Friday, March 27, 2015

Kuburan Harul al-Rasyid, Sebuah Tamparan di Wajah Syi’ah

                                                      
Al-khalifah Harun al-Rasyid meninggal dalam keadaan berperang. Beliau wafat di kota Thus. Kota Thus Lama adalah Kota Masyhad sekarang di Iran, berjarak 924 km dari ibu kota Teheran. Beliau wafat pada 3 Jumada at-Tsaniyah 193 H pada usia empat puluh lima tahun. Kekhilafahannya berlangsung selama dua puluh tiga tahun dan dia dikenal berhaji setahun dan berjihad setahun. Tidak sebagaimana desas-desus batil yang disebarkan oleh musuh-musuh islam tentangnya. Ketika Khalifah Harun al-Rasyid mati syahid –insyaallah- di Kota Thus, maka itu adalah karena jihad beliau melawan para pengacau terhadap kekhalifahan Bani Abbasiyah di masanya.
Syi’ah ketika melaknat dan mencaci maki Harun al-Rasyid, maka itu karena beliau adalah seorang sunni yang bertauhid, yang cinta keada para sahabat dan ahlul bait. Dia menghukum setiap orang yang mencela para sahabat Rasulullah. Para imam ahlul bait di zamannya sangat mencintainya.
Sekarang, kami persembahkan sebuah tamparan keras lagi menyakitkan bagi Syi’ah, yaitu bahwa al-Imam Ali bin Musa ar-Ridha telah memberikan wasiat agar dikuburkan di sisi Harun al-Rasyid!! Maka pada yang demikian terdapat kebajikan bagi Khalifah yang shalih ini.
Sungguh, Syi’ah sendiri telah mengakui hakikat ini. al-Majlisi dalam kitabnya, Biharul Anwar (IIV/324) telah menyebut,’Dan di dalam al-Khara’ij, telah diriwayatkan dari al-Hasan bin Abbad, dan dia adalah juru tulis ar-Ridha, dia (al-Hasan ibn Abbad) berkata: ‘Aku masuk menemuinya, dan sungguh al-Ma’mun telah bertekad untuk berangkat berjalan menuju Baghdad. Maka dia berkata,’Wahai Ibnu Abbas, kita tidak memasuki Iraq, dan tidak juga melihatnya.’ Maka akupun menangis, lalu aku berkata, ‘Anda telah membuat saya putus asa dari mendatangi istri dan anak-anak saya.’ Maka dia berkata, ‘Adapun kamu, maka kamu akan memasukinya, akan tetapi tiada lain yang kumaksud adalah diriku sendiri.’ Maka beliau pun jatuh sakit di sebuah desa di kota Thus. Kala itu dia menyebutkan dalam wasiatnya untuk kuburannya di gali di depan tembok antara dia dengan kuburan Harun al-Rasyid jarak 3 hasta.’
Ini adalah sebuah pengakuan terang-terangan dari ulama besar Syi’ah. Maka tidak mungkin seorang laki-laki memberikan wasiat untuk dikuburkan di sisi jenazah seseorang, melainkan jika jenazah tersebut termasuk golongan orang-orang shalih lagi bertakwa…dan inilah yang dilakukan oleh al-Imam Ali bin Musa ar-Ridha rahimahullah.
Maka kuburan Harus al-Rasyid melekat dengan kuburan al-Imam Ali bin Musa ar-Ridha. Dan keduanya ditidurkan di bawah kubah yang sama dalam pemakaman yang sama, di dalam masjid yang sama yang berada di kota Masyhad, Iran.
Pemakaman ini, yang disembah oleh berjuta-juta Syi’ah, yang mereka berhaji kepadanya, dan meminta segala kebutuhan darinya, dan segala jalan keluar dari segala kesusahan, maka itu sendiri adalah pemakaman dan kubur musuh bebuyutan mereka dari para Khalifah, yaitu Amirul Mukminin Harun Al-Rasyid –rahimahullah-.
Sejak lama Syi’ah telah mengetahui perkara ini. seorang pengelana terkenal, Ibnu Bathuthah meriwayatkan dalam kitabnya, ‘Tuhfatun Nazhar’, tentang sifat kuburan al-Imam al-Ridha –rahimahullah-, ‘Dan di hadapan kuburan ini adalah kuburan Harun al-Rasyid, Amirul Mukminin, dan jika seorang Rafidhi masuk untuk ziarah, maka dia memukul kuburan ar-Rasyid dengan kakinya, dan mengucapkan salam ataas ar-Ridha.’ (hal. 257) ini adalah bukti akan kadar kedengkian Syi’ah atas para Khalifah dari Ahlussunnah.
