Ahlul-bida’ tidak henti-hentinya membuat
makar kepada Ahlus-Sunnah. Menshahihkan yang dla’ifatau men-dla’if-kan
yang shahih menjadi ciri khas dakwah mereka. Tidak luput dalam hal ini hadits
Mu’awiyyah bin Al-Hakam yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Hadits ini merupakan salah satu hujjah yang sangat kuat yang
merontokkan ‘aqidah bid’ah mereka tentang keberadaan Allah ta’ala.
Jalan sempit dan berlubang pun mereka tempuh
demi meluluskan tujuan mereka untuk menolak hadits ini.Naas, ternyata lubang di
jalan itu malah menenggelamkan mereka. Salah satu di antara yang
terperosok di dalamnya adalah Hasan As-Saqqaaf.
Risalah bid’ahnya telah mendapat sambutan oleh
kolega-kolega bid’ahnya, tidak terkecuali di Indonesia. Ada orang yang
senantiasa merelakan diri menampung pikiran-pikiran kotornya.
Artikel berikut akan membahas bantahan singkat
ulah As-Saqqaaf dan muqallid-nya dalam pendla’ifan hadits Mu’awiyyah bin Al-Hakam
radliyallaahu ‘anhu.
Al-Imam Muslim rahimahullah berkata
dalam Shahih-nya (no. 537) :
حدثنا أبو جعفر محمد بن الصباح، وأبو بكر بن أبي شيبة (وتقاربا في لفظ الحديث) قالا: حدثنا إسماعيل بن إبراهيم عن حجاج الصواف، عن يحيى بن أبي كثير، عن هلال بن أبي ميمونة، عن عطاء بن يسار، عن معاوية بن الحكم السلمي؛ قال: …… وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد والجوانية. فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [الذئب؟؟] قد ذهب بشاة من غنمها. وأنا رجل من بني آدم. آسف كما يأسفون. لكني صككتها صكة. فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فعظم ذلك علي. قلت: يا رسول الله! أفلا أعتقها؟ قال “ائتني بها” فأتيته بها. فقال لها “أين الله؟” قالت: في السماء. قال “من أنا؟” قالت: أنت رسول الله. قال “أعتقها. فإنها مؤمنة”.
Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far
Muhammad bin Ash-Shabbaah [1] dan Abu
Bakr bin Abi Syaibah [2] (yang
keduanya berdekatan dalam lafadh hadits tersebut), mereka berdua berkata :
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim [3],
dari Hajjaaj Ash-Shawaaf [4],
dari Yahyaa bin Abi Katsiir [5],
dari Hilaal bin Abi Maimuunah [6],
dari ‘Athaa’ bin Yasaar [7],
dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, ia berkata : “…..Aku
mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan kambingku ke arah gunung
Uhud dan Jawwaaniyyah. Pada suatu hari aku memantaunya, tiba-tiba ada seekor
serigala yang membawa lari seekor kambing yang digembalakan budakku itu. Aku
sebagaimana manusia biasa pun marah sebagaimana orang lain lain marah (melihat
itu). Namun aku telah menamparnya, lalu aku mendatangi Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Beliau pun menganggap besar apa yang telah aku lakukan. Aku
berkata : ‘Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerdekakannya ?’. Beliau
menjawab : ‘Bawalah budak wanita itu kepadaku’. Aku pun membawanya kepada
beliau. Lalu beliau bertanya kepada budak wanita itu :‘Dimanakah Allah ?’. Ia
menjawab : ‘Di langit’. Beliau bertanya lagi : ‘Siapakah aku ?’. Ia menjawab :
‘Engkau adalah utusan Allah (Rasulullah)’. Beliau pun bersabda :‘Bebaskanlah,
sesungguhnya ia seorang wanita beriman”.
Selain Muslim, hadits ini juga diriwayatkan
oleh Ahmad 5/447, Ibnu Abi Syaibah dalamAl-Mushannaf 11/19-20 dan Al-Musnad no.
825, An-Nasaa’iy no. 1218, Abu Dawud no. 930 & 3276, Ibnu Hibbaan no. 165
& 2247, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaadul-Matsaaniy no.
1398-1399, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 19/398-399, Ibnul-Jaaruud
no. 212, dan yang lainnya.
Hadits di atas dianggap mudltharib oleh
As-Saqqaaf dan muqallid-nya.
Berikut perkataan yang dibawakan muqallid-nya
:
Hadis ini mengidap illah/penyakit dan syudzûdz/keganjilan dalam
kandungannya, di mana dalam riwayat para muhaddis lain dan dengan jalur yang
shahih juga ia diriwayatkan dengan redaksi berbeda yang tidak mengandung
keganjilan itu. Ini artinya hadis Jâriyah dari riwayat Atha’ ibn Yasâr
dari Mu’awiyah ibn Hakam adalah muththarib!
Para ulama hadis di antaranya Abdurrazzâq ash
Shan’âni telah meriwayatkan pertanyaan Nabi saw. kepada si budak wanita
tersebut adalah demikian:
Perhatikan riwayat Abdurrazzâq ash Shan’âni
dalam Mushannaf-nya 9/175: Ia meriwayatkan dengan sanad bersambung
kepada Ibnu Juraij, ia berkata, Athâ’ mengabarkan kepadaku, ”…..: (setelah
menyebutkan kisah budak wanita yang teledor dalam mengembalakan kambing tuannya
yang berakhir dengan ditempelangnya budak tersebut kemudian penyesalan tuannya
yang akhirnya bermaksud memerdekakannya. Nabi saw. Memintanya agar dihadirkan
dan setelah ia hadir, Nabi saw. bertanya kepada demikian):
قال: أَ تَشْهَدِيْنَ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ الله؟
قالتْ: نعم.
قال: : و أنَّ مُحَمًَّدًا رسولُهُ؟
قالتْ : نعمْ.
قال : وأنَّ الْموتَ و البَعْثَ حَقٌّ؟
قالتْ : نعمْ.
قال: وأنَّ الجْنَّةَ و النارَ حَقٌّ؟
قالتْ : نعمْ.
قال: فَاعْتِقْها.
“Nabi bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah?”
Ia menjawab, “Ya.”
Beliau saw. bertanya lagi, “Apakah engkau
bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah?”. Ia menjawab, “Ya.”
Nabi saw. bertanya, “Apakah engkau beriman
bahwa kematian dan kebangkitan setelah kematian haq?” Ia menjawab, “Ya.
Nabi saw. bertanya lagi, ”Apakah engkau beriman
bahwa surga dan nereka itu haq?”. Ia menjawab, ”Ya.”
Maka setelah selesai, Nabi saw. bersabda, “Merdekakan
dia!”
Hadis di atas adalah shahih sanadnya bahkan ia
sangat tinggi/’âlin, karena mata rantai periwayatannya singkat!
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata :
Perkataan di atas lah yang sebenarnya
berpenyakit dan mengandung keganjilan !
Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq
Ash-Shan’aaniy (9/175 no. 16815) adalah hadits lain yang berbeda
sanad dan matannya. ‘Abdurrazzaq berkata : Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Telah
mengkhabarkan kepadaku ‘Athaa’ : Bahwasannya ada seorang laki-laki yang
mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan kambingnya……dst.
‘Athaa’ dalam sanad ‘Abdurrazzaaq bukanlah Ibnu
Yasaar. Al-Mizziy dalamTahdziibul-Kamaal (20/126-127) tidak
menyebutkan satu pun murid dari ‘Athaa’ bin Yasaar bernama Ibnu Juraij
(‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy). Begitu juga
saat menyebut biografi Ibnu Juraij (18/339-344), tidak disebutkan satu pun
gurunya yang bernama ‘Athaa’ bin Yasaar. Adapun guru Ibnu Juraij adalah ‘Athaa’
bin Abi Rabbaah, ‘Athaa’ bin As-Saaib, dan ‘Athaa’ Al-Khurasaaniy. Ketiga
‘Athaa’ yang merupakan guru Ibnu Juraij tadi juga tidak diketahui penerimaan dan
penyimakan riwayatnya dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam [lihat Tahdziibul-Kamaal 20/69-72,
87-88, 106-108]. Menurut Ibnu Hajar, ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah adalah seorang tabi’iy
tsiqah, namun banyak melakukan irsal [8][Taqriibut-Tahdziib hal.
677 no. 4623]. ‘Athaa’ bin As-Saaib adalah seorang tabi’iy yangshaduuq,
namun bercampur hapalannya [idem, hal. 678 no. 4625].[9] ‘Athaa’
Al-Khuraasaaniy adalah seorang tabi’iy yang shaduuq, banyak
keliru, melakukan irsal dan tadliis[idem, hal. 679 no. 4633].[10].
Sebagai catatan kecil : Orang-orang yang meriwayatkan hadits dari Mu’aawiyyah
bin Al-Hakam – sebagaimana disebutkan oleh Al-Mizziy – antara lain : ‘Athaa’
bin Yasaar, Katsiir bin Mu’aawiyyah bin Al-Hakam, dan Abu Salamah bin
‘Abdirrahmaan.
Tidak disebutkan bahwa laki-laki dari shahabat
tadi adalah Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy. Lantas bagaimana bisa
dipastikan bahwa ia adalah Mu’aawiyah bin Al-Hakam As-Sulamiy ?. Tentu
saja kita tidak membutuhkan jawaban : ‘pokoknya’ atau yang semisal.
Hadits mudltharib dalam matan-nya
itu dianggap jika ia punya pokok sanad yang sama, sedangkan di sini tidak.
Tidak adanya kepastian siapakah di antara tiga
orang ‘Atha’ yang diambil riwayatnya oleh Ibnu Juraij saja sudah merupakan
catatan tersendiri. Lantas, bagaimana bisa riwayat ini dianggap sebagai pen-ta’lil riwayat
Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy yang dibawakan oleh Al-Imam Muslim ?
Adapun dari sisi matan hadits, maka ada
perbedaan di antara keduanya. Perbedaan tersebut adalah :
Pada riwayat ‘Abdurrazzaaq disebutkan bahwa
laki-laki yang ingin membebaskan budak tersebut ingin menghadiahkan kambing
kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan dalam riwayat
Muslim tidak.[11]
Pada riwayat ‘Abdurrazzaaq disebutkan pilihan
yang diberikan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah
beliau bertanya kepada budak wanita tersebut; apakah ia akan membebaskannya
atau mempertahankannya (tidak membebaskannya). Adapun dalam riwayat Mu’aawiyyah
bin Al-Hakam, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan
pilihan, namun memerintahkannya untuk membebaskannya. Di sini, muqallid As-Saqqaaf
telah melakukan tadlis dalam penampilan riwayat. Saya tidak tahu
apakah ia lakukan dengan sengaja atau tidak.[12]
Beberapa hal yang disebutkan di atas telah
cukup untuk mengatakan bahwa hadits yang dibawakan ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf berbeda
sanad dan matannya dengan hadits yang dibawakan Muslim dalam Shahih-nya.
