Posted on 5
Meluruskan
Pemahaman Keliru Tentang Wahabi
Di negeri kita bahkan hampir di seluruh
dunia Islam, ada sebuah fenomena ‘timpang’ dan penilaian ‘miring’ terhadap
dakwah tauhid yang dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi
An-Najdi rahimahullahu [1].
Julukan Wahhabi pun dimunculkan, tak lain tujuannya adalah untuk menjauhkan
umat darinya. Dari manakah julukan itu? Siapa pelopornya? Dan apa rahasia di
balik itu semua …?
Sahabatku, dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah
pembaharuan terhadap agama umat manusia. Pembaharuan, dari syirik menuju tauhid
dan dari bid’ah menuju As-Sunnah.Sahabatku, Ada baiknya terlebih dahulu kita
mengenal sosok Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab tersebut.
Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullahu
Salah seorang sosok mujaddid yang Allah Subhanahu wa Ta’ala munculkan di abad
ke-12 Hijriyyah atau bertepatan dengan abad ke-19 Masehi adalah Syaikhul Islam
Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin ‘Ali At-Tamimi Al-Hanbali
rahimahullahu yang bertempat di negeri Najd, Saudi Arabia. Beliau lahir pada
tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H.
Banyak karya tulis yang berbicara tentang beliau yang disifati sebagai seorang
peng-ishlah (orang yang mengadakan perbaikan) yang agung, seorang mujaddid
Islam, seorang yang berada di atas petunjuk dan cahaya dari Rabbnya dan banyak
lagi kebaikan-kebaikannya yang sulit untuk dihitung. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat
Mutanawwi’ah Asy-Syaikh Ibnu Baz, dalam pembahasan tentang Al-Imam Muhammad bin
Abdul Wahhab Da’watuhu wa Siratuhu, 1/355)
Syaikh Mujaddid ini disifati demikian tidak lain karena beliau seorang alim
salafi dari sisi aqidah dan manhaj, hingga pantas disifati dengan sifat-sifat
kesempurnaan dan disebut dengan sebutan yang merupakan perangai kebaikan dan
amal kebajikan. (Qathul Janiyil Mustathab Syarhu ‘Aqidah Al-Mujaddid Muhammad
bin Abdil Wahhab, hal. 7, karya Asy-Syaikh Al-Allamah Zaid bin Muhammad bin
Hadi Al-Madkhali).
Barakah dakwah beliau terus dirasakan oleh umat Islam sampai hari ini walaupun
beliau telah wafat 221 tahun yang lalu (dua abad lebih). Tidak sebatas di
negerinya, tetapi juga sampai ke seluruh negeri yang ada di berbagai belahan
bumi ini, termasuk pula negeri kita Indonesia. Kitab-kitab karya beliau
tersebar ke segala penjuru negeri, dibaca, dipelajari dan dijadikan rujukan
oleh para penuntut ilmu, seperti kitab Al-Ushuluts Tsalatsah, Kasyfusy
Syubuhat, Kitabut Tauhid, Masa`ilul Jahiliyyah dan masih banyak lagi.
Para ulama setelah beliau banyak yang mensyarah karya-karya beliau menjadi satu
atau beberapa kitab yang tebal. Satu hasil nyata dari dakwah beliau adalah
berdirinya kerajaan tauhid Saudi Arabia dan tetap tegak sampai hari ini sebagai
satu-satunya negara yang mengibarkan bendera tauhid dan menyatakan perang
terhadap kesyirikan. Walillahil hamdu (Segala pujian yang sempurna hanyalah
milik Allah).
Pada awal dakwahnya, Syaikh yang mulia ini melihat kebodohan tersebar di
seluruh negerinya. Beliau melihat manusia berbolak-balik menuju ke pelepah
kurma dan kuburan untuk memohon kepada penghuni kubur dan benda-benda mati
dengan permintaan yang semestinya tidak diminta kecuali kepada Pencipta langit
dan bumi. Beliau melihat manusia meminta ampunan dan kesembuhan kepada penghuni
kubur, sebagaimana mereka juga dikuasai oleh ketakutan yang sangat terhadap
para setan di mana hal itu membawa mereka untuk berlindung kepada setan.
Saat berkeliling negeri untuk menuntut ilmu, beliau juga melihat umat Islam
hidup dalam kejahiliyahan yang sama dengan umat di negerinya. Di samping itu,
beliau melihat Kitabullah tidak lagi menjadi rujukan dalam pengambilan hukum,
namun justru manusia berhukum dengan selain hukum Allah. Inilah fenomena yang
mendorong Syaikh untuk mengadakan perbaikan aqidah dan hukum sehingga hukum
hanya milik Allah dan ibadah hanya ditujukan pada-Nya, demikian pula mutaba’ah
(mengikuti) hanyalah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
menyerang kejahiliyahan dan berseru dengan lantang kepada manusia bahwa mereka
tidak di atas agama Islam sedikitpun.
