140 Ulama Saudi Ajak Umat
Waspadai Makar Syiah Iran di Negeri-Negeri Kaum Muslimin
17 Jan 2016 20:40
Arab Saudi – Tindakan-tindakan Iran di
negeri-negeri kaum Muslimin membuat para ulama Saudi menyatukan pendapat untuk
menghalau makar mereka. Terlebih, saat ini sanksi nuklir dari dunia
internasional telah dicabut dari pundak mereka. Untuk itu, para ulama bersepakat
membuat pernyataan untuk menolak kehadiran dan makar Iran di negeri-negeri kaum
Muslimin.
Sebanyak 140 ulama Saudi menandatangani
petisi yang dikeluarkan hari Sabtu 6 Rabiul Awal 1437 Hijriah atau 16 Januari
2016. Beberapa poin yang disebutkan dalam pernyataan tersebut di antaranya yait
Pertama: Campur tangan Syiah Iran atas kaum
Muslimin bisa jadi merupakan musibah yang dari Allah SWT. Untuk itu, umat Islam
harus segera bertaubat atas segala kesalahan yang diperbuat, serta meningkatkan
amar ma’ruf nahi munkar. Hal itu didasari firman Allah SWT Surat At-Taubah 126
dan Ali Imran 120.
Kedua: Himbauan untuk mewaspadai kalangan minoritas Syiah di negeri-negeri
kaum Muslimin. Dimana mereka berusaha untuk mengendalikan negara meskipun
dengan jumlah yang sedikit. Meskipun dalam lokal sebuah negara, agenda mereka
tetap melayani kepentingan Iran secara umum di luar negeri.
Ketiga: Harapan kepada
negara-negara Teluk untuk lebih berhati-hati dalam urusan intelijen, politik,
dan ekonomi Iran yang masuk ke negara mereka. Hal itu dapat menguatkan dominasi
Iran, sebagaimana yang pernah terjadi Kuwait dan Bahrain.
Keempat: Rezim
Iran berupaya sekuat tenaga untuk menancapkan pengaruh mereka di negeri-negeri
kaum Muslimin. Baik dari segi politik, militer, ekonomi, media, kemampuan
advokasi. Ini adalah bahaya yang perlu diwaspadai.
Kelima: Iran memiliki proyek untuk menuntut hak-hak minoritas mereka di
seluruh negara. Untuk itu perlu dijalin kerjasama antar para ulama untuk
membentengi umat dari bahaya dominasi dan pemikiran mereka.
Keenam: Ajakan
kepada umat Islam untuk mengungkap kejahatan-kejahatan mereka di setiap negara
yang ditempati, semisal pemblokiran di Madaya dan Zabadani.
Ketujuh: Ajakan untuk
memberikan dukungan kepada kaum Sunni yang tinggal di Iran. Dimana mereka
menjadi minoritas di dalamnya.
Kedelapan: Mengungkap agresi yang dilakukan
Iran di beberapa negara, kemudian memberi dukungan kepada kaum Muslimin yang
tinggal di dalamnya.
Kesembilan: Para ulama memberikan apresiasi atas tindakan Arab Saudi dan
beberapa negara yang telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Kemudian
mengingatkan bahwa perseteruan tersebut bukan sebatas perseteruan politik
tetapi perseteruan yang berlandaskan agama.
Terakhir, para ulama mengingatkan bahwa
sistem pemerintahan Safawi Iran ini adalah pendendam dan membawa benih-benih
kehancuran. Maka dari itu, mereka tidak ingin ada orang lain yang berkuasa di
luar mereka.
Adapun 140 ulama yang menandatangani
pernyataan itu adalah:
1. Sheikh / Dr. Abdullah bin Mohammed Al-Ghunaiman
2. Sheikh / Dr. Mohammed bin Nasser As-Suhaibani
3. Sheikh / Dr. Abdullah Bin Hamad Al-Jalali
4. Sheikh / Dr. Sulaiman bin Wail At-Tuwaijri
5. Sheikh Al-Ustadz Dr. Suud bin Abdullah Al-Fanisani
6. Sheikh Al-Ustadz Dr. Nasser bin Sulaiman Al-Omar
7. Sheikh / Dr. Abdurrahman bin Saleh Al-Mahmoud
8. Sheikh Al-Ustadz Dr. Ali bin Saeed Al-Ghamidi
9. Sheikh Said bin Abdullah Al-Humaid
10. Sheikh Ahmed bin Abdullah Ali Syaiban Al-Asiri
11. Sheikh Ahmed bin Hassan Ali Abdullah
12. Sheikh / Dr. Ahmed bin Abdullah Al-Zahrani
13. Sheikh / Dr. Mohammed bin Said Al-Qahtani
14. Sheikh / Dr. Abdul Aziz bin Abdul Muhsin At-Turki
15. Sheikh / Dr. Ali Omar Ahmed Badahdah
16. Sheikh / Dr. Khaled bin Abdullah Al-Shamrani
17. Sheikh / Dr. Hassan Bin Saleh Al-Hamid
18. Sheikh / Dr. Khalid bin Abdul Rahman Al-‘Ajimi
19. Sheikh Al-Ustadz Dr. Sulaiman bin Qasim Al-‘Iid
20. Sheikh / Dr. Abdullah bin Omar Ad-Dumaiji
21. Sheikh / Dr. Mohammed bin Musa al-Sharif
22. Sheikh / Dr. Walid bin Utsman Ar-Rasywadi
23. Sheikh / Dr. Nasser bin Yahya Al-Hunaini
24. Sheikh / Dr. Ibrahim bin Abkar Abbas
25. Sheikh / Dr. Abdulhamid bin Abdullah Al-Wabil
26. Sheikh Osman bin Abdurrahman Al-Utsaim
27. Sheikh Ibrahim bin Khaddran Az-Zahrani
28. Sheikh Ibrahim bin Abdulrahman Al-Turki
29. Sheikh / Dr. Mohammed bin Abdullah Al-Khudairi
30. Sheikh Saad bin Nasser al-Ghannam
31. Sheikh Dr. Abdullah bin Nasser Al-Sabeeh
32. Sheikh / Dr. Musfir bin Abdullah Al-Bawardi
33. Sheikh / Dr. Abdullah bin Nasser Al-Sulaiman
34. Sheikh / Ibrahim bin Muhammad Akiri
35. Sheikh / Dr. Abdul Latif bin Abdullah Al-Wabil
36. Sheikh / Dr Mubarak bin Abdulaziz Al-Zahrani
37. Sheikh / Dr. Abdarahman bin Hamad Al-Tamami
38. Sheikh / Dr. Abdurrahman bin Jamil Qashash
