oleh Uzay Bulut
Diterjemahkan oleh Jacobus E. Lato
Pemerkosaan
berbarengan dengan penyiksaan bangsa Kurdi dan para pemrotes di Iran—atas kaum
wanita dan pria—kini tersebar luas dan sistematis.
Baru-baru ini, 4 Mei lalu, media berita Kurdi melaporkan kisah
Farinaz Khosrawani, 25, seorang wanita Kurdi yang bekerja di Hotel Tara di
Mahabad, Iran, yang didiami mayoritas warga Kurdi. Sang wanita malang itu
dilaporkan nekad terjun dari sebuah jendela di lantai empat hotel tempat dia
bekerja.
Khosrawani diduga melompat hingga tewas untuk menghindar
pemerkosaan dari agen keamanan pemerintah Iran. Meski demikian, situasi seputar
kematiannya yang mengenaskan itu belum bisa dikonfirmasi.
"Ketika jenazah Farina ditemukan di depan hotel, gerombolan
massa mulai berkumpul. Karyawan keamanan pemerintah yang terlibat kasus itu
langsung ditangkap dan ditanyai," urai Jaringan Hak-hak Asasi Manusia
Kurdistan (KHRN). "Berita itu kemudian mencapai media sosial dan informasi
pun menyebar luas. Insiden itu menyebabkan ketegangan dan situasi yang sensitif
berkaitan dengan konfirmasi penyebab kematian Farina pun meningkat."
Farinaz Khosrawani (kiri), seorang wanita Kurdi berusia 25 tahun, diduga melompat hingga tewas dari lantai empat Hotel Tara di Mahabad, Kurdistan Iran, tempat dia bekerja, 4 Mei 2015. Aksi nekad itu bermaksud untuk menghindari pemerkosaan dari agen keamanan Pemerintah Iran. Foto kanan, para pemrotes Kurdi yang marah berdidi di depan Hotel Tara yang terbakar, 7 Mei 2015 lalu.
Menurut
KHRN. pasukan keamanan menghadapi aksi massa dengan melakukan razia ke
rumah-rumah. Mereka menangkap
orang-orang yang
diduga diidentifikasi dari berbagai video dan foto protes.
Menurut Dr. Amir
Sharifi, Direktur Kelompok Advokasi Hak Asasi Manusia Kurdi, nasib
tragis Khosrawani memperlihatkan pola pelembagaan kekerasan dan pembunuhan
wanita yang terus- dijalankan: "Wanita di Iran umumnya, dan wanita Kurdi
khususnya sangat sedikit mendapatkan perlindungan hukum terhadap pelecehan
seksual atau aksi kekerasan."
- Seorang
mahasiswa universitas, Hananeh Farhadi bunuh diri setelah dua bulan
mendekam dalam penjara agen mata-mata Iran, lapor Kantor Berita Kurdistan
(Kurdpa),
- Shadieh
Basami, 23 membakar diri setelah diperkosa seorang tentara Korps Pengawal
Revolusi Islam Iran, seperti dilaporkannya kepada Kantor Berita Kurdpa.
Dr. Sharifi
menulis: "Cara ISIS dan Republik Islam [Iran] sangat mirip satu
sama lain. Keduanya menggunakan pemerkosaan sebagai senjata politik terhadap
kaum wanita Kurdi karena pertimbangan etnis, gender dan agama. Satu-satunya
yang membedakannya adalah bahwa Republik Islam menyangkal adanya berbagai
pelecehan yang didokumentasikan dengan baik, sementara ISIS secara publik
mempertahankan perbudakan kaum wanita dan gadis Kurdi."
Para penentang politik dan homoseks pun menjadi korban
pemerkosaan dan penyiksaan dalam
berbagai penjara Iran:
- Saeeda
Siabi ditangkap bersama suami dan bayinya yang baru berusia empat bulan
kemudian diperkosa ketika dia berada di dalam penjara.
- Mojtaba
Saminnejad, seorang blogger,
jurnalis dan aktivits hak-hak asasi manusia Iran mengaku disiksa dengan
tongkat listrik, diancam diperkosa. Selain itu dia pun mengaku menyaksikan
banyak pemerkosaan di penjara.
- Maryam
Sabri mengisahkan dia berkali-kali diperkosa oleh penyidiknya dalam pusat
penahanan yang tidak dikenalnya setelah terlibat dalam berbagai
demonstrasi memprotes Pemilu Presiden Iran pada 2009.
- Matin
Yar, (nama samaran), seorang pria muda homoseks mengisahkan dia disiksa
dan diperkosa di dalam penjara.
Sebuah laporan terinci
dari Justice for Iran (--Keadilan Bagi Iran--JFI) juga memperlihatkan salah satu bentuk
paling kejam pelecehan hak asasi manusia yang disponsori negara atas kaum
wanita yang berada dalam tahanan di penjara. Yaitu memperkosa para korban
sebelum mengeksekusi mati mereka.
Menurut laporan itu, banyak wanita tahanan adalah wanita muda.
Banyak dari mereka hamil atau membawa serta anak yang masih kecil saat ditahan.
"Penyiksaan fisik seperti pemukulan, pencambukan serta pemerkosaan di
depan mata anak-anak mereka juga menciptakan trauma psikologi bagi sang ibu dan
anak."
"Penting untuk diingat bahwa penindasan dan pelanggaran hak
asasi mansia di Iran begitu parah di kawasan-kawasan suku seperti
Kurdistan," Mahmood Amiry-Moghaddam, Jurubicara Iran Human Rights (Hak
Asasi Manusia Iran--IHR), memberi tahu Gatestone
Institute. "Berbagai kelompok etnis di Iran kini tidak senang dengan
situasi akhir-akhir ini dan memperligatkan protes mereka terhadap pihak
berwewenang kapan pun memungkinkan."
Propinsi Mahabad secara historis sangat penting bagi Bangsa Kurdi.
Di sanalah, negara Kurdi merdeka—Republik Kurdistan—didirikan di Mahabad,
Januari 1946. [1] Walau
kemerdekaannya hanya bertahan kurang dari satu tahun, dia sangat menginspirasi
para pejuang Kurdi di seluruh penjuru dunia.
Pada 15 Desember 1946, angkatan bersenjata Iran masuk dan
menduduki kembali Mahabad, Aksi itu menimbulkan akhir yang penuh pertumpahan
darah kejam bagi Republik Kurdi. Berbagai infrastrukur Republik Kurdi
dihancurkan. Pengajaran Bahasa Kurdi pun dilarang. Pada 31 Maret 1947, Qazi
Muhammad, Presiden Republik Kurdistan, digantung di depan publik di Mahabad
oleh pengadilan militer Iran.[2]
Enam puluh sembilan tahun setelah Republik Kurdi jatuh, nasib
bangsa Kurdi di Kurdistan yang dikuasai Iran masih berada di tangan rejim yang
sangat memusuhi mereka termasuk juga atas semua nilai-nilai Bangsa Barat. West.
Uzay Bulut
adalah wartawan Turki yang berbasis di Ankara.
[1] Republik Kurdistan (atas
dikenal dengan Republik Mahabad) adalah Negara Kurdi moderen kedua yang
dideklarasikan sendiri di Timur Tengah (setelah Republik Ararat).
[2] McDowall, David (2004). A Modern History of The Kurds.