Ulama adalah manusia pilihan
setelah para nabi dan rasul. Allah ta’ala memilih mereka untuk melanjutkan
tongkat estafet dakwah tauhid yang diemban para nabi dan rasul. Mereka memiliki
kedudukan yang tinggi dalam Islam. Allah ta’ala telah meninggikan posisi mereka
beberapa derajat dari keumuman muslimin.
Allah ta’ala berfirman :
يَرْفَعِ اللَّـهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ
وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
﴿١١﴾
“Allah mengangkat kedudukan
orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu
beberapa derajat dan Dia Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”
(al-Mujadilah: 11)
Merupakan kewajiban setiap
muslim untuk menempatkan ulama pada kedudukan yang telah ditetapkan Allah
ta’ala dan rasul-Nya.
Diriwayatkan dari Aisyah
radhiallahu ‘anha beliau berkata:
“Rasulullah memerintah kami
untuk menempatkan manusia sesuai kedudukan mereka” (HR. Muslim)
Pembaca rahimakumullah,
Di antara sebab kejelekan
umat manusia adalah ketika mereka tidak lagi memosisikan ulama pada posisi yang
semestinya. Ada yang berlebihan dalam memuliakan ulama sampai mengangkat
kedudukan mereka melebihi para nabi dan rasul.
Adapula yang sangat meremehkan
dan menghinakan ulama, sampai benar-benar kehormatan mereka tidak berharga sama
sekali.
Namun di sana ada golongan
yang selamat yaitu orang-orang yang menempatkan ulama pada kedudukan yang
semestinya. Merekalah ahlusunah wal jama’ah (Aswaja) golongan yang
tengah-tengah diantara kelompok ekstrem ghuluw (berlebihan memuliakan) dan
kelompok ekstrem jafa’ (berlebihan dalam meremehkan).
Semoga kita diselamatkan oleh
Allah ta’ala dari dua sifat ekstrem yang tercela dan membinasakan ini..!
Amin
Sebuah fenomena yang sering
kita jumpai pada tokoh dan kiai NU, yaitu kebiasaan mencerca dan menghina para
ulama. Tidak hanya ulama di luar ormas NU bahkan ‘ulama’ mereka sendiri dihujat
dan dicerca habis-habisan.
Hal seperti ini lumrah
didapati di kalangan tokoh dan kiai NU yang diulamakan.
Bahkan sudah menjadi rahasia
umum, seringnya ulama, kiai dan tokoh NU saling menghujat, saling menjatuhkan
bahkan saling mengucapkan kata-kata pengkafiran demi kepentingan politik yang
mereka lakoni.
Inilah sekilas gambaran akhlak
dan perilaku tokoh dan kiai NU. Ini pula salah satu bentuk tarbiyah
(pendidikan) umat terkhusus kepada warga NU.
Padahal kiai dan tokohnya
selalu mengkampanyekan slogan rahmatan lil alamin!
Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ
مَا لَا تَفْعَلُونَ ﴿٢﴾ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّـهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا
تَفْعَلُونَ ﴿٣﴾
“Wahai orang-orang yang
beriman mengapa kalian mengucapkan seseuatu yang kalian tidak kerjakan? amat
besar murka Allah kalian mengucapkan sesuatu yang kalian tidak kerjakan”
(ash-Shaf: 2-3)
Lalu bagaimana mereka bisa
menjaga lisan kepada ulama umat yang kokoh di atas kebenaran, namun menyelisihi
NU dalam akidah, prinsip dasar agama dan amaliah ibadah?
Tentu sangat tajam lisan
mereka dalam melecehkan dan mengolok-olok, menyesatkan bahkan sampai nekat
mengkafirkan.
Lihatlah salah satu kiai NU
garis lurus yang katanya ingin memurnikan ormas NU di atas prinsip aswaja yaitu
KH. Luthfi Bashori, yang dijuluki sebagai “IMAM BESAR NU GARIS LURUS”.
Dalam sebuah
Makalah untuk Kajian Pesantren Sidogiri dengan judul Kesesatan al-Albani.
Sang kiai berupaya memaparkan
beberapa penyimpangan Syaikh al-Albani menurut anggapannya, dan menegaskan
secara ‘ilmiah’ bahwa Syaikh al-Albani tidak layak disebut muhaddits (ahli
hadits) dan tidak pantas menjadi panutan umat.
Apakah benar demikian?
Mari kita buktikan tingkat
kebenaran dan keilmiahan makalah Imam Besar NU Garis Lurus kiai Luthfi
tersebut.
Yang diklaim ilmiah oleh NU
Garis Lurus, mereka tampilkan di situs mereka dengan memberi judul:
NUGarisLurus.Com – Makalah
ilmiah Imam Besar NU Garis Lurus tentang kesesatan ahli hadats yang bukan ahli
hadits andalan wahabi Al Albani ini!
Dalam makalah ‘ilmiah’
tersebut kiai Luthfi Bashori menyatakan:
“Bahkan golongan Wahhabi
Salafi mengganggap al-Albani itu kedudukannya se-derajad dengan Imam Bukhari
pada zamannya. Sehingga semua hadits bila telah dishahihkan atau dilemahkan dan
sebagainya, oleh al-Albani ini, sudah pasti kebenaran”
Pada penggalan pertama dari
pernyataan di atas:
“Bahkan golongan Wahhabi
Salafi mengganggap al-Albani itu kedudukannya se-derajad dengan Imam Bukhari
pada zamannya”
Kami katakan:
Ini adalah anggapan yang
tidak beralasan alias dusta. Karena Ahlusunnah atau Salafy meyakini bahwa ulama
salaf (terdahulu) lebih utama dan lebih berilmu daripada ulama yang datang
setelahnya (masa kini).
Terlebih al-Imam al-Bukhari
rahimahullah tidak mungkin disejajarkan dengan asy-Syaikh al-Albani
rahimahullah, baik dari sisi ilmu, fikih, ibadah dan yang lainnya.
Akan tetapi jika yang
dimaksud oleh kiai Luthfi Bashori Imam Besar NU Garis Lurus adalah keluasan
ilmu dalam bidang hadits, apakah itu pengetahuan yang detail tentang ‘perawi
hadits, ilal hadits (penyakit hadits), isnadul hadits (sanad-sanad hadits),
thuruq ar-riwayat (jalan-jalan periwayatan hadits) serta kidah-kaidah hadits.
Maka kami katakan:
Sah-sah saja kalau dikatakan
asy-Syaikh al-Albani mirip dengan al-Imam al-Bukhari pada zamannya.
Artinya beliau asy-Syaikh
al-Albani unggul, serta sangat menonjol dalam ilmu hadits dan cabang-cabangnya
dibandingkan ulama besar lain di masa ini. Sebagaimana al-Imam al-Bukhari
unggul dalam hal ini dibandingkan ulama besar lain pada zamannya.
Hal ini bisa dibuktikan pada
berbagai karya ilmiah beliau rahimahullah dalam bidang hadits. seorang yang
sedikit saja memahami ilmu hadits akan mengakui kelebihan yang ada pada beliau.
Apalagi para ulama besar yang
sezaman dengan asy-Syaikh al-Albani telah merekomendasi bahwa beliau adalah
pakar hadits masa ini dan menjulukinya dengan al-Muhaddits.
Di antara rekomendasi
tersebut dari asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullahu, mufti
agung kerajaan Arab Saudi terdahulu, dalam ucapannya:
ما رأيت تحت أديم السماء عالماً بالحديث في العصر
الحديث مثل العلامة محمد ناصر الدين الألباني
“Aku tidak mendapati di bawah
kolong langit seorang yang lebih berilmu tentang hadits dibandingkan al-Allamah
Muhammad Nasiruddin al-Albani”
Ini adalah pujian dari
seorang alim kabir (ulama besar) di zaman ini, yang telah diakui kredibilitas
dan kapasitas ilmu beliau oleh para ulama dunia yang memiliki kapasitas ilmu
dan sportifitas dalam menilai.
Adapun nama-nama yang
disebutkan kiai Luthfi dari ‘pakar hadits’ yang mengkritisi asy-Syaikh
al-Albani, maka kami katakan sebagaimana firman Allah ta’ala:
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ
صَادِقِينَ ﴿١١١﴾
Katakan: “Sampaikan bukti dan
alasan kalian jika memang kalian orang-orang yang jujur” (al-Baqarah: 111)
Oleh karena itu, tidaklah
yang mengingkari kapasitas ilmu asy-Syaikh al-Albani terkhusus dalam bidang
hadits dan berusaha menjatuhkan beliau, kecuali satu dari dua tipe manusia.
Mungkin dia tidak mengerti
dan tidak mengenal lebih dekat siapa figur al-Albani dan karya-karyanya,
sehingga perlu di jelaskan kepadanya.
Atau kemungkinan kedua, dia
adalah pengekor hawa nafsu yang cenderung menolak kebenaran dan fanatik buta
dengan kelompoknya, maka kita hanya bisa berdo’a sebagaimana do’anya Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ
الْأَخْلَاقِ، وَالْأَعْمَالِ، وَالْأَهْوَاءِ
“Ya Allah sungguh aku
berlindung kepada-Mu dari kejelekan akhlak, amal dan hawa nafsu” (HR.
at-Tirmidzi)
Semoga Allah ta’ala
menyelamatkan kita semua dari kungkungan hawa nafsu yang menyesatkan!
Pembaca rahimakumullah,
semoga Allah ta’ala merahmati kami dan anda semua…
Adapun penggalan kedua
pernyataan kiai Luthfi Bashori:
“Sehingga semua hadits bila
telah dishahihkan atau dilemahkan dan sebagainya, oleh al-Albani ini, sudah
pasti kebenaran”.
Kami katakan:
Ini adalah tuduhan yang tidak
berdasar dan lebih didominasi tendensi kebencian kepada asy-Syaikh al-Albani.
Karena sudah pasti, tidak semua hadits yang dihukumi oleh beliau benar dan
diterima begitu saja oleh para ulama. Ada yang ditolak dan mayoritasnya
diterima, sebagaimana dijelaskan para ulama. Bahkan diantara murid beliau ada
yang berbeda dalam menghukumi beberapa hadits. Hal ini menunjukkan bahwa syaikh
al Albani walaupun ulama yang luas ilmunya namun beliau tidak makhsum. Juga
menunjukkan bahwa ahlussunah yang kalian tuduh wahabi selalu ilmiah dalam
beragama serta jauh dari sikap taklid dan fanatik buta.
Bahkan telah dimaklumi adanya
taraju’at (rujuk kembali untuk meralat) dari beliau dalam menghukumi beberapa
hadits. Yang mana ini menunjukkan adanya kesalahan pada hukum sebelumnya,
kemudian dengan lapang dada, tanpa rasa berat sedikitpun beliau rujuk kepada
kebenaran dengan meralat hukum sebelumnya.
Tidakkah sikap seperti ini
sebuah keteladanan nan terpuji?
Namun satu pertanyaan
menarik:
“Kenapa hukum hadits yang
ditetapkan asy-Syaikh al-Albani mayoritasnya dierima oleh kaum muslimin. Tidak
hanya dari kalangan penuntut ilmu bahkan setaraf ulama besar membenarkan serta
menerima hukum beliau?”
Jawabannya:
Tidak lain karena keluasan
dan kekokohan ilmu beliau dalam bidang hadits. selain itu asy-Syaikh al-Albani
diberi taufik oleh Allah ta’ala untuk selalu berjalan diatas kaidah-kaidah
hadits yang diletakan dan dipraktekan ahli hadits terdahulu.
Bukankah ini menunjukkan
berkahnya umur dan ilmu asy-Syaikh al-Albani rahimahullahu ta’ala?
Sebagaimana berkahnya umur
dan ilmu al-Imam al-Bukhari rahimahullahu ta’ala?
Sehingga bukan aib dan
kekurangan, apalagi dikatakan taklid buta atau fanatik kepada asy-Syaikh
al-Albani, jika kaum muslimin selalu bersandar kepada hukum beliau pada sebuah
hadits.
Justru ini adalah sikap
terpuji dan ilmiah, serta selalu kembali pada ulama yang ahli pada bidangnya.
Dalam rangka menjalankan
perintah Allah ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ ﴿٤٣﴾
“Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)
Berkata ulama:
لكل فن رجاله
“Pada setiap bidang ada
pakarnya”
Adapun klaim kiai Luthfi bahwa didapati banyaknya kontradiksi dari
hukum hadits-hadits dan catatan-catatan asy-Syaikh al-Albani sebagaimana
dipaparkan oleh Sayyid Hasan Ali Assegaf.
Bahkan disebutkan lebih dari
1200 hadits yang ditemui padanya kontradiksi hukum dari asy-Syaikh al-Albani
rahimahullah, maka jawabannya sebagai berikut:
Nampak disini kiai Luthfi bersandar pada kitab “tanaqudhat al-Albani”
karya Sayyid Hasan Ali Assegaf untuk menista salah satu ulama umat asy-Syaikh
al-Albani rahimahullah.
