Oleh: H. Setiabudi
Lembaga Kajian
Syamina
YAMAN merupakan satu
unsur penting yang membentuk bangunan peradaban Islam sejak awal mula
kedatangan agama ini. Penduduk
Yaman mulai memeluk Islam secara massal sejak masa Nabi Muhammad. Sejak saat
itu pula, partisipasi mereka dalam futuhat (ekspansi pembebasan) Islam sangat
signifikan.
Hingga kini, di masa ketika Islam mengalami masa-masa surut dalam platform
politik dunia, kaum jihadi sebagai representasi utama pejuang Muslim,
memperlihatkan eksistensi mereka di Yaman sebagai lokasi yang memiliki nilai
‘sakral’ bagi dunia Islam.
Rangkaian pergolakan Arab Springs yang pecah Desember 2010 lalu telah
menyeret Yaman ke dalam pusarannya sejak Januari 2011. Konflik yang melibatkan
kekuatan-kekuatan dominan (key players)
di Yaman sangat menentukan terjadinya eskalasi ketegangan. Kekuatan Muslim
Sunni di Selatan, Syiah Al-Hautsi di utara dan rezim pemerintah di ibukota
terlibat konflik bersenjata dan perebutan pengaruh sejak saat itu. Sementara
itu, unsur-unsur Gerakan Yaman Selatan, suku-suku lokal, kepentingan regional
dan internasional dari negara-negara berpengaruh juga turut hadir di Yaman
dalam ranah politik yang cukup rumit.
Kini, situasi chaos mendera Yaman menyusul pengepungan istana
dan pelengseran pemerintah yang dilakukan oleh militan Syiah Al-Hautsi.
Kekacauan yang terjadi ini, oleh sebagian pejuang Sunni dipandang sebagai
‘rahmat’ yang membuka jalan menuju perubahan mendasar. Situasi ini merupakan
momen penting yang selama ini ditunggu-tunggu oleh para jihadis untuk
memuluskan proyek besar menegakkan khilafah. Namun, tentunya bukan hal ringan
bermain di tengah situasi amat pelik semacam ini.
A. Syiah Al-Hautsi
Salah satu unsur penting dalam persoalan Yaman ialah kelompok Syiah
Al-Hautsi. Kelompok bersenjata Al-Hautsi, yang lebih familiar dengan nama Ansar Allah di kalangan internal mereka, memiliki basis
wilayah di provinsi Sa’ada, yang berjarak sekitar 240 km arah utara ibukota
Shan’a. Provinsi ini berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Arab Saudi.
Kelompok Al-Hautsi ini merupakan pengikut sekte Zaidiyah. Sebuah sekte Syiah
yang dinisbatkan kepada nama Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin
Abi Thalib (wafat 122 H).[1]
Zaidiyah merupakan salah satu sekte Syiah yang secara eksklusif eksis di
Yaman. Kelompok ini memiliki andil dalam kekuasaan dalam waktu yang sangat
lama, lebih dari beberapa abad, dan mereka tetap memimpin Yaman hingga tahun
1962 ketika terjadi revolusi Yaman.
Zaidiyah dinilai sebagai sekte Syiah yang paling banyak memiliki kemiripan
dengan Sunni. Namun demikian, Zaidiyah meyakini konsep imamah sebagai unsur
esensial dalam agama mereka. Mereka membatasi imamah hanya boleh dipegang oleh
keturunan Fathimah, putri Nabi Muhammad. Keyakinan ini sekaligus menjadi
pembeda antara mereka dengan Sunni. Al-Hautsi kerapkali dituduh—bahkan oleh
antar-sesama Zaidi sendiri—bahwa secara rahasia telah berubah haluan menjadi
pengikut sekte Syiah Imamiyah, yang menjadi agama resmi negara sekutu mereka,
Iran.[2]
Sebagai sebuah catatan penting, Syiah Zaidiyah dahulu memang dinilai dekat
dengan Ahlussunnah atau Sunni. Namun kini, banyak kalangan menilai bahwa sekte
ini sudah banyak menyimpang dari generasi awalnya. Kalangan Zaidiyah tidak
memiliki kaidah baku. Kadang mereka mencela sebagian Sahabat Nabi Muhammad,
seperti Abu Hurairah, ketika ia meriwayatkan hadits yang tidak sesuai hawa
nafsu mereka. Namun, saat sesuai nafsu mereka, maka mereka akan menerimanya.