39. Sheikh / Dr. Khalid bin Mohammed Al-Majed
40. Sheikh / Dr. Abdullah bin Abdurrahman Al-Watbani
41. Sheikh Ahmed bin Harban Al-Maliki
42. Sheikh / Dr. Ahmed bin Hamad Al Abdul Qadir
43. Sheikh / Ahmed bin Mohammed Bathv
44. Sheikh / Dr. Mohammed bin Suleiman Al-Barrak
45. Sheikh / Dr As’ad bin Saeed Al Shahrani
46. Sheikh Ismail bin Ahmed Ali Abdullah
47. Sheikh / Dr. Badawi bin Ali Al-Zahrani
48. Sheikh Basyir bin Ali Asy-Syaikhi
49. Sheikh Jammaz bin Abdurrahman Al Jammaz
50. Sheikh Hassan bin Abdullah Al-Qu’ud
51. Sheikh Khalid bin Khalf Al-Ghamidi
52. Sheikh Saad bin Mohammed Al-Ghamdi
53. Sheikh / Dr. Hussein bin Saeed Asiri
54. Sheikh / Dr. Hamad bin Abdullah Al-Jumah
55. Sheikh Mubarak bin Atiyah Al-Zahrani
56. Sheikh / Dr. Suleiman bin Abdullah Ghafis
57. Sheikh / Dr. Hamoud bin Abdulaziz At-Tuwaijri
58. Sheikh / Dr. Satar bin Sawad Al-Ju’aid
59. Sheikh / Saad bin Ali Al-Amiri
60. Sheikh / Dr. Saud bin Yusuf Al-Khamas
61. Sheikh / Ali bin Ahmed Dubeis al-Zahrani
62. Sheikh / Dr. Sulaiman bin Ali Al Saud
63. Sheikh / Dr. Saleh bin Abdullah Al-Hadzlul
64. Sheikh / Dr. Tariq bin Ahmed Al-Faruq
65. Sheikh / Dr. Mohammed bin Shamil As-Sulami
66. Sheikh / Dr. Abdulaziz bin Abdullah Al-Mubaddil
67. Sheikh / Dr. Abdullah bin Mohammed Al-Nasser
68. Sheikh / Dr. Mohammed bin Saleh Al-Muqbil
69. Sheikh Ghaseb bin Mubarak Al-Ghamidi
70. Sheikh Salih bin Abdullah bin Mohammed Al-Ghamidi
71. Sheikh / Dr. Abdul Aziz bin Humaid Al-Juhani
72. Sheikh / Dr. Abdul Aziz bin Mohammed Al Ajlan
73. Sheikh Abdullah bin Ahmed Abu Husain
74. Sheikh Abdullah bin Tuwairis At-Tuwairisy
75. Sheikh Abdullah bin Abdulaziz Al-Mubrid
76. Sheikh / Dr. Abdullah bin Faisal Alu Ranan
77. Sheikh Abdullah bin Mohammed Al-Baridi
78. Sheikh / Dr Abdullah bin Abdul Karim Al-Khanaya
79. Sheikh Abdullah bin Mohammed Al-Qu’ud
80. Sheikh / Dr. Abdul Malik bin Misfer al-Maliki
81. Sheikh / Dr. Abdurrahman bin bin Saleh Ad-Dhahiri
82. Sheikh / Dr. Atiyah bin Ibrahim Al-Ghubaisy
83. Sheikh Ali bin Ibrahim Al-Mahisy
84. Sheikh / Dr. Fauzi bin Hamad Al Subhi
85. Sheikh Mohammed bin Saleh Al-Ali
86. Sheikh Mohammed bin Suleiman Al Masoud
87. Sheikh Saeed Bin Ali Bbin Dalih Alu Meshal
88. Sheikh Mohammed bin Abdulaziz Ghufeili
89. Sheikh / Dr. Mohammed bin Abdulaziz Al-Luhaim
90. Sheikh / Dr. Mas’ud bin Mushabab Alu Ja’sham
91. Sheikh Abdullah bin Hamad Al-Zaidani
92. Sheikh Mohammed bin Sanad Az-Zahrani
93. Sheikh Fahad Bin Saleh Al-Ubaisi
94. Sheikh Mohammed bin Abdullah Alu Safran
95. Sheikh / Dr. Mohammed bin Abdul Aziz Al Majid
96. Sheikh Mohammed bin Ali Musmali
97. Sheikh Mohammed bin Awad Sarhani
98. Sheikh / Dr. Mohammed bin Fahd Al-Tuwaijri
99. Sheikh / Said bin Ahmed Alu Tsabit
100. Sheikh Fahd Bin Hussein Alu Hadi
101. Sheikh / Dr. Mohammed bin Marzouq Al-Haritsi
102. Sheikh Hamoud bin Dhafer Asy-Syahri
103. Sheikh Abdul Aziz bin Muhammad An-Nughaimasi
104. Sheikh Mahmoud bin Ibrahim Al-Zahrani
105. Sheikh Mushabab bin Ahmed Al-Qahtani
106. Sheikh / Dr. Muwafaq bin Abdullah Kadsah
107. Sheikh Yahya bin Hussein Sharifi
108. Sheikh Bandar bin Mohammed Hamdan Al-Zahrani
109. Sheikh Khalid Mohammed Ibrahim Al-Baridi
110. Sheikh Mohammed bin Saleh Al-Ubaidi
111. Sheikh Shalih bin Abdullah Asy-Syamsani
112. Sheikh Hussein Mushabab Alu Ja’tsam
113. Sheikh Ahmed bin Saleh Al Khwaiter
114. Sheikh Walid bin Washal Al-Moghamesi
115. Sheikh Hisyam bin Saleh Adz-Dzakir
116. Sheikh Hassan bin Muhammad Al-Zahrani
117. Sheikh Abdullah bin Ghailan Al-Ghailan
118. Sheikh Mua’adz bin Abdullah Asy-Syamsani
119. Sheikh / Dr. Saleh Abdullah Al-Hadzlul
120. Sheikh Abdullah bin Musaid Al-Zahrani
121. Sheikh Mohammed bin Abdulaziz Al-Ghufeili
122. Sheikh Suleiman Bin Abdul Aziz Al-Mubarak
123. Sheikh Ahmed bin Sulaiman bin Saleh Al-‘Unaiz
124. Sheikh Ahmed Bin Abdullah Al-Rajihi
125. Sheikh Khalid bin Ibrahim Al-Ju’aitsan
126. Sheikh Ahmed bin Saleh Al Sam’ani
127. Sheikh Khadr bin Shami Al-Zahrani
128. Sheikh Abdul Rahman Abdullah Al-‘Iid
129. Sheikh Abdullah Mohammed Ibrahim Al-Baridi
130. Sheikh Ali bin Mohammed Ar-Raisani
131. Sheikh Hamdan bin Abdul Rahman Asy-Syarqi
132. Sheikh Saleh Bin Mohammed Al-Bahjah Al-Zahrani
133. Sheikh Abdullah bin Omar Al-Suhaibani
134. Sheikh Mohammed bin Suleiman Al-Yahya
135. Sheikh Abdul Malik bin Hamoud al-Tuwaijri
136. Sheikh Ahmed bin Hamed al-Zahrani
137. Sheikh Ahmed bin Abdullah Ar-Rubaish
138. Sheikh Sulaiman bin Abdullah Asy-Syamsyani
139. Sheikh Abdullah bin Abdul Karim Buhairi
140. Sheikh Atiyah bin Khadr Zahrani
Sumber: Al-Bayan
Penulis: M. Rudy
10 Poin Deklarasi Jakarta ( oleh Para Super Cendekiawan Syiah dan
Sepilis, Anti Salafi Wahhabi ! )
