الشفيع
الماحي أحمد
Dalam mengecek
keabsahan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullahshallallahu alaihi wasallam,para
ulama Islam bersandar kepada sanad. Karena tabiat dariIsnaditu mengharuskan
penyandaran setiap informasi kepada penuturnya. Maka lumrah dikatakanhaddatsana fulan, 'an fulan, 'an
fulan/kami diceritakan oleh fulan, dari fulan, dari fulan. Oleh
karena itu makaIsnaddipandang
sebagai jalan yang mengantar sampai kematan/teks
hadits.
Isnadpada hakekatnya merupakan hikayat jalur sampainya matan
hadits, atau penyandaran hadits kepada penuturnya.
Dengan kata lain,Isnadadalah upaya
menguatkan keabsahan suatu informasi. Semua itu memberi indikasi kejujuran di
satu sisi dan amanah pada sisi yang lain. Hal itu merupakan standar yang
dipakai menerima atau menolak suatu informasi.
Dalam pandangan
ulama, hadits yang disandarkan kepada Nabishallallahu
alaihi wasallamtidak dipandang absah kecuali jika memiliki silsilahIsnadyang bersambung dan
tidak terputus, terdiri dari sejumlah person yang dapat dipercaya
periwayatannya.
Dalam upaya mengecek
keabsahanIsnad,
para ulama benar-benar melakukan penelitian yang luar biasa. Tidak cukup dengan
mengecek nama-nama dan kondisi perawi untuk mengetahui masa hidup, kondisi
kehidupan, tempat domisi, dan interaksinya dengan person perawi yang lain,
tetapi mereka juga mengecek tingkat dan nilai kejujuran dan kedustaan seorang
perawi. Di samping itu mereka juga mengecek tingkat amanah dan ketelitiannya
dalam menukil matan hadits. Tujuan dari hal itu adalah agar dapat memastikan
siapa di antara perawi tersebut yang dapat dipercaya riwayatnya.
Di atas keabsahanIsnaditulah dibangun
argumentasi benar atau tidaknya suatu riwayat. Seandainya kita ingin menilai
perdebatan dua orang yang saling berdebat maka tentu penilaian tersebut tidak
dapat sempurna kecuali dengan melihat kepada argumentasi masing-masing.
Suatu hujjah atau
argumentasi tidak tegak kecuali jika bersandar kepada suatu riwayat ataukhabar/informasi yang
membuktikan bahwa hujjah dan argumentasi tersebut diperoleh dengan jalan sanad
valid yang mengokohkan suatu hujjah atau dalil.
Jika suatu riwayat
ataupunkhabartidak
diketahui memiliki sanad maka riwayat dankhabartersebut
dipandang tidak valid dan tidak dapat dijadikan sebagai dalil atau argumentasi.
Oleh karena itu maka muncul ungkapan bahwa "khabar yang tidak memiliki sanad ibarat anak pungut yang
tidak memiliki nasab."
Prinsip yang tegas
dan cermat dalam mengecek keabsahan setiap riwayat dankhabarini termasuk di
antara kemuliaan yang Allah berikan kepada Umat Islam. Allah berikan
keistimewaan ini kepada Islam tanpa diberikan kepada agama mana pun
sebagai bentuk penjagaan dan pemeliharaan terhadap Islam.
Tidak heran jikaIsnadtersebut dipandang
sebagai sunnah yang dengannya tampak kebenaran dari kebatilan, kejujuran dari
kedustaan yang pada gilirannya membawa hati menjadi tenang dan jiwa menjadi
tentram.
Ibn Mubarak
menyatakan:"Isnad itu
bagian dari agama, sekiranya bukan karena Isnad niscaya seseorang leluasa
mengatakan apa yang ia ingin katakan, tetapi jika ia ditanya ia akan diam dan
bimbang."
Intinya bahwa setiapkhabardan riwayat yang
bersanad dengan sanad yang tidak diragukan menempati posisi yang lebih tinggi
dari sekedar ilmu dan pengetahuan, yaitu posisi yakin atau bersifat
pasti. Selain itu,Isnadjuga
merupakan karakteristik umat Islam yang tidak dimiliki umat lainnya.
