Persepsi kebanyakan orang
dalam menilai seorang ulama yang dijadikan figur teladan sangat beragam.
Sebagian orang menyangka bahwa tanda seorang yang berilmu adalah dia memiliki
banyak hafalan dan karya tulis ilmiah.
Sebagian lagi menyangka bahwa
tanda seorang ulama adalah segudang gelar akademik atau non akademik yang
diraih seperti : Lc, MA, Doktor, Profesor, KH, Syaikh, Ustadz dan yang lain.
Adapula yang mengira bahwa
seorang ulama adalah sebatas ahli retorika, fasih dalam berbahasa dan pandai
merangkai kata dalam menyampaikan pesan-pesan agama.
Bermuara dari anggapan yang
keliru semacam ini, akhirnya tidak sedikit yang salah memosisikan seseorang
sebagai ulama. Seorang yang tidak pantas disebut ulama dan tidak layak
diteladani ternyata dinobatkan sebagai ulama, disanjung setinggi langit dan
dijadikan rujukan umat.
Sebaliknya seorang yang
sejatinya alim rabbani rujukan umat, justru tidak dianggap sebagai ulama bahkan
dicerca dan dijatuhkan kredibelitasnya serta divonis sesat.
Na’udzu billah!
Kita berlindung kepada Allah
ta’ala dari penyimpangan tersebut…
Pembaca rahimakumullah yang
kami hormati…
Sebenarnya dalam banyak ayat,
Allah ta’ala telah menggambarkan kriteria figur ulama yang pantas diteladani
atau yang disebut alim rabbani.
Demikian pula Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah merinci dalam as-Sunnah siapa sesungguhnya
alim rabbani tersebut.
Seandainya kaum muslimin mau
kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah serta komitmen berpegang dengan keduanya,
pasti akan mendapati dan senantiasa terbimbing untuk tepat dalam bersikap,
termasuk dalam menyikapi ulama.
Atas dasar inilah kami ingin
menyebutkan beberapa kriteria ulama rabbani yang bersumber dari al-Quran dan
as-Sunnah, semoga bisa menjadi bahan renungan bersama.
Ciri-ciri ulama sejati
diantaranya:
1. Memiliki rasa khasyah
(takut) kepada Allah ta’ala.
Diantara firman-Nya:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّـهَ مِنْ عِبَادِهِ
الْعُلَمَاءُ ۗ
“Hanyalah yang takut kepada
Allah dari hamba-Ku adalah ulama” (Fathir: 28)
Ayat ini menjelaskan salah
satu kriteria seorang alim rabbani yaitu memiliki rasa khasyah (takut) kepada
Allah ‘azza wa jalla.
Namun bukan sekadar takut
biasa, akan tetapi rasa takut yang muncul dari makrifatullah (mengenal Allah).
Yaitu rasa takut yang didasari ilmu tentang Allah ta’ala Dzat yang sangat
pantas ditakuti. Baik ilmu tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya dan
perbuatan-Nya yang Maha Sempurna.
Khasyah juga adalah rasa
takut yang melahirkan sikap ta’dzim (pengagungan) serta ketundukkan total,
sempurna dan paripurna kepada Rabbnya.
Dalam ayat lain Allah ta’ala
berfirman:
قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا ۚ إِنَّ
الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِن قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ
لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا ﴿١٠٧﴾ وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِن كَانَ وَعْدُ
رَبِّنَا لَمَفْعُولًا ﴿١٠٨﴾ وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ
خُشُوعًا ۩ ﴿١٠٩﴾
“Katakan: Berimanlah
dengannya (al-Quran) atau tidak beriman. sesungguhnya orang-orang yang
diberikan ilmu sebelumnya jika dibacakan kepada mereka (al-Quran) tersungkur
jatuh di atas wajah mereka sujud (kepada-Nya). Seraya berkata: Maha Suci Rabb
kami, sungguh janji Rabb kami pasti terwujud. Dan mereka tersungkur sujud di
atas wajah dalam keadaan menangis serta semakin menambah kekhusyuan mereka.”
(al-Isra: 107-109)
Pada ayat-ayat di atas Allah
ta’ala menyebutkan ciri hamba-hamba yang diberi ilmu(ulama rabbani) yaitu
selalu tunduk dan patuh kepada Allah ta’ala dan selalu merendahkan diri di
hadapan-Nya sebagai wujud khasyatullah (takut pada-Nya).
Maka sifat khasyah adalah
salah satu ciri yang sangat menonjol ada pada ulama rabbani. Sifat ini
benar-benar tergambar pada sikap perbuatan mereka, baik keyakinan ucapan atau
perbuatan anggota badan.
Tidaklah mereka berkata,
beramal atau berkeyakinan kecuali telah jelas dan benar landasan hukumnya dari
al-Quran dan as-Sunnah.
Mereka adalah orang-orang
yang sangat takut melanggar batasan Allah ta’ala dan rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam baik karena disengaja atau tidak, karena mereka sadar dan
mengerti bahwa Allah ta’ala sangat keras siksa-Nya.