Untuk itu, kami mengajak
pembaca sekalian untuk lebih mengenal siapa sosok Sayyid Hasan bin Ali Assegaf
yang menjadi rujukan kiai Luthfi Imam Besar NU Garis Lurus. Karena dari sana
kita akan mengetahui bobot karya Sayyid Hasan Ali Assegaf tersebut dan sejauh
mana sportifitas beliau dalam mengkritisi asy-Syaikh al-Albani rahimahullah.
BIOGRAFI SINGKAT SYAIKH HASAN
BIN ALI ASSEGAF
Nama beliau Hasan bin Ali
Assegaf berasal dari negeri Yordania. Lahir pada tahun 1380 H atau 1961 M. Usia
beliau terhitung masih muda dan sangat muda pula dari sisi ilmu agama. Beliau
salah seorang yang diulamakan di kota Amman ibukota negara Yordania karena
sedikit memahami ilmu hadits dan ilmu kalam.
Berguru kepada beberapa ulama
diantaranya ulama Magrib (Maroko) yaitu keluarga al-Ghumariyin (Syaikh Abdullah
al-Ghumari dan suadaranya) yang notabene berakidah tasawwuf murni dan akidah
ahli kalam.
Sehingga tidak heran kalau
Syaikh Hasan Assegaf seorang berakidah sufi tulen yang meyakini Allah ta’ala
menyatu dengan hamba-Nya, yaitu akidah wihdatul wujud yang sesat. Selain itu
beliau juga berfaham Jahmiah yang mengingkari sifat-sifat Allah ta’ala.
Bahkan tidak hanya sampai
disitu, ternyata dia seorang Syiah Rafidhah tulen yang mencerca para sahabat
Nabi dan merendahkan isteri-isteri Nabi, serta melakukan berbagai kesesatan
kaum syiah lainnya.
Statemen beliau dalam
buku-buku karyanya sebagai bukti nyata apa yang kami sebutkan.
Di antara bukti yang
menunjukkan bahwa beliau berakidah Syiah Rafidhah, yaitu:
1. Syaikh Hasan Assegaf lebih
mengutamakan sahabat Ali bin Abi Thalib daripada sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq
radhiallahu ‘anhuma.
Dalam catatan kaki terhadap
kitab al-Ibanah karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari hal. 296, ketika Imam Abul
Hasan berkata:
“Jika telah pasti dan benar
kepemimpinan Abu Bakr radhiallahu ‘anhu setelah Rasulullah(wafat), maka pasti
dan benar pula beliau (Abu Bakr) manusia yang paling utama dari seluruh kaum
muslimin.”
Syaikh Hasan Assegaf
mengomentari:
“(Tidak benar) akan tetapi
sayyid kami Ali bin Abi Thalib menurut kami dan sejumlah sahabat dan yang
setelah mereka (sahabat) manusia yang paling utama dari seluruh muslimin.”
Perhatikan saudaraku kaum
muslimin, dengan tegas Syaikh Hasan Assegaf mengingkari pernyataan al-Imam Abul
Hasan al-Asy’ari, serta mengklaim bahwa sahabat Ali bin Abi Thalib lebih utama
dari sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma. Berdalih bahwa ini
adalah pendapat sejumlah sahabat dan ulama setelah sahabat.
Maka pertanyaannya:
Siapa diantara sahabat yang
berpendapat dengan pendapat ini (Syaikh Hasan Assegaf)?
Padahal telah masyhur dan sah
riwayat dari sahabat bahwa mereka sepakat sahabat Abu Bakr radhiallahu ‘anhu
adalah manusia yang paling utama setelah para nabi.
Sebagaimana dikatakan oleh
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma:
كنا نقول ورسول الله صلى الله عليه وسلم حي أفضل
أمة النبي بعده أبو بكر ثم عمر ثم عثمان فيسمع ذلك النبي فلا ينكره
“Dahulu kami (para sahabat)
mengatakan (manusia) yang paling utama dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam Abu Bakr kemudian Umar kemudian Utsman radhiallahu ‘anhum. Nabi
mendengar ucapan ini dan beliau tidak mengingkarinya.” (HR. Abu Dawud dan Thabrani,
dengan sanad yang shahih)
Bahkan juga penegasan sahabat
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri dalam ucapannya:
خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر ثم عمر ولو شئت
لسميت الثالث
“(Manusia) yang terbaik dari
umat ini setelah Nabi mereka Abu Bakr kemudian Umar radhiallahu ‘anhuma, kalau
mau akan aku sebutkan yang ketiga.” (HR. Ahmad, dengan sanad shahih)
Perhatikan saudaraku,
pernyataan Syaikh Hasan Assegaf jelas-jelas menyelisihi dua riwayat di atas.
Sehingga sangat salah kalau
tidak dikatakan sesat ucapan beliau dan adanya indikasi kuat ketidakjujuran
pada ucapannya:
“… menurut kami dan sejumlah
sahabat”
Demikianlah salah satu
prinsip agama Syiah yaitu taqiyyah yakni sikap tidak jujur alias dusta.
Baca juga:
Pembaca rahimakumullah,
semoga Allah ta’ala merahmati kita semua…
Ketahuilah bahwa diantara
akidah dasar agama Syiah Rafidhah adalah lebih mengutamakan sahabat Ali bin Abi
Thalib radhiallahu ‘anhu daripada seluruh sahabat Nabi termasuk sahabat Abu
Bakr ash-Shiddiq radhiallhu’anhum.
Bahkan mereka sangat ekstrem
dalam memuliakan sahabat Ali radhiallahu ‘anhu sampai melebihi kedudukan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yaitu tatkala mereka
menyatakan bahwa Ali radhiallahu ‘anhu lebih berhak menerima wahyu dibandingkan
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allahul musta’an!
Maka apakah orang yang
berakidah Syiah Rafidhah semisal Syaikh Hasan Assegaf pantas dijadikan rujukan
dan sandaran dalam berislam serta bisa dipercaya ucapannya?
Apalagi dijadikan tuntunan
dan panutan oleh Kiai Luthfi Bashori Imam Besar NU Garis Lurus, yang mengklaim
anti Syi’ah?
Bukankah ini khianat dan
tidak amanah kepada umat?
Berikut ini bukti ke dua yang
menunjukkan bahwa Syaikh Hasan bin Ali Assegaf adalah seorang yang beragama
Syiah:
2. Menikam sahabat Muawiyah
radhiallahu’anhu dengan berbagai cercaan dan tuduhan dusta.
Dalam bukunya Shahih Syarh
al-Aqidah ath-Thahawiyah hal. 651, Syaikh Assegaf berkata:
“Demikian pula termasuk
kemunafikan adalah membenci Sayyidah Fatimah, Hasan, Husein dan ahli bait. Dan
telah terjatuh dalam kejahatan membenci mereka (ahli bait) Muawiyah dan
sahabatnya serta keluarganya dar bani Umayyah kecuali sekelompok kecil dari
mereka di antaranya seperti Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah.”
Demikian satu dari sekian
tuduhan dusta Syaikh Assegaf kepada sahabat yang mulia Muawiyah bin Abi Sufyan
radhiallahu ‘anhuma.
Berkata al-Imam Abdullah bin
Mubarak rahimahullah:
“Sahabat Muawiyah radhiallahu
‘anhu dalam pandangan kami sebagai ujian, siapa yang kami ketahui dia
menyikapinya (Muawiyah) dengan permusuhan maka kami menuduhnya telah mencerca
sahabat.”
(al-Bidayah wan Nihayah juz
8/139)
Telah dimaklumi bahwa salah
satu akidah agama Syiah adalah menghalalkan kehormatan sahabat. Lisan mereka
sangat mudah mencerca, menghujat, melaknat bahkan berani mengkafirkan sahabat
Nabi.
Simak kembali di:
Terkhusus sahabat Muawiyah
radhiallahu ‘anhu beliau sangat dibenci kaum Syiah sehingga sangat terzalimi
dengan lisan kotor mereka.
Semoga Allah ta’ala membalas
kejelekan kaum Syiah di dunia dan akhirat!
Oleh karena itu kami sangat
meragukan keabsahan dan sportifitas buku “Tanaqudhat al-Albani” karya Syaikh
Hasan Ali Assegaf.
Karena jika para shahabat
Nabi yang mulia semisal Abu Bakr, Umar, Mu’awiyah radhiallahu ‘anhum saja tidak
selamat dari cercaan lisan Syaikh Hasan Ali Assegaf, lantas apalagi hanya
“setingkat” asy-Syaikh al-Albani rahimahullahu. Maka lisannya akan lebih tajam
dalam menjatuhkan kehormatan dan kredibelitas beliau rahimahullahu ta’ala.
Maka dengan fakta ini
masihkah kiai Luthfi bersandar dengan buku karya seorang Syiah yang terkenal
sering berdusta.
Kami yakin kiai Luthfi dan NU
Garis Lurus sangat kenal kedustaan-kedustaan Syiah karena mereka getol
membantah Syiah.
Kiai NU menista ulama
Lalu kenapa kiai Luthfi nekat
menjadikan seorang tokoh Syiah sebagai rujukan, padahal mengaku sebagai pejuang
Aswaja yang selalu memerangi syiah?
Wallahu a’lam, hanya Allah
ta’ala yang tahu!
Kami hanya menasihati
saudara-saudara kami kaum muslimin, terkhusus warga NU dan tokoh serta kiainya
agar senantiasa bersikap jujur dan adil dalam berislam.
Karena kejujuran akan membawa
keberhasilan dan keadilan lebih dekat kepada takwa.
Allah ta’ala berfirman :
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ
أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّـهَ
ۚ إِنَّ اللَّـهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿٨﴾
“Dan janganlah kebencianmu
terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah.
Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (al-Maidah: 8)
Pembelaan terhadap al-imam
al-muhaddits al-albany dari kedustaan hasan ali as-saqqof dan pendukungnya
Oleh
Abu Salma al-Atsary at-Tirnaatiy
Tulisan merupakan bantahan
terhadap syubuhat yang dilontarkan oleh fanatikus Hizbut Tahrir yang menyerang
ahlus sunnah dan salafiyin yang disebarkan oleh Muhammad Lazuardi al-Jawi dan
al-Mujaddid (baca : al-Mudzabdzab) yang memuntahkan muntahan busuk di dalam
forum http://www.gemapembebasan.or.id
(baca : gemapembid’ahan). Saya menyadari bahwa di tengah kesibukan TA/Skripsi
saya sekarang ini, ketergesa-gesaan saya dan minimnya waktu untuk muthola’ah
dan muroja’ah, memungkinkan risalah ini memiliki beberapa kesalahan yang tak
disengaja maupun kekurangan-kekurangan lainnya. Besar sekali harapan saya jika
ada ikhwah sekalian yang membetulkan dan memberi masukan terhadap bantahan ini
sehingga dapat lebih menyempurnakan jihad rudud ini terhadap ahlul bid’ah dan
pendukungnya. Semoga risalah ini dapat bermanfaat.
Dengan nama Allah yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang
Segala puji hanya milik Allah
yang kita menyanjung-Nya, memohon pertolongan-Nya, memohon pengampunan-Nya dan
kita memohon perlindungan kepada Allah dari kejelekan jiwa-jiwa kami dan
keburukan amal-amal kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tak
ada seorangpun yang dapat menyesatkannya dan barang siapa yang dileluasakan
kesesatan kepadanya, maka tak ada seorangpun yang mampu menunjukinya. Saya
bersaksi bahwa tiada sesembahan yang Haq untuk diibadahi kecuali Allah semata
yang tiada sekutu bagi-Nya, dan saya juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba
dan utusan-Nya. Ya Allah limpahkanlah Salam dan Barokah kepada beliau, kepada
keluarga beliau dan para sahabat beliau, dan kepada siapa saja yang meniti
jalannya dan berpetunjuk dengan petunjuknya hingga hari kiamat.
Amma Ba’du :
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa
Ta’ala meninggikan kedudukan ulama pengemban wahyu dengan menghormati,
memuliakan dan menempatkan mereka pada kedudukan yang tinggi sebagaimana Allah
Ta’ala telah memuliakan mereka. Mereka adalah para pembawa agama dan
pelindungnya, pelita dalam kegelapan, pembeda antara kebenaran dan kebatilan,
pewaris para nabi dan yang meniti jalan mereka. Jadi bagaimana mungkin mereka
tidak mendapatkan kedudukan, kecintaan serta penghormatan di dalam hati?!!
Imam Abu Utsman Ismail
ash-Shabuni berkata tatkala menceritakan ciri-ciri Ahlul Bid’ah, ”Tanda-tanda
bid’ah pada pengikutnya itu sangat jelas sekali. Tanda mereka yang paling jelas
adalah kerasnya permusuhan mereka terhadap para pembawa hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, menghina dan meremehkan mereka, serta
menyebut mereka hanya sebagai pelengkap tak berguna, tekstual dan mujassim
(penyerupa Allah dengan makhluk-Nya), lantaran mereka meyakini bahwa
hadits-hadits Rasulullah itu jauh dari ilmu, dan bahwasanya ilmu itu yang
disampaikan oleh syaithan kepada mereka dari hasil pemikiran akal mereka yang
rusak, bisikan-bisikan hati mereka yang gelap serta bersitan-bersitan hati
mereka yang hampa dari kebaikan, alasan dan hujjah mereka yang tidak relevan
lagi sia-sia, bahkan syubhat yang ada pada mereka licik lagi bathil.
”Mereka itulah orang-orang yang
dilaknati Allah dan ditulikan telinga mereka dan dibutakan pengelihatan
mereka.”
”Dan barang siapa yang dihinakan
Allah maka tidak ada seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat
apa yang Ia kehendaki.”[1]
Abu Hatim ar-Razi berkata :
”Salah satu ciri Ahlul Bid’ah adalah adanya cercaan mereka terhadap Ahlul
Atsar.”[2]
Ibnul Qaththan berkata : ”Tidak
ada seorang mubtadi’ pun di dunia ini melainkan ia sangat membenci Ahlul
Hadits.”[3]
Saya katakan : Tidak ragu lagi,
bahwa al-Firqotun Najiyah (Golongan yang selamat) adalah Ahlul Atsar atau Ahlul
Hadits.[4]
Sebelum masuk ke pembahasan, ada
baiknya kita telaah terlebih dahulu, siapakah yang dimaksud dengan ulama?!!
Imam Bukhari rahimahullahu
berkata : ”Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan maka Ia memahamkannya
tentang agamanya.” kemudian beliau berkata, ”Said bin Ufair menceritakan kepada
kami, Ibnu Wahb menceritakan kepada kami dari Yunus dari Ibnu Syihab, dia
berkata : Humaid bin Abdurrahman berkata, aku mendengar Mu’awiyah sedang
berkhutbah, dia berkata : Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda : Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan baginya maka Ia
memahamkannya tentang agamanya. Aku bersumpah demi Allah yang Maha Memberi,
ummat ini senantiasa melaksanakan perintah Allah dan tidaklah membahayakan
orang-orang yang menentangnya hingga datangnya hari kiamat.”[5]
Ibnu Hajar rahimahullahu berkata,
”Al-Bukhari menegaskan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang yang memiliki
pengetahuan tentang atsar-atsar (Ahlul Hadits)”. Ahmad bin Hanbal berkata :
”Jika mereka bukan Ahlul Hadits, lantas aku tidak tahu siapa mereka”. Al-Qadhi
Iyadh berkata : ”Yang dimaksud oleh Imam Ahmad adalah Ahlus Sunnah yang
meyakini madzhab Ahlul Hadits.”[6]
Saya berkata : Dari penjelasan di
atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah para Ahlul Hadits yang
beraqidah Ahlus Sunnah.[7]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam bersabda : ”Sesungguhnya diantara tanda-tanda hari kiamat adalah
dituntutnya ilmu dari Ashaghir.”[8]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam juga bersabda : ”Sesungguhnya manusia senantiasa dalam kebaikan selama
mereka menuntut ilmu dari sahabat Rasulullah dan dari para ulama mereka. Jika
mereka menuntut ilmu dari para Ashaghir maka di saat itulah mereka binasa.”[9]
Ibnul Mubarak berkata : ”Ashaghir
adalah Ahlul Bid’ah”.[10]
Saya berkata : Diantara ciri
Ahlul Bid’ah adalah kedengkian dan celaan mereka terhadap Ahlul Hadits.
Tidak ragu lagi, bahwa Samahatul
Imam al-Muhaddits Muhammad Nashirudin al-Albani rahimahullahu adalah Imamnya
Muhadditsin yang terkemuka saat ini yang keilmuannya tentang ilmu hadits
bagaikan samudera tak bertepi, dan kami tidaklah mensucikan seorangpun di
hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Cukuplah pernyataan ulama-ulama selain
beliau yang menunjukkan kedudukan dan posisi beliau.
Al-Allamah al-Imam Abdul Aziz bin
Abdillah bin Bazz rahimahullahu, Mantan Mufti Umum Kerajaan Arab Saudi berkata
: ”Aku tidak mengetahui seorang ’alim di bawah kolong langit ini pada abad ini
yang dalam ilmu hadits melebihi al-Allamah al-Albany.”
Al-Allamah Muhammad Hamid al-Faqi
rahimahullahu, mantan pimpinan Jama’ah Anshorus Sunnah al-Muhammadiyah
sekaligus Muhaddits Mesir berkata : ”asy-Syaikh Nashirudin adalah saudara kami
yang bermanhaj salaf, seorang pembahas dan peneliti (hadits) yang cermat.”
Faqiihuz Zamaan al-Allamah
Muhammad bin Sholih al-’Utsaimin rahimahullahu, ulama kibar Kerajaan Arab Saudi
berkata : ”Ia (Albani) adalah orang yang banyak ilmunya dalam hadits baik
riwayah maupun dirayah…”
Dan masih beribu-ribu lagi
untaian pujian berderai bagi samahatul imam dari para ulama dan penuntut ilmu
senior di seluruh penjuru dunia, seperti Syaikh Abdush Shomad Syarafuddin,
Syaikh Ubaidillah ar-Rehmani, Syaikh Muhammad Mustofa al-A’zhami yang mereka
semua adalah muhaddits India, Syaikh Muhammad bin Ali Adam muhaddits dari
Ethiopia, Syaikh Muhammad Shufut Nuruddin Muhaddits dari Mesir, dan masih
banyak lagi lainnya yang jika sekiranya dihimpun dan dituliskan semuanya, maka
akan menjadi sebuah buku yang sangat tebal.[11]
Namun, diantara sunnatullah dalam
kehidupan ini adalah adanya ujian bagi orang-orang yang berpegang teguh dengan
as-Sunnah dan atsar salaf di sepanjang masa, yang datang dan berasal dari
manusia-manusia yang benci dan dengki serta iri hati. Mereka senantiasa
berusaha menjatuhkan martabat ulama hadits dan menjelek-jelekkan mereka. Akan
tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap menjaga dan memelihara mereka –para
ulama hadits-, dan Dia pasti akan memenangkan kebenaran dan menetapkan akhir
yang baik bagi orang-orang yang bertakwa.
Diantara para pendengki dan
pendusta dari kalangan Ashaghir yang menampakkan permusuhan dan kebenciannya
terhadap sunnah dan ahlinya adalah Hasan Ali as-Saqqof[12], seorang
pengangguran dari Yordania yang didaulat oleh fanatikusnya terutama Hizbut
Tahrir sebagai ulama hadits Yordania. Pembaca budiman akan saya tunjukkan
beberapa karakteristik keserupaan as-Saqqof ini dengan pola pikir Hizbut Tahrir
yang setali tiga uang atau seperti dua sisi mata uang yang tak dapat
dipisahkan. As-Saqqof ini menulis sebuah buku gelap yang dianggap fenomenal
oleh fanatikus butanya yang berjudul : Tanaqudlaat Albany al-Waadlihah fiima
waqo’a fi tashhihi al-Ahaadiits wa tadl’iifiha min akhtho’ wa gholath
(Kontradikitif Albani yang nyata terhadap penshahihan hadits-hadits dan
pendhaifannya yang salah dan keliru) yang jika ditelaah di dalamnya dipenuhi
dengan tadlis, kedustaan, pengkhianatan ilmiah dan kebodohan penulisnya
terhadap ilmu hadits. Akan datang penjelasan hal ini –insya Allah- dan para
pembaca sekalian akan mengetahui kebobrokan dan kejahatan as-Saqqof ini di
dalam bukunya tersebut.
Di dalam risalah ini, saya juga
akan berusaha membongkar kejahilan dan makar Muhammad Lazuardi al-Jawi,
simpatisan Hizbut Tahrir yang menukil, menterjemah dan menyebarkan tulisan
gelap as-Saqqof ini yang dicomotnya dari situs bid’iyah terkenal http://www.masud.co.uk yang dimotori oleh
seorang tokoh jahmi tulen dan pembela bid’ah, Hamim Nuh Keller al-Jahmi
ash-Shufi. Kita tidak perlu heran, karena Keller ini memiliki aqidah yang sama
dengan as-Saqqof yaitu sama-sama jahmi, dan hal inilah yang sepertinya
merupakan simpul benang merah yang dapat ditarik dengan Hizbut Tahrir yang
aqidahnya juga tidak jauh dengan jahmiyah. Tulisan ini juga sebagai bantahan
terhadap tulisan ngelantur yang berjumlah hampir 100 halaman dari seorang yang
berkedok dengan al-Mujaddid (baca : al-Mudzabdzab) yang membantah salafiyin di
forum http://www.gemapembebasan.or.id
(baca : gemapembid’ahan) yang isinya kebanyakan menukil tulisan Muhammad
Lazuardi al-Jawi. Insya Allah akan datang penjelasan dan bantahan-bantahan
terhadap tulisan ngelanturnya di bantahan kedua.
Saya katakan : al-Bid’ah millah
waahidah (Kebid’ahan itu adalah agama yang satu), maka tidak heran jika para
pendukung bid’ah dapat bersatu padu di dalam memerangi ahlus sunnah,
sebagaimana bersatunya Hizbut Tahrir dengan para pembela sufi, jahmi, asy’ari,
maturidi, mu’tazili, fanatikus madzhabi dan selainnya. Akan datang juga
penjelasan hal ini –insya Allah-.
Saya katakan : Hizbut Tahrir
bersepakat dengan as-Saqqof dalam banyak perkara. Diantaranya adalah :
1. As-Saqqof melecehkan sahabat
nabi yang mulia, terutama terhadap Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dan ulama Ahlus
Sunnah lainnya, yang tidak jauh berbeda dengan Hizbut Tahrir. Akan datang
penjelasannya.
2. As-Saqqof dan Hizbut Tahrir
bersepakat di dalam aqidah Asy’ariyah, Maturidiyah dan Jahmiyah, serta
memerangi aqidah salafiyah. Akan datang penjelasannya.
3. As-Saqqof dan Hizbut Tahrir
sama-sama bodoh di dalam ilmu hadits dan pirantinya. Para pembaca budiman akan
mengetahuinya sebentar lagi.
4. As-Saqqof dan Hizbut Tahrir
sama-sama suka berkhianat ilmiah, berdusta dan melakukan talbis
(mencampuradukkan antara haq dan bathil) serta menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan, sebagaimana akan datang penjelasannya.
5. As-Saqqof dan Hizbut Tahrir
sama-sama fanatik dan ta’ashub terhadap fikrah atau pemikiran pendahulunya.
6. Yang lebih penting dari
kesemua di atas adalah, as-Saqqof dan Hizbut Tahrir sama-sama bersepakat di
dalam memerangi dakwah salafiyah dan ahlinya.
Di dalam risalah ini, ana merujuk
pada beberapa kitab dan artikel, sebagai amanat ilmiah ana sebutkan diantaranya
:
1. Al-Anwaarul Kaasyifah li
tanaaqudlaat al-Khossaaf az-Zaa`iqoh wa Kasyfu maa fiiha minaz Zaighi wat
Tahriifi wal Mujaazafah yang ditulis oleh Syaikhuna al-Fadhil Ali Hasan
al-Halabi al-Atsari, Darul Ashoolah. Kitab ini dihadiahkan oleh Syaikh Ali
Hasan al-Halabi hafizhahullahu 3 tahun lalu kepada guru saya, al-Ustadz
al-Fadhil Abdurrahman bin Abdil Karim at-Tamimi hafizhahullahu dan ana fotokopi
dari beliau. Alhamdulillah kitab ini banyak memberikan faidah dan menunjukkan
hakikat kejahatan as-Saqqof terhadap Imam Albany dan penelantaran ilmu hadits.
2. At-Tanbiihatul Maliihah yang
ditulis oleh Syaikh Abdul Basith bin Yusuf al-Gharib, yang telah diterjemahkan
oleh Pustaka Azzam dengan judul ”Koreksi Ulang Syaikh Albany”.
3. Al-Qoulus Sadiid fii Raddi
’ala man ankara Taqsiimit Tauhiid yang ditulis oleh Syaikh Abdur Razaq bin
Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr, yang telah diterjemahkan oleh Najla Press dengan
judul ”Bantahan Pengingkaran Tauhid”.
4. Dari beberapa website seperti
: http://www.salafipublications.com,
http://www.allaahuakbar.net dan
selainnya.
Sebenarnya, ada beberapa kitab
yang ditulis oleh para ulama yang juga membantah tanaqudlaat tulisan as-Saqqof
ini, diantaranya bantahan yang ditulis oleh asy-Syaikh al-Fadhil DR. Khalid
al-Anbari hafizahullahu yang berjudul Tanaaqudlaat al-Albany al-Waadlihaat
Talbisaat wa-ftiro`aat, juga yang ditulis oleh Syaikh ’Amru Abdul Mun’im Salim
al-Mishri, dan ada lagi beberapa ulama dan thullabul ilmi yang turut menulis
bantahan terhadap as-Saqqof ini. Namun yang sampai di tangan ana hanyalah
al-Anwaarul Kaasyifah, namun hanya dengan kitab ini, kebobrokan dan kedustaan
as-Saqqof insya Allah dapat terbongkar.