Di sini kami bertanya kepada Syi’ah, mengapa al-Imam al-Ridha berwasiat untuk dikuburkan di sisi Harun al-Rasyid?! Bahkan kami bertanya, ‘Mengapa beiau tidak berwasiat untuk dikuburkan di sisi para ulama Syi’ah, sementara beliau berada di bumi Persia dan dekat dengan mereka?! kami juga bertanya, sang imam mereka berwasiat untuk dikuburkan di sisi Harun al-Rasyid, namun seorang yang mengaku pengikut beliau malah memukul kubur al-Rasyid dengan kakinya? Maka ini adalah kontradiksi besar dari Syi’ah terhadap al-Imam ar-Ridha.
Di hadapan musibah yang mengenai para tokoh Syi’ah ini, terdapat dua pilihan, yang paling manispun pahit rasanya;
Bisa jadi al-Imam Ali bin Musa ar-Ridha adalah seorang Sunni, dan pecinta Harun ar-Rasyid, maka dengan ini gugurlah agama Imamiyah; dan bisa jadi al-Imam ar-Ridha tidak tahu bahwa Harun al-Rasyid dikuburkan di tempat tersebut. Maka dia dikuburkan dengan takdir Allah di sisi kuburan Harun al-Rasyid tanpa diketahui oleh al-Imam ar-Ridha. Maka berdasarkan kemungkinan keduanya ini para imam tidak mengetahui perkara ghaib. Jika tidak, tentunya al-Imam ar-Ridha telah memerintahkan untuk dikuburkan di sisi orang fasiq!!! Ini mustahil secara akal dan naql. Karena tidak mungkin seorang mukmin, seukuran al-Imam ar-Ridha memerintahkan agar dia dikuburkan di sisi orang kafir munafiq lagi murtad sebagaimana yang diyakini oleh Syi’ah terhadap Harun ar-Rasyid dan terhadap setiap ahlus sunnah!
Dan agar para pembaca mengenal siapa itu al-Imam Ali bin Musa ar-Ridha, maka kami menjelaskan untuk mereka, bahwa beliau adalah Imam kedelapan di sisi Syi’ah. Beliau adalah putra al-Imam Musa al-Kazhim, dan kuniyahnya adalah abul Hasan, dan julukannya adalah ar-Ridha, dilahirkan pada 11 Dzulqa’dah 148 H, di Madinah. adapun wafat beliau adalah pada 17 Shafar tahun 203 H, dan dijuluki dengan Gharibul Ghuraba’, karena kematian dan penguburan beliau di negeri Persia, jauh dari tanah kelahiran nenek moyang beliau, bangsa Arab.
Perhatikanlah julukan al-Imam ar-Ridha, yaitu Gharibul Ghuraba’, yang para pecintanya menyebutnya demikian. Sesungguhnya julukan tersebut mengundang keanehan, yaitu jika al-Imam ar-Ridha berada di tengah para pecintanya, pengikutnya, dan orang yang mereka berada di atas agama dan madzhabnya, maka pastilah bukan ini julukan beliau! Banyak sekali pribadi-pribadi Islam yang meninggal dan dikuburkan jauh dari keluarganya, akan tetapi tidak seorangpun dari mereka yang dijuluki dengan julukan Gharibul Ghuraba’.
Agar tidak seorangpun menyangka bahwa keseluruhan tamparan ini hanya berasal dari kami, maka sesungguhnya al-Imam Ali ar-Ridha sendiri telah mengarahkan tamparan-tamparan kuat terhadap syi’ah. Maka apa yang akan kami singkap sekarang adalah terhitung sebagai sebuah musibah agung yang akan mengenai para toko Syi’ah.
Musibahnya adalah bahwa istri al-Imam Ali ar-Ridha adalah Ummu Habibah binti al-Ma’mun. sedangkan al-Ma’mun adalah putra Harun al-Rasyid. Dan tidaklah berhenti tamparan al-Imam ar-Ridha bagi syi’ah pada batasan ini saja, bahkan saat beliau mempunyai anak dari Ummu Habibah, yaitu seorang putri, maka beliau memberinya nama….! Tahukah Anda, apa namanya? Maka sungguh al-Imam ar-Ridha telah memberinya nama ‘Aisyah, sebagai bentuk optimisme dengan nama Ummul Mukminin Aisyah –radhiyallahu anha-, (Kasyful Gummah (III/60)) oleh karena itulah, ini termasuk di antara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Syi’ah tidak mengikuti imam-imam mereka, di mana mereka tidak pernah memberi nama putri-putri mereka dengan nama ‘Aisyah.
Bahkan sumber-sumber rujukan Syi’ah telah menyebut bahwa al-Imam Ali ar-Ridha diberi kuniyah Abu Bakar. (Muqatilut Thalibin, hal. 561-562).
Setelah tamparan bertubi-tubi ini, kami kembali sekali lagi berbicara tentang pemakaman tersebut:
Ibnu Bathuthah telah menyebutkan dalam kunjungannya ke kota Thus dalam sumber yang sama, ‘Padanya terdapat dua kuburan bersebelahan di bawah satu kubah, yaitu kuburan al-Khalifah Harun al-Rasyid dan kuburan al-Imam Ali bin Musa ar-ridha.”
