Al Iraqi dalam
Al Mughni ‘An Hamlil Asfar, no. 3240; Al Bushairi dalam Mishbahuz Zujajah,
halaman 4/180; Al Albani dalam Silsilah Shahihah, no. 203, dan yang lainnya.
Sangat banyak. Sengaja saya sebutkan ini semua, untuk membuat ahli bid’ah yang
berupaya melemahkan hadits yang agung ini, menjadi sia-sia –aku ingin
menjadikan mereka bisu. Al Hakim rahimahullah berkata tentang hadits
ini,”Hadits yang agung atau banyak, sebagaimana sebagian ulama telah
menempatkannya dalam hadits-hadits yang pokok.
[2]. Lihat hadits Iftiraqul Ummah Ila
Nayyif Sab’ina Firqah, halaman 67-68.
[3]. Hadits shahih diriwayatkan oleh
Ahmad I/435, dan yang lainnya
[4]. At Tafsir Al Qayyim, halaman 14-15
[5]. Lihat Al Fawa’id, karya Ibnu Qayyim,
halaman 223
[6]. Diriwayatkan Abu Ubaid dalam
Fadhailul Qur’an, halaman 75; Ad Darimi 2/433; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no
22; Ibnu Dhurais dalam Fadhailul Qur’an, 74; Ibnu Jarir dalam tafsirnya no. 7566
(tahqiq Ahmad Asakir); Ath Thabari 9/9031; Al Ajuri dalam Asy Syari’ah, 16; dan
Ibnu Baththah dalam Al Ibanah, no. 135; dan riwayat ini shahih.
[7]. Atsar shahih, dikeluarkan Ath
Thabari, 10 no. 10454; Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab 4/88-89; Ibnu Wadhdhah dalam
Al Bida’, no. 76.
[8]. 8)[Diriwayatkan Imam Malik dalam Al
Muwaththa’ 2/899; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no. 68; Al Hakim 1/93; dan
dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam komentar beliau tentang kitab Misykatul
Mashabih, no. 186.
[9]. Riwayat Ahmad 6/91, 163; dan Muslim
746.
[10]. Hadits shahih diriwayatkan Abu
Daud, no. 4607; At Tirmidzi, no. 2676; dan yang lainnya
[11]. Riwayat Ahmad 4/126; Ibnu Majah,
no. 5 dan 43; Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya As Sunnah, no. 48-49; Al Hakim
1/96; dan dishahihkan oleh Al Albani dalam kitab Fi Dhalalil Jannah Fi Takhrij
Sunnah.
[12]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Zuamanain
dalam Ushulus Sunnah, no 8; Al Lalika’i dalam Syarh Ushulul I’tiqad, no. 201;
Al Khatib Al Bagdadi dalam Faqih wal Mutafaqqih, no. 476-480; Ibnu Abdil Baar
dalam Jami’ Bayanul Ilmi Wa Fadluhu, no. 2001, 2003, 2005; Ibnu Hazm dalam Al
Ihkam, 4/42-43; Al Baihaqi dalam Al Madkhal, 312; Qiwamus Sunnah dalam Al
Hujjah, 1/205, pada sebagian sanadnya ada yang lemah dan ada pula yang putus.
Namun demikian, sebagian sanad dapat menguatkan sebagian yang lain. Oleh karena
itu, Ibnu Qayyim mengatakan,“Sanad-sanad ucapan Ibnu Umar ini sangat shahih.”
Lihat I’lamul Muwaqi’ien, 1/44
[13]. Lihat perinciannya dalam I’lamul
Muwaqi’ien, 1/63 karya Ibnu Qayyim
[14]. Diriwayatkan oleh Waki’ dalam Az
Zuhd, no. 315; Abdur Razaq, no. 20465; Abu Khaitsamah dalam Al Ilmu, no. 45;
Ahmad dalam Az Zuhd, halaman 62; Ad Darimi 1/69; Ibnu Wadhdhah dalam Al Bida’,
no. 60; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no. 78 dan 85; Thabrani 9/8770 dan 8845;
Ibnu Baththah dalam Al Ibanah/Al Iman 168-169, 174-175 dan Al Madkhal, no.
387-388; Al Khatib dalam Al Faqih Wal Mutafaqih, 1/43; dan dishahihkan oleh Al
Albani dalam ta’liqnya atas kitab Al Ilmu, karya Abu Khaitsamah
[15]. Ibnu Nashr dalam As Sunnah, 82; Al
Lalika’i dalam Syarh Ushulul I’tiqad, no. 126; Al Baihaqi dalam Al Madkhal, no.
191, dan sanadnya shahih.