Sedang ilmu yakin
sebagaimana didefinisikan oleh al-Gazali adalah"ilmu yang di dalamnya obyek pengetahuan tersingkap
dengan penyingkapan yang tidak diragukan sedikitpun, tidak disertai kemungkinan
keliru, tidak dibarengi kekacauan dan segala kemungkinan apapun yang
bertentangan dengan penyingkapan tersebut tidak memiliki pintu masuk ke dalam
hati.
Rasa aman dari
kekeliruan menyertai keyakinan yang sekiranya ditantang dengan menjadikan
sebuah batu menjadi emas dan tongkat menjadi ular yang nyata di depan mataku
maka aku tidak ragu dengan pengetahuanku, paling aku hanya takjub dengan
kemampuan dan keterampilannya, tetapi keyakinanku terhadap apa yang aku ketahui
tidak goyah sedikitpun."
Prinsipnya, makna
ilmu yakin itu berkisar pada hilangnya keraguan dari obyek pengetahuan dan
tidak menyisakan sedikitpun bentuk keraguan dan menolak kemungkinan adanya
kejahilan, prasangka dan kekurangan di dalamnya.
Indikasinya ilmu
tersebut berada pada suatu kondisi yang stabil, tidak berubah sedikitpun
apalagi berganti, kondisi tersebut tertanam dalam jiwa sehingga ilmu dan
pengetahuan tetap menjadi keyakinan. Daripadanya lahir rasa aman, tuma'ninah,
tenang, ketentraman jiwa, sehingga ia menangkap perkara gaib seakan berada di
depan mata. Sedang pandangan mata itu merupakan jalan terakhir bagi setiap
keyakinan.
Walaupun demikian,
keyakinan umat dalam ilmu dan pengetahuannya itu kembali kepada ilmu itu
sendiri. Tidak dikembalikan kepada umat atau kepada akalnya dan tidak lahir
daripadanya. Penyandaran sifat yakin kepadanya sebenarnya realitas yang telah
ada karena keyakinan itu masuk ke dalam obyek suatu ilmu dan menjadi kandungan
pengetahuan. Posisinya seperti posisi roh dari suatu jasad.
Keyakinan tersebut
menjadi tanda, kondisi dan sifat pengetahuan yang didapati oleh umat ini pada
setiap individu di kalangan mereka bahwa hal itu datangnya dari Allah. Akhirnya
tampak di dalamnya hal baru yang membuat hati menjadi tenang dan jiwa menjadi
tentram.
Makna tersebut telah
diisyaratkan oleh Rasulullahshallallahu
alaihi wasallamdalam sabdanya:"Tidak
satupun umat yang diberi keyakinan yang lebih baik daripada keyakinan yang
diberikan kepada umatku."
Umat Muhammadshallallahu alaihi wasallammemperoleh
keutamaan, kemuliaan dan kelebihan atas umat-umat lain dengan keyakinan yang mendukung
ilmu dan pengetahuannya. Dengan keyakinan tersebut hijab dan perkara gaib
tersingkap bagi mereka, hingga hakikatnya seakan terlihat di depan mata.
Dengan keyakinan itu
Allah memelihara dan menjaga umat ini dari berbagai aqidah menyimpang dan ilmu
pengetahuan yang membawa mudharat dan tidak memberi manfaat. Hingga ia dapat
menyembah Allah seakan Allah berada di tengah-tengah mereka.
Tidak heran jika
amalan-amalan umat ini berkombinasi dengan keyakinannya, dan keyakinannya
menyatu dengan amalannya dalam suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Sehingga
amalannya lahir dalam keadaan diharumi oleh keyakinan.
Dalam menggambarkan
keterkaitan yang sangat erat antara amal dan keyakinan bagi umat Muhammadshallallahu alaihi wasallam,
al-Sahrawardi menyatakan:"Suatu
amalan tidak akan mampu dikerjakan kecuali dengan keyakinan, dan seseorang
tidak akan beramal kecuali sesuai dengan kadar keyakinannya. Seseorang
yang beramal tidak akan berkurang amalnya kecuali karena keyakinannya
berkurang. Jadi keyakinan itu seakan-akan lebih mulia daripada amalan itu
sendiri karena ia dapat mendorong untuk beramal. Sedang hal yang mendorong
untuk beramal itu lebih dekat kepada ubudiah, sedang hal yang mendorong untuk
melakukan ubudiah lebih dekat kepada kesiapan menunaikan hak-hak rububiah
Allah."
