Who Are You, Sisi?
Oleh David Hearst, kepala editor Middle East Eye
Hanya sedikit
pemimpin-pemimpin Arab hari ini yang mau untuk dibandingkan dengan kolonel
Muammar Gaddafi, sang diktator Libya yang hidupnya berakhir menyedihkan. Bahkan
lebih sedikit lagi yang ingin mengundang pembandingan tersebut, dengan mengutip
kata-kata yang diucapkan Gaddafi dari reruntuhan sebuah bangunan yang
dihancurkan dalam serangan udara AS pada 1986. Gaddafi menggunakan panggung
tersebut untuk melawan revolusi Libya sebulan setelah revolusi itu dimulai:
“siapa kau?” teriaknya.
Kata-katanya telah tercatat dalam sejarah.
Kata-kata ini mengekspresikan kemarahan dan ketidakmampuan seorang diktator
dalam kehilangan cengrakamannya. Apa yang membuat Abde Fata al-Sisi mengutip
kata-kata tersebut dalam sebuah pidatonya minggu lalu?
“Siapa kau? tak seorangpun dapat mendekati
Mesir. Saya bersumpah demi Allah bahwa siapapun yang mencoba mendekati Mesir
maka saya akan membuat mereka menghilang dari muka bumi.”
Sisi menyebut banyak hal lain selain kata-kata
tersebut: bahwa hanya dia sendiri lah yang tahu apa yang dilakukannya, bahwa
setiap rakyat Mesir yang terbangun setiap hari harus mendonasikan satu pound
Mesir kepada pemerintah; bahwa jika dia, Sisi, dapat dijual, dia akan menjual
dirinya demi Mesir; bahwa Mesir terlalu dini untuk memiliki sebuah demokrasi;
dan bahwa warga Mesir hanya boleh mendengarkan ucapannya.
Sisi berteriak: "Jangan dengarkan siapapun
kecuali saya! Saya sangat serius! Jangan dengarkan siapapun kecuali saya!"
Tersebarnya tawa secara luas, kecaman pada
pemerintahannya sendiri, dan tangisan kesedihan membayangi pidatonya. Bahwa
seorang “presiden Mesir” harus melakukan performa semacam ini disaat peluncuran
proyek yang diberi judul “Strategi Mesir untuk pembangunan yang berkelanjutan,
visi Mesir 2030”, melawan apa yang dapat dipercaya. Dia dengan cepat menjadi
bahan tertawaan di media sosial.
Pidato ini bukanlah yang pertama kali para
pendukungnya harus meragukan penilaiannya. Dalam sebuah video conference, Sisi
mengatakan pada warga Mesir untuk mengencangkan ikat pinggang mereka saat ia
meresmikan sejumlah proyek pembangunan di beberapa provinsi. Dia menyebut bahwa
subsidi air memakan biaya 40 juta pound Mesir sehari, sebuah beban yang tak lagi
dapat ditanggung Negara.
“Negara tak bisa terus seperti ini. Ini bukanlah
bahwa Negara tak mau menanggungnya, tapi bahwa Negara tak mampu menanggungnya,”
sebutnya.
Dalam perjalanan ke sebuah video conference,
konvoi kendaraan kepresidenannya melewati sebuah karpet merah sepanjang 3 mil
(4,8 kilometer). Brigadier jendral Ehabl el-Ahwagy menjelaskan bahwa karpet
merah tersebut membawa “kegembiraan dan kepastian pada warga Mesir -bahwa
warga, tanah air dan militer kita selalu mampu untuk mengorganisasi apapun
dalam cara-cara yang cermat”.
