Rujuk kepada Petunjuk
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
Oleh: Redaksi
Majalah Fatawa
Para imam banyak menulis kitab untuk menuangkan
pendapatnya tentang berbagai hal. Dalam perkembangannya pendapatpendapat tersebut
membentuk berbagai madzhab, diantaranya adalah 4 (empat) madzhab yang terkenal
di Indonesia. Sayang, banyak yang kemudian terjerumus pada sikap fanatik madzhab, seakan-akan pendapat imam
adalah sebuah aksioma agama yang tidak bisa diutak-atik.
Sementara para imam tidak pernah menyarankan sikap
demikian. Justru para imam tersebut memberikan contoh yang sebaliknya, agar
umat Islam selalu mengembalikan pendapat pada petunjuk Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Berikut perkataan (qaul) mereka.
Abu Hanifah rahimahullah
Qaul 1: “Apabila aku mengeluarkan suatu pendapat
yang bertentangan dengan al- Qur'an dan as-Sunnah, maka tinggalkanlah pendapatku
itu.”1 Perkataan ini diulas oleh as-Syuhnah dalam
kitabnya Syarh al-Hidayah; “Apabila suatu hadits shahih
bertentangan dengan madzhab, maka hadits itulah yang mesti diamalkan. Demikian
inilah pendapat madzhab Abu Hanifah, jadi para pengikut madzhab tidaklah
dikatakan keluar dari garis pengikut Hanafi disebabkan mengamalkan hadits
tersebut.”
Qaul 2: “Apabila hadits itu shahih, itulah madzhabku.”2
Malik bin Anas rahimahullah
Qaul 1: “Aku hanyalah manusia biasa yang pendapatku
bisa benar dan bisa salah. Karena itu telitilah pendapat yang aku kemukakan.
Semua pendapat yang selaras dengan al-Qur'an dan as-Sunnah ambillah,
jika tidak selaras tinggalkanlah.”3 Qaul 2: “Semua
perkataan manusia sama,
bisa
diterima atau ditolak, kecuali perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.”4
Al-Imam asy-Syafi'i rahimahullah
Qaul 1: “Suatu sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mungkin sampai pada seseorang atau tidak. Jadi kalau aku pernah berpendapat
atau merumuskan suatu prinsip ternyata ada hadits yang sah dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan sebaliknya, maka pendapat yang betul
adalah yang Nabi katakan dan aku pun berpendapat dengannya.”5
Qaul 2: “Setiap hadits yang sah dari Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam akan menjadi pendapatku walaupun sebelumnya kamu tidak pernah
mendengarnya dariku.”6
Qaul 3: “Apabila kamu mendapati dalam kitabku sesuatu yang
bertentangan dengan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka
berpeganglah kepada hadits tersebut dan tinggalkan pendapatku (atau tulisanku).”
Qaul 4: “Pertama, suatu berita yang berasal dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib diterima. Kedua, berita atau hadits tersebut
wajib diterima jika telah terbukti sah, walaupun para imam belum ada yang mengamalkan
atau mengajarkannya. Hal ini
menunjukkan bahwa pendapat seorang imam harus
ditinggalkan jika bertentangan dengan hadits Nabi, diganti dengan petunjuk yang
berasal dari hadits Nabi. Disamping itu, hadits yang diyakini sah dari Nabi
adalah sebuah kepastian yang tidak perlu
dikonfirmasikan dengan pendapat seseorang.”8
Ahmad bin Hanbal rahimahullah
Qaul 1: “Seluruh perkataan bisa diterima atau ditolak, kecuali
perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.”99
Qaul 2: “Pendapat al-Auza'i, Malik, dan Abu Hanifah, semuanya
hanyalah pendapat. Aku pandang sama di sisiku, yang mesti jadi rujukan (mutlak)
hanyalah sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.”10
Jangan-jangan Kita yang Lancang
Berkata
Syaikh al-Albani rahimahullah tentang perkataan para imam tersebut;
“Kenyataan
tersebut menggambarkan ketinggian ilmu dan ketakwaan para imam tersebut.