Sesungguhnya ilmu
dan pengetahuan umat Muhammadshallallahu
alaihi wasallammenyatu secara langsung dengan keimanan sehingga
keduanya menjadi suatu cahaya utuh yang tidak dapat dibedakan di antara
keduanya. Kecuali ibarat perbedaan antara orang buta dengan orang yang tidak
buta jika masing-masing menggambarkan cahaya matahari yag sedang terbit. Karena
gambaran yang diinformasikan oleh orang yang tidak buta lahir dari penglihatan
yang ia lihat tentu berbeda dengan informasi yang disampaikan oleh orang buta
seputar cahaya matahari.
Kesaksian mata dan
pandangan hati disebut keyakinan, sedang keyakinan hati ibarat penglihatan yang
ada di mata. Oleh karena itu hati dapat melihat dan meyaksikan hal-hal yang
luput dari pandangan mata.
Orang-orang Syi'ah
sama dengan orang-orang Yahudi dan Kristen. Mereka tidak memiliki kepedulian
yang cukup terhadap keabsahan suatu hadits,khabar,
ataupun riwayat. Sehingga pada gilirannya, mereka juga tidak memiliki
kepedulian terhadapIsnad.
Orang-orang Syi'ah
tidak memiliki pengalaman berinteraksi dengan sanad-sanad, dan cara membedakan
antara perawi hadits dankhabar.
Juga tidak mampu mendeteksi'adaalah/sikap
keagamaan perawi yang dipandang sebagai kunci keabsahan dan tiangIsnad. Ataupun
dalil-dalil yang dengannya dapat dibedakan antara hadits shahih dari hadits
dhaif ataupun dusta. Artinya mereka sama sekali tidak memiliki sanad yang
shahih ataupun riwayat yang bersambung sanadnya yang dapat dijadikan hujjah
saat berselisih. Dan dengannya agama dan sikap keberagamaan ini lebih sempurna
lagi.
Kenyataan yang
menonjol di kalangan Syi'ah ini dikomentari Ibn Taimiyah:"Rafidhah adalah orang-orang
yang minim pengetahuannya tentang Isnad. Mereka kurang pengetahuan dan
perhatian terhadap Isnad. Mereka tidak memperhatikan Isnad begitu pula
dalil-dalil syar'i yang bersifat praktis apakah sejalan dengan Isnad atau
tidak.
Oleh karena itu,
mereka tidak memiliki sanad yang sahih dan bersambung. Kalau ada sanad mereka
yang bersambung kepada Rasulullah maka pasti di antara personnya terdapat
orang-orang dikenal pendusta ataupun banyak keliru hapalannya."
Ibn Taimiyah juga
menulis:"Syi'ah tidak
memiliki sanad yang bersambung dengan para perawi yang terkenal sebagaimana di
kalangan Ahlus Sunnah supaya Isnad dan 'adaalah para perawinya dapat diteliti.
Yang mereka miliki hanya nukilan-nukilan yang terpotong-potong dan dijadikan
pegangan oleh kelompok dikenal banyak dusta di tengah mereka dan kontroversial
dalam nukilan."
Itu artinya
Syi'ah tidak memiliki perhatian terhadap ilmu hadits, tidak dapat membedakan
antara hadits yang shahih dengan hadits dusta. Mereka tidak menghimpun
atsar-atsar para sahabat dan meneliti jalan-jalannya. Mereka juga tidak
mengembalikan perkara yang mereka perselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dasar dan tumpuan mereka kebanyakannya hanya kembali kepada riwayat-riwayat
yang dinukil atau dinisbahkan kepada Alu al-Bait baik jujur ataupun yang
pendusta.
Ketika orang-orang
Syi'ah menyadari ketimpangan yang dapat meruntuhkan kejujuran mazhab mereka dan
mencapnya sebagai pendusta(,) maka mereka menetapkan tiga prinsip yang dapat
digunakan untuk mengukur keabsahankhabardan
riwayat-riwayat yang dinukil dari imam-imam mereka.
Prinsip-prinsip
tersebut memiliki posisi sejajar dengan posisiIsnaddi kalangan Ahlus Sunnah, yaitu:
Pertama,hadist tersebut dinukil dari salah seorang imam yang
maksum karena mereka memiliki kedudukan yang sejajar dengan Nabishallallahu alaihi wasallam yang
sabdanya merupakan hujjah. Mereka tidak berbicara kecuali kebenaran.
Setiap haditsnyaqath'i
al-shudur/pasti mereka yang mengeluarkannya sehingga tidak
memerlukan sanad.