Sebagaimana dalam firman-Nya:
إِنَّ اللَّـهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٢﴾
“Sungguh amat keras balasan
(azab) Allah”
Kriteria ulama rabbani
berikutnya adalah:
2. Istiqamah dalam
mengamalkan ilmu. Ini adalah salah satu ciri yang sangat nampak terlihat pada
seorang alim rabbani. Ia akan selalu mengamalkan ilmu yang telah Allah ta’ala
anugerahkan kepadanya, sebagai konsekuensi dari ilmu yang diraihnya, dan
mencari keberkahan ilmu tersebut.
Allah ta’ala berfirman:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا
وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي
الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو
الْأَلْبَابِ ﴿٩﴾
“Apakah (sama seorang kafir)
dengan seorang yang selalu taat di tengah malam dalam keadaan berdiri dan sujud
dengan penuh rasa takut akan (azab) akhirat serta mengharapkan rahmat rabbnya.
Apakah sama orang berilmu dengan yang tidak berilmu? hanya yang (selalu)
mengingat adalah orang-orang yang berakal.” (az-Zumar: 9)
Pada ayat ini Allah ta’ala
menjelaskan tentang adanya perbedaan asasi antara seorang yang berilmu dengan
yang tidak berilmu yaitu pada amal saleh. Tatkala Allah ta’ala menyebutkan amal
saleh di awal ayat kemudian diakhiri dengan peniadaan kesamaan status dari sisi
ilmu, tidak lain menunjukkan adanya hubungan erat antara ilmu dengan amal
saleh. Artinya seorang yang berilmu akan terdorong untuk selalu beramal dengan
ilmunya agar dirinya terbedakan dengan seorang jahil(yang tidak berilmu).
Oleh karena itu al-Imam
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
لا يزال الرجل جاهلا بما علم حتى يعمل به، فإذا
عمل به كان عالما
“Seorang senantiasa dikatakan
jahil (bodoh) dengan ilmunya sampai ia mengamalkannya, jika dia mengamalkan
ilmunya maka benarlah ia dikatakan alim.” (Iqthidha al-Ilmi wal Amal 1/37).
Sungguh tepat ucapan al-Imam
al-Fudhail rahimahullah, bahwa seorang alim benar-benar dianggap alim rabbani
tatkala beramal dengan ilmunya. Selama ia belum mengamalkan ilmunya maka masih
dikategorikan orang bodoh.
Karena, sebab utama kenapa
banyak dari kaum muslimin yang lalai dari beramal saleh atau sengaja
meninggalkan amal saleh adalah kejahilan (bodoh). Apakah jahil tentang urgensi
amal saleh atau jahil tentang kewajiban beramal dalam Islam.
Sehingga ketika seorang yang
berilmu tidak mengamalkan ilmunya maka statusnya sama dengan orang yang bodoh.
Allahul musta’an!
Maka renungkanlah wahai
saudaraku kaum muslimin…
Semoga kita semua selalu
dirahmati oleh Allah ta’ala dan diberi taufik hidayah-Nya ke jalan yang benar!
Coba kita perhatikan sejenak
kehidupan para sahabat Nabi radhiallahu ‘anhum jami’an ulama rujukan utama dan
sebaik-baik teladan umat ini. Kita akan menyaksikan sebuah potret kehidupan
yang penuh teladan dalam ilmu dan amal saleh.
Betapa menggelora semangat
beramal saleh pada diri mereka (sahabat Nabi) sebagaimana gelora semangat itu
terpancar dalam usaha menggapai ilmu agama.
Hal ini tergambar pada ucapan
Abu Abdirrahman as-Sulamy rahimahullah salah seorang tabi’in (murid sahabat),
ketika ia berkata:
حدثونا الذين كانوا يقرئوننا القرآن أنهم لم
يكونوا يتجاوزون عشر آيات حتى يعرفوا معناها ويعملوا بها
“Telah memberitakan kepada
kami mereka (sahabat) yang selalu mengajarkan al-Quran kepada kami bahwa
tidaklah mereka melampaui 10 ayat sampai benar-benar memahami maknanya dan
telah mengamalkannya.” (al-Qaidah al-Murakisyiyah 1/6)
Sangat menakjubkan!
Betapa tinggi perhatian
sahabat untuk beramal saleh dan betapa kuat tekad untuk mengamalkan ilmu.
Sampai-sampai tidak akan beranjak atau berpindah dari 10 ayat yang mereka
pelajari dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan benar-benar telah
dipahami kandungan makna dan tafsirnya serta diwujudkan dalam amaliah
keseharian.
Maka tidaklah mengherankan
jika mereka (sahabat) berhasil mencapai kedudukan yang mulia dalam Islam dan
meraih predikat terbaik dari Allah ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam, serta menjadi rujukan utama umat.
Namun satu hal penting yang
harus selalu diingat, bahwa mencurahkan perhatian untuk istiqamah beramal dan
semangat memperbanyak amal harus dilandasi dua syarat mutlak diterima sebuah
amalan yaitu ikhlas dan mencontoh Nabi.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّـهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ ﴿٥﴾
“Tidaklah mereka
diperintahkan melainkan untuk beribadah kepada Allah semata dan mengikhlaskan
agama (ibadah) kepada-Nya” (al-Bayyinah: 5)
Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْه ِأَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal
sebuah amalan yang tidak ada bimbingan atau contoh dari kami maka tertolak
(amalan tersebut).” (HR. Muslim dari Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha)