بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh:
Muhyiddin Abdusshomad[1]
Dalam keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, salah satu kewajiban Umat Islam adalah mencintai Ahlul Bait dan para sahabat Nabi Muhammad r. Yang dimaksud dengan Ahlul Bait ialah Ahlul Kisa’ (beberapa orang yang pernah diselimuti oleh Rasulullah SAW) yakni Sayyidah Fathimah, Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain, (dan seluruh keturunan)nya y (Hadits Tirmidzi 2139) dan para istri Nabi r yang kemudian disebut dengan Ummahatul Mukminin (QS. Al-Ahzab: 6 ).
Kecintaan yang dimaksud tetap berpedoman pada prinsip seimbang (tawazun), tengah-tengah (tawassuth), tegak lurus (i’tidal), serta tidak berlebih-lebihan. Karena menanamkan fanatisme buta kepada Ahlul Bait Nabi r dapat menimbulkan citra negatif tentang pribadi mereka. Bahkan pada tingkat tertentu tanpa disadari justru menistakan Ahlul Bait Nabi r sebagai orang-orang yang ambisius, suka berpura-pura, dan penakut (taqiyyah). Padahal Ahlul Bait adalah orang-orang yang dilindungi oleh Allah I dari perilaku yang kotor dan tercela (QS. Al-Ahzab: 33).
Telah maklum bagi seluruh umat Islam bahwa Sayyidina Ali t itu dijuluki"Laitsu Bani Ghalib" pendekar yang tak terkalahkan dalam setiap pertempuran, sangatlah tidak mungkin jika beliau bersikap taqiyyah apalagi menganjurkannya.
Salah satu contoh adalah sikap kelompok yang terlalu berlebihan kecintaannya terhadap Sayyidina Ali t. Dalam keyakinan mereka, ketika Sayyidina Ali t tidak terpilih menjadi khalifah pertama oleh mayoritas sahabat, Sayyidina Ali t marah dan menyuruh para pengikutnya untuk memberontak dan menyebarkan caci maki, dan kelak di akhir zaman, orang-orang yang dianggap merampas jabatannya akan dihidupkan kembali untuk dipukuli, disiksa, disalib dan dikeroyok oleh Sayyidina Alit beserta para putra dan pengikutnya untuk melampiaskan dendam kesumatnya yang berkobar sejak lama, sebagaimana dalam i’tiqad adanya raj’ah.
Kepercayaan ini memang berawal dari kecintaan yang berlebihan kepada Sayyidina Ali t, Namun dampak yang diakibatkan cukup merisaukan, karena hal ini justru menggambarkan potret buram Ahlul Bait Nabi r yang suci dengan gambaran orang-orang yang selalu menyimpan dendam kesumat, gila jabatan, dan tidak berperikemanusiaan.
Dalam keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, hal itu mustahil akan terjadi pada Ahlul Bait Nabi Muhammad r. Karena mereka bagaikan mutiara-mutiara yang berkilauan nan bersih dari sikap dan perilaku yang mengotorinya.
Memang sejarah telah mencatat ada perselisihan antara sebagian Ahlul Bait dan para sahabatnya, tetapi hal tersebut tidak sampai pada tingkat menebarkan dendam kesumat sepanjang zaman. Allah I telah memberikan jaminan-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ. (الاية) الفتح :29.
”Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi senantiasa memelihara kasih sayang diantara sesama mereka.” (QS. Al-Fath: 29).
Keyakinan ini bukan sekedar isapan jempol semata, tetapi didasarkan pada fakta sejarah (dari berbagai literatur baik dari sumber Ahlussunnah maupun Syi’ah) yang menyatakan bahwa di antara Ahlul Bait dan para sahabat Nabi Muhammad rada kemesraan yang terjalin, saling mencintai karena Allah I, tidak ada permusuhan dan dendam kesumat. Diantaranya adalah pernyataan Sayyidina Abu Bakar ttentang kecintaan beliau kepada Ahlul Bait Nabi r:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا .قَالَ اَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي. (صحيح البخاري، رقم 3730).