Kedua,semua perkataan yang disampaikan oleh salah seorang di
antara mereka adalah nukilan dari Rasulullahshallallahu
alaihi wasallam. Konon diriwayatkan bahwa setiap imam tersebut
telah menyatakan:"Aku
menukil kepada kalian apa yang aku katakan dari Nabi."
Artinya setiap
perkataan yang keluar dari salah seorang mereka maka perkataan tersebut
dikatakan langsung oleh Nabi. Kalau umumnya umat ini mengambil perkataan Nabi
dari sesama umatnya maka mereka mengambilnya langsung dari Rasulullahshallallahu alaihi wasallam.
Ketiga,konsensus fuqaha mereka otomatis merupakan konsensus
ahlul bait. Dan setiap nukilan atau riwayat yang datang dari salah seorang
mereka memiliki posisi sama dengan posisi konsensus mereka.
Tentu
prinsip-prinsip tersebut batil karena tidak berdasar kepada Al-Quran, sunnah
dan ijma'. Pijakannya hanya pada imam yang diklaim maksum. Kemaksuman imam
itulah yang dianggap sebagai argumentasi dan hujjah atas keabsahan riwayat
daripadanya.
Tentu teori tersebut
tidak termasuk kategoriIsnadyang
di atasnya suatu argumentasi dibangun dan bukti itu kuat. Karena suatukhabaratau nukilan tidak
dapat dipandang sah kecuali jika memiliki silsilahIsnadyang bersambung dan tidak terputus.
Jadi terkait keabsahan penukilan suatukhabardan
inilah yang tidak diketahui oleh Syi'ah.
Kalau demikian
kondisi argumentasi riwayat dan nukilan di kalangan Syi'ah maka secara global
dalil-dalil yang dikemukakan oleh para fuqaha mazhab Syi'ah tidak keluar dari
dua kemungkinan:
Pertama,dalilnya benar dan sah, seperti pendalilan mereka dalam
menetapkan kebolehan nikah mut'ah dan kewajiban membayar 1/5 dari harta milik
dan contoh lain yang disebutkan dalam Al-Quran. hanya saja mereka
mentakwilkannya sesuai dengan ajaran mazhab Syi'ah dengan takwil yang tidak
dikenal di kalangan ulama sunnah dan para pengusung syariat.
Mayoritas pendalilan
mereka cacat dan tertolak serta jauh dari takwil yang sebenarnya. Biasanya
takwil mereka tidak lepas dari kritik, protes, sanggahan, dan bantahan. Juga
tidak memberi manfaat ilmu yang bersifat pasti secara mutlak.
Kedua,pemalsuan dan kedustaan yang vulgar. Di atas dalil jenis
inilahtasyayyu'itu
dibangun dan berpusat. Cara ini pula yang menyebabkan Syi'ah itu
"eksis" dan "dapat membendung arus protes dan perlawanan".
Mereka memalsukan
banyak hadits yang disandarkan kepada Rasulullahshallallahu alaihi wasallamdan riwayat yang
diatasnamakan para imam yang diklaim maksum tanpa peduli dengan kejujuran,
amanah dan keadilan. Dan tanpa perhatian kepada metodologidokumentasi
ilmiahyang dikenal secara luas.
Dengan cara itu,
mereka telah mengisi buku-buku mereka dengan kedustaan, kebatilan, ilusi, dan
khurafat yang sangat banyak, keberanianyangunik,sertakelancanganyangberlebihan.
Yang membuatparaperawi kejujuran danpenuntutilmu melarikan diri
karenapanik dan takutmendengarkannya.
Adapun upaya
penegakan kebenaran yang didakwahkan oleh para nabi, ahli hikmah dan
reformis maka mereka jadikan sebagai agenda paling terakhir dipikirkan.
Metodologi
dokumentasi mereka tidak berdasar kecuali padatasyayyu', fanatisme, hawa nafsu, kebencian,
dan kecintaan. Oleh karena itu maka mereka melalukan inovasi berbagai cara
untuk memperkuat, mempertahankan dan membelatasyayyu'lalu
menyandarkannya kepada Rasulullah atau kepada salah seorang imam mereka.