Kemudian ia pun berkata :
Selain Abdurrazzâq, hadis di atas juga telah
diriwayatkan oleh:
Imam Ahmad dalam Musnad,3/452.
Al Haitsami dalam Majma’ az Zawâid,4.244
dan seluruh perawinya adalah perawi hadis shahih.
Al Bazzâr dalam Kasyfu al Astâr,1/14.
Ad Dârimi dalam Sunan,2/187.
Al Baihaqi dalam Sunan,10/57.
Ath Thabarâni, 12/27 dengan sanad yang shahih.
Ibnu al Jârûd dalam al Muntaqâ:931.
Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf,11/20.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa riwayat
Muslim itu diriwayatkan secarama’nan(tidak dengan redaksi asli sabda Nabi saw.)
atau paling tidak diduga demikian! Dan dengan adanya dugaan, ihtimâl, maka
gugurlah ber-istidlâl/berhujjah dengannya! Sebab bagaimana kita akan membangun
sebuah keyakinan dasar di atas pondasi hadis yang diduga mengalami perubahan?!
Berikut riwayat-riwayat yang ia maksud :
1). Riwayat Ahmad dalam Al-Musnad 3/452.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق ثنا معمر عن الزهري عن عبيد الله بن عبد الله عن رجل من الأنصار أنه جاء بأمة سوداء وقال : يا رسول الله إن علي رقبة مؤمنة فإن كنت ترى هذه مؤمنة أعتقتها فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم أتشهدين أن لا إله إلا الله قالت نعم قال أتشهدين إني رسول الله قالت نعم قال أتؤمنين بالبعث بعد الموت قالت نعم قال اعتقها
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah :
Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdurrazzaq : Telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari
‘Ubaidullah bin ‘Abdillah, dari laki-laki kalangan Anshaar : Bahwasannya ia
datang dengan membawa seorang budak perempuan yang hitam dan berkata : “Wahai
Rasulullah, aku memiliki seorang budak mukmin, jika menurutmu ini adalah wanita
yang beriman, maka aku akan membebaskannya”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bertanya kepada budak tersebut : “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan yang berhak disembah selain Allah ?”. Ia menjawab : “Ya”.’ (Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam) bertanya : “Apakah engkau bersaksi bahwa aku
adalah Rasulullah ?”. Ia menjawab : “Ya”. Beliau kembali bertanya : “Apakah
engkau beriman dengan kebangkitan setelah mati ?”. Ia menjawab : “Ya”. Beliau
bersabda : “Bebaskanlah dia”.
Hadits ini shahih – walau sebagian ada yang
men-dla’if-kannya seperti Al-Baihaqiy dengan alasanirsaal antara
‘Ubaidullah dengan shahabiyyah.
Sama seperti komentar sebelumnya, ini adalah
hadits yang berbeda dengan Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy radliyallaahu
‘anhu. Shahabat yang disebutkan oleh ‘Ubaidullah mubham. Taruhlah misal
kita anggap bahwa shahabat tadi Mu’aawiyyah bin Al-Hakam, maka itu musykil.
‘Ubaidullah bin ‘Abdillah ini adalah Ibnu ‘Utbah bin ‘Abdillah bin Mas’uud. Ia
tidak dikenal mempunyai riwayat dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam. Begitu juga
sebaliknya.
2). “Riwayat” Al-Haitsamiy dalam Majmaa’uz-Zawaaid
4/244.
Orang tersebut mengatakan bahwa hadits ini juga
diriwayatkan oleh Al-Haitsamiy dalam Al-Majma’. Pertanyaannya : Sejak
kapan Al-Haitsamiy mempunyai periwayatan hadits dalam Al-Majma’ ? Ini
adalah kebodohan akan kutubus-sunnah. Al-Haitsamiy berkata :
عن رجل من الأنصار أنه جاء بأمة سوداء فقال: يا رسول الله إن علي رقبة مؤمنة فإن كنت ترى هذه مؤمنة فأعتقها. فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم: ”أتشهدين أن لا إله إلا الله؟”. قالت: نعم. قال: ”أتشهدين أني رسول الله؟”. قالت: نعم. قال: ”أتؤمنين بالبعث بعد الموت؟”. قالت: نعم. قال: ”أعتقها”.
رواه أحمد ورجاله رجال الصحيح.
“Dari laki-laki kalangan Anshaar : Bahwasannya
ia datang dengan membawa seorang budak perempuan yang hitam dan berkata : “Wahai
Rasulullah, aku memiliki seorang budak mukmin, jika menurutmu ini adalah wanita
yang beriman, maka aku akan membebaskannya”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallambertanya kepada budak tersebut : “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan yang berhak disembah selain Allah ?”. Ia menjawab : “Ya”.’ (Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam) bertanya : “Apakah engkau bersaksi bahwa aku
adalah Rasulullah ?”. Ia menjawab : “Ya”. Beliau kembali bertanya : “Apakah
engkau beriman dengan kebangkitan setelah mati ?”. Ia menjawab : “Ya”. Beliau
bersabda : “Bebaskanlah dia”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya
adalah perawi Ash-Shahiih” [selesai].
Shighah semacam ini bukanlah shighah periwayatan
sebagaimana dikenal dalamkutubus-sunnah. Oleh karena itu, para ulama yang
menukil hadits dari kitab Al-Majma’ ini sering mengatakan :“Dibawakan oleh
Al-Haitsamiy dalam Al-Majma’……”. Bukan ‘diriwayatkan’. Harap diperhatikan.
3). Riwayat Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar 1/14.
Al-Bazzaar membawakan hadits yang semisal
dengan no. 1 & 2, namun dengan sanad :
حدثنا محمد بن عثمان ثنا عبيد الله ثنا ابن أبي ليلى، عن المنهال بن عمرو، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس، قال : …..(الحديث)
Telah menceritakan kepada kami Muhamad bin
‘Utsmaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah : Telah menceritakan
kepada kami Ibnu Abi Lailaa, dari Al-Minhaal bin ‘Amru, dari Sa’iid bin Jubair,
dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “…..(al-hadits)….” [Kasyful-Astaar,
1/14 no. 13].
Komentarnya sama dengan sebelumnya, bahwa ini
adalah hadits yang berbeda dengan hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam.
Selain itu, sanad riwayat ini lemah dengan
kelemahan yang terletak pada Ibnu Abi Lailaa. Ia adalah Muhammad bin
‘Abdirrahman bin Abi Lailaa, seorang yang faqiih,namun jelek hapalannya.[13].
4). Riwayat Ad-Daarimiy dalam As-Sunan
2/187.
Ad-Daarimiy membawakan hadits yang semisal,
yaitu :
أخبرنا أبو الوليد الطيالسي ثنا حماد بن سلمة عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن الشريد قال أتيت النبي صلى الله عليه وسلم فقلت إن على أمي رقبة وإن عندي جارية سوداء نويبية أفتجزىء عنها قال ادع بها فقال أتشهدين أن لا إله إلا الله قالت نعم قال اعتقها فإنها مؤمنة
Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Waliid
Ath-Thayaalisiy : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari
Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Asy-Syariid, ia berkata : Aku
mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata : “Sesungguhnya
ibuku punya kewajiban membebaskan budak, sementara aku memiliki budak wanita
berkulit hitam, apakah sah untuknya?” Beliau menjawab : “Panggillah ia!”.
Kemudian beliau bersabda : “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Allah ?”. Budak itu menjawab : “Ya”. Beliau bersabda :
“Bebaskan dia, sesungguhnya ia adalah wanita mukminah“[Sunan Ad-Daarimiy no.
2348; sanadnya hasan].
Ini adalah bukti yang jelas akan tadlis As-Saqqaaf
yang kemudian diikuti orang tersebut tanpa adanya check dan re-check.
Bagaimana tidak ? Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim adalah hadits
Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, sedangkan hadits ini diriwayatkan oleh
Asy-Syariid (bin Suwaid Ats-Tsaqafiy – orang tua dari ‘Amru bin Syariid) radliyallaahu
‘anhu.
Selain itu dapat kita lihat bahwa sebab
pembebasan budak dalam hadits ini dikarenakan ibu Asy-Syariid yang mempunyai
kewajiban untuk itu; sedangkan hadits Mu’aawiyyah disebabkan karena ia telah
menampar budaknya yang ia anggap teledor dalam menggembalakan kambing-kambingnya.
5). Riwayat Al-Baihaqiy dalam As-Sunan,
10/57.
Al-Baihaqiy membawakan hadits yang lafadhnya
semisal dengan no. 1, 2, dan 3 dengan sanad :
١٩٩٨٦ – أخبرنا أبو زكريا بن أبي إسحاق و أبو أحمد بن الحسن قالا : ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب، أنبأ محمد بن عبد الله بن الحكم أنبأ ابن وهب، أخبرني يونس بن يزيد، عن ابن شهاب، عن عبيد الله بن عبد الله بن عتبة : أن رجلا من الأنصار…..
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Zakariyyaa
bin Abi Ishaaq dan Abu Ahmad bin Al-Hasan, mereka berdua berkata : Telah menceritakan
kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah memberitakan Muhammad bin
‘Abdillah bin Al-Hakam : Telah memberitakan Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan
kepadaku Yuunus bin Yaziid, dari Ibnu Syihaab, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah
bin ‘Utbah : “Bahwasannya ada seorang laki-laki dari kalangan Anshaar……”.
Hadits ini sama dengan hadits no. 1 yang
sanadnya bertemu pada Az-Zuhriy (Ibnu Syihaab). Komentar selanjutnya sama
dengan no. 1.
6). Riwayat Ath-Thabaraaniy, 12/27.
Muqallid tersebut berkata : “dengan
sanad yang shahih”.
Ath-Thabaraaniy berkata :
١٢٣٦٩ – حدثنا محمد بن عبد الله الحضرمي ثنا يحيى بن الحسن بن فرات ثنا علي بن هاشم عن ابن أبي ليلى عن المنهال بن عمرو والحكم عن سعيد بن جبير عن ابن عباس : ………(الحديث)…….
