I.PENGANTAR
“Perselisihan
umatku adalah rahmat“. Hampir tidak ada di antara kita yang tak pernah
mendengar atau membaca hadits ini. Ia
sangat begitu akrab dan populer sekali, baik di kalangan penceramah, aktivis
dakwah, penulis, bahkan oleh masyarakat biasa masa kini.
Hanya saja, sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban:
Apakah kemasyhuran ungkapan tersebut berarti kualitasnya bisa
dipertanggungjawabkan?! Pernahkah terlintas dalam benak kita untuk mengkritisi
ungkapan tersebut dari sudut sanad dan matan-nya?! Tulisan berikut mencoba
untuk mengorek jawabannya. Semoga Allah menambahkan ilmu yang bermanfaat kepada
kita. Amiin.
B. TEKS HADITS
اخْتِلاَفُ
أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Perselisihan umatku
adalah rahmat.
TIDAK ADA ASALNYA.
Para pakar hadits telah berusaha untuk mendapatkan sanadnya, tetapi mereka
tidak mendapatkannya, sehingga al-Hafizh as-Suyuthi berkata dalam al-Jami’
ash-Shaghir: “Barangkali saja hadits ini dikeluarkan dalam sebagian kitab ulama
yang belum sampai kepada kita!”[1] Syaikh Al-Albani berkata, “Menurutku ini
sangat jauh sekali, karena konsekuensinya bahwa ada sebagian hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang luput dari umat Islam. Hal ini tidak layak
diyakini seorang muslim.
Al-Munawi menukil
dari as-Subki bahwa dia berkata: “Hadits ini tidak dikenal ahli hadits dan saya
belum mendapatkannya baik dengan sanad shahih, dha’if (lemah), maupun maudhu’
(palsu).” Dan disetujui oleh Syaikh Zakariya al-Anshori dalam Ta’liq Tafsir
Al-Baidhowi 2/92.[2]
Sebagian ulama
berusaha untuk menguatkan hadits ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini
sangat populer sekali. Sering ditanyakan dan banyak di kalangan imam hadits
menilai bahwa ungkapan ini tidak ada asalnya, tetapi al-Khothobi menyebutkan
dalam Ghoribul Hadits…Ucapannya kurang memuaskan dalam penisbatan hadits ini
tetapi saya merasa bahwa hadits ini ada asalnya”.[3]
Sungguh, ini adalah
suatu hal yang sangat aneh sekali dari Al-Hafizh Ibnu Hajar –semoga Allah
mengampuninya-. Bagaimana beliau merasa bahwa hadits ini ada asalnya, padahal
tidak ada sanadnya?! Bukankah beliau sendiri mengakui bahwa mayoritas ulama
ahli hadits telah menilai hadits ini tidak ada asalnya?! Lantas, kenapa harus
menggunakan perasaan?!
Kami juga mendapati
sebuah risalah yang ditulis oleh Syaikh Su’ud al-Funaisan berjudul “Ikhtilaf
Ummati Rohmah, Riwayatan wa Diroyatan”, beliau menguatkan bahwa hadits ini
adalah shohih dari Nabi. Ini juga suatu hal yang aneh, karena semua ulama yang
beliau katakan mengeluarkan hadits ini seperti Al-Khothobi, Nashr al-Maqdisi
dan lain-lain. Mereka hanyalah menyebutkan tanpa membawakan sanad. Lantas,
mungkinkah suatu hadits dikatakan shohih tanpa adanya sanad?![4]
C. MENGKRITISI MATAN
HADITS
Makna hadits ini juga
dikritik oleh para ulama. Berkata al-Allamah Ibnu Hazm setelah menjelaskan
bahwasanya ini bukanlah hadits:
“Dan ini adalah
perkataan yang paling rusak. Sebab, jika perselisihan itu adalah rahmat, maka
berarti persatuan adalah adzab. Ini tidak mungkin dikatakan seorang muslim,
karena tidak akan berkumpul antara persatuan dan perselisihan, rahmat dan
adzab”.[5]
Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani juga berkata:
“Termasuk diantara
dampak negatif hadits ini adalah banyak diantara kaum muslimin yang terus
bergelimang dalam perselisihan yang sangat runcing diantara madzhab empat, dan
mereka tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikannya kepada
Al-Qur’an dan hadits yang shohih sebagaimana perintah para imam mereka, bahkan
menganggap madzhab seperti syari’at yang berbeda-beda!!