Seseorang di antara
mereka memandang bahwatasyayyu'nya
tidak akan sempurna kecuali apabila ia berhasil menambahkan apa yang ia yakini
dapat memperkuat (mazhabnya walau dengan jalan dusta, pent.). Hingga mereka
dikenal sebagai sekte Islam yang paling banyak berdusta, melakukan pemalsuan
dan kebohongan. Sampai-sampai kebohongannya menjadikan orang-orang berakal
bimbang sekaligus mendorongnya mentahzir riwayat-riwayat mereka dan menjelaskan
kedustaannya.
Ibn Taimiyah menukil
konsensus ulama sebelumnya dengan menyatakan:"Para
pakar dalam ilmu riwayat dan Isnad telah konsensus bahwa Rafidhah adalah sekte
yang paling banyak berdusta. Kedustaan mereka telah berlangsung sejak lama.
Oleh karena itu para ulama Islam mengenal mereka dengan kedustaannya yang
banyak."
Al-Qadhi Syuraik,
meski dikenal loyal kepada Syi'ah secara moderat, menyatakan:"Saya dapat meriwayatkan dari
semua orang yang aku jumpai kecuali orang-orang Rafidhah karena mereka
memalsukan hadits dan menjadikannya sebagai tradisi dan kebiasaan."
Imam Malik pernah
ditanya tentang Rafidhah lalu dijawab:"Jangan
berbicara dengan mereka, dan jangan membantah karena mereka senantiasa
berdusta."
Semakna dengan itu,
Said ibn Harun berpendapat bahwa:"Setiap
pelaku bid'ah dapat ditulis haditsnya selama ia tidak mengajak kepada bid'ahnya
kecuali Rafidhah. Karena mereka senantiasa berdusta."
Ibn Mubarak
menggambarkan tingkat kedustaan orang-orang Syi'ah:"Komitmen keagamaan itu menjadi ciri ahlul hadits,
kalam dan tipu daya menjadi ciri ahlu ra'yi, sedang kedustaan menjadi ciri
orang-orang Rafidhah."
Dalam kesaksiannya
tentang orang-orang Syi'ah, Imam Syafi'i menegaskan:"Aku tidak pernah mendapati ahli hawa yang lebih
banyak berbohong daripada orang-orang Rafidhah."
Kedustaan yang
banyak atas nama para imam yang diklaim maksum itu mengakibatkan banyak
kontroversi yang terjadi dalam riwayat ataupun hadits yang satu yang terkadang
mencapai angka puluhan. Dan dalam banyak kasus, kontroversi itu tidak dapat
dikonfirmasi sama sekali dan tidak dapat diketahui mana yang benar dan mana
yang palsu alias dusta.
Kontroversi danperselisihan
di antara merekabukan perselisihanbiasa, tetapi perselisihan dalam segala hal
dan atas segala perkara. Tidak hanya dalam perkara fiqh, tetapi juga dalam
perkara-perkara prinsip yang menjadi dasar dan fondasitasyayyu'.
Dalam perkara
prinsipil, tidak satupun di antara prinsip-prinsip mereka kecuali ada
perselisihan dan silang pendapat di dalamnya.
Kini kontroversi dan
perselisihan itu telah bersifat aksiomatis sehingga dikatakan bahwa di kalangan
Syi'ah, tidak ada satu pun masalah kecuali muncul masalah lain yang
meruntuhkannya. Tidak ada satu punkhabarkecuali
adakhabarlain
yang menentangnya. Dan tidak ada satu haditspun kecuali terdapat hadits lain
yang menyelisihinya.
Dengan realita itu,
banyak di antara ulama berkesimpulan bahwa dalam masalah yang satu, Syi'ah itu
dapat berselisih menjadi dua puluh hingga tiga puluh pendapat, bahkan lebih.
Tidak terdapat satu pun perkara furu' kecuali mereka berselisih di dalamnya atau
di dalam salah satu bagiannya.
Kenyataan ini diakui
oleh ulama Syi'ah itu sendiri.
Abu Ja'far al-Thusi
menyatakan:"Aku
diingatkan oleh sebagian kawan-kawan yang wajib ditunaikan haknya, semoga Allah
membalasnya, dengan hadits-hadits imam-imam kami, semoga Allah meneguhkan
mereka dan merahmati salafnya. Yaitu hadits-hadits yang saling bertentagan,
kontroversi dan saling menafikan, hingga para penentang kita menjadikan hal itu
sebagai bahan cacian dan bantahan terbesar terhadap mazhab kita. Bahkan
dijadikan sebagai jalan masuk untuk meruntuhkan aqidah kita.