Syaikh Ali Hasan al-Halabi
mengatakan, bahwa orang yang mengetahui buku Tanaqudlaat Albany ini, tidak
lepas dari 4 jenis orang :
1. Orang bodoh yang dengki, yang
hanya melihat judul bukunya saja namun tidak mengetahui realita isinya, hanya
karena selaras dengan kedengkian dan hawa nafsunya, mereka menggunakan buku ini
untuk membantah tanpa diiringi dengan kefahaman dan pengetahuan.
2. Orang-orang hasad yang licik,
yang mereka mengetahui isi buku ini namun mereka jahil terhadap hakikatnya
dikarenakan hasad mereka telah mendarah daging dan menyatu dengan desahan nafas
mereka.
3. Pelajar yang bingung yang
tidak mengetahui al-Haq
4. Pelajar yang adil yang mengetahui
kebodohan as-Saqqof dan menyingkap hakikat dirinya.
Dari keempat macam orang ini,
mubtadi’ dan pembelanya, serta Hizbut Tahrir tidak lepas dari 3 macam orang
yang disebutkan di awal.
Mari kita kupas kebobrokan
as-Saqqof dan bukunya at-Tanaqudlaat ini, dan kebodohan para pendukungnya
terutama dari Hizbut Tahrir.
[halbaru]
AS-SAQQOF MENCELA SAHABAT
TERUTAMA MU’AWIYAH DAN MENGKAFIRKAN IMAMNYA UMMAT SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH
Ketahuilah wahai orang yang
berakal, bahwa orang yang engkau dengang-dengungkan sebagai muhaddits ini
adalah tidak lebih dari para pencela sahabat dan melemparkan tuduhan kafir
terhadap ulama ummat ini.
Syaikh Ali Hasan al-Halabi
berkata di dalam al-Anwaarul Kaasyifah (hal. 9) : ”Takfir (pengkafiran) dari
orang zhalim ini terhadap imamnya dunia (yaitu Syaikhul Islam) tidaklah datang
begitu saja, namun takfir ini datang sebagai pembelaan terhadap pemuka-pemuka
ahlul bid’ah yang jahil dan terhadap muqollid (pembebek) yang beku akalnya dari
kalangan asy’ariyah dan jahmiyah, yang mana syaikhul Islam bersumpah atas
dirinya untuk mengkritik mereka dan membantah penyimpangan-penyimpangan mereka,
dan beliau menegakkan perang terhadap mereka sepanjang hidupnya baik dengan
tangan, hati maupun lisannya. Beliau menyingkap kebatilan mereka di hadapan
manusia dan menerangkan talbis dan tadlis mereka, beliau hadapi mereka dengan
akal yang sharih dan nukilan (dalil) yang shahih…”
Syaikh Ali melanjutkan (hal
11-12) : ”Dan takfir ini pada realitanya merupakan senjata andalannya
(as-Saqqof), telah menceritakan kepadaku seorang yang bersumpah dengan jujur
–insya Allah- bahwa al-Khossaf (sebutan terhadap as-Saqqof) ini berkata
kepadanya dan ia mendengar dengan telinganya (bahwa as-Saqqof berkata) : ”Aku
tidak mengkafirkan Ibnu Taimiyah kecuali aku menjelaskan kesalahan
murid-muridnya! Sesungguhnya dirinya tidaklah ma’shum”. Demikianlah
perkataannya, sebagai pengejawantahan kaidah yang tidaklah beriman kepada Allah
dan tidak pula hari akhir, yaitu : Tujuan menghalalkan segala cara!! Cela mana
lagi yang lebih besar dari kehinaan ini?!! Sungguh indah apa yang diucapkan
oleh al-Allamah Badruddin al-’Aini (wafat tahun 841 H.), seorang pensyarah
Shahihul Bukhari di dalam taqrizh beliau terhadap ar-Raddul Waafir (hal. 264)
yang menjelaskan hukum bagi orang yang mengkafirkan Imam dunia ini : ’… Jika
demikian keadaannya, maka wajib atas ulil amri untuk menghukum orang bodoh lagi
perusak yang berkata tentang hak Ibnu Taimiyah sebagai kafir! Dengan bentuk
hukuman dengan pukulan yang keras dan penjara terali yang berlapis. Barang
siapa berkata kepada muslim, wahai kafir maka akan kembali ucapannya kepada
dirinya, apalagi jika lancang melemparkan najis seperti ini dan berkata
dengannya terhadap hak si ’alim ini (Ibnu Taimiyah), terlebih lagi jika ia
sudah meninggal, dan telah datang larangan dari syariat dari membicarakan hak
kaum muslimin yang telah meninggal, dan Allahlah yang maha mengambil al-Haq dan
menampakkannya.’
Dan berkata al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullahu di dalam taqrizh beliau juga terhadap kitab yang sama (hal. 263),
dan as-Sakhowi juga turut mengisyaratkan pula hal ini di dalam adl-Dlou’ul
Laami’ (VIII/104) : ’Tidaklah seseorang yang berkata bahwa Ibnu Taimiyah itu
kafir melainkan hanya dua orang, entah dia orang yang hakikatnya kafir ataukah
ia orang yang bodoh tentang keadaannya…’”
As-Saqqof juga menuduh Sahabat
yang mulia, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dengan nifaaq dan menganggapnya murtad.
Sebagaimana diutarakan oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabi (hal. 11), ”Dan termasuk
kesempurnaan kesesatan orang yang zhalim lagi lalai ini adalah sebagaimana yang
dikabarkan oleh dua orang yang mendengarkan ucapannya, bahwa dia menuduh di
beberapa majlisnya, bahwa sahabat yang mulia Mu’awiyah bin Abi Sufyan
radhiallahu ‘anhu dengan nifaq, dan mengisyaratkan bahwa Mu’awiyah telah murtad
dan termasuk penghuni neraka…!!! Semoga Allah merahmati Imam Abu Zur’ah ar-Razi
yang berkata : ’jika engkau melihat ada orang yang mencela sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah zindiq!!!..”
Saya berkata : Beberapa pendukung
as-Saqqof ini menuduh Syaikh Ali Hasan telah berdusta, namun kebenaran adalah
bersama ahlul haq, buku as-Saqqof yang berjudul Daf’u Syubahit Tasbiih menjadi
saksi atas kelancangannya dan keberaniannya menuduh sahabat Mu’awiyah
radhiallahu ‘anhu. Ia berkata di catatan kaki Daf’us Syubah (hal. 237), ”Aku
(as-Saqqof) berkata : Mu’awiyah membunuh sekelompok kaum yang shalih dari
kalangan sahabat dan selainnya hanya untuk mencapai kekayaan duniawi. Dan
diantara mereka adalah Abdurrahman bin Khalid bin Walid. Ibnu Jarir menukilnya
di dalam Tarikh-nya (III/202) dan Ibnul Atsir di dalam al-Kamil (III/453) dan
lafazh ini darinya. Alasan kematiannya adalah pasalnya ia menjadi orang yang
mulia/terkemuka di mata penduduk Syam, mereka lebih condong kepada beliau
karena ia memiliki karakteristik yang mirip ayahnya (Khalid bin Walid), dan
karena kemanfaatan pada dirinya bagi kaum muslimin di tanah Romawi dan juga
karena keberaniannya. Jadi, Mu’awiyah menjadi takut dan khawatir terhadapnya,
lantas ia memerintahkan Ibnu ’Uthaal seorang nashrani untuk merencanakan
pembunuhannya. Mu’awiyah memberikan jaminan padanya pembebasan pajak selama
umur hidupnya… jadi ketika Abdurrahman kembali dari Romawi, Ibnu Uthaal
memasukkan racun ke dalam minumannya melalui pelayannya. Lantas beliapun
meninggal di Hums (sebuah tempat di pusat Siria), dan Mu’awiyah memenuhi janji
yang dia berikan kepada Ibnu ’Uthaal. Aku (as-Saqqof) berkata : Apakah diperbolehkan
membunuh seorang muslim? Sedangkan Allah berfirman : ”Barangsiapa yang membunuh
seorang muslim dengan sengaja, maka tempatnya adalah neraka dan ia kekal di
dalamnya selama-lamanya. Murka Allah dan laknat-Nya atasnya, dan adzab yang
pedih dipersiapkan baginya.” (QS 4 : 93)?!… Ada empat karakteristik Mu’awiyah,
dan setiap karakteristiknya akan diadzab di kubur, gegabah menghunus pedangnya
secara zhalim kepada ummat ini sampai ia berhasil meraih kekhilafahan tanpa
musyawarah, baik terhadap sahabat yang masih hidup saat itu dan orang-orang
shalih lainnya. Ia mewariskan kekuasannya kepada puteranya yang seorang
pemabuk[13], pemakai pakaian sutera dan pemain alat musik… ia membunuh Hujr dan
sahabat-sahabat Hujr, maka celakalah dirinya dan apa yang ia lakukan kepada
Hujr…”
Tanggapan : Lihatlah, bagaimana
as-Saqqof menukil riwayat ini dari al-Kamil padahal kisah tersebut tidak
memiliki isnad. Kisah ini memang memiliki isnad di dalam Tarikh ath-Thabari
namun sanadnya palsu menurut kaidah ilmu hadits. Syaikh Nashir al-’Ulwan
membahas kedustaan riwayat ini di dalam Ittihaaf Ahlil Fadhl juz I dan lihat
pula pembahasan sistematik tentang studi kritis terhadap Tarikh ath-Thabari
yang ditulis oleh DR. Muhammad Amhazun dalam disertasinya yang berjudul Tahqiq Mauqif
ash-Shohabah fil Fitnah min Riwayaati al-Imaam ath-Thobari wal Muhadditsin yang
telah diterjemahkan dengan judul ”Fitnah Kubra”. Hal ini menunjukkan bagaimana
as-Saqqof menukil secara serampangan tanpa meneliti sanad berita yang
seharusnya tidak dilakukan oleh seorang muhaddits atau peneliti hadits, bahkan
ia menukil berita yang tidak memiliki sanad!![14] Apakah yang mendorong dirinya
melakukan demikian?? Wallahu a’lam bish Showab.
Padahal Nabi yang mulia ‘alaihi
Sholaatu wa Salaam memilih Mu’awiyah sebagai penulis wahyu Allah, dan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mendo’akan Mua’wiyah : ”Ya Allah, ajarkan
Mu’awiyah al-Kitab dan selamatkan dirinya dari siksa api neraka.” (HR. Ahmad
(IV/127) dan Ibnu Hibban (566)). Juga sabdanya ‘alaihi Sholaatu wa Salaam : ”Ya
Allah, jadikanlah dirinya orang yang mendapat petunjuk lagi menunjuki”[15].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memperingatkan umatnya dari mencerca sahabat
dalam sabdanya : ”Janganlah kalian sekali-kali mencerca sahabatku, jika
seandainya ada diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, tidak
akan mampu mencapai satu mud yang mereka infakkan, bahkan tidak pula
setengahnya.” (HR. Muslim). Terlebih lagi, bukankah Mu’awiyah itu pamannya kaum
muslimin?? Mengapa dirimu begitu lancang mencela dan mencercanya dengan membawa
berita tak bersanad dan dengan sanad palsu??
Imam Al-Lalika`i meriwayatkan di
dalam as-Sunnah (no. 2359) bahwa Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad al-Hanbal
berkata : ”Jika kau melihat seorang berbicara buruk tentang sahabat, maka
ragukanlah keislamannya.”
Beliau juga berkata di dalam
as-Sunnah (hal. 78) : ”Barangsiapa yang mencela para sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam atau salah seorang dari mereka, ataupun meremehkan mereka,
mencela dan membuka aib-aib mereka ataupun menjelekkan salah seorang dari
mereka, maka ia adalah seorang Mubtadi’, Rofidli, Khabits (busuk), Mukhalif
(orang yang menyempal), …”
Imam Abu Zur’ah ar-Razi berkata :
”Jika engkau melihat ada seseorang yang merendahkan salah seorang dari sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka ketahuilah sesungguhnya ia adalah Zindiq!
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah haq di sisi kami, dan
al-Qur’an itu haq, dan yang menyampaikan al-Qur’an dan as-Sunnah ini adalah
para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Sesungguhnya mereka
menghendaki mencela persaksian kita dengan tujuan membatalkan al-Kitab dan
as-Sunah. Mencela mereka lebih utama karena mereka adalah Zindiq…!!!”
(Dikeluarkan oleh al-Khathib di dalam al-Kifaayah fi ’ilmir Riwaayah hal.
67)[16]
Imam Barbahari berkata di dalam
Syarhus Sunnah : ”Jika kau melihat ada seseorang mengkritik sahabat nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah orang yang jahat
ucapannya dan pengikut hawa nafsu, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam bersabda : Jika kau mendengar sahabat-sahabatku disebut maka tahanlah
lisanmu.” (Diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Mas’ud dan haditsnya
shahih.[17]).
Haihata haihata…!!! Wahai
as-Saqqof, Apakah dirimu begitu membenci Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang
menasehatkan untuk menjaga lisan dari memperbincangkan keburukan sahabat
sehingga tidak kau indahkan nasehatnya wahai as-Saqqof???.
