Oleh
Al-Ustadz Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat حَفِظَهُ الله تَعَالَى
Imam Al-Bukhâri rahimahullah menceritakan
kepada kita di antara sebab-sebab beliau menulis kitab shahihnya:
كُنَّا عِنْدَ إِسْحَاقَ بْن رَاهُوَيْه، فَقَالَ: لَوْ جَمَعْتُمْ كِتَابًا مُخْتَصَرًا لِصَحِيْحِ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
”Kami
pernah berada bersama Ishaq bin Râhuwaih[1] , lalu beliau berkata (kepada kami
para pelajar hadits), 'Kalau sekiranya kamu mengumpulkan sebuah kitab yang
meringkas khusus (hadits-hadits) yang Shahîh saja dari Sunnah Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”
قَالَ: فَوَقَعَ فِيْ قَلْبِيْ، فَأَخَذْتُ فِيْ جَمْعِ الْجَامِعِ الصَّحِيْحِ
Imam
al-Bukhari mengatakan, "Maka perkataan beliau itu meresap ke dalam hatiku,
lalu aku mulai mengumpulkan (menulis) al Jâmi’ush Shahîh”.
Beliau
rahimahullah juga mengatakan :
لَمْ أُخَرِّجْ فِيْ هَذَا الْكِتَابِ إِلاَّ صَحِيْحًا وَمَا تَرَكْتُ مِنَ الصَّحِيْحِ أَكْثَرُ
Tidak
ada satupun hadits yang aku takhrij dalam kitab ini melainkan yang shahih, dan
hadits Shahîh yang aku tinggalkan (tidak aku masukkan ke dalam kitab ini) masih
lebih banyak lagi”[2].
PENJELASAN
DARI SEBAGIAN PERKATAAN IMAM AL-BUKHARI
Perkataan beliau : "Lalu aku mulai mengumpulkan (menulis) al-Jâmi’ush
Shahîh”.
Penjelasan
: Beliau telah menamakan kitab shahihnya dengan nama kitab al-Jâmi', bukan
kitab sunan atau lainnya. Kitab hadits al-Jâmi' adalah sebuah kitab hadits yang
mengumpulkan seluruh bab-bab syari'ah seperti aqîdah, ilmu, ahkâm, tafsir,
târîkh, adab, zuhud, manâqib, fitan, asyrâtus sâ'ah (tanda-tanda hari kiamat)
dan hari kiamat. Seperti yang dapat kita lihat dari puluhan judul kitab dari
bab-bab syarî'ah yang ada di al-Jâmi' Shahîh Bukhari. Demikian juga kitab
al-Jâmi' Shahîh Muslim dan kitab al jâmi' at Tirmidzy. Kedua orang Imam besar
ini –Muslim dan Tirmidzy- adalah dua orang murid besar Imam Al-Bukhâri.
Keduanya telah mengikuti manhaj guru mereka – Imam Al-Bukhâri- dalam menyusun
kitab hadits dengan nama al-Jâmi'.
Perkataan
beliau : "Tidak ada satupun hadits yang aku takhrij dalam kitab ini
melainkan yang shahih."
Maksudnya
adalah.
Pertama.
Hakikat takhrîjul hadits ialah mengeluarkan hadits dengan sanad dari dirinya.
Contohnya
seperti Imam al-Bukhâri, dia telah mengeluarkan hadits dengan sanad darinya,
dari gurunya dan seterusnya sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
atau sampai kepada Shahabat Radhiyallahu anhum atau sampai kepada Tâbi’în dan
seterusnya. Oleh karena itu Imam al-Bukhâri dan saudara-saudaranya sesama
perawi hadits dinamakan mukharrij yaitu orang yang mentakhrîj hadits sesuai
dengan ta’rif di atas.
Kedua:
Adapun ketika cara yang pertama yang tadi saya terangkan tidak memungkinkan
lagi untuk dilakukan -yaitu mengeluarkan hadits dengan sanad darinya sendiri-
seperti pada zaman kita sekarang ini, bahkan pada zaman-zaman sebelumnya,
disebabkan jarak yang demikian jauhnya, dan hadits telah dicatat dan
dikumpulkan oleh para Imam ahli hadits lengkap dengan sanadnya, maka takhrîjul
hadîts untuk cara yang kedua ialah mengeluarkan hadits dari kitab-kitab hadîts
dengan mengumpulkan sanadnya kemudian menghukumi hadits tersebut, apakah dia
hadits shah atau tidak ?”