Mereka (non Syi'ah,
pent.) menyebutkan bahwa syekh-syekh kalian, baik yang terdahulu ataupun yang
kontemporer mengkritik para penentangnya dengan perselisihan dan perbedaan
pendapat mereka dalam perkara-perkara furu' dan menyatakan bahwa realita
seperti itu tidak dibolehkan untuk beribadah kepada Allah al-Hakim dan beramal
dengannya. Padahal kami mendapati perselisihan kalian jauh lebih dahsyat
daripada perselisihan para penentang kalian.
Realita perselisihan
kalian ini, ditambah dengan keyakinan batilnya hal tersebut dalam pandangan
mereka menunjukkan kebatilan perkara yang kalian perselisihkan itu. Hingga
pernah datang kepadaku sekelompok orang yang sebetulnya tidak kuat ilmunya,
tidak ahli dalam makna-makna lafaz. Kebanyakan di antara mereka meninggalkan
keyakinannya yang hak saat syubhat itu muncul dan tidak dapat mereka
bantah."
Dalam perkara fikih
Syi'ah saja, al-Subhani menegaskan:"Pada
saat kita menelaah kedua kitab "al-Wasail" dan
"al-Mustadrak" misalnya, kita mendapati bahwa tidak satu pun bab di
antara bab-bab fiqh kecuali di dalamnya terdapat kontroversi dalam
periwayatannya. Hal ini mengakibatkan keluarnya orang-orang yang memahami
realita tersebut dari mazhab Imamiah."
Tidak hanya
pengakuan atas banyaknya kedustaan dalam riwayat-riwayat dari para imam mereka.
Allamah al-Hilli bahkan mengodifikasikan perselisihan ulama dan fuqaha Syi'ah
sejak munculnya hingga yang hidup di zamannya dalam kitabnya yang diberi judulMukhtalaf al-Syi'ah.
Kitab ini terdiri atas sepuluh juz dan mencakup semua bab-bab pembahasan fiqh.
Dalam kitab ini,
al-Hilli menyingkap dengan lugas segala perselisihan fuqaha. Dengan gaya
penyajiannya yang bersifat debat, kajiannya tidak terbatas pada masalah
tertentu saja, tetapi mencakup segala permasalahan dalam bidang fiqh.
Perdebatan mereka dalam berbagai permasalahan tersebut sangat seru dan tajam.
Dalam banyak kasus perdebatan tersebut kadang kala melahirkan fatwa yang saling
bertentangan. Di mana sebagian mereka memfatwakan halal sedang sebagian yang
menfatwakan haram.
Dalam muqaddimah
kitab tersebut, Allamah al-Hilli menulis bahwa: "Ketika aku menelaah
berbagai kitab dan tulisan para ulama terdahulu dalam ilmu fiqh, aku menemukan
perbedaan yang sangat banyak dan tuntutan besar yang berserakan. Maka aku ingin
mengumpulkan dalam sebuah kitab berbagai permasalahan yang sampai kepada
kita dari berbagai perselisihan mereka dalam bidang hukum-hukum syariah dan
masalah-masalah fiqhiah.
Untuk membuktikan
tajamnya perselisihan riwayat dan banyaknya ragamnya, maka cukuplah dengan
menyebut beberapa contoh yang terkait dengan prinsip-prinsip dasartasyayyu'yang daripadanya
lahir segala kebijakannya. Antara lain:
Doktrin
Distorsi Al-Quran:
Maklum bagi
semua bahwa doktrin distorsiAl-Quran termasuk di antara aqidah yang sangat
mengakar di kalangan mazhab Syi'ah. Karena kuatnya aqidah tersebut dan
didasarkannyatasyayyu'itu
sendiri kepadanya sehingga perkataan tersebut menjadi aksiomatis.
Banyak riwayat yang
tersebar seputar distorsi Al-Quran dalam berbagai karya tulis ulama dan fuqaha
Syi'ah telah memancing al-Nuri al-Thabarsi untuk mengumpulkannya ke dalam
sebuah kitab yang dengan sangat yakin dan pasti ia namakanFashl al-Khitab fi Istbat Tahrif
Kitab Rabb al-Arbab.