Dimotori tokoh-tokoh Syiah
dan Sepilis (sekularisme, pluralisme,dan liberalisme). Terkesan corong
syiah dan menyerang Salafi/Wahabi ! ( red. lamurkha )
“Islamic Scholar Calls For Muslim Unity”
Pertemuan Cendekiawan Muslim yang difasilitasi oleh
KAHMI NASIONAL dan Universal Justice Network, dengan tema: “Islamic Scholar
Calls for Muslim Unity”, Minggu 4 Mei 2014 di Gedung RNI Jakarta menghasilkan
10 poin Deklarasi Jakarta. Dalam Pertemuan tersebut hadir Prof. DR. Laode M.
Kamaluddin (Ketua Majelis Pakar KAHMI), DR. Anies Baswedan (Presidium KAHMI),
DR. Muh Imam Asi (Institute of Contemporary Islamic Thought, Washington DC),
Dr. Muhideen Abdul Kadir (Citizen International, Kuala Lumpur), DR. Massoed
Sadjareh (Islamic Human Right Comission, London), Bapak AM Fatwa, Dr. Saleh
Khalid, Dr. Kurtubi (NASDEM), Ir. Subandrio (Sekjen KAHMI), Dr.Haidar Bagir,
Prof. Hermansyah, Dr. Husain Heriyanto, dan ratusan dosen beserta aktivis
muslim ( anti salafi wahhabi ) lainnya. (keblinger)
10 poin Deklarasi Jakarta dibacakan oleh Prof. DR.
Laode M. Kamaluddin (Ketua Dewan Pakar KAHMI), dan Dr. Imam Muh Al Asi
(Mufassir ? dan Cendekiawan Muslim dari Washington DC).
Berikut isi Deklarasi Jakarta dalam dua versi bahasa,
Inggris dan Indonesia:
Versi
Bahasa Inggris
Jakarta
Declaration on Muslim Unity
Bismillahirrahmanirrahim
Whilst praising and hoping for the pleasure of Allah
Almighty, greeting and blessing the lord of the Prophet Muhammad along with his
family and companions
Whilst recognizing that Allah create mankind peoples
and tribes that they may know one another
And recognizing that no one is more noble or superior
than others except for his acquaintance, faith, and good deed
And recognizing that the Prophet Muhammad was sent to
enhance human morality, bring message of justice and peace, and spread love and
compassion
And strongly condemning the growing of sectarian
hatred virus and internal conflict within the Islamic Ummah which has been
claiming many innocent victims in various parts of the world, especially in the
Muslim majority countries such as in West and South Asia
And understading that the virus is now spreading to
South East Asian nations, including Indonesia and Malaysia
We, Muslim scholars, agree to the points in this
declaration to counter and remove sectarian hatred virus and violence and
further escalation of internecine conflict within Muslim society:
1. We state that killing fellow human beings based on
colour, creed, ethnicity and religion is Haram and against the Syariah;
2. We endorse the definition of Muslim according to
the Amman Message declaration
3. We state that the differences within the Ummah
should never lead to issuing “takfir” against fellow Muslims, and if it does
lead to issuing “takfir” we declare such action to be Haram and against the
Syariah.
4. We state that all dissent among Muslims should be
resolved by dialogue and consensus as well as respecting the honor of one
another.
5. We will jointly and actively establish and maintain
relationships between our different schools and organisations as well as
attending each other’s events and programmes as a way to establish, maintain
and develop brotherhood.
6. We will promote and maintain harmony between all
groups of Muslim through print, electronic and social media networks.
7. We recommend that the schools should develop their
syllabus and curriculum which is promoting peace, brotherhood and unity among
all members of Muslim society.
8. We urge the government to develop and implement the
legislation combating hate speech and push for more effective prosecution of
violations of such legislation.
9. We realize that the sectarian conflict is a trap
aimed to weaken Muslim Ummah, and we have to enlighten the Ummah of the trap.
10. We will actively mediate all disputing groups of
Muslim so that they can reconcile with each other.
And hold firmly to
the rope of Allah all together and do not become divided. And remember the
favor of Allah upon you – when you were enemies and He brought your hearts
together and you became, by His favor, brothers. And you were on the edge of a
pit of the Fire, and He saved you from it. Thus does Allah make clear to you
His verses that you may be guided. (Quran 3:103)
Jakarta, May 4th 2014
Versi
Bahasa Indonesia
DEKLARASI
JAKARTA TENTANG “PERSATUAN UMAT ISLAM”
Bismillahirrahmanirrahim
Seraya bersyukur dan berharap keridaan Allah Yang Maha
Kuasa, dan menyampaikan salawat serta salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW,
keluarga, dan sahabatnya.
Seraya mengakui bahwa Allah menciptakan manusia
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal.
Dan mengakui bahwa tak ada seorang pun yang lebih
mulia dan utama daripada lainnya, kecuali karena ilmu, iman, dan amal baik.
Dan mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW telah diutus
untuk menyempurnakan akhlak manusia, membawa pesan keadilan dan perdamaian,
serta menyebarkan cinta dan kasih sayang.
Dan tegas mengutuk berkembangnya virus kebencian
sektarian dan konflik internal di dalam Umat Islam yang telah menelan banyak
korban tak berdosa di banyak belahan dunia, khususnya di negeri-negeri
berpenduduk mayoritas Muslim seperti di Asia Selatan dan Barat.
Dan memahami bahwa virus kebencian itu kini sedang
menyebar ke negeri-negeri Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia.
Karena itu, kami, para cendikiawan muslim, sepakat
kepada poin-poin dalam deklarasi ini untuk menghadapi dan menghapuskan virus
kebencian sektarian dan meluasnya konflik internal di dalam Umat Islam :
1. Kami menyatakan bahwa pembunuhan terhadap sesama
manusia berdasarkan warna kulit, keyakinan, etnis, dan agama adalah Haram dan
bertentangan dengan Syariah.
2. Kami mendukung definisi Muslim sesuai dengan
deklarasi “Pesan Amman”. ( silahkan baca apa isi /maksud deklarasi aman di lamurkha. pelajari juga pendapat ulama salaf terkait kafirnya syiah )
3. Kami menyatakan bahwa perbedaan di internal Umat
tidak boleh berujung pada pernyataan “kafir” dan “sesat” terhadap sesama
Muslim, dan jika itu yang terjadi maka kami menyatakan perbuatan itu
(menyatakan “kafir” dan “sesat”) Haram dan bertentangan dengan Syariah.
4. Kami menyatakan bahwa semua perbedaan di antara
Muslim harus diselesaikan dengan dialog dan konsensus seraya tetap menjaga
kehormatan satu sama lain.
5. Kami akan aktif bersama-sama membangun dan menjaga
hubungan di antara mazhab serta organisasi Islam yang berbeda dan menghadiri
kegiatan satu sama lain sebagai cara membangun, menjaga, dan mengembangkan
persaudaraan.
6. Kami akan mempromosikan dan menjaga harmoni di
antara semua kelompok Muslim melalui media cetak, elektronik dan media sosial.
7. Kami merekomendasikan agar sekolah-sekolah
mengembangkan silabus dan kurikulum yang mendorong perdamaian, persaudaraan,
serta persatuan di antara semua anggota masyarakat Muslim.
8. Kami mendesak Pemerintah untuk mengembangkan dan
mengimplementasikan undang-undang yang memerangi ujaran kebencian dan mendorong
pemidanaan yang lebih efektif terhadap pelanggaran atas undang-undang tersebut.
9. Kami menyadari bahwa konflik sektarian adalah
jebakan yang bertujuan untuk melemahkan Umat Islam, dan kami harus mencerahkan
Umat tentang jebakan itu.
10. Kami akan aktif memediasi semua kelompok Muslim
yang berselisih agar bisa melakukan rekonsiliasi.
Jakarta, 4 Mei 2014
Para Super Cendekiawan Sepilis dan Syiah silahkan baca
artikel dibawah ini :
Mengapa Syiah Menggunakan Istilah Takfiri-Wahabi?
Kelompok Takfiri sebenarnya Syiah, Kelompok Radikal Jika Merujuk Definisi BNPT
Mengapa Syiah Menggunakan Istilah Takfiri-Wahabi?
Syiah – Grup Takfiri Terbesar Dunia. Kejahatan Syi'ah
Khomeini Dan Iran
Syi’ah Ada Dibalik Isu Anti-Wahabi Untuk Pecah Belah
Umat Islam
Impian Mempersatukan Sunni-Syiah, Tanggapan Atas
Tulisan Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin M.A. Jangan (Mau) Diperdaya
Ayatullah Iran. Juga Inkonsistensi Metode Kritik Hadisnya ?
Sebelum Ada “ Tuduhan Wahabi ( Salafi ) “ , Sejak Abad
14 H Kejahatan Takfiri Syiah Mendominasi Sejarah Islam ! Hegemoni Syi’ah Sejak
Hasan Al ‘Askari ( Imam Ke-11).
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/11/sebelum-ada-tuduhan-wahabi-salafi-sejak.html
Taqrib Sunni – Syiah Gagasan Usang Yang Diulang. Pengakuan Syeikh Al-Qaradhawi: ‘Iran Menipu Saya’
Syiah Di Indonesia Kedepankan Strategi Taqrib, Waspadalah!
MUI: Akidah Sebagai Landasan Perbedaan Antara Sunni Syiah
Masukan Untuk Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin Terkait Risalah Amman
Risalah Amman dan Kampanye Politis Syiah
Penodaan Syiah Terhadap Mazhab Fikih Ja’fari
Dosa Dosa Besar Para Penanda Tangan Risalah Amman !
“Wahabi”, Black propaganda dan aroma “Syiah Rafidhah”
Iran Dinilai Jadikan Isu Radikalisme Sebagai Palu
Godam Halangi Syiahisasi di Indonesia
Indonesia Dicaplok Syi'ah Iran Untuk Menggayang
Radikalisme
Bertambah Lagi Negara Islam ( Ahlus Sunnah ) Di
Acak-Acak Teroris Takfiri Syiah : Somalia ! Indonesia ?
Penerbit Mizan Terbitkan Karya Ulama Penghujat Para
Sahabat
Melawan Takfirisme: Menghukum Pelakunya
“Situasinya
makin memburuk dari tahun lalu kami datang ke Indonesia…”
Kekhawatiran
banyak kalangan akan bahaya takfirisme (mengkafirkan selainnya) yang makin
mengancam bangsa Indonesia bukan omong kosong belaka. Tak hanya banyak
cendikiawan Indonesia, Dr. Massoed Sadjareh, Direktur Islamic Human Right
Comission London juga ikut menyuarakan kekhawatiran ini.
Saat ABI
Press wawancarai Dr. Massoed Sadjareh yang menjadi salah satu pembicara dalam
Diskusi Publik bertema Islamic Scholar Gathering on Muslim Unity di gedung RNI
Jakarta, Minggu (4/5), Massoed menyebutkan jika hal ini dibiarkan, dan
pemerintah tidak bertindak tegas menegakkan hukum, situasi akan semakin
memburuk. Indonesia bisa menjadi Irak-Suriah jilid dua.