Inilah
yang dinamakan takhrîjul hadîts. Oleh karena itu para Imam ahli hadits yang
datang belakangan semuanya menempuh cara yang kedua ini. Adapun semata-mata
memulangkan atau mengembalikan hadîts kepada asalnya seperti ungkapan hadits
tersebut telah dikeluarkan oleh Abu Dâwud dan Tirmidzi dan Nasâ-i dan lain-lain
tanpa menghukumi hadits tersebut shah atau tidaknya, maka pada hakikatnya itu
bukanlah takhrîjul hadîts.
Dari
sini kita mengetahui, bahwa hakikat dari takhrîjul hadîts adalah ijtihâd bukan
taqlîd. Yakni ijtihad dari seorang ahlinya mentakhrijnya setelah dia menempuh :
Pertama;
Mengumpulkan sanad, memeriksanya, meneliti rawi-rawinya, matannya atau
lafazh-lafazhnya dan seterusnya yang berkaitan erat dengan status hukum sebuah
hadits.
Kedua;
Melihat dan meneliti dengan cermat keputusan para ahli hadits mengenai status
hadits tersebut.
Ketiga:
Keputusan darinya, adakalanya dengan menyetujui sebagian ahli hadits yang
menshahkannya atau mendha'ifkannya, dan adakalanya dia menyalahinya. Sebagai
contoh yang mudah untuk saat ini adalah Imam Dzahabiy, ketika beliau mentakhrîj
hadits-hadits di kitab al Mustadrak karya Imam Hâkim. Adakalanya beliau
menyetujui keputusan Imam Hâkim terhadap status hukum suatu hadits, dan
adakalanya beliau menyalahinya atau membantahnya. Selanjutnya, sebagian dari
keputusan Dzahabiy, juga telah dibantah oleh sebagian Ulama. Dan begitulah
seterusnya yang menunjukkan kepada para pelajar yang mendalami ilmu yang mulia
ini, bahwa hakikat dari takhrîjul hadîts adalah sebuah ijtihad dari seorang
yang ahli mentakhrîjnya bukan taqlid.
Maka
apabila keputusan status hukum terhadap hadits diserahkan saja kepada ahlinya
-dan dia harus menjelaskannya dan mengatakannya kepada siapa dia menyerahkan
keputusan hukum tersebut supaya dia jangan dituduh sebagai pencuri- seperti dia
mengatakan, bahwa hadits tersebut telah dishahkan oleh Imam fulan atau telah
didha’ifkan oleh Imam fulan, maka ini adalah taqlîd bukan hakikat dari
takhrîjul hadîts.
Tentunya
hal yang demikian dibolehkan selama dia menyandarkannya dan menyerahkannya
kepada ahlinya, bukan kepada orang-orang yang jahil atau yang bukan ahlinya.
Dibolehkannya taqlîd dalam masalah ini, karena tidak ada seorangpun juga yang
selamat meskipun dia orang yang ahli dalam sebagian pembahasan ilmiyyahnya,
walaupun tidak menjadi kebiasaannya.
Adapun
bagi orang-orang awam, maka seluruh keputusan takhrîj diserahkan kepada
ahlinya. Demikian juga bagi para pelajar ilmiyyah yang tidak mendalami ilmu
yang mulia ini -karena pada setiap ilmu ada orang yang mendalaminya dan
ahlinya- mereka disamakan dengan orang-orang awam dalam bab ini, maka seluruh
keputusan takhrîj diserahkan kepada ahlinya.
Sedikit
saya panjangkan masalah takhrij ini karena seringkali terjadi kesalahan
ilmiyyah dari sebagian pelajara khususnya para pemula yang mendalami ilmu yang
mulia ini. Ilmu yang sangat besar ini yang membutuhkan waktu cukup lama sampai
puluhan tahun untuk mempelajarinya dengan kepandaian yang cukup serta kesabaran
yang dalam.
Perkataan
beliau : " Tidak ada satupun hadits yang aku takhrij dalam kitab ini
melainkan yang shahih."
Maksudnya
: menurut keputusan beliau, bahwa semua hadits bersanad yang beliau takhrîj
dalam kitab shahihnya adalah shahih. Inilah yang disebuat sebagai al ashlu atau
yang asal dari kitab Shahîh al-Bukhâri atau al Jâmi'ush Shahîh yang beliau katakan
semua haditsnya shahih.
Tidak
termasuk ke dalam al ashlu yang beliau maksudkan dan syaratkan semua haditsnya
shahih, adalah hadits-hadits mu'allaq yang beliau tidak maushulkan dalam kitab
shahihnya ini. Tetapi adakalanya beliau maushulkan sendiri di kitab-kitab
beliau yang lainnya, atau telah dimaushulkan oleh para Imam ahli hadits di
kitab-kitab mereka seperti oleh Imam Muslim di shahihnya dan lain-lain
sebagaimana telah saya jelaskan pembahasannya dengan panjang lebar di kitab
Pengantar Ilmu Mushthalahul Hadits. Demikian juga dengan atsar dari para
Shahabat dan Taabi'in dan seterusnya.
Adapun
derajat dari hadits-hadits mu'allaq yang beliau rahimahullah tidak maushulkan
di kitab shahihnya ini ada yang shahih, hasan dan dha'if. Demikian juga dengan
atsar. Dan, beliau rahimahullah sendiri telah memberikan isyarat-isyarat
ilmiyyah dengan lafazh-lafazh jazm dan tamridh sebagai pengantar bagi ahli ilmu
untuk melanjutkan pemeriksaan dan menghukumi derajatnya. Saya kira –wallahu
a'lam- al Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah sebagai salah seorang Imam ahli hadits
yang menjadi keajaiban zaman telah mengupas tuntas bab ini dalam muqaddimah dan
syarahnya atas Shahîh al-Bukhâri yang tak tertandingi sampai hari ini.
Jika
saudara bertanya, "Mengapakah dalam kitab Shahîh al-Bukhâri masih ada
hadits-hadits yang dha'if ?" Jawabannya ialah:
Pertama
: Telah ada jawabannya sebelum ini. Semoga para pembaca yang terhormat dapat
membedakannya di antara al ashlu atau yang asal dari kitab takhrij Shahîh
al-Bukhâri yang beliau rahimahullah syaratkan semua hadits-haditsnya Shahîh
dengan yang bukan asal, tetapi hanya sebagai penguat untuk istinbâth
(menyimpulkan suatu) hukum dari bab-bab ilmiyyah yang beliau rahimahullah
berikan pada setiap judul kitab dari kitab shahihnya.
Kedua:
Dan, ini adalah sebuah syubhat yang seringkali dilemparkan oleh sebagian orang
yang berbeda maksud dan tujuannya dalam mensikapi Shahîh al-Bukhari. Biasanya
ini muncul dari mereka yang mempunyai tujuan dan maksud jahat untuk meremehkan
dan merendahkan kitab Shahîh al-Bukhâri serta menafikan keshahihannya secara
mutlak. Mereka mengatakan banyak sekali hadits-hadits dha'if di kitab Shahîh
al-Bukhari, bahkan sebagian dari mereka sampai mengatakan terdapat ratusan
hadits maudhu' (palsu) !!?
Perkataan
ini selain tidak mempunyai pembuktian ilmiyyah dari jurusan ilmu riwayah dan
ilmu dirâyatul hadits, juga sangat berlebihan sekali kejahilan dan
kebohongannya. Biasanya keluar dari kaum zindiq seperti râfidhah (syi'ah) dan
yang semanhaj atau yang terkena syubhat mereka.
Adapun
para Imam yang mengomentari dan mengkritik sebagian kecil dari hadits dan rawi
dalam Shahîh al-Bukhâri seperti Imam Daruquthniy dan lain-lain, mereka semuanya
berjalan di atas manhaj ilmiyyahnya para ahli hadits dengan ilmu dan keadilan.
Bukan dilandasi kejahilan dan kezhaliman seperti kaum zindiq râfidhah atau ahli
bid'ah dari mu'tazilah dan lain-lain. Dan, kritikan sebagian Imam ahli hadits
seperti Daruquthniy rahimahullah terhadap sebagian kecil hadits-hadits di
Shahîh al-Bukhâri, juga telah dijawab dengan jawaban-jawaban ilmiyyah oleh para
Imam ahli hadits, di antaranya oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah di
muqaddimah Fat-hul Bâri'.