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
‘Abdillah Al-Hadlramiy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Al-Hasan bin
Furaat : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Haasyim, dari Ibnu Abi
Lailaa, dari Al-Minhaal bin ‘Amru dan Al-Hakam, dari Sa’iid bin Jubair, dari
Ibnu ‘Abbaas : “…..(al-hadits)….” [Al-Mu’jamul-Kabiir, 12/26-27].
Hadits ini semisal dengan no. 3 yang sanadnya
bertemu/berporos pada Ibnu Abi Lailaa; sekaligus di sinilah letak kelemahan
sanad hadits ini – sebagaimana telah disebutkan. Lantas bagaimana bisa
dikatakan : “dengan sanad shahih” ?.[14].
7). Riwayat Ibnul-Jaaruud dalam Al-Muntaqaa no.
931.
Riwayat yang dibawakan Ibnul-Jaaruud ini sanad
dan matannya sama dengan no. 1; dimana keduanya berporos pada ‘Abdurrazzaaq.
Komentar tentang riwayat ini sama dengan sebelumnya.
8). Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 11/20.
Ibnu Abi Syaibah berkata :
٣٠٩٨٠ – حدثنا علي بن هاشم، عن ابن أبي ليلى، عن المنهال، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس، عنالحكم يرفعه : أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : إن على أمي رقبة مؤمنة، وعندي رقبة سوداء أعجمية، فقال : إئتِ بها. فقال : أتشهدين أن لا إله إلا الله، وأني رسول الله ؟. قالت : نعم. قال : فأعتقها.
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin
Haasyim, dari Ibnu Abi Lailaa, dari Al-Minhaal, dari Sa’iid bin Jubair, dari
Ibnu ‘Abbaas, dari Al-Hakam secara marfu’ : “Sesungguhnya
ibuku punya kewajiban membebaskan budak, sementara aku memiliki budak wanita
berkulit hitam non ‘Arab”. Beliau menjawab : “Panggillah ia!”. Kemudian beliau
bersabda : “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah
kecuali Allah, dan bahwasannya aku adalah Rasulullah ?”. Budak itu menjawab :
“Ya”. Beliau bersabda : “Bebaskan dia”.
Sanad riwayat ini lemah, karena kelemahan Ibnu
Abi Lailaa, sebagaimana telah disebutkan. Selain itu, posisi Al-Hakam setelah
Ibnu ‘Abbaas dalam sanad di atas adalah keliru. Yang benar adalah :“Dari Al-Minhaal,
dari Sa’iid bin Jubair dan Al-Hakam, keduanya dari Ibnu ‘Abbaas” –
sebagaimana terdapat dalam riwayat Ath-Thabaraaniy. Dalam thabaqah ini
ada dua nama Al-Hakam, yaitu Al-Hakam bin ‘Abdillah bin Ishaaq Al-A’raj dan
Al-Hakam bin Miinaa’ Al-Anshaariy. Keduanya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas,
bukan sebaliknya !! Kemungkinan besar ini disebabkan oleh jeleknya hapalan Ibnu
Abi Lailaa.
Telah kita perinci apa yang disebutkan oleh muqallid tersebut.
Nampak bagi kita bahwa hadits yang ia bawakan
adalah hadits yang berbeda dengan hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy;
sanad maupun matannya. Lantas – sekali lagi – bagaimana bisa ia simpulkan sebagai
hadits mudltharib ? Apakah yang bersangkutan belum paham apa hadits mudltharib itu
? Jika telah paham, mungkin saja yang bersangkutan tidak mengecek apa yang
ditulisnya sehingga menyandarkan begitu saja kepada perkataan As-Saqqaaf yang bathil itu.Garbage
in garbage out.
Kemudian dalam tulisannya, muqallid tersebut
membawakan hadits lain yang diriwayatkan Maalik dalam Al-Muwaththa’, Abu
Dawud dalam As-Sunan, Ibnu Hibbaan dalam Ash-Shahih, dan yang
lainnya; yang kesemuanya tidak terlalu bermanfaat untuk dikomentari – karena
kasusnya adalah sama dengan riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas.
Kesimpulannya, muqallid tersebut tidak
paham akan ilmu riwayat dan dirayat hadits sehingga pembahasannya
tidak nyambung.[15] Salah
alamat. Tidak ada idlthirab dalam hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam
sebagaimana tidak ada ulama mutaqaddimiin yang mengatakan sebagaimana
dikatakan muqallid tersebut.
Adapun perkataannya :
Penegasan Para Huffâdz Dan Ulama Hadis Bahwa
Hadis Jâriyah Adalah Muthtarib!
Setelah Anda mengetahui definisi hadis
muthtarib dan ia adalah menyebabkan lemahhnya sebuah hadis, maka sekarang
perhatikan keterangan dan keputusan para ulama tentang status hadis Jâriyah.
1). Imam al Hafidz al Baihaqi:
Al Hafidz al Baihaqi telah menegaskan bahwa
hadis itu muthtarib. Ia berkata:
وهذا صحيح قد أخرجه مسلم مقطعا من حديث الاوزاعي وحجاج الصواف عن يحيى بن أبي كثير دون قصة الجارية. وأظنه إنما تركها من الحديث لاختلاف الرواة في لفظه ؟ وقد ذكرت في كتاب الظهار من السنن مخالفة من خالف معاوية بن الحكم في لفظ الحديث .
“Ini adalah hadis shahih, Muslim telah
mengeluarkan (meriwayatkan)nya dengan memotong (tidak keseluruhan/total
riwayat) dari hadis (riwayat) al Awza’i dan Hajâj ash Shawwâf dari Yahya ibn
Abi Katsîr tanpa menyebut kisah Jâriyah (budak perempuan). Mungkin ia
meninggalkan (menyebutnya) dalam hadis itu disebabkan perselisihan para perawi
dalam penukil redaksinya. Dan saya telah menyebutkan dalam kitab as Sunan pada
bab adz Dzihâr perselisihan perawi yang menyelisihi Mu’awiyah ibn Hakam dalam
redaksi hadis.”
Lebih lanjut baca juga as Sunan al Kubrâ,7/388.
Dan seperti Anda saksikan bahwa al Hafidz al
Baihaqi secara tegas mengatakan bahwa hadis Jâriyah itu muththarib karena
perselisihan perawinya dalam menukil redaksi yang sebenarnya. Dan juga
bahwa hadis itu tidak termasuk riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahihnya. Dan
anggap benar hadis itu ada dalam Shahih Muslim ia tidak diragukan lagi adalah
hadis muththarib, seperti telah kami buktikan sebelumnya! Dan yang mendukung
kebenaran penegasan al Baihaqi bahwa Imam Muslim tidak menyebutkannya sama
sekali dalam bab tentang pemerdekaan budak tidak pula dalam bab tentang
keimanan dan nazar!
Saya katakan :
Telah diketahui bahwa tidak setiap perselisihan
itu dihukumi idlthirab. Lantas bagaimana ia menghukumi dengan idlthirab padahal
Al-Baihaqiy sendiri telah menshahihkannya ! Dan dimana letak
perkataan Al-Baihaqiy bahwa hadits itu mudltharib ?
Adapun perkataan Al-Baihaqiy :
قد أخرجه مسلم مقطعا من حديث الاوزاعي وحجاج الصواف عن يحيى بن أبي كثير دون قصة الجارية
“Telah diriwayatkan oleh Muslim secara
munqathi’ (terputus) dari hadits Al-Auzaa’iy dan Hajjaaj Ash-Shawaaf, dari
Yahyaa bin Abi Katsiir tanpa menyertakan kisah Al-Jaariyyah”.
Inilah yang dinafikkan oleh Al-Baihaqiy.
Al-Baihaqiy sama sekali tidak menafikkan keshahihannya. Jika dikatakan bahwa
hadits dengan kisah Jaariyyah tidak termasuk riwayat Muslim dalam Shahih-nya,
maka ini keliru. Telah nyata – dipersaksikan oleh para huffaadh –
bahwa hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam dengan kisah jariyyah itu ada di dalam Shahih
Muslim. Bukankah ada kaidah ushul :al-mutsbitu muqaddamun ‘alan-naafiy ?
karena yang menetapkan itu mengandung ilmu ?
Al-Baghawiy setelah membawakan hadits
Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy secara lengkap (termasuk kisah jaariyyah)
berkata :
هذا حديث صحيح، أخرجه مُسلم عن أبي بكر بن أبي شيبة، عن إسماعيل بن إبراهيم، عن حجاج.
“Ini adalah hadits shahih. Diriwayatkan
oleh Muslim dari Abu Bakr bin Abi Syaibah, dari Ismaa’iil bin
Ibraahiim, dari Hajjaaj” [Syahus-Sunnah, 3/239, tahqiq/ta’liq/takhrij : Syu’aib
Al-Arna’uth & Zuhair Syaawiisy; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 2/1403].
Al-Baghawiy (436-516 H) ini berdekatan masanya
dengan Al-Baihaqiy (w. 458 H).
Adz-Dzahabiy berkata saat mengomentari hadits
Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiyradliyallaahu ‘anhu di atas :
هذا حديث صحيح رواه جماعة من الثقات عن يحيى بن أبي كثير عن هلال بن أبي ميمونة عن عطاء بن يسار عن معاوية السلمي. أخرجه مسلم وأبو داود والنساء وغير واحد من الأئمة في تصانيفهم، يمرونه كما جاء ولا يعترضون له بتأويل ولا تحريف.
“Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh
jama’ah perawi tsiqah dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Hilaal bin
Abi Maimuunah, dari ‘Thaa’ bin Yasaar, dari Mu’aawiyyah As-Sulamiy. Dikeluarkan
olehMuslim, Abu Dawud, An-Nasaa’iy, dan lainnya dari kalangan para imam yang
memuatnya pada karya-karya mereka. Semuanya memberlakukannya sebagaimana
datangnya, tidak ada yang coba-coba melakukan ta’wil dan tahrif”
[Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar, hal. 16-17, tashhih : ‘Abdurrahman bin
Muhammad ‘Utsmaan; Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1388].
2). Imam al Hafidz al Bazzâr
Imam al Hafidz al Bazzâr telah menegaskan kemuththariban
hadis itu dalam Musnad-nya. Setelah meriwayatkan hadis itu dari sebuah
jalurnya, ia berkata:
وَهَذَا قَدْ رُوِيَ نَحْوُه بأَلْفاظٍ مُخْتَلِفَةٍ.
“Hadis ini telah diriwayatkan hadis serupa
dengannya dengan beragam redaksi.”