Dalam Diskusi
Publik yang diadakan oleh Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) ini,
Presidium KAHMI, Anies Baswedan menekankan, dalam situasi seperti sekarang,
penegakan hukum mesti menjadi prioritas utama.
“Negara ini
dirancang tidak untuk melindungi minoritas atau mayoritas,” ujar Anies. “Siapa
saja yang melanggar hukum ya harus dihukum. Apalagi yang merobek tenun
kebangsaan. Itu mesti jadi prioritas dan harus segera ditindak!”
Pemerintah Harus Tegas ( Larang Syiah ! )
Sekjen KAHMI,
Ir. Subandrio, juga menengarai masalah utama maraknya takfirisme dan tindak
kekerasan ini ada pada loyonya penegakan hukum. “Kalau penegakan hukum
dilakukan dengan baik, orang akan berpikir dua kali untuk melakukan kekerasan,”
ujarnya.
Menanggapi
kasus pemukulan terhadap wartawan ABI Press di Bandung pada acara Deklarasi
Aliansi Nasional Anti Syiah (20/4) lalu, Subandrio sangat menyayangkan hal itu.
“Ini akan memperburuk citra pers Indonesia di mata Dunia. Pemerintah harus
tegas menindak pelakunya.”
( Penghina/penghujat Istri/Sahabat Nabi )
( Penghina/penghujat Istri/Sahabat Nabi )
Sementara
Massoed Sadjareh menilai, aksi kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh
panitia Deklarasi Nasional Aliansi Anti Syiah di Bandung atas wartawan ABI
Press tersebut merupakan wujud dari apa yang disebutnya “politic of fear.” Dia
menilai, ini adalah bukti bahwa aliansi pengkafiran yang dideklarasikan di
Bandung ini bermasalah. ( ketahuan corong syiah )
“Mereka tahu
apa yang mereka lakukan itu salah. Karena itu mereka berusaha mencegah wartawan
agar informasi tentang hal itu tidak tersebar,” ujar Massoed. “Orang yang dalam
posisi benar, ia tentu tidak akan takut pada wartawan, kan?”
Kuncinya,
menurut Massoed, tak hanya pemerintah harus tegas menegakkan hukum, tetapi
seluruh elemen bangsa juga harus bersatu padu melawan arus takfirisme ( syiah ! ) ini.
(Muhammad/Yudhi)
KAHMI Jember Tolak Klaim Kang Jalal bahwa HMI Turut Sebarkan Syiah
Furqan – Kamis, 20
Syawwal 1433 H / 6 September 2012 12:40 WIB
Anggota Presidium Korps
Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Kabupaten Jember, Moch. Eksan, mengecam
Jalaluddin Rakhmat yang menyebut HMI ikut menyebarkan paham Syiah secara
sistematis.
Dalam wawancara dengan
Tempo.Co, 3 September 2012, lalu Kang Jalal yang merupakan Ketua Dewan Syuro
ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) ini menyatakan, kelompok Syiah
pertama kali muncul di Bandung.
“Lalu Syiah masuk ke HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam) dan mulai tersebar ke kampus di daerah lain. Aktivis
HMI menyebarkan ajaran Syiah secara sistematis, yakni melalui pelatihan
kepemimpinan,” katanya.
Pernyataan ini memantik
reaksi aktivis HMI Kabupaten Jember. Eksan menyebut pernyataan Jalaluluddin ini
meresahkan kalangan HMI. Ia khawatir, pernyataan ini justru dijadikan ajang
kampanye hitam untuk menyudutkan HMI dan mempersulit perekrutan kader.
“Apa alasan, Kang Jalal
mengeluarkan pernyataan tersebut? Saya yakin banyak aktivis maupun alumni HMI
bingung. Kok tiba-tiba HMI yang tak ada hubungannya dengan merebaknya konflik
Sunni-Syiah di beberapa tempat di Tanah Air, dikait-kaitnya dengan penyebaran
Syiah secara sistematis di berbagai kampus?” kata Eksan, yang juga dikenal
sebagai aktivis muda Nahdlatul Ulama ini.
Eksan mengingatkan, HMI
jelas-jelas bukan Syiah. “HMI merupakan organisasi kemahasiswaan yang
menggotong visi dan misi keislamaan dan keindonesiaan sekaligus, dulu, kini dan
nanti. HMI sebagai organisasi kader yang berasas Islam tak pernah secara
ideologis dan administratif menyebut Islam Syiah satu kata pun,” katanya.
Dalam Nilai Dasar
Perjuangan (NDP) HMI yang ditulis Nurcholish Madjid, tak sedikit pun
mencerminkan paham Syiah. Tak ada satu pun bab di NDP yang menguraikan paham
Syiah secara eksplisit maupun implisit. “NDP memuat dasar-dasar kepercayaan,
pengertian-pengertian dasar tentang kemanusiaan, kemerdekaan manusia (ikhtiar),
dan keharusan universal (takdir), Ketuhanan Yang Maha Esa dan Perikemanusiaan,
individu dan masyarakat, keadilan sosial dan keadilan ekonomi, kemanusiaan dan
ilmu pengetahuan, kesimpulan dan penutup,” kata Eksan.
Eksan menyebut Kang
Jalal tak memiliki pengetahuan cukup soal HMI. “Jelas sekali pernyataan Kang
Jalal tak punya dasar sama sekali. Kayak, ‘orang mengigau’,” katanya.
“HMI adalah HMI, yang
bukan NU, bukan Muhammadiyah, bukan Al-Khairiyah, bukan Al-Irsyad, bukan
Persis, bukan Washliyah, bukan MMI, FPI, bukan JAT, bukan HTI, bukan IJABI, dan
bukan yang lainnya,” tegas pengasuh salah satu pondok pesantren ini.