Ketiga:
Bahwa kitab Shahîh al-Bukhâri bukan hanya sebagai kitab hadits riwayah dan
diraayah saja, sebagaimana disangka oleh sebagian orang yang berani berbicara
tanpa ilmu, tetapi dia juga sebagai kitab hukum atau fiqih dari semua bab-bab
syari'at. Telah sangat dikenal dikalangan para Ulama dan para pelajar ilmiyyah
khususnya mereka yang berkhidmat kepada kitab ini, bahwa bab-bab ilmiyyah yang
beliau rahimahullah berikan pada setiap judul kitab dari kitab shahihnya adalah
merupakan fiqih atau madzhab ilmiyyah beliau rahimahullah . Karena itu beliau
membutuhkan dalil-dalil dari luar seperti nash-nash al-Qur'an, hadits-hadits
mu'allaq yang beliau tidak maushulkan di kitab shahihnya, atsar-atsar ilmiyyah
dari para Shahabat Radhiyallahu anhum dan Tâbi'in, perkataan ahli tafsir, ahli
tarikh dan ahli bahasa dan seterusnya.
Di
antara bab-bab ilmiyyah itu ialah :
1.
Untuk membantah firqah-firqah sesat yang telah tersesat dari manhaj yang haq,
yaitu manhaj dan aqidah kaum Salaf seperti Khawârij, Râfidhah, Murji'ah,
Qadariyyah mu'tazilah dan Jahmiyyah. Bahkan sebagiannya telah keluar dari Islam
seperti Râfidhah (syi'ah) dan jahmiyyah. Bantahan beliau ini terdapat di
sejumlah kitab atau pada sebagian bab dari kitab Shahîh beliau seperti di kitab
Iman dan kitab Tauhid dan lain-lain.
2.
Untuk menjelaskan keputusan fiqih atau madzhab (pendapat) yang beliau pegang.
Walaupun untuk itu beliau menyalahi dan berbeda pendapat dengan keputusan para
Imam atau sebagian dari mereka. Tidak mengapa, karena beliau rahimahullah
memang seorang mujtahid mutlak. Beliau rahimahullah berjalan bersama dalil dari
al-Kitab, Sunnah dan atsar dari para Shahabat Radhiyallahu anhum dan Tâbi'in.
Karena itu sangatlah tidak tepat, ketika as-Subki dalam kitab Thabaqâtnya
memasukkan beliau ke dalam madzhab asy-Syâfi’iy rahimahullah ! Beliau
rahimahullah adalah salah seorang Imam madzhab yang berdiri sendiri dengan
ijtihad-ijtihadnya. Beliau rahimahullah tidak hanya berbeda ijtihad dengan Imam
Syafi'iy rahimahullah saja, juga dengan para Imam lainnya dalam sebagian
keputusan beliau. Sungguh sangat menakjubkan saya, ketika beliau rahimahullah
dalam banyak bab seringkali menyalahi dan berbeda ijtihad dengan Imam Abu
Hanîfah, tetapi dalam sebagian masalah, justru beliau rahimahullah setuju
dengan keputusan hukum Abu Hanîfah. Contohnya dalam masalah zakat, beliau telah
membolehkan mengeluarkan zakat dengan harganya atau diganti dengan harganya
seperti dengan barang atau pakaian dan lain-lain berdalil dengan sebagian
hadits dan atsar. Pendapat beliau ini jelas sekali telah menyalahi pendapat
jumhur Ulama sebagaimana telah dijelaskan oleh al Hâfizh dalam syarahnya.
3.
Untuk membantah sebagian pendapat dari sebagian Imam.
4.
Untuk menjelaskan bahwa dalam masalah ini para Ulama telah berselisih pendapat.
Dan
seterusnya dari bab-bab ilmiyyah dari fiqih atau madzhab Bukhâri di kitab
shahihnya.
