Tulisan ini terinspirasi
dari Bedah Buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” yang
menghadirkan pembicara Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag, Dr. Muinudinillah
Basri, Lc., M.A., dan Zaitun Rasmin, Lc., M.A., Ahad Malam 15 Desember 2013 di
Masjid Kampus UGM.
Tradegi Sampang
telah membuka mata banyak orang di Indonesia tentang keberadaan Syiah. Selama
ini masyarakat tidak banyak yang paham tentang konsep-konsep pemikiran Syiah
dan menganggapnya hanya salah satu dari mahzab-mahzab yang berkembang di
tengah-tengah umat Islam. Berangkat
dari Tradegi Sampang yang melibatkan masyarakat Islam Sampang yang merupakan
pemeluk Sunni dan komunitas Syiah, telah menguatkan hati MUI Jawa Timur untuk
mengeluarkan fatwa sesat komunitas Syiah. Bahkan MUI Bali dan MUI NTB
bersepakat menguatkan fatwa MUI Jawa Timur untuk dinaikkan statusnya menjadi
fatwa MUI Pusat.
Sikap
taqiyyah yang memang menjadi salah satu prinsip hidup Syiah dan keberadaan
beberapa pimpinan MUI Pusat yang pro ataupun yang melihat Syiah sebagai
kelompok Islam biasa membuat proses penetapan fatwa Sesat bagi Syiah di
Indonesia menjadi sulit. Namun, tembok penghalang itu tak lantas menyusutkan
niat suara mayoritas di MUI Pusat untuk memberikan penerangan kepada umat
tentang hakikat Syiah. Maka, setelah melewati proses kajian cukup panjang dan
mendalam MUI Pusat mengeluarkan sebuah buku “Mengenal dan Mewaspadai
Penyimpangan Syiah di Indonesia”.
Paling
tidak ada 2 penyimpangan Syiah yang membuat mereka harus diwaspadai oleh umat
Islam Indonesia yang mayoritas adalah pemeluk Sunni: keyakinan bahwa alqur’an
yang dimiliki untuk kaum muslimin saat ini tidak otentik dan baru mencakup 1/3
alqur’an yang sebenarnya (menurut versi mereka) serta pengkafiran kepada para
sahabat utama seperti Abu Bakar dan Umar serta istri rasulullah Aisyah. Dua
keyakinan ini tentu saja telah meruntuhkan sendi-sendi Islam yang dibangun di
atas Al Qur’an dan peran para sahabat utama dalam penyebaran sunnah rasulullah
hingga sampai kepada umat Islam zaman ini.
Tak dapat
dipungkiri, kehadiran Syiah di Indonesia memiliki rekam sejarah yang cukup
panjang di Indonesia. Kerajaan Perlak di Aceh yang berdiri pada 840 M
disebut-sebut oleh beberapa sejarawan sebagai Kerajaan bermahzab Syiah.
Tradisi Tabot/Tabuik di pesisir Pariaman (Sumatera Barat) dan Bengkulu
yang sampai saat ini masih diperingati masyarakat setempat sebagai peringatan
kebudayaan termasuk bukti telah lamanya pengaruh Syiah di Indonesia.
Situs AcehPedia menyebutkan:
Sejarah
keislaman di Kesultanan Perlak tidak luput dari persaingan antara kelompok
Sunni dan Syiah. Perebutan kekuasaan antara dua kelompok Muslim ini menyebabkan
terjadinya perang saudara dan pertumpahan darah. Silih berganti kelompok yang
menang mengambil alih kekuasaan dari tangan pesaingnya.
Aliran
Syi’ah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, Arab, dan
Persia. Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak dengan dukungan
penuh dari dinasti Fatimiah di Mesir. Ketika dinasti ini runtuh pada tahun
1268, hubungan antara kelompok Syi’ah di pantai Sumatera dengan kelompok Syi’ah
di Mesir mulai terputus. Kondisi ini menyebabkan konstelasi politik Mesir
berubah haluan. Dinasti Mamaluk memerintahkan pasukan yang dipimpin oleh Syaikh
Ismail untuk pergi ke pantai timur Sumatra dengan tujuan utamanya adalah
melenyapkan pengikut Syi’ah di Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai.
Sebagai
informasi tambahan bahwa raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, Marah Silu
dengan gelar Malikul Saleh berpindah agama, yang awalnya beragama Hindu
kemudian memeluk Islam aliran Syiah. Oleh karena dapat dibujuk oleh Syaikh
Ismail, Marah Silu kemudian menganut paham Syafii. Dua pengikut Marah Silu,
Seri Kaya dan Bawa Kaya juga menganut paham Syafii, sehingga nama mereka
berubah menjadi Sidi Ali Chiatuddin dan Sidi Ali Hasanuddin. Ketika berkuasa
Marah Silu dikenal sebagai raja yang sangat anti terhadap pemikiran dan
pengikut Syi’ah.
Aliran
Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak, yaitu pada masa pemerintahan sultan
ke-3, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah. Setelah ia meninggal pada tahun
363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni, yang
menyebabkan kesultanan dalam kondisi tanpa pemimpin. Pada tahun 302 H (915 M),
kelompok Syiah memenangkan perang. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah
dari aliran Syiah kemudian memegang kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4
(915-918). Ketika pemerintahannya berakhir, terjadi pergolakan antara kaum
Syiah dan Sunni, hanya saja untuk kali ini justru dimenangkan oleh kelompok
Sunni.
Menurut
penjelasan Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc. M.Ag, kata “Oyak Hussein” yang
diteriakkan oleh para pengusung Tabuik di Pariaman bukanlah berarti “Goyang
Hussein” (dalam bahasa Minang Oyakberarti Goyang), tetapi
berasal dari penyerapan bahasa Arab Hayyayang
berarti Hidup.
Selain
itu, beberapa kalangan menyebutkan beberapa tradisi NU mendapatkan pengaruh
dari Syiah.
Dalam masyarakat NU, pengaruh Syi’ah yang cukup kuat di
dalamnya, secara jelas diakui oleh Dr. Said Aqil Siraj Wakil Katib Syuriah
PBNU. Atau dalam kata-katanya: ” Harus diakui pengaruh Syi’ah di NU sangat
besar dan mendalam. Kebiasaan membaca barzanji atau diba’i yang menjadi ciri
khas masyarakat NU misalnya secara jelas berasal dari tradisi Syi’ah.
Gelombang
kedua yang menandai eksistensi Syiah di Indonesia adalah selepas keberhasilan
Revolusi Iran dimana para punggawa Syiah dipimpin oleh Imam Khomeini berhasil
menggulingkan RezimShah Mohammad Reza Pahlavi yang sempat meminta
pertolongan Amerika Serikat. “Keberhasilan” ini banyak memukau para aktivis
Islam di seluruh dunia, termasuk para cendikiawan dan aktivis muda Islam
Indonesia. Pemerintahan Theokrasi baru Iran lambat laun semakin dipuja-puja
banyak kalangan Islam lewat statement-statement kerasnya terhadap Hegemoni
Amerika.
Di
Indonesia, penyebaran paham Syiah Iran (Itsna Asyariyyah) digaungkan oleh
Penerbit Mizan yang banyak merilis buku-buku Filsafat dari pemikir-pemikir
Syiah Iran Dr. Ali Syari’ati, Sayyid M.H. Thabathaba’i dan Ayatullah
Muthahhari. Penerbitan buku ini mendapat antusiasme dari kalangan intelektual
muslim kampus.
Nama
seperti Dawam Rahardjo dan Amien Rais juga disebut-sebut sebagai pengagum
pemikir Syiah tersebut. Media Isnet menukilkan,
Amin Rais
juga pernah menerima gelar Syi’ah juga, karena seperti dikatakan oleh
Jalaluddin Rahmat ia sering memuji Revolusi Islam Iran, dan terutama sering
mengutip Ali Syari’ati. Bahkan menurut Jalaluddin Rahmat, sebuah buku kecil
pernah ditulis tentang “kesyiahan” Amien Rais itu .
Tradisi
keilmuan yang subur di kalangan Syi’ah juga menambah daya tarik bagi banyak
intelektual Indoneisa. Kajian filsafat, misalnya, seperti dikatakan banyak
orang, tidak pernah terputus di kalangan Syi’ah. Sehingga, ketika pemikiran
mereka bersentuhan dengan kalangan intelektual Indonesia, merekapun tercengang.
Tentang karya Murthada Muthahhari ” Sejarah dan Masyarakat”, Dawam Rahardjo
berkomentar: Sulit membayangkan, seorang dengan pakaian jubah, seperti para
kiai dan ulama di Indonesia menulis buku seperti itu, penuh dengan
ulasan-ulasan yang spekulatif, menunjukkan olah pikir yang intens.
Tentang
khazanah keilmuan Syi’ah, lebih lanjut Dawam Rahardjo berkomentar: Ketika
berkunjung ke Iran bersama Dr. Taufik Abdullah, kami tercengang melihat
khazanah kepustakaan Islam di Universitas Teheran dan perpustakaan Ayatullah
Marashi Najafi di Qum.
