Akidah Imam Syafi’i Tentang
Ahlul Bait
24 October 2015
(dalam syait-syair beliau)
Abu Hamzah al-Qomari
Imam Abu Abdillah Muhammad
ibn Idris al-Syafi’i (204 H) rahimahullah berkata:
آلُ النَّبِيِّ ذَرِيْعَتِيْ *** وَهُمُوْ
إِلَيْهِ وَسِيْلَتِـــيْ
أَرْجُوْ بِهِمْ أُعْطَى غَداً*** بِيَدِيْ
اْليَمِيْنِ صَحِيْفَتِيْ
Keluarga Nabi adalah sebabku.
Mereka menjadi wasilah (jalan
penghubung)ku kepada beliau i .
Aku harapkan sebab mereka,
besuk aku diberi
Buku catatanku dengan tangan
kananku.
●●●
Imam Syafi’I-Rahaimahullah-
juga berkata:
قَالُوْا تَرَفَّضْتَ قُلْتُ : كَـــلاَّ *** مَا
الرَّفْضُ دِيْنِيْ وَلاَ إِعْتِقَادِيْ
لَكِنْ تَوَلَّيْتُ غَيْرَ شَــــكِّ *** خَيْرَ
إِمَامٍ وَخَيْرَ هـَـادِي
إِنْ كاَنَ حُبُّ الْوَلِيّ رّفْضاً *** فَإِنَّ
رَفْضِيْ إِلَى اْلعِبَــــادِ
Mereka berkata: “Engkau
menjadi Syiah Rafidhah.” Aku berkata: “Sekali-kali tidak!”
Rafidhah bukanlah agama dan
keyakinanku.
Akan tetapi aku berwala`
(meyakini sebagai wali) tanpa ragu-ragu
Kepada sebaik-baik imam dan
sebaik-baik pemberi petunjuk.
Jika kecintaanku kepada Wali
itu yang disebut rafdh (menolak)
Maka sifat penolakanku aku
tujukan kepada para hamba (yang menuduhku)
(Diwan al-Imam al-Syafi’I,
58)
●●●
Imam Syafi’i juga berkata:
إِذَا نَحْنُ فَضَّلْنَا عَلِياً فَإِنَّنَـــــا
*** رَوَافِضُ بِالتَّفْضِيْلِ عِنْدِ ذَوِي الْجَهْلِ
وَفَضْلُ أَبِيْ بَكْرٍ إِذَا مَا ذَكَرْتُـــهُ
*** رُمِيْتُ بِنَصْبٍ عِنْدَ ذِكْرِيْ لِلْفَضْلِ
فَلاَ زِلْتُ ذَا رَفْضٍ وَنَصْبٍ كِلاَهُمَا ***
بِحُبِّيْهِمَا حَتَّى أُوْسَدَ فِي الرَّمْلِ
Jika kami menyebutkan kelebihan
Ali maka kami
Dianggap Syiah Rafidhah sebab
tafdhil (menyebut kelebihan Ali) ini, di mata orang-orang jahil
Sedangkan keutamaan Abu Bakar
jika aku sebutkan
Maka aku dituduh Nashibah
(kelompok yang memusuhi Ahlul Bait), ketika aku menyebutkan kelebihannya
(Biarlah), Aku senantiasa
“Rafidhah” (mencintai Ali) dan “Nashibah” (mencintai Abu Bakar) sekaligus
Yaitu dengan mencintai
keduanya (Abu Bakar dan Ali /sahabat dan ahlul bait) hingga aku terkubur dalam
tanah.
(Diwan al-Imam al-Syafi’I,
89)
●●●
Imam Syafi’I -Rahaimahullah-
berkata:
إِذَا فِيْ مَجْلِسٍ نَذْكُرُ عَلِيّــاً ***
وَسِبْطَيْهِ وَفَاطِمَةَ الزَّكِيَّـةَ
يُقَالُ تَجَاوَزُوْا يَا قَوْمُ هَــذَا ***
فَهَذَا مِنْ حَدِيْثِ الرَّافِضَـةِ
بَرِئْتُ إِلىَ الْمُهَيْمِنِ مِنْ أُنَاسٍ ***
يَرَوْنَ الرَّفْضَ حُبَّ الْفَاطِمَةِ
Jika dalam suatu majelis kami
menyebutkan Ali,
Kedua cucu Nabi serta
Fathimah yang suci
Dikatakan kepadaku,
‘tinggalkan ini wahai kaum
Karena ini termasuk obrolan
kaum Rafidhah’
Aku berlepas diri kepada Yang
Maha Perkasa dari manusia
yang menilai bahwa mencintai
Fathimah itu adalah Rafidhah
(Diwan al-Imam al-Syafi’I,
113)
●●●
Imam al-Syafi’I berkata:
يَا رَاكِباً قِفْ بِالْمُحَصَّبِ مِنْ مِنَـى
*** وَاهْتُفْ بِقَاعِدِ خَيْفِهَا وَالنَّاهِضِ
سَحَراً إِذَا فَاضَ الْحَجِيْجُ إِلَى مِنَى ***
فَيْضاً كَمُلْتَطِمِ الْفُرَاتِ الْفَائِضِ
إِنْ كَانَ رَفْضاً حُبُّ آلِ مُحَمَّـدِ ***
فَلْيَشْهَدِ الثَّقَلاَنِ أَنِّيْ رَافِضِـيّ
Wahai pengendara berhentilah
di Muhashab*, dari Mina
Dan serukan di tanah datar di
Masjid Khaif dan di datarn tingginya
Di waktu akhir malam ketika
jamaah haji tumpah ruah di Mina
Meluber seperti air sungai
Eufrat yang melimpah:
‘Jika yang dimaksud dengan
Rafidhah itu adalah mencintai keluarga Muhammad
Maka silakan jin dan manusia
bersaksi bahwa aku adalah seorang Rafidhi (artinya: seorang yang mencintai
Keluarga Nabi)’.
(Diwan al-Imam al-Syafi’I,
73)
Muhashshab: Tempat melempar
jamarat di Mina
●●●
Imam Syafi’i -Rahaimahullah-
berkata:
يَا آلَ بَيْتِ رَسُوْلِ اللهِ حُبُّكُـْم ***
فَرْضٌ مِنَ اللهِ فِي الْقُرْآنِ أَنْزَلَهُ
يَكْفِيْكُمْ مِنْ عَظِيْمِ اْلفَخْرِ أَنَّكُمْ
*** مَنْ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْكُمْ لاَ صَلاَةَ لَهُ
Wahai keluarga Rasulullah,
mencintai kalian
Adalah kewajiban dari Allah
dalam al-Qur`an yang Dia turunkan
Cukuplah bagi kalian,
keagungan dari kebanggaan, bahwa kalian
Bahwa siapa yang tidak
bershalawat kepada kalian berarti ia tidak ada shalat baginya.
(Diwan al-Imam al-Syafi’I,
89)*
Malang, 12-Februari 2009
Diedit, Kamis 8 Oktober 2015
Akidah Imam Syafi’i Tentang
Khulafa` Rasyidin
24 October 2015
(dalam syait-syair beliau)
Abu Hamzah al-Qomari
Imam Abu Abdillah Muhammad
ibn Idris al-Syafi’i (204 H) rahimahullah berkata:
شَهِدْتُ بِأَنَّ اللهَ لاَ شَيْئَ غَيْرُهُ *
وَأَشْهَدُ أَنَّ اْلبَعْثَ حَقٌّ وَأُخْلِصُ
وَإَنَّ عُرَى اْلإِيْمَانِ قَوْلُ مُحْسِنٍ *
وَفِعْلُ زَكِيٍّ قَدْ يَزِيْدُ وَيَنْقُصُ
وَأَنَّ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْفَةُ أَحْمَدَ *
وَكاَنَ أَبُوْ حَفْصٍ عَلىَ الْخَيْرِ يَحْرِصُ
وَأُشْهِدُ رَبِّيْ أَنَّ عُثْمَانَ فَاضِلٌ *
وَأَنَّ عَلِيًّا فَضْلُهُ مُتَخَصِّصٌ
أَئِمَّةٌ قَوْمٌ يُقْتَدَى بِهُدَاهُمْ * لَحَى
اللهُ مَنْ إِيَّاهُمْ يَتَنَقَّصُ
● ●●
فَمَا لِغُوَاةٍ يَشْتُمُوْنَ سَفَاهَةً * وَمَا
لِسَفِيْهٍ لاَ يُجَابُ فَيَخْرُصُ
Aku bersaksi bahwa tidak ada
Sesembahan yang hak selain Dia
Dan aku bersaksi dan saya
ikhlash bahwa kebangkitan adalah hak
Dan bahwasanya simpul-simpul
iman adalah ucapan orang yang berbuat ihsan
Dan perbuatan orang suci
(mukmin), yang terkadang bertambah dan terkadang berkurang
Dan bahwasanya Abu bakar
adalah Khalifah Ahmad (Nabi Muhammad)
Dan Abu Hafsh (Umar) sangat
menjaga kebaikan
Aku persaksikan pada Tuhanku
bahwa Usman adalah utama (unggul di atas Ali)
Sedangkan Ali keutamaannya
sangat istimewa
(Mereka adalah) Para imam,
kaum yang prtunjuknya dijadikan panutan
Allah melaknat orang yang
merendahkan mereka*
●●●
Maka mengapa orang-orang
sesat itu mencela karena bodoh
Dan mengapa orang bodoh itu
tidak dihiraukan dan menduga-duga**.
*Diwan imam syafii 71
untuk Aqidah Imam Syafi’I
baca buku
Mukhtashar Manhaj al-Imam
as-syafi’i Fi Itsbat al-Aqidah oleh Syaikh DR. Muhammad al-Aqil
Imam Al-Syafi’i, Imam Hadist
asal Bumisyam
Imam al-Syafi’i merupakan
salah satu Imam Mujtahid yang menyusun ilmu ushul Fikih secara sistematis. Ilmu
fikihnya terpadukan dengan hadis. Muhammad al-Hasan, salah seorang
gurunya, mengatakan, jika para hali hadits bercakap-cakap maka percakapan
mereka sesungguhnya melalui lidah Imam al-Syafi’i. Ilmu fikihnya terpadukan
dengan hadis. Beliau pernah mengatakan, jika ada hadits shahih, maka itu
madzhabku.
Imam al-Syafi’i dilahirkan di
bumisyam. Tepatnya di Palestina di kota Gazza pada tahun 105 H. Ia seorang
keturunan Bani Quraisy. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa
sallam. Rantai silsilahnya adalah, Abu Abdullah bin Idris bin al-Abbas Utsman
bin Syafi’i bin al-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muttalib bin
Abdul Manaf.
Dikisahkan, bahwa Imam
al-Syafi’i dilahirkan pada malam Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Seorang imam
meninggal dunia dan saat itu pula lahir seorang imam yang lain.
Imam al-Syafi’i lahir dari
keluarga tidak mampu di Palestina. Mereka hidup di dalam perkampungan yang
mayoritas dihuni oleh orang-orang Yaman. Ayahnya meninggal dunia ketia beliau
masih kecil.
Sejak kecil sudah mendalami
bahasa Arab dan gramatikanya. Karena itu, ia pernah tinggal bersama suku Huzail
selama sepuluh tahun untuk mempelajari bahasa. Suku Huzail terkenal sebagai
suku yang paling baik bahasa Arabnya. Imam al-Syafi’i banyak menghafal syair
dan kasidah dari bani Huzail ini.
Beliau mengembara ke berbagai
negeri untuk mempelajari Islam. Pertama ke Makkah, Madinah, Irak dan Yaman.
Salah satu guru besar utamanya adalah Imam Malik. Kepada Imam Malik beliau
belajar langsung di Madinah hingga Imam Malik meninggal dunia.