Terlebih lagi, sekarang ini, Syiah Zaidiyah semakin merapat kepada Syiah
Imamiyah Iran. Kedekatan
mereka dengan Iran mulai kentara sejak Revolusi Syiah Iran tahun 1979. Apalagi
hari ini, fakta-fakta bahwa Iran menyokong pemberontakan Syiah Al-Hautsi yang
menisbatkan diri sebagai Syiah Zaidiyah, sudah menjadi rahasia umum.
Dari kalangan ulama Indonesia, paling tidak, kita dapati K.H. Hasyim
Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama, mengingatkan tentang kesesatan Syiah. Bahkan
secara spesifik menyebut Syiah Zaidiyah dalam tulisannya, Risalah fie Ta’akkudi al-Akhdzi bi al-Madzahib al-Arba’ah (Risalah tentang Penekanan untuk Mengambil
Madzhab Empat Imam) sebagai ahli bid’ah. Ditulisnya, “Bukanlah yang disebut
madzhab pada masa-masa sekarang ini dengan sifat yang demikian, melainkan
Madzahib Arba’ah (Madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad bin Hambal). Selain daripada itu, seperti Syiah Imamiyah dan Syiah
Zaidiyah, mereka adalah ahli bid’ah (heretik) yang pendapat-pendapatnya tidak
boleh dipegangi (oleh umat Islam).”[3]
Perlu
digarisbawahi bahwa penilaian tersebut mengambil standar minimal: Syiah
Zaidiyah adalah sesat dan menyimpang. Dengan begitu, bisa disimpulkan bahwa
jika Syiah yang dulunya dianggap paling “mirip” dengan Sunni saja sudah
dianggap sesat, lalu bagaimana dengan yang tidak “mirip”? Untuk perkembangan
selanjutnya, apakah Zaidiyah sudah keluar dari Islam secara total atau belum,
maka dibutuhkan penelitian lebih jauh dan ruang pembahasan lebih luas. Namun
yang pasti, kini kelompok minoritas Syiah Al-Hautsi memiliki hubungan erat
dengan Syiah Imamiyah (Itsna Asyariah: yang percaya kepada dua belas imam) yang
mayoritas terdapat di Irak, Lebanon dan terutama Iran.
Syiah
Zaidiyah saat ini berkembang hanya di sebagian wilayah Yaman dan beberapa
daerah di sekitarnya. Namun, itu pun dalam jumlah yang sangat kecil. Di Yaman
sendiri, gerakan Al-Hautsi mengangkat nama aliran Syiah Zaidiyah ini yang
sejatinya mulai tergerus oleh corak dominan Syiah Iran. Al-Hautsi dinilai
sebagai kran pembuka pengaruh Syiah Itsna Asyariyah di Yaman. Sebab, sebelumnya
tidak pernah ada eksistensi Syiah Itsna Asyariyah di sepanjang sejarah Yaman.
Kisah
tentang Al-Hautsi, jika dirunut ke belakang, bermula di Sa’ada sebagai titik
konsentrasi umumnya kaum Zaidiyah. Pada tahun 1986, terbentuklah lembaga
Persatuan Pemuda (Ittihad Asy-Syabab).
Lembaga ini bertujuan untuk mengajarkan paham Zaidiyah bagi para pemeluknya.
Badruddin Al-Hautsi, salah satu ulama Zaidiyah saat itu, termasuk salah satu
pengajar di lembaga tersebut.