Melalui perkataan tersebut, mereka menegaskan bahwa dirinya tidaklah menguasai
sunnah secara keseluruhan. Kadangkala didapati (pada imam madzhab) beberapa
perkara yang menyelisihi sunnah, karena riwayat tentangnya (tentang perkara
tersebut) tidak sampai kepadanya. Apabila mengetahui sunnah tersebut, tentu
mereka
akan memerintahkan kita agar berpegang teguh dengannya
dan menjadikannya sebagai madzhab mereka. Semoga Allah memberi rahmat kepada
mereka, semuanya.”11
Tidak
sedikit orang yang berpendapat bahwa seseorang harus berpegang dengan qaul salah seorang imam yang empat
secara mutlak. Bahkan mencampuradukkan pendapat satu imam dengan imam yang lain
tidak boleh. Pendek kata seorang muslim, menurut kelompok ini, harus setia
sampai
mati
dengan qaul seorang imam. Sikap macam apakah ini? Tak lebih sebagai sikap ta'ashub
yang
berlebihan. Bahkan kalau ditimbang dengan qaul para imam tersebut diatas
merupakan bentuk kelancangan terhadap nasihat imam yang, katanya, mereka
hormati dan muliakan tersebut. Sebenarnya bukan hormat dan
memuliakan,
justru dalam kenyataannya bersikap sok tahu dan menyalahkan petunjuk para imam.
Bukankah para imam berpesan agar tidak mendewakan pendapatnya? Mereka selalu
memerintahkan agar mengembalikan segala pendapat kepada petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Lantas?!
1 Riwayat Shalih al-Fulani dalam Iqaz al-Himam, hal. 50.
2 Riwayat Ibn ‘Abd al-Barr dari al-Imam
Abu Hanifah. Shifatu Shalatin-Nabi, hal.
viii.
3 Riwayat Ibn ‘Abd al-Barr dalam Jami' Bayan al-Ilm, jilid. 2, hal. 32.
4 Jami' Bayan
al-Ilm, jilid. 2, hal. 91.
5 Riwayat Ibn ‘Asakir di dalam Tarikh Dimashq,15/1/3. al-Imam Ibn
‘Asakir lahir pada 499 H/1106 M di Dahalyik. Seorang ahli sejarah dan ahli
hadits yang terkemuka di kalangan madzhab asy-Syafi‘i pada abad ke 5 H. Nama
aslinya Abu al-Qasim ‘Ali bin al-Hassan, wafat pada 571 H/1176 M.
6 Riwayat Ibn Abi Hatim di dalam al-Adab, hal. 93-94.
7 Riwayat al-Khatib al-Baghdadi di dalam al-Ihtijaj bi asy-Syafi‘i,
jilid. 8, hal. 2 dan al-Nawawi dalam al Majmu'
Syarh al-Muhadzdzab, jilid. 1, hal. 63.Al-Imam an-Nawawi adalah
seorang imam
mujtahid yang masyhur bagi madzhab asy-
Syafi‘i. Nama aslinya Abu Zakaria Yahya
bin Syaraf lahir di Syiria pada 631 H/1233 M. Diantara karangan Beliau ialah
kitab fiqh madzhab asy-Syafi‘i berjudul al-Majmu'
Syarh al- Muhadzdzab dan Syarh Shahih Muslim. Wafat pada 676 H/1277
M.
8 Ar-Risalah,
al-Imam asy-Syafi'i. 423/3.
9 Abu Dawud dalam Masa'il al-Imam Ahmad,
hal.276. Al-Imam Abu Dawud ialah Sulaiman bin al- Asy'ath as-Sijistan, lahir
pada 202H/818M, sempat berguru kepada Ahmad bin Hanbal bersama al-Bukhari dan
Muslim. Kitabnya yang terkenal ialah Sunan Abu Dawud, terdiri dari 4800 buah
hadits. Selain itu Beliau juga mengarang belasan kitab lain sebelum meninggal dunia
pada 275 H/889 M di Basrah, Irak. 10 Jami' Bayan
al-Ilm, jilid. 2, hal. 149.
11 Shifatu
Shalatin-Nabi, hal. viii.
Artikel
ini disalin dari Majalah Fatawa, volume 2
nomor
10, Agustus 2006 M/Rajab 1427 H,
halaman
50-53.
Imam Empat Mazhab: Tinggalkan Pendapat
Kami bila Bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah!