“Dari ‘Aisyah R.A., sesungguhnya Abu bakar berkata, “Sungguh kerabat-kerabat Rasulullah SAW lebih aku cintai dari pada Ahlul Baitku sendiri. (Shahih al-Bukhari, nomor hadits. 3730).
Sayyidina Umar t juga merupakan salah seorang sahabat yang selalu memperhatikan dan memuliakan Ahlul Bait Nabi r. Simak hadits berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ خَطَبَنَا عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عَلِيٌّ أَقْضَانَا وَأُبَيٌّ أَقْرَؤُنَا (صحيح البخاري، 4121).
“Dari Ibn Abbas, ia bercerita, “Sayyidina Umar pernah berkhutbah kepada kami di atas mimbar Rasulullah r, Ia berkata, “Sayyidina Ali adalah orang yang paling ahli di bidang hukum, dan Ubay adalah orang yang paling fasih bacaannya.” (Shahih al-Bukhari, nomor hadits. 4121) .
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ صَلَّى أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الْعَصْرَ ثُمَّ خَرَجَ يَمْشِي فَرَأَى الْحَسَنَ يَلْعَبُ مَعَ الصِّبْيَانِ فَحَمَلَهُ عَلَى عَاتِقِهِ وَقَالَ بِأَبِي شَبِيهٌ بِالنَّبِيِّ لا شَبِيهٌ بِعَلِيٍّ وَعَلِيٌّ يَضْحَكُ (صحيح البخاري، 3278).
”Dari Uqbah bin Harits ia berkata, ”Suatu ketika Abu Bakar melaksanakan shalat Ashar. Setelah itu berjalan pulang dan melihat Hasan bin Ali sedang bermain dengan anak-anak sebaya. Abu Bakar kemudian menggendongnya seraya berkata, ”Sungguh, anak ini sangat mirip dengan Nabi, tidak mirip Ali”. Mendengar pernyataan ini, Ali tertawa.” (Shahih al-Bukhari, nomor hadits. 3278).
Senda gurau tersebut tentu tidak akan terjadi jika diantara keduanya ada permusuhan. Rasa hormat dan kecintaan Ahlul Bait kepada para sahabat Nabi Muhammad r itu bagaikan kata berjawab gayung bersambut, sebagaimana tergambarkan dalam ungkapan Sayyidina Ali t:
عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ قَالَ ثُمَّ خَشِيتُ أَنْ أَقُولَ ثُمَّ مَنْ فَيَقُولُ عُثْمَانُ فَقُلْتُ ثُمَّ أَنْتَ يَا أَبَتِ قَالَ مَا أَنَا إِلاَّ رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ (سنن ابي داود، 4013).
“Dari Muhammad bin Hanafiyyah, ia berkata, “Saya bertanya kepada ayahku (Ali bin Abi Thalib t), “Siapakah manusia paling mulia setelah Rasulullah r?”, Sayyidina Ali menjawab, ”Sayyidina Abu Bakar t”. Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Sayyidina Ali menjawab, ”Sayyidina Umar bin Khattab t.”. Dengan sedikit ragu-ragu aku bertanya lagi, ”Kemudian siapa lagi?”, Sayyidina Ali menjawab, ” Sayyidina Utsman bin Affan t.” Lalu aku berkata, ”Kemudian Engkau wahai ayahku.” Sayyidina Ali t menjawab (seraya merendahkan diri), ”Tidak, aku hanya seorang laki-laki biasa seperti muslim lainnya.”(Sunan Abi Dawud, nomor hadits. 4013).
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ وُضِعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بَيْنَ الْمِنْبَرِ وَالْقَبْرِ فَجَاءَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حَتَّى قَامَ بَيْنَ يَدَيْ الصُّفُوفِ فَقَالَ هُوَ هَذَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْكَ مَا مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَلْقَاهُ بِصَحِيفَتِهِ بَعْدَ صَحِيفَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى عَلَيْهِ ثَوْبُهُ (مسند أحمد، 823).
