Oleh: Dr. H. Syamsul Hidayat, M.A
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
Kepala Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
FAI UMS Surakarta
Ketika memberikan kata sambutan pada peluncuran
buku “Kapita Selekta Mozaik Islam” karya Prof. Dr. Umar Shihab, salah satu
Ketua MUI Pusat di Hotel Pan Pasifik, 14 Oktober 2014 yang lalu terdapat
pernyataan al-Ustadz Prof. Dr. M. Dien Syamsuddin yang menarik untuk dicermati.
Kenapa perlu dicermati? Karena sambutan itu disampaikan dalam kapasitas beliau
sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, tetapi juga tidak boleh dipungkiri
karena pernyataan tersebut disampaikan di depan publik yang juga didengar oleh
warga Muhammadiyah, maka tidak bisa dipisahkan dari posisinya yang juga sebagai
Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Pertama, pernyataan beliau, “Ana la Sunni wa la Syi’i bal Islam”. Pernyataan
ini dibumbui bahwa adanya Sunni, Syi’ah, Khawarij dan sebagainya muncul pasca
Rasulullah, apalagi apabila disempurnakan kepada ajakan untuk kembali kepada
Islam sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah, kembali kepada al-Quran dan
Sunnah, kembali kepada peratuan umat Islam di bawah panji-panji Al-Quran dan
al-Sunnah. Pernyataan serupa juga pernah didengungkan oleh pendahulunya, Prof.
Dr. Ahmad Syafii Maarif beberapa tahun yang lalu. Yang kini dipertajam oleh
pernyataan Buya di awal Desember lalu yang lebih “hot” bahwa friksi umat Islam
warisan perang Siffin yang menjadi tiga kelompok Sunni, Syi’ah dan Khawarij,
Sunnilah sebagai kelompok mayoritas yang menjadi biang perpecahan, karena
mereka merasa diri paling benar, dan menuduh kelompok Syiah dan Khawarij
sebagai pihak yang salah. (Resonansi Republika, 9 Desember 2014). Pernyatan
Buya Syafii ini telah memancing ulama muda Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
menanggapi dan membatahkan pernyataan Syafii Maarif tersebut. Karena pihak
Sunni tidak pernah asal menuduh Syiah salah dan sesat. Karena tuduhan Sunni
selalu dirujukkan kepada hakim terakhir yakni Al-Quran dan Sunnah.
Fahmi Salim, dengan tawadhu’ (ditunjukkan dengan pengakuannya sebagai orang
yang fakir dalam ilmu) menyampaikan pertanyaan kepada Buya Syafii: (1) apakah
dalam Al-Quran ada ayat yang menyatakan bahwa Imam (pemimpin agama dan
politik), selain Muhammad SAW itu maksum, seperti diyakini kaum Syi’ah, (2)
Apakah ada ayat Al-Quran atau hadis shahih yang menegaskan penunjukan Ali bin
Abi Thalib dan 11 keturunnya sebagai imam pasca wafatnya Rasulullah Saw? Adakah
ayat Quran dan Hadis yang menganjurkan mencela dan mengkafirkan para Sahabat
bahkan isteri Nabi seperti diamalkan oleh Kaum Syi’ah dan seterusnya, yang
merupakan pertanyaan dalam mengklarifikasi doktrin-doktrin Syiah dengan
menjadikan Quran dan Sunnah Sahihah sebagai standar dan pedoman akidah
Muhammadiyah seperti yang diinginkan Syafii Maarif
Fahmi Salim menegaskan bahwa Sunni atau Ahlusunnah sebenarnya bukan suatu
kelompok yang lahir dari perpecahan politik, bukan pula kelompok yang lahir
sebagai warisan dari konflik perang Jamal dan perang Siffin, tetapi Ahlussunnah
adalah doktrin dan ajaran Islam yang diyakini dan dipraktekkan Rasulullah dan
para Sahabatnya pada masa Nabi hidup maupun sesudah wafatnya. Ia adalah akidah
yang langsung diajarkan oleh Rasulullah yang diturunkan dari Al-Quran berupa
penjabaran rukun Iman, Islam dan Ihsan, sikap terhadap keutuhan dan keaslian
Al-Quran, sikap terhadap sahabat Nabi dan lain-lain. Berbeda dengan
Ahlussunnah, maka Syi’ah dan Khawarij lah yang merupakan produk sejarah konflik
politik, yang kemudian dilegitimasi dengan doktrin keyakinan yang tidak
bersumber dari Quran dan Sunnah. Jadi Ahlussunnah bukanlah kelompok orang
dengan klaim tertentu seperti kelompok Asy’ariyah atau Maturidiyah, yang dalam
bidang tertentu berbeda pandangan dengan doktrin Ahlussunnah.