Tidakkah ia membaca bahwa perkataan tersebut
diucapkan untuk hadits Ibnu ‘Abbaas (no. 3) ? Jadi salah alamat jika perkataan
itu ditujukan pada riwayat Mu’aawiyyah bin Al-Hakam.
NB : Sekali lagi, darimana ia menyimpulkan
bahwa Al-Bazzaar menghukumi hadits itu sebagaimudltharib dari perkataan di
atas ?
Ini sama seperti kasus Al-Baihaqiy di atas.
Nampaknya, ia benar-benar tidak paham tentang istilah-istilah hadits : mukhtalif danmudltharib.
Selamat belajar kembali….
3). Al Hafidz Ibnu Hajar al Asqallâni
Ibnu Hajar –penutup para hafidz- menegaskan
vonis serupa, dalam kitab at Talkhîsh al Khabîr-nya, ia mengatakan:
.وفي اللفْظِ مخالفةٌ كثِيْرَة
“Dan pada redaksinya terdapat pertentangan yang
sangat banyak.”
Dan al Hafidz Ibnu Hajar tegas sekali dalam
akidahnya bahwa tidak dibenarkan mengatakan untuk Allah di mana. Ia mengabaikan
hadis ini kendati bisa saja sanadnya shahih, karena ia adalah hadis yang
muththarib. Karenanya ia menegaskan dalam Fathu al Bâri-nya,1/221:
فإن إدراك العقول لاسرار الربوبية قاصر فلا يتوجه على حكمه لم ولا كيف ؟ كما لا يتوجه عليه في وجوده أين.
“Kerena sesungguhnya jangkauan akal terhadap
rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak
boleh dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini?
Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-nya: Di
mana?.”
Perkataan Al-Haafidh bahwa hadits tersebut
terdapat banyak perselisihan, sama sekali tidak menunjukkan idlthirab sebagaimana
telah lalu komentarnya. Apalagi sampai menyimpulkan bahwa beliau ‘menegaskan’
adanya idlthirab dari perselisihan itu. Tidak kita temui perkataan
Al-Haafidh di atas tentang idlthirab kecuali dari tulisan muqallidtersebut.
Adapun penukilan tentang perkataan Ibnu Hajar
selanjutnya, justru hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam menjadi hujjah bagi
semua golongan manusia yang mengaku Muslim. Bukan perkataan sebaliknya,
perkataan manusia yang menghujjahi nash.
Perhatikan pula riwayat berikut :
حدثنا وكيع عن إسماعيل عن قيس قال : لما قدم عمر الشام استقبله الناس وهو على البعير فقالوا : يا أمير المؤمنين لو ركبت برذونا يلقاك عظماء الناس ووجوههم ، فقال عمر : لا أراكم ههنا ، إنما الامر من هنا – وأشار بيده إلى السماء.
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari
Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata : Ketika ‘Umar baru datang dari Syaam,
orang-orang menghadap kepadanya dimana ia waktu di masih di atas onta
tunggangannya. Mereka berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, jika saja engkau
mengendarai kuda tunggangan yang tegak, niscaya para pembesar dan tokoh-tokoh
masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab : “Tidakkah kalian lihat,
bahwasannya perintah itu datang dari sana ? –Dan ia (‘Umar) berisyarat dengan
tangannya ke langit” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 13/40; shahih].
Atsar di atas menetapkan sifat Al-‘Ulluw bagi
Allah ta’ala.
Sifat ini dipahami oleh ‘Umar sebagaimana
dhahir/hakekatnya, sehingga ia menunjuk ke arah langit dimana Allahta’ala berada.
Apakah muqallid tersebut akan mengatakan bahwa ‘Umar (bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu) telah salah dan dirinya benar ?
Mujaahid Al-Makkiy ketika menjelaskan ayat istiwaa’ berkata
:
علا على العرش
“Tinggi di atas ‘Arsy” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhariy secara mu’allaq dengan shighah jazm, 6/2698].
Perkataan Mujaahid didasarkan atas
pengetahuannya terhadap makna (hakiki/dhahir) istiwaa’.
Al-Bukhaariy berkata :
وقال ضمرة بن ربيعة عن صدقة سمعت سليمان التيمي يقول لو سئلت أين الله لقلت في السماء فإن قال فأين كان عرشه قبل السماء لقلت على الماء فإن قال فأين كان عرشه قبل الماء لقلت لا أعلم قال أبو عبد الله وذلك لقوله تعالى { ولا يحيطون بشيء من علمه إلا بما شاء } يعني إلا بما بين
Telah berkata Dlamrah bin Rabii’ah, dari
Shadaqah : Aku mendengar Sulaimaan At-Taimiy berkata : “Seandainya aku ditanya
: ‘dimana Allah’, pasti akan aku menjawab : ‘di langit’. Jika ia berkata :
‘lalu dimanakah ‘Arsy-Nya sebelum (diciptakan) langit ?’ ; akan aku jawab : ‘di
atas air’. Jika ia kembali berkata : ‘lalu dimanakah ‘Arsy-Nya sebelum
(diciptakan) air ?’ ; akan aku jawab : ‘aku tidak tahu’ [Khalqu
Af’alil-‘Ibaad oleh Al-Bukhaariy, 2/38 no. 64, tahqiq Fahd bin Sulaimaan
Al-Fahiid; Daaru Athlas Al-Khadlraa’, Cet. 1/1425. Riwayat ini shahih.
Diriwayatkan juga oleh Al-Laalika’iy dalamSyarh Ushuulil-I’tiqaad no. 671,
Ibnu Abi Syaibah dalam Kitaabul-‘Arsy no. 15, Ibnu Jarir dalam
Tafsir-nya no. 30609, dan Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah no. 194.].
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad, dari
ayahnya, dari Nuuh bin Maimuun, dari Bukair bin Ma’ruuf, dari Muqaatil bin
Hayyaan tentang firman Allah ta’ala : ‘Tiada pembicaraan
rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya’ (QS.
Al-Mujaadalah : 7), ia (Muqaatil) berkata :
هو على عرشه، وعلمه معهم.
“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya
bersama mereka” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah hal.
71, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal. 263, dan yang lainnya dengan
sanad hasan – melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 138 no. 124;
Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 1/1401].
Ahmad (bin Hanbal) meriwayatkan dengan
sanadnya sampai Adl-Dlahhaak tentang ayat (yang artinya) : ‘Tiada
pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan
tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya’ (QS.
Al-Mujaadalah : 7); maka Adl-Dlahhaak berkata :
هو على العرش وعلمه معهم
“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya
bersama mereka” [As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal hal.
80 – melalui perantaraan Al-Masaail war-Rasaail Al-Marwiyyatu ‘anil-Imam
Ahmad bin Hanbal fil-‘Aqiidah oleh ‘Abdullah bin Sulaimaan Al-Ahmadiy,
1/319; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412].
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah : Telah menceritakan ayahku,
kemudian ia menyebutkan sanadnya dari ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : Telah
berkata Maalik bin Anas :
الله في السماء، وعلمه في كل مكان، لا يخلو منه شيء.
“Allah berada di atas langit, dan ilmu-Nya
berada di setiap tempat. Tidak ada terlepas dari-Nya sesuatu” [Diriwayatkan
oleh ‘Abdullah dalam As-Sunnah hal. 5, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal.
263, Al-Aajuriiy hal. 289, dan Al-Laalikaa’iy 1/92/2 dengan sanad shahih –
dinukil melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 140 no. 130].
Pengetahuan pembedaan dua hal dari para imam
(Muqaatil, Adl-Dlahhak, dan Maalik) yang disebutkan dalam tiga riwayat di atas
didasari oleh pengetahuan terhadap makna (hakiki/dhahir) nash. Mereka
mengetahui makna sifat al-‘ulluw Allah yang dengan itulah mereka
menetapkan ‘aqidah tentang sifat tersebut kepada Allah. Yang bersama mereka
adalah ilmu-Nya, sedangkan Dzat-Nya tetap tinggi berada di atas ‘Arsy
sebagaimana telah menjadi ijma’ kaum muslimin :
‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy berkata :
قد اتفقت الكلمة من المسلمين أن الله فوق عرشه فوق سماواتة
“Sungguh kaum muslimin telah bersepakat terhadap
satu kalimat bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas
langit-langit-Nya” [Al-Arba’iin fii Shifaati Rabbil-‘Aalamiin oleh
Adz-Dzahabiy, tahqiq ‘Abdul-Qaadir Athaa, hal. 43 no. 17; Maktabah Al-‘Uluum
wal-Hikam, Cet. 1/1413].
Abul-Hasan Al-Asy’ariy berkata :
وأجمعوا . . أنه فوق سماواته على عرشه دون أرضه
“Dan mereka (ulama Ahlus-Sunnah) telah berijma’ …..
bahwasannya Allah berada di atas langit-langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, dan
bukan di bumi-Nya” [Risaalah ilaa Ahlits-Tsaghar hal. 75 – dinukil
melalui perantaraan I’tiqaad Ahlis-Sunnah Syarh Ashhaabil-Hadiits oleh
Muhammad Al-Khumais, hal. 22; Wizaaratusy-Syu’uun Al-Islaamiyyah wal-Auqaaf
wad-Da’wah wal-Irsyaad, Cet. Thn. 1419].[16]
Keberatan yang menimpa rekan muqallid kita
ini tidak memberikan satu pun mafsadatbagi keabsahan ‘aqidah tentang Allah ‘azza
wa jalla ini.[17].
4). Al Hafidz al ‘Irâqi
Dalam kitab Amâli-nya, Al Hafidz al ‘Irâqi
telah menghukumi hadis Jâriyah dengan redaksi: Di mana Tuhanmu? sebagai hadis
muththarib. (Lebih lanjut baca Tanqîh al Fuhûm al Âliyah:13.)
Kasusnya hampir serupa dari yang lalu, dan saya
tidak berhajat memperpanjang pembicaraan tentangnya. Adapun buku Tanqiihul-Fuhuum
Al-‘Aaliyyah (تنقيح الفهوم العالية فيما صح ومالم يصح من حديث الجارية) adalah tulisan Hasan
bin ‘Aliy As-Saqqaaf yang nampaknya selalu ia taqlid-i. Musibah..
Demikian artikel kecil ini ditulis. Semoga ada
manfaatnya bagi para Pembaca sekalian.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’, banyak mengambil faedah dari
kitab Ad-Difaa’ ‘an hadiits Al-Jaariyyah oleh ‘Abdullah bin Fahd
Al-Khaliifiy] – bersambung ke Artikel Ini.
