Oleh: Budi Marta Saudin
Pekan lalu Malaysia resmi bergabung dengan
koalisi negara-negara Teluk pimpinan Arab Saudi untuk menghentikan aksi kejam
para pemberontak Syiah Hutsi di Yaman.
Malaysia menjadi negara ke-12 yang bergabung
bersama koalisi tersebut, setelah sebelumnya Senegal menyatakan diri ikut serta
dalam koalisi ini. Malaysia juga satu-satunya negara Asia Tenggara yang berani
turut serta dalam penumpasan milisi Syiah ini.
Beberapa tahun lalu pemerintah negeri Jiran
telah resmi melarang ajaran Syiah masuk ke negaranya. Ada indikasi turut serta
Malaysia dalam koalisi pimpinan Saudi ini terkait dengan aturan pelarangan
Syiah tersebut.
Berbeda dengan Indonesia, Malaysia lebih dulu
sadar akan bahaya Syiah. Pelarangan dimaksud, selain ajaran yang menyimpang,
stabilitas keamanan negara pun akan terancam karena mereka akan membentuk
angkatan bersenjata tandingan untuk melawan pemerintah yang sah, seperti yang
terjadi di Lebanon dan Yaman saat ini.
Adapun Indonesia, jangan jauh-jauh bicara
keikutsertaan dalam koalisi. Sekedar memvonis Syiah sesat saja penolakan
terjadi dimana-mana. Sebab pengaruh Syiah di negeri ini sangat kuat meskipun
jumlah mereka saat ini sedikit.
Berlindung dibalik kebebasan beragama, para
penganut Syiah di Indonesia melakukan pembelaan. Tak tanggung-tanggung,
dukungan kepada Syiah terus mengalir baik dari pejabat, pengusaha, politisi
hingga menteri.
Seperti yang dilakukan oleh Menteri Agama
Lukman Hakim Saifuddin yang telah menampakkan dukungannya kepada Syiah meskipun
masih dilakukan dengan malu-malu. Memberikan pengantar buku Syiah berjudul
“Syiah Menurut Syiah”, memberikan izin kepada organisasi Syiah Indonesia untuk
mengadakan pembukaan muktamar di gedung Kementrian Agama hingga pembelaannya
kepada Syiah dengan menggunakan risalah Amman.
Pertama, buku “Syiah menurut Syiah” adalah
sebuah buku yang menikam Ahlussunnah, buku yang jelas-jelas menggambarkan sosok
dan keyakinan Syiah. Menteri Agama justru memberikan pujian dan kata pengantar
pada buku tersebut. Padahal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat telah
mengeluarkan buku tentang bahaya dan penyimpangan ajaran Syiah, tak ada pujian
atau kata pengantar dari Menteri Agama.
Kedua, acara muktamar Ormas Ahlul Bait
Indonesia di gedung Kementrian Agama. Ini adalah tikaman yang telak bagi umat
Islam Indonesia, menunjukkan betapa dekatnya hubungan Syiah dengan Kementrian
Agama karena tak sembarang lembaga bisa menggunakan fasilitas tersebut.
Ketiga, risalah Amman selalu jadi dalil bagi
Syiah dan orang yang membela Syiah bahwa perbedaan Sunni-Syiah hanyalah masalah
cabang, bukan pokok. Padahal, para ulama penandatangan risalah Amman kini
banyak yang menarik diri dari sikapnya, seperti Syaikh Yusuf Al Qardhawi. Dalil
yang digunakan oleh Syiah adalah kejadian masa silam, dimana dahulu Syiah
bermacam-macamg, ada yang kesalahannya ringan ada yang fatal. Padahal saat ini
tak ada Syiah yang memiliki kesalahan ringan. Mereka semua adalah Rafidhah yang
menganggap kafir sebagian besar sahabat nabi dan menganggap kafir orang selain
Syiah.
Kembali ke masalah bergabungnya Malaysia
bersama pasukan koalisi untuk memerangi pemberontak Syiah, tidak usah
mengkhayal terlalu jauh Indonesia akan turut serta. Karena tindakan pasukan
kaolisi di dasari pada ideologi dan keyakinan Syiah adalah ajaran berbahaya,
sedangkan pemerintah Indonesia hingga kini memberikan dukungan dan
perlindungannya kepada para penganut Syiah.
Semoga para pemimpin di negeri ini cepat
sadar betapa bahayanya Syiah, baik dari sisi aqidah maupun stabilitas keamanan.