Ini
…! Sebagaimana telah kita ketahui dari ketegasan perkataan al-Bukhari, bahwa
semua hadits yang beliau takhrij di kitab shahihnya ini –yakni al ashlu- adalah
shahih. Inilah yang asal dari kitab Shahîh beliau sebagaimana telah dijelaskan
di depan. Karena itu beliau menamakan kitabnya ini dengan nama[3] :
الْجَامِعُ الصَّحِيْحُ الْمُسْنَدُ مِنْ حَدِيْثِ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسُنَنِهِ وَأَيَّامِهِ
Dari
sini memungkinkan bagi kita untuk mengatakan, siapa saja yang mendha'ifkan
hadits di Shahîh al-Bukhâri –yakni al ashlu-, baik dari jurusan kelemahan
rawinya atau terputusnya sanad, maka orang pertama yang harus dia hadapi adalah
Imam al-Bukhâri sendiri. Maka mereka mendha'ifkan harus menjelaskan sebabnya
atau al jarhul mufassar (celaan yang dijelaskan sebabnya)[4] . Karena Imam
al-Bukhâri telah menegakkan hujjah akan keshahihannya dengan persyaratan beliau
yang sangat ketat sekali, yaitu[5] :
Syarat
pertama: Rawi tersebut haruslah tsiqah. Berbicara tentang rawi-rawi al-Bukhâri
di kitab shahihnya sangat luas sekali yang dapat saya ringkas sebagai berikut :
Pertama:
Imam al-Bukhâri telah memakai di kitab shahihnya ini dari rawi-rawi yang tsiqah
dalam 'adalahnya dan kedhabithannya dan sedikit sekali kesalahannya. Maka rawi
yang seperti ini walaupun dia menyendiri (tafarrud) dalam meriwayatkan hadits,
Imam al-Bukhâri tetap memakainya disebabkan ketsiqahannya. Inilah yang menjadi
syarat al-Bukhâri dan juga syarat Muslim.
Kedua:
Rawi-rawi yang martabat ketsiqahannya di bawah yang pertama yang tidak
mempunyai kekuatan kalau berdiri sendiri, maka kebiasan Imam al-Bukhâri
terhadap rawi yang seperti ini, beliau selalu mengiringi riwayatnya dengan rawi
yang lainnya untuk menguatkannya.
Ketiga:
Apabila seorang Imam banyak sekali rawi yang meriwayatkan hadits darinya dan
mereka berthabaqah (bertingkat-tingkatan) seperti al lmam az-Zuhri rahimahullah
sampai lima (5) thabaqah rawi yang meriwayatkan hadits darinya, maka syarat
Imam Al-Bukhâri adalah memilih thabaqah yang pertama dari murid-murid az-Zuhri
rahimahullah seperti Mâlik bin Anas rahimahullah, Sufyân bin 'Uyaynah dan
lain-lain. Karena mereka sangat tsiqah dalam 'adalahnya dan kedhabithannya
dalam meriwayatkan hadits-hadits az-Zuhriy dibandingkan dengan thabaqah kedua
dan ketiga apalagi keempat dan kelima. Selain itu, mereka juga sangat dekat
sekali dengan az-Zuhri dalam persahabatan dan pertemanan yang cukup lama, yakni
mereka bermulâzamah, sampai ada di antara mereka yang menemani az-Zuhri baik
dalam safar maupun muqim, sehingga mereka sangat paham betul dan hapal (al
hifz) serta mutqin (kokoh dan kuat) akan hadits-hadits az-Zuhri.
Adapun
thabaqah yang kedua walaupun mereka se-tsiqah yang pertama, tetapi tetap saja
mereka tidak semahir thabaqah yang pertama dalam hifz, itqân dan lamanya
bermulâzamah dengan az-Zuhri. Thabaqah yang kedua inilah yang menjadi syarat
Muslim di kitab shahihnya seperti al-Auzâ'i dan Laits bin Sa'ad dan lain-lain.
Kadang-kadang Imam al-Bukhâri meriwayatkan juga hadits-hadits az-Zuhri dari
thabaqah yang kedua ini, tapi tidak lengkap dan kebanyakan mu'allaq. Demikian
juga thabaqah ketiga sedikit sekali dan juga mu'allaq.
Adapun
Imam Muslim telah meriwayatkan hadits-hadits az-Zuhri dari thabaqah pertama dan
kedua secara lengkap dan menyeluruh dan menjadi syaratnya. Kemudian thabaqah
ketiga seperti Imam al-Bukhâri pada thabaqah kedua. Demikian juga dapat
diqiyaskan dengan para Imam ahli hadits lainnya seperti Sa'id bin Musayyab, al
A'raj, al 'Amasy, Nâfi', Qatâdah, Syu'bah dan lain-lain yang mempunyai
murid-murid yang banyak sekali sehingga mereka berthabaqah. Imam al-Bukhâri
senantiasa memilih thabaqah yang pertama yang menjadi syaratnya khususnya di
kitab shahihnya.
Inilah
salah satu kelebihan dan keutamaan Shahîh al-Bukhâri dari Shahîh Muslim dari
jurusan pemilihan terhadap rawi-rawi hadits di kitab Shahîh keduanya
sebagaimana telah dikatakan para Imam ahli hadits.
Syarat
kedua: Adanya ketetapan atau kepastian bahwa rawi tersebut bertemu dengan
syaikhnya dan ada ketegasan bahwa dia mendengar dari syaikhnya atau sharraha
bit tahdits, misalnya dia mengatakan :
حَدَّثَنِي - حَدَّثَنَا أَوْ أَخْبَرَنِي – أَخْبَرَنَا أَوْ سَمِعْتُ – سَمِعْنَا
Aku atau kami diberitahu; aku atau kami
mendengar
Dan
lafazh-lafazh lain yang menunjukkan bahwa dia memang benar-benar mendengar dari
syaikhnya itu walaupun hanya sekali, sudah cukup bagi al-Bukhâri untuk
membuktikannya. Kemudian setelah itu dia mempergunakan lafazh 'an'anah (عَنْ فُلاَن) dari syaikhnya, tidaklah
mengapa bagi al-Bukhari, karena telah terbukti bahwa dia bertemu dan mendengar
dari syaikhnya. Tetapi apabila tidak ada kepastian dan ketegasan seperti yang
telah saya jelaskan tadi, misalnya rawi itu hanya mempergunakan lafazh 'an'anah
saja –walaupun rawi itu bukan seorang mudallis- maka menurut madzhab Bukhâri
sanad itu tidak ittishâl (bersambung)[6] . Itulah madzhab Imam al-Bukhâri yang
beliau rahimahullah nyatakan di kitab Târîkhnya dan di kitab Shahîhnya.
Sampai-sampai beliau mentakhrîj sebagian hadits di kitab Shahîhnya yang tidak
berkaitan dengan judul bab yang beliau rahimahullah berikan hanya untuk
menjelaskan bahwa rawi itu benar-benar telah mendengar dari syaikhnya, karena
sebelumnya rawi itu di tempat yang lain di kitab Shahîhnya mempergunakan lafazh
'an'anah, maka sekarang beliau menjelaskannya sehingga Nampak jelas bahwa
isnadnya muttashil.
Adapun
Imam Muslim, beliau tidak menjadikan syarat yang kedua Imam al-Bukhâri ini
sebagai sebuah syarat di kitab shahihnya. Madzhab Muslim rahimahullah,
sebagaimana beliau rahimahullah jelaskan sendiri di muqaddimah shahihnya dengan
penjelasan panjang lebar dalam bantahan yang sangat keras kepada sebagian Imam
yang menyalahinya, bahwa seorang rawi apabila sezaman dengan syaikhnya maka
riwayat 'an'anahnya menunjukkan muttashil, walaupun belum ada kepastian bahwa
keduanya bertemu, kecuali kalau rawi itu seorang mudallis, maka riwayat
'an'anahnya tertolak sampai dia sharraha bit tahdîts (dengan tegas meriwayatkan
dengan kalimat misalnya, aku atau kami diberitahu)
Sekali
lagi kita dapatkan tafdhil (kelebihan dan keutamaan) Shahîh al-Bukhâri dari
Shahîh Muslim dari jurusan ittishâl atau bersambungnya sanad. Karena syarat
Imam al-Bukhâri lebih kuat, lebih kokoh dan lebih nyata ittishâlnya dari Muslim
yang tidak mensyaratkannya. Meskipun demikian, madzhab Muslim rahimahullah yang
juga menjadi madzhabnya jumhur Ulama wajib di terima. Yaitu riwayat 'an'anah
dari rawi yang tsiqah yang tidak disifatkan dengan tadlîs dihukumi ittishâl.
Tetapi jumhur juga mengatakan, bahwa syarat Imam al-Bukhâri lebih unggul dari
syarat Muslim. Dari sini kita mengetahui, betapa Imam al-Bukhâri telah menempuh
jalan-jalan yang sangat sulit dan sempit sekali khususnya di kitab shahihnya
dalam rangka membela Sunnah Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tafdhil
(kelebihan dan keutamaan) Shahîh al-Bukhâri dari Shahîh Muslim yang lain lagi
adalah bahwa para rawi dan hadits yang di kritik atau didha'ifkan oleh sebagian
Imam ahli hadits yang terdapat di kitab Shahîh al-Bukhâri jumlahnya lebih
sedikit dari yang ada dalam kitab Shahîh Muslim. Tentu yang jumlahnya sedikit
lebih utama dari yang banyak.