Ini bukanlah cara bagaimana pasar keuangan Mesir
melihatnya. Pound Mesir telah jatuh ke nilai terendah di pasar gelap, mencapai
9 Pound per Dollar, dan meningkatkan tekanan pada pemerintah untuk melakukan
devaluasi mata uang. Cadangan devisa telah terpangkas setengahnya sejak
revolusi pada 2011. Mereka telah berkurang dari 36 milyar dollar pada 25
Januari 2011 menjadi 16,4 milyar Dollar pada hari ini. Ini terjadi meskipun
suntikan dana hingga senilai 50 milyar Dollar dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab
dan Kuwait, yang didapatkan Sisi dalam periode Agustus 2013 hingga Januari
2014, dan suntikan lebih lanjut senilai 12 milyar Dollar dalam uang bailout
yang diterimanya pada Maret 2014. Cadangan devisa sekarang hanya mampu memenuhi
kebutuhan impor selama 3 bulan, jumlah minimum yang direkomendasikan oleh International Monetary Fund (IMF).
Sumber-sumber tradisional dari devisa telah
mengering. Pariwisata, yang menghasilkan 9 hingga 11 persen dari pendapatan
devisa negara jatuh sebanyak 46 persen bulan lalu bila dibandingkan dengan
periode sebelumnya pada tahun lalu. Pendapatan dari terusan Suez menurun pada
tahun ini meski terusan tersebut telah diperbesar dengan biaya 8,2 milyar
Dollar. Kepala otoritas terusan Suez Laksamana Madya Mohab Mamish mengklaim
bahwa perluasan tersebut akan meningkatkan pendapatan tahunan lebih dari dua
kali lipat ke level 13,5 milyar Dollar pada 2023. Tahun lalu pendapatan kanal
jatuh dari 5,5 milyar ke 5,2 milyar Dollar.
Investasi asing sekarang hanya berjumlah 40%
dari level tahun 2007, meski perilaku dari salah seorang investor asing
seharusnya menyebabkan Sisi menjadi khawatir. Saudi Arabia, dibawah
kepemimpinan raja Salman, sekarang terbukti menjadi rezim yang kurang ramah
pada As-Sisi berbeda dimasa raja Abdullah, yang menjadi donor kudeta militer
Mesir (pada 2013).
Ada sejumlah alasan yang menyebabkan
mendinginnya hubungan antara Riyadh dan Kairo. Lingkaran dalam mendiang
Abdullah berkampanye secara militan melawan raja Salman, begitu pula dengan media
Mesir yang kepada lingkaran ini mereka menjadi pelayan. Kerajaan ini juga
kehabisan uang sebagai hasil dari jatuhnya harga minyak, yang menyebabkan
produsen shale oil Amerika terdepak dari pasar.
Tetapi mungkin alasan paling penting yang tak
terucap adalah bahwa lingkaran dalam raja Salman tak lagi memandang Sisi,
secara personal, sebagai taruhan aman. Ini tak berarti bahwa Saudi Arabia akan
meninggalkan keyakinannya bahwa Mesir hanya bisa dikuasai oleh seorang Marsekal
militer. Tetapi itu dapat berarti bahwa sang raja tidak akan berduka bila
seorang jendral Mesir menggantikan yang lainnya, yang merupakan skenario paling
mungkin untuk saat ini.
Bukti dari kebijakan baru Saudi tak dapat
dilihat secara jelas. Tapi bukti itu ada disana. Pada bulan Desember, Saudi
setuju untuk menginvestasikan 30 milyar riyal (8 milyar dollar) di Mesir
melalui dana Negara yang dimilikinya, untuk menolong Mesir menyelesaikan krisis
devisa nya.
Bloomberg berkomentar bahwa dana yang dijanjikan
menyiratkan bahwa kerajaan tersebut tetap berkomitmen untuk mendukung Mesir,
meskipun terjadi penurunan harga minyak dan konflik di Yaman. Tapi laporan
terbaru dari koran Al Masry Al Youm sekarang
telah melaporkan bahwa pihak Saudi diEgyptian-Saudi Coordination
Council menolak sejumlah
besar tawaran proyek, yang akan menarik 8 milyar dollar dalam investasi
tersebut. Menurut sumber-sumber yang dimiliki Koran tersebut, negosiasi sangat
sulit, dengan pihak Saudi hanya melihat dari sisi keras komersial saja.