“Dari Ibn Umar t ia berkata, “Ketika jenazah Sayyidina Umar diletakkan di antara mimbar dan makam Rasulullah r, Sayyidina Ali t datang dan berdiri di shaf terdepan, seraya mengatakan, “Inilah orangnya, inilah orangnya, inilah orangnya. Mudah-mudahan Allah Imemberikan rahmat-Nya kepadamu. Tidak seorangpun hamba Allah SWT yang paling aku cintai untuk bertemu Allah I (dengan membawa buku catatan yang baik), setelah buku catatan Nabi r, selain dari yang terbentang di tengah-tengah kalian ini (yakni jenazah Sayyidina Umar).” (Musnad Ahmad, nomor hadits. 823).
Ada beberapa hal yang dapat dipahami dari ungkapan Sayyidina Ali ttersebut. Pertama, penghormatan Sayyidina Ali t yang begitu tinggi kepada para sahabat, khususnya tiga khalifah sebelum beliau. Tidak ada rasa dendam atau merasa tersaingi apalagi didholimi. Kedua, kerendahan hati Sayyidina Ali t. Dalam kapasitas beliau sebagai Ahlul Bait, tidak ada perasaan lebih mulia dari yang lain, seraya mengatakan, ”Aku hanya seorang laki-laki biasa seperti muslim lainnya”. Ketiga, mustahil beliau melakukan taqiyyah (pura-pura) dalam ucapannya itu, sebab pujian Sayyidina Ali t diungkapkan pada saat orang yang disanjung tesebut telah meninggal dunia (hadits riwayat Ahmad), bahkan ketika beliau sedang menjadi khalifah seperti dalam hadits riwayat Abu Daud di muka. Data tersebut tidak hanya dicatat dalam kitab-kitab Ahlussunnah, dapat ditemukan juga dalam kitab-kitab Syi’ah, misalnya dalam kitab Talkhis Asy-Syafi (Juz. II, Hal. 48), Asy-Syafi (hal. 428), dan lain-lain.
Dalam riwayat lain juga disebutkan:
عَنْ جَمِيْعِ بْنِ عُمَيْرَ التَّيْمِي قَالَ: دَخَلْتُ وَمَعِي عَمَّتِي عَلَى عَا ئِشَةَ فَسَأَلْتُ: أَيُّ النَّاسِ كَانَ أَحَبَّ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَتْ فَاطِمَةُ فَقِيْلَ: مَنِ الرِّجَالُ؟ فَقَالَتْ: زَوْجُهَا إِنْ كَانَ مَاعَلِمْتُ صَوَّاماً قَوَّا ماً (رواه الترمذي).
“Jami’ bin Umair al-Taymi berkata, Suatu saat aku bersama bibiku menemui ‘Aisyah dan aku bertanya kepada beliau: Siapakah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah r, Sayyidah ‘Aisyah menjawab: ialah Fatimah: ditanyakan lagi kepada beliau, kalau dari kalangan laki-laki? Jawab Sayyidah ‘Aisyah: Ialah suaminya (Sayyidina Ali) karena aku tahu dia itu rajin berpuasa dan sebagai laki-laki yang penuh tanggung jawab.” (HR. Tirmidzi, nomor hadits 3873).
Mungkinkah Sayyidah ‘Aisyah RA. menyampaikan hadits tersebut jika di lubuk hatinya ada dendam dan iri hati kepada Sayyidah Fatimah RA atau kepada Sayyidina Ali t? Jawabnya: Tentu tidak mungkin, karena hadits tersebut menginformasikan keutamaan Sayyidina Ali t dan Sayyidah Fatimah.
Tidak hanya sampai di sini, kecintaan dan rasa persaudaraan itu berlangsung terus hingga sampai pada keturunan mereka. Bahkan kecintaan yang mendalam diantara para sahabat dengan Ahlul Bait Nabi Muhammad r tidak cukup dengan pernyataan semata, tetapi sampai pada pembuktian yang nyata seperti memberikan nama putra mereka dengan nama para sahabat besar itu.