Menyusul
terjadinya penyatuan Yaman Utara dan Yaman Selatan pada tahun 1990, situasi
politik berubah. Kesempatan multi partai terbuka lebar. Untuk itu, Ittihad Asy-Syababmenjelma
menjadi Hizb Al-Haqq (Partai
Kebenaran) yang merepresentasikan kepentingan kaum Zaidiyah. Husain
Al-Hautsi—putra Badruddin Al-Hautsi—muncul ke permukaan sebagai tokoh terkemuka
di partai ini.
Seiring
dengan semua peristiwa itu, terjadi perselisihan besar antara Badruddin
Al-Hautsi dengan ulama Zaidiyah lain di Yaman seputar fatwa historis yang
disepakati ulama Zaidiyah Yaman. Khususnya, ulama yang menjadi rujukan bagi
kalangan Zaidiyah, Majduddin Al-Mu’ayyadi, yang menyatakan bahwa syarat nasab
keturunan Hasyim untuk menjadi pemimpin sudah tidak lagi diterima saat ini.
Rakyat boleh memilih siapa saja yang layak untuk berkuasa tanpa syarat harus
berasal dari keturunan Al-Hasan atau Al-Husain.
Badruddin
Al-Hautsi menentang keras fatwa ini. Terlebih, dirinya berasal dari kelompok
Jarudiyah, salah satu kelompok Zaidiyah yang relatif memiliki kesamaan dengan
pemikiran-pemikiran Syiah Itsa Asyariyah. Bahkan, ia menulis sebuah buku
berjudulAz-Zaidiyah fil Yaman.
Dalam buku itu, ia memaparkan sisi kesamaan antara Zaidiyah dengan Itsna
Asyariyah.
Karena
adanya arus penentangan yang cukup hebat terhadap pemikirannya yang menyimpang
tentang Zaidiyah, Badruddin terpaksa pindah ke Teheran, Iran. Ia tinggal selama
beberapa tahun di sana.
Meski
telah pergi dari Yaman, namun pemikiran Itsna Asyariyah yang ditinggalkan
Badruddin Al-Hautsi mulai menyebar, khususnya di kawasan Sa’ada dan sekitarnya.
Itu terjadi pada sekitar tahun 1997. Pada saat yang sama, Husain Al-Hautsi
mengundurkan diri dari Hizb Al-Haqq dan
membentuk kelompok tersendiri. Pada mulanya hanya berupa kelompok kajian ilmu
pengetahuan agama dan pemikiran. Bahkan, kelompok ini menjalin kerjasama dengan
pemerintah untuk melawan kekuatan Islam Sunni yang diwakili oleh Partai
Persatuan dan Reformasi Yaman. Namun di kemudian hari berangsur berbalik
menentang pemerintah dimulai sejak 2002.
Husain
Al-Hautsi mampu menciptakan jaringan yang kuat dari pengikut setianya di utara
Yaman, dimana kedudukan Zaidiyah masih tetap kuat meskipun pernah terjadi
penggulingan Imamah Zaidiyah Yaman pada tahun 1962, sebagian karena
liberalisasi politik yang disertai penyatuan Yaman pada tahun 1990 serta krisis
dalam tubuh Zaidiyah sendiri yang dipicu oleh munculnya pengaruh Salafi di
wilayah tersebut.
Pengaruh
Al-Hautsi yang tumbuh di akhir 1990-an itu diiringi oleh perilaku semakin
kontroversial pada sebagian pengikutnya, yang pada gilirannya mendorong
pemerintah mengambil tindakan tegas dalam rangka merespon perubahan dinamika
internasional. Perburuan pemerintah yang pada akhirnya berhasil membunuh Husain
Al-Hautsi, telah melepaskan spiral kekerasan yang dimulai pada tahun 2004 yang
dikenal sebagai enam rangkaian “Perang Sa`ada”. Kelompok ini kemudian berubah
dari jaringan revivalis Zaidi akar rumput di bawah kepemimpinan Husain
Al-Hautsi menjadi kekuatan tempur pemberontak yang kuat di bawah kepemimpinan
saudara seayah Husain, Abdul Malik Al-Hautsi.[4]
Faktor Kekuatan Al-Hautsi
MELIHAT Al-Hautsi yang
sudah sangat mengakar di Yaman, Dr. Raghib As-Sirjani[5] memberikan penilaian
mengenai faktor-faktor penopang kekuatan Al-Hautsi yang membuat mereka mampu
bertahan dan menunjukkan eksistensi mereka dalam rentang waktu yang panjang di
negara itu.