[1]
Ia adalah Muhammad bin Ash-Shabbaah Ad-Duulabiy, Abu Ja’far Al-Baghdaadiy
Al-Bazzaaz; perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Ahmad bin Hanbal berkata : “Syaikh kami, tsiqah”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah
ma’muun”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. Ya’quub bin Syaibah berkata : “Tsiqah, shahibu
hadiits”. Abu Haatim berkata : “Tsiqah,termasuk orang yang haditsnya dijadikan
hujjah. Ahmad bin Hanbal dan Yahyaa bin Ma’iin meriwayatkan hadits darinya, dan
Ahmad mengagungkan dirinya”. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat.
Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah haafidh”.
[Lihat : Al-Jarh wat-Ta’diil 7/289
no. 1569, Ma’rifatuts-Tsiqaat 2/241 no. 1609, Ats-Tsiqaat9/78,Tahdziibul-Kamaal 25/388-392
no. 5298, dan Taqriibut-Tahdziib hal. 855 no. 6004].
[2]
Ia adalah ‘Abdullah bin Muhammad bin Ibraahiim bin ‘Utsmaan Al-‘Absiy, terkenal
dengan nama Ibnu Abi Syaibah, seorang imam tsqah yang masyhur; perawi
yang dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Ibnu Hajar berkata
: “Tsiqah haafidh, shaahibut-tashaanif(mempunyai banyak karangan/tulisan)” [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 540 no. 3600].
[3]
Ia adalah Ismaa’iil bin Ibraahiim bin Miqsam Al-Asadiy Abu Bisyr
Al-Bashri, dikenal dengan Ibnu ‘Ulayyah; perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya. Syu’bah berkata : “Ibnu ‘Ulayyah adalah raihanah-nya
para fuqahaa’”. Ia juga berkata : “Ibnu ‘Ulayyah adalah pemuka/pemimpin (sayyid)
para muhadditsiin”. ‘Abdurrahman bin Mahdiy berkata : “Ibnu ‘Ulayyah lebih tsabt daripada
Husyaim”. Yahyaa bn Sa’iid berkata : “Ibnu ‘Ulayyah lebihtsabtdaripada Wuhaib”.
Khaalid bin AlHaarits berkata : “Kami menyamakan Ismaa’il bin ‘Ulayyah dengan
Yunus bin ‘Ubaid”. Yaziid bin Haaruun berkata : “Aku memasuki kota Bashrah, dan
tidak ada seorang pun yang melebihi/menandingi Ibnu ‘Ulayyah dalam hadits”.
Ahmad bin Hanbal berkata : “Ismaa’iil bin ‘Ulayyah, padanya akhir/puncak sifat tsabt di
kota Bashrah”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Abu Haatim berkata : “Tsiqah,
orang yangtsabt dalam hal-ihwal para perawi (rijaal)”. Abu Dawud
As-Sijistaaniy berkata : “Tidak ada seorang pun dari kalanganmuhadditsiin yang
tidak pernah keliru, kecuali Ismaa’iil bin ‘Ulayyaah dan Bisyr bin
Al-Mufadldlal”. An-Nasaa’iy berkata : “Tsiqah, tsabt”. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah,
haafidh”.
[Lihat : Al-Jarh wat-Ta’diil 2/153-155
no. 513, Tahdziibul-Kamaal 3/23-33 no. 417, danTaqriibut-Tahdziib hal.
136 no. 420].
[4]
Ia adalah Hajjaaj bin Abi ‘Utsmaan Ash-Shawaaf, Abush-Shalt atau Abu ‘Utsmaan
Al-Kindiy; perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Yahyaa Al-Qaththaan berkata : “Ia seorang yang cerdas, benar (shahih), lagi
pandai”. Al-Bukhaariy berkata : “Tsiqah di sisi ahlul-hadiits”. Al-‘Ijliy
berkata : “Orang Bashrah yang tsiqah”. Al-Fasawiy berkat : “Tsiqah”.
At-Tirmidziy berkata : “Tsiqah, haafidh di sisi ahlul-hadits”. Ahmad
berkata : “Ia seorang yang tsabt”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah”.
Ibnu Khuzaimah berkata : “Aku mendengar Muhammad bin Yahya berkata : ‘Hajjaaj
Ash-Shawaaf seorang yang kokoh (matiin)’ – maksudnya, ia tsiqah lagihaafidh”.
Abu Zur’ah dan Abu Haatim berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah
haafidh”.
[Lihat : Ma’rifatuts-Tsiqaat 1/287
no. 271, Al-Ma’rifatu wat-Taarikh 2/127, Tahdziibul-Kamaal5/443-444
no. 1123, Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 1/153-154 no. 797, dan Taqriibut-Tahdziibhal.
224 no. 1139].
[5]
Ia adalah Yahyaa bin Abi Katsiir Ath-Thaa’iy; perawi yang dipakai Al-Bukhaariy
dan Muslim dalam Shahih-nya. Ayyuub berkata : “Aku tidak mengetahui
seorang pun setelah Az-Zuhriy yang lebih mengetahui hadits penduduk Madinah
dibandingkan Yahyaa bin Abi Katsiir. Syu’bah berkata : “Yahyaa bin Abi Katsiir
lebih baik dalam hadits daripada Az-Zuhriy”. ‘Abdurrahmaan bin Al-Hakam bin
Basyiir bin Salmaan berkata : “Syu’bah mendahulukan Yahyaa bin Abi Katsiir
daripada Az-Zuhriy”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah, hasanul-hadiits”. Abu Haatim
berkata : “Seorang imam yang tidak meriwayatkan hadits kecuali dari orang yang tsiqah”.
Ibnu Hibbaan memasukkannya dalamAts-Tsiqaat. Al-‘Uqailiy berkata : “Ia
disebutkan dengan (pensifatan)tadliis”. Ahmad berkata : “Yahyaa bin Abi Katsiir
adalah orang yang paling tsabt. Ia sebanding dengan Az-Zuhriy dan Yahyaa
bin Sa’iid. Apabila Az-Zuhriy menyelisihinya, maka yang dianggap (diunggulkan)
adalah perkataan Yahyaa bin Abi Katsiir”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Ma’ruuf dengan
sifat tadliis”. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah tsabt, namun ia
melakukan tadlisdan irsal”.
[lihat : Al-Jarh wat-Ta’diil 9/141-142
no. 599, Ma’rifatuts-Tsiqaat 2/357 no. 1994, Ats-Tsiqaat7/591, Tahdziibul-Kamaal 31/504-
no. 6907, Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 3/302-303 no. 4944, dan Taqriibut-Tahdziib hal.
1065 no. 7682].
Catatan : Dalam hadits ini, An-Nasaaiy telah
membawakan lafadh tahdits dari Yahyaa bin Abi Katsiir sehingga
hilanglah keraguan akan tadlis yang ia lakukan. An-Nasaa’iy berkata :
أخبرنا عمرو بن علي قال حدثا يحيى قال حدثنا حجاج قال حدثني يحيى بن أبي كثير قال حدثني هلال بن أبي ميمونة عن عطاء بن يسار عن معاوية بن الحكم السلمي قال : …..(الحديث)….
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Amru bin
‘Aliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Hajjaaj, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku
Yahyaa bin Abi Katsiir, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Hilaal bin Abi
Maimuunah, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy,
ia berkata : “….(al-hadits)…”.
Sanad ini shahih.
[6]
Ia adalah Hilaal bin ‘Aliy bin Usaamah, dikatakan juga : Hilaal bin Abi
Maimuunah dan Hilaal bin Abi Hilaal, Al-Qurasyiy Al-‘Aamiriy Al-Madaniy; perawi
yang dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Abu Haatim berkata
: “Ditulis haditsnya, dan ia seorang syaikh”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak
mengapa dengannya (laa ba’sa bih)”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat.
Al-Haakim berkata : “Telah menjadi satu kesepakatan berhujjah atas
riwayat-riwayat Hilaal bin Abi Hilaal – dan dikatakan : Hilaal bin Abi
Maimuunah, dikatakan : Ibnu ‘Aliy, Ibnu Usaamah, yang kesemuanya itu adalah
satu orang yang sama”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah”. Malik telah
mengambil riwayat darinya dalam Al-Muwaththa’ – dan sebagaimana telah
dikenal di kalangan muhadditsiin bahwa hal itu ekuivalen dengan
pentsiqahan, sebagaimana perkataan Ahmad dan yang lainnya : “Setiap orang yang
diambil riwayatnya oleh Maalik, maka ia tsiqah(menurutnya)”. Al-Fasawiy
berkata : “Tsiqah, hasanul-hadiits”. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah”.
[lihat : Al-Jarh wat-Ta’diil 9/76 no.
300, Ats-Tsiqaat 5/505, Al-Mustadrak 1/208, Al-Ma’rifatu
wat-Taariikh 2/466, Tahdziibul-Kamaal 30/343-345 no. 6626, Mausuu’ah
Aqwaal Ad-Daaruquthniy hal. 709 no. 3756, dan Taqriibut-Tahdziib hal.
1028 no. 7394].
Catatan : As-Saqqaaf mengkritik secara tidak fair terhadap
Hilaal bin Abi Maimuunah ini dalamTanqiihul-Fuhuum hal. 9 dimana ia
menurunkan derajat Hilaal dari seorang tsiqahmenjadishaduuq. Ikhwan
sekalian dapat menilai bagaimana pandangan para muhadditsiinterhadap
Hilaal ini.
[7]
Ia adalah ‘Athaa’ bin Yasaar Al-Hilaaliy, Abu Muhammad Al-Madaniy Al-Qaashsh,
maula Maimuunah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; perawi yang
dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Yahyaa bin Ma’iin
berkata : “Tsiqah”. Abu Zur’ah berkata : “Tsiqah”. An-Nasa’’iy juga
mentsiqahkannya. Al-‘Ijliy berkata : “Tabi’iy tsiqah”. Ibnu Hibbaan
memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah faadlil”.
[lihat Al-Jarh wat-Ta’diil 6/338 no.
1867, Ma’rifatuts-Tsiqaat 2/138 no. 1245, Ats-Tsiqaat5/199,Tahdziibul-Kamaal 20/125-128
no. 3946, dan Taqriibut-Tahdziib hal. 679 no. 4638].
[8]
Ia tidak mendengar hadits dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, Ibnu ‘Umar, Zaid bin
Khaalid Al-Juhhaniy, Ummu Salamah, Ummu Haani’, Ummu Kurz, Jubair bin Muth’im,
Abu Bakr Ash-Shiddiq, ‘Utsmaan bin ‘Affaan, Raafi’ bin Khudaij, Usaamah bin
Zaid, Mu’aadz, dan ‘Utbaan bin Usaid radliyallaahu ‘anhum ajma’in [Jaami’ut-Tahshiil oleh
Al-‘Alaa’iy, hal. 237, no. 520].