Garda
terdepan dalam reproduksi buku-buku karangan pemikir Syiah ini di Indonesia
adalah Penerbit Mizan. Haidar Bagir bersama-sama kawan-kawannya mendirikan
Mizan pada tahun 1983 karena melihat kebutuhan buku-buku Islam di tengah-tengah
intelektual muslim.
Kelompok muslim kelas menengah ini nantinya akan membutuhkan bacaan…
Saya melihat potensi ini dan memutuskan membuat penerbitan buku-buku Islam…
Memang
rambahan bisnis Mizan saat ini sudah memasuki ranah buku-buku populer dan film.
Namun tetap saja keuntungan yang didapatkan digunakan untuk membiayai
penerbitan “buku-buku
idealis” Mizan. Bahkan tak jarang Haidar Bagir tampil sebagai
pembela utama di media ketika Syiah diusik oleh intelektual Islam Sunni seperti
debat di Opini Republika beberapa waktu yang lalu antara Haidar
Bagir, Fahmi Salim dan Muhammad Baharun.
Pada tahun
1984, Prof. Dr. Yunahar Ilyas pernah bersilaturrahmi ke kantor Mohammad Natsir
di Jakarta. Pada kesempatan itu, Pak Natsir mengingatkan, “Syiah di Indonesia
akan menjadi bom waktu.”
Geliat
Syiah semakin menguat dengan semakin maraknya kajian-kajian Syiah di
tengah-tengah aktivis dakwah kampus yang pada mulanya berawal dari kekaguman
kepada pemikiran-pemikiran filsafat tokoh Syiah. Lambat laun terungkap praktek-praktek
nikah mut’ah yang banyak memakan korban mahasiswi muslim.
Yayasan-yayasan
pendidikan dan keilmuan berideologi Syiah juga marak berdiri. Sebutlah nama
Yayasan Lazuardi Hayati yang menyelenggarakan pendidikan dari pra taman
kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Pertama Islam di
Jakarta, Yayasan Sekolah Tinggi Islam Madina Ilmu, Yayasan Muthahhari
yang mengelola SMA (Plus) Muthahhari di Bandung dan Jakarta dan Yayasan Rausyan Fikrdengan
program kursus filsafat reguler yang diminati oleh aktivis muda Islam di
Yogyakarta.
Tak
berhenti pada pendidikan dasar dan menengah, pemuka Syiah di Indonesia
menguatkan eksistensinya dengan kehadiran Program Magister (S2) Filsafat
Islam dan Tasawuf Islamic College for Advanced Studies (ICAS) para
professor tamunya kebanyakan berdarah Iran.
Fakta baru
yang mencenggangkan, beberapa waktu lalu Prof. Dr. Yunahar Ilyas pernah diminta
untuk “mentaubatkan” 7 perwira TNI yang sudah menjadi pengikut Syiah.
Reformasi
telah menjadi titik cerah bagi Syiah untuk menampakkan identitasnya secara
terang-terangan. Ranah keilmuan terutama filsafat yang selama ini sudah
dibangun sedemikian rupa, semakin diteguhkan lewat gelombang ketiga yaitu
penyebaran ideologi teologis dan kajian-kajian fiqih Syiah secara terbuka serta
intensifikasi kerjasama antarnegara lewat pendidikan dan kebudayaan. Tak
mengherankan jika saat ini Iran Corner berdiri di kampus-kampus terkemuka di
Indonesia, dan semakin banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di Iran.
Sekarang saja ada sekitar 300-an pelajar Indonesia yang sedang menuntut ilmu
Universitas Qom.
Pendekatan
mutakhir yang digunakan oleh komunitas Syiah di Indonesia untuk mengelabui umat
Islam Indonesia dari hakikat ajaran-ajaran Syiah adalah melakukan banyak
seminar dan diskusi bertema Rekonsialiasi Sunni-Syiah. Kedubes Iran punya
banyak dana untuk acara-acara semacam ini. Selain itu juga dihembuskan isu
konspirasi global yang menginginkan pengekalan permusuhan di antara Sunni dan
Syiah.
Namun,
krisis Suriah menjawab semuanya. Dukungan Iran dan Hezbollah untuk
membumihanguskan pejuang oposisi Sunni menjadi bukti betapa kebencian begitu
mendalam benci di hati kaum Syiah kepada Sunni. Di lain sisi, Buya Prof. Dr.