Apa yang meluncur dari ucapan Ibnu Bathuthah adalah bahwa tempat yang mengumpulkan dua kuburan tersebut, sekarang menjadi satu kuburan, yaitu untuk Ali ar-ridha. Dan dihilangkanlah bekas kuburan Harun Al-Rasyid, kemudian ditanam di bawah aspal setelah perluasan tempat. Dan menjadi tempat sandal bagi para peziarah ke kubur lain. Sebelum menjadi tempat sandal, maka kubur tersebut sebelumnya sebagai tempat pembuangan kotoran yang ditinggikan dekat darinya dengan mencolok dan bisa dikenal. Para peziarah berdiam padanya kemudian melakukan apa yang mudah mereka lakukan berupa cacian, makian, dan peludahan.
Itulah mereka Syi’ah, dan inilah akhlak mereka yang seharusnya adalah akhlak ahlul bait, dan sekali-kali tidak demikian buruk akhlak ahlul bait.
Merekalah syi’ah yang telah mengklaim dengan dusta bahwa mereka mengikuti para imam mereka. Maka di manakah keikutan mereka terhadap imam mereka ar-Ridha yang seharusnya mereka memuliakan Harun al-rasyid, minimal demi memuliakan imam mereka, dan sebagai bentuk pemuliaan terhadap Harun al-Rasyid sebagai kakek dari putri imam mereka. akan tetapi telah pasti bahwa tidak ada hubungan antara mereka dengan ahlul bait dan akhlak mereka, akan tetapi hubungan mereka adalah dengan agama Persia, dan Majusi.
Sesungguhnya saya berbicara kepada setiap Syiah yang berakal, apa pendapat Anda, sementara Anda menyingkap hakikat menyedihkan ini dari agama Anda? Sesungguhnya saya mengajak Anda untuk terjaga, karena khawatir Anda meninggal sementara demikian ini adanya kondisi Anda. Saya memohon kepada Allah hidayah bagi saya dan Anda semua.
Wahai para pembaca yang budiman, sesungguhnya Khalifah Harun al-Rasyid adalah seorang alim lagi zuhud. Dan karena banyaknya penaklukan khalifah yang ahli ibadah dan berjihad ini, dia berkata kepada awan jika melihatnya, ‘Hujanlah di mana saja engkau mau, maka akan datang kepadaku hasilmu.’
Sungguh, khalifah Harun al-Rasyid jika beliau berhaji, maka beliau disertai oleh para ulama fiqih dan hadits. Jika masuk menemuinya seorang penyair, yaitu Abu al-Athahiyah, dan menasehatinya, diapun menangis keras hingga pingsan.
Para penulis sejarah beliau mensifati, bahwa beliau tiap hari shalat sebanyak seratus rakaat hingga meninggal dunia, dan beliau berinfak kepada para faqir miskin dari harta pribadinya.
Dia telah menyiapkan kuburannya beberapa waktu sebelum kematiannya, di ibu kota kekhilafahannya, di Baghdad, dan beliau senantiasa menziarahi kuburan tersebut, dan dia berdo’a kepada Allah seraya menangis sambil berkata, ‘Wahai Dzat yang tidak akan bergeser kerajaan-Nya, rahmatilah orang yang kerajaannya akan bergeser.’ Dan ketika kematian menghampirinya di Thus, dia berkata, ‘Galilah untukku sebuah kuburan, lalu dia melihat kepada kuburan seraya berkata, ‘Tidak berguna bagiku hartaku, binasalah dariku kekuasaanku.’
Harun al-Rasyid adalah Khalifah Bani Abbasiyah yang paling banyak berjihad, berperang dan zuhud, serta yang paling ahli ibadah kepada Allah, yang paling banyak perhatian terhadap ilmu dan ulama. Hingga masa kepemimpinannya adalah zaman keemasan bagi umat islam. Dan teruslah masa kejayaannya dengan menikahkan antara jihad dan haji hingga kematian beliau. Sejarah yang kemilau dari sejarah umat kita yang agung ini, dengan yakin tidak diridhai oleh para musuh Allah, maka mereka pun menyebarkan desas desus batil, dan berbagai kedustaan yang menyesatkan tentang beliau.
Maka mudah-mudahan Allah merahmati Amirul Mukminin, Khalifah Harun ar-Rasyid…dan benar-benar wajib atas setiap orang yang membaca sirah harum khalifah ini untuk mendo’akan rahmat dan ampunan bagi beliau.
Inilah tamparan keras terhadap wajah-wajah Syi’ah dari serial tamparan-tamparan yang akan datang dengan izin Allah….
Oleh: Syeikh Mamduh Farhan Al-Buhairi (Majalah Islam Internasional Qiblati, edisi 05 tahun VII [Rabiul AKhir 1433 H], hal 44-47)