Oleh : Dr Abdul Wahab Al-Effendi
(penulis dan
pengamat politik Timur Tengah)
Sejumlah indikasi muncul selama beberapa minggu
terakhir, menunjukkan bahwa “akhir permainan” dalam krisis Suriah telah
dimulai.
Indikasi terbesar dari hal ini adalah
keterlibatan Turki dalam pertempuran yang terjadi di arena konflik Suriah untuk
pertama kalinya sejak perang dimulai. Keterlibatan ini memiliki tujuan dan
konsekuensi.
Hal ini disebabkan fakta bahwa Turki tidak
terlibat pertempuran dengan kekuatan sendiri saja, tetapi juga didukung oleh
NATO dan koalisi internasional. Ketika Turki memasuki pertempuran, mereka tidak
melakukannya dengan main-main. Turki melakukannya karena ancaman pemecahan
wilayah Suriah secara langsung mempengaruhi keamanan nasional.
Pada saat yang sama, kehadiran Menteri Luar
Negeri Rusia Sergey Lavrov di Doha minggu ini, bertepatan juga dengan kunjungan
Menteri Luar Negeri AS John Kerry dan selama pertemuan Menteri Luar Negeri GCC
telah membawa makna sendiri. Para pemimpin Teluk menafsirkan langkah ini
sebagai tanda bahwa Moskow meninggalkan Al-Assad.
Ini juga bertepatan dengan pengumuman dari Iran
sebagai sebuah inisiatif untuk solusi politik di Suriah; juga Rusia mengundang
para pemimpin koalisi oposisi Suriah ke Moskow. Ini adalah indikasi lain dari
Rusia dan pendekatan Iran untuk mengakhiri masalah Suriah yang telah terbukti
sangat “mahal’ bebannya bagi kedua negara tersebut.
Ada dua penjelasan kontradiktif bagi
tindakan-tindakan panik sekutu rezim tersebut. Sekutu rezim Suriah, yang
dipimpin oleh Iran, condong ke arah yang mengklaim bahwa ada pergeseran
internasional ke arah menerima kelangsungan hidup rezim Suriah dan memaksakan
kondisi tersebut pada oposisi Suriah.
Kelompok ini percaya dan berpendapat bahwa
dunia telah sadar akan ancaman dan bahaya Daesh, fakta bahwa situasi di
negara-negara yang dilanda Arab Spring mulai memburuk, dan pergeseran beberapa
pemerintah baru, terutama di Mesir, yang mulai mendukung rezim Suriah.
Mereka meyakini semua ini telah menciptakan
sebuah realitas baru yang memaksa mereka yang berharap kehancuran rezim
Al-Assad dipaksa untuk menghadapi kenyataan ini. Ini berarti bahwa mereka akan
berhenti mendukung oposisi Suriah dan bahkan memungkinkan rezim untuk
memaksakan penindasan dan mengembalikan “keamanan dan stabilitas” di Suriah.
Hal ini difasilitasi oleh kesepakatanperjanjian
nuklir Iran dengan Barat dan tanda-tanda kerja sama antara kedua belah pihak di
bidang ekonomi, keamanan, politik dan bidang lainnya.
Di sisi lain, ada interpretasi alternatif.
Tampak bahwa ada kesepakatan di mana Iran dan Rusia mulai meninggalkan Al Assad
dan mulai mengalihkan perhatian dengan perjanjian dan keuntungan di daerah
lain. Dimulai dengan, Iran harus menyadari bahwa mereka “kalah taruhan” di
Yaman setelah tanda-tanda kekalahan Houthi dan Iran tidak akan mampu lagi
menahan pukulan lain yang serupa di Suriah.
Turki dan intervensi NATO di Suriah menunjukkan
skenario yang sama dengan Yaman. Rezim Suriah akan kehilangan dominasi serangan
udaranya, yang selama ini menjadi alat utama melawan revolusi dan kondisi
pasukan daratnya sudah sangat melemah. Oleh karena itu, tindakan pre-emptive
harus diambil Iran dan Rusia untuk mencapai kesepakatan yang akan menyelamatkan
apa saja yang bisa diselamatkan dan yang akan mengubah jatuhnya rezim Al-Assad
menjadi keuntungan dengan menghubungkan dicabutnya dukungan Iran.