Syafi’i Ma’arif pernah menyampaikan kesangsian akan rekonsialiasi Sunni-Syiah
karena ketidakmauan pemerintah Iran untuk memberikan izin kepada muslim Sunni
Iran untuk mendirikan masjid.
Belakangan
Pemerintah lewat Dewan Ketahanan Nasional mulai mencermati Krisis Suriah dan
mengkaji kemungkinan terjadinya di Indonesia.
Prof. Dr.
Yunahar Ilyas menyampaikan, kehadiran Buku “Mengenal dan Mewaspadai
Penyimpangan Syiah di Indonesia” adalah upaya Majelis Ulama Indonesia untuk
mengedukasi masyarakat agar paham akan keberadaan Syiah di Indonesia. Pilihan
ini lebih produktif daripada hanya sekedar fatwa Sesat dan kampanye “Syiah
bukanlah Islam”. Bagi kelompok Islam Radikal, respon MUI yang hanya menerbitkan
buku tanpa mengeluarkan fatwa dianggap keputusan yang kurang mengigit.
Namun
harus disadari, kompleksitas persoalan Syiah tidak akan terselesaikan hanya
melalui fatwa sesat. Fatwa sesat sangat mudah untuk dimainkan oleh kelompok
Syiah sebagai media adu domba dengan memancing cendikiawan Muslim terkemuka di
Indonesia yang punya simpati kepada Syiah. Hal ini akan menguatkan gelombang
perlawanan kepada MUI. Apalagi di MUI sendiri terindikasi ada pimpinan yang
berafiliasi kepada Syiah.
Pendekatan
edukatif lebih bisa menyadarkan masyarakat dari bahaya Syiah dan menguatkan
imunisitas mereka dari pengaburan-pengaburan fakta yang sangat piawai dimainkan
oleh para tokoh Syiah Indonesia. Kemajuan Syiah dalam hal filsafat harus
dibarengi dengan kaderisasi serius kepada kalangan pemuda Muslim untuk menempuh
pendidikan khusus di ranah pemikiran Islam.
Sejarah
telah nyata membuktikan, ketika Syiah mulai memegang pusat-pusat kekuasaan,
lambat laun mereka akan menyingkirkan kaum Sunni. Dan ketika dirasa kekuatan
sudah cukup, Syiah tidak akan segan-segan membunuh muslim Sunni. Kita harus
terus membentengi diri dan menekan kiprah Syiah di Indonesia. Syiah adalah bom
waktu yang pada satu ketika akan meledak jika kita tidak bisa menjinakkannya.
Dan ketika Syiah berkuasa, maka NKRI akan dibinasakannya.
AHAD, 06 RABI`UL AKHIR 1437H
/ JANUARY 17, 2016
Strategi ajaran sesat Syiah yang membenturkan antara
pihak pemerintah dengan umat Islam sungguh sangat mekhawatirkan. Sehingga, kaum
muslimin dituntut untuk senantiasa waspada terhadap gerak-gerik ajaran sesat
Syiah sekecil apapun.
Hal ini terlihat jelas pada tahun 2015.
Lebih dari 20 media Islam diblokir oleh Kemenkominfo. Benang merah yang ditarik
oleh salah seorang Pakar dan Peneliti Terorisme, Mustofa Nahrawardaya ialah
tidak ada satu media Islam pun yang diblokir tersebut yang pro dengan ajaran
sesat Syiah. Dan hal ini pun sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Pakar dan
Peliti Aliran Sesat, Ustadz Anung Al Hamat.
“Strategi Syiah secara umum dan juga
harus di waspadai oleh masyarakat demikian juga pemerintah adalah berusaha
membenturkan atau menanamkan permusuhan antara pemerintah dengan umat Islam.”
ujar Ustadz Anung Al Hamad di Pondok Gede, Rabu (13/1/2016).
Kesesatan ajaran Syiah ini memang sangat
mengancam keutuhan NKRI terlebih khusus kepada umat Islam ahlussunnah wal
jama’ah. Karena, para pengikut ajaran sesat Syiah tidak akan pernah diam
ataupun mengakui sebuah negara kalau asasnya bukan dari undang-undang Syiah.
“Mereka hanya akan mengakui sebuah
negara kalau memang menjadikan asasnya itu undang-undang Syiah.” ungkapnya.
Dengan demikian, pihak pemerintah dan
umat Islam ahlussunnah wal jama’ah dihimbau agar terus waspada dari ajaran
sesat Syiah dan diharapkan dapat selalu memberikan pemahaman kepada keluarga
ataupun orang-orang terdekat tentang bahayanya ajaran Syiah. [DP]