Jika kemudian banyak
aktivis HMI yang menjadi aktivis organisasi keagamaan tertentu, itu persoalan
lain. “Itu bukti bahwa HMI merupakan organisasi kader yang dibutuhkan oleh umat
dan bangsa. Namun, semua menyadari, tak ada satupun yang berhak mengklaim
keberislaman HMI,” kata Eksan.(fq/beritajatim.com)
Sikap
Al-Azhar Mesir tentang ‘Taqrib’ Sunni-Syiah
Syaikh Qaradhawi dalam fatwanya juga meluruskan makna
‘Taqrib’ agar tidak menjadi bias dan kamuflase terhadap upaya penyebaran ajaran
Syiah. Baca juga sikap Qaradhawi soal Risalah Amman
Oleh: Fahmi Salim
BARU-BARU ini seiring pemberitaan kegiatan Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Konferensi Islam (OKI) ke-12 yang dilaksanakan
di Kairo ibukota Mesir dan turut dihadiri Presiden SBY, hasil
pertemuan Grand Syeikh Al-Azhar Mesir dengan Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad,
menjadi pusat perhatian umat Islam tak hanya di Mesir tetapi juga di dunia
Islam. Apalagi ditengah situasi yang menghangat soal relasi Sunni – Syiah pasca
Arab-Spring (revolusi dunia Arab), dan imbasnya sampai ke Indonesia dengan
kasus penodaan agama oleh Tajul Muluk, pemimpin Syiah di Sampang.
Dalam sebuah
pernyataan resmi ketika menerima kunjungan Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad,
di Masyikhatul Azhar pada hari Rabu 6 Februari 2013, Grand Syeikh Al-Azhar
Cairo, Prof. Dr. Ahmad Al-Tayyib mengatakan, “Meski para ulama besar Al-Azhar
terdahulu pernah terlibat di dalam berbagai konferensi persatuan Islam antara
Sunni dan Syiah guna melenyapkan fitnah yang memecah belah umat Islam, penting
saya garis bawahi bahwa seluruh konferensi itu nyatanya hanya ingin memenangkan
kepentingan kalangan Syiah (Imamiyah) dan mengorbankan kepentingan, akidah dan
simbol-simbol Ahlus Sunnah, sehingga upaya taqrib itu kehilangan kepercayaan
dan kredibilitasnya seperti yang kami harapkan. Kami juga sangat menyesalkan
celaan dan pelecehan terhadap para sahabat dan istri Nabi SAW yang terus
menerus kami dengar dari kalangan Syiah, yang tentu saja hal itu sangat kami
tolak. Perkara serius lainnya yang kami tolak adalah upaya penyusupan
penyebaran Syiah di tengah masyarakat Muslim di Negara-negara Sunni.”
Selain
itu Syeikh Al-Thayyib menyinggung kondisi memilukan Ahlus Sunnah di Iran yang
menurut beliau, “Banyak dari mereka yang mengadukan kepada kami kondisi dan
hak-hak mereka. Saya memandang, tidak boleh hak-hak warga Negara didiskriminasi
dan dikerdilkan seperti yang disepakati oleh system politik modern dan diatur
syariat Islam.”
(Sumber: http://onazhar.com/page2home2.php?page=3&page1=4&page2=2810)
Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan Grand Syeikh
Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad At-Thayyib, menyatakan seperti dilansir Koran Ahram
(09/11/2012) bahwa Al-Azhar menolak keras penyebaran ajaran Syiah di
negeri-negeri Ahlus Sunnah, karena hal itu akan merongrong persatuan dunia
Islam, mengancam stabilitas negara, memecah belah umat dan membuka peluang
kepada zionisme untuk menimbulkan isu-isu perselisihan mazhab di Negara-negara
Islam.
Selain
penolakan terhadap ekspor mazhab Syiah (Syiahisasi) ke negara-negara Sunni,
kaum Rafidhah berlindung di balik konsensus Deklarasi Amman untuk legitimasi
penyebaran Syiah. Risalah Amman yang selama ini selalu menjadi landasan bagi
Syiah menebarkan pengaruhnya bukanlah kesepakatan pembenaran atas penyimpangan
akidah.
“Risalah
Amman bukanlah cek kosong, Risalah Amman bukan pula kesepakatan pembenaran atas
keyakinan menyimpang Rafidhah, yaitu doktrin caci-maki kepada para pembesar
Sahabat dan isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam, apalagi pembenar doktrin
tahrif,” kata seorang pakar Syiah Prof. Mohammad Baharun, yang juga mengetuai
Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI. Solusi damai antara Syiah dan Sunni
justru dengan membuat jarak yang jelas dan tidak mengelabui umat. “Karena
perbedaannya bukan di ranah mazhab fiqih saja, melainkan keyakinan akidah,”
ujarnya. [baca: Pakar Syiah Indonesia Dukung Langkah Syeikh Al Azhar]
Risalah
Amman 2005 juga tidak mengikat seluruh ulama yang hadir. Faktanya adalah Syeikh
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi (Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional) yang ikut
tercantum namanya sebagai penandatangan Risalah Amman, telah merilis tiga fatwa
tentang Syiah Imamiyah di dalam kitab “Fatawa Mu’ashirah” jilid 4 yang terbit
pada tahun 2009. Dalam fatwanya, beliau membongkar kesesatan Syiah Imamiyah
dengan membentangkan pokok-pokok perbedaan akidah antara Ahlus Sunnah dan
Syiah, hukum mencaci para sahabat Nabi dan sikapnya tentang pendekatan (taqrib)
Sunni-Syiah pasca Muktamar Doha-Qatar tanggal 20-22 Januari 2007.
Tampak
dari fatwa Syeikh Al-Qaradhawi (2009) bahwa kaum Syiah masih dikategorikan
Muslim (seperti tertulis dalam Risalah Amman), tapi itu tidak berarti golongan
Muslim tersebut bersih dan terbebas dari kesesatan terutama dalah hal-hal pokok
akidah sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Qaradhawi.
Di dalam
fatwanya al-Qardhawi, yang juga anggota dewan tinggi ulama senior (‘Hai’ah
Kibar Ulama’) Al-Azhar menegaskan sikapnya terhadap gagasan ‘Taqrib’,
“Sesungguhnya
sejak saya ikut serta di dalam Muktamar Pendekatan Madzhab (Taqrib), saya telah
menemukan beberapa poin penting yang membuat pendekatan ini tidak akan terjadi
jika poin-poin ini diabaikan atau tidak diberikan hak-haknya. Semua ini telah
saya jelaskan dengan sejelas-jelasnya pada saat kunjungan saya ke Iran 10 tahun
yang silam. Di sini saya hanya mengacu kepada 3 perkara:
Pertama,
kesepakatan untuk tidak mencerca para sahabat. Karena kita tidak bisa
dipertemukan atau didekatkan jika masih seperti itu. Karena saya mengatakan:
Semoga Allah meridhai mereka (para sahabat), sedangkan engkau (Syi’ah) berkata:
Semoga Allah melaknat mereka. Sedangkan antara kata ridha dan laknat memiliki
perbedaan yang sangat besar.
