Tuesday, March 14, 2017

Haruskah Kita Bermazhab (Hukum Bermadzhab Dalam Islam) ?


Hukum Bermadzhab Dalam Islam

Oleh : Ace Faturrahman
I.     Pendahuluan
Madzhab yang umumnya diartikan sebagai sebuah aliran atau ajaran merupakan sebuah realita sejarah yang tidak mungkin dihindari ataupun dihilangkan, karena pengaruhnya kita rasakan hingga sekarang. Madzhab dalam literatur Islam dibagi menjadi dua, madzhab dalam aqidah dan madzhab dalam fikih, madzhab dalam aqidah adalah madzhab Ahlu Sunnah wal Jamaah, dalam ranah aqidah umat Islam semuanya harus bermadzhab yang sesuai dengan Ahlu Sunnah wal Jamaah, maka setiap yang menyelisihi madzhab ini dikatakan sesat. Adapun madzhab dalam fikih berbeda dengan madzhab dalam aqidah, yang sering diistilahkan dengan perbedaan di dalam masalah cabang (furu’), maka madzhab dalam fikih jauh lebih mudah dan lebih bisa ditoleransi perbedaanya, oleh karenanya, perlu kajian yang mendalam mengenai hal ini  agar umat Islam tidak terpecah belah hanya karena masalah furu’iyah sehingga kaum muslimin bisa mendudukkannya secara proporsional.

Bagi seorang muslim diharuskan menjalankan syariat Islam yang berpedoman dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah dan juga sesuai dengan pemahaman salafush shalih. Dalam menjalankan ibadah pada asalnya setiap muslim harus mengambil hukum – hukum dari kedua sumber  utama syariat yang menjadi landasan yang wajib ditaati dan diamalkan.namun kenyataannya realita membuktikan bahwa tidak semua umat Islam mampu mengeluarkan hukum – hukum secara langsung dari Al-Qur’an dan as-Sunnah. Ternyata hanya segelintir orang yang memiliki kemampuan dan kelayakan melakukannya, seperti imam – imam madzhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali).
 Mengingat karena hanya orang – orang pilihanlah yang sudah memiliki kualifikasi sampai kepada level mujtahid yang bisa meng-istinbath-kan sebuah hukum syar’i. tentunya bagi yang bukan mujtahid tidak ada pilihan lain selain mengambil hukum – hukum yang telah disimpulkan orang para mujtahid atau harus mengikuti imam mujtahid yang biasa disebut dengan bermadzhab.
Bermadzhab memang merupakan sebuah jalan untuk bisa memahami nash-nash syar’i baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, karena tidak semua orang bisa menginterpretasikan dalil-dalil yang ada dan mengkonklusikan (istimbath) sebuah hukum, hanya orang – orang yang memiliki kemampunan berijtihad  atau menggali sendiri hukum dari Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan kapasitas ilmu yang dimilikinya yang mampu untuk menyimpulkan sebuah hukum.
Dalam sejarah Islam, madzhab fikih sebenarnya tidak hanya empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad Rahimahumullah)  tetapi banyak mujtahid yang lainnya bahkan dari segi keilmuanpun sebenarnya tidak kurang,  ada Al-Hasan Al-Bashri, Sufyan ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’ad dan masih banyak tokoh – tokoh mujtahid lainnya, akan tetapi sejarah kemudian menunjukkan – tentu saja dengan kehendak Allah Ta’ala – bahwa pemahaman dan ajaran yang berkembang adalah yang disampaikan dan diajarkan oleh empat imam yang terkenal hingga sekarang, yang lembat laun dikenal sebagai madzhab yang empat (Al-Madzhabiul Arba’ah).[2]
Dari realita akan banyak madzhab dalam fikih, timbul polemik di tengah umat, mereka dihadapkan dengan dua kubu besar yang saling bertentangan, satu pihak mengatakan wajib bermadzhab bahkan sampai kepada fanatik madzhab tertentu, di lain pihak yang begitu ektrim dengan menolak madzhab, mereka menghasung gerakan anti madzhab dengan alasan kembali kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah dan menafikan madzhab sebagai sarana untuk memahami nash – nash syar’i.
Berpijak dari fakta itulah, penulis terdorong untuk menelaah kembali pembahasan mengenai hukum bermadzhab, dan bagaimana cara menyikapinya, karena sikap yang keliru dalam permasalahan ini akan menimbulkan kesalahan yang fatal. Wallahul musta’an.

II.Definisi Madzhab
Madzhab (مذهب) secara bahasa adalah jalan yang ditempuh atau yang dilewati. Madzhab juga diartikan dengan sesuatu yang dituju manusia, baik yang bersifat materi atau non materi.[3]   Kata madzhab merupakan pecahan kata dari tiga huruf dza, ha, ba. Dari tiga huruf itulah terbentuk kata “ dzahaba- yadzhabu-dzahaban” yang umumnya diartikan dengan pergi atau berlalu. dan kata madzhab adalah sebuah nama tempat atau nama waktu.[4]
Namun selain itu dapat juga berarti : Berpendapat, jika seseorang mengambil pendapat orang lain, dikatakan :
ذَهَبَ إِلَى قَوْلِ فُلَانٍ
Dia berpendapat dengan pendapat si fulan.[5]
Dari makna inilah, kata madzhab lebih mendekati maknanya, yang secara bahasa umumnya diartikan dengan istilah aliran, doktrin, atau ajaran. Bahkan kata madzhab itu sendiri sudah menjadi bahasa baku dalam bahasa Indonesia.[6] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa arti dari madzhab adalah haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam (dikenal empat madzhab, yaitu madzhab Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafi’i). [7]
Menurut istilah madzhab adalah jalan atau cara yang telah digariskan oleh seseorang atau sekelompok orang, baik dalam masalah kayakinan, prilaku, hukum, dan lainnya.[8]
Dijelaskan dalam al-Mu’jam al-Wasith yang dimaksud  madzhab menurut para ulama adalah kumpulan pandangan dan  teori ilmiah serta filsafat yang satu sama lain berkaitan sehingga menjadi satu kesatuan yang erat.[9]
Dengan demikian yang dimaksud madzhab fikih adalah metode yang ditempuh oleh seorang ahli fikih (ulama) yang memiliki derajat mujtahid, di mana dia memiliki ciri khas tersendiri di kalangan ahli fikih dalam menentukan sejumlah hukum-hukum dalam bidang furu’ (cabang agama).[10]
Sedangkan untuk pengertian bermadzhab (التمذهب) adalah iltizamnya seseorang (bukan orang awam ) dengan  madzhab mujtahid tertentu  dalam  perkara ushul dan furu’ atau salah satu dari keduannya, atau dengan menisbahkan madzhab kepadanya.[11]