Guru-gurunya yang lain
adalah, dari Makkah: Muslim bin Khalid al-Zinji, Sufyan bin Uyainah, Said bin
al-Kudah, Daud bin Abdurrahman, Al-Attar dan Abul Hamid bin Abdul Aziz. Di
Madinah: Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa’ad al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad
al-Dawardi, Ibrahim bin Yahya al-Usami, Muhammad Said bin Abi Fudaik dan
Abdullah bin Nafi’ al-Saigh. Di Yaman: Matraf bin Mazin, Hisyam bin Yusuf, Umar
bin Abi Maslamah dan Abi Laith bin Sa’ad. Dari Irak: Muhammad bin al-Hasan, Waki’
bin al-Jarrah al-Kufi, Abu Usamah Hamad bin Usamah, Ismail bin Attiah al-Basri
dan Abdul Wahhab bin Abdul Majid al-Basri.
Madzhab Syafi’i pertama kali
berkembang di kota Makkah kemudian ke Baghdad dan Mesir. Pendapat-pendapatnya
digali dari gurunya yang utama dari fikih orang Makkah dan orang Irak.
Hadits menjadi perhatian
penting dalam penggalian hukum, setelah al-Qur’an. Jika beliau menemui
permasalahan hukum, pertama kali beliau mencari hadits Nabawiy untuk panduan
memberikan fatwa. Ia menghafal kitab hadits Muwattha’ yang ditulis oleh
gurunya, Imam Malik.
Ia pernah berkata: “Di mana
saja bumi membawaku dan di mana pun juga langit meneduhku, apabila diceritakan
dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan aku tidak mengatakannya:
Ya, aku dengar dan patuh! Dan beliau berkata lagi: Walau bagaimana kukatakan
atau bagaimana sekalipun aku asaskan, sedangkan di sana ada pendapat dari
Rasulullah yang bertentangan dengan perkataanku maka perkataan atau pendapatku
adalah apa yang dikatakan oleh Rasulullah”.
Para pengkaji ilmu hadits
berpendapat bahwa para hali hadis itu tidur, sedangkan Imam al-Syafi’i
menyadarkan mereka. Sehingga mereka pun sadar. Banyak murid-muridnya yang
menjadi ahli Hadits, salah satu yang paling terkenal adalah Imam Ahmad bin Hanbal,
yang juga seorang di antara empat Imam Mujtahid.
Fakhruddin al-Razi
menggambarkan tanggung jawab besar yang dipikul oleh Imam al-Syafi’i yaitu
ketika ia beruusaha menyatukan antara pematuhan terhadap hadits dan
menggunakan akal. Maka, beliau berhasil menggabungkan dua aliran tersebut
dengan adab-adabnya. Tanpa mempertentangkannya secara dikotomis.
Imam Syafi’i sangat peduli
dengan ilmu hadis. Ia menyelidiki dengan teliti perkara-perkara yang
diriwayatkan oleh pembawa hadits Rasulullah. Dengan kapasitas ini, Imam
al-Syafi’i berhasil membuka cakrawala ilmu bagi para pakar hadits dan kaum
rasionalis.
Ia juga ahli mantiq. Karena
itu, ilmu ushul fikihnya dikatakan oleh Fakhruddin al-Razi berhasil meletakkan
peraturan umum dalam bidang hukum sebagai tempat rujukan untuk mengetahui
derajat dalil-dalil. Disamping itu ia hali gramatika bahasa Arab, retorika
bahasa dan dikenal pula sebagai penyair. Karya syairnya terkumpul dalam kitab
Diwan al-Syafi’i.
Imam al-Syafi’i meninggal
dunia di Mesir pada hari Kamis di malam terakhir bulan Rajab pada tahun 204 H,
pada usia 54 tahun. Sebelum meninggal, beliau menderita penyakit wasir. Kerap
ia mengajar murid-muridnya sambil menahan sakit wasir, sampai keluar darah.
Ketekunan ibadahnya luar
biasa. Beliau membagi waktu malamnya menjadi tiga bagian: satu pertiga untuk
menulis dan mengajar, satu pertiga untuk shalat dan bertahajud dan satu pertiga
lagi untuk tidur.
Seorang ulama bernama Hilal
bin al-A’la memuji kehebatan dalam bidang hadis: Para ahli hadits bagaikan
anak-anak Imam al-Syafi’i, beliau pembuka kunci untuk mereka itu.
Oleh : Kholili Hasib –
Anggota MIUMI Jawa Timur dan Peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam
(InPAS) Surabaya