Beliau rahimahullahu berkata di
dalam Minhajus Sunnah (V/146) : ”Oleh karena itu dilarang (memperbincangkan)
perselisihan yang terjadi diantara mereka, baik para sahabat maupun generasi
setelahnya. Jika dua golongan kaum muslimin berselisih tentang suatu perkara
dan telah berlalu, maka janganlah menyebarkannya kepada manusia, karena mereka
tidak mengetahui realita sebenarnya, dan perkataan mereka tentangnya adalah
perkataan yang tanpa ilmu dan keadilan. Sekiranya pun mereka mengetahui bahwa
kedua golongan tersebut berdosa atau bersalah, kendati demikian menyebutkannya
tidaklah mendatangkan maslahat yang rajih dan bahkan termasuk ghibah yang
tercela. Para sahabat Ridlawanullahu ’alaihim ’ajmain adalah orang yang paling
agung kehormatannya, paling mulia kedudukannya dan paling suci jiwanya. Telah
tetap keutamaan mereka baik secara khusus maupun umum yang tidak dimiliki oleh
selain mereka. Oleh karena itu, memperbincangkan perselisihan mereka dengan
celaan adalah termasuk dosa yang paling besar daripada memperbincangkan selain
mereka.”[18]
Ingatlah pula ucapan al-Hafizh
Ibnu Katsiir berikut ini, beliau rahimahullahu berkata di dalam al-Ba’its
al-Hatsits (hal. 182) : ”Adapun perselisihan mereka pasca wafatnya Nabi ’alaihi
Salam, yang diantara perselisihan tersebut ada yang terjadi tanpa didasari oleh
kesengajaan seperti peristiwa Jamal, ada diantaranya yang terjadi karena faktor
ijtihad seperti peristiwa Shiffin. Ijtihad itu bisa salah dan bisa benar.
Namun, pelakunya dimaafkan jika ia salah, bahkan ia diganjar satu pahala.
Adapun ijtihad yang benar maka ia mendapat dua pahala.”[19]
Wahai as-Saqqof dan siapa saja
dari pembebeknya… wahai Lazuari al-jawi, wahai Syabab Hizbut Tahrir yang
mendaulat as-Saqqof sebagai muhaddits…!!! Apakah anda telah membaca kitab-kitab
karya ulama hadits berikut ini :
1. Abu Abdillah Muhammad bin
Ismail al-Bukhari al-Ju’fi (w. 256) di dalam Shahih-nya, kitab Fadlail Ashhabin
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Bab : Qowlun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam Law Kuntu Muttakhidzan Khaliilan (Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam seandainya aku menjadikan kekasih).
2. Abul Husain Muslim bin Hajjaj
al-Quysairi an-Naisaburi (w. 261) di dalam Shahih-nya, kitab Fadlailus
Shahabah, Bab : Tahriimu Sabbis Sahabah Radhiallahu ‘anhum (Haramnya mencela
sahabat radhiallahu ‘anhum)
3. Abu Dawud Sulaiman bin
al-Asy’ats as-Sijistani (w. 275) di dalam Sunan-nya, kitab as-Sunnah, Bab :
an-Nahyu ‘an Sabbi Ashhabin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (Larangan
mencela sahabat Nabi)
4. Abu Isa Muhammad bin Isa
at-Turmudzi (w. 259) di dalam Sunan-nya, dalam bab-bab al-Manaqib ’an
Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Bab : Fiiman Sabba Ashhaba an-Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (Bagi siapa yang mencela para sahabat)
5. Abu Abdurrahman Ahmad bin
Syuaib an-Nasa`i (w. 303) di dalam kitabnya Fadlailus Shahabah, Bab : Manaqib
Ashhabin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam wan Nahyu ’an Sabbihim
rahimahumullahu ajma’in wa radhiallahu ‘anhum (Manakib Para Sahabat Nabi dan
Larangan Mencela Mereka).
6. Abu Abdillah Yazid bin
Abdillah al-Qirwani (w. 273) di dalam muqoddimah Sunan-nya, Bab : Fadlail
Ashhabi Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
7. Abu Hatim Muhammad bin Hibban
al-Busti (w. 354) di dalam Manaqib ash-Shahabah, Rijaaluha wa Nisaa’uha
bidzikri asmaa’ihim radhiallahu ‘anhum ajma’in (Manakib Sahabat, kaum lelaki
dan wanitanya dengan menyebut nama-namanya), dalam bab : Fadlail ash-Shahabah
wat Tabi’in yang menyebutkan : al-Khabar as-Daalu ’ala anna Ashhaba Rasulillah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Kulluhum Tsiqaat wa ’uduul (Berita yang
menunjukkan bahwa Sahabat Rasulullah seluruhnya kredibel dan terpercaya) dan
az-Zajru ’an Sabbi Ashhabi Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam alladzi
Amarallahu bil Istighfar Lahum (Ancaman terhadap mencela sahabat Rasulullah
yang Allah memerintahkan untuk memohon ampun bagi mereka). Demikan pula dalam
kitabnya al-Majruuhin minal Muhadditsin tentang haramnya mencela sahabat.
Dan masih beribu-ribu lagi
penjelasan para ulama ahlus sunnah baik salaf maupun kholaf yang menjelaskan
tentang haramnya mencela sahabat… Lantas, bagaimana kita menempatkan as-Saqqof
ini dan para pembebeknya terhadap hak para sahabat nabi yang mulia??? Yang mana
para Imam Ahlus Sunnah bersepakat bahwa pencerca Sahabat Nabi dikatakan sebagai
Zindiq, Mubtadi’ atau Rofidloh!!! Maka bertaubatlah wahai pencerca…!!! Ibrahim
bin Maisarah berkata : ”Aku tidak pernah melihat Umar bin Abdul Aziz memukul
seseorang pun kecuali orang yang mencerca Mu’awiyah. Beliau memukulnya dengan
beberapa kali cambukan.”[20] Aduhai, sekiranya Umar bin Abdul Aziz hidup saat
ini untuk mencambuki kelancangan as-Saqqof ini…
[halbaru]
AQIDAH AS-SAQQOF ADALAH JAHMIYAH
TULEN
Hasan Ali as-Saqqof tidak hanya
berhenti menunjukkan kekejamannya terhadap para sahabat dan ulama ummat ini.
Namun dia juga menabuh genderang perang terhadap ahlus sunnah dengan menuduh
ahlus sunnah berkeyakinan tatslits (trinitas) di dalam buku suramnya yang
berjudul at-Tandid biman ’adadit-Tauhid wa Ibthalu Muhawalatut-Tatslits fit
Tauhid wal ’Aqidah Islamiyyah dikarenakan Ahlus Sunnah membagi Tauhid menjadi
tiga macam, yaitu Tauhid Rububiyah, Uluhiyah dan Asma’ wa Sifat. Menurutnya
pembagian Tauhid menjadi tiga adalah hal bid’ah yang dimunculkan pada abad
ke-8, dan ia mengisyaratkannya kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagai
pencetus istilah bid’ah ini (lihat kitabnya hal. 10) dan ia menuduh Ibnu Abil
’Izz al-Hanafy sebagai pelopor madzhab bathil pengikut golongan bid’ah (hal. 6)
dan mengisyaratkan bahwa Syaikhul Islam dan muridnya, Imam Ibnul Qoyyim adalah
penganut faham mujassamah (mengatakan Allah mempunyai badan). Bahkan ia membela
Sayyid Quthb dan Asy’ariyah dengan menyatakan bahwa mereka mensucikan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dari jism dan tahayyuz sedangkan Syaikh Abdullah ad-Duwaisy
(penulis buku al-mauriduzh Zhilal fii Tanbiih ’ala Akhtha`izh Zhilal yang telah
diterjemahkan oleh Darul Qolam) sebagai pengikut madzhabnya Ibnu Taimiyah dan
Ibnul Qoyyim yang menetapkan sifat jisimun dan tahayyuz (hal. 19-20). Bahkan
yang konyol, Hasan Ali Saqqof berpendapat bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
disifati di luar alam semesta dan juga tidak di dalamnya (hal. 58).
Syaikh yang mulia, Prof. DR.
Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafizhahumullahu menulis bantahan
ilmiah terhadap kesesatan dan kedunguan Hasan Ali as-Saqqof ini di dalam kitab
yang berjudul : Al-Qoulus Sadiid fii Raddi ’ala man ankara Taqsiimit Tauhiid
yang telah diterjemahkan oleh Najla Press dengan judul ”Membantah Pengingkaran
Tauhid” (Tambahan : Setelah ana cek dengan kitab asli, ternyata buku terjemahan
ini memiliki beberapa kekeliruan penterjemahan, sehingga ada beberapa perkataan
yang ana ralat, belum lagi adanya pemotongan-pemotongan naskah yang bisa
dikategorikan sebagai pengkhianatan ilmiah, oleh karena itu ana bro’ dengan
kesalahan-kesalahan tesebut, sebagaimana telah ana sampaikan di milis
as-sunnah), bacalah karena sungguh besar manfaatnya dan anda akan mengetahui
hakikat kebodohan as-Saqqof ini. Syaikh Abdurrazaq berkata sebagai kesimpulan
beliau setelah membaca buku as-Saqqof yang berjudul at-Tandiid ini sebagai
berikut :
1. Dia adalah seorang yang
jahmiyah tulen, yang berpemahaman bahwa Allah tidak disifati dengan berada di
alam maupun di luarnya dan dia juga menisbatkan pendapat ini secara dusta dan
batil kepada Ahli Sunnah.
2. as-Saqqof ini keluar dari
kategori seorang cenedekiawan/pemikir dan dari kaidah ilmiah.
3. as-Saqqof ini orang yang
banyak kebohongannya dan sering melakukan tadlis dan talbis.
4. Perkataannya jelek dan busuk,
sering menfitnah Ahlus Sunnah, yang bisa ditemukan pada kitabnya pada halaman
6, 12, 17, 19 dan seterusnya.
5. Ia termasuk Ahlul Bid’ah yang
gemar menuduh Ahlus Sunnah sebagai Mujassamah.
6. Gemar memuji Ahlul Bid’ah,
apalagi gurunya yang bernama Muhammad Zahid al-Kautsari, seorang penghulu Jahmiyah
tulen zaman ini. Hal ini bisa dilihat pada halaman 38, 39, 11 dan 27. Saya
berkata : akan datang sekilas penjelasan tentang hakikat Zahid al-Kautsari
al-Jahmi ini, yang dipuja-puja oleh pembebeknya, termasuk Hizbut Tahrir. Usut
punya usut, ternyata mereka semua satu aqidah yaitu jahmiyah dan mereka
bersepakat di dalam memerangi aqidah salafiyah dan ulamanya.
7. Meremehkan dan melecehkan
hadits-hadits shahih. Ana katakan : Bahkan as-Saqqof ini dangkal dan bodoh
pemahaman haditsnya, sebagaimana akan kita bongkar kebodohannya di dalam ilmu
hadits sebentar lagi. Tidak heran Hizbut Tahrir yang notabene ulamanya,
tokohnya apalagi simpatisannya yang memang jahil terhadap ilmu hadits mudah
terkecoh dengan kepiawaian as-Saqqof ini di dalam berdusta.[21]
Ketahuilah, bahwa Jahmiyah ini
adalah firqoh tersesat diantara firqoh-firqoh yang ada. Bahkan beberapa ulama
salaf tidak memasukkan Jahmiyyah sebagai 72 kelompok yang diancam siksa neraka,
karena mereka menganggap bahwa Jahmiyah telah kafir keluar dari Islam. Dikarenakan
Jahmiyah adalah kelompok yang meniadakan sifat-sifat bagi Allah, dan mereka
adalah atheis-nya ummat ini.
Para ulama Salaf dan Kholaf
bangkit membantah pemahaman sesat Jahmiyah ini. Syaikhul Islam membongkar kedok
kesesatan mereka dengan menulis kitab Bayaanu Talbiis al-Jahmiyyah : Naqdlu
Ta’sis al-Jahmiyyah, Imam Ibnu Darimi menulis kitab ar-Raddu ’alal Jahmiyyah,
Imam Ahmad dan Imam Ibnu Khuzaimah juga menulis bantahan dengan judul yang
sama, yaitu ar-Raddu ’alal Jahmiyyah, al-Allamah Ibnul Qoyyim, Syaikhul Islam
kedua, menulis Ijtima’ al-Juyusy al-Islaamiy yang mengupas habis kesesatan
Jahmiyah, demikian pula Imam adz-Dzahabi dalam al-’Uluw al-Aliy al-Ghoffar dan
ikhtisharnya yaitu Mukhtashor al-’Uluw. Dan masih banyak lagi ulama-ulama ahlus
sunnah yang membongkar kesesatan faham jahmiyah ini, yang sekarang sedang
dijajakan dan dibela mati-matian oleh as-Saqqof dan didukung oleh pembebeknya
dari kalangan shufiyun dan Hizbut Tahrir.