Jika ditelusuri nama seseorang dapat menunjukkan siapa dirinya. Nama merupakan pembeda, yang membedakan seseorang dengan yang lain. Hal ini berlaku bagi seluruh manusia. Orang yang berakal tidak pernah ragu akan pentingnya nama. Sebab, melalui nama orang yang dilahirkan akan dikenal dan dibedakan dari saudara-saudaranya sendiri atau orang lain. Nama itu akan menjadi tanda bagi diri yang bersangkutan dan bagi putra-putrinya kelak. Ketika seseorang sudah mati, namanya akan tetap hidup sepeninggalnya.
Nama dalam bahasa arabnya "Al-Ismu", dari akar kata "As-Sumuw" yang bermaka mulia dan tinggi. Atau berasal dari kata: "Al-Wasmu" yang berarti tanda. Kedua makna tersebut menegaskan akan pentingnya nama bagi seseorang. Nama seseorang melambangkan agama dan tingkatan akalnya. Fakta pemberian nama-nama tersebut bisa dilihat dalam contoh nama-nama dibawah ini.
Misalnya Sayyidina Ali t di antara tiga puluh tiga putra-putri beliau ada yang diberi nama Abu Bakar, Umar, dan Utsman (Imam Ali bin Abi Thalib, hal. 9). Umar al-Athraf bin Ali, beliau diantara orang yang menjadi korban sebagai syahid di medan Karbala. (al-Fushul al-Muhimmah, hal. 143).
Untuk lebih jelasnya, setelah wafatnya Sayyidah Fathimah RA., Sayyidina Ali RA. menikah dengan sejumlah wanita yang melahirkan beberapa putra dan putri, diantaranya: Abbas bin Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Ali bin Abi Thalib, Ja’far bin Ali bin Abi Thalib, Ibu mereka adalah Umm Al-Banin binti Hizam bin Darim.
Ubaidullah bin Ali bin Abi Thalib , Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib . Ibu keduanya adalah Laila binti Mas’ud Al-Darimiyyah.
Yahya bin Ali bin Abi Thalib, Muhammad Al-Ashghar bin Ali bin Abi Thalib, ’Aun bin Ali bin Abi Thalib. Ibu mereka adalah Asma’ binti Umais.
Ruqayyah binti Ali bin Abi Thalib, Umar bin Ali bin Abi Thalib-yang meninggal dunia pada usia 35 tahun. Ibu Keduanya adalah Ummu Habib binti Rabi’ah.
Dan masih ada beberapa putra-putri lagi dari ibu yang lain (Kasyful Ghummah fi Ma’rifah al-A’immah, juz. 2, hal. 66. Ali al-Arbili)
Sayyidina Hasan memberi nama Abu Bakar dan Umar diantara 14 putra-putrinya. Sedangkan Umar bin Al-Hasan termasuk yang wafat secara syahid di medan Karbala (Maqatil Al-Thalibiyyin, hal. 119). Sayyidina Husain juga memberi nama Abu Bakar dan Umar diantara 9 putra putrinya (Muqaddimah Allimu Auladakum Mahabbata Ali baitin Nabi). Abu Bakar bin Husain Al-Syahid termasuk diantara salah satu Syuhada’ di medan Karbala. (Al-Tanbih wal Isyraf, hal. 263). Imam Ali Zainal Abidin t menunjukkan kecintaannya kepada para sahabat Nabi r juga dengan memberi nama salah seorang putranya dengan nama Umar. Begitu pula Imam Musa Al-Kadzim memberi nama salah satu putranya dengan nama Abu Bakar (Kasyful Ghummah, juz. 2, hal. 217), Imam Ali Al-Ridla t memberi nama salah seorang putrinya dengan nama ’Aisyah (Kasyful Ghummah, juz. 2, hal. 237), dan Imam Ali al-Hadi t juga memberi nama salah seorang putrinya dengan nama ’Aisyah. (Al-Fushuulul Muhimmah, hal. 238).