Rusia juga perlu mengambil tindakan pre-emptive
karena perjanjian Iran dengan Barat, hal ini berarti mereka akan kehilangan
dominasi di Iran, karena Iran memulai gerakan kerjasama dengan
perusahaan-perusahaan Barat dan membuka pasar untuk produk-produk Barat.
Ini, tentu saja, akan mengorbankan Rusia yang
diuntungkan dari embargo internasional terhadap Iran. Oleh karena itu, Rusia
harus mengambil tindakan untuk mendapatkan apa pun yang bisa sebelum terlambat,
Rusia tidak memiliki kepentingan tertentu di Suriah dan kemungkinan besar hanya
mendukung Iran.
Salah satu jalan terbaik adalah menghentikan
dukungan kepada rezim Al-Assad untuk lebih berkonsentrasi pada kepentingannya
di Eropa Timur, terutama di Ukraina dan Kaukasus (di mana Iran dianggap sebagai
pesaing, bukan sekutu).
Apapun masalahnya, peristiwa ini dihadapkan
pada bagian yang berbeda, dimulai dengan kerjasama Amerika-Turki yang efektif dalam
rangka membangun zona aman yang sudah lama dibahas di utara Suriah untuk
pengungsi Suriah dan memberikan Pejuang revolusi Suriah pijakan yang diperkuat
oleh dukungan udara dan artileri dari Turki dan sekutu-sekutunya.
Krisis pengungsi telah berubah menjadi masalah
keamanan nasional Eropa karena aliran pengungsi yang mengancam pemerintah Eropa
dan sistem politik,serta kesatuan masyarakat mereka. Semua masalah ini tidak
dapat ditoleransi.
Tidak ada keraguan bahwa setiap taruhan pada
kemungkinan bertahannya rezim Al-Assad di Suriah adalah khayalan karena
kelangsungan hidup rezim menimbulkan bencana yang lebih besar untuk
pendukungnya daripada ancaman dari oposisi.
Hal ini menciptakan sebuah lubang hitam yang
menyerap semua sumber daya dan kredibilitas pendukungnya tanpa memberikan
keuntungan apapun. Pemerintah Iran yang sektarian telah kehilangan dukungan
dari rakyatnya karena mendukung kekejaman rezim.
Iran juga kehilangan Hizbullat dengan
melibatkannya dalam peperangan. Jika rezim bertahan, hanya akan menciptakan
pemerintah yang buruk, sehingga meningkatkan biaya keuangan dan kerugian moral
bagi Teheran. Hal ini hanya akan membuat Teheran tenggelam, seperti Uni Soviet
tenggelam di perang Afghanistan.
Masih bertahannya rezim di Suriah tidak mungkin
tanpa dukungan Barat, dan itu tidak akan berlanjut karena tidak ada manfaat
yang ditawarkan untuk dukungan ini.
Ancaman yang dihasilkan dari kelangsungan hidup
rezim Suriah selama ini terjadi karena besarnya dukungan. Dukungan lebih hanya
akan menyeret Barat ikut tenggelam tanpa mampu mencegah kehancuran rezim.
Ini juga berarti lebih banyak pengungsi Suriah
(dan bahkan mungkin juga Lebanon) yang akan menuju ke arah pantai Eropa dan
mengakibatkan destabilisasi diwilayah mereka.
Apapun masalahnya, telah diluncurkan operasi
yang setara Operation Decisive Storm-nya Saudi oleh Turki yang bertujuan untuk
merebut daerah yang dikuasai Daesh dan menyerahkannya kepada oposisi Suriah.
Hal ini juga bertujuan untuk menciptakan zona
aman bagi oposisi dan warga sipil. Sehingga akan menyebabkan terciptanya
kondisi yang mendukung percepatan proses menggulingkan rezim Suriah dan
mengamankan alternatif yang sesuai dengan tujuan tersebut. Oleh karena itu,
“akhir permainan” akan berarti akhir dari rezim Assad.
Orang bijak di Rusia dan Iran memahami hal ini
dan berusaha untuk mengubah bencana ini menjadi keuntungan sebelum terlambat.
Diterjemahkan Middle East Update dari Al Quds
Al Arabi, 6 Agustus 2015