Kedua, pernyataan Prof. M. Dien yang menyatakan bahwa perbedaan Sunni dan Syi’i
hanyalah perbedaan furu’iyah, yang merupakan dinamika perkembangan pasca
Rasulullah. Oleh karena itu perbedaan itu tidak perlu diperuncing, karena hanya
akan memperlemah kesatuan umat Islam. Untuk itu hindarilah saling mengkafirkan
(takfir), saling menuduh sesat (tadhlil) sesama umat Islam. Pernyataan Prof Dr.
M. Dien Syamsuddin ini apabila disampaikan dalam kapasitasnya sebagai Ketua
Umum MUI, mestinya memperhatikan fatwa-fatwa yang pernah dikeluarkan oleh
Majelis Ulama Indonesia, bahwa Syiah memiliki aqidah yang menyimpang dari
prinsip-prinsip aqidah Al-Quran dan al-Sunnah (Ushul Aqaid al-Quran wa
al-Sunnah), sehingga MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa Syiah adalah sesat,
menganjurkan agar segera kembali kepada ajaran al-Quran dan Sunnah. Bahkan MUI
telah menerbitkan buku “Panduan MUI Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah
di Indonesia” yang disusun oleh Tim Penulis MUI Pusat dibawah pimpinan KH. Makruf
Amin, wakil Ketua Umum MUI, yang didalamnya ada Prof. Dr. Yunahar Ilyas salah
satu Ketua MUI yang juga Ketua PP Muhammadiyah.
Pernyataan Prof. M. Dien Syamsuddin ini juga tidak sejalan dengan 4 butir hasil
Sidang Pleno PP Muhammadiyah terkait dengan agama Syiah, sebagaimana
dikemukakan oleh Prof. Dr. Yunahar Ilyas, dan dikutip majalah Tabligh No.
7/IX/Jumadil Awal-Jumadil Akhir 1433, yaitu:
1. Muhammadiyah meyakini bahwa hanya Nabi Muhammad Saw yang maksum, sehingga
Muhammadiyah menolak konsep kesucian imam-imam (ishmatul aimmah) dalam agama
Syi’ah.
2. Muhammadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw tidak menunjuk siapapun
pengganti beliau sebagai khalifah. Kekhalifahan pasca Rasulullah diserahkan
kepada musyawarah umat, sehingga kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattah,
Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib adalah sah. Oleh sebab itu Muhammadiyah
tidak sejalan dengan aqidah rafidhahnya Syiah, yang hanya mengakui Ali dan 11
keturunannya yang sah sebagai Imam.
3. Muhammadiyah menghormati Ali bin Abi Thalib sebagaimana sahabat Nabi yang
lainnya, dan menolak kultus individu kepada Ali dan keturunannya.
4. Syiah hanya mengakui dan menerima hadis dari jalur “Ahlul Bait”, ini
berakibat ribuan hadis shahih yang mengandung ajaran-ajaran pokok termasuk
aqidah (usul aqaid, usulul Islam) yang ditolak syi’ah. Dengan demikian banyak
sekali perbedaan tidak hanya furu’iyyah tetapi juga ushuliyyah antara Syiah dan
Islam Ahlussunnah, termasuk Muhammadiyah, baik masalah-masalah aqidah, ibadah,
munakahat dan sebagainya.