Siapapun tahu bahwa orang yang memberikan nama pada putra-putrinya, tentu memilih nama-nama yang paling disukai sembari tersirat sebuah harapan semoga anak yang dimaksud dapat meneladani dan memiliki kualitas individu seperti orang yang ditiru namanya. Sudah pasti hal itu tidak akan terjadi bilamana di hati mereka ada permusuhan dan dendam kesumat. Ini sebagai bukti bahwa Allah Imelindungi Ahlul Bait Nabi Muhammad r dari berbagai penyakit hati.
Isteri Sayyidina Husain yang bernama Syahrbanu adalah puteri dari Yazdajird, raja terakhir dari kerajaan Persia. Semula beliau adalah tawanan perang bersama dayang-dayang kerajaan yang diboyong ke Madinah. Kemudian beliau dihadapkan kepada Sayyidina Umar bin Al-Khaththab t. Semua orang menduga bahwa beliau akan dinikahi oleh Sayyidina Umar bin Al-Khaththab t sendiri atau paling tidak akan dinikahkan dengan putra beliau sendiri, Abdullah bin Umar t. Akan tetapi di luar dugaan justru Sayyidina Umar t menyerahkan putri Yazdajird tersebut kepada Sayyidina Husain t sembari berkata:
يَا أَباَ عَبْدِ الله لَتَلِدَنَّ لَكَ مِنْهَا خَيْرَ أَ هْلِ اْلأَ رْضِ.
“Wahai Aba Abdillah (nama panggilan Sayyidina Husain t)! Pernikahan engkau dengan Syahrbanu kelak akan melahirkan sebaik-baik manusia di atas bumi.”
Maka kemudian puteri Yazdajird tersebut dinikahi oleh Sayyidina Husain, dari pernikahan ini lahir seorang putra bernama Ali bin Husain yang dikenal dengan gelar Zainal Abidin (Al-Kafi, juz. 1, hal. 466-467). Riwayat tersebut tampak jelas bahwa Sayyidina Umar t sangat menghormati dan mencintai Sayyidina Husain t baik dengan ucapan maupun tindakan.
Bahkan lebih jauh, kecintaan antara para sahabat dan Ahlul Bait Nabi Muhammad r tidak hanya terbatas pada pemberian nama pada putra-putranya saja, tetapi berlanjut sampai tingkatan pernikahan dan perbesanan. Misalnya Sayyidina Umar t menikah dengan Ummi Kultsum t putri Sayyidina Ali t. (Al-Kafi, juz. 5, hal. 346). Zaid bin Amr bin Utsman bin Affan t. menikah dengan Sukainah binti Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib t Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan menikah dengan Fathimah binti Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib t yang kemudian berputra Muhammad al-Diibaaj t (Nasabu Quraisy li al-Zubairi, juz. IV, hal. 114 dan 120) Perlu diketahui pula bahwa Sayyidina Utsman t adalah keponakan sepupu dari Sayyidina Ali t dari jalur ibunya yang bernama Arwa binti Baidla’ binti Abdul Muththalib. (Muruj al-Dzahab li al-Mas’udi, juz. 2, hal. 340). Dengan demikian di tubuh Sayyidina Utsman t juga mengalir darah Bani Abdul Muththalib.
Imam Muhammad Al-Baqir, ayahanda dari Imam Ja’far Al-Shadiq t menikah dengan cucu Sayyidina Abu Bakar t, yakni Ummu Farwah putri Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar t Ibu dari Ummu Farwah tersebut ialah Asma’ binti Abdurrahman bin Abu Bakar yang saudara sekandung dengan ’Aisyah t (Al-Kafi, juz. I, hal. 472). Dan dalam konteks inilah Imam Ja’far al-Shadiq t menyatakan:
وَلَدَنِيْ أَبُوْ بَكْرٍ مَرَّتَيْنِ (ابن عنبة, عمدة الطالب : 195)
“Abu Bakar telah melahirkan aku dua kali (yakni dari jalur kakek dan nenek dari ibunya).”(Ibn ‘Anbah, Umdat al-Thalib, hal. 195).
