Wednesday, September 7, 2016

Buya Yunahar Ilyas: Mengenal Syeikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahab’

Hasil gambar untuk yunahar ilyas

Ketua PP Muhammadiyah, Guru Besar FAI Unmuh Yogyakarta
Pendahuluan
Syeikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (selanjutnya ditulis Muhammad ‘Abdul Wahab), (1115-1206 H) adalah seorang mujaddid besar abad XII H yang luas pengaruhnya di dunia Islam, terutama dalam pemurnian Tauhid. Jika disebut namanya, orang akan segera ingat Kitab at-Tauhid (Judul lengkapnya adalah Kitab at-Tauhid alladzi Huwa Haqqullah ‘ala al- ‘Abid, tetapi popular dengan judul awalnya saja yaitu Kitab at-Tauhid) dan perjuangannya membersihkan akidah umat Islam pada masa itu —terutama wilayah Nejd Jazirah Arabia— dari segala macam bentuk kemusyrikan, apalagi setelah beliau bekerja sama bahu membahu dengan Imam Muhammad ibn Su’ud.

Selain Kitab at-Tauhid, dalam bidang akidah beliau juga menulis buku-buku atau risalah lain seperti Kasyf asy-Syubuhat, Mufid al-Mustqfidfi Kufr Tarik at-Tauhid, al-Ushul ats-Tsalatsah wa Adillatuha, Kalimat fi Bayan Syahadah an La Ilaha Illallah wa Bayan at-Tauhid, Kalimat fi Ma’rifah Syahadah an Lailaha illallah wa anna Muhammadan Rasulullah, Arba’ Qawa ‘id liddin, Arba’ Qawa ‘id dzakarahallahu fi Muhkam Kitabih, al-Masailal-Khamsal-Wajib Ma’rifatuha dan Tafsir Kalimah at-Tauhid (Lihat Abdullah ash-Shalih al-’Utsaimin, asy-Syaikh Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Hayatuhu wa Fikruhu, Riyadh: Dar al-’Ulum, 1993, hlm. 73-84.)

Mengenal Syeikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahab
Di samping buku-buku dan risalah tentang akidah Islam, Syeikh Muhammad Abdul Wahab juga memiliki banyak karya tulis dalam bidang Tafsir, Hadits, Fiqih, dan Sirah Nabawiyah. Khusus dalam bidang Fiqih, beliau meringkas kitab Zad al-Ma ‘adfi Huda Khair al- Jbad, karya Imam Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, kemudian diberinya judul Mukhtashar Zad al-Ma ‘ad.

Beliau juga menulis ringkasan dua kitab Fiqih terkenal dari mazhab Hanbali. Pertama, kitab al-Inshaffi Ma ‘rifah ar-Rajih min al-Khilaf, karya al-Alamah al-Faqih Ala ad-Din Ali ibn Sulaiman al-Mardawi al-Hanbali (817-885 H). Kedua, kitab asy-Syarh al-Kabir, karya Syams ad-Din Abu al-Faraj Abd ar-Rahman ibn Abi Umar Ibn Qudamah al-Maqdasy (597-682 H). Kedua kitab ini adalah syarah kitab al-Muqni’ karya Muwaffiq ad-Din Abdullah ibn Qudamah al-Maqdasy (541-620 H).

Ringkasan dua kitab fiqih Hanbali tersebut beliau beri nama Mukhtashar al-Inshafwa asy-Syarh al-Kabir. Dari keseluruhan karya beliau, kitab ringkasan inilah yang paling panjang. (Lihat Abd al-Aziz Zaid ar-Rumy dkk, Muallqfah asy-Syaikh al-Imam Muhammad ibn Abd al-Wahab (Riyadh: Jamiah al-Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah, 1398 H), jilid II, hlm 4.

Kitab Muallqfah jilid II ini hanya memuat kitab Mukhtashar al-Inshafwa asy-Syarh al-Kabir sebanyak 789 halaman.) Karya fiqih Muhammad Abdul Wahab lainnya adalah Majmu’ al-Hadits ‘ala Abwab al-Fiqih, Adab al-Masyyi ila ash-Shalah, Ibthal Waqaf al-Jinf’wal-ltsmi, dan Ahham ash-Shalah.

Tulisan ini khusus membahas tentang Manhaj Fiqih Syeikh Muhammad Abdul Wahhab, tetapi sebelumnya diungkapkan secara ringkas perjalanan beliau menuntut ilmu untuk mengetahui latar belakang keilmuan tokoh pembaru ini. Tulisan ini lebih banyak bersifat deskriptif daripada analisis.