[halbaru]
MEMBONGKAR KEBODOHAN AS-SAQQOF
DALAM ILMU HADITS DARI KITAB GELAPNYA ”TANAQUDLAAT ALBANY”
Diantara pujian Allah Subhanahu
wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya yang jujur dan ittiba’ terhadap sunnah
rasul-Nya adalah dimenangkannya mereka atas sekelompok kaum pengumbar fitnah
dan kebatilan. Perputaran sejarah telah membuktikan bahwa Ahlu Bid’ah
senantiasa terkalahkan, tertumpas dan binasa, walaupun kalimat-kalimat mereka
dihiasi dengan keindahan yang menipu atau walaupun kalimat-kalimat mereka
menyebar luas dan seolah-olah memiliki argumentasi yang kuat, namun pada
hakikatnya kalimat-kalimat mereka rapuh dan lemah, lebih rapuh dari sarang
laba-laba.
Ahlus sunnah beserta segenap
penyerunya, senantiasa menumpas dan memerangi kebid’ahan mereka. Diantara
senjata utama Ahlul Bid’ah dan Ahwa’ adalah pengkhianatan ilmiah, kedustaan dan
talbis antara haq dan bathil. Seorang penuntut ilmu dan peneliti hadits yang
adil, pastilah akan mengetahui bahwa apa yang dimuntahkan oleh as-Saqqof di
dalam Tanaqudlaat-nya tidak lebih daripada cermin kedengkian, kebodohan,
kedustaan dan pengkhianatan ilmiah.
Syaikh Abdul Basith bin Yusuf
al-Gharib dalam at-Tanbiihatul Maliihah berkata: “semua hadits-hadits yg
dikemukakan as-saqqof dalam kitabnya at-tanaqudlaat telah aku telusuri semua,
dimana ia menyangka bahwa hadits-hadits yang dikemukakan oleh Syaikh al-Albany
adalah bentuk pertentangan antara satu dengan lainnya, padahal sebenarnya
bukanlah pertentangan, tetapi lebih merupakan ralat atau koreksi atau ruju’,
dan ini sesuatu yang dapat difahami oleh para penuntut ilmu. Jika kita membaca
suatu hukum atau ketetapan Syaikh al-Albany terhadap suatu hadits dalam sebuah
kitab, kemudian kita mendapati Syaikh al-Albany menyalahi hukum tersebut di
dalam kitab lain, maka itu artinya beliau meralat atau ruju’ dalam hal ini, dan
ini sering terjadi di kalangan para ulama salaf sebelumnya…”[22]
Syaikh Abdul Basith menelusuri
kitab-kitab Syaikh Al-Albany dan mencatat koreksi atau ruju’ beliau dan beliau
bagi dalam lima bagian, yaitu :
1. Hadits-hadits yang syaikh
al-Albany sendiri menegaskan ruju’ beliau.
2. Hadits-hadits yang tertera
secara tidak sengaja atau karena lupa, bukan pada tempat yang seharusnya.
3. Ketiga, Hadits-hadits yang
beliau ruju’ darinya berdasarkan pengetahuan mana yang lebih dulu
(al-Mutaqoddim) dari yang belakangan (al-Muta`akhir) dari kitab-kitab beliau.
4. Hadits-hadits yang belaiu
ruju’ dari yang derajadnya hasan kepada shahih dan yang shahih kepada yang
hasan.
5. Penjelasan beberapa hadits
yang beliau diamkan dalam al-Misykah kemudian beliau jelaskan hukumnya.[23]
Syaikh Ali Hasan al-Halaby
al-Atsary berkata dalam al-Anwaarul Kaasyifah membantah kebodohan as-Saqqof :
”Ketahuilah, bahwasanya para
muhaddits memiliki ucapan-ucapan tentang jarh wa ta’dil terhadap perawi yang
berubah-ubah, pendapat tentang tashhih (penshahihah) dan tadl’if (pendhaifan)
hadits yang berbeda-beda sebagaimana para fuqoha’ memiliki ucapan dan hukum
yang bermacam-macam…
Berapa banyak dari permasalahan
fikih yang imam Syafi’i memiliki dua perkataan atau pendapat di dalamnya?!!
Berapa banyak dari hukum syar’i
yang Imam Ahmad memiliki pendapat lebih dari satu di dalamnya?!!
Lantas, apakah mereka dikatakan
Tanaaqudl (Kontradiktif)?!!
Berapa banyak hadits yang
ditetapkan keshahihannya oleh Imam adz-Dzahabi di dalam talkhish-nya terhadap
Mustadrak al-Hakim namun didha’ifkan olehnya di dalam al-Mizan atau Muhadzdzab
Sunan al-Baihaqi atau selainnya?!!
Berapa banyak hadits yang
diletakkan oleh Ibnul Jauzi di dalam al-Maudlu’aat namun beliau letakkan pula
di dalam al-Ilal al-Mutanaahiyah.
Berapa banyak perawi yang
ditsiqohkan oleh Ibnu Hibban namun belaiu letakkan di dalam al-Majruhin.
Berapa banyak perawi yang
diperselisihkan oleh al-Hafizh di dalam Taqribut Tahdzib atau Fathul Bari` atau
di at-Talkhishul Habiir.
Lantas, apakah mereka ini anda
katakan tanaaqudl (kontradiktif)?!! Padahal, sesungguhnya hal ini adalah karena
ijtihad yang berubah.
Al-Allamah al-Luknawi berkata di
dalam Raf’ut Takmil (hal. 113) : ”Banyak anda jumpai perselisihan Ibnu Ma’in
dan selain beliau dari para imam ahli naqd (kritikus hadits) terhadap seorang
perawi yang mana hal ini dikarenakan berubahnya ijtihad…”
Syaikh Ali Hasan kembali berkata
: ”Ketahuilah bahwa banyak hadits-hadits yang diperselisihkan oleh para ulama
–diantaranya Syaikhul Albany- termasuk hadits hasan yang masih sulit membatasi
kaidah di dalamnya, karena perlunya kedalaman di dalam meneliti dan banyaknya
perbincangan dari pengkritik perawi di dalamnya…
Al-Imam al-Hafizh Syamsuddin
adz-Dzahabi rahimahullahu berkata di dalam al-Muuqizhoh (hal. 28-29) :
”…Tidaklah cukup bagi hadits hasan suatu kaidah yang dapat memasukkan seluruh
hadits hasan ke dalamnya, aku benar-benar pesimis terhadap hal ini, karena
berapa banyak hadits yang para hafizh berubah-ubah penilaiannya di dalamnya,
entah tentang hasannya, dlaifnya maupun shahihnya! Bahkan seorang hafizh dapat
berubah ijtihadnya tentang sebuah hadits, suatu hari ia menyatakan shahih namun
di hari lain menyatakan hasan dan hari lainnya lagi seringkali menyatakan dha’if!!!”
Lantas, dimanakah ucapan yang
tinggi ini di hadapan as-Safsaf (gelar yang diberikan Syaikh Ali kepada
as-Saqqof)?!!
Imam al-Albany berkata di dalam
Irwa’ul Ghalil (IV/363) : ”Sesungguhnya hadits hasan lighoirihi dan hasan
lidzaatihi termasuk ilmu hadits yang paling rumit dan sulit, karena keduanya
akan senantiasa berputar di sekitar perselisihan ulama tentang perawinya
diantara yang mentsiqohkan dan mendhaifkan. Maka tidaklah dapat mengkompromikan
diantara ucapan-ucapan tsb atau mentarjih pendapat yang paling kuat dari
pendapat lainnya, kecuali orang-orang yang mumpuni keilmuannya tentang ushul
dan kaidah ilmu hadits, mengetahui secara kuat tentang ilmu Jarh wa Ta’dil dan
terbiasa dengannya semenjak waktu yang lama, mengambil faidah dari buku-buku takhrij
dan kritikan para kritikus hadits, juga mengetahui kritikus yang mutasyaddid
(keras) dan yang mutasaahil (lemah) serta yang pertengahan. Sehingga dengan
demikian tidak terjatuh kepada Ifrath dan tafrith. Dan perkara ini adalah
perkara yang sulit dan sangat sedikit sekali orang yang mampu memetik buahnya.
Sehingga tidaklah salah jika ilmu ini menjadi asing di tengah-tengah ulama, dan
Allahlah yang mengkhususkan keutamaannya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya.”
Saya berkata : Inilah diantara
kebodohan-kebodohan as-Saqqof al-Jahmi, sehingga ia bagaikan orang yang meludah
ke atas jatuh ke wajahnya sendiri. Ia tidak faham tentang kaidah taraju’ di
dalam ilmu hadits dan ia anggap hal ini sebagai tanaaqudl.
Syaikh Ali berkata kembali :
”Ketahuilah, bahwa perkataan seorang alim tentang sanad suatu hadits : ’ini
sanadnya dha’if’, tidaklah menafikan ucapannya terhadap hadits tersebut di
tempat lain : ’sanadnya shahih’… karena terkadang suatu sanad yang dha’if dapat
dishahihkan atau dihasankan dengan adanya jalan-jalan periwayatan lain dan
syawaahid serta mutaabi’ (penyerta) lainnya. (Lihat Ulumul Hadits hal. 35 karya
Ibnu Sholaah dan an-Nukat (I/473) karya al-Hafizh Ibnu Hajar), apakah kaidah
ini dikatakan tanaaqudl wahai as-Saqqof?!!
Berikut ini adalah lemparan
kepada as-Saqqof dan pendukungnya…
Hadits : ”Barangsiapa memakai
celak, maka hendaknya ia mengganjilkannya. Siapa yang memakainya maka ia
mendatangkan kebaikan dan siapa yang tidak maka tidak ada dosa baginya…”
Al-Hafizh melemahkannya karena
’illat majhulnya al-Hushain bin al-Jubrani di dalam at-Talkhisul Habiir
(I/102,103), namun beliau menghasankannya di dalam Fathul Baari` (I/206).
Hadits tentang turunnya firman
Allah : fiihi rijaalun yuhibbuwna an yatathohharuw terhadap Ahli Quba’.
Al-Hafizh mendha’ifkan sanadnya
di dalam at-Talhiishul Habiir (I/113) namun beliau shahihkan di dalam Fathul
Bari` (VII/195) dan di dalam ad-Diroyah (I/97).
Hadits : ”Dihalalkan bagi kami
dua bangkai dan dua darah…”
Al-Hafizh mendha’ifkannya di
dalam Bulughul Maram (no. 11) namun beliau shahihkan di dalam at-Talkhiisul
Habiir (I/261).
Hadits : ”Sesungguhnya Allah dan
malaikat-Nya bershalawat terhadap barisan shaf pertama”.
Imam Nawawi menshahihkannya di
dalam al-Majmu’ (IV/301) namun beliau menghasankannya di dalam Riyadlus
Shaalihin (no. 1090).
Hadits : ”Ingatlah penghancur
kelezatan yaitu kematian”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani
menghasankannya di dalam Takhriijil Adzkaar sebagaimana di dalam
at-Taujiihaatur Robbaaniyyah (IV/50) namun beliau mensepakati Ibnu Hibban,
Hakim, Ibnu Thahir dan Ibnu Sakkan atas keshahihannya di dalam at-Talkhiishul
Habiir (II/101).
Idris bin Yasin al-Audi.
Al-Hafizh mentsiqohkannya di dalam at-Taqriib namun mendhaifkannya di dalam
al-Fath (II/115).
Nauf bin Fadloolah. Al-Hafizh
menilainya di dalam at-Taqrib sebagai mastuur namun menghukuminya sebagai
shaduq di dalam al-Fath (VIII/413).
Abdurrahman bin Abdil Aziz
al-Ausi. Al-Hafizh menilainya di dalam at-Taqriib sebagai perawi yang shaduq
qad yukhthi’ (terkadang salah), namun beliau mendhaifkannya di dalam al-Fath
(III/210).
Al-Hafizh Ibnu Hajar menshahihkan
di dalam an-Nukat ’ala Ibni ash-Sholaah (I/355-356) hadits yg diriwayatkan dari
Muhammad bin ‘Ajlaan namun di dalam Amaalii al-Adzkaar (I/110) beliau
menjelaskan bahwa haditsnya tidaklah terangkat dari derajat hasan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil di
dalam at-Talkhishul Habiir (IV/176) dari Nawawi di dalam ar-Roudloh tentang
perkataannya mengenai hadits : “Tidak ada nadzar di dalam perkara kemaksiatan”,
beliau berkata : “hadits dha’if menurut kesepakatan para muhadditsin”. Namun
al-Hafizh membantah sendiri dengan ucapannya : “Hadits ini telah dishahihkan
oleh ath-Thohawi dan Abu ‘Ali bin as-Sakkan, lantas dimanakah kesepakatan itu?!!”
Imam Nawawi berkata di dalam
al-Majmu’ (II/42) mengenai hadits memegang kemaluan : ”Tidaklah kemaluanmu itu
hanyalah bagian dari tubuhmu!”, beliau mengomentari : “Sesungguhnya hadits ini
dha’if menurut kesepakatan huffazh”, sedangkan hadits tersebut dishahihkan oleh
Ibnu Hibban, Ibnu Hazm, ath-Thabrani, Ibnu at-Turkumani dan selain mereka.