Di dalam kitab beliau Shifat Shalatin
Nabi, Asy-Syaikh Al-Albani pernah menukilkan kisah sekumpulan pemuda Jepang
yang ingin masuk Islam. Mendengar keinginan para pemuda ini, berbagai
perkumpulan Islam pun menyodorkan mazhab-mazhab yang mereka anut. Sekelompok
muslim dari India mengatakan kepadanya, “Bermazhablah dengan mazhab Imam Abu
Hanifah, karena dia adalah pelita umat ini.” Sebaliknya sekelompok muslimin
dari Jawa-Indonesia mengatakan, “Wajib baginya untuk menjadi seorang Syafi’i.”
Ketika orang-orang Jepang itu mendengar
perselisihan ini, mereka pun menjadi bingung dan tidak paham apa yang mereka
maksud. Maka lihatlah betapa permasalahan mazhab ini bisa menjadi penghalang
seseorang untuk masuk ke dalam Islam.
Berseberangan dengan dua kelompok fanatik
dalam kisah di atas, para imam mazhab tidaklah menganjurkan murid-muridnya dan
segenap kaum muslimin untuk taqlid buta kepada mereka. Bahkan mereka berpesan
agar umat ini kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya yang shahih.
Masih di dalam muqaddimah Kitab Shifat
Shalat Nabi, Asy-Syaikh Al-Albani pun menukilkan ucapan-ucapan para Imam Mazhab
yang empat yang seolah-olah berkata dengan satu suara, “Jangan fanatik kepada
kami, ikutilah sunnah, tinggalkan ucapan kami bila bertentangan dengan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam …”
Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Apabila hadits itu shahih, maka
hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk
berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami
mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil
A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram
bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan
perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah
manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”
3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan
yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al-
lqazh, hal. 50)
Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang
manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku.
Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap
yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil
Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil
dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil
Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar
bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu
dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga
manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah
sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata,
‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al
¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi
telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan
kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan,
aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi
tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela
jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)
Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,
1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput
darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan
merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)
2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa
barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti
perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam
kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul
Kalam,3/47/1)
4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist,
maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)
5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu
daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih,
maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah
maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.”
(Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)
6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya
terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para
pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di
dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)
7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan
suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah
hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.”
(Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)
8. “Setiap apa yang aku katakan,
sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih
yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah
karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)
9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian
belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)
Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab
Hambali)
Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,
Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,
1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan
jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah
dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam
Al-I’lam, 2/302)
2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan
pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama,
sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam
Al-Jami`, 2/149)
3. “Barang siapa yang menolak hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di
tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).
Demikianlah ucapan para Imam Mazhab.
Masihkah Anda taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam?
(Sumber: Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi,
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah)
Korelasi
antara Bermadzhab dengan Ta’ashub
Umat Islam sejak awal lahirnya hingga
kini telah melalui berbagai macam bentuk konflik, salah satunya adalah konflik
antar madzhab fiqih di beberapa kurun, hingga menyebabkan musuh lebih mudah menguasai wilayah-wilayah umat
Islam.
Dalam masalah konflik antar madzhab ini ini Ibnu
Taimiyah menyebutkan,”Dan negeri-negeri Timur dari beberapa sebab hingga Allah
menjadikan Tatar menguasainya adalah banyaknya perpecahan dan fitnah-fitnah
antar madzhab dan lainnya. Hingga engkau menjumpai yang menisbatkan diri kepada
madzhab As Syafi’i ta’ashub dengan madzhabnya terhadap madzhab Abu
Hanifah hingga memandangnya keluar dari dien. Dan yang menisbatkan diri kepada
Abu Hanifah ta’ashub dengan madzhabnya terhadap madzhab As Syafi’i. dan lainnya
hingga menganggapnya keluar dari dien. Dan yang menisbatkan diri kepada Ahmad
ta’ashub dengan madzhabnya terhadap madzhab ini dan madzhab itu. Dan di Barat
kita telah mendapati yang menisbatkan diri kepada Malik ta’ashub dengan
madzhabnya terhadap madzhab ini dan madzhab itu”. (Majmu’ Fatawa, 22/254)
Terkadang dengan membaca lembaran sejarah kelabu
seperti di atas timbul pemikiran bahwasannya penyebab perpecahan umat adalah
adanya madzhab-madzhab fiqih. Adanya konflik disebabkan para ulama Salaf yang
telah membangun madzhab-madzhab fiqih yang sampai sekarang tetap bertahan.
Padahal jika diamati dengan lebih jeli bukanlah
madzhab-madzhab fiqih yang menyebabkan perpecahan umat namun sikap ta’ashub
negatif terhadap madzhab fiqih itulah yang menyebabkan perpecahan umat.
Bukanlah menganut madzhab fiqih yang dicela namun ta’ashub terhadap madzhab
yang dianut itulah yang dicela.
Bermadzhab Ta’ashub?
Dan para ulama pun memandang bahwa antara bermadzhab
dan ta’ashub madzhab merupakan dua perkara yang berbeda. Dalam hal ini,
Ibnu Taimiyah menyampaikan,”Barang siapa yang memandang
rajih untuk bertaklid kepada As Syafi’i tidak mengingkari atas yang memandang
rajih baginya taklid kepada Malik. Barang siapa yang memandang rajih
baginya taklid kepada Ahmad tidak mengingkari siapa yang rajih baginya taklid
kepada As Syafi’i.” (Majmu’ Al
Fatawa, 20/292)
Demikian pula yang disampaikan oleh Ibnu Abidin
mengutip dari Fakhr Al Islam ketika ditanya mengenai ta’shub,”As
Shalabah dalam madzhab wajib sedangkan ta’ashub tidak boleh. Shalabah adalah
beramal sesuai dengan madzhabnya dan memandang bahwa itu haq dan benar.
Sedangan ta’ashub adalah kedunguan dan memutus hubungan dengan penganut madzhab
lainnya dan segala sesuatu yang menunjukan perendahan terhadapnya. Sesungguhnya
hal itu dilarang. Sesungguhnya para imam umat Muslim telah mencari kebenaran
dan mereka berada di atas kebenaran”. (Al Uqud Ad Duriyah, 2/333)
Dengan demikian, ta’ashub adalah segala perbuatan yang
berbentuk pengingkaran, perendahan dan pemutusan hubungan dengan penganut
madzhab lainnya. Sehingga bermadzhab dan ta’ashub merupakan dua perkara
yang berbeda. Yang pertama ulama mengakuinya, sedangkan yang kedua ulama
mencelanya.
Bermadzhab Tanpa Ta’ashub
Meski ada realita yang menunjukkan ta’ashub madzhab
namun kita juga melihat ulama bermadzhab tanpa taashub. Ketika Abu Ja’far
Al Manshur melakukan haji, ia mengundang Imam Malik. Dalam kesempatan itu, Abu
Ja’far Al Manshur menyampaikan,”Aku telah bertekad untuk memerintahkan dengan
kitabmu ini- yakni Al Muwaththa’-, lalu engkau salin, kemudian aku mengirimnya
ke setiap negeri kaum Muslimin satu naskah dan aku memerintahkan mereka untuk
menerapkannya serta tidak berpaling kepada selainnya, lalu mereka meninggalkan
ilmu baru selainnya. Sesungguhnya aku berpendapat bahwa ilmu yang murni adalah
adalah riwayat Madinah dan ilmu mereka”.
Imam Malik pun menjawab,”Wahai Amirul Mukminin,
janganlah Anda lakukan hal itu. Sesunggunya telah sampai terlebih dahulu kepada
mereka pendapat-pendapat, mereka menyimak hadits-hadits, mereka juga
meriwayatkan periwayatan. Dan setiap kaum mengambil dari apa yang datang
terlebih dahulu kepada mereka dan mereka mengamalkannya. Serta dengan ilmu itu,
mereka hina dengan perselisihan manusia dan selainnya. Dan jika Anda jauhkan
mereka dari apa yang mereka yakini, maka hal itu cukup memberatkan. Maka
biarkan manusia bersama dengan apa yang mereka pijak dan apa yang dipilih oleh
setiap negeri untuk mereka masing-masing”. (Thabaqat Ibnu Sa’d, hal. 440)
Demikian pula yang ada pada Imam As Syafi’i yang amat
bertoleransi kepada madzhab lain dimana beliau “merestui” murid beliau yang
kelak berpindah ke madzhab Malik. Saat hendak wafat, Imam As Syafi’i sempat
menyampaikan kepada Ibnu Abdi Al Hakam,”Adapun
engkau wahai Muhammad, akan kembali kepada madzhab ayahmu”. Dan ayah
Ibnu Abdi Al Hakam adalah ulama madzhab Maliki. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah
Al Kubra, 1/238)
Sedangkan Abdul Hakam bin A’yan Al Mishri meski
bermadzhab Maliki, beliau mendorong puteranya untuk mengambil ilmu dari Imam As
Syafi’i ketika Imam As Syafi’i pindah ke Mesir. Dan meski kembali lagi ke
madzhab Maliki Ibnu Abdi Al Hakam tetap memberi pujian terhadap Imam As Syafi’i
dan mengajarkan kitab beliau ketika diminta. (lihat, Manaqib Imam As Syafi’i li
Al Baihaqi, 2/341, 342)
Masih amat banyak contoh bahwa para ulama saling
menghormati meski berbeda pendapat dan madzhab, meski mereka masing-masing
tentu memandang madzhab dan pendapat yang dianut paling mendekati Sunnah,
paling mendekati kebenaran namun tetap menjaga hubungan baik dengan madzhab
lainnya. Dan sifat mulia itu diteruskan oleh ulama-ulama penganut madzhab
setelah mereka. Sebagai contoh “hidup” yang hingga zaman ini bisa kita saksikan
adalah adanya hubungan baik antar ulama Al Azhar meski mereka menganut madzhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hanbali. Dengan demikian, bermadzhab tidak
berkonsekwensi fanatik dengan madzhabnya.