Pertama, tidak mungkin bagi kelompok kecil di salah satu provinsi kecil
di Yaman bisa bertahan dalam jangka panjang tanpa bantuan luar secara kontinyu.
Dapat diketahui bahwa satu-satunya negara yang diuntungkan dengan semakin
meningkatnya kekuatan pemberontak Al-Hautsi adalah Iran.
Iran adalah negara
Syiah Itsna Asyariyah yang berusaha dengan segala cara untuk menyebarkan
pahamnya. Jika negara ini mampu mendorong kekuatan Al-Hautsi untuk menguasai
pemerintahan Yaman, tentu akan menjadi sebuah kemenangan besar baginya. Khususnya,
Iran akan mengepung salah satu benteng besar yang memusuhinya, yakni Arab
Saudi. Sehingga, Saudi akan terkepung oleh Irak di utara, Kuwait dan Bahrain
dari timur, dan Yaman dari selatan. Situasi ini tentu akan memberikan kekuatan
bagi Iran untuk menekan, baik dalam hubungannya dengan dunia Islam Sunni,
maupun dengan Amerika.
Asumsi ini bukan
teori, tapi nyata dan banyak buktinya. Di antaranya pergeseran pemikiran
Badruddin Al-Hautsi yang tadinya menganut Zaidiyah ke arah Itsna Asyariyah.
Padahal, lingkungan Yaman belum pernah mengenal pemikiran Itsna Asyariyah di
seluruh fase sejarahnya.
Iran merangkul
Badruddin Al-Hautsi dengan sekuat tenaga. Bahkan menjamunya di Teheran selama
beberapa tahun. Badruddin mengadopsi pemikiran “kewalian faqih” yang disampaikan
oleh Khomeini sebagai solusi tepat untuk naik ke tampuk kekuasaan, meski ia
bukan keturunan Fathimah. Inilah prinsip yang tidak ada dalam pemikiran Syiah
Zaidiyah.
Selain itu, Iran juga
memberi bantuan politik, ekonomi, dan militer bagi kelompok pemberontak ini.
Bukti kuatnya adalah adopsi media-media massa Syiah Iran yang terefleksikan
dalam berbagai kanal udara, seperti Al-Alam, Al-Kautsar dan lainnya, untuk
mendukung propaganda Al-Hautsi.
Al-Hautsi juga pernah
meminta mediasi kepada ulama referensi Syiah tertinggi Irak, Ayatullah
As-Sistani, yang juga berpaham Itsna Asyariyah. Hal tersebut semakin menegaskan
paham pembangkangan yang dianut oleh kelompok Al-Hautsi.
Kedua, faktor simpati rakyat setempat terhadap gerakan pemberontakan,
bahkan meski sebenarnya mereka tidak tertarik pada pemikiran sesat kelompok
Al-Hautsi. Titik tekan masyarakat sebentulnya adalah karena situasi
perekonomian dan sosial yang sangat buruk di kawasan tersebut. Kondisi
kemiskinan di kawasan utara lebih parah dari yang lain. Di sana kurang mendapat
perhatian pemerintah, berbeda dengan kota-kota besar Yaman. Secara umum dapat
dimengerti bahwa bangsa manapun yang hidup terpinggirkan dan terabaikan akan
cenderung melakukan tindakan pembangkangan, bahkan meski harus dilakukan
bersama dengan kalangan yang tidak sepaham dan berbeda secara prinsip.