Mereka mengatakan hal
ini padahal mereka sendiri mengetahui bahwa diantara perselisihan mereka ada
yang tidak mungkin disatukan kecuali dengan mengembalikan kepada dalil, inilah
yang tidak mereka lakukan! Dengan demikian mereka telah menisbatkan kepada
syari’at suatu kontradiksi! Kiranya, ini saja sudah cukup untuk menunjukkan
bahwa ini bukanlah dari Allah karena mereka merenungkan firman Allah tentang
Al-Qur’an (yang artinya):
Kalau kiranya Al
Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya.
(QS. An-Nisa: 82)
Ayat ini secara tegas
menunjukkan bahwa perselisihan bukanlah dari Allah, lantas bagaimana kiranya
dijadikan sebagai suatu syari’at yang diikuti dan suatu rahmat?!
Karena sebab hadits
ini dan hadits-hadits serupa, banyak diantara kaum muslimin semenjak imam empat
madzhab selalu berselisih dalam banyak masalah, baik dalam aqidah maupun
ibadah. Seandainya mereka menilai bahwa perselisihan adalah tercela sebagaimana
dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ud dan selainnya serta didukung dengan banyak
ayat Al-Qur’an dan hadits yang banyak sekali, maka niscaya mereka akan berusaha
untuk bersatu. Namun, apakah mereka akan melakukannya bila mereka meyakini
bahwa perselisihan adalah rohmat?!!
Kesimpulannya,
perselisihan adalah tercela dalam syari’at[6]. Maka sewajibnya bagi setiap
muslim untuk berusaha semaksimal mungkin untuk melepaskan diri dari belenggu
perselisihan, karena hal itu merupakan faktor lemahnya umat, sebagaimana firman
Allah (yang artinya):
Dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan
bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
(QS. Anfal: 46)
Adapun ridho dengan
perselisihan, apalagi menamainya sebagai suatu rohmat, maka jelas ini
menyelisihi ayat-ayat Al-Qur’an yang secara tegas mencela perselisihan, tidak ada sandarannya kecuali hadits yang
tidak ada asalnya dari Rasulullah ini”. [7]
D. SALAH MENYIKAPI
PERSELISIHAN
Saudaraku seiman yang
kami cintai, kita semua mengetahui bahwa perselisihan adalah suatu perkara yang
tidak bisa dielakkan, baik dalam aqidah, ibadah maupun muamalat. Allah
berfirman (yang artinya):
Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
Senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu.
(QS. Hud: 118-119)
Fakta di atas
mengharuskan kita untuk memahami masalah perselisihan, karena ternyata banyak
juga orang yang terpeleset dalam kesalahan dalam memahaminya:
Ada yang menjadikan
perselisihan sebagai senjata pamungkas untuk menyuburkan kesalahan, kebid’ahan
bahkan kekufuran, sehingga mereka memilih pendapat-pendapat nyeleneh seperti
bolehnya acara tahlilan, manakiban, bahkan berani menentang hukum-hukum Islam
dengan alasan “Ini adalah masalah khilafiyyah“, “Jangan mempersulit manusia“. Bahkan, betapa banyak sekarang yang
mengkritisi masalah-masalah aqidah dan hukum yang telah mapan dengan
alasan ”kemodernan zaman” dan “kebebasan
berpendapat” sebagaimana didengungkan oleh para cendekiawan zaman sekarang.[8]
Sebaliknya, ada juga
yang sesak dada menghadapi perselisihan, sekalipun dalam masalah fiqih dan
ruang lingkup ijtihad ulama, sehingga ada sebagian mereka yang tidak mau sholat
di belakang imam yang berbeda pendapat dengannya seperti masalah sedekap ketika
i’tidal, mendahulukan lutut ketika sujud, menggerakan jari ketika tasyahhud dan
lain sebagainya. Ini juga termasuk kesalahan.