Walaupun demikian,
tetap diakui bahwa terdapat sejumlah ulama dan fuqaha abad pertama yang
mengingkari doktrin distorsi Al-Quran. Di antaranya: Sayyid al-Murtadha,
penulis kitabNahj
al-Balagah,Abu Bakar al-Thusi, Abu Ali al-Thabarsi, penulis tafsirMajma' al-Bayan, Ibn
Babawaih al-Qummi yang digelar al-Shaduq sekaligus yang menyatakan:"Barang siapa menisbatkan kepada
Syi'ah pernyataan ini, maksudnya pertanyaan bahwa Al-Quran telah didistorsi,
maka dia dusta. Karena riwayat-riwayat seperti ini tidak pernah kedengaran.
Seandainya riwayat-riwayat tersebut benar niscaya ketahuan atau minimal
kedengaran."
Pendapat itu pula
yang didengung-dengungkan oleh para ulama kontemporer mereka.
Al-Khawa'i
menyatakan:"Sesungguhnya
perbincangan seputar doktrin distorsi Al-Quran adalah perbincangan khurafat dan
hayalan yang tidak akan dikatakan kecuali oleh orang lemah yang akal.
Adapun orang adil dan menghayati ungkapan tersebut maka ia tidak akan meragukan
kebatilan dan kekhurafatannya."
Nikah
Mut'ah
Tidak jauh berbeda
dengan doktrin distorsi Al-Quran, nikah mut'ah juga termasuk praktek yang
sangat kokoh dalam mazhab Syi'ah, bahkan termasuk salah satu di antara ajaran
pokoknya. Praktek ini diterima dan diridhai oleh mayoritas besar fuqaha mereka.
Bahkan mereka mendorong praktek tersebut karena diklaim memiliki ganjaran dan
pahala.
Meski demikian tetap
diakui bahwa terdapat sejumlah riwayat dari para imam maksum mereka yang
mengharamkan dan mensifatinya dengan seburuk-buruk sifat. Antara lain:
Penegasan Imam
al-Shadiq yang disampaikan saat ia ditanya tentang mut'ah dan dijawabnya bahwa"Praktek itu adalah zina."
Juga pernyataannya
saat ditanya tentang hal itu:"Jangan
Anda kotori diri Anda dengan perbuatan tersebut."Artinya
praktek tersebut merupakan praktek yang diharamkan secara pasti dan
mengakibatkan pelakunya melumuri dirinya dengan kotoran.
Di samping itu, Imam
al-Shadiq juga mengancam pengikutnya dan menegaskan kepadanya agar tidak
melakukan praktek nikah mut'ah. Ia menyatakan:"Tidakkah malu salah seorang di antara kalian
melihat sesuatu lalu menuduhkan hal itu kepada orang-orang shaleh di antara
saudara dan sahabatnya!?"
PerkaraKhumus
Khumusatau 1/5 (seperlima) dari total harta dan penghasilan
orang-orang Syi'ah merupakan hak ahli bait. Tetapi di sana terdapat sejumlah
riwayat dari imam-imam maksum mereka yang semuanya menyatakan bahwa imam-imam
tersebut bebas dari kewajiban tersebut.
Riwayat-riwayat
tersebut tersebar di dalam kitab-kitab fuqahaqudama'danmutaakhirinmereka.
Silang pendapat di
antara mereka seputar khumusterus
terjadi hingga daulah Shafawiah berdiri. Sejak itu Abdul 'Al al-Karaki
menyerahkan urusan penyerahan hak imam dari hartakhumustersebut kepada pemimin syar'i mereka.
Kemudian pada
akhirnya, hasil ijtihad mereka menghasilkan wajibnya menyerahkan hartakhumustersebut kepadaal-Faqih. Bukan karena
statusnya sebagainaib/pengganti
dari imam yang gaib, tetapi dalam kapasitasnya sebagai pemimpin dan penguasa
Syi'ah.
Kewajiban
Shalat Jum'at
Di antara perkara
furu' yang lahir dari prinsip-prinsip Syi'ah dan masih mengundang pro kontra
yang tajam hingga saat ini adalah kewajiban shalat Jum'at yang dahulu
orang-orang Syi'ah jaga dan tegakkan hingga akhir abad ke-V hijriah.
Di masa itu para
fuqaha Syi'ah tidak mempersyaratkan wajibnya shalat Jum'at kecuali tercapainya
jumlah yang cukup dari orang-orang shalat. Mereka tidak mempersyaratkan
munculnya imam maksum atau yang menggantikanya dalam halwilayahdanimamah.