وكانت له شاة صفي يعني عزيزة في غنمه تلك فأراد أن يعطيها نبي الله صلى الله عليه و سلم
“Dan ia mempunyai seekor kambing yang
baik/bagus. Lalu ia ingin memberikannya kepada Nabishallallaahu ‘alaihi wa
sallam…”.
Dalam penyajiannya, ia menyingkat hadits dengan
perkataannya :
“(setelah menyebutkan kisah budak wanita yang
teledor dalam mengembalakan kambing tuannya yang berakhir dengan ditempelangnya
budak tersebut kemudian penyesalan tuannya yang akhirnya bermaksud
memerdekakannya. Nabi saw. Memintanya agar dihadirkan dan setelah ia hadir,
Nabi saw. bertanya kepada demikian)…..”
Tentu saja faktor ini ikut andil dalam kaburnya
esensi dirayah hadits yang sedang dibahas.
[12]
Dalam Al-Mushannaf (tahqiq : Habiibur-Rahmaan Al-A’dhamiy;
Al-Majlisul-‘Ilmiy, Cet. 1/1392) disebutkan :
…قالت : نعم، وأن الجنة والنار حق ؟ قالت : نعم، فلما فرغ قال : أعتق أو أمسك ؟ ……
“….Budak itu menjawab : ‘Benar’. (Beliau
bersabda) : ‘Dan bahwasannya surga dan neraka itu benar ?’. Ia menjawab :
‘Benar’. Ketika telah selesai, beliau bersabda : ‘Engkau akan bebaskan ia
atau tidak ?’……”.
Bandingkan dengan nukilannya di atas !
Al-Bukhaariy berkata : “Aku tidak meriwayatkan
sedikitpun dari Ibnu Abi Lailaa”. Ia juga berkata : “Muhammad bin ‘Abdirrahmaan
bin Abi Lailaa jujur, namun tidak diketahui mana yang shahih dan yang dla’iif dari
haditsnya, maka haditsnya sangat dilemahkan”.
Al-‘Ijliy berkata : “Orang Kuffah yang jujur
lagi tsiqah”. Abu Zur’ah berkata : “Laki-laki yang mulia/terhormat”. Abu
Haatim berkata : “Ibnu Abi Lailaa jelek hapalannya (sayyi’ul-hifdhi)”.
Al-Fasawiy berkata : “Faqiih, tsiqah, ‘adil. Namun dalam haditsnya ada sebagian
kritikan.Layyinul-hadiits”.
At-Tirmidziy berkata : “Sebagian ulama telah
memperbincangkan Ibnu Abi Lailaa dari sisi hapalannya. Ahmad berkata : ‘Tidak
boleh berhujjah dengan hadits Ibnu Abi Lailaa”. Di bagian lain At-Tirmidziy
juga berkata : “Ibnu Abi Lailaa shaduuq faqiih, hanya saja ia keliru dalam
(penyampaian) sanad”. Al-Bazzaar berkata : “Tidak haafidh (laisa
bi-haafidh)”.
An-Nasaa’iy berkata : “Hakim kota Kuffah, salah
seorang di antara ahli fiqh, namun tidak kuat dalam hadits”.
Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah, dalam
hapalannya ada sesuatu”. Di lain tempat ia berkata : “Jelek hapalan, banyak
kelirunya (radi’ul-hifdh, katsiirul-wahm)”. Di lain tempat ia juga berkata :
“Jelek hapalannya (sayyi’ul-hifdh)”.
Ahmad bin Hanbal berkata : “Ia orang yang jelek
hapalannya, mudltharibul-hadiits. Fiqh Ibnu Abi Lailaa lebih
kami sukai daripada haditsnya; dalam haditsnya idlthiraab”. Di lain tempat
ia berkata : “Ibnu Abi Lailaa dla’iif. Dalam periwayatan dari ‘Athaa’, ia
banyak salahnya”.
Ibnu Ma’iin berkata : “Laisa bi-dzaaka”. Di
lain tempat ia berkata : “Sangat jelek dalam hapalannya”. Syu’bah berkata :
“Aku tidak melihat orang yang lebih jelek hapalannya daripada Ibnu Abi Lailaa”.
Ahmad bin Yuunus berkata : “Zaaidah tidak meriwayatkan hadits dari Ibnu Abi
Lailaa, dan ia meninggalkan haditsnya”. Pernah disebutkan Ibnu Abi Lailaa di
sisi Zaaidah, lalu ia berkata : “Ia orang yang paling faqih di antara penduduk
dunia. Dan dalam hadits ‘Aliy (bin Syihaab), ia adalah orang yang paling tahu
tentang diri kami”.
Abu Haatim berkata : “Tempatnya kejujuran.
Namun ia seorang yang lemah hapalannya. Ia tersibukkan dalam urusan pengadilan
(karena profesinya sebagai qadliy), lalu menjadi buruk hapalannya (di
bidang hadits). Tidak tertuduh berdusta, hanya saja ia diingkari karena
banyaknya kesalahan (yang ia lakukan). Ditulis haditsnya, namun tidak boleh
berhujjah dengannya”.
Ibnu ‘Adiy berkata : “Bersamaan dengan
kelemahan hapalannya, ia ditulis haditsnya”. Abu Ahmad Al-Haakim berkata
: “Kebanyakan haditsnya terbalik (maqluubah)”. As-Saajiy berkata : Ia seorang
yang jelek hapalannya, tidak berdusta, dipuji dalam hal keutamaanya. Adapun
dalam hadits, ia tidak digunakan sebagai hujjah”. Ibnu Khuzaimah berkata :
“Tidak haafidh, meskipun ia seorang yang faqih lagi ‘alim”.
Ibnu Hajar berkata : “Jujur, sangat jelek dalam hapalan”.
[lihat : Al-Jarh wat-Ta’diil 7/322-323
no. 1739, Tahdziibul-Kamaal 25/622-628 no. 5406,Tahdziibut-Tahdziib 9/301-303
no. 503, Taqriibut-Tahdziib, hal. 871 no. 6121, dan Al-Jaami’
fil-Jarh wat-Ta’diil 3/38-40].
[14]
Saya tidak mengingkari bahwa hadits itu dengan seluruh jalannya adalah shahih(lighairihi).
Namun mengatakan bahwa sanad hadits Ath-Thabaraaniy adalah shahih, maka ini
tidak benar. Dalam peristilahan hadits, beda antara istilah : ‘hadits
shahih’ dengan ‘hadits isnaduhu shahih’. Istilah pertama itu merujuk
pemenuhan keseluruhan syarat shahih, termasuk bebas ‘illat dansyudzudz –
sehingga ini harus diperhatikan jalur-jalur lainnya; sedangkan istilah kedua
merujuk pemenuhan keshahihan pada dhahir sanad hadits tersebut saja,
tanpa penyertaan bebas ‘illat dansyudzudz. Selain itu, hadits shahih
jika disebutkan secara mutlak bisa bermakna shahih lidzaatihi(yang
memenuhi semua persyaratan shahih) ataupun shahih li-ghairihi (hadits
yang terangkat karena penguat-penguat dari jalan yang lainnya).
[15]
Aneh bin ajaibnya, ia membawakan definisi idlthirab dalam ilmu mushthalah.
Yang jadi pertanyaan : “Pahamkah ia tentang yang ditulisnya ? Apakah hanya
sekedar memperbanyak perkataan serta memenuhi tulisan agar terkesan padat dan
ilmiah ?”. Dalam ilmu mushthalahada tiga persyaratan satu hadits dapat
dikatakan mudltharib :
Adanya perselisihan yang nyata.
Bersatunya/berkumpulnya mukharrij; yaitu
ada perawi yang menjadi poros berkumpulnya riwayat.
Tidak memungkinkan adanya pentarjihan atau
penjamakan dari jalan-jalan yang berselisihan tersebut (karena sama kuat)
sesuai dengan kaidah-kaidah yang dikenal olehmuhadditsiin.
[lihat penjelasan ini dalam Al-Jawaahirus-Sulaimaaniyyah
Syarh Al-Mandhuumah Al-Baiquniyyah, hal. 334-337].
Keyakinan bahwa Allah itu berada di langit
adalah keyakinan Fir’aun yang telah dikecam habis Al Qur’an. Allah berfirman:
وَ قالَ فِرْعَوْنُ يا هامانُ ابْنِ لي صَرْحاً لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبابَ * أَسْبابَ السَّماواتِ فَأَطَّلِعَ إِلى إِلهِ مُوسى وَ إِنِّي لَأَظُنُّهُ كاذِباً وَ كَذلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَ صُدَّ عَنِ السَّبيلِ وَ ما كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلاَّ في تَبابٍ .
“Dan berkatalah Firaun:” Hai Haman, buatkanlah
bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu)
pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku
memandangnya seorang pendusta.” Demikianlah dijadikan Fir’aun memandang baik
perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu
daya Fir’un itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (QS.Ghafir/Al Mu’min;
36-37)
Dalam ayat di atas tegas-tegas dikatakan bahwa
siapa yang menganggap Allah itu berada di langit adalah telah terhalangi dari
ma’rifah, mengenal Allah SWT dengan sebenar arti pengenalan. Jadi penyakit
kayakinan bahwa Allah berada di langit atau ditempat tertentu adalah penyakit
kronis. Semoga Allah menyelamatkan kita dari keyakinan itu. Amîn.
Justru QS. Al-Mukmin : 36-37 adalah dalil bagi
kita untuk meng-hujjah-inya !
Perintah Fir’aun kepada Hammaan untuk
membuatkan bangunan yang tinggi agar ia bisa melihat Allah mengandung
pengertian bahwa Muusaa telah mendakwahinya untuk beriman kepada Allah yang
berada di atas langit. Dan ia (Fir’aun) mendustakannya !
Abul-Hasan Al-Asy’ariy (260-324 H) berkata :
وقال تعالى حكاية عن فرعون لعنه الله: (يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب أسباب السماوات فأطلع إلى إله موسى وإني لأظنه كاذبا) ، فكذب فرعون نبي الله موسى عليه السلام في قوله : إن الله عز ولج فوق السموات .