Beliau pun mengajak mereka untuk kembali kepada Islam yang hakiki, beribadah
kepada Allah saja, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan agar ketaatan
hanya ditujukan kepada Rasul-Nya. Beliau mengajak mereka agar beribadah kepada
Allah dengan ajaran yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tanpa mengadakan-adakan perkara baru dalam agama, dan agar hukum yang diambil
dari Kitabullah dan Sunnah Rasul dijadikan sebagai pokok, bukan sekedar
pembungkus dalam pendapat-pendapat, undangundang atau adat. Beliau membawa
mushaf (lembaran Al-Qur`an) guna mengajak manusia agar kembali kepadanya,
merasa cukup dengannya dan dengan As-Sunnah sebagai penjelas dan perinci apa
yang global dalam Al-Qur`an.
Berawal dari sini, bangkitlah orang-orang yang mendukung kehidupan jahiliyyah.
Mereka pun bereaksi dan berteriak bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
datang membawa agama baru dan menganut madzhab yang kelima. Namun Syaikh tetap
berlalu dengan dakwah beliau tanpa mengindahkan apa yang mereka ucapkan dan
sebarkan. (Masyakilud Da’wah wad Du’ah fil ‘Ashril Hadits, sub judul Da’watu
Muhammad bin Abdil Wahhab wa Shumuduha lil Musykil, hal. 45-46, karya
Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami)
Banyak sumbangsih yang diberikan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
rahimahullahu kepada kaum muslimin yang semestinya disyukuri. Namun ada saja
orang yang hasad kepada beliau atau orang yang dakwahnya berseberangan dengan
dakwah yang beliau tegakkan. Mereka menyimpan kebencian kepada beliau bahkan
menyebarkan ucapan-ucapan jelek dan tuduhan palsu tentang beliau dan dakwahnya.
Sehingga tidak sedikit orang awam yang termakan ucapan mereka. Akibatnya beliau
dibenci dan dicaci oleh mereka, dan dakwah seperti yang beliau ajarkan dijauhi.
Ditempelkanlah gelar Wahabi kepada pengikut dakwah beliau, seakan beliau dan
pengikut dakwah beliau berjalan di atas selain jalan yang haq dan membentuk
madzhab yang kelima dalam Islam. Padahal dakwah beliau adalah dakwah kepada
tauhid yang murni, memperingatkan dari kesyirikan dengan seluruh jenisnya,
seperti bergantung kepada orang-orang mati dan yang lainnya, baik berupa
pepohonan, bebatuan dan semisalnya. Demikianlah misi para pembaharu sejati dari
masa ke masa, yang menapak titian jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para shahabatnya. Fenomena ini membuat gelisah musuh-musuh
Islam, sehingga berbagai macam cara pun ditempuh demi hancurnya dakwah tauhid
yang diemban Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya.
Musuh-musuh tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.Di Najd dan sekitarnya: Para ulama suu`
yang memandang al-haq sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai al-haq.
Orang-orang yang dikenal sebagai ulama namun tidak mengerti tentang hakekat
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya. Orang-orang yang takut
kehilangan kedudukan dan jabatannya. (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula
Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir hal.90-91, ringkasan
keterangan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz)
2.Di dunia secara umum: Mereka adalah kaum
kafir Eropa; Inggris, Prancis dan lain-lain, Daulah Utsmaniyyah, kaum Shufi,
Syi’ah Rafidhah, Hizbiyyun dan pergerakan Islam; Al-Ikhwanul Muslimin, Hizbut
Tahrir, Al-Qaeda, dan para kaki tangannya. (Untuk lebih rincinya lihat kajian
utama edisi ini/ Musuh-Musuh Dakwah Tauhid)
Bentuk permusuhan mereka beragam.
Terkadang dengan fisik (senjata) dan terkadang dengan fitnah, tuduhan dusta,
isu negatif dan sejenisnya. Adapun fisik (senjata), maka banyak diperankan oleh
Dinasti Utsmani yang bersekongkol dengan barat sebelum keruntuhannya.
Demikian pula Syi’ah Rafidhah dan para hizbiyyun. Sedangkan fitnah, tuduhan
dusta, isu negatif dan sejenisnya, banyak dimainkan oleh kafir Eropa melalui
para missionarisnya, kaum shufi, dan tak ketinggalan pula Syi’ah Rafidhah dan
hizbiyyun.[2] Dan ternyata, memunculkan istilah ‘Wahhabi’ sebagai julukan bagi
pengikut dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, merupakan trik sukses
mereka untuk menghempaskan kepercayaan umat kepada dakwah tauhid tersebut.