Tetapi pada priode
berikutnya persyaratan adanya imam atau pemimpin yang adil telah dimunculkan
dan dijadikan sebagai persyaratan utama bagi tegaknya shalat Jum'at. Tentu
pemimpin adil yang dimaksud hanya imam maksum saja. Sehingga persyaratan ini
diperluas dengan menyatakan kehadiran imam maksum atau yang menggantikannya.
Berhubung karena
imam tersebut berada pada kondisi gaib yang besar dan tidak diketahui secara
pasti kapan ia muncul. Maka salah satu persyaratan tegaknya shalat Jum'at
dianggap tidak ada maka para fuqaha menyimpulkan pembekuan pelaksanaan shalat
Jum'at atau tidak mewajibkannya, bahkan ada yang mengharamkannya dan diganti
dengan shalat zhuhur.
Walau demikian,
terdapat sejumlah kecil fuqaha, seperti al-Hurr al-Amili, yang tetap
menfatwakan kewajiban shalat Jum'at meski di zamangaibubah/tidak munculnya imam maksum.
Di hadapan nashqath'i/pasti yang
mewajibkan penegakan shalat Jum'at, mayoritas fuqaha Syi'ah tetap
memasukkan persyaratan baru yaitu muncul dan hadirnya imam maksum secara
langsung. Dan dalam kondisigaibubah,
maka kewajiban tersebut gugur dari kewajiban personal. Sehingga orang-orang
Syi'ah dapat memilih antara mengerjakan shalat Jum'at atau menggantikannya
dengan shalat zhuhur.
Para penguasa
Shafawi sangat tegas dalam penegakan shalat Jum'at sejak mereka berkuasa. Mesjid-mesjid
jami' di zamannya dikenal sebagai mesjid jum'at. Waktu itu tidak satu pun kota
di Iran kecuali terdapat di dalamnya mesjid seperti ini.
Imam-imam yang
memimpin shalat di mesjid-mesjid tersebut digelari imam jum'at dan diangkat
dengan SK langsung dari para raja Shafawi. Kedudukan mereka sangat terpandang
sehingga tidak dijabat kecuali oleh ulama dan fuqaha besar.
Meski demikian,
perselisihan di kalangan fuqaha di era rezim shafawi tetap ada. Syaikh Ibrahim
al-Qathifi misalnya, memfatwakan haramnya shalat Jum'at di zamangaibubah. Dalam hal ini
Ia berseberangan dengan Abdul 'Al al-Karaki yang membolehkannya dan membolehkan
para fuqaha menegakkannya karena kapasitas mereka sebagainaibdari imam.
Kontroversi ini
masih tetap berlangsung di kalangan para fuqaha Syi'ah hingga hari ini.
Sehingga di antara mereka ada yang menentang pelaksanaan shalat Jum'at,
sementara fuqaha yang lain komitmen dengan hasil ijtihad klasik yang
membolehkannya. Sehingga shalat Jum'at kadang-kadang ditegakkan di mesjid
mereka, tetapi juga sering kali ditinggalkan dan diganti dengan shalat zhuhur.
Namun di antara mereka terdapat pula orang-orang berupaya mengabungkan antara
keduanya sehingga mereka menjamaknya dengan shalat zhuhur.
Kesimpulannya,
selain nihilnyaIsnaddalam
hadits-hadits dan riwayat-riwayat para imam yang mereka klaim maksum, juga
karena faktor perselisihan dan kontroversi mereka dalam berbagai hal
menyebabkan orang-orang Syi'ah sama sekali tidak memiliki daya kritis dan
analis. Pada galirannya, mereka sangat lemah dan berguguran di depaninvestigasi
yang telitidan tidak gegabah.
Orang yang demikian
kondisi dan kedudukannya tentu tidak berhak mengantongi kebenaran. Dan itu
makna yang tepat dari kebatilan. Karena kebatilan itu tidak stabil, sedang
sesuatu yang tidak stabil dan selalu berubah-ubah pasti akan binasa sehingga ia
dapat dihukumi sebagai nihil.
Dengan kata lain,
kebatilan itu tidak berguna sama sekali. Oleh karena itu, biasanya ia
diilustrasikan sebagai sesuatu keburukan yang membawa mudharat dan tidak
memberi manfaat.
Kondisi itu pada
akhirnya akan membawatasyayyu'itu
ke dalam lingkaran nihil dan tak berguna.