[16]. Diriwayatkan Ad Darimi, I/53; Ibnu
Wadhdah dal Al Bida’, no. 61; Ibnu Nashr, no. 83; Ibnu Baththah dalam Al
Ibanah, no. 200 dan 206; Al Khatib dalam Al Faqih Wal Mutafaqqih, I/173, dari
dua jalan yang saling menguatkan.
[17]. Nama tasghir ( kecil ) Urwah bin
Zubair. Wallahu a’lam, (pent).
[18]. Diriwayatkan Ishaq bin Rahawi
(Rahwiyah), sebagaimana dalam kitab Al Muthallibul ‘Aliyah, no. 1306; Ibnu Abi
Syaibah, 4/103, dan dari jalurnya dikeluarkan oleh Thabrani; Al Khatib dalam Al
Faqih Wal Mutafaqqi, 379 – 380 ), Ibnu Abdil Baar dalam Jami’ihi, no. 2378 dan
2381; dan dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Al Muthalib; dan dihasankan oleh Al
Haitsami dalam Al Mujma’, 3/234; juga oleh Ibnu Muflih dalam Al Adab Asy
Syar’iyyah,2/66
[19]. Lihat pada Fathul Majid Syarah
Kitabut Tauhid, halaman 338.
[20]. Yang beliau maksud dengan
“kemungkaran”, yaitu mengesampingkan dalil hanya dikarenakan taqlid kepada imam
(madzab)nya, Pent.
[21]. Lihat Fathul Majid Syarah Kitabut
Tauhid, halaman 339- 340.
[22]. Bisyir bin Ghiyats Al Marisi,
seorang ahli kalam yang keluar dari ketaqwaan dan sikap wara’. Dia berakidah
Jahmiyah (golongan yang mengingkari dan menafi’kan sifat-sifat Allah). Dia
menyatakan, bahwa Al Qur’an adalah makhluk ciptaan Allah. Oleh sebab itu,
dikafirkan oleh sejumlah ulama’, seperti: Qutaibah bin Sa’id dan yang lainnya,
meninggal tahun 218 H. Lihat Siyar A’lamin Nubala’, 10 / 199, (Pent)
[23]. Hal ini mengacu kepada hadits Imran
bin Husain.
أَنَّ رَجُلًا أَعْتَقَ سِتَّةَ مَمْلُوكِينَ
لَهُ عِنْدَ مَوْتِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ غَيْرَهُمْ فَدَعَا بِهِمْ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَزَّأَهُمْ أَثْلَاثًا ثُمَّ
أَقْرَعَ بَيْنَهُمْ فَأَعْتَقَ اثْنَيْنِ وَأَرَقَّ أَرْبَعَةً وَقَالَ لَهُ
قَوْلًا شَدِيدًا
Bahwasanya seorang lelaki membebaskan
enam budaknya ketika ia dihampiri kematian, ia tidak memiliki harta selain
mereka, maka Rasulullah memanggil mereka dan membagi menjadi tiga bagian, lalu
beliau mengundi diantara mereka, kemudian beliau memerdekakan dua orang dan
yang empat tetap sebagai budak dan beliau mengeluarkan kata-kata yang keras
terhadap orang. [HR Muslim, 1668].
[24]. Diriwayatkan Al Khalal dalam As
Sunnah, 1735; Al Khatib dalam Tarikh Al Baghdad, 7/60, dan sanadnya shahih.
Orang yang mengambil suatu perkara atau mengerjakan suatu amalan tanpa
mengetahui sumber dalilnya.
Hanya Satu Jalan Menuju Allah Azza Wa Jalla
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. [Al An’am:153].
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. [Al An’am:153].
قُلْ هَٰذِهِ
سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ
وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku
dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah
yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang
musyrik." (Q.S. Yusuf : 108)
أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلآَإِنَّ
حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Mereka
itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah
golongan yang beruntung. [Al Mujadalah:22].
وَمَن يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
Dan
barangsiapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman menjadi
penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.
[Al Maidah:56].
وَلاَتَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
. مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا
لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
Dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu
orang-orang yang memecah-belah agama mereka, dan mereka menjadi beberapa
golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka. [Ar Rum:31-32].
إِنَّ
الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَىْءٍ
إِنَّمَآأَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ ثُمَّ يُنَبِئُهُم بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
Sesungguhnya
orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa
golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya
urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan
memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. [Al An’am:159].