Demikian pula ucapan Ibnu Abdul Hadi di dalam al-Muharrar (hal. 19) : ”telah
salah orang yang meriwayatkan kesepakatan akan kedha’ifannya.”
Dan masih banyak lagi contoh-contoh
semacam ini bertebaran.
Saya katakan : Apakah mereka
semua ini adalah orang-orang yang tanaaqudl?!! Jika melihat dari kaidah yang
digunakan oleh as-Saqqof, maka mereka semua ini –para imam muhadditsin-
dikatakan sebagai mutaanaqidlin (orang-orang yang kontradiktif)!!! Dan di
sinilah letak kebodohan as-Saqqof yang lemah dan dangkal pemahamannya terhadap
kaidah dan prinsip ilmu hadits. Fa’tabiru ya ulil albaab!!!
[halbaru]
MEMBONGKAR KEDUSTAAN, TALBIS DAN
TADLIS AS-SAQQOF SERTA PENGKHIANATANNYA DARI KITAB GELAPNYA ”TANAQUDLAAT
ALBANY”
Sesungguhnya, kitab Tanaqudlaat
Albany yg ditulis oleh si pendengki ini penuh dengan fitnah, kedustaan, tadlis,
talbis dan pengkhianatan ilmiah. Ia sepertinya telah termakan bujuk rayu iblis
dengan menjajakan kaidah sesatnya yang berbunyi al-Ghooyah tubarrirul wasiilah
(Tujuan membenarkan segala cara), sebagaimana kaidah yang juga dipegang oleh
Hizbut Tahrir yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi tujuan. Ternyata
as-Saqqof dan Hizbut Tahrir ini bagaikan pinang dibelah dua, sama-sama pahitnya
dan hitamnya. Oleh karena itu tidak heran, jika Nuh Hamim Keller[24] sang
pembela kebid’ahan didukung oleh simpatisan Hizbut Tahrir seperti Muhammad
Lazuardi al-Jawi bersepakat di dalam kegelapan as-Saqqof di dalam memerangi Ahlu
Sunnah. Karena demikianlah karakteristik Ahlul Bid’ah, mereka menenggelamkan
kepalanya ke dalam tanah namun ekornya siap menyengat siapa saja yang mendekat,
bagaikan kalajengking!
Berikut ini pengkhianatan, talbis
dan tadlis as-Saqqof sang pendusta[25]…
1. As-Saqqof berkata dalam
kitabnya at-Tanaaqudlaat, hal. 97. Hadits : ”Tabayun –dalam lafazh lain Ta`anni
(sikap kehati-hatian)- adalah dari Allah dan al-’Ajalah (tergesa-gesa) datangnya
dari Syaithan. Maka bertabayunlah…”
Tuduhan : As-Saqqof berkata :
”Hadits ini didhaifkan oleh Syaikh Albani dalam Dha’if al-Jami’ wa Ziyaadatuhu
(III/45 no. 2503), dimana lafazh : ”Tabayun dari Allah” dishahihkan oleh beliau
di dalam Silsilah al-Ahaadits As-Shahiihah (IV/404, dengan nomor 1795).”
Cek : Ketika melihat kembali
kitab Syaikh Albani Dha’if al-Jami’, beliau mengisyaratkan kedhaifannya dan
menisbatkan riwayatnya kepada Ibnu Abi Dunya dalam kitab Dzammul Ghadlab serta
al-Khairathi dalam kitab Makarimul Akhlaq yang diriwayatkan dari al-Hasan
secara mursal. (lihat Dha’if al-Jami’ : 2504). Ketika melihat Silsilah
ash-Shahihah (IV/404), di dalamnya terdapat perkataan Syaikh Albani, yaitu :
”at-Ta`anni datangnya dari Allah dan tergesa-gesa datangnya dari Syaithan”.
Lafazh hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam al-Musnad (III/1054) dan
al-Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubra (X/104) dari jalur al-Laits, dari Yazid bin
Abi Habib, dari Sa’ad bin Sinan, dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda…
(sama seperti redaksi hadits tadi).
Kesimpulan : As-Saqqof telah
bersikap tidak fair dan tidak menampakkan yang sebenarnya dengan menganggap
bahwa hadits di atas adalah satu, padahal yang disebutkan dalam Dha’if al-Jami’
dan Silsilah ash-Shahihah adalah dua hadits yang berbeda. Jadi as-Saqqof secara
sembrono telah mengatakan dalam kitabnya at-Tanaqudlaat : ”-dan dalam lafazh
lain at-Ta’anni-”. Maka kami pertanyakan : dimanakah kejujuran dan keadilanmu
wahai as-Saqqof? Dimana pula letak tanaqudl (kontradiktif) kedua hadits di
atas???[26]
2. As-Saqqof berkata di dalam
kitabnya at-Tanaqudlaat (no. 99), hadits : “Tidak boleh (menerima) dalam Islam
kesaksian seorang lelaki yang pengkhianat begitu pula seorang wanita
pengkhianat, orang yang dikenakan hukuman jilid dan yang dengki terhadap
saudaranya.”
Tuduhan : as-Saqqof berkata :
”Hadits ini disebutkan oleh al-Albani di dalam Shahih Ibnu Majah (II/44 no.
1916), yang dianggap bertentangan karena beliau mendhaifkannya. Oleh karena itu
beliau menyebutkannya dalam kumpulan hadits-hadits dhaif pada kitab Dha’if
al-Jami’ wa Ziyadatuhu (VI/62, no. 6212).
Cek : Ketika melihat ke dalam
buku Shahih Sunan Ibnu Majah (no. 1930) dan al-Ma’arif, disebutkan bahwa Syaikh
Albani berkata : ”Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhuma, beliau mengatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Tidak boleh
(menerima) dalam Islam kesaksian seorang lelaki yang pengkhianat begitu pula
seorang wanita pengkhianat, orang yang dikenakan hukuman jilid dan yang dengki
terhadap saudaranya.” Sementara hadits yang ada di dalam Dha’if al-Jami’ (no.
6199) dengan lafazh : ” “Tidak boleh (menerima) dalam Islam kesaksian seorang
lelaki yang pengkhianat begitu pula seorang wanita pengkhianat, orang yang
dikenakan hukuman jilid dan yang dengki terhadap saudaranya, yang pernah
melakukan sumpah palsu, yang mengikut kepada anggota keluarga mereka, yang
dicurigai sebagai hamba sahayanya atau sanak kerabatnya.” hadits ini dia
sandarkan sebagai riwayat Tirmidzi.
Kesimpulan : As-Saqqof telah
menyembunyikan hakikat sebenarnya. Ia menduga bahwa kedua hadits ini sama,
padahal berbeda, walaupun sebagian lafazhnya sama. Yang pertama adalah riwayat
Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah
tanpa ada penambahan, dan yang kedua adalah riwayat Aisyah yang dikeluarkan
at-Tirmidzi. Maka kami pertanyakan : Wahai Saqqof, manakah kejujuran dan
keadilanmu serta sifat amanahmu???[27]
3. As-Saqqof berkata di dalam
at-Tanaqudlaat (no. 92) hadits : “Jika salah seorang dari kalian mengerjakan
suatu amalan, maka sempurnakanlah…”
Tuduhan : as-Saqqof berkata :
”hadits ini dishahihkan oleh al-Albani sehingga beliau memasukkan dalam Shahih
al-Jami’ (II/144 no. 1876) dengan lafazh : ”Sesungguhnya Allah mencintai jika
salah seorang dari kalian mengerjakan suatu amalan dan ia menyempurnakannya.”
Lalu ia menyelisihinya dan memutuskan hadits ini sangat dhaif di dalam Dla’if
al-Jami’ (I/207 no 698).
Cek : Ketika melihat ke dalam
ash-Shahihul Jami’ (no. 1888) kami mendapati hadits tersebut dengan lafazh : ”
Sesungguhnya Allah mencintai jika salah seorang dari kalian mengerjakan suatu
amalan dan ia menyempurnakannya”. Hadits ini beliau sandarkan sebagai riwayat
al-Baihaqi dalam Syua’bul Iman dari Aisyah radhiallahu ‘anha, sedangkan hadits
dalam Dla’iful Jami’ wa Ziyaadatuhu berbunyi : ”Jika salah seorang dari kalian
mengerjakan suatu pekerjaan, maka sempurnakanlah karena sesungguhnya hal itu
termasuk menghibur yang dikerjakan sendiri.” Hadits ini beliau sandarkan
sebagai riwayat Ibnu Sa’ad dari Atha’ secara mursal dan menetapkannya sebagai
hadits yang sangat dhaif.
Kesimpulan : Sunguh as-Saqqof
telah menduga bahwa dia hadits ini sama padahal keduanya berbeda baik
periwayatannya maupun tempat keduanya disebutkan. Lantas dimanakah sikap amanah
dan penghargaan terhadap ilmu wahai as-Saqqof???[28]
4. Pada halaman 39, as-Saqqof
memaparkan hadits Abdullah bin ’Amru : ”Jum’at wajib bagi yang mendengarkan
seruan (adzan)”. As-Saqqof mengklaim bahwa syaikh al-Albani menghasankannya di
dalam al-Irwa’ dan mendhaifkan sanadnya di dalam al-Misykaah.
Komentar : Kedua tidak
kontradiktif, dimana beliau juga mendhaifkan sanadnya di al-Irwa’, namun beliau
mengisyaratkan akan adanya syawahid yang menguatkannya, kemudian beliau berkata
di akhir sanadnya : ”maka hadits ini dengan adanya syawahid menjadi hasan insya
Allah.” Dimanakah akalmu wahai orang-orang yang berfikir??
5. Pada halaman 39-40, as-Saqqof
memaparkan hadits Anas : ”Janganlah kalian bersikap keras terhadap diri kalian
niscaya Allah akan bersikap keras terhadap kalian…”. Kemudian as-Saqqof
mendakwakan bahwa Syaikh al-Albani mendhaifkannya di Takhrijil Misykaah.
Sesungguhnya menurut akal si orang yang kontradiktif ini dan pemahaman orang
yang bingung ini, bahwa perkataan syaikh Albani di dalam Ghoyatul Maraam (hal.
140) merupakan sumber penghukuman hadits bahwa hadits tersebut dhaif, akan
tetapi beliau mengisyaratkan syahid yang mursal, sehingga beliau jadikan di
akhir penelitian beliau di dalam takhrijnya dengan perkataan : ”Semoga hadits
ini hasan dengan syahidnya yang mursal dari Abi Qilabah, wallahu a’lam”. Namun
setelah itu, beliau mendapatkan jalur hadits ketiga di sebagian referensi-referensi
sunnah, maka beliau menetapkan keshahihannya secara pasti di dalam Silsilah
al-Ahaadits ash-Shahihah (3694). Maka inilah ilmu dan keadilan itu, dan
tinggalkan oleh kalian perancuan dan kedustaan oleh as-Saqqof.
6. Pada hal. 40, ia menukil hadits
Aisyah : ”Barangsiapa yang menceritakan kalian bahwa nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam kencing sambil berdiri maka janganlah kau benarkan…”. Kemudian si
Saqqof ini mendakwakan bahwa Syaikh Albani mendhaifkan sanadnya di dalam
al-Misykah kemudian ia shahihkan di dalam Silsilah Shahihah-nya, dan
mendakwakan bahwa Syaikh al-Albani tanaaqudl dalam hal ini.
Komentar : Bahwasanya keduanya
tidak tanaaqudl dan ini hanyalah dakwaan dusta dan kebodohan dari as-Saqqof.
Syaikh menyatakan cacat riwayat Tirmidzi di dalam al-Misykah karena dhaifnya
Syarik an-Nakha’i. Namun beliau menemukan mutaaba’ah dan menshahihkannya di
Silsilah Shahihah sembari memberikan komentar bahwa beliau mengakui tentang
terlalu ringkasnya ta’liq (komentar) beliau di dalam al-Misykah setelah beliau
menghimpun mutaba’ah yang akhirnya beliau shahihkan. Namun as-Saqqof
menyembunyikan hal ini dan melakukan kedustaan terhadap umat.
Inilah sebagian hadits yang ia
sebutkan dan di sini saya menyebutkannya hanya sebagai contoh untuk menunjukkan
kejahilan, kedustaan, perancuan, pengkhianatan ilmiah, penyembunyian al-Haq dan
kedengkian as-Saqqof kepada Syaikh al-Albani. Dan bukan artinya apa yang
disebutkan di sini berarti telah disebutkan semua kebohongannya dan
kedustaannya, karena jika disebutkan niscaya risalah akan menjadi sebuah buku
tersendiri yang tebal. Bagi yang ingin mengetahui kedustaan as-Saqqof ini, bisa
merujuk ke kitab al-Anwaarul Kaasyifah karya Syaikh Ali Hasan dan
at-Tanbiihatul Maliihah karya Syaikh Abdul Basith, maka anda akan menemukan
kebobrokan as-Saqqof yang dipenuhi dengan fitnah, kedustaan dan kejahilan ini.
Berikut ini kami ringkaskan
kedustaan as-Saqqof terhadap Syaikh al-Albani yang bisa dirujuk sendiri di
dalam kitabnya at-Tanaqudlaat dalam nomor-nomor haditsnya, yaitu Juz I : no.