Jadi sangat tidak masuk akal jika Imam Ja’far Al-Shadiq yang mulia mengajarkan caci maki kepada kakeknya sendiri yang jauh dari akhlaqul karimah. Simaklah baik-baik apa yang dikatakan oleh Imam Ja'far Al-Shadiq t kepada muridnya yang bernama Salim bin Abi Hafshah:
عَنْ سَالِمْ بنُ أَبِي حَفْصَة, قَالَ لَهُ جَعْفَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: يَا سَالِمُ! أَيَسُبُّ الرُّجُلُ جَدَّهُ؟ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ جَدِّيْ. وَمَا أَرْجُو مِنْ شَفَاعَةِ عَلِيٍّ شَيْئًا, إِلاَّ وَأَرْجُوْ مِنْ شَفَاعَةِ أَبِي بَكْرٍ مِثْلَهُ. (عُقُوْدُ الاَلْمَاسِ, ص 97).
"Wahai Salim adakah seorang cucu akan memaki kakeknya sendiri? Abu Bakar adalah kakekku, jika aku mengharapkan syafaat dari Ali t tentu aku mengharapkan syafaat yang sama dari Abu Bakar t. " (Uqud Al-Almas, hal. 97).
Last but not least, Sayyidina Ali t menikah dengan Asma’ binti Umais (janda Sayyidina Abu Bakar t) yang dalam catatan buku-buku Syi’ah, Asma’ binti Umais tersebut adalah perawat yang setia menemani Sayyidah Fatimah t selama sakit di akhir hayatnya, padahal Asma' binti Umais tersebut pada waktu itu masih menjadi istri dari Abu Bakar t (Al-Amali, juz. I, hal. 107). Al-Irbili mengatakan bahwa Asma’ binti Umais adalah orang yang turut memandikan jenazah Sayyidah Fathimah t(Kasyful Ghummah, juz. I, hal. 237). Al-Majlisi mengokohkan bahwa Sayyidah Fathimaht berwasiat agar Asma’ binti Umais turut mengkafani dan mengantarkan jenazah Sayyidah Fathimah t, kemudian Asma’ melaksanakan wasiat tersebut (Jila’ul Uyun, hal. 235 dan 242). Hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa seizin Abu Bakar t sebagai suaminya. Sebab, seorang istri yang shalehah, tidak mungkin keluar rumah tanpa izin sang suami. Jika Asma' bukan wanita yang salehah, tentu sayyidina Ali t tidak akan menikahinya. Sebagaimana firman Allah SWT:
اَلخَبِيْثَاتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثَاتِ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِ أُوْلَئِۤكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيْـمٌ.
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (syurga).” (QS. al-Nuur: 26)
Fakta-fakta tersebut menambah keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah bahwa Sayyidina Ali t tidak memiliki masalah dengan Sayyidina Abu Bakar t, bahkan Sayyidina Ali t sejak awal turut membai’at Sayyidina Abu Bakar t sebagai Khalifah pertama sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Hibban (Irsyad As-Sari, juz. VI, hal. 377) dan Ibn al-Atsir (Al-Kamil, juz. II, hal. 220). Yang dikuatkan oleh pernyataan Sayyidina Ali t ketika membaiat Sayyidina Abu Bakar t, beliau mengatakan:
وَاِنَّا لَنَرَى أَبَا بَكْرٍ أَحَقَّ النَّاسِ بِهَا
“Kami melihat Abu Bakar t memang orang yang paling berhak menjadi khalifah”. (Syarh Nahj al-Balaghah, juz I hal 132)
Bahkan, ketika Sayyidina Ali t diminta kesanggupannya untuk menjadi khalifah, beliau berkomentar sebagai berikut:
دَعُوْنِي وَالْتَمِسُوْا غَيْرِي فَأَنْ أَكُوْنَ لَكُمْ وَزِيْرًا خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ أَكُوْنَ عَلَيْكُمْ أَمِيْرًا.