Ketiga, faktor kesukuan yang mendominasi Yaman. Berbagai suku dan klan
hidup di Yaman. Hubungan antar-suku adalah persoalan yang amat riskan di Yaman.
Sebab, pengaruh dan kekuatan masing-masing suku memiliki perimbangan yang cukup
signifikan. Banyak sumber menyebutkan, para pemberontak Syiah Al-Hautsi mendapat
bantuan dana dari berbagai kabilah yang menentang kekuasaan pemerintah pusat
karena adanya gejolak antara mereka dengan pemerintah, tanpa memandang agama
atau pun paham yang mereka anut.
Keempat, faktor alam pegunungan Yaman yang menyulitkan pasukan pemerintah
untuk mengatasi gejolak yang terjadi. Kondisi geografis yang demikian merupakan
hambatan tersendiri bagi pergerakan pasukan pemerintah untuk mengontrol wilayah
tersebut. Disamping itu, terdapat banyak pula goa-goa dan tempat persembunyian,
ditambah lagi dengan tidak adanya alat-alat canggih untuk memantau pergerakan
secara detail.
Kelima, faktor terbelahnya konsentrasi pemerintah untuk mengurusi
persoalan tuntutan Yaman selatan untuk memisahkan diri dari Yaman utara. Hal
ini melemahkan kondisi pasukan dan intelijen pemerintah untuk mengendalikan
kelompok Al-Hautsi.
Keenam, ada sebuah analisa yang menjelaskan bahwa keberlangsungan aksi
pemberontakan memang sengaja dibiarkan karena pemerintah menginginkan situasi
ini terjadi! Alasannya, gerakan pemberontakan ini dinilai sebagai ‘berkas
penting’ yang dipegang pemerintah untuk mencari keuntungan-keuntungan
internasional.
Yang paling penting
adalah kerjasama dengan Amerika dalam proyek perang melawan terorisme. Amerika mengisyaratkan adanya hubungan
antara Al-Hautsi dengan Al-Qaidah. Meskipun, kemungkinan sangat jauh sekali.
Sebab, antara Al-Hautsi dan Al-Qaidah perbedaan prinsip mereka jelas sangat
diametral. Namun apapun dalihnya, Amerika selalu ingin tampil di semua wilayah
dunia Islam.
Yaman ingin memanfaatkan hubungan baik ini untuk menopang sisi politik dan
ekonomi, atau minimal Barat tidak membuka dan memperkarakan lembaran-lembaran
pelanggaran hak-hak asasi manusia, diktatrisme, dan lembaran-lembaran hitam
lainnya melibatkan pemerintah Yaman.
Selain itu Yaman juga memanfaatkan hubungan dengan Arab Saudi, karena Saudi
berusaha mendukung Yaman secara politik, militer, dan ekonomi untuk membendung
proyek Syiah Al-Hautsi yang semakin merapat kepada Iran. Berlarutnya isu
Al-Hautsi akan terus mendatangkan bantuan internasional bagi Yaman. Bantuan
juga sangat mungkin datang dari negara-negara Teluk yang juga merasa terancam
dengan eksistensi Syiah.
BERSAMBUNG……
Insya Allah
Catatan
Kaki:
[1] Jarrod J.H. Gillam dan James E. Moran,“The
United States and Yemen: Coin in the Absence of a Legitimate Government”,
Desember 2011, Naval Post Graduate School, Monterey, California.
[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Houthis.
[3] Teks aslinya yang berbahasa Arab dicantumkan oleh
Tim Penulis MUI Pusat dalam buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan
Syiah di Indonesia”, hlm. 34-35.
[4] Lucas Winter, “Yemen’s Huthi Movement in
the Wake of the Arab Spring”, CTC Sentinel, Agustus 2012, Vol. 5, Issue 8.
[5] Dalam buku Asy-Syî’ah Nidhâl am Dhalâl,
bisa diakses melalui http://ketab4pdf.blogspot.com/2015/01/pdf-books-Shiites-struggle-astray-book.html.