Hari-hari dimana Sisi mengatakan pada para
penasihatnya mengenai betapa banyak uang yang dimiliki Negara-negara Teluk
(“uang mereka sebanyak nasi”) telah berakhir. Tanda-tanda dari kelangkaan uang
di Mesir ada dimana-mana. Ada kelangkaan obat-obatan karena industri farmasi
Mesir harus membayar bahan bakunya dalam mata uang Dollar dan menjual obat-obat
tersebut dalam Pound Mesir. Pada bulan Desember tahun lalu terdapat 232 jenis
obat yang suplainya langka, termasuk 43 jenis obat yang tak memiliki pengganti.
Publikasi Industri farmasi “Biopharma Dive”
melaporkan: “Harga obat-obatan oleh kementerian kesehatan Mesir telah
ditetapkan (tidak berdasarkan mekanisme pasar) yang berarti harga-harga bahan
baku ditanggung oleh margin keuntungan para produsen. Dampak bersihnya adalah
para produsen memilih untuk tidak membuat obat-obatan tertentu demi mengurangi
kerugian.”
Gulf News melaporkan bahwa Air France/KLM sudah tak bisa
mentransfer pendapatan mereka senilai 100 juta pound Mesir keluar dari Negara
tersebut sejak Oktober karena kelangkaan dollar.
Cees Ursem, Manager maskapai tersebut untuk
Mesir berkata: “Ini adalah masalah yang sangat, sangat serius karena semua
pendapatan kami diblokir oleh Bank, tapi disaat yang sama kami memiliki semua
biaya tetap seperti biaya sewa pesawat, pembelian bahan bakar, gaji pegawai,
hak terbang, penanganan di darat dsb, yang harus dibayar dalam dollar, jadi
bagaimana usulmu agar kami dapat melanjutkan operasi-operasi ini?’
Sebuah pengiriman gas alam cair dari BP
dialihkan ke Brazil pada bulan Januari setelah Mesir membekukan pembayaran
sampai bulan Maret, seperti dilaporkan oleh Interfax. Laporan ini menyebutkan
bahwa Mesir berutang 3 milyar dollar kepada perusahaan-perusahaan minyak
internasional -uang yang kemungkinannya kecil dapat dibayarkan sebelum akhir
tahun 2017.
Perlahan-lahan dunia mulai mengejar Sisi, karena
itulah mengapa, saat krisis dibawah kepemimpinannya semakin memburuk, dia
terlihat semakin terputus dari kenyataan. Perilaku Sisi tidak dapat dimengerti
bahkan oleh para pendukungnya.
Sisi seharusnya sekarang telah mendirikan sebuah
partai pro-pemerintah, atau setidaknya sekelompok oligarki yang dapat membagi
beban menjalankan pemerintahan. Tetapi dia terlihat melakukan hal sebaliknya,
memainkan peran firaun, ditunjuk oleh Tuhan, yang sendirian memutuskan nasib
Mesir di tangannya.
Firaun yang ini telah membakar sejumlah besar
dollar. Dalam prosesnya, ia telah menyingkirkan sebagian besar pihak yang
mendukung kudetanya terhadap sang presiden dari Ikhwanul Muslimin. Saat waktu
terus berjalan, Sisi tak bisa lagi menyalahkan Ikhwan atas kekacauan yang
dialami Mesir. Kritik terbuka yang menumpuk di media adalah pertanda dari
ketidakpuasan secara luas yang terjadi di ‘klan’nya sendiri. Pada akhirnya Sisi
akan kehabisan alasan dan seperti Gaddafi yang kehabisan kata-kata.
“Siapa kau (yang coba menyingkirkan aku)?” Sisi
akan bertanya lagi. “Mesir”, jawaban yang akan segera diberikan.
*Sumber: kolom Middle East Eye, edisi 1 Maret 2016