Dalam kitab Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah ditegaskan bahwa aqidah
Muhammadiyah mengikuti manhaj Ahlussunnah yang diistilahkan oleh HPT (hlm 13)
sebagai al-Firqah al-Najiyah min al-Salaf, yaitu golongan yang terjamin
keselamatannya dari kalangan Salaf (al-sabiqun al-awwalun, QS. Al-Taubah: 100).
Istilah ini merujuk kepada hadis Abdullah bin Amr yang termaktub pada hal 23
Kitab Iman HPT, yang menyatakan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73
firqah, semua masuk neraka dan hanya satu yang selamat, yaitu “mereka yang
mengikuti jejakku dan para sahabatku”.
Hasilnya, perbedaan antara ajaran Islam yang kita yakini dari Al-Quran dan
Sunnah sebagaimana didakwahkan oleh Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Majelis
Ulama dan lembaga dakwah Islam di Indonesia berbeda dengan aliran Syi’ah, tidak
hanya persoalan furu’iyyah tetapi memasuki wilayah ushuliyyah, dasar-dasar
ajaran Islam, yang perbedaan tidak hanya sebagai khilafiyah tanawi’iyah
(perbedaan keragaman) yang bisa saling toleransi, tetapi perbedaan sebagai iftiraq
(perpisahan) antara haq dan batil, antara hidayah dan dhalal, yang hanya bisa
disikapi dengan dakwah, isryad dan perlindungan. Dakwah dan irsyad (bimbingan)
kepada mereka yang telah jatuh kepada paham yang sesat, dan perlindungan kepada
umat Islam pada umumnya agar tidak terpengaruh kepada pemikiran dan aqidah yang
sesat.
Ada baiknya, seorang pemimpin mempertimbangkan lembaga-lembaga yang ada dibawah
bimbingan dan asuhannya, apalagi lembaga-lembaga itu adalah lembaga terhormat,
lembaga dakwah, perlindungan dan pengayoman terhadap umat. Lembaga telah
bermusyawarah untuk menentukan pedoman, panduan, manhaj dan fatwa untuk
kemaslahatan umat. Dan itulah yang dilakukan oleh MUI dan Muhammadiyah serta
lembaga-lembaga dakwah lainnya. Hal ini tidak boleh diganggu oleh “kecerdasan
individual” para pemimpinnya yang terlalu jauh melampaui orang-orang yang ada
dilembaganya. Jangan sampai “kecerdasan individual” para pemimpin melupakan,
bahkan menggilas begitu saja hasil-hasil musyawarah organisasi yang dipimpinnya,
baik berupa aturan, pedoman, panduan, manhaj dan fatwa tersebut, sehingga
masyarakat dan umat tidak bingung memahami pemimpinnya, kok beda dengan aturan
yang dibuat, kok beda dengan manhaj dan fatwa yang sudah dititahkannya. Semoga
ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Nasrun Minallah.
http://www.fastabiqu.com/2015/07/perbedaan-kita-dengan-syiah-hanya.html
http://www.fastabiqu.com/2015/07/perbedaan-kita-dengan-syiah-hanya.html
Artikel terkait :
Syi’ah Itu Sesat Juragan (Sebuah Masukan untuk
Bapak Profesor Umar Syihab dan Bapak Profesor Din Syamsuddin)
Sekali Lagi, Din Syamsuddin Nggak Ngerti
Syi’ah?
Malaysia Negeri Ahlussunnah Wal Jama’ah
Berfiqih Imam Syafi’I Akan Gabung Saudi ( Wahhabi ) Lawan Pemberontak Syiah di
Yaman , Bagaimana Indonesia ? Masya Allah wa Alḥamdulillāh . Hanya
Syi'ah/Munafiqun yang tidak mendukung Saudi !