Oleh
Sendia
Jihad merupakan perkara yang agung dalam syariat. Tidak dapat
dipungkiri, kesungguhan seorang muslim untuk memperjuangkan agamanya bisa
dilihat dari keinginnanya dalam berjihad. Apabila terdapat ruh jihad dalam hati
seseorang maka telah benar kesungguhan imannya.
Namun jihad tidaklah dipandang sebelah mata. Ia tidak hanya
bersungguh sugguh dalam mengorbankan jiwa raganya. Tidak
pula dibatasi dengan senjata api dan perisai pelindung. Jihad adalah menolong
agama Allah. Jihad adalah memperjuangkan agama Allah.
Apakah imam ahmad yang berjuang dengan
pena-nya tidak dinggap sebagai jihad? Sungguh imam ahmad tidak mengangkat
senjata kepada musuh saat itu, namun kitab, fatwa dan pena-nya mengalahkan
musuh musuh Allah. Maka sudah pantaslah beliau menjadi seorang ulama yang
dijuluki mujahid.
Jihad tidaklah boleh ditinggalkan. Walaupun
pedang, senapan dan perisai bukan lagi senjata kita namun segala yang
kita punya bisa menjadi senjata kita.
Pena! senjata yang kita butuhkan saat ini
adalah pena. Seperti jihad yang dilakukan Imam Ahmad, seperti yang dilakukan
Imam As Syafi’I, seperti yang dilakukan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Al
Ghozali. Pena untuk menuliskan suatu kebenaran tentang agama islam. Pena untuk
mengalahkan musuh islam yang membawa syubhat atas dan kesesatan diantara
manusia.
Kita mungkin belum butuh nuklir dan rudal,
bahkan tidak membutuhkannya untuk menggalahkan lawan kita. Kita tidak butuh
rudal, bahkan tidak membutuhkan rudal untuk mengalahkan tentara musuh. Cukup
dengan pena dan tulisan yang Allah berikan taufik di dalamnya.
Seribu tentara bisa menjadi kawan
karena sebuah kalimat dari pena sang mujahid. Maka musuh yang akan dibinasakan
dengan rudalpun berbalik menjadi kawan yang membela agama Allah ini. Maka mana
yang lebih baik?
Saat ini perang melanda kaum muslimin. Gazwul
fikri atau perang pemikiran menohok jutaan manusia bertauhid. Mereka sudah
mulai menyerang kita! media masa mereka sudah mulai menyerang anak anak kita!
media masa mereka sudah menyerang pemuda-pemuda kita! ya media masa.
Lalu apa yang kita lakukan? Apakah kita akan
bersikap diam? Atau melawan dengan media masa yang bernafaskan jihad dan dakwah
hingga akhirnya mengembalikan ruh agama Allah ke dalam hati kaum muslimin?
Sungguh media masa adalah sesuatu yang besar, ia bagaikan bom
nuklir di tengah kota, ia bagaikan rudal di tengah serdadu. Ia adalah senjata
terhebat saat ini. Ia bagaikan pena yang dipegang oleh para imam kaum muslimin.
Ia bagaikan kitab yang pernah mengalahkan kedustaan musuh Allah. Kini media
masa menjadi salah satu senjata terbesar kita.
Teguhkan
hati kita, dukung orang yang sedang berjihad dengan media. Mereka, kaum kuffar
tidak akan rela melihat kita mmegang teguh agama kita. Mereka , kaum kuffar
sudah lama menyerang kita. Mereka, kaum kuffar sudah menghancurkan umat islam
dengan media. Berjihadlah dengan media, karena mereka sudah
memerangi kita dengan media.
Perang Media: Panahlah Mereka dengan Panah Media!
Berniatlah untuk Menolong Agama Allah, Kala
Itu Datanglah Pertolongan Allah
Perang memang bukan hal yang menyenangkan.
Perang yang buruk adalah perang yang berkepanjangan, tidak tahu apa yang
menjadi target perangnya dan tidak tahu apa arti kemenangan dalam perang yang
dilakukan. Apalagi perang media lebih abstrak dari perang bersenjata.
Sebaik-baiknya perang adalah yang hemat tenaga, hemat waktu, dan tepat sasaran
yang semua itu berasal dari serangan berkualitas.
Namun, serangan berkualitas tidaklah muncul
dari kaum yang munafik dan penghianat. Para tentara haruslah berasal dari orang
yang memiliki niat tulus, tunduk kepada Allah dan Rasulnya serta berkeinginan
menolong agama Allah.
Allah berfirman yang artinya:
وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ
عَزِيزٌ
“Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya,
sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Mahaperkasa.” (QS. Al-Hajj: 40)
Gunakan Panah Media Sebagai
Kekuatan Untuk Menghasilkan Serangan Berkualitas
Rasulullah ﷺ memberitahukan kita rahasia dalam berperang.
Rahasia dari kekuatan dan serangan berkualitas. Rasulullah ﷺ bersabda:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ أَلاَ إِنَّ
الْقُوَّةَ الرَّمْىُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ
الرَّمْىُ
“Dan persiapkanlah dengan segala
kemampuan untuk menghadapi mereka. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu adalah
memanah. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah. Ketahuilah,
sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah.” (HR. Muslim, Tirmidzi,
Nasai, Ahmad dan lainnya)
Dalam setiap perang pastilah terdapat posisi yang berfungsi
sebagai pemanah. Ketika alat panah hilang digerus zamanpun tergantian dengan
hal serupa yang berfungsi sebagai pemanah, seperti senapan atau rudal.
Begitupun ketika kita melihat makna luas memanah, kita bisa melihat sebuah
peran media yang dimaknai sebagai pemanah.
Mulailah menentukan taktik media yang bisa
menjadi ‘panah’. Filosofi memanah itu menentukan target, menjaga pikiran agar
fokus, mencari peluang terbesar atau target kunci, bisa dilakukan dalam jarak
yang jauh dan lebih efisien tenaga.
Panah yang bagus adalah yang busurnya lentur dan bisa digunakan di
saat yang tepat, karenanya membiarkan tali terpasang terus menerus akan
mengakibatkan tali busur panah cepat kendor. Namun yang terpenting bagi pemanah
adalah skill, maka yang harus diasah adalah kemampuan bagi pemanah itu sendiri.
Begitupun dengan media. Media yang siap perang adalah media yang
tahu target, tahu siapa lawan dan kawan, tahu kapan harus menyerang, tahu apa
saja yang diserang, tahu target kunci yang harus diserang, tahu strategi dan
pola penyerangan.
Media yang siap berperang adalah media yang tidak selalu tegang,
hingga orang lari ketakutan darinya. Jelas pula yang terpenting adalah pengisi
media tersebut. Orang yang dibarisan depan perang media tentulah orang yang
paling ahli dalam bidangnya. Mereka adalah para ulama, jurnalis dan penulis,
karena pemanah terbaik adalah pemanah yang berada diatas bukit.
Hikmah memanah bagi ulama seperti mengeluarkan fatwa dan
menuliskan kitab bantahan terhadap sebuah kesesatan yang ada. Maka hikmah ini
bisa diterapkan ke dalam perang media. Tentu yang tahu tentang semua itu adalah
para ulama dan orang yang berwawasan.
Dari pembahasan ini bukan berarti sunnah memanah secara arti
sebenarnya dihilangkan. Walaupun memanah bisa dimaknai dengan makna yang luas
namun memanah adalah sebuah sunnah yang ditekankan untuk diajarkan.
Dari pembahasan ini juga penulis ingin mengobarkan semangat para
ulama yang telah mengetahui serangan media yang menohok kaum muslimin saat ini,
untuk mulai mempersiapkannya. Perang media bukanlah karangan, ia sudah banyak
menembus batas syariat. Tidaklah syubhat dan syahwat tersebar kecuali salah satunya
dengan media. Tentukanlah sikap, mulailah bersiap!
Perang
Media: Ajak Kaum Muslimin Mempersiapkannya
Oleh Sendia
Dalam tulisan yang lalu penulis menjelaskan betapa penting media
itu dimiliki oleh kaum muslimin. Selain untuk kepentingan dakwah, media juga
digunakan untuk kepentingan ketahanan kaum muslimin. Pasalnya kaum
kuffar telah memulai perang dengan media.
Perang media adalah perang nyata namun tidak memiliki wujud. Perang yang melibatkan dua kubu, dengan
senjata tertentu dan memiliki target tertentu. Namun bedanya perang media
tidaklah terlihat di tanah lapang medan pertempuran, ia berada di langit dan
fikiran manusia. Dari sana dikenal dengan perang pemikiran (gozwul fikri),
media merupakan salah satu perangkat perang pemikiran.
Seperti dalam tulisan yang lalu, hal yang
perlu ditanamkan ketika berjihad dan berperang adalah kesiapan untuk berperang.
Kesiapan utuk berperang tentulah ada karena mereka tahu apa yang perlu
dipersiapkan, memiliki niat yang kuat serta menghindari penghianatan dan
kemunafikan.
Berjihad Itu Dengan Harta Jiwa dan Lidah
Rasulullah
SAW bersabda: “Berjihadlah
melawan kaum musyrikin dengan harta, jiwa dan lidahmu”. (HR. An-Nasaa’i)
Ini adalah perintah yang Rasululllah serukan kepada kaum muslimin.
Rasulullah bersabda dan menyerukan agar kaum muslimin berjihad dengan apapun
yang mereka miliki.
Berjihad adalah untuk mengalahkan musuh Allah. Berjihad dengan media seperti halnya dakwah
sebelum berperang. Sepertihalnya keutamaan ali bin abi tholib yang masuk ke
dalam area musuh dan mendakwahan, adu argument, negosiasi dan mengajak ke dalam
islam tanpa perang. Saat itu ali bin abi thalib berperang dengan lisannya.
Adapun dalam kondisi kita sekarang, media
memiliki fungsi yang sama. Ia adalah alat untuk berdakwah, mengalahkan sebelum
berperang fisik dan merebut kekuatan musuh tanpa korban jiwa.
Mengajak Berjihad Kaum Muslimin Walau dengan Media.
Kita tahu jihad adalah kewajiban yang besar. Ia diwajibkan kepada seluruh kaum muslimin.
Jadi mau tidak mau, andaikan sudah disepakati untuk memulai perang media maka
seluruh kaum muslimin harus dilibatkan secara langsung atau tidak langsung.
Kaum muslimin dibagi menurut peran mereka dalam perang media ini.
Pemimpin jihad ini adalah para ulama. Para
ulama memegang kendali jika umara (pemerintahan) tidak peduli dengan
perkara keimanan seseorang bahkan memberikan fasilitas kepada orang
kafir/misionaris. Walaupun para ulama bermadzhab berbeda, atau memiliki komunitas,
ormas yagn berbeda namun perlu ada kesepakatan. Seperti halnya ketika kaum
kuffar menyerang muslimin maka perbedaan tersebut sementara dikesampingkan dan
mengambil sikap dengan apa yang dihadapinya. Apakah para ulama masih akan
berdebat hingga mata pedang berada di leher kaum muslimin?
Dalam masalah ini tentu para ulama harus
mengambil sikap atas penyerangan kaum musrikin kepada muslimin yang tidak tahu
apa apa.