Tafdhîl
(kelebihan dan keutamaan) yang lain lagi yaitu Imam al-Bukhâri lebih alim dari
Imam Muslim dalam ilmu yang mulia ini khususnya atas persaksian Muslim sendiri
selain kesepakatan para Ulama. Imam Muslim adalah murid Imam al-Bukhâri dan keluaran
(madrasah)nya, karena itu Muslim senantiasa mengambil faedah dari Imam
al-Bukhâri dan mengikuti jejaknya.[7]
Setelah
Imam al-Bukhîri menjawab pertanyaannya tentang illah (penyakit) sebuah hadits,
imam Muslim rahimahullah mengatakan :
لاَ يُبْغِضُكَ إِلاَّ حَاسِدٌ، وَأَشْهَدُ أَنَّهُ لَيْسَ فِي الدُّنْيَا مِثْلُكَ
Tidak
ada yang membencimu kecuali orang yang hasad, dan aku bersaksi sesungguhnya
tidak ada di dunia ini orang yang sepertimu.
Dalam
riwayat lain, Imam Muslim mengatakan, "Wahai ustadznya para ustadz, dan
sayyidnya para muhadditsiin, dan thabib (dokter)nya hadits pada
penyakit-penyakitnya…".[8]
Karena
itu para Ulama telah sepakat bahwa kitab Shahîh al-Bukhâri lebih Shahîh dan
lebih utama dari kitab Shahîh Muslim. Kesepakatan mereka telah diterangkan oleh
para Imam ahli hadits seperti Ibnu Shalah di kitabnya 'Ulûmul Hadîts, dan
an-Nawawi di kitab Taqrîbnya atau Mukhtasharnya atas kitab Ibnu Shalah tadi,
yang kemudian disyarahkan oleh Suyuthi di kitab Tadrîbnya, dan al-Hafizh Ibnu
Hajar di Muqaddimahnya, dan di kitabnya Syarah Nukhbah dan di kitabnya an-Nukat
'ala Kitâbi Ibni Shalah.
Ketika
Shahîh al-Bukhâri lebih Shahîh dan lebih utama dari Shahîh Muslim, maka dengan
sendirinya Shahîh al-Bukhâri menjadi se-shahih-shahih kitab hadits dan se-shahih-shahih
kitab sesudah Kitâbullâh. Kemudian sesudah Shahîh al-Bukhâri adalah Shahîh
Muslim. Maka kedua kitab shahîh ini –al-Bukhari dan Muslim- adalah
se-shahih-shahih kitab sesudah Kitâbullâh.
Oleh
karena itu derajat hadits yang tertinggi ialah yang disepakati oleh Imam
al-Bukhâri dan Imam Muslim, dari jalan Shahabat yang sama, dengan lafazh yang
sama atau terdapat perbedaan di dalam susunannya, tetapi dengan makna yang
sama, dan pada sebagiannya adakalanya terdapat beberapa tambahan lafazh.[9]
Kemudian
ada beberapa hal sangat penting yang perlu diketahui oleh para pembaca yang
terhormat :
Pertama:
Perkataan Ulama bahwa kedua kitab Shahîh –shahih al-Bukhâri dan Shahîh Muslim-
adalah se-shahih-shahih kitab hadits dan se-shahih-shahih kitab sesudah
al-Qur'an, tidaklah berarti sama sekali tidak ada kesalahannya, misalnya dari
kelemahan hadits disebabkan rawinya atau sanadnya atau kesalahan pada lafazhnya
atau kewahaman rawi dan lain sebagainya dari penyakit-penyakit hadits. Tidak
begitu ! Karena tidak ada satupun kitab yang selamat dari kesalahan kecuali
Kitâbullâh, dan tidak ada yang ma'shum kecuali Nabi yang mulia Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Telah terbukti secara ilmiyyah, bahwa sebagian Imam ahli
hadits telah mengomentarinya, mengkritiknya dan melemahkannya seperti al Imam
Daruquthniy amirul mu'minin fil hadits dan lain-lain.
Kedua
: Tidak semua yang dikritik atau dilemahkan oleh sebagian Imam seperti
Daruquthni dan lain-lain benar adanya dan diterima secara mutlak oleh para Imam
ahli hadits! Bahkan semuanya telah terjawab dengan jawaban-jawaban ilmiyyah
oleh para Imam ahli hadits di antaranya al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah di
Muqaddimahnya dan di Syarahnya. Ini menunjukkan akan ketinggian dan kebesaran
kedua kitab Shahîh khususnya Shahîh al-Bukhâri.