“Allah ta’ala berfirman saat
menceritakan Fir’aun – semoga Allah melaknatnya – : ‘Hai Haman, buatkanlah
bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu)
pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku
memandangnya seorang pendusta’ ; Fir’aun telah mendustakan Nabiyullah Muusaa ‘alaihis-salaam tentang
perkataannya : ‘sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berada di atas
langit-langit” [Al-Ibaanah, hal. 33; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1].
Abu ‘Utsmaan Ismaa’iil Ash-Shaabuuniy (373-449
H) berkata saat mengomentari ayat tersebut :
وإنما قال ذلك لأنه سمع موسى – عليه السلام – يذكر أن ربه في السماء، ألا ترى إلى قوله : (وَإِنِّي لأظُنُّهُ كَاذِبًا) يعني في قوله : إن في السماء إلها.
“Ia (Fir’aun berkata seperti itu karena ia
mendengar Muusaa bercerita bahwa Rabb-Nya ada di atas langit. Cobalah
perhatikan ucapannya : ‘Sungguh aku memandangnya seorang pendusta…’. Yang
dimaksud di sini adalah perkataan Muusaa bahwa di langit itu ada tuhan (Allah)”
[‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits, hal. 37 no. 21, tahqiq : Badr Al-Badr;
Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415].
Pendustaan Allah kepada Fir’aun dalam ayat di
atas adalah pendustaan karena kesombongannya yang menolak dakwah Muusaa yang
kemudian ia memerintahkan Hammaan untuk membuat bangunan yang tinggi agar bisa
melihat Allah; padahal ia (sebenarnya) tahu apa yang dilakukannya itu tidak
akan bisa melihat Allah ‘azza wa jalla.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/03/at tafwidl.html , http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/02/penjelasan-asy-syaikh-abdul-qadiir-al.html , http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/aqidah-ahlus-sunnah-wal-jamaah-dalam.html.
Judul Asli : Shahih Hadits Mu’awiyah bin
Al Hakam Tentang Dimana Allah Dan Bantahan Singkat Bagi Yang Mendha’ifkannya.
Selengkapnya dalam sumber :
Beberapa Pertanyaan Bagi yang Tidak Mengimani
Allaah Di Atas Langit
Ustadz : "anak-anak
taukah kalian..? Allah itu ada tanpa tempat..!!"
Santri : "loh ko bisa ustadz..?"
Ustadz : "ya bisa, kalo butuh tempat namanya makhluk dunk..."
Santri : (mikir) "ustadz, bukanya dalam Al Qur'an di katakan 'Arrahmaanu 'alal arsyistawa'.."
Ustadz : "ah kamu itu anak kemarin sore, tau apa kamu ttg Al Qur'an...?? Ulama dan orang2 tertentu saja yg tau hakikat ayat itu, kamu kan cuma tau makna zhahirnya saja...!!"
Santri : (mikir lagi) "trus ustadz, kalo Allah bukan di langit (di atas arsy), Rasulullah waktu mi'raj kemana dan ketemu siapa dunk....???"
Ustadz : "Tuink..tuing...."
----------------------------------
Santri : "loh ko bisa ustadz..?"
Ustadz : "ya bisa, kalo butuh tempat namanya makhluk dunk..."
Santri : (mikir) "ustadz, bukanya dalam Al Qur'an di katakan 'Arrahmaanu 'alal arsyistawa'.."
Ustadz : "ah kamu itu anak kemarin sore, tau apa kamu ttg Al Qur'an...?? Ulama dan orang2 tertentu saja yg tau hakikat ayat itu, kamu kan cuma tau makna zhahirnya saja...!!"
Santri : (mikir lagi) "trus ustadz, kalo Allah bukan di langit (di atas arsy), Rasulullah waktu mi'raj kemana dan ketemu siapa dunk....???"
Ustadz : "Tuink..tuing...."
----------------------------------
Bagi yang menolak mengimani
penjelasan dari Al Qur'an dan hadits hadits shahih bahwa Allah diatas langit
menetap tinggi diatas Arsy...
Silahkan direnungkan bbrp pertanyaan berikut :
1. ”Apakah kamu merasa aman terhadap DZAT yang di atas langit, bahwa Ia akan menenggelamkan ke dalambumi, maka tiba-tiba ia (bumi) bergoncang ?” (Al-Mulk : 16)
Pertanyaan : Siapakah DZAT yang di atas langit tsb...??
2. ”Mereka (para Malaikat) takut kepada Tuhan mereka yang berada di atas mereka, dan mereka mengerjakan apa-apa yang diperintahkan”.(An-Nahl : 50).
Pertanyaan : Siapakah Tuhan mereka yang berada di atas mereka...??
3.”Wahai Isa ! Sesungguhnya Aku akan mengambilmu dan mengangkatmu kepada-Ku” (Ali Imran : 55).”Tetapi Allah telah mengangkat dia (yakni Nabi Isa) kepada-Nya” (An-Nisa’ : 158).
Pertanyaan : mengangkat itu dari mana ke mana...??
Berarti Yang mengangkat dimana...??
3. ”Dan berkata Fir’aun : Hai Haman! Buatkanlah untukku satu bangunan yang tinggi supaya aku (dapat) mencapai jalan-jalan. (Yaitu) jalan-jalan menuju ke langit supaya aku dapat melihat Tuhan(nya) Musa, karena sesungguhnya aku mengira dia itu telah berdusta”. (Al-Mu’min : 36-37. Al-Qashash : 38).
Pertanyaan : kira-kira apa yang dikatakan nabi Musa kpd fir’aunsehinggafir’aun membuat bangunan yang tinggi supaya dapat menuju ke langit supaya dapat melihat Tuhan(nya) nabi Musa...??
4. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda : ”Orang-orang yang penyayang, mereka itu akan disayang oleh Allah Tabaaraka waTa’ala (Yang Maha berkat dan Maha Tinggi). oleh karena itu sayangilah orang-orang yang di muka bumi, niscaya Dzat yang di atas langit akan menyayangi kamu”. (Shahih. Diriwayatkan oleh Imam-imam : Abu Dawud No. 4941. Ahmad 2/160. Hakim 4/159. dari jalan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Hadits ini telah dishahihkan oleh Imam Hakim dan telah pula disetujui oleh Imam Dzahabi)
Juga sabda Beliau :
”Barangsiapa yang tidak menyayangi orang yang dimuka bumi, niscaya tidak akan di sayang oleh Dzat yang di atas langit”. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Thabrani di kitabnya ”Mu’jam Kabir No. 2497)
Pertanyaan : Siapakah Dzat yang di atas langit yang dimaksud...??
5. ”Tidakkah kamu merasa aman kepadaku padahal aku orang kepercayaan Dzat yang di atas langit, datang kepadaku berita (wahyu) dari langit di waktu pagi dan petang”. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim 3/111 dan Ahmad 3/4 dari jalan Abu Sa’id Al-Khudry).
Pertanyaan : Siapakah Dzat yang di atas langit yang dimaksud...??
6. ”Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya ! Tidak seorang suamipun yang mengajak istrinya ke tempat tidurnya (bersenggama), lalu sang istri menolaknya, melainkan Dzat yang di atas langit murka kepadanya sampai suaminya ridla kepadanya ”.(Shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim 4/157 dari jalan Abu Hurarirah).
Pertanyaan : Siapakah Dzat yang di atas langit yang dimaksud...??
7. ”Silih berganti (datang) kepada kamu Malaikat malam dan Malaikat siang dan mereka berkumpul pada waktu shalat shubuh dan shalat ashar. Kemudian naik malaikat yang bermalam dengan kamu, lalu Tuhan mereka bertanya kepada mereka, padahal Ia lebih tahu keadaan mereka : ”Bagaimana (keadaan mereka) sewaktu kamu tinggalkan hamba-hamba-Ku?Mereka menjawab : ”Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat dan kami datang kepada mereka dalam keadaan shalat”. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari 1/139 dan Muslim 2/113 dll).
Pertanyaan : kemana malaikat pergi menghadap Tuhannya...??
8. ”Jabir bin Abdullah telah meriwayatkan tentang sifat haji Nabi dalam satu hadits yang panjang yang didalamnya diterangkan khotbah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di padang ‘Arafah : ”(Jabir menerangkan) : Lalu Nabi mengangkat jari telunjuknya ke arah langit, kemudian beliau tunjukkan jarinya itu kepada manusia, (kemudian beliau berdo’a) : ”Ya Allah saksikanlah! Ya Allah saksikanlah ! ( Riwayat Imam Muslim 4/41).
Pertanyaan : Kenapa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuknya ke arah langit...??
9. Umar bin Khatab pernah mengatakan :”Bahwasanya segala urusan itu (datang/keputusannya) dari sini”. Sambil Umar mengisyaratkan tangannya ke langit ” [Imam Dzahabi di kitabnya ''Al-Uluw'' hal : 103. mengatakan : Sanadnya seperti Matahari (yakni terang benderang keshahihannya)].
Pertanyaan : Kenapa Umar mengisyaratkan tangannya ke langit...?? Siapa yang dimaksudkan Umar yang diatas langit tsb...??
10. Anas bin Malik menerangkan : ”Adalah Zainab memegahkan dirinya atas istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata :”Yang mengawinkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga kamu, tetapi yang mengawinkan aku (dengan Nabi) adalah Allah Ta’ala dari ATAS TUJUH LANGIT”.
Dalam satu lafadz Zainab binti Jahsyin mengatakan : ”Sesungguhnya Allah telah menikahkan aku (dengan Nabi) dari atas langit”. (Riwayat Bukhari juz 8 hal:176).
Pertanyaan : dimanakah Allah menurut Zainab...??
Pertanyaan bonus :
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengajukan pertanyaan kepada seorang budak perempuan milik Mua’wiyah bin Al-Hakam As-Sulamy sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya yaitu Mu’awiyah :”Beliau bertanya kepadanya : ”Di manakah Allah ?. Jawab budak perempuan :”Di atas langit. Beliau bertanya (lagi) : ”Siapakah Aku ..?. Jawab budak itu : ”Engkau adalah Rasulullah”. Beliau bersabda : ”Merdekakan ia ! .. karena sesungguhnya ia mu’minah (seorang perempuan yang beriman)”
Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Jama’ah ahli hadits, diantaranya :
1. Imam Malik (Tanwirul Hawaalik syarah Al-Muwath-tho juz 3 halaman 5-6).
2. Imam Muslim (2/70-71)
3. Imam Abu Dawud (No. 930-931)
4. Imam Nasa’i (3/13-14)
5. Imam Ahmad (5/447, 448-449)
6. Imam Daarimi 91/353-354)
7. Ath-Thayaalis di Musnadnya (No. 1105)
8. Imam Ibnul Jaarud di Kitabnya ”Al-Muntaqa” (No. 212)
9. Imam Baihaqy di Kitabnya ”Sunanul Kubra” (2/249-250)
10. Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- di Kitabnya”Tauhid” (hal. 121-122)
11. Imam Ibnu Abi ‘Aashim di Kitab As-Sunnah (No. 489 di takhrij oleh ahli hadits besar Muhammad Nashiruddin Al-Albanni).
