Seorang remaja Arab Ahwaz (usia 17 tahun) tanpa
senjata, bernama Ali Jalali, ditembak mati oleh pasukan keamanan Iran di
wilayah Nahdhe (dikenal juga sebagai wilayah Lashkarabad), yang bertetangga
dengan ibukota Ahwaz, pada malam Senin 9 November 2015 lalu.
Pada insiden
kekerasan tersebut dilaporkan juga sejumlah warga Arab Ahwaz lainnya terluka
karena tembakan membabi buta dari pasukan rezim Iran. Remaja tersebut (Ali
Jalali) meninggal ketika ia mencoba mencegah pasukan keamanan rezim yang
menyita warungnya dan bahan makanan yang ia jual, yang merupakan satu-satunya
sumber pendapatannya.
Dilansir
oleh minorityvoices dikutip Middle East Update bahwa penembakan itu diikuti
demonstrasi damai penduduk setempat yang memprotes perintah rezim untuk menutup
restoran Arab populer dan kafe di distrik tersebut, yang diikuti serangan
brutal oleh pasukan rezim. Penutupan paksa dan penggerebekan terjadi di
restoran Arab, yang khusus menjual hidangan makanan laut lokal populer dan
falafel serta banyak didatangi turis dan penduduk setempat. Masyarakat lokal
juga berdemonstrasi karena pembatasan yang berlebihan terhadap hak-hak asasi
orang Arab Ahwaz oleh rezim diktator Iran.
Kasus lain
juga terjadi pada Younes Asakereh, seorang pedagang kaki lima yang kiosnya
disita secara paksa oleh rezim Iran pada bulan Maret lalu, dia kehilangan
alat-alat kerjanya. Pada bulan Maret itu juga ia menggelar aksi protes di depan
Balai Kota, tragisnya ia dilaporkan meninggal karena luka-luka dalam aksi
protes tersebut.
Ada
penindasan terhadap semua pedagang di wilayah Al-Ahwaz, yang menghasilkan
lingkungan yang menakutkan bagi orang-orang Arab Ahwaz. Arab Ahwaz menderita
kemiskinan yang parah meskipun pada hakikatnya wilayah Al-Ahwaz memiliki
cadangan lebih dari 90% minyak dan gas bumi di Iran. Pemerintah rezim diktator
Iran mempekerjakan orang dari provinsi lain (orang etnis Persia) di perusahaan
petrokimia dan di lahan pertanian sementara masyarakat asli setempat menjadi
pengangguran karena diskriminasi rasial yang sangat keji.
Lahan
pertanian milik masyarakat etnis Arab di wilayah Al-Ahwaz disita oleh pasukan
Garda Revolusi Iran tanpa ada ganti rugi sedikitpun dan lahan tersebut
diberikan kepada industri gula. Sungai-sungai setempat dan rawa-rawa menjadi
kering karena dibangunnya banyak bendungan dan airnya dialihkan ke provinsi di
utara Iran seperti Isfahan dan Shiraz yang menyebabkan krisis air terparah di
lingkungan Al-Ahwaz dan migrasi petani lokal Arab. Banyak kota dan desa yang
belum direkonstruksi kembali sejak perang delapan tahun antara Iran dan Irak
pada tahun 1988, dan ribuan hektar lahan masih terkontaminasi dengan jutaan
ranjau darat.
Meskipun
janji untuk menciptakan situasi yang lebih baik telah diberikan oleh Presiden
Iran, Hassan Rouhani, namun kondisi masyarakat etnis Arab Ahwaz dan kelompok
etnis minoritas lainnya belum membaik sama sekali. Dibalik senyum manis Rouhani
terdapat angka penganiayaan yang tinggi terhadap etnis minoritas di Iran.
Rouhani,
berkuasa sebagai advokat hak asasi manusia dan reformasi, dan telah dinilai
oleh barat sebagai orang yang moderat. Ia menyampaikan beberapa pidato untuk
perbaikan kehidupan warga di berbagai sektor dan menjanjikannya selama kampanye
pemilihan presiden dimana ia penuh semangat mengungkapkan tujuannya untuk
menegakkan hak asasi manusia dan menjamin hak yang sama bagi semua orang di
Iran. Tapi, perlu dicatat dan digarisbawahi selama dua tahun masa kekuasaannya,
ia telah menjadi “raja eksekusi”. Lebih dari 2.000 orang di Iran telah
dieksekusi mati di bawah rezim Rouhani, dimana sebelumnya Amerika Serikat dan
Barat terus bersikeras mengatakan bahwa Rouhani adalah mediator yang tulus bagi
rakyat Iran.