Tuesday, July 5, 2016

Kebenaran Tidak Diukur Dengan Banyaknya Orang Yang Mengikutinya.Berpegang Pada Suara Mayoritas Adalah Kaidah Kaum Jahiliyah

Hasil gambar untuk mayoritas

Kebenaran Tidak Diukur Dengan Banyaknya Orang Yang Mengikutinya

Al Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah
Orang yang cermat pandangannya dan benar imannya tidak akan merasa gelisah karena sedikitnya teman dan bahkan dari tiadanya teman jika hatinya telah merasa berteman dengan generasi pertama (salafus shalih) dari orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah Azza wajalla, yaitu para nabi, siddiqun (orang-orang yang membenarkan), syuhada (orang-orang yang mati syahid), dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sebaik-baik teman. Maka kesendirian seseorang dalam pencariannya mencari hidayah sebagai bukti kesungguhan dia dalam mencari kebenaran.

Ishaq bin Rahawaih pernah ditanya tentang suatu perkara, lalu dia menjawab. Maka dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya saudaramu Ahmad bin Hanbal mengatakan perkara ini seperti itu.” Maka dia menjawab, “Aku tidak menyangka bahwa seseorang sepakat denganku dalam perkara ini.”

Dia tidak merasa kesepian setelah tampak al haq (kebenaran) baginya meskipun tidak ada yang sependapat dengannya. Sesungguhnya al haq (kebenaran) jika telah tampak dengan jelas, maka tidak membutuhkan saksi yang mendukungnya. Sebab qalbu melihat kebenaran sebagaimana mata melihat matahari. Maka, jika seseorang telah melihat matahari, dan berdasarkan keilmuan dan keyakinannya bahwa matahari telah terbit, maka dia tidak membutuhkan saksi untuk itu dan tidak membutuhkan orang untuk sepakat atas apa yang dilihatnya.

Betapa bagusnya apa yang dikatakan Abu Muhammad Abdurrahman bin Isma’il yang dikenal dengan nama Abu Syamah dalam kitabnya Al Hawaditsu wal Bida’,

“Dimana terdapat perintah untuk berpegang teguh terhadap jama’ah. Maka yang dimaksud denganya adalah, berpegang teguh terhadap kebenaran dan mengikutinya, meskipun orang yang berpegang teguh kepadanya teramat sedikit, sedangkan orang yang menyelisihinya sangatlah banyak. Sebab al haq (kebenaran) adalah apa yang ada pada jama’ah pertama pada masa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan shahabatnya (salafus ahalih), dan tidak perlu menoleh kepada banyaknya ahlul bid’ah sepeninggal mereka.”

‘Amr bin Maimun Al-Audi berkata, “Aku telah menemani Mu’adz di Yaman, dan aku tidak berpisah dengannya hingga aku menguburkannya di Syam. Kemudian setelah itu, aku menemani orang yang paling faqih, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, maka aku mendengar beliau berkata, ‘Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap jama’ah. Sebab tangan Allah Azza wajalla di atas jama’ah.’
Pada suatu hari aku mendengar beliau berkata, ‘Akan memimpin kalian para pemimpin yang mengakhirkan shalat dari waktunya, maka shalatlah kalian tepat pada waktunya, sebab demikian itu adalah yang wajib, dan shalatlah kalian bersama mereka karena shalat itu bagi kalian adalah tambahan (sunnah).’ Aku berkata, ‘Wahai shahabat Muhammad! Aku tidak mengerti apa yang engkau bicarakan kepada kami?’ beliau berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Engkau memerintahkan aku berjama’ah dan menghimbauku kepadanya kemudian engkau berkata, ‘Shalatlah kalian sendirian, dan demikian itu adalah yang wajib, dan shalatlah kalian bersama jama’ah, dan itu sunnah?’ Beliau berkata, ‘Wahai ‘Amr bin Maimun, aku mengira engkau orang yang terpandai tentang fiqh dari penduduk negeri ini. Engka mengerti, apa jama’ah itu?’ Aku berkata, ‘Tidak.’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya mayoritas masyarakat adalah orang-orang yang berpaling dari jama’ah. ‘

اَلْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقُّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ

“Jama’ah adalah apa-apa yang mencocoki al haq, meskipun engkau hanya sendirian’.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Maka dia memukul pahaku dan berkata, ‘Celakalah kamu! Sesungguhnya mayoritas manusia berpaling dari jama’ah. Sesungguhnya jama’ah adalah apa yang sesuai dengan keta’atan kepada Allah ‘Azza wa Jalla’.”

Nu’aim bin Hammad berkata, “Yakni, jika jama’ah telah rusak, maka engkau harus berpegang teguh terhadap apa yang telah dilakukan jama’ah ketika sebelum rusak, meskipun engkau sendirian, maka sesungguhnya ketika itu engkau adalah jama’ah.”