12. Imam Utsman bin Sa’id Ad-Daarimi di Kitabnya”Ar-Raddu ‘Alal Jahmiyyah” (No. 60,61,62 halaman 38-39 cetakan darus Salafiyah).
13. Imam Al-Laalikai di Kitabnya ”As-Sunnah ” (No. 652).
Pertanyaan :
1. Apakah jawaban budak tsb “Allah Di atas langit” dibenarkan oleh Nabi...??
2. Dengan keyakinan bahwa Allah Di atas langit, budak tsb termasuk berakidah benar (mukminah) apa sesat...??
"""""""""""""""""
Dalil-dalil diatas adalah dari Al-Qur’an dan As-Sunnah shahih... Dan masih ada banyak pertanyaan lainnya lagi... Sementara yang ini saja dulu...
Direnungkan saja dulu ya...
Tapi kalo ada yang mau menjawab... Silahkan...
Tulisan ini adalah untuk kita renungkan... Semoga tidak dijadikan perdebatan...
Dan semoga bisa diambil hikmah dan manfaatnya...
Barakallahu fiikum.
Silahkan direnungkan bbrp pertanyaan berikut :
1. ”Apakah kamu merasa aman terhadap DZAT yang di atas langit, bahwa Ia akan menenggelamkan ke dalambumi, maka tiba-tiba ia (bumi) bergoncang ?” (Al-Mulk : 16)
Pertanyaan : Siapakah DZAT yang di atas langit tsb...??
2. ”Mereka (para Malaikat) takut kepada Tuhan mereka yang berada di atas mereka, dan mereka mengerjakan apa-apa yang diperintahkan”.(An-Nahl : 50).
Pertanyaan : Siapakah Tuhan mereka yang berada di atas mereka...??
3.”Wahai Isa ! Sesungguhnya Aku akan mengambilmu dan mengangkatmu kepada-Ku” (Ali Imran : 55).”Tetapi Allah telah mengangkat dia (yakni Nabi Isa) kepada-Nya” (An-Nisa’ : 158).
Pertanyaan : mengangkat itu dari mana ke mana...??
Berarti Yang mengangkat dimana...??
3. ”Dan berkata Fir’aun : Hai Haman! Buatkanlah untukku satu bangunan yang tinggi supaya aku (dapat) mencapai jalan-jalan. (Yaitu) jalan-jalan menuju ke langit supaya aku dapat melihat Tuhan(nya) Musa, karena sesungguhnya aku mengira dia itu telah berdusta”. (Al-Mu’min : 36-37. Al-Qashash : 38).
Pertanyaan : kira-kira apa yang dikatakan nabi Musa kpd fir’aunsehinggafir’aun membuat bangunan yang tinggi supaya dapat menuju ke langit supaya dapat melihat Tuhan(nya) nabi Musa...??
4. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda : ”Orang-orang yang penyayang, mereka itu akan disayang oleh Allah Tabaaraka waTa’ala (Yang Maha berkat dan Maha Tinggi). oleh karena itu sayangilah orang-orang yang di muka bumi, niscaya Dzat yang di atas langit akan menyayangi kamu”. (Shahih. Diriwayatkan oleh Imam-imam : Abu Dawud No. 4941. Ahmad 2/160. Hakim 4/159. dari jalan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Hadits ini telah dishahihkan oleh Imam Hakim dan telah pula disetujui oleh Imam Dzahabi)
Juga sabda Beliau :
”Barangsiapa yang tidak menyayangi orang yang dimuka bumi, niscaya tidak akan di sayang oleh Dzat yang di atas langit”. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Thabrani di kitabnya ”Mu’jam Kabir No. 2497)
Pertanyaan : Siapakah Dzat yang di atas langit yang dimaksud...??
5. ”Tidakkah kamu merasa aman kepadaku padahal aku orang kepercayaan Dzat yang di atas langit, datang kepadaku berita (wahyu) dari langit di waktu pagi dan petang”. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim 3/111 dan Ahmad 3/4 dari jalan Abu Sa’id Al-Khudry).
Pertanyaan : Siapakah Dzat yang di atas langit yang dimaksud...??
6. ”Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya ! Tidak seorang suamipun yang mengajak istrinya ke tempat tidurnya (bersenggama), lalu sang istri menolaknya, melainkan Dzat yang di atas langit murka kepadanya sampai suaminya ridla kepadanya ”.(Shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim 4/157 dari jalan Abu Hurarirah).
Pertanyaan : Siapakah Dzat yang di atas langit yang dimaksud...??
7. ”Silih berganti (datang) kepada kamu Malaikat malam dan Malaikat siang dan mereka berkumpul pada waktu shalat shubuh dan shalat ashar. Kemudian naik malaikat yang bermalam dengan kamu, lalu Tuhan mereka bertanya kepada mereka, padahal Ia lebih tahu keadaan mereka : ”Bagaimana (keadaan mereka) sewaktu kamu tinggalkan hamba-hamba-Ku?Mereka menjawab : ”Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat dan kami datang kepada mereka dalam keadaan shalat”. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari 1/139 dan Muslim 2/113 dll).
Pertanyaan : kemana malaikat pergi menghadap Tuhannya...??
8. ”Jabir bin Abdullah telah meriwayatkan tentang sifat haji Nabi dalam satu hadits yang panjang yang didalamnya diterangkan khotbah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di padang ‘Arafah : ”(Jabir menerangkan) : Lalu Nabi mengangkat jari telunjuknya ke arah langit, kemudian beliau tunjukkan jarinya itu kepada manusia, (kemudian beliau berdo’a) : ”Ya Allah saksikanlah! Ya Allah saksikanlah ! ( Riwayat Imam Muslim 4/41).
Pertanyaan : Kenapa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuknya ke arah langit...??
9. Umar bin Khatab pernah mengatakan :”Bahwasanya segala urusan itu (datang/keputusannya) dari sini”. Sambil Umar mengisyaratkan tangannya ke langit ” [Imam Dzahabi di kitabnya ''Al-Uluw'' hal : 103. mengatakan : Sanadnya seperti Matahari (yakni terang benderang keshahihannya)].
Pertanyaan : Kenapa Umar mengisyaratkan tangannya ke langit...?? Siapa yang dimaksudkan Umar yang diatas langit tsb...??
10. Anas bin Malik menerangkan : ”Adalah Zainab memegahkan dirinya atas istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata :”Yang mengawinkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga kamu, tetapi yang mengawinkan aku (dengan Nabi) adalah Allah Ta’ala dari ATAS TUJUH LANGIT”.
Dalam satu lafadz Zainab binti Jahsyin mengatakan : ”Sesungguhnya Allah telah menikahkan aku (dengan Nabi) dari atas langit”. (Riwayat Bukhari juz 8 hal:176).
Pertanyaan : dimanakah Allah menurut Zainab...??
Pertanyaan bonus :
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengajukan pertanyaan kepada seorang budak perempuan milik Mua’wiyah bin Al-Hakam As-Sulamy sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya yaitu Mu’awiyah :”Beliau bertanya kepadanya : ”Di manakah Allah ?. Jawab budak perempuan :”Di atas langit. Beliau bertanya (lagi) : ”Siapakah Aku ..?. Jawab budak itu : ”Engkau adalah Rasulullah”. Beliau bersabda : ”Merdekakan ia ! .. karena sesungguhnya ia mu’minah (seorang perempuan yang beriman)”
Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Jama’ah ahli hadits, diantaranya :
1. Imam Malik (Tanwirul Hawaalik syarah Al-Muwath-tho juz 3 halaman 5-6).
2. Imam Muslim (2/70-71)
3. Imam Abu Dawud (No. 930-931)
4. Imam Nasa’i (3/13-14)
5. Imam Ahmad (5/447, 448-449)
6. Imam Daarimi 91/353-354)
7. Ath-Thayaalis di Musnadnya (No. 1105)
8. Imam Ibnul Jaarud di Kitabnya ”Al-Muntaqa” (No. 212)
9. Imam Baihaqy di Kitabnya ”Sunanul Kubra” (2/249-250)
10. Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- di Kitabnya”Tauhid” (hal. 121-122)
11. Imam Ibnu Abi ‘Aashim di Kitab As-Sunnah (No. 489 di takhrij oleh ahli hadits besar Muhammad Nashiruddin Al-Albanni).
12. Imam Utsman bin Sa’id Ad-Daarimi di Kitabnya”Ar-Raddu ‘Alal Jahmiyyah” (No. 60,61,62 halaman 38-39 cetakan darus Salafiyah).
13. Imam Al-Laalikai di Kitabnya ”As-Sunnah ” (No. 652).
Pertanyaan :
1. Apakah jawaban budak tsb “Allah Di atas langit” dibenarkan oleh Nabi...??
2. Dengan keyakinan bahwa Allah Di atas langit, budak tsb termasuk berakidah benar (mukminah) apa sesat...??
"""""""""""""""""
Dalil-dalil diatas adalah dari Al-Qur’an dan As-Sunnah shahih... Dan masih ada banyak pertanyaan lainnya lagi... Sementara yang ini saja dulu...
Direnungkan saja dulu ya...
Tapi kalo ada yang mau menjawab... Silahkan...
Tulisan ini adalah untuk kita renungkan... Semoga tidak dijadikan perdebatan...
Dan semoga bisa diambil hikmah dan manfaatnya...
Barakallahu fiikum.
Untuk pendalaman silahkan klik :
(Fatwa dari Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa
Kerajaan Arab Saudi (Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Iftah)
[3/217-219], Pertanyaan Pertama dari Fatwa no. 5213 )
Jawaban Ahlussunnah Terhadap Argumentasi Takwil Para Pengingkar Sifat ‘Uluw
Bantahan Untuk Para Pengingkar Sifat ‘Uluw
bagi Allah
Tahukah Anda Dimana Allah ?
Hadits Jaariyyah Riwayat Malik bin
Anas rahimahullah
Aqidah Ahlussunnah Tentang Dimana Allah !
Imam ‘Asyariyyah : Allah Berada Di Atas
‘Arsy !
Aqidah Imam Syafi’i : Allah Subhanahu wa Ta’ala
Ada Di Atas !