Jika ta’ashub merupakan berbentuk pengingkaran,
perendahan dan pemutusan hubungan dengan penganut madzhab lainnya, sebagaimana
dipaparkan oleh para ulama sebelumnya, maka hal ini tidak hanya menjangkiti
mereka yang menganut madzhab mu’tabar, mereka yang mengaku tidak menganut
madzhab-madzhab fiqih mu’tabar pun bisa terjangkiti penyakit ini. Bahkan bisa
jadi pihak yang menuduh pengikut madzhab lain sebagai taashub juga termasuk
taashub. Ini semua mengakibatkan lemahnya umat Islam sehingga musuh bisa dengan
mudah mengusai mereka. Wallahu Ta’ala A’la Wa A’lam.
Mengikuti Madzhab Tertentu, Haruskah?
Mengikuti madzhab fiqih tertentu,
haruskah? Sebelum menjawab pertanyaaan tersebut perlu kita mengetahui sejatinya
apa sebenarnya makna madzhab itu. Imam Al Mahalli menyatakan, bahwa madzhab adalah apa-apa yang dipilih
oleh Imam As Syafi’i dan para pengikutnya terhadap hukum dalam berbagai
masalah, sebagaimana disebutkan Imam Al Mahalli dalam Syarh beliau terhadap Al
Minhaj. (lihat, Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah, 1/7)
Dengan definisi di atas, jika disebut misalnya,
“madzhab As Syafi’i”, maka yang dimaksud tidak hanya mencakup pendapat Imam As
Syafi’i, namun juga pendapat para ulama mu’tabar pengikutnya.
Jika madzhab adalah produk berupa pendapat-pendapat
hukum, tentu madzhab juga memiliki ushul (pijakan) atau dalil serta metodologi.
Dimana dengan keduanya, maka terciptalah produk berupa pendapat-pendapat fiqih.
Dan seluruh madzhab sepakat bahwa ushul adalah Al Qur`an, As Sunnah, ijma dan
qiyas dan ada perbedaan pendapat mengenai penggunaan perkataan shahabat, amal
ahli madinah, istihsan, mashalih mursalah dan istishab. Demikian pula dalam hal
metodologi “pengolahan” dalil, masing-masing madzhab memiliki ciri khas satu
sama lain. Jika diandaikan bahwa madzhab adalah menu yang siap dikonsumsi yang
berupa pandangan fiqih yang sudah matang, maka perlu adanya bahan untuk menu
itu yang disebut ushul atau dalil, juga metodologi memasaknya. Seperti itulah
gambar singkat mengenai apa itu madzhab fiqih.
Dengan gambaran tersebut, sejatinya mengikuti salah
satu madzhab fiqih merupakan bentuk konsistensi terhadap ushul atau dalil juga
terhadap metodologi, meski terkadang menghasilkan produk berbeda karena
perbedaan tingkatan kemampuan yang menyebabkan terjadinya khilaf pendapat dalam
satu madzhab.
Jika demikian, maka pertanyaan apakah seseorang itu
harus mengikuti madzhab tertentu, sama dengan pertanyaan apakah seseorang itu
harus konsisten mengikuti dalil atau ushul serta metodologi terntentu dalam
mengambil kesimpulan dari dalil itu. Jadi haruskah seseorang itu konsisten?