Padahal, istilah ‘Wahhabi’ itu sendiri merupakan penisbatan yang tidak sesuai
dengan kaidah bahasa Arab. Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Penisbatan
(Wahhabi -pen) tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Semestinya
bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyyah’, karena sang pengemban dan pelaku
dakwah tersebut adalah Muhammad, bukan ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.”
(Lihat Imam wa Amir wa Da’watun Likullil ‘Ushur, hal. 162)
Tak cukup sampai di situ. Fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya
menjadi sejoli bagi julukan keji tersebut. Tak ayal, yang lahir adalah ‘potret’
buruk dan keji tentang dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang tak
sesuai dengan realitanya. Sehingga istilah Wahhabi nyaris menjadi momok dan
monster yang mengerikan bagi umat. Fenomena timpang ini, menuntut kita untuk
jeli dalam menerima informasi. Terlebih ketika narasumbernya adalah orang
kafir, munafik, atau ahlul bid’ah. Nah, agar kita tidak dijadikan bulan-bulanan
oleh kejamnya informasi orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu, simak
pembahasan kami.
Meluruskan Tuduhan Miring tentang Wahabi
1. Tuduhan: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang mengaku
sebagai Nabi [3], ingkar terhadap Hadits nabi [4], merendahkan posisi Nabi, dan
tidak mempercayai syafaat beliau.
Bantahan: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang sangat
mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini terbukti dengan adanya
karya tulis beliau tentang sirah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik
Mukhtashar Siratir Rasul, Mukhtashar Zadil Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad atau
pun yang terkandung dalam kitab beliau Al-Ushul Ats-Tsalatsah.
Beliau berkata: “Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat
–semoga shalawat dan salam-Nya selalu tercurahkan kepada beliau–, namun
agamanya tetap kekal. Dan inilah agamanya; yang tidaklah ada kebaikan kecuali
pasti beliau tunjukkan kepada umatnya, dan tidak ada kejelekan kecuali pasti
beliau peringatkan. Kebaikan yang telah beliau sampaikan itu adalah tauhid dan
segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan
kejelekan yang beliau peringatkan adalah kesyirikan dan segala sesuatu yang
dibenci dan dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengutus beliau kepada seluruh umat manusia, dan mewajibkan atas tsaqalain; jin
dan manusia untuk menaatinya.” (Al-Ushul Ats-Tsalatsah).
Beliau juga berkata: “Dan jika kebahagiaan umat terdahulu dan yang akan datang
karena mengikuti para Rasul, maka dapatlah diketahui bahwa orang yang paling
berbahagia adalah yang paling berilmu tentang ajaran para Rasul dan paling
mengikutinya. Maka dari itu, orang yang paling mengerti tentang sabda para
Rasul dan amalan-amalan mereka serta benar-benar mengikutinya, mereka itulah
sesungguhnya orang yang paling berbahagia di setiap masa dan tempat. Dan
merekalah golongan yang selamat dalam setiap agama. Dan dari umat ini adalah
Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 2/21).
Adapun tentang syafaat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata
–dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku beriman dengan syafaat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliaulah orang pertama yang bisa memberi
syafaat dan juga orang pertama yang diberi syafaat. Tidaklah mengingkari
syafaat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini kecuali ahlul bid’ah lagi
sesat.” (Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 118)
2. Tuduhan: Melecehkan Ahlul Bait
Bantahan:
Beliau berkata dalam Mukhtashar Minhajis Sunnah: “Ahlul Bait Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai hak atas umat ini yang tidak dimiliki
oleh selain mereka. Mereka berhak mendapatkan kecintaan dan loyalitas yang
lebih besar dari seluruh kaum Quraisy…” (Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/446)
Di antara bukti kecintaan beliau kepada Ahlul Bait adalah dinamainya
putra-putra beliau dengan nama-nama Ahlul Bait: ‘Ali, Hasan, Husain, Ibrahim
dan Abdullah.
3. Tuduhan: Bahwa beliau sebagai Khawarij, karena telah memberontak terhadap
Daulah ‘Utsmaniyyah. Al-Imam Al-Lakhmi telah berfatwa bahwa Al-Wahhabiyyah
adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij ‘Ibadhiyyah, sebagaimana
disebutkan dalam kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin
Muhammad Al-Wansyarisi, juz 11.
Bantahan:
Adapun pernyataan bahwa Asy-Syaikh telah memberontak terhadap Daulah
Utsmaniyyah, maka ini sangat keliru. Karena Najd kala itu tidak termasuk
wilayah teritorial kekuasaan Daulah Utsmaniyyah [5]. Demikian pula sejarah
mencatat bahwa kerajaan Dir’iyyah belum pernah melakukan upaya pemberontakan
terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Justru merekalah yang berulang kali diserang oleh
pasukan Dinasti Utsmani.
Lebih dari itu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan –dalam kitabnya
Al-Ushulus Sittah–: “Prinsip ketiga: Sesungguhnya di antara (faktor penyebab)
sempurnanya persatuan umat adalah mendengar lagi taat kepada pemimpin
(pemerintah), walaupun pemimpin tersebut seorang budak dari negeri Habasyah.”
Dari sini nampak jelas, bahwa sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
terhadap waliyyul amri (penguasa) sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan bukan ajaran Khawarij.
Mengenai fatwa Al-Lakhmi, maka yang dia maksudkan adalah Abdul Wahhab bin
Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab dan para pengikutnya. Hal ini karena tahun wafatnya Al-Lakhmi adalah 478
H, sedangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H /Juni
atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yang telah wafat, namun
berfatwa tentang seseorang yang hidup berabad-abad setelahnya. Adapun Abdul
Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum, maka dia meninggal pada tahun 211 H.
Sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya.
Berikutnya, Al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara, dan fitnah
Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara di masa
Al-Lakhmi, hubungan antara Najd dengan Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh.
Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yang
diperingatkan Al-Lakhmi adalah Wahhabiyyah Rustumiyyah, bukan Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya [6].
Lebih dari itu, sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kelompok
Khawarij sangatlah tegas. Beliau berkata –dalam suratnya untuk penduduk
Qashim–: “Golongan yang selamat itu adalah kelompok pertengahan antara
Qadariyyah dan Jabriyyah dalam perkara taqdir, pertengahan antara Murji`ah dan
Wa’idiyyah (Khawarij) dalam perkara ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
pertengahan antara Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah serta antara Murji`ah
dan Jahmiyyah dalam perkara iman dan agama, dan pertengahan antara Syi’ah
Rafidhah dan Khawarij dalam menyikapi para shahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah,
hal 117). Dan masih banyak lagi pernyataan tegas beliau tentang kelompok sesat
Khawarij ini.
4. Tuduhan: Mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka.[7]
Bantahan:
Ini merupakan tuduhan dusta terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,
karena beliau pernah mengatakan: “Kalau kami tidak (berani) mengkafirkan orang
yang beribadah kepada berhala yang ada di kubah (kuburan/ makam) Abdul Qadir
Jaelani dan yang ada di kuburan Ahmad Al-Badawi dan sejenisnya, dikarenakan
kejahilan mereka dan tidak adanya orang yang mengingatkannya. Bagaimana mungkin
kami berani mengkafirkan orang yang tidak melakukan kesyirikan atau seorang
muslim yang tidak berhijrah ke tempat kami…?! Maha suci Engkau ya Allah,
sungguh ini merupakan kedustaan yang besar.” (Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun
Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, hal. 203)
5. Tuduhan: Wahhabiyyah adalah madzhab baru dan tidak mau menggunakan
kitab-kitab empat madzhab besar dalam Islam.[8]
Bantahan:
Hal ini sangat tidak realistis. Karena beliau mengatakan –dalam suratnya kepada
Abdurrahman As-Suwaidi–: “Aku kabarkan kepadamu bahwa aku –alhamdulillah–
adalah seorang yang berupaya mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, bukan pembawa aqidah baru. Dan agama yang aku peluk adalah madzhab
Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianut para ulama kaum muslimin semacam imam yang
empat dan para pengikutnya.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula
Al-Wahhabiyyah, hal. 75)
Beliau juga berkata –dalam suratnya kepada Al-Imam Ash-Shan’ani–:
“Perhatikanlah –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu– apa yang ada pada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat sepeninggal beliau dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Serta apa
yang diyakini para imam panutan dari kalangan ahli hadits dan fiqh, seperti Abu
Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal –semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala meridhai mereka–, supaya engkau bisa mengikuti jalan/ ajaran mereka.”
(Ad-Durar As-Saniyyah 1/136)
Beliau juga berkata: “Menghormati ulama dan memuliakan mereka meskipun
terkadang (ulama tersebut) mengalami kekeliruan, dengan tidak menjadikan mereka
sekutu bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, merupakan jalan orang-orang yang diberi
nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun mencemooh perkataan mereka dan
tidak memuliakannya, maka ini merupakan jalan orang-orang yang dimurkai Allah
Subhanahu wa Ta’ala (Yahudi).” (Majmu’ah Ar-Rasa`il An-Najdiyyah, 1/11-12.
Dinukil dari Al-Iqna’, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali,
hal.132-133)
6. Tuduhan: Keras dalam berdakwah (inkarul munkar)
Bantahan:
Tuduhan ini sangat tidak beralasan. Karena justru beliaulah orang yang sangat
perhatian dalam masalah ini. Sebagaimana nasehat beliau kepada para pengikutnya
dari penduduk daerah Sudair yang melakukan dakwah (inkarul munkar) dengan cara
keras. Beliau berkata: “Sesungguhnya sebagian orang yang mengerti agama
terkadang jatuh dalam kesalahan (teknis) dalam mengingkari kemungkaran, padahal
posisinya di atas kebenaran. Yaitu mengingkari kemungkaran dengan sikap keras,
sehingga menimbulkan perpecahan di antara ikhwan… Ahlul ilmi berkata: ‘Seorang
yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan tiga hal: berilmu tentang apa
yang akan dia sampaikan, bersifat belas kasihan ketika beramar ma’ruf dan nahi
mungkar, serta bersabar terhadap segala gangguan yang menimpanya.’ Maka kalian
harus memahami hal ini dan merealisasikannya. Sesungguhnya kelemahan akan
selalu ada pada orang yang mengerti agama, ketika tidak merealisasikannya atau
tidak memahaminya. Para ulama juga menyebutkan bahwasanya jika inkarul munkar
akan menyebabkan perpecahan, maka tidak boleh dilakukan. Aku mewanti-wanti
kalian agar melaksanakan apa yang telah kusebutkan dan memahaminya dengan
sebaik-baiknya. Karena, jika kalian tidak melaksanakannya niscaya perbuatan
inkarul munkar kalian akan merusak citra agama. Dan seorang muslim tidaklah
berbuat kecuali apa yang membuat baik agama dan dunianya.”(Lihat Muhammad bin
Abdul Wahhab, hal. 176)
7. Tuduhan: Muhammad bin Abdul Wahhab itu bukanlah seorang yang berilmu. Dia
belum pernah belajar dari para syaikh, dan mungkin saja ilmunya dari setan! [9]
Jawaban:
Pernyataan ini menunjukkan butanya tentang biografi Asy-Syaikh, atau pura-pura
buta dalam rangka penipuan intelektual terhadap umat.
Bila ditengok sejarahnya, ternyata beliau sudah hafal Al-Qur`an sebelum berusia
10 tahun. Belum genap 12 tahun dari usianya, sudah ditunjuk sebagai imam shalat
berjamaah. Dan pada usia 20 tahun sudah dikenal mempunyai banyak ilmu. Setelah
itu rihlah (pergi) menuntut ilmu ke Makkah, Madinah, Bashrah, Ahsa`, Bashrah
(yang kedua kalinya), Zubair, kemudian kembali ke Makkah dan Madinah. Gurunya
pun banyak,[10] di antaranya adalah:
-Di Najd: Asy-Syaikh Abdul Wahhab bin
Sulaiman [11] dan Asy-Syaikh Ibrahim bin Sulaiman.[12]
-Di Makkah: Asy-Syaikh Abdullah bin Salim
bin Muhammad Al-Bashri Al-Makki Asy-Syafi’i.[13]
-Di Madinah: Asy-Syaikh Abdullah bin
Ibrahim bin Saif.[14] Asy-Syaikh Muhammad Hayat bin Ibrahim As-Sindi
Al-Madani,[15] Asy-Syaikh Isma’il bin Muhammad Al-Ajluni Asy-Syafi’i,[16]
Asy-Syaikh ‘Ali Afandi bin Shadiq Al-Hanafi Ad-Daghistani,[17] Asy-Syaikh Abdul
Karim Afandi, Asy-Syaikh Muhammad Al Burhani, dan Asy-Syaikh ‘Utsman
Ad-Diyarbakri.
-Di Bashrah: Asy-Syaikh Muhammad
Al-Majmu’i.[18]
-Di Ahsa`: Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad
bin Abdul Lathif Asy-Syafi’i.
8. Tuduhan: Tidak menghormati para wali
Allah, dan hobinya menghancurkan kubah/ bangunan yang dibangun di atas makam
mereka.
Jawaban:
Pernyataan bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak menghormati para
wali Allah Subhanahu wa Ta’ala, merupakan tuduhan dusta. Beliau berkata –dalam
suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku menetapkan (meyakini) adanya karamah dan
keluarbiasaan yang ada pada para wali Allah Subhanahu wa Ta’ala, hanya saja
mereka tidak berhak diibadahi dan tidak berhak pula untuk diminta dari mereka
sesuatu yang tidak dimampu kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[19]
Adapun penghancuran kubah/bangunan yang dibangun di atas makam mereka, maka
beliau mengakuinya –sebagaimana dalam suratnya kepada para ulama Makkah–.[20]
Namun hal itu sangat beralasan sekali, karena kubah/ bangunan tersebut telah
dijadikan sebagai tempat berdoa, berkurban dan bernadzar kepada selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sementara Asy-Syaikh sudah mendakwahi mereka dengan segala
cara, dan beliau punya kekuatan (bersama waliyyul amri) untuk melakukannya,
baik ketika masih di ‘Uyainah ataupun di Dir’iyyah.
Hal ini pun telah difatwakan oleh para ulama dari empat madzhab. Sebagaimana
telah difatwakan oleh sekelompok ulama madzhab Syafi’i seperti Ibnul Jummaizi,
Azh-Zhahir At-Tazmanti dll, seputar penghancuran bangunan yang ada di pekuburan
Al-Qarrafah Mesir. Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri berkata: “Aku tidak menyukai
(yakni mengharamkan) pengagungan terhadap makhluk, sampai pada tingkatan
makamnya dijadikan sebagai masjid.” Al-Imam An-Nawawi dalam Syarhul Muhadzdzab
dan Syarh Muslim mengharamkam secara mutlak segala bentuk bangunan di atas
makam. Adapun Al-Imam Malik, maka beliau juga mengharamkannya, sebagaimana yang
dinukilkan oleh Ibnu Rusyd. Sedangkan Al-Imam Az-Zaila’i (madzhab Hanafi) dalam
Syarh Al-Kanz mengatakan: “Diharamkan mendirikan bangunan di atas makam.” Dan
juga Al-Imam Ibnul Qayyim (madzhab Hanbali) mengatakan: “Penghancuran kubah/
bangunan yang dibangun di atas kubur hukumnya wajib, karena ia dibangun di atas
kemaksiatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Fathul
Majid Syarh Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh,
hal.284-286)
Para pembaca, demikianlah bantahan ringkas terhadap beberapa tuduhan miring
yang ditujukan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Untuk mengetahui
bantahan atas tuduhan-tuduhan miring lainnya, silahkan baca karya-karya tulis
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kemudian buku-buku para ulama lainnya
seperti:
*Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah
An-Najdiyyah, disusun oleh Abdurrahman bin Qasim An-Najdi
*Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh
Dahlan, karya Al-‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani Al-Hindi.
*Raddu Auham Abi Zahrah, karya Asy-Syaikh
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, demikian pula buku bantahan beliau terhadap Abdul
Karim Al-Khathib.
*Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun
Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi.
*Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab As Salafiyyah, karya Dr. Shalih bin Abdullah Al-’Ubud.
*Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab Bainal Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ayyidin, karya Asy-Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu, dsb.
Dampak Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab
Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah yang penuh
barakah. Buahnya pun bisa dirasakan hampir di setiap penjuru dunia Islam,
bahkan di dunia secara keseluruhan.
Di Jazirah Arabia [21]
Di Jazirah Arabia sendiri, pengaruhnya luar biasa. Berkat dakwah tauhid ini
mereka bersatu yang sebelumnya berpecah belah. Mereka mengenal tauhid, ilmu dan
ibadah yang sebelumnya tenggelam dalam penyimpangan, kebodohan dan kemaksiatan.
Dakwah tauhid juga mempunyai peran besar dalam perbaikan akhlak dan muamalah
yang membawa dampak positif bagi Islam itu sendiri dan bagi kaum muslimin, baik
dalam urusan agama ataupun urusan dunia mereka. Berkat dakwah tauhid pula
tegaklah Daulah Islamiyyah (di Jazirah Arabia) yang cukup kuat dan disegani
musuh, serta mampu menyatukan negeri-negeri yang selama ini berseteru di bawah
satu bendera.
Kekuasaan Daulah ini membentang dari Laut Merah (barat) hingga Teluk Arab
(timur), dan dari Syam (utara) hingga Yaman (selatan), daulah ini dikenal dalam
sejarah dengan sebutan Daulah Su’udiyyah I. Pada tahun 1233 H/1818 M daulah ini
diporak-porandakan oleh pasukan Dinasti Utsmani yang dipimpin Muhammad ‘Ali
Basya. Pada tahun 1238 H/1823 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah II yang
diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Turki bin Abdullah bin Muhammad bin Su’ud,
dan runtuh pada tahun 1309 H/1891 M. Kemudian pada tahun 1319 H/1901 M berdiri
kembali Daulah Su’udiyyah III yang diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Abdul
‘Aziz bin Abdurrahman bin Faishal bin Turki Alu Su’ud. Daulah Su’udiyyah III
ini kemudian dikenal dengan nama Al-Mamlakah Al-’Arabiyyah As-Su’udiyyah, yang
dalam bahasa kita biasa disebut Kerajaan Saudi Arabia. Ketiga daulah ini
merupakan daulah percontohan di masa ini dalam hal tauhid, penerapan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan syariat Islam, keamanan,
kesejahteraan dan perhatian terhadap urusan kaum muslimin dunia (terkhusus
Daulah Su’udiyyah III). Untuk mengetahui lebih jauh tentang perannya, lihatlah
kajian utama edisi ini/Barakah Dakwah Tauhid.
Di Dunia Islam [22]
Dakwah tauhid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merambah dunia Islam, yang
terwakili pada Benua Asia dan Afrika, barakah Allah Subhanahu wa Ta’ala pun
menyelimutinya. Di Benua Asia dakwah tersebar di Yaman, Qatar, Bahrain,
beberapa wilayah Oman, India, Pakistan dan sekitarnya, Indonesia, Turkistan,
dan Cina. Adapun di Benua Afrika, dakwah Tauhid tersebar di Mesir, Libya,
Al-Jazair, Sudan, dan Afrika Barat. Dan hingga saat ini dakwah terus berkembang
ke penjuru dunia, bahkan merambah pusat kekafiran Amerika dan Eropa.
Pujian Ulama Dunia terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Dakwah
Beliau
Pujian ulama dunia terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya
amatlah banyak. Namun karena terbatasnya ruang rubrik, cukuplah disebutkan
sebagiannya saja. [23]
1. Al-Imam Ash-Shan’ani (Yaman).
Beliau kirimkan dari Shan’a bait-bait pujian untuk Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab dan dakwahnya. Bait syair yang diawali dengan:
Salamku untuk Najd dan siapa saja yang tinggal sana
Walaupun salamku dari kejauhan belum mencukupinya
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu (Yaman). Ketika mendengar wafatnya
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau layangkan bait-bait pujian
terhadap Asy-Syaikh dan dakwahnya. Di antaranya:
Telah wafat tonggak ilmu dan pusat kemuliaan
Referensi utama para pahlawan dan orang-orang mulia
Dengan wafatnya, nyaris wafat pula ilmu-ilmu agama
Wajah kebenaran pun nyaris lenyap ditelan derasnya arus sungai
2. Muhammad Hamid Al-Fiqi (Mesir).
Beliau berkata: “Sesungguhnya amalan dan usaha yang beliau lakukan adalah untuk
menghidupkan kembali semangat beramal dengan agama yang benar dan mengembalikan
umat manusia kepada apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur`an…. dan apa yang
dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta apa yang diyakini para
shahabat, para tabi’in dan para imam yang terbimbing.”
4. Dr. Taqiyuddin Al-Hilali (Irak).
Beliau berkata: “Tidak asing lagi bahwa Al-Imam Ar-Rabbani Al-Awwab Muhammad
bin Abdul Wahhab, benar-benar telah menegakkan dakwah tauhid yang lurus.
Memperbaharui (kehidupan umat manusia) seperti di masa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Dan mendirikan daulah yang mengingatkan
umat manusia kepada daulah di masa Al-Khulafa` Ar-Rasyidin.”
5. Asy-Syaikh Mulla ‘Umran bin ‘Ali Ridhwan (Linjah, Iran).
Beliau –ketika dicap sebagai Wahhabi– berkata:
Jikalau mengikuti Ahmad dicap sebagai Wahhabi
Maka kutegaskan bahwa aku adalah Wahhabi
Kubasmi segala kesyirikan dan tiadalah ada bagiku
Rabb selain Allah Dzat Yang Maha Tunggal lagi Maha Pemberi
6. Asy-Syaikh Ahmad bin Hajar Al-Buthami (Qatar).
Beliau berkata: “Sesungguhnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdi
adalah seorang da’i tauhid, yang tergolong sebagai pembaharu yang adil dan
pembenah yang ikhlas bagi agama umat.”
7. Al ‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani (India).
Kitab beliau Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, sarat akan pujian
dan pembelaan terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya.
8. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani (Syam).
Beliau berkata: “Dari apa yang telah lalu, nampaklah kedengkian yang sangat,
kebencian durjana, dan tuduhan keji dari para penjahat (intelektual) terhadap
Al-Imam Al Mujaddid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya dan mengaruniainya pahala–, yang telah
mengeluarkan manusia dari gelapnya kesyirikan menuju cahaya tauhid yang murni…”
9. Ulama Saudi Arabia.
Tak terhitung banyaknya pujian mereka terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab dan dakwahnya, turun-temurun sejak Asy-Syaikh masih hidup hingga hari
ini.
Penutup
Akhir kata, demikianlah sajian kami seputar Wahhabi yang menjadi momok di
Indonesia pada khususnya dan di dunia Islam pada umumnya. Semoga sajian ini
dapat menjadi penerang di tengah gelapnya permasalahan, dan pembuka cakrawala
berfikir untuk tidak berbicara dan menilai kecuali di atas pijakan ilmu.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Footnote :
Biografi beliau bisa dilihat pada Majalah
Asy Syari’ah, edisi 21, hal. 71.
Untuk lebih rincinya lihat kajian utama
edisi ini/Musuh-musuh Dakwah Tauhid.
Sebagaimana yang dinyatakan Ahmad Abdullah
Al-Haddad Baa ‘Alwi dalam kitabnya Mishbahul Anam, hal. 5-6 dan Ahmad Zaini
Dahlan dalam dua kitabnya Ad-Durar As-Saniyyah Firraddi ‘alal Wahhabiyyah, hal.
46 dan Khulashatul Kalam, hal. 228-261.
Sebagaimana dalam Mishbahul Anam.
Sebagaimana yang diterangkan pada kajian
utama edisi ini/Hubungan Najd dengan Daulah Utsmaniyyah.
Untuk lebih rincinya bacalah kitab
Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad
Asy-Syuwai’ir.
Sebagaimana yang dinyatakan Ibnu ‘Abidin
Asy-Syami dalam kitabnya Raddul Muhtar, 3/3009.
Termaktub dalam risalah Sulaiman bin
Suhaim.
Tuduhan Sulaiman bin Muhammad bin Suhaim,
Qadhi Manfuhah.
Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/143-171.
Ayah beliau, dan seorang ulama Najd yang
terpandang di masanya dan hakim di ‘Uyainah.
Paman beliau, dan sebagai hakim negeri
Usyaiqir.
Hafizh negeri Hijaz di masanya.
Seorang faqih terpandang, murid para ulama
Madinah sekaligus murid Abul Mawahib (ulama besar negeri Syam). Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab mendapatkan ijazah dari guru beliau ini untuk
meriwayatkan, mempelajari dan mengajarkan Shahih Al-Bukhari dengan sanadnya
sampai kepada Al-Imam Al-Bukhari serta syarah-syarahnya, Shahih Muslim serta
syarah-syarahnya, Sunan At-Tirmidzi dengan sanadnya, Sunan Abi Dawud dengan
sanadnya, Sunan Ibnu Majah dengan sanadnya, Sunan An-Nasa‘i Al-Kubra dengan
sanadnya, Sunan Ad-Darimi dan semua karya tulis Al-Imam Ad-Darimi dengan
sanadnya, Silsilah Al-‘Arabiyyah dengan sanadnya dari Abul Aswad dari ‘Ali bin
Abi Thalib, semua buku Al-Imam An-Nawawi, Alfiyah Al-’Iraqi, At-Targhib Wat
Tarhib, Al-Khulashah karya Ibnu Malik, Sirah Ibnu Hisyam dan seluruh karya
tulis Ibnu Hisyam, semua karya tulis Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani,
buku-buku Al-Qadhi ‘Iyadh, buku-buku qira’at, kitab Al-Qamus dengan sanadnya,
Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i, Muwaththa’ Al-Imam Malik, Musnad Al-Imam Ahmad,
Mu’jam Ath-Thabrani, buku-buku As-Suyuthi dsb.
Ulama besar Madinah di masanya.
Penulis kitab Kasyful Khafa‘ Wa Muzilul
Ilbas ‘Amma Isytahara ‘Ala Alsinatin Nas.
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab
bertemu dengannya di kota Madinah dan mendapatkan ijazah darinya seperti yang
didapat dari Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.
Ulama terkemuka daerah Majmu’ah, Bashrah.
Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al
Wahhabiyyah, hal. 119
Ibid, hal. 76.
Diringkas dari Haqiqatu Da’wah Asy-Syaikh
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab wa Atsaruha Fil ‘Alamil Islami, karya Dr. Muhammad
bin Abdullah As-Salman, yang dimuat dalam Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyyah
edisi. 21, hal. 140-145.
Diringkas dari Haqiqatu Da’wah Asy-Syaikh
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab wa Atsaruha Fil ‘Alamil Islami, karya Dr. Muhammad
bin Abdullah As Salman, yang dimuat dalam Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyyah
edisi. 21, hal.146-149.
Untuk mengetahui lebih luas, lihatlah
kitab Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal
Munshifin wal Mu`ayyidin, hal. 82-90, dan ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin
‘Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 2/371-474.