Kedua, dilarang menyebarkan sebuah madzhab di sebuah daerah yang dikuasi oleh
madzhab tertentu. Atau seperti yang dikatakan oleh Syeikh Muhammad Mahdi
Syamsuddin dengan istilah pengsyi’ahan (ekspor madzhab Syi’ah ke negara lain).
Ketiga, memperhatikan hak-hak minoritas, terutama jika monoritas tersebut
adalah madzhab yang sah.
Inilah
sikap saya. Saya tidak akan menjadi penyeru kepada ‘peleburan prinsip’ atau
menjadi orang-orang yang berhamburan kepada usaha taqrib (pendekatan Sunni –
Syi’ah) tanpa syarat dan ketentuan. Karena saya melihat bahwa muktamar ini
hanya seremonial saja. Akan tetapi tidak memecahkan akar permasalahannya dan
tidak ada ujung pangkalnya. Muktamar tersebut hanya sebatas basa basi dan tidak
menghasilkan apa-apa setelahnya. Saya putuskan bahwa saya harus menjelaskan
sesuatu yang ada di dalam diri saya kepada seluruh kaum Muslimin. Saya tidak
akan menyembunyikan sesuatu yang dianggap penting di dalam (menjaga) muamalah.
Hal ini lah yang dituntut oleh sifat amanah dan tanggung jawab dan perjanjian
yang telah diambil oleh Allah terhadap para ulama, ”Hendaklah kamu benar-benar
menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu
menyembunyikannya,” (QS Ali Imran [03]: 187).”
Syeikh
Qaradhawi menceritakan pengalaman bahwa taqrib di dunia Islam hanya
menguntungkan pihak Syiah, yang mendukung pernyataan Grand Syeikh Al-Azhar saat
ini Prof. Ahmad Al-Thayyib;
“Pada
tahun 60-an yang lampau, Syeikh Mahmud Syaltut sebagai Grand Syeikh Al-Azhar
telah mengeluarkan sebuah fatwa yang membolehkan beribadah dengan memakai
madzhab Ja’fari. Dengan alasan di dalam pembahasan fikihnya lebih mendekati
kepada Madzhab Ahlu Sunnah, kecuali ada perbedaan sedikit saja yang tidak
menjadi alasan untuk melarang beribadah dengan memakai madzhab Ja’fari secara
keseluruhan, seperti dalam hal shalat, puasa, zakat, haji dan muamalah. Akan
tetapi fatwa ini tidak pernah dibukukan dalam Himpunan Fatwa Syaltut. Fatwa
Syaikh Syaltut ini sebagaimana yang disebutkan tidak merambah ke permasalahan
akidah dan ushuluddin (pokok-pokok agama Islam) yang di dalamnya mengandung
perbedaan yang sangat jelas antara Ahlu Sunnah dengan Syi’ah. Contohnya dalam
hal imamah, 12 imam Syi’ah, kemaksuman imam, pengetahuan mereka terhadap hal
gaib dan kedudukan mereka yang tidak ada yang bisa mencapainya walaupun oleh
malaikat yang sangat dekat (dengan Allah SWT) dan tidak juga oleh nabi yang
diutus. Mereka beranggapan bahwa masalah ini adalah masalah penting yang
termasuk masalah ushuluddin. Tidak sah iman dan Islam seseorang kecuali dengan
mengimani masalah ini. Orang yang menolaknya dianggap kafir, akan kekal di
neraka. Juga contoh lainnya yaitu akidah orang-orang Syi’ah terhadap para
sahabat dan hal-hal lainnya yang mereka anggap sebagai pokok-pokok agama
mereka.
Di
samping itu, kami belum pernah menemukan ada orang Syi’ah yang membalas
kebaikan dengan kebaikan atau ada yang menjawab salam dengan jawaban yang lebih
baik atau dengan salam serupa. Sebab tidak ada dari para ulama senior Syi’ah
yang selevel dengan Syaikh Syaltut di kalangan Ahlu Sunnah, baik yang berada di
Qum maupun di Najaf yang mengeluarkan fatwa bagi para pengikutnya bahwa boleh
beribadah dengan menggunakan madzhab Ahlu Sunnah, meskipun mereka itu (Ahlus
Sunnah) tidak perlu hal ini.”
Syeikh
Qardhawi dalam fatwanya juga meluruskan makna ‘Taqrib’ agar tidak menjadi bias
dan kamuflase terhadap upaya penyebaran ajaran Syiah;
“Seluruh
peserta muktamar taqrib madzhab dan putusannya mengatakan bahwa pendekatan itu
(terjadi) antar madzhab di dalam Islam. Menurut saya bahwa maksud dari ungkapan
ini tidak pas. Karena kalimat madzhab telah menjadi istilah yang mapan bagi
madzhab fikih Sunni yang empat yang sudah dikenal, yaitu Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyyah dan Hanbaliyah. Kemudian ditambah dengan madzhab Zhahiriyah juga
Zaidiyyah, Ja’fariyyah dan Ibadhiyyah. Adapun perbedaan di antara
madzhab-madzhab ini hanya berkisar di dalam masalah furu’ dan amaliah yang
tidak sampai menyentuh permasalahan akidah, pokok-pokok keimanan dan ushuluddin
(pokok-pokok agama). Maka perbedaan dalam masalah furu, fikih atau ibadah
adalah bukan faktor yang berpengaruh di dalam hubungan antara Sunni dan Syi’ah.
Sangat penting digarisbawahi bahwa perbedaan antara Sunni dan Syi’ah adalah
perbedaan di dalam masalah akidah seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya
di dalam masalah pendekatan madzhab. Perbedaan dalam akidah inilah yang telah
menjadi penyebab tumbuhnya berbagai macam golongan, seperti Mu’tazilah,
Jabariyyah, Murji`ah, Syi’ah, Khawarij, Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Salafiyyah
dan lain-lainnya. Oleh karena itu, jika memungkinkan, aktifitas ‘Taqrib’ lebih
tepat disebut sebagai pendekatan antar golongan/firqah (akidah) dan bukan
pendekatan antar madzhab (fikih). Karena fikih tidak memerlukan pendekatan. Pun
jika kita permudah istilah dengan menyatakan madzhab-madzhab, maka yang kita
maksudkan disini adalah madzhab-madzhab akidah dan bukan mazhab-mazhab fikih.”