Ketiga
: Bahwa sejak awal kemunculan kitab Shahîh al-Bukhâri pada masa hidup
penulisnya, dia telah di uji dengan ujian yang sangat berat sekali oleh para
Imam ahli hadits. Dan, tidak ada ujian yang lebih berat bagi Imam al-Bukhâri
dan kitab Shahîhnya selain datang dari para Imam dan pembesar ahli hadits dari
guru-guru besar beliau seperti Ahmad bin Hambal dan lain-lain banyak sekali.
Telah
berkata Abu Ja'far Mahmud bin 'Amr al 'Uqailiy, "Ketika Imam al-Bukhâri
telah selesai mengarang kitab shahihnya, beliau menghadapkannya kepada Ali bin
Madini, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma'in, dan yang selain mereka, maka mereka
semua menilainya bagus dan memberikan kesaksian akan keshahihannya, kecuali
empat buah hadits".
Al
'Uqailiy melanjutkan, "Pendapat yang benar adalah pendapat Imam
al-Bukhari, empat buah hadits itu shahih".[10]
Maka
tidak ada pujian yang lebih besar kepada Imam al-Bukhâri dan kitab Shahihnya
selain datang dari para Imam dan pembesar ahli hadits dari guru-guru besar
beliau seperti Ali bin Madini, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma'in dan lain-lain
Imam banyak sekali.
Imam
al-Bukhâri pernah mengatakan tentang Ali bin Madini –guru besar beliau- ,
"Aku tidak pernah merendahkan diriku di sisi seorangpun juga kecuali di
sisi Ali bin Madini."
Ketika
perkataan Imam al-Bukhâri ini disampaikan orang kepada Ali bin Madini, maka
beliau rahimahullah mengatakan, "Tinggalkanlah perkataannya (yang telah
memujiku)! Dia sendiri tidak pernah melihat orang yang seperti
dirinya!"[11]
Kemudian
dari guru beliau yang lain lagi. Imam al-Bukhâri mengatakan,
"Sahabat-sahabat (murid-murid) 'Amr bin Ali al Fallâs pernah menanyakan
kepadaku tentang sebuah hadits, maka aku jawab, "Aku tidak tahu."
Mendengar jawaban ini, merekapun merasa senang sekali. Kemudian mereka mendatangi
'Amr bin Ali sambil mengatakan, "Kami bermudzakarah (berdiskusi) dengan
Muhammad bin Ismail (Imam al-Bukhari) tentang sebuah hadits, maka dia tidak
mengetahuinya."
Lalu
'Amr bin Ali mengatakan, "Hadits yang tidak diketahui oleh Muhammad bin
Ismail bukanlah hadits."[12]
Dan
lain-lain banyak sekali pujian dan pengakuan yang benar dari guru-guru beliau
pada ilmu dan kitab shahihnya, maka yang di bawah mereka dalam ilmu dan zaman
tentu min baabil aula.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Beliau amirul mu’minin fil hadits salah seorang Imam Ahlus Sunnah dan
gurunya Imam al-Bukhari dan shahabat dekat Imam Ahmad.
[2]. Hadyus Sâri Muqaddimah Fat-hul Bâri’ Syarah Shahîh al-Bukhari (hlm. 9)
oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar.
[3]. Hadyus Sâri (hlm. 10).
[4]. Hadyus Sâri (hlm. 364-366 dan 403-404).
[5]. Hadyus Sâri (hlm. 11-15).
[6]. Hadyus Sâri (hlm. 13-14)
[7]. An-Nukat (hal: 64) dan Syarah Nukhbah oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar.
[8]. Hadyus Sâri (hlm. 513).
[9]. Al-Fath di akhir kitab ilmu.
[10]. Hadyus Sâri (hlm. 9 dan 514).
[11]. Hadyus Sâri (hlm. 506-507).
[12]. Hadyus Saari (hal: 508).
Artikel terkait :
Kesepakatan Umat (Ulama) Kitab Shahih
Al-Bukhari Dan Muslim, Kitab Yang Paling Shahih Setelah Al-Qur’an,Kecuali
Golongan Syi’ah/Taqiyaher/Kamuflaser Yang Tidak Mengakui Keberadaan Keduanya.