“Tinggalkan aku, dan cari orang lain. Bagiku, menjadi wazir (menteri) lebih baik daripada menjadi Amir (khalifah) bagi kalian”. (Nahj Al-Balaghah, hal 181-182)
Selanjutnya, ketika Sayyidina Ali t didesak agar menjadi khalifah pasca terbunuhnya Sayyidina Utsman t, beliau menolak. Dan ketika desakan itu tidak mampu beliau bendung, beliau menerimanya dan menyatakan demikian:
وَاللهِ مَا كَانَتْ لِي فِي الْخِلَافَةِ رَغْبَةٌ وَلَا فِي الْوِلَايَةِ إِرْبَةٌ, وَلَكِنَّكُمْ دَعَوْتُمُوْنِي إِلَيْهَا, وَحَمَلْتُمُوْنِي عَلَيْهَا.
“Demi Allah! Aku sama sekali tidak menghendaki khilafah, dan tidak ada hasrat hati untuk menduduki wilayah, hanya saja kalian mengajakku dan membawaku padanya (kekhilafahan)”.(Nahj Al-Balaghah, hal 322)
Berbagai pernyataan tersebut merupakan indikator yang jelas bahwa Sayyidina Ali t benar-benar tidak mendapatkan wasiat dari Rasulullah SAW untuk menjadi khalifah. Dengan bukti beliau menyatakan: "hanya saja kalian mengajakku dan membawaku padanya (kekhilafahan)". Artinya yang menyuruh menjadi khalifah itu para sahabat dan bukan Rasulullah SAW.
Dengan demikian antara Sayyidina Ali t dan Sayyidina Abu Bakar t pada hakikatnya telah terjalin tautan kasih dan tambatan sayang yang kokoh bak karang di tengah lautan yang tak pernah goyah oleh deburan ombak yang dahsyat sekalipun. Begitu juga dengan Sayyidina Umar t, Sayyidina Utsman t dan para sahabat y lainnya. Ini adalah bukti kesuksesan Nabi Muhammad r dalam membimbing Ahlul Bait dan para sahabatnya.
Sejatinya, kalau dipikirkan dengan sederhana semua umat Islam mengetahui bahwa Sayyidina Abu Bakar t dan Sayyidina Umar t adalah mertua dari Rasulullahr. Sayyidah ’Aisyah binti Abu Bakar dan Sayyidah Hafshah binti Umar dinikahi Rasulullah r. Sementara dua puteri Rasulullah Sayyidah Ruqayyah dan Sayyidah Ummu Kultsum dinikahi oleh Sayyidina Utsman t secara berurutan. Sedangkan Sayyidah Fatimah adalah isteri Sayyidina Ali t. Nabi r tentu tidak salah dalam memilih mertua dan menantu karena beliau terjaga dari berbuat kesalahan (ma’shum).
Jika kita benar-benar mencintai Ahlul Bait dan sahabat Nabi Muhammad r, tentu kita harus mencontoh sikap santun dan kerendahan hati mereka. Sebagai orang terdekat Nabi Muhammad r, yang bersih hati dan lidahnya, mereka jauh dari hal-hal yang mengotorinya, semisal umpatan dan caci maki, apalagi hasut dan dengki. Semua itu jauh dari mereka, sejauh panggang dari api, walaupun di sisi lain tanpa harus menumbuhkan fanatisme buta yang berujung pada kultus yang dilarang agama. Begitu pula sebaliknya, sikap anti pati, memusuhi apalagi mengkafirkan generasi terbaik Islam itu harus dijauhkan dari dalam dada kita.
Inilah cerminan sikap tawassuth, tawazun dan i’tidal golongan Aswaja kepada Ahlul Bait dan sahabat Nabi r. Dan dengan cara inilah kita mencintai ahlul bait dan sahabat Nabi r secara proporsional.