Lebih
jauh al-Qardhawi dalam fatwanya itu, mengungkapkan perbedaan mendasar dalam hal
pokok antara Sunni dan Syiah yang tak bisa disatukan.
“Contoh
perbedaan di dalam masalah akidah, yaitu khususnya di dalam masalah imamah.
Karena mereka (orang-orang Syi’ah) berkeyakinan bahwa imamah adalah pokok
akidah mereka dan termasuk ke dalam rukun akidah mereka. Sedangkan kita (Ahlu Sunnah)
menganggapnya hanya sebagai furu’ (cabang) saja dan bukan ushul; atau termasuk
amaliyah dan bukan sebagai akidah. Akan tetapi imamah di dalam ajaran Syi’ah
merupakan pokok ajaran mereka. Karena pokok ajaran mereka bersandar kepada:
Al-Washiyah (wasiat politik kepada Ali), Al-Imamah (kepemimpinan Ali dan
keturunannya), Al-Ghaibah (masa menghilangnya imam ke-12) dan Ar-Roj’ah
(kembalinya Al-Mahdi ke dunia sebelum kiamat untuk menumpas musuh-musuh imam
Ahlul Bait). Ajaran Syi’ah menyebutkan masalah imamah dengan sangat tegas.
Mereka mengatakan barangsiapa yang tidak beriman kepada imamah ini, maka tidak
dianggap sebagai orang yang beriman. Mereka juga mengatakan bahwa imamah ini
berasal dari Rasulullah SAW, yang dimulai dari Ali RA kemudian dikuti oleh sebelas
imam setelah Ali RA. Di dalam kitab Ushul Al-Kafi dari Abi Ja’far (Al-Baqir)
bahwasanya dia telah berkata, “Islam itu dibangun di atas 5 dasar: Shalat,
zakat, puasa, haji dan wilayah (kekuasaan). Tidak ada rukun yang lebih
ditekankan kecuali rukun al-wilayah ini. Akan tetapi manusia hanya mengambil
empat perkara dan mereka meninggalkan rukun ini, yaitu al-wilayah.” (Ushul
Al-Kafi, jilid 2 hal. 18).
Dari
Zurarah dari Abu Ja’far dia berkata, ”Islam itu dibangun di atas lima perkara:
Shalat, zakat, haji, puasa dan al-wilayah.” Zurarah berkata: Aku bertanya
kepadanya: ”Manakah di antara semua itu yang paling utama?” Abu Ja’far
menjawab, ”Al-wilayah lebih utama, karena al-wilayah adalah kunci dari semua
rukun itu.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 18). Al-Kulaini meriwayatkan dengan
sanadnya dari Ash-Shadiq (AS) bahwasanya beliau bersabda, ”Dasar Islam itu ada
tiga: Shalat, zakat dan al-wilayah. Tidak sah salah satu dari ketiga rukun ini
kecuali dengan menyertakan dua rukun lainnya.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal.
18).
Di dalam
masalah al-wilayah tidak ada rukhshah (keringanan). Dari Abu Abdullah dia
berkata,
”Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan lima perkara kepada umat Nabi Muhammad SAW: Shalat,
zakat, puasa, haji dan wilayah (pemerintahan) kami. Allah telah memberikan
keringanan di dalam rukun yang empat. Akan tetapi Allah tidak memberikan
keringanan kepada seorang muslim pun di dalam hal meninggalkan wilayah
(pemerintahan) kami. Tidak, demi Allah. Sesungguhnya tidak ada keringanan di
dalam masalah al-wilayah.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, ”Islam dibangun
atas: Bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bersaksi bahwasanya
Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa di bulan
ramadhan, melaksanakan ibadah haji ke baitullah dan wilayah (pemerintahan) Ali
bin Abi Thalib.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 21).
Bahkan
pada kenyataannya mereka (orang-orang Syi’ah) tidak hanya berpegang kepada
masalah al-wilayah (pemerintahan Ali) saja. Justru mereka melampauinya sampai
ke taraf uluhiyah (ketuhanan). Akhirnya mereka menganggap Ahlu Sunnah bukanlah
orang-orang yang beriman kepada Tuhan yang diimani oleh Syi’ah. Inilah salah
satu titik perbedaan yang paling mendasar. Ni’matullah Al-Jazairi (wafat 1212
H) misalkan di dalam kitab Al-Anwar An-Nu’maniyyah menulis tentang Ahlu Sunnah
wal Jama’ah, ”Sesungguhnya kami tidak bisa bertemu dengan mereka (Ahlu Sunnah)
di dalam satu tuhan dan tidak dalam satu nabi dan satu imam. Hal ini
dikarenakan mereka (Ahlu Sunnah) berkata, ”Sesungguhnya Rabb mereka adalah yang
Muhammad sebagai nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai khalifahnya. Akan tetapi kami
tidak mengatakan dengan tuhan ini dan tidak juga dengan nabi itu. Akan tetapi
kami mengatakan, ”Sesungguhnya tuhan yang khalifahnya (yang benar: Khalifah
nabinya) adalah Abu Bakar adalah bukan tuhan kami dan nabi itu juga bukan nabi
kami.” (Al-Anwar An-Nu’maniyah jilid 2 hal. 279, cetakan Yayasan Al-A’lami
Beirut Libanon).”
Demikian
uraian yang dapat penulis ketengahkan kepada pembaca sekalian mengenai sikap
institusi ilmiah terbesar Sunni yaitu Al-Azhar Al-Syarif melalui berbagai
pernyataan dan pemikiran fatwa para tokoh kuncinya yaitu Prof. Dr. Ahmad
Al-Thayyib dan Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi.
Pandangan
kedua tokoh Muslim terkemuka itu sangat patut dipertimbangkan oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan Daerah, tokoh-tokoh cendekiawan serta
Ormas-ormas Islam di Indonesia, bahkan oleh jajaran Pemerintah Republik
Indonesia untuk menyikapi perkembangan Syiah dan infiltrasinya melalui jalur
pendidikan dan beasiswa serta penerbitan yang menyerang ajaran Sunni di
Indonesia, agar kehidupan keagamaan berlangsung harmonis demi kokohnya NKRI
yang islami dan didukung seluruh elemen umat Islam.*
Komisi
Pengkajian MUI dan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar