Prinsip-prinsip Dasar Ajaran Sekte Syi’ah Al Imamiyyah Mustahil
Terjadi Pendekatan Antaranya Dengan Prinsip-prinsip Islam Dengan Berbagai
Aliran dan Kelompoknya
Mendekatkan pemikiran, kepercayaan,
metodologi dan tekad umat Islam merupakan salah satu tujuan syariat Islam, dan
termasuk salah satu sarana bagi terwujudnya kekuatan, kebangkitan dan perbaikan
mereka. Sebagaimana hal itu merupakan kebaikan bagi tatanan masyarakat dan
persatuan umat Islam di setiap masa dan negara. Setiap seruan kepada pendekatan
semacam ini -bila benar-benar bersih dari berbagai kepentingan, dan pada
perinciannya tidak berdampak buruk yang lebih besar dibanding kemaslahatan yang
diharapkan- maka wajib hukumnya atas setiap muslim untuk memenuhinya, serta
bahu membahu bersama seluruh komponen umat Islam guna mewujudkannya.
Beberapa
tahun terakhir, seruan semacam ini ramai dibicarakan orang. Kemudian berkembang
hingga sebagian mereka terpengaruh dengannya, hingga pengaruhnya sampai ke
Universitas Al Azhar -suatu lembaga pendidikan agama Islam paling terkenal dan
terbesar yang dimiliki oleh Ahlis Sunnah, yang menisbatkan dirinya kepada empat
Mazhab Fikih (yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Oleh karenanya
Al Azhar mengemban misi “pendekatan” tersebut dalam lingkup yang lebih luas
daripada misi yang ia emban dengan tak kenal lelah sejak masa Sholahuddin Al
Ayyubi hingga sekarang ini. Oleh karenanya Universitas Al Azhar keluar dari
lingkup tersebut kepada upaya mengenal berbagai Mazhab lainnya, terutama Mazhab
“Syi’ah Al Imamiyyah Al Itsna ‘Asyariyah”. Dalam hal ini, Al Azhar masih berada di awal perjalanan. Oleh
karenanya, permasalahan penting ini amatlah perlu untuk dikaji, dipelajari,
dipaparkan oleh setiap muslim yang memiliki pengetahuan tentangnya, dan digali
segala hal yang berkaitan dengannya serta segala dampak dan risiko yang mungkin
terjadi.
Dikarenakan berbagai permasalahan dalam
agama amatlah rumit, maka penyelesaiannya pun haruslah dengan cara yang bijak,
cerdas dan tepat. Dan hendaknya orang yang mengkajinya pun benar-benar
menguasai segala aspeknya, menguasai ilmu agama, bersifat obyektif dalam setiap
pengkajian dan kesimpulan, agar solusi yang ditempuh -dengan izin Allah-
benar-benar membuahkan hasil yang diinginkan dan mendatangkan berbagai dampak
positif. Hal pertama yang menjadi catatan kami pada perkara ini -juga dalam
setiap perkara yang berkaitan dengan berbagai pihak- ialah: bahwa salah satu
faktor terkuat bagi keberhasilannya ialah adanya interaksi dari kedua belah pihak
atau seluruh pihak terkait.
Kita
contohkan dengan perkara pendekatan antara Ahlusunnah dengan Syi’ah, telah
dicatat bahwa guna merealisasikan seruan kepada pendekatan antara kedua paham
ini didirikanlah suatu lembaga di Mesir, yang didanai oleh anggaran belanja
negara yang berpaham Syi’ah. Negara dengan paham Syi’ah ini telah memberikan
bantuan resmi tersebut hanya kepada kita, padahal mereka tidak pernah
memberikan hal tersebut kepada bangsa dan penganut pahamnya sendiri. Mereka
tidak pernah memberikan bantuan ini guna mendirikan “Lembaga Pendekatan” di
kota Teheran, atau Kum, atau Najef atau Jabal ‘Amil, atau tempat-tempat lain
yang merupakan pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah[1].
Dan dari
berbagai pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah tersebut -pada beberapa
tahun terakhir ini- beredar berbagai buku yang meruntuhkan gagasan solidaritas
dan pendekatan, sampai-sampai menjadikan bulu roma berdiri. Di antara buku-buku
tersebut adalah buku (Az Zahra) dalam tiga jilid, yang diedarkan oleh ulama’ kota Najef. Pada
buku tersebut, mereka mengisahkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu ditimpa suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan selain
dengan air mani kaum laki-laki!!? Buku tersebut berhasil didapatkan oleh Ustadz
Al Basyir Al Ibrahimi, ketua ulama’ Al Jazair pada kunjungan pertamanya ke
Irak. Kebutuhan jiwa najis yang telah mencetuskan kekejian mazhab semacam ini
kepada “Seruan Pendekatan” lebih mendesak dibanding kebutuhan kita sebagai Ahlusunnahkepada seruan semacam ini.