Rihlah Ilmiah Syeikh Muhammad Abdul Wahab
Syeikh Muhammad Abdul Wahab dilahirkan di Uyainah, Nejd, Jazirah Arabia, tahun 1115 H/1703 M dari keluarga ulama. Bapaknya ‘Abd al-Wahab ibn Sulaiman (w 1153 H) adalah seorang yang punya pengalaman panjang dalam fiqih karena pernah menjabat sebagai Qadhi ‘Uyainah dan Huraimala’ dalam waktu yang lama. Kakeknya Sulaiman ibn ‘Ali termasuk salah seorang ulama terkenal pada masanya, beliau menulis kitab yang terkenal tentang manasik haji yang sering menjadi rujukan para pengikut mazhab Hanbali. Pamannya, Ibrahim ibn Sulaiman, juga seorang ulama yang disegani pada masa itu. (Mas’ud an-Nadwi, Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Mushlih Mazhlum wa Muftara ‘alaih, Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah, 1411, hlm.31).

Muhammad Abdul Wahab sejak kecil sudah menunjukkan kecerdasan dan kekuatan hafalan yang luar biasa. Belum genap umur 10 tahun beliau sudah hafal Al-Qur’an. Muhammad Abdul Wahab kecil belajar kitab-kitab fiqih Hanbali dari bapaknya, dan juga banyak membaca kitab-kitab Hadits dan tafsir. Kecerdasan dan bakatnya yang luar biasa itu membuat kagum bapaknya sendiri. Sering dia meminta anaknya menjadi imam shalat walaupun masih kecil. Beliau menikah pada waktu masih sangat muda, kemudian pergi melaksanakan ibadah haji dan bermukim di Madinah Munawarah, kemudian kembali ke Uyainah untuk meneruskan menuntut ilmu dari orangtuanya. Sejak awal beliau sudah rajin menulis, hingga dalam satu kali duduk dapat menulis dua puluh halaman. (Ibid, hlm. 31-32.)

Hidup di tengah-tengah keluarga besar ulama, kondisi ekonomi yang mendukung, ditambah kecerdasan dan kemauan pribadi yang kuat menyebabkan Muhammad Abdul Wahab dapat secara tekun dan penuh mendalami ajaran Islam, baik melalui orangtuanya sendiri maupun melalui ulama-ulama yang lain. Tidak cukup hanya di Uyainah, beliau menuntut ilmu ke beberapa pusat ilmu waktu itu. Mula-mula beliau pergi ke Bashrah, terus ke Disa’, kembali lagi ke Bashrah, kemudian ke Madinah Munawarah, kemudian kembali ke Nejd.

Tatkala berada di Madinah, beliau banyak belajar dari beberapa ulama di Masjid Nabawi, termasuk dua orang ulama yang banyak berpengaruh kepada beliau —tidak banyak dari segi keilmuan tetapi juga dari segi pembaruan atau ishlah— yaitu Abdullah ibn Saif dan Muhammad Hayah as-Sanadi. Ibn Saif adalah seorang ahli fiqih Hanbali dan juga ahli Hadits. Gurunya inilah, sebagai seorang pengagum Ibn Taimiyah, yang mendorong Muhammad Abdul Wahab untuk mempelajari kitab-kitab ulama besar tersebut.

Sedangkan Muhammad Hayah as-Sanadi adalah seorang alim dalam Hadits dan ulum al-Hadits. As-Sanadi banyak menulis buku tentang Hadits. Semangat pembaruan dan tidak fanatik mazhab didapatkan juga oleh Muhammad Abdul Wahab dari gurunya ini. (Abdullah ash-Shalih al-Utsaimin, asy-Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, Hayatuhu wa Fikruhu (Riyadh: Bar al-’Ulum, 1993), hlm 29-32).

Waktu di Bashrah, Syeikh Muhammad Abdul Wahab belajar fiqih, Hadits dan bahasa Arab dari beberapa ulama, di antaranya dari Syeikh Muhammad al-Majmu’i. Berbeda dengan Uyainah, Bashrah adalah kota besar dengan penduduk yang heterogen pemahaman dan pengamalan agamanya. Banyak persoalan muncul, apalagi di kota itu tinggal banyak orang-orang Syi’ah. Bashrah tidak jauh dari tempat-tempat suci Syi’ah seperti Najaf dan Karbala.