Hasan Al-Bashri berkata, “Sunnah itu -demi Dzat yang tiada Tuhan selain Dia- di antara orang yang berlebih-lebihan dan orang yang meremehkan. Maka bersabarlah kalian di atasnya, semoga Allah merahmati kalian. Sebab Ahlus Sunnah adalah minoritas di antara manusia pada masa lalu dan mereka juga manusia minoritas pada masa sesudahnya. Yaitu orang-orang yang tidak pergi bersama orang-orang yang bermewah-mewahan dalam kemewahan mereka, dan juga tidak bersama orang-orang yang mengikuti bid’ah dalam kebid’ahan mereka, dan mereka sabar atas Sunnah hingga bertemu dengan Rabb mereka. Maka dalam keadaan demikianlah kalian harus berada, insya Allah.”

Muhammad bin Aslam Ath-Thusi, seorang imam yang disepakati keimamannya adalah orang yang paling mengikuti sunnah pada masanya, hingga beliau berkata, “Tidak sampai kepadaku Sunnah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melainkan aku mengamalkannya. Dan sungguh aku ingin thawaf di Ka’bah dengan naik unta, namun tidak memungkinkan bagiku untuk melakukannya.“
Maka sebagian ulama di masa beliau pernah ditanya tentang As-Sawad Al-‘Azham yang disebutkan dalam hadits, “Jika manusia berselisih maka hendaklah kalian berpegang teguh terhadap As-Sawad Al-‘Azham.” Maka mereka berkata, “Muhammad bin Aslam Ath-Thusi adalah As-Sawad Al-‘Azham.”

Benar, demi Allah, bahwa di suatu masa bila di dalamnya terdapat orang yang mengerti tentang As Sunnah dan mendakwahkannya, maka dia adalah hujjah, ijma’, dialah As-Sawad Al-‘Azham, dan jalan orang-orang Mukmin dari generasi pertama umat ini. Barangsiapa memisahkan diri darinya dan mengikuti selainnya, maka Allah Subhanahu wata’ala akan memalingkan dia kepada apa yang dia berpaling dan Allah Subhanahu wata’ala akan memasukkan dia ke Jahannam, seburuk-buruknya tempat kembali.
(Disalin dari kitab Ighatsah Al-Lahfan min Masyahid Asy-Syaithan, Karya Al Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah)

Berpegang Pada Suara Mayoritas Adalah Kaidah Kaum Jahiliyah

Perlu kita ketahui bersama bahwa di antara kaidah terbesar kaum jahiliyah dulu adalah berpegang dan terbuai dengan jumlah mayoritas.

Mereka menilai suatu kebenaran dengannya serta menilai suatu kebatilan dengan langka dan sedikitnya orang yang melakukan.

Mereka menilai suatu kebenaran dengan jumlah mayoritas, dan menilai suatu kesalahan dengan jumlah minoritas.

Sehingga sesuatu yang diikuti oleh kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti oleh segelintir orang berarti salah.

Inilah patokan yang ada pada diri mereka di dalam menilai yang benar dan yang salah. Tentunya kaidah dan patokan ini sangat jauh dari kebenaran.

Allah ta’ala menyatakan;

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّـهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ ﴿١١٦﴾

“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah subhanahu wa ta’la).”  (al-An’am: 116)

Demikian pula dalam ayat yang lain;

 وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿١٨٧﴾

“Tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.”  (al-A’raf: 187)

Bahkan mayoritas manusia berada dalam kefasiqan, Allah ta’ala menyebutkan;

وَمَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ ۖ وَإِن وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ ﴿١٠٢﴾

“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik.”  (al-A’raf: 102)

Maka tolok ukur kebenaran bukanlah banyaknya pengikut suatu mazhab atau perkataan, namun yang menjadi pertimbangan adalah apakah benar ataukah batil.

Selama sesuatu tersebut benar walaupun yang mengikutinya hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang mengikutinya, maka itulah yang harus dipegang.

Sebaliknya, sesuatu yang batil tidaklah terdukung dan dibela karena banyaknya orang yang mengikutinya. Jika memang kebatilan maka harus dijauhi dan ditinggalkan.

Demikianlah tolak ukur dan barometer kebenaran.

Namun yang sangat disayangkan banyak dari kita yang belum memahami akan hal tersebut. Kondisi ini diperparah oleh sebagian yang lain yang sebenarnya memahami hal tersebut namun hawa nafsu mengalahkan itu semua.

Hati, penglihatan dan pendengaran telah berbalut kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Apa yang ada dalam benak mereka ketika menilai kebenaran adalah suara dan jumlah. Semakin banyak dan besar maka itulah yang benar.

Jika pemikiran ini mendekam dalam diri mereka sendiri maka tentunya kejelekan yang akan timbul lebih ringan. Namun kenyataan yang ada pemikiran ini justru malah disebarluaskan dan ditancapkan ke dalam jiwa kaum muslimin (baca; para pengikut dan massanya). Sudah pasti dampak negatifnya lebih parah.

