Di Antara Ciri-Ciri Syi'ah ketika ditanya, anda Sunni
atau syi'i? dia akan menjawab; "saya muslim"
Terkait
istilah ana muslim, semua umat Islam sepakat bahwa mereka harus menamakan
dirinya Muslim, tidak menamakan dirinya Yahudi atau Nasrani, bukan juga Shobi’.
Sebagaimana firman Allah
swt,
هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia,” (al-Hajj: 78)
Inilah ajaran Islam. Yaitu menamakan diri dengan muslimin. Karena penamaan ini telah ada dalam kitab-kitab sebelum alQur’an dan juga di dalam alQur’an.
Pernyataan tegas “Saya muslim” perlu disampaikan ketika status keislaman dipertanyakan, atau ada yang meragukan keislaman kita. Ini bertujuan untuk memisahkan antara Islam dan kafir. Karena selain Islam adalah bathil.
Adapun terkait masalah sunni-syi’ah, para ulama telah sepakat, bahwa Syi’ah yang berkembang hari ini telah keluar dari Islam. Karena mereka adalah pecahan dari Syi’ah Rafidhah atau imamiyah. Oleh karena itu, memperjelas posisi dan status keSyi’ahan atau keSunniyan pada konteks kekinian, terutama setelah nyata permusuhan Syi’ah atas umat Islam di Suriah, adalah suatu keharusan. Karena dengan memperjelas status inilah, garis perkawanan (loyalitas) dan perlawanan (disloyalitas) akan bisa diterapkan.
Ibarat status kewarnegaraan, agar bisa tinggal atau bertempat di salah satu negara, dewasa ini dibutuhkan kejelasan identitas. Semua orang maklum bahwa semua manusia adalah manusia, sebagaimana semua umat Islam adalah muslimin. Hanya saja, untuk menerapkan hukum-hukum yang berlaku, kepada seseorang tentu dibutuhkan kejelasan status.
Maka jika ada seseorang ditanya, “Anda warga mana, Indonesia apa Malaysia” kemudian ia menjawab, “Saya manusia.” Tentu ini merupakan tindakan bodoh. Sama halnya dengan kebodohan orang yang menjawab, “Saya muslim.” Saat ditanyai status “Apakah Anda Sunni atau Syi’ah.” Seharusnya pertanyaan yang khusus, jawabannya harus khusus.
Selain itu, ternyata, ungkapan “saya muslim,” saat ditanya “Apakah anda Sunni atau Syi’ah, adalah jawaban standar seorang Syi’ah yang bertaqiyyah. Hal ini terungkap di tulisan putra Jalaluddin Rahmat, Miftah, dalam buku, “Islam ‘madzhab’ Fadhlullah.” (hlm. 40)
~Berikut kisahnya yang ia tutur terkait kekagumannya terhadap sosok Fadhlullah –tokoh spritual Hizbullah-,
Konon Fadhlullah pernah ditanya, “Sayyid, bagaimana saya harus menjawab bila ada yang bertanya tentang madzhab saya?”, “Jawablah, ana muslim,” jawab Fadhlullah.
(Miftah melanjutkan kisahnya), “Suatu saat saya di Pusat Bahasa Universitas Damaskus, Mansur, kawan saya dari Amerika bertanya kepada saya: Antum Sunni au Syi’i? Kamu sunni atau Syi’ah? Saya teringat ajaran Sayyid Fadhlullah. Saya menjawab, “Ana Muslim,” Dan dia tergelak tawa terbahak-bahak seraya berkata, “Kamu Pasti Syi’ah, Kamu Pasti Syi’ah.”
Saya bertanya, “Lho, dari mana Antum bisa yakin kalau saya Syi’ah? Saya muslim.” Dia kemudian menjawab, “Tidak, kamu pasti orang Syi’ah. Karena hanya orang Syi’ah yang jika ditanya apa madzhabnya, dia menjawab: Ana Muslim.”…
Saya tidak punya cara membuktikan pada dia sebaliknya. Saya kehilangan kata-kata. “Ya sudah,” ujar saya. “terserah pendapat Antum. Kalau Antum sendiri bagaimana? Sunni atau Syi’ah?” Lalu dia tersenyum dan menjawab, “Ana muslim juga. Sungguh indahnya perjumpaan saya dengan sahabat saya dengan sahabat saya itu, karena ajaran yang saya terima dari Sayyid.” –selesai kisah Miftah-.
Jadi, jawaban “saya muslim,” dalam kamus Syi’ah adalah kalimat standar operasi. Baik itu bertujuan mengelabui umat Islam atau agar kelihatan bijaksana: bervisi menyatukan umat Islam. Kalimat-kalimat ‘ana muslim’ saat ditanya ‘Anda Sunni atau Syi’ah’ sudah biasa terucap dari orang-orang yang mendidolakan Khumaini.* Hasbunallah wanikmal wakil.
هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia,” (al-Hajj: 78)
Inilah ajaran Islam. Yaitu menamakan diri dengan muslimin. Karena penamaan ini telah ada dalam kitab-kitab sebelum alQur’an dan juga di dalam alQur’an.
Pernyataan tegas “Saya muslim” perlu disampaikan ketika status keislaman dipertanyakan, atau ada yang meragukan keislaman kita. Ini bertujuan untuk memisahkan antara Islam dan kafir. Karena selain Islam adalah bathil.
Adapun terkait masalah sunni-syi’ah, para ulama telah sepakat, bahwa Syi’ah yang berkembang hari ini telah keluar dari Islam. Karena mereka adalah pecahan dari Syi’ah Rafidhah atau imamiyah. Oleh karena itu, memperjelas posisi dan status keSyi’ahan atau keSunniyan pada konteks kekinian, terutama setelah nyata permusuhan Syi’ah atas umat Islam di Suriah, adalah suatu keharusan. Karena dengan memperjelas status inilah, garis perkawanan (loyalitas) dan perlawanan (disloyalitas) akan bisa diterapkan.
Ibarat status kewarnegaraan, agar bisa tinggal atau bertempat di salah satu negara, dewasa ini dibutuhkan kejelasan identitas. Semua orang maklum bahwa semua manusia adalah manusia, sebagaimana semua umat Islam adalah muslimin. Hanya saja, untuk menerapkan hukum-hukum yang berlaku, kepada seseorang tentu dibutuhkan kejelasan status.
Maka jika ada seseorang ditanya, “Anda warga mana, Indonesia apa Malaysia” kemudian ia menjawab, “Saya manusia.” Tentu ini merupakan tindakan bodoh. Sama halnya dengan kebodohan orang yang menjawab, “Saya muslim.” Saat ditanyai status “Apakah Anda Sunni atau Syi’ah.” Seharusnya pertanyaan yang khusus, jawabannya harus khusus.
Selain itu, ternyata, ungkapan “saya muslim,” saat ditanya “Apakah anda Sunni atau Syi’ah, adalah jawaban standar seorang Syi’ah yang bertaqiyyah. Hal ini terungkap di tulisan putra Jalaluddin Rahmat, Miftah, dalam buku, “Islam ‘madzhab’ Fadhlullah.” (hlm. 40)
~Berikut kisahnya yang ia tutur terkait kekagumannya terhadap sosok Fadhlullah –tokoh spritual Hizbullah-,
Konon Fadhlullah pernah ditanya, “Sayyid, bagaimana saya harus menjawab bila ada yang bertanya tentang madzhab saya?”, “Jawablah, ana muslim,” jawab Fadhlullah.
(Miftah melanjutkan kisahnya), “Suatu saat saya di Pusat Bahasa Universitas Damaskus, Mansur, kawan saya dari Amerika bertanya kepada saya: Antum Sunni au Syi’i? Kamu sunni atau Syi’ah? Saya teringat ajaran Sayyid Fadhlullah. Saya menjawab, “Ana Muslim,” Dan dia tergelak tawa terbahak-bahak seraya berkata, “Kamu Pasti Syi’ah, Kamu Pasti Syi’ah.”
Saya bertanya, “Lho, dari mana Antum bisa yakin kalau saya Syi’ah? Saya muslim.” Dia kemudian menjawab, “Tidak, kamu pasti orang Syi’ah. Karena hanya orang Syi’ah yang jika ditanya apa madzhabnya, dia menjawab: Ana Muslim.”…
Saya tidak punya cara membuktikan pada dia sebaliknya. Saya kehilangan kata-kata. “Ya sudah,” ujar saya. “terserah pendapat Antum. Kalau Antum sendiri bagaimana? Sunni atau Syi’ah?” Lalu dia tersenyum dan menjawab, “Ana muslim juga. Sungguh indahnya perjumpaan saya dengan sahabat saya dengan sahabat saya itu, karena ajaran yang saya terima dari Sayyid.” –selesai kisah Miftah-.
Jadi, jawaban “saya muslim,” dalam kamus Syi’ah adalah kalimat standar operasi. Baik itu bertujuan mengelabui umat Islam atau agar kelihatan bijaksana: bervisi menyatukan umat Islam. Kalimat-kalimat ‘ana muslim’ saat ditanya ‘Anda Sunni atau Syi’ah’ sudah biasa terucap dari orang-orang yang mendidolakan Khumaini.* Hasbunallah wanikmal wakil.