Oleh: Silmi Kafhah
Hidayat
Sahabat VOA-Islam...
Nabi
Muhammad SAW adalah Nabi yang diutus oleh Allah SWT untuk memberikan
petunjuk bagi umat manusia agar bisa hidup selamat di dunia dan akhirat. Nabi
Muhammad SAW lahir di kota Mekkah pada tanggal 12 rabiulawal tahun gajah.
Hari
kelahiran nabi biasa kita peringati sebagai hari maulid nabi. Pada hari itu
banyak sekali ekspresi dan bentuk kecintaan umat muslim kepada nabi Muhammad
saw. Namun sebenarnya kita perlu merenungkan kembali makna cinta dan ittiba (mengikuti) kepada Rasul saw juga
bagaimana mewujudkan dan menerapkan cinta dan ittiba kepada beliau itu secara nyata
di tengah-tengah kehidupan kita saat ini.
Allah
SWT memerintahkan kita untuk menaati beliau atas dasar keimanan terhadap
kenabian dan kerasulan Muhammad saw, sesuai dengan firmannya : “Taatlah kalian kepada Allah dan
Rasul supaya kalian di rahmati” (QS: Ali Imran [3]:132). Dan “Siapa saja yang menaati Rasul
sesungguhnya ia telah menaati Allah” (QS: An-Nisa [4]:80). Lebih
dari itu Allah SWT mewajibkan kepada kaum muslim untuk ittiba kepada Rasul saw, dijadikan sebagai
pembuktian nyata seorang hamba yang mencintai Allah SWT.
Allah
SWT menjadikan ittiba kepada Rasul saw. sebagai
syarat terbuktinya keniscayaan dan kecintaan kepada Allah SWT. Jika syarat
tersebut tidak terbukti, maka kecintaan kita kepada Allah pun tidak terbukti.
Mencintai Allah itu wajib, maka ittiba kepada Rasul pun juga wajib.
Sebagaimana kecintaan kita kepada Allah, kecintaan kita kepada Rasul harus
tampak pengaruh dan kesannya pada diri seorang muslim. Qadhi
al-‘Iyadh menyatakan:
“Ketahuilah
bahwa siapa yang mencintai sesuatu maka pengaruh dan kesan kebenaran klaim
cinta itu haruslah tampak. Jika tidak, maka kecintaan itu hanyalah klaim
kosong. Orang yang benar-benar mencintai Nabi saw. adalah orang yang
tanda-tanda kecintaannya kepada Nabi saw. itu tampak pada dirinya.”
Cara
yang harus dilakukan jika kita ingin membuktikan cinta dan ittiba kita pada Rasul adalah, Pertama: meneladani beliau, menerapkan Sunnah
beliau, mengikuti ucapan dan perbuatan beliau, mengikuti perintah dan menjauhi
larangan beliau, serta beradab dengan adab beliau baik dalam keadaan susah atau
mudah, baik disukai ataupun tidak disukai.
Kedua: Banyak mengingat Nabi saw. misalnya
selalu bershalawat kepada beliau dengan mengagungkan beliau, merendahkan diri
saat mengingat beliau dan menampakkan kekhusyukan dan ketundukan saat mendengar
nama beliau.
Ketiga: membenci siapa saja yang di benci oleh
Allah SWT dan Rasul-Nya, memusuhi siapa saja yang di musuhi beliau, menjauhi
siapa saja yang menyalahi Sunnah beliau dan membuat perkara-perkara baru di
dalam agama beliau (islam).
Keempat: mencintai al-Qur’an dan menjadikan
al-Qur’an sebagai petunjuk dengan cara sering membacanya, memahaminya dan
mengamalkan isinya.
Kelima: Lemah lembut dan belas kasih kepada umat
Nabi saw. dengan cara menasehati umat beliau serta berupaya mewujudkan berbagai
kemaslahatan mereka dan menghilangkan hal yang membahayakan mereka.
Keenam: Bersikap zuhud di dunia dan tidak
mengutamakan dunia, bersabar atas kefakiran dan kekurangan.
Cinta
dan ittiba kepada
Rasul jelas diwajibkan oleh syariah, kedua kewajiban tersebut harus diwujudkan
sesuai kehendak syariah, bukan kehendak kita. Jika cinta dan ittiba mengikuti kehendak kita,
akibatnya mungkin kita hanya mengikuti dan meneladani Rasul hanya dari sisi
moral, personal dan ibadah mahdah-nya saja tidak
meneladani Rasul dalam menerapkan hukum syariah, mengelola pemerintahan,
berpolitik, mengelola perekonomian, membangun interaksi kemasyarakatan,
menyelesaikan berbagai perkara dan perselisihan yang terjadi di masyarakat
dengan hukum islam serta menegakkan kekuasaan dan sistem yang menerapkan
syariah islam.
Kita
dituntut untuk mewujudkan ittiba kepada Nabi saw. secara totalitas (kaffah). Allah SWT
berfirman: “Apa saja
yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah; apa saja yang dia larang atas
kalian, tinggalkanlah dan bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah
sangat keras hukuman-Nya” (QS:al-Hasyr[59]:7). Maknanya adalah
apapun yang beliau perintahkan, lakukanlah; apapun yang beliau larang, jauhilah
(Imam Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al’Azhim).
Cinta
dan ittiba pada
Nabi saw. hakikatnya adalah mengambil seluruh syariah yang beliau bawa dan
menjadikannya sebagai pedoman hidup kita. Hal itu dijadikan Allah SWT sebagai
bukti kebenaran iman. Allah SWT berfirman:
“Demi
Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim dalam perkara apapun yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima sepenuhnya”
(QS: An-nisa[4]:65).
Maknanya
adalah dengan menjadikan syariah yang beliau bawa sebagai hukum untuk
memutuskan segala perkara yang terjadi. Untuk itu kita membutuhkan kekuasaan
yang akan mengaturnya, Rasul pun telah mencontohkan bagaimana beliau memohon
kekuasaan kepada Allah SWT untuk mewujudkan hal tersebut: “Dan berikanlah kepadaku dari sisi
Engkau kekuasaan yang menolong” (QS: Al-‘isra[17]:80).
Imam Qatadah menjelaskan “Nabi saw. menyadari bahwa tidak ada daya bagi beliau
dengan perkara ini kecuali dengan kekuasaan”. Kekuasaan itu adalah sulthan[an]
nashir[an] (kekuasaan
yang menolong). Artinya kekuasaan yang sedari awal ditujukan untuk menolong
agama Allah, kitabullah dan untuk menegakkan syariah-Nya.
Kekuasaan
yang menolong itu tidak lain adalah Khilafah Rasyidah ‘ala
minhaj an-nubuwwah. Karena itu mari kita kembali meneruskan
perjuangan Nabi saw. yaitu berjuang untuk menerapkan syariah secara keseluruhan
dengan menegakkan kembali Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Perjuangan ini harus menjadi tujuan utama umat islam untuk segera diwujudkan. Wallahu’alam
bi as-shawab. [syahid/voa-islam.com]
Tokoh Sufi Habib Luthfi Bin Yahya: Anti Maulid Lebih
Berbahaya Daripada Anti Sahabat. Sedangkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa
Sallam, Para Sahabat, Para Thabi’in, Thabi’ut Thabi’in, Imam Yang Empat, Para
Ulama Seperti Imam Bukhari, Muslim, Tidak Ada Yang Pernah Satu Kalipun
Mengadakan Maulid Nabi....