Sudah bukan rahasia lagi antara Syi’ah dan Ahl As-Sunnah banyak terjadi perbedaan. Tinggal di kota seperti itu, Muhammad Abdul Wahab tidak hanya belajar, tapi mulai meluruskan dan menentang apa yang menurut beliau bertentangan dengan kebenaran. Beliau sering berdiskusi dan berdebat dengan para penentang dakwahnya, terutama dalam masalah akidah.

Sedangkan di Ihsa’ Syeikh Muhammad Abdul Wahab belajar dari beberapa ulama seperti Abdullah ibn Fairuz, Abdullah ibn Abd al-Lathif, dan Muhammad ibn ‘Afaliq dan banyak berdiskusi tentang masalah akidah, terutama tauhid. Ihsa’ adalah kota terakhir tempat Muhammad Abdul Wahab belajar di luar ‘Uyainah setelah Hijaz dan Bashrah sebelum kemudian menetap kembali di ‘Uyainah. (Abdullah ash-Shalih al-’Utsaimin, asy-Syaikh Muhammad ibn
‘Abd al-Wahhab, Hayatuhu wa Fikruhu (Riyadh: Dar al-’Ulum, 1993), hlm 34-36.)

 Mazhab Fiqih Syeikh Muhammad Abdul Wahab

Syeikh Muhammad Abdul Wahab, tidak diragukan lagi adalah seorang ulama pembaru yang mengembalikan segala persoalan agama kepada dua sumber utamanya yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau ingin melihat Islam tampil dalam bentuknya yang asli, murni, tidak bercampur dengan ajaran agama dan kepercayaan lain. Seluruh persoalan, sedapat mungkin, dikembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Berangkat dari cara berpikir seperti itulah, sekalipun dalam fiqih, beliau mengikuti mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal (w 246 H) tetapi beliau tidak ta’ashub atau fanatik terhadap mazhab Hanbaly.

Dalam suatu kesempatan beliau menyatakan: “Adapun mazhab kita, adalah mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam Ahl As-Sunnah dalam masalah furu’, tidak perlu lagi kita melakukan ijtihad sendiri. Apabila jelas bagi kita sunnah shahihah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kita akan mengamalkannya. Kita tidak akan mendahulukan pendapat siapapun di dunia ini atas As-Sunnah tersebut.” (Mas’ud an-Nadwi, Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Mushlih Mazhlum wa Muftara alaih, Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah, 1411, hlm. 148.)

Dalam kesempatan lain Muhammad Abdul Wahab menyatakan: “Kita belum berhak menjadi mujtahid muthlaq, tidak ada seorang pun di antara kita yang mengaku dapat melakukannya. Akan tetapi dalam beberapa masalah, jika menurut kita ada pendapat yang jelas-jelas berdasarkan Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang dikemukakan imam-imam fiqih yang lain, tentu akan kita ambil, walupun dengan demikian kita harus meninggalkan pendapat Hanabilah.” (Mas’ud an-Nadwi, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, Mushlih Mazhlum wa Muftara ‘alaih (Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah, 1411), hlm. 149).

Adakalanya, dalam beberapa hal, beliau berhujjah dengan mengutip pendapat Imam Ibn Taimiyah dan Imam Ibn al-Qayyim, tanpa harus taqlid kepada keduanya. Syeikh Muhammad Abdul Wahhab, hanya mengikuti Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim, jika menurut pengetahuannya, pendapat kedua imam besar tersebut sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Beliau menyukai dua tokoh besar ini, karena komitmen mereka berdua yang sangat kuat untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Muhammad Abdul Wahab menyatakan: “Imam Ibn al-Qayyim dan gurunya adalah dua orang imam kebenaran dan Ahlus Sunnah, kitab-kitab mereka, bagi kami, termasuk kitab-kitab yang bemilai tinggi, namun demikian kita tidak taqlid mengikuti mereka berdua dalam setiap persoalan.” (ibid.)

Syeikh Muhammad Abdul Wahab, dalam persoalan furu’-fiqihiyah memang seorang Hanbali, tetapi beliau tidak memaksa orang lain untuk mengikutinya. Beliau meminta kepada seorang pengikuti Syafii untuk tetap menjadi Syafiiyan, pengikuti Hanafi tetap menjadi seorang Hanafiyan, karena tidak seorang pun imam-imam fiqih yang membenarkan perbuatan bid’ah dan taqlid.

Dalam hal ini Muhammad Abdul Wahab menyatakan: “Kami juga dalam masalah furu’ mengikuti mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal, tetapi kami tidak menolak kalau ada yang bertaqlid kepada salah satu dari empat mazhab yang ada, karena mazhab-mazhab yang lain seperti Rafidhah tidak dapat dipercaya…”. (Mas’ud an-Nadwi, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, Mushlih Mazhlum wa Muftara ‘alaih (Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah, 1411), hlm. 149.)

Seperti sudah dijelaskan di atas, di samping memang tidak ta’ashub dengan mazhab Hanbali, Syeikh Muhammad Abdul Wahab juga tidak menjadi penganjur orang untuk mengikuti mazhab yang dianutnya sebagaimana banyak dilakukan oleh para pengikuti mazhab fiqih lainnya. Beliau hanya mengambil dari mazhab Hanbali apa-apa yang sesuai dengan dalil, dan mengambil pendapat imam-imam fiqih lain mana yang menurut beliau dalilnya kuat.

(Lihat juga Manna’ al-Qathan, “I’timad Dakwah asy-Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab ‘ala al-Kitab wa As-Sunnah” dalam Buhuts Nadwah Dakwah asy-Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab rahimahullah (Riyadh: Jami’ah Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah, 1991), jilid I, him 239-241).

 Berpegang Teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah

Dalam berbagai kesempatan, baik melalui buku-buku, risalah-risalah, fatwa-fatwa dan pelajaran-pelajaran yang diberikan kepada murid-muridnya, Syeikh Muhammad Abdul Wahab, berulang-ulang menegaskan pentingnya kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak hanya dalam masalah akidah, dalam persoalan fiqih pun sikap ini tetap beliau ikuti dengan konsisten. Kita akan lihat dalam tulisan-tulisannya tentang berbagai persoalan fiqih, beliau konsisten mengemukakan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, salah satu atau kedua-duanya.

Sebagai contoh, tentang tayamum, dalam Kitab Thaharah, Muhammad Abdul Wahab menulis: “Tayamum termasuk kekhususan umat ini, Allah tidak menjadikan tanah suci bagi umat lainnya, dia juga merupakan ganti bersuci dengan air untuk segala sesuatu yang menggunakan air tetapi tidak dapat ditemukan. Syarat tayamum ada empat: 1) Tidak sanggup menggunakan air, bisa karena tidak ada air berdasarkan firman Allah: “…lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik..” (Qs. Al-Maidah: 6), atau karena khawatir penggunaan air akan mendatangkan mudharat karena sakit tertentu, atau karena sangat dingin atau karena luka, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “…dan jika kamu sakit…” (Qs. Al-Maidah: 6).

Dan juga berdasarkan Hadits ‘Amru bin al-’Ash, diriwayatkan oleh Abu Daud. Atau takut kehabisan air untuk minum, berdasarkan ijma’ yang diriwayatkan oleh Ibn Al-Mundzir, atau dia harus membelinya dengan harga yang mahal lebih dari harga biasa. Jika dia mungkin menggunakan air untuk sebagian badan, harus dia gunakan dan bertayamum untuk bagian badan yang lain, berdasarkan Hadits Abu Hurairah yang di dalamnya ada teks: “Jika aku memerintahkan kamu untuk melakukan sesuatu, maka lakukanlah sebatas kemampuanmu. 2) Telah masuk waktu. Berkata Syeikh Taqiyuddin: “Tayamum menghilangkan hadats. Ini adalah mazhab Abu Hanifah, dan riwayat dari Ahmad. Dia berkata dalam al-Fatawa al-Mishriyah: Tayamum untuk setiap waktu shalat sampai masuk waktu shalat lain adalah pendapat yang paling baik.”

(Manna’ al-Qathan, “I’timad Dakwah asy-Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab ‘ala al-Kitab wa As-Sunnah” dalam Buhuts Nadwah Dakwah asy-Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab rahimahullah, Riyadh: Jami’ah Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah, 1991, jilid I, hlm 239-240.)

Contoh lain tentang shalat berjamaah beliau menulis: “Paling sedikit shalat berjamaah dua orang, kecuali Jum’at dan Shalat ‘ld. Hukumnya wajib atas setiap orang, baik yang muqim, maupun yang musafir, bahkan tetap wajib dalam keadaan takut, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka, lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka…” (Qs. An-Nisa’ 102). Shalat berjamaah lebih utama 27 derajat dibandingkan shalat sendiri. Lebih utama dikerjakan di Masjid, apalagi di Masjid Haram, dan begitu juga lebih utama jika jamaahnya lebih banyak, dan masjidnya lebih jauh, janganlah seseorang mengimami shalat di sebuah masjid sebelum imam tetap, kecuali atas izinnya, atau imam ratibnya terlambat, maka tidak makruh, berdasarkan perbuatan Abu Bakar dan Abd ar-Rahman ibn ‘ Auf.”

(Abd al-Muhsin ibn Hamad al-Badar, Syarh Kitab Adah al-Masyi ila ash-Shalah (al-Musytamil ‘ala Ahkam ash-Shalah, wa az-Zakah wa ash-Shiyam), karya Syaikh al-Islam Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (Riyadh: t.p., 1426), him 108-110.)

Sekalipun Syeikh Muhammad Abdul Wahab selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi secara teknis adakalanya beliau tidak mengutip sama sekali teks Hadits yang dimaksud, malah kadangkala tidak menyebut sama sekali dalil yang dirujuknya. Misalnya tentang menentukan awal Ramadlan, beliau menulis: “Disunahkan mengamati munculnya hilal malam tiga puluh bulan Sya’ban, diwajibkan puasa Ramadhan apabila hilal sudah terlihat, maka apabila tidak dapat dilihat hilal, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari, barulah kemudian berpuasa tanpa ada perbedaan pendapat”

 Empat Kaidah Pokok

Menurut Syeikh Muhammad Abdul Wahab, ada empat kaidah pokok yang menjadi landasan memahami agama Islam, baik dalam ilmu tafsir, ilmu ushul, atau ilmu amalan hati atau yang dinamai ilmu suluk, ilmu halal dan haram atau ahkam atau yang dinamai dengan fiqih, atau ilmu wa’d dan wa’id atau ilmu-ilmu agama yang lainnya. Empat kaidah itu adalah:

1.  Tidak boleh berbicara tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-A’raf: 33)

2.  Segala sesuatu yang Asy-Syari’ mendiamkannya maka dia termasuk yang dimaafkan, tidak boleh seorang pun mengharamkan, atau mewajibkan, atau mengistihabkan, atau memakruhkannya. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Qur’an itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang halhal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. (Al-Maidah: 101)

Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Segala sesuatu yang Allah mendiamkannya adalah rahmat bagi kalian, bukan karena lupa, oleh sebab itu jangan bertanya tentang hal itu.” (H.R. ad-Daruquthni, menurut Imam Nawawi Hadits ini hasan.)

3.  Meninggalkan dalil yang jelas, kemudian beristidlal dengan lafzh mutasyabih adalah jalan orang yang menyimpang seperti Rafidhah dan Khawarij. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan. Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya. (Ali Imran: 7)

Adalah wajib bagi seorang Muslim mengikuti yang muhkam. Jika dia mengetahui makna mutasyabih, boleh diikuti jika tidak bertentangan dengan yang muhkam, kalau tidak, wajib baginya mengikuti apa yang dikatakan oleh orang-orang yang mendalam ilmunya, yaitu: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” (Bagian dari Ali Imran: 7)

4.  Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa yang halal sudah jelas, dan yang haram juga sudah jelas, sedangkan antara keduanya ada perkara-perkara yang mutasyaabihaat, maka barangsiapa yang tidak mengikuti kaidah ini, lalu ingin berbicara tentang segala sesuatu tentang panjang lebar maka dia telah sesat dan menyesatkan. (Shalih ibn Abd ar-Rahman al-Athram, I’timad Fiqih Dakwah Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahab ‘ala al-Kitab wa As-Sunnah, dalam Buhuts Nadwah Dakwah asy-Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab rahimahullah (Riyadh: Jami’ah Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah, 1991), jilid I, hhn 272-273.)

Penutup
Dari uraian ringkas di atas jelaslah bagi kita bahwa Syeikh Muhammad Abdul Wahab, dalam bidang fiqih —sebagaimana bidang-bidang yang lain— selalu berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau berangkat dan mengembalikan segala sesuatunya kepada kedua sumber utama ajaran Islam ini. Sekalipun beliau dididik sejak kecil dalam mazhab Hanbali dan kemudian menjadi pengikutnya, tetapi beliau tidaklah memiliki sikap fanatik atau ta’ashub dengan mazhab ini, dan tidak ada hambatan bagi beliau mengambil pendapat mazhab yang lainnya jika menurutnya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Demikianlah, semoga bermanfaat.
Oleh: Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc, M.A
sumber: fastabiqu.com
republikasi by owner kumpulankonsultasi.com