إِنَّ هَذَا الصِّرَاطَ مُحْتَضَرٌ
تَحْضُرُهُ الشَّيَاطِينُ يُنَادُونَ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَلُمَّ هَذَا الصِّرَاطُ
لِيَصُدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللهِ فَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ فَإِنَّ حَبْلَ
اللَّهِ الْقُرْآنُ
Sesungguhnya,
jalan ini dihadiri para syetan. Mereka berseru,”Wahai hamba-hamba Allah,
kemarilah. Ini adalah jalan (yang benar).” (Mereka melakukan ini, pent.) untuk
menghalang-halangi manusia dari jalan Allah Azza wa Jalla. Maka, berpegang
taguhlah kalian dengan hablullah. Sesungguhnya, hablullah itu adalah Kitabullah
(Al Qur’an).
[Diriwayatkan
Abu Ubaid dalam Fadhailul Qur’an, halaman 75; Ad Darimi 2/433; Ibnu Nashr dalam
As Sunnah, no 22; Ibnu Dhurais dalam Fadhailul Qur’an, 74; Ibnu Jarir dalam
tafsirnya no. 7566 (tahqiq Ahmad Asakir); Ath Thabari 9/9031; Al Ajuri dalam
Asy Syari’ah, 16; dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah, no. 135; dan riwayat ini
shahih.]
Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ
تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَبَدًاكِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِيْ
Aku
tinggalkan untuk kalian sesuatu. Jika kalian berpegang teguh kepadanya, kalian
tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku..
[Diriwayatkan
Imam Malik dalam Al Muwaththa’ 2/899; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no. 68; Al
Hakim 1/93; dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam komentar beliau tentang
kitab Misykatul Mashabih, no. 186.
Shallallahu
'alaihi wa sallam bersada.
فَإِنَّهُ مَنْ
يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
Dan
sesungguhnya, barangsiapa diantara kalian yang hidup setelahku, dia akan
melihat banyak perselisihan, maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang diberi hidayah yang mereka di
atas petunjuk. Berpegang teguhlah padanya, dan gigitlah ia dengan gigi geraham
kalian (peganglah sekuat-kuatnya, Red.), serta jauhilah perkara-perkara yang
baru (dalam agama); karena sesungguhnya, setiap perkara yang baru (yang
diada-adakan dalam agama) adalah bid’ah.
[Hadits
shahih diriwayatkan Abu Daud, no. 4607; At Tirmidzi, no. 2676; dan yang lainnya]
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ
لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ
Sesungguhnya,
aku telah meninggalkan kalian di atas jalan, seperti jalan yang sangat putih,
malamnya sama dengan siangnya. Tiada yang menyimpang sesudahku dari jalan itu,
kecuali orang (itu) akan binasa. [Riwayat Ahmad 4/126; Ibnu Majah, no. 5 dan
43; Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya As Sunnah, no. 48-49; Al Hakim 1/96; dan
dishahihkan oleh Al Albani dalam kitab Fi Dhalalil Jannah Fi Takhrij Sunnah].
Sehingga, jika ada seseorang yang berupaya
untuk “menyempurnakan atau menghiasinya” dengan sesuatu yang tidak pernah
dilakukan Rasulullah n dan tidak pula oleh para sahabat g , berarti perbuatan
itu hanyalah sebuah upaya untuk menyimpangkan mereka kepada jalan-jalan
kesesatan, bahkan menyimpangkan ke lembah-lembah kebinasaan. Inilah yang
dinamakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maka wajib bagi setiap mukallaf (orang yang
telah terkena beban syari’at), jika telah sampai kepadanya dalil Al Qur’an dan
Sunnah Rasulullah dan telah dipahaminya, untuk berhenti padanya dan
mengamalkannya, meskipun ada yang menyelisihinya, sebagaimana firman Allah.
اتَّبِعُوا
مَآأُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ
قَلِيلاً مَاتَذَكَّرُونَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepada kamu
sekalian dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya.
Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). [Al A’raf:3]
FirmanNya
أَوَلَمْ
يَكْفِهِمْ أَنَّآأَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي
ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan apakah tidak cukup bagi mereka, bahwasannya
Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) sedang dia dibacakan kepada
mereka. Sesungguhnya di dalam (Al Qur'an) itu terdapat rahmat yang besar dan
pelajaran bagi orang-orang yang beriman. [Al Ankabut:51].
Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad sunusi - Hanya
satu jalan kebenaran
Jalan Allah Hanya Satu - Ustadz Dzulqarnain M
Sunusi
Menjawab Syubhat "Jalan Kebenaran Ada
Bermacam-Macam"
Barometer Kebenaran dengan Mengikuti Sahabat -
Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sunusi
Wajibnya Mengikuti Jalan As Salaf - Ust.
Dzulqarnain M. Sunusi hafizhahullah -