Dengan menjawab ini maka kita temukan jawaban pertanyaan “haruskah mengikuti
madzhab tertentu dalam fiqih?”
Varian dalam Bermadzhab
Dalam realita, sejak masa salaf (madzhab-madzhab fiqih
di masa salaf akan dibahas di kesempatan lain) hingga kini ulama mu’tabar hanya
terbagi menjadi dua, yakni ulama mujtahid muthlak pengasas madzhab kemudian
ulama mengikuti madzhab mujtahid.
Mujtahid Muthlaq
Mereka yang memperoleh tingkatan paling tinggi dalam
dunia keilmuan, khususnya berkenaan dengan syariat disebut sebagai mujtahid
mutlak, atau mufti
mustaqil (independen) Artinya, tidak terikat dengan
madzhab. Bahkan mujtahid inilah perintis madzhab. Mereka tidak hanya
memiliki produk pemikiran yang berupa fiqih, tapi mereka juga menciptakan
metode dalam menggali hukum-hukum syariat dari dalilnya. Orang-orang khusus ini
semisal Imam Madzhab 4 serta ulama mujtahid mutlak lainnya, semisal Al Auza’i, At
Tsauri, Al Laits juga 4 al Khulafa’ ar Rasyidun.
Mujtahid Madzhab
Selanjutnya tingkatan di bawah mujathid mutlak adalah mujtahid madzhab atau mujtahid mutlak ghairu mustaqil (tidak
independen), yakni ulama yang tidak taqlid kepada imamnya, baik dalam pendapat
atau dalilnya namun tetap menisbatkan kepada imam karena masih mengikuti
metode ijithad
imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Dalam tingkatan ini, mulailah ulama itu bermadzhab
pada madzhab mujtahid tertentu, hanya saja dengan cara konsisten kepada ushul
dan metodologi yang ditetapkan imam madzhab, namun untuk masalah hasil, kadang
bisa berbeda dengan imam. Merekalah yang dilarang taklid terhadap hasil ijtihad
imam. Pada ulama derajat inilah diterapkan perkataan imam madzhab “hadits
shahih adalah madzhabku” (baca,“Hadits Shahih Madzhabku”, Ditujukan kepada
Mujtahid, juga :Hadits Shahih Madzhabku, Bukan untuk yang
Belajar dari Terjemahan)
Ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah
Imam Al Muzani dan Al Buwaithi. Di kalangan muta’akhirin Imam
As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7
dan Bughyah
Al Mustarsyidin, hal. 7)
Dalam madzhab Hanafi, ulama yang sampai dalam
tingkatan ini adalah Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan yang merupakan murid
Imam Abu Hanifah. (lihat, Syarh ‘Ala Jami’ As Shaghir Al Laknawi, 1/7)
Dalam madzhab Maliki ulama yang sampai pada derajat
ini adalah Imam Ibnu Qasim dan Asyhab. (lihat, Nail Ibtihaj, hal. 441)
Dalam Madzhab Hanbali yang menyatakan sampai pada
derajat ini adalah Qadhi Abu Ali Al Hasyimi juga Qadhi Abu Ya’la. (lihat, Sifat Al Fatwa, Ibnu
Hamdan, hal. 17)
Ashab Al Wujuh
Di bawah para ulama mujtahid madzhab ada ulama ashab al wujuh, yakni
mereka yang taqlid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun
ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang
belum disimpulkan imam dengan menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaimana para
mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri dengan
dalil imam. (lihat Al
Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam
Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, mufti Syafi’iyyah
di Bashrah. (lihat, Mukhtashar
Al Fawaid Al Makiyyah, hal.53)
Dalam madzhab Hanafi, Abu Bakr Al Jashas digolongkan
dalam kelompok ini. (lihat, Syarh Al Laknawi li Al Jami’ As Shaghir, 8/1)
Mujtahid Tarjih
Golongan ini juga disebut sebagai mujtahid fatwa,
termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun
menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap
pendapat-pendapat dalam madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Perlu diketahui, dengan adanya mufti-mufti yang berada
di atas tingkatan ini, dalam madzhab sudah banyak terjadi khilaf, baik antara
imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap
pendapat imam. Disinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk mentarjih.