Bila
perbedaan paling mendasar antara kita dengan mereka berkisar seputar dakwaan
mereka bahwa mereka lebih loyal kepada Ahlul Bait (Ahlul Bait ialah karib
kerabat nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam -pent) dibanding kita, dan tentang anggapan bahwa mereka
menyembunyikan -bahkan-menampakkan- kebencian dan permusuhan kepada para
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang di atas pundak merekalah agama Islam tegak. Sampai-sampai
mereka berani mengucapkan perkataan kotor semacam ini tentang Amirul Mukminin
Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu. Maka
obyektivitas sikap mengharuskan agar mereka lebih dahulu mengurangi kebencian
dan permusuhan mereka kepada para imam generasi pertama umat Islam dan agar
mereka bersyukur kepada Ahlusunnah atas sikap terpuji
mereka kepada para Ahlul Bait, dan atas sikap mereka yang tidak pernah lalai
dari menunaikan kewajiban menghormati dan memuliakan mereka (Ahlul Bait),
kecuali kelalaian kita dari penghormatan kepada Ahlul Bait yang berupa
menjadikan mereka sebagai sesembahan yang diibadahi bersama Allah, sebagaimana
yang dapat kita saksikan pada berbagai kuburan mereka yang berada di
tengah-tengah penganut paham Syi’ah yang hendak diadakan pendekatan antara kita
dan mereka.
Interaksi haruslah dilakukan oleh kedua
belah pihak yang hendak dibangun toleransi dan pendekatan antara keduanya.
Tidaklah ada interaksi melainkan bila antara positif dan negatif (pro dan
kontra) dapat dipertemukan, dan bila berbagai gerak dakwah dan upaya
pewujudannya tidak hanya terfokus pada satu pihak semata, sebagaimana yang
terjadi sekarang ini.
Kritikan
kami tentang keberadaan lembaga pendekatan tunggal yang berpusatkan di ibu kota
negeri Ahlusunnah, yaitu Mesir ini, dan
yang tidak diiringi oleh pusat-pusat kota negeri Mazhab Syi’ah, padahal
berbagai pusat penyebaran paham Syi’ah gencar mengajarkannya, dan memusuhi
paham lain, berlaku pula pada upaya memasukkan permasalahan ini sebagai mata
kuliah di Universitas Al Azhar, selama hal yang sama tidak dilakukan di
berbagai perguruan Syi’ah.
Adapun bila upaya ini -sebagaimana yang
sekarang terjadi- hanya dilakukan pada satu pihak dari kedua belah pihak atau
berbagai pihak terkait, maka tidak akan pernah berhasil, dan tidak menutup
kemungkinan malah menimbulkan interaksi balik yang tidak terpuji.
Termasuk
cara paling sederhana dalam mengadakan pengenalan ialah dimulai dari
permasalahan furu’ sebelum membahas berbagai permasalahan ushul (prinsip)!.
Ilmu Fikih Ahlusunnah dan Ilmu Fikih Syi’ah
tidaklah bersumberkan dari dalil-dalil yang disepakati antara kedua kelompok.
Syariat fikih menurut empat Imam MazhabAhlusunnah tegak di atas dasar-dasar yang berbeda dengan dasar-dasar
syariat fikih menurut Syi’ah. Dan selama tidak terjadi penyatuan dasar-dasar
hukum ini sebelum menyibukkan diri dengan berbagai permasalahan furu’, dan
selama tidak ada interaktif antara kedua belah pihak dalam hal ini, pada
lembaga-lembaga pendidikan agama yang mereka miliki, maka tidak ada gunanya
kita menyia-nyiakan waktu dalam permasalahan furu’ sebelum terjadi kesepakatan
dalam permasalahan ushul. Yang kita maksudkan bukan hanya ilmu ushul fikih,
akan tetapi ushul/dasar-dasar agama kedua belah pihak dari akar permasalahannya
yang paling mendasar.
Dipetik dari:
Mungkinkah Syi’ah dan Sunnah
Bersatu ?
Penulis: Syaikh Muhibbuddin Al Khatiib
Alih Bahasa: Ustadz Muhammad Arifin Badri, MA
______________________
[1] Bantuan
semacam ini sepanjang sejarah telah mereka lakukan berulang kali, dan berkat
para da’i yang mereka utus dengan misi inilah, selatan Irak berubah dari negeri
Sunni yang terdapat padanya minoritas Syi’ah menjadi negeri Syi’ah yang padanya
terdapat minoritas kaum Sunni. Dan pada masa Jalaluddin As Suyuthi, ada seorang
da’i Syi’ah yang datang dari Iran ke Mesir, dan orang inilah yang diisyaratkan
oleh As Suyuthi dalam kitabnya yang berjudul “Al Hawi Lil Fatawi”, cet Percetakan Al Muniriyyah jilid 1 Hal. 330. Disebabkan
oleh da’i asal Iran tersebutlah As Suyuthi menuliskan karyanya yang berjudul “Miftahul Jannah Fil I’itisham Bissunnah.”