E. MEMAHAMI
PERSELISIHAN
Oleh karena itu,
sangat penting kiranya kita jelaskan sikap yang benar dalam menyikapi
perselisihan agar kita tidak berlebihan dan tidak juga meremehkan. Dari keterangan
para ulama tentang masalah ini[9], dapat kami tarik suatu kesimpulan bahwa
perselisihan itu terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Perselisihan
Tercela
Yaitu setiap
perselisihan yang menyelisihi dalil yang jelas dari Al-Qur’an atau hadits atau
ijma’ ulama. Hal ini memiliki beberapa gambaran:
Perselisihan dalam
masalah aqidah atau hukum yang telah mapan, seperti perselisihan ahli bid’ah
dari kalangan Syi’ah, Khowarij, Mu’tazilah dan sebagainya.[10]
Perselisihan
orang-orang yang tidak memiliki alat ijtihad seperti perselisihan orang-orang
yang sok pintar, padahal mereka adalah bodoh.[11]
Perselisihan yang
ganjil sekalipun dari seorang tokoh ulama, karena ini terhitung sebagai
ketergelinciran seorang ulama yang tidak boleh diikuti[12].
Jadi, tidak semua
perselisihan itu dianggap. Misalnya, perselisihan Iblis Liberal bahwa semua
agama sama, ingkar hukum rajam dan potong tangan, hukum waris, jilbab dan
sebagainya, ini adalah perselisihan yang tidak perlu dianggap dan didengarkan.
Demikian juga perselisihan Mu’tazilah modern bahwa tidak ada siksa kubur, Nabi
Isa tidak turun di akhir zaman, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang
tidak perlu dilirik. Demikian pula perselisihan sebagian orang yang berfiqih
ganjil bahwa wanita nifas tetap wajib sholat, daging ayam haram, dan
sebagainya, ini juga perselisihan yang tak perlu digubris.
وَ لَيْسَ كُلُّ
خِلاَفٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا
إِلاَّ خِلاَفًا
لَهُ حَظٌّ مِنَ اْلنَّظَرِ
Tidak seluruh
perselisihan itu dianggap
Kecuali perselisihan
yang memang memiliki dalil yang kuat[13].
Kedua: Perselisihan
Yang Tidak Tercela
Yaitu perselisihan di
kalangan ulama yang telah mencapai derajat ijtihad dalam masalah-masalah
ijtihadiyyah, biasanya dalam masalah-masalah hukum fiqih. Imam Syafi’i berkata:
“Perselisihan itu ada dua macam, pertama hukumnya haram dan saya tidak
mengatakannya pada yang jenis kedua”.[14] Hal ini memiliki beberapa gambaran:
Masalah yang belum
ada dalilnya secara tertentu.
Masalah yang ada
dalilnya tetapi tidak jelas.
Masalah yang ada
dalilnya yang jelas tetapi tidak shohih atau diperselisihkan keabsahannya atau
ada penentangnya yang lebih kuat[15].
Jadi, dalam
masalah-masalah yang diperselisihkan ulama hendaknya kita sikapi dengan lapang
dada dengan tetap saling menghormati saudara kita yang tidak sependapat, tanpa
saling menghujat dan mencela sehingga menyulut api perselisihan.
Imam Qotadah:
“Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan ulama, maka hidungnya belum
mencium bau fiqih”.[16]
Imam Syafi’I pernah
berkata kepada Yunus ash-Shadafi: “Wahai Abu Musa, Apakah kita tidak bisa untuk
tetap bersahabat sekalipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?!”.[17]
Sekalipun hal ini
tidak menutup pintu dialog ilmiyah yang penuh adab untuk mencari kebenaran dan
pendapat terkuat, karena yang kita cari semua adalah kebenaran. Camkanlah
firman Allah, yang artinya:
Jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS. An-Nisa’: 59)
F. Kesimpulan
Kesimpulan yang
penulis sampaikan adalah sebagaimana yang dikatakan Syaikh Al-Allamah Muhammad
bin ShalihAl- ‘Utsaimin
“Termasuk di antara pokok-pokok Ahli Sunnah Wal Jama’ah
dalam masalah khilafiyah adalah apabila perselisihan tersebut bersumber dari
ijtihad dan masalah tersebut memungkinkan untuk ijtihad, maka mereka saling
toleransi, tidak saling dengki, bermusuhan atau lainnya, bahkan mereka
bersaudara sekalipun ada perbedaan pendapat di antara mereka.
Adapun
masalah-masalah yang tidak ada ruang untuk berselisih di dalamnya, yaitu
masalah-masalah yang bertentangan dengan jalan para shahabat dan tabi’in,
seperti masalah aqidah yang telah yang telah tersesat di dalamnya orang yang
tersesat dan tidak dikenal perselisihan tersebut kecuali setelah generasi
utama, maka orang yang menyelisihi shahabat dan tabiin tadi tidak dianggap
perselisihannya”.[18]
Abu Ubaidah Yusuf
As-Sidawi
CATATAN
KAKI:
[1]
Syaikh Ahmad bin Shiddiq al-Ghumari juga mengomentari ucapan ini, katanya:
“Merupakan aib tatkala penulis (as-Suyuthi) mencantumkan hadits palsu, bathil
dan tidak ada asalnya ini, apalagi dia juga tidak mendapati ulama yang
mengeluarkannya”. (Al-Mudawi li ‘Ilalil Jami’ Shoghir waSyarhi Munawi 1/235).
[2]
Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah: 57
[3]
Al-Maqoshidul Hasanah hlm. 47 oleh as-Sakhowi.
[4]
Lihat At-Tahdzir Min Ahadits Akhto’a fi Tashihiha Ba’dhul Ulama hlm. 99-103
oleh Ahmad bin Abdur Rahman al-’Uwain.
[5]
Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (5/64)
[6]
Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata: “Perselisihan bukanlah rohmat,
persatuan itulah yang rohmat, adapun perselisihan maka ia adalah kejelekan dan
kemurkaan sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ud”. (Syarh Mandhumah
Al-Ha’iyah hlm. 193).
[7]
Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah 1/142-143 -secara ringkas-.
[8]
Lihat risalah yang bagus Manhaj Taisir Al-Mu’ashir oleh Abdullah bin Ibrahim
ath-Thowil.
[9]
Lihat secara luas tentang masalah perselisihan dalam kitab Al-Ikhtilaf wa Maa
Ilaihi oleh Syaikh Muhammad bin Umar Bazimul dan Al-Ikhtilaf Rohmah Am Niqmah?
oleh Syaikh Amin Al-Haj Muhammad Ahmad.
[10]
Lihat Al-Muwafaqot 5/221 oleh asy-Syathibi, Qowathi’ul Adillah 2/326 oleh
as-Sam’ani.
[11]
Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 20/254.
[12]
Lihat Qowa’idul Ahkam 1/216 oleh al-’Izzu bin Abdis Salam.
[13]
Lihat al-Itqan fi Ulum Qur’an 1/24 oleh al-Hafizh as-Suyuthi.
[14]
Ar-Risalah hlm. 259.
[15]
Irsal Syuwath ‘ala Man Tatabba’a Syawadz hlm. 73 oleh Shalih bin Ali
asy-Syamroni.
[16]
Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 2/814-815.
[17]
Dikeluarkan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 10/16, lalu berkomentar:
“Hal ini menunjukkan kesempurnaan akal imam Syafi’I dan kelonggaran hatinya,
karena memang para ulama senantiasa berselisih pendapat”.
[18]
Syarh Al-ushul As-Sittah hal.155-156.
(silahkan lihat 23 Comments di source )