Namun tarjih masih dilakukan dalam ruang lingkup ulama dalam madzhab yang
dianut, karena terikat dengan metodologi madzhab yang dipegang
Dalam madzhab As Syafi’i, mereka yang berada dalam
tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi (lihat, An Nihayah, hal. 7
dan Al
Bughyah, hal. 7)
Mufti Muqallid
Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah
mereka yang menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang
rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya. Maka
fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang madzhab
dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid
madzhab. (lihat, Al
Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ar Ramli dalam
madzhab As Syafi’i termasuk kelompok mufti muqallid, walau sebagian berpendapat
bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7
dan Bughyah
Al Mustarsyidin, hal. 7)
Manusia Awam
Di atas adalah tingkatan kemampuan ulama yang memiliki
otoritas dalam keilmuwan berkenaan dengan syariat, adapun untuk manusia awam,
apakah harus terikat dengan madzhab tertentu? Pendapat yang shahih menurut An
Nawawi dan Az Zarkasyi adalah tidak terikat dengan madzhab karena para sahabat
tidak mengingkari kaum awam taklid siapa saja. (Bahr Muhith, 8/374)
Kita telah mengetahui tingkatan kemampuan para ulama
mu’tabar seperti di atas dimana seluruhnya, kecuali mujtahid muthlaq mengikuti
madzhab ulama mujtahid tertentu, dengan keistimewaan sesaui dengan
kemampuannya.
Di Mana Posisi Kita?
Nah, ketika kita menilai bahwa kita harus konsisten
terhadap dalil dan metodologi tertentu sebagaimana sikap para ulama mu’tabar,
kita kemudian bisa mulai mengukur di mana posisi kita. Apakah kita sedang
berada di posisi mujtahid muthlaq semisal Imam Abu Hanifah yang tidak terikat
dengan madzhab mujtahid lain dan menyimpulkan nash-nash secara mandiri dengan
metodologi sendiri? Atau mujtahid madzhab seperti Imam Al Buwaithi yang
berijtihad dengan metode imamnya? Atau melakukan tarjih untuk pendapat dalam
satu madzhab setingkat dengan Imam An Nawawi? Atau menguasai pendapat madzhab
baik yang pelik maupun yang mudah namun dengan cara taklid seperti Imam Ar
Ramli? Ataukah awam, yang memperoleh kemudahan untuk taklid siapa saja? Tentu,
awam tidak memiliki otoritas dalam keilmuan, hanya menerima dari para ulama.*
Bermazhab adalah salah satu
metode dalam memahami islam
Setelah kita mengetahui bahwa bermazhab
dalam Islam bukan sebuah kewajiban dengan beberapa alasan yang telah diuraikan
pada tulisan sebelumnya.
Simak kembali di:
Tolok ukur kebenaran adalah keikhlasan
dan mencocoki sunnah, bukan keharusan berpegang dengan salah satu mazhab
kemudian fanatik padanya.
Sehingga seorang dikatakan Sunni atau
tergolong Aswaja ketika ia berpegang dengan kebenaran dan istiqomah diatasnya.
Selalu berjalan di atas al-Quran dan as-Sunnah dan tidak dibatasi dengan
bermazhab atau tidak.
Sebagaimana ucapan sahabat Abdullah bin
Mas’ud radhiallahu ‘anhu:
“الجماعة ما وافق الحق؛ ولو كنت وحدك” (رواه اللالكائي في شرح أصول اعتقاد
أهل السنة والجماعة:1/122- رقم160)
“Al-Jama’ah (Aswaja)
yaitu mencocoki kebenaran walau engkau seorang diri.” (Riwayat al-Lalikai dalam
Syarh ushul i’tiqad ahlussunnah wal jama’ah 1/122 no. 160).
Sangat jelas ucapan
beliau radhiallahu ‘anhu di atas bahwa keaswajaan seseorang dinilai dengan
sikap komitmen di atas kebenaran.
Namun bukan maknanya
seseorang boleh memahami syariat Islam dengan sendirinya tanpa bimbingan ulama.
Bukan pula ia mengambil ilmu agama secara otodidak tanpa merujuk kepada
pendapat atau mazhab ulama. Atau sengaja berpaling dari penjelasan dan
bimbingan mereka. Karena sikap seperti ini akan menyebabkan seseorang salah
dalam memahami islam yang akhirnya mengantarkannya kepada kesesatan. wal’iyadzu
billah!
Bahkan Islam
memerintahkan umatnya untuk merujuk kepada ulama, serta meminta bantuan mereka
dalam memahami Islam. Karena para ulama adalah pewaris Nabi lebih berilmu
tentang Islam yang diwariskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu Allah
ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk bertanya kepada ulama dalam urusan agama
mereka, sebagaimana dalam firman-Nya:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿٤٣﴾
“Bertanyalah kepada
ahli dzikir (ulama) jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)
Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
البركة مع أكابركم
“Keberkahan ada
bersama para ulama besar.” (HR. al-Hakim dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhuma)
Maka bermazhab
merupakan salah satu metode dalam memahami Islam. Salah satu sarana agar
seorang muslim mudah memahami Islam dengan lurus.
POSISI PARA ULAMA
DALAM MEMAHAMI AL-QURAN DAN SUNNAH
Pembaca kaum muslimin
rahimakumullah!
Perlu diketahui bahwa
kedudukan para ulama ibarat dokter yang mengobati orang sakit. Ia benar-benar
paham tentang jenis penyakit dan cara pengobatannya. Melalui resep obat yang
diberikan bisa menyembuhkan si pasien dengan izin Allah ta’ala.
Demikian halnya para
ulama, mereka sangat paham tentang al-Quran dan as-Sunnah. Melalui bimbingan
dan penjelasan mereka umat akan terarah dalam memahami al-Quran dan as-Sunnah
serta terobati dari penyakit kebodohan.
Berkata al-Imam Ibnul
Qayyim rahimahullahu:
والجهل داء قاتل
وشفاؤه أمران في التركيب متفقان
نص من كتاب أو سنة.
وطبيب ذاك العالم الرباني
“Kebodohan adalah
penyakit yang mematikan dan obatnya ada dua dalam susunannya sejalan dan saling
melengkapi
(pertama) nash dari
al-Quran atau (kedua) as-Sunnah dan dokternya adalah alim rabbani.”
Maka harus difahami
dengan benar tentang makna bermazhab. Yaitu usaha mencari kebenaran dengan
berpegang pada sebuah mazhab yang lebih mendekati sunnah serta tidak fanatik
dengan mazhab tersebut.
Tidak dibenarkan bagi
seorang muslim untuk membela mazhab yang ia pegangi secara membabi buta tanpa
menoleh kepada dalil. Tidak dibenarkan pula bagi seorang muslim lepas dari
bimbingan para ulama, apakah ulama empat mazhab yang masyhur atau selain
mereka. Akan tetapi wajib baginya untuk selalu mencari dan mengikuti sunnah
Nabi dengan menjadikan mazhab ulama sebagai wasilah (perantara) untuk itu.
Sekian contoh dari
ulama ahlusunnah wal jama’ah yang menjadi teladan, yang membuktikan betapa
urgensi mengikuti kebenaran serta mencocoki sunnah dalam bermazhab. Meskipun
harus menyelisihi mazhab yang ia pegangi demi kebenaran sejati.
Di antara mereka
adalah Imam Abu Yusuf al-Hanafi rahimahullahu, seorang yang bermazhab Hanafi
tulen dan getol membela mazhab Imam Abu Hanifah rahimahullahu. Akan tetapi
beliau menyelisihi mazhab Abu Hanifah dalam sepertiga mazhabnya.
Demikian pula Imam
Muzani as-Syafi’i rahimahullahu, beliau menyelisihi mazhab Imam Syafi’i
rahimahullahu dalam sekian bab fikih sebagaimana tertuang dalam bukunya
Mukhtashar al-Muzani Fi Furu’i Syafi’i.
Serta contoh lainnya
yang banyak sekali, tidak cukup untuk disebutkan dalam tulisan ringkas ini.
Ini semua menunjukkan
bahwa para ulama adalah orang-orang yang menjunjung tinggi kebenaran. Mereka
adalah hamba Allah ta’ala yang senantiasa menapaki jalan al-Quran dan as-Sunnah
dalam semua keadaan, bagaimanapun kondisinya.
Semoga kita diberi
taufik oleh Allah ta’ala agar bisa meneladani mereka.
Amin!
Apakah Seorang Muslim Harus Mengikuti Madzhab Tertentu
?
Apakah Imam Madzhab Itu Lebih Tahu Seluruh Hadits
Daripada Ulama Setelahnya? Akidah Imam Yang Empat Itu Adalah Satu… Yaitu Akidah
Yang Benar..!