Apalagi jika para pengikutnya yang “mayoritas” tersebut dijadikan tunggangan untuk menghancurkan “kaum minoritas” yang seringnya “menyentil” berjuta kesalahan yang terjadi di tengah-tengah kaum mayoritas.

Dan realita yang ada sekarang memang demikian, bukankah begitu? 
Semoga menjadi bahan introspeksi untuk kita semua.
حسبنا الله ونعم الوكيل نعم المولى و نعم النصي

Hukum Mayoritas

Apakah kebenaran itu diukur dengan suara mayoritas?

Pertanyaan ini mungkin sering muncul di benak kita, terkhusus seorang muslim.

Kenyataan di lapangan, banyak orang memandang bahwa suara atau jumlah mayoritas menjadi penentu tunggal suatu kebenaran.

Yang akhirnya muncul dari pemikiran ini sikap antipati dan benci dengan minoritas, terlebih jika minoritas tersebut ternyata menjadi “batu ganjalan” kaum mayoritas.

Lalu bagaimana keadaan sebenarnya?

Sebelum kita membahas permasalahan tersebut, alangkah baiknya untuk kita sejenak menengok kembali siapakah diri ini yang disebut sebagai manusia.

1. Kita ini (manusia) makhluk yang sering berbuat kezaliman dan sangat bodoh

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا ﴿٧٢﴾

“Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.”(al-Ahzab: 72)

Dalam ayat ini Allah ta’ala menyebutkan bahwa Allah tawarkan amanat kepada makhluk-makhluk-Nya berupa melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya yang semua itu berkonsuekensi beroleh pahala atau justru beroleh siksa. Tidak ada yang mampu dan mau menerima tawaran tersebut kecuali kita (manusia).

Padahal kalau mau dibandingkan sungguh tidak mungkin kita disamakan dengan langit, bumi dan gunung-gunung.

Di akhir ayat Allah menyatakan bahwa kita itu makhluk yang amat zhalim dan amat bodoh. Inilah karakter dan sifat asli kita.

2. Manusia itu banyak (mayoritas) yang tidak beriman dan menentang rasul-Nya

Allah  ta’ala  berfirman:

إِنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ ﴿١٧﴾

“Sesungguhnya (al-Qur’an) itu benar-benar dari Rabbmu, tetapi mayoritas manusia tidak beriman.”  (Hud: 17)

Dalam ayat yang lain Allah  ta’ala  berfirman:

فَإِن كَذَّبُوكَ فَقَدْ كُذِّبَ رُسُلٌ مِّن قَبْلِكَ جَاءُوا بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَالْكِتَابِ الْمُنِيرِ ﴿١٨٤﴾

“Jika mereka mendustakan kamu (Muhammad), maka sesungguhnya para rasul sebelummu pun telah didustakan (pula). Mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan Kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.”  (Ali ‘Imran: 184)

Inilah keadaan manusia berikutnya, mayoritas tidak beriman dan menentang bahkan mendustakan para rasul.

3. Banyak dari kita yang membenci kebenaran dan sering berbuat kefasikan

Allah ta’ala berfirman:

لَقَدْ جِئْنَاكُم بِالْحَقِّ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَكُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ ﴿٧٨﴾

“Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kalian, tetapi mayoritas dari kalian membenci kebenaran itu.”  (az-Zukhruf: 78)

وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ ﴿٤٩﴾

“Dan sesungguhnya mayoritas manusia adalah orang-orang yang fasiq.”  (al-Maidah: 49)

4. Disadari atau tidak, disengaja atau tidak, mayoritas manusia mengajak orang lain dengan hawa nafsu mereka menuju kesesatan dan kekeliruan.

Dalam sebuah ayat-Nya Allah ta’ala berfirman;

وَإِنَّ كَثِيرًا لَّيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِم بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ ﴿١١٩﴾

“Sesungguhnya mayoritas (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu.”  (al-An’am: 119)

5. Mayoritas manusia menjadi penghuni Jahannam

Allah ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ ۖ ﴿١٧٩﴾

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Jahannam mayoritas dari jin dan manusia.”  (al-A’raf: 179)

Inilah beberapa sifat dan karakter serta keadaan mayoritas manusia.

Jika demikian keadaannya maka suara dan jumlah mayoritas tidak mutlak menjadi penentu kebenaran.

Kita katakan kebenaran adalah kebenaran meskipun minoritas dan sebaliknya kita katakan kesalahan adalah kesalahan meskipun mayoritas.

Barometer kebenaran adalah ketika sesuatu itu mencocoki al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman yang benar tentang keduanya, yaitu pemahaman para shahabat nabi radhiallahu ‘anhum yang Allah ta’ala telah meridhai mereka.


Related Articles

Kebenaran Tercampakkan karena Kedengkian dan Kesombongan
Kebodohan Akan Menghalangi Seseorang Untuk Menerima Kebenaran
Bahwasanya Hati Nurani Setiap Orang Lebih Menyukai dan Menginginkan Kebenaran Ketimbang Kebathilan