46, 68, 69, 81, 93, 105, 108, 117, 131, 141, 142, dan 171. Juz II : 17, 18 dan
19. sedangkan juz III : no. 19. semuanya yang disebutkan ini adalah ralat atau
ruju’ Syaikh al-Albani yang ia (as-Saqqof) sembunyikan.
Bahkan, syaikh Ali Hasan menghimpun
nomor-nomor hadits pada kitab gelapnya bahwa yang dijadikan patokan oleh
as-Saqqof untuk mendakwakan tanaqudl Syaikh al-Albani adalah kebanyakan dari
al-Misykaah dan dikontradiktifkan dengan kitab Syaikh yang lainnya. Padahal
al-Misykaah ini merupakan ta’liq atas Shahih Ibnu Khuzaimah, yang mana ta’liq
ini pada hakikatnya bukanlah merupakan tahqiq Syaikh al-Albani maupun ta’liq
beliau murni. Muhaqqiq (peneliti) sebenarnya adalah Syaikh al-Fadhil DR.
Muhammad Mustofa al-A’zhami yang meminta kepada syaikh Albani untuk
mengoreksinya dengan koreksi secara umum.
Oleh karena itulah ta’liq beliau
begitu ringkas dan sedikit, yang merupakan penyempurna dari ta’liq sebelumnya
yang dilakukan oleh DR. Muhamad Mustofa al-A’zhami. Oleh karena itulah ketika
beliau melakukan penelitian dan takhrij lebih dalam terhadap suatu hadits
dengan mengumpulkan jalur-jalur periwayatannya atau ditemukannya syawahid dan
mutaba’ah, maka beliau taraju’ dengan mengambil takhrij beliau yang terakhir.
Inilah seharusnya yang diambil… Namun as-Saqqof pura-pura tidak tahu atau
benar-benar tidak tahu, sehingga ia menghimpun hadits-hadits yang menurutnya
tanaaqudl padahal dirinyalah yang tanaaqudl…
Berikut inilah nomor-nomor hadits
yang disebutkan oleh as-Saqqof sebagai suatu bentuk tanaaqudl padahal
sebenarnya adalah suatu taraaju’ yang as-Saqqof menyembunyikan hakikatnya,
yaitu : no. 1, 2, 3, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 19, 20, 21, 26,
32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 45, 47, 48, 49, 51, 52,
53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65,66,67, 69, 72, 73, 75, 76,
78, 81, 82, 83, 84, 85, 87, 88, 89, 90, 95, 103, 143, 144, 147, 153, 158, 164,
185, 186, 187, 188, 189, 198, 199, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248,
249, 250.
Yang aneh lagi, supaya terkesan
lebih banyak tanaqudlaat yang dituduhkan oleh dirinya kepada Syaikh al-Albani,
maka ia mengulang-ulang hal yang sama di dalam kitab gelapnya tersebut. Seperti
: yang dipaparkannya di hal 7 diulanginya lagi pada hal. 70 dan 161. Yang
dipaparkannya pada hal. 9, diulanginya lagi pada hal. 114, 136 dan 140. Yang
dipaparkannya pada hal. 10 diulanginya lagi pada hal. 98. yang dipaparkannya
pada hal. 10, diulanginya lagi pada hal. 11 dan 140. Yang dipaparkannya pada
hal. 64 diulanginya lagi pada hal. 105. Yang dipaparkannya pada hal. 96
diulanginya lagi pada hal. 145.[29]
[halbaru]
KETIDAKADILAN AS-SAQQOF DAN
KEFANATIKANNYA TERHADAP GURUNYA MUHAMMAD ZAHID AL-KAUTSARI AL-HANAFI
Diantara tuduhan as-Saqqof
al-Haqid (pendengki) ini terhadap Syaikh al-Albani adalah tadh’if (pendhaifan)
yang dilakukan oleh Albani terhadap hadits Bukhari dan Muslim atau salah satu
dari keduanya. Hal yang serupa juga dilakukan oleh seorang pendengki dari Mesir
yang bernama Mahmud Sa’id Mamduh asy-Syafi’i al-Mishri yang menulis kitab
Tanbihul Muslim ila Ta’addi al-Albani ’ala Shahih Muslim (Peringatan terhadap
Muslim terhadap kelancangan Albani terhadap Shahih Muslim), yang merupakan
murid dari Syaikh Abdullah bin Muhammad ash-Shiddiq al-Ghumari, lawan Albani
yang menulis risalah tipis berjudul Al-Qoul al-Muqni’ fir Raddi ’alal Albani
al-Mubtadi’ (Perkataan yang terang di dalam membantah Albani si pelaku bid’ah),
ia saudara dari Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shidiq al-Ghumari, lawan Albani
pula yang menulis buku berbahaya bagi aqidah muslim yang berjudul Ihya’ul
Maqbuur min Adillati Istihbaabi Bina’il Masjid wal Qobaab ’alal Qubuur
(Menghidupkan pekuburan tentang dalil-dalil disunnahkannya membangun masjid dan
kubah di atas kuburan). Dan yang merupakan guru besar bagi keduanya adalah
Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari al-Hanafi, seorang pembesar dan fanatikus
madzhab Hanafi dan penghulu aqidah asy’ari zaman ini. Dia sangat getol sekali
di dalam menyerang dan menghantam aqidah ahlus sunnah atau salafiyah dan para
ulamanya. Kefanatikan terhadap madzhabnya sangat dikenal sehingga al-Ghumari
sendiri membantah dirinya dalam kitab Bida’u at-Tafasir dan menyatakan bahwa
al-Kautsari ini adalah orang yang fanatik buta dan ghuluw pada Imam Abu
Hanifah.
Al-Kautsari, tidak jauh beda
dengan muridnya, as-Saqqof, sangat membenci Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
murid-muridnya, terutama Syaikhul Islam kedua Ibnul Qoyyim. Mereka menuduh
bahwa Syaikhul Islam adalah mujassim dan beraqidah tahayyuz, sehingga mereka
memerangi aqidah salafiyah yang mengajarkan kemurnian aqidah. Syaikh Zuhair
asy-Syawisy membantah al-Kautsari di dalam hasyiah (foot note) beliau terhadap
kitab Syarh Ath-Thohawiyah lil Albani. Samahatus Syaikh al-Allamah Mu’allimi
al-Yamani membantah dan membongkar kedok kesesatannya di dalam kitab yang
berjudul at-Tanqiil bima fii Ta’nibil Kautsari minal Abathil.
As-Saqqof dan al-Mamduh tidak
fair. Mereka menghantam Syaikh al-Albany di dalam beberapa hal pendhaifan
beliau terhadap beberapa riwayat Muslim dan Bukhari. Padahal al-Kautsari jauh
lebih ekstrim di dalam menolak hadits Bukhari Muslim, yang mana al-Kaustari
melakukannya didorong oleh fanatik madzhabiyah. Diantara hadits yg ditolak oleh
al-Kautsari adalah :
1. Hadits ”Allah menciptakan
debu…” yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang ditolaknya di dalam kitab
gelapnya al-Asma’ wash Shifaat. (hal. 26,383).
2. Hadits kisah tentang Musa
menyebabkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kembali kepada Allah pada malam
Israa’ tentang kewajiban sholat 50 rakaat, yang muttafaq ’alaihi, namun
ditolaknya di dalam al-Asma’ wash Shifaat (hal. 189)
3. Hadits tentang dilihatnya
Allah pada hari kiamat yang Muttafaq ’alaihi, ditolaknya di dalam al-Asma’ wash
Shifat (hal. 292).
4. Hadits tentang hari kiamat
bumi akan menjadi dataran putih yang dikeluarkan oleh Bukhari Muslim,
ditolaknya dalam al-Asma’ wash Shifat (hal. 320)
5. Hadits tentang ”dimana Allah”
kepada seorang budak sahaya wanita yang masih anak-anak yang dikeluarkan oleh
Muslim, ditolaknya di dalam al-Asma’ wash Shifat (hal. 421)
Dan masih banyak lainnya, dimana
al-Kautsari menolaknya tidak dikembalikan kepada ilmu hadits, namun dia
menolaknya karena menyelisihi madzhabnya yang asy’ariyah dan madzhab
hanafiyahnya. Namun, anehnya… as-Saqqof si pengkhianat ilmiah ini
menyembunyikan kebobrokan gurunya, menutup mata darinya dan mencari
kesalahan-kesalahan ulama ahlul atsar dikarenakan kebenciannya terhadap ahlul
atsar, dan kefanatikannya terhadap madzhabnya dan gurunya yang Jahmiyah.
Al-Albani berkata tentang
al-Kautsari di dalam Syarh Aqidah ath-Thohawiyah, setelah membantah murid
al-Kautsari yang bernama Abdul Fattah Abu Ghuddah, seorang yang didaulat
sebagai ahli hadits oeh Ikhwanul Muslimin yang berakidah sufi dan jahmi (hal.
45) : ”Zahid al-Kautsari dulunya adalah orang yang berada di atas pengetahuan
yang dalam terhadap ilmu hadits dan para perawinya, namun sungguh disayangkan,
ilmunya menjadi hujjah atasnya (yang melawannya) dan menyedihkan, karena
ilmunya tidak menambah hidayah dan cahaya kebenaran baginya, tidak di dalam
masalah furu’ tidak pula di dalam masalah ushul. Dia adalah seorang Jahmiyah
yang menolak sifat-sifat Allah. Seorang Hanafiyah yang binasa karena
kefanatikannya. Dia sangat kasar di dalam menghantam Ahlul Hadits, baik
terdahulu maupun yang belakangan. Dia, di dalam masalah aqidah, memberi gelar
Ahlul Hadits dengan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan tajsim
(mengatakan Allah punya jism). Dia gelari mereka (Ahlul Hadits) di dalam
muqoddimah Saifus Saqiil-nya sebagai Hasyawiyah Jahil. Dia mengatakan bahwa
Kitabut Tauhid Ibnu Khuzaimah adalah buku kesyirikan! Dan ia menuduh Imam Ibnu
Khuzaimah sebagai mujassim dan jahil terhadap ushuludin. Di dalam masalah
fikih, ia menuduh Ahlul Hadits itu jumud (kaku) dan pemahamannya pendek, dan
penyandang kitab-kitab. Di dalam masalah hadits, ia mencerca habis hampir 300
perawi yang mayoritasnya adalah perawi yang tsiqoh dan dhabit. Diantaranya
adalah 80 haafizh, dan sejumlah Imam seperti Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad.
Ia menjelaskan bahwa ia tidak menganggap Syaikh Ibnu Hayyan sebagai orang yang
tsiqoh, tidak pula al-Khatib al-Baghdadi dan yang semisalnya. Dia juga
menyatakan bahwa Imam Abdullah bin Imam Ahmad bin Hanbal yang secara sendirian
meriwayatkan Musnad (Imam Ahmad) sebagai pendusta. Dan dia menyatakan bahwa
Musnad Imam Ahmad tidak dianggap sebagai kitab Musnad yang perlu dirujuk
sebagai referensi sebagaimana termaktub dalam kitabnya al-Isyfaq ’ala Ahkamit
Thalaq (hal. 23)… dia juga menyatakan dhaif hadits-hadits yang disepakati
kesahihannya, walaupun hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim sekalipun…
di sini lain, dia menshahihkan hadits yang mendukung kefanatikannya terhadap
madzhabnya, yang mana setiap orang yang memiliki ilmu hadits dapat
mempersaksikan kelemahannya ataupun kepalsuannya. Seperti hadits : ”Abu Hanifah
adalah pelita ummat ini”, dan perkara lainnya yang tidak mungkin menyebutkan
dan memaparkannya semua di sini. Al-Allamah Abdurrahman al-Mu’allimi al-Yamani
membantah dirinya secara baik dan ilmiah di dalam kitabnya Tali’atut Tankil dan
at-Tankil bima fi Ta’nibil Kautsari minal Abaathil, jadi barangsiapa yang
menghendaki kebenaran silakan merujuk kepadanya dan ia akan mendapatkan hal
yang lebih parah ketimbang apa yang telah disebutkan di sini.”
Al-Ghumari –yang bermadzhab
Syafi’i- membantahnya pula di dalam Bid’atut Tafasir (hal. 180-181) yang
menyingkap kebatilan al-Kautsari : ”Kita sering menjadi terkagum dengan
al-Kautsari di dalam ilmu dan kecermatannya di dalam meneliti sebagaimana kita
juga tidak menyukai kefanatikan yang luar biasa terhadap Hanafiyah, kefanatikan
yang melebihi fanatiknya Zamakhsyari terhadap Mu’tazilah. Sampai-sampai ke
suatu tingkat dimana saudara kami tercinta, al-Hafizh Abul Faidh (Ahmad
al-Ghumari, pent.) biasa menyebut dirinya, ”Majnun Abi Hanifah”. Dan ketika aku
diberi hadiah bukunya yang berjudul Ihqaaqul Haq yang berhubungan dengan
bantahan terhadap risalah Imam al-Haramain yang lebih memilih madzhab Syafi’i,
aku melihatnya dia