III.Sejarah Terbentuknya Madzhab
Dalam sejarahnya, fikih mengalami fase pertumbuhan, agar membantu kita dalam memahami terbentuknya madzhab dalam fikih :
Fase pertama : fase penetapan syari’at (Marhalah Tasyri’), fase ini dimulai dari diutusnya Rasulullah menjadi nabi sampai dengan wafatnya Rasulullah di bulan Rabiul awal pada tahun 11 hijrah.[12] Fase pembentukan syari’at juga masih tetap berlaku pada masa khulafaurrasyidin sesudah wafat Rasulullah, karena mereka juga mendapat legalitas (pengesahan) dari Rasulullah untuk diikuti segala keputusannya, hal ini bukan berarti mereka menetapkan syari’at yang tidak pernah Allah tetapkan.[13]
Fase kedua : fase peletakan dasar fikih (Marhalah Ta’sis li al-Fiqh), tahun 41 H – 132 H. setelah masa khulafaurrasyidin datanglah masa sahabat yunior dan tabi’in  senior, fase ini setelah Muawiyah berhasil menyatukan negeri – negeri kaum muslimin seluruhnya. Ditandai dengan  Al-Hasan bin Ali menyerahkan urusan kaum muslimin kepada Muawiyah di tahun 41 H, yang dinamakan dengan amm al-jamaah,[14] mereka (sahabat) kemudian mengajarkan kepada para tabi’in dari generasi awal yang kemudian menjadi tokoh – tokoh terkenal di kalangan tabi’in (Kibaruttabi’in), fase ini kekuasaan Islam semakin luas, namun demikian kaum muslimin saat itu tidak kekurangan ulama yang terdiri dari kalangan tabi’in yang telah berguru dari para sahabat, sehingga tidak ada satupun kota yang dikuasai Islam waktu itu kecuali padanya terdapat mufti dan para fuqaha yang mengajarkan agama dan memberikan fatwa – fatwa tentang agama Islam.[15]
Yang menarik dari fase ini adalah adanya polarisasi atau corak dan pendekatan dalam penetapan hukum yang pada akhirnya akan berpengaruh pula pada generasi berikutnya, maka dikenallah pada fase ini dua aliran yang memiliki karekteristiknya masing – masing. Aliran pertama dikenal sebagai “Madrasah ahlu hadits”[16] dari madrasah ini lahir tiga madzhab yang terkenal ( Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali), sedangkan aliran yang kedua dikenal sebagai “ madrasah ahlu ra’yi ”[17] madrasah ini melahirkan  ulama dari kalangan tabi’in, diantaranya : Alqamah, an-Nakha’i, Syuraih bin al-Harits al-Kindi, Sa’id bin Jubair, Hammad bin Abi Salman dll. Dan kemudian dari madrasah ini nantinya muncul pendiri madzhab Hanafi.[18]
Fase ketiga : fase kematangan dan kesempurnaan (Marhalah an-Nuhd wa al-Kamal), atau dikenal dengan masa kecemerlangan fikih, 132 – 350 H. fase ini hasil dari proses fase – fase sebelumnya mengkristal dan mengalami puncaknya, banyak faktor yang menyebabkan lahirnya fase cemerlang ini yaitu :
1.Lahirnya para mujtahid termasuk diantaranya imam madzhab yang empat (A’immah al-Madzhahib al-Arba’ah)[19]
Sebenarnya madzhab lahir dari pergulatan yang intens seorang ulama mujtahid yang selalu berinteraksi dengan sumber – sumber hukum Islam,[20] dari intensitas yang tinggi itu lahirlah pengikut masing –masing mujtahid tersebut yang berawal dari murid – murid yang berguru langsung kepadanya.[21]maka lama – kelamaan terjadilah komunitas dari masing – masing pengikut setiap syaikh hingga akhirnya terjadilah polarisasi (corak) di antara mereka, lalu sebagai identitas disebutlah bahwa pengikut syaikh ini adalah bermadzhab ini , dan syaikh itu bermadzhab itu, kemudian disusun lagi kitab – kitab khusus untuk menguatkan, sehingga tidaklah berlebihan kalau dikatakan murid – muridnyalah yang sebenarnya menjadikan upaya dan kesungguhan para mujtahid tersebut lambat laun mengkristal menjadi sebuah madzhab.[22]
2.Perhatian yang besar dari para khalifah Bani Abbasiyah terhadap kajian fikih dan para fuqahanya.
3.Maraknya pembukuan dari berbagai disiplin ilmu
4.Banyaknya terjadi adu argumentasi (Munazharaat)
Fase keempat : masa kejumudan dan fanatisme madzhab (Marhalah Jumuud wa Ta’ashub Madzhabi).[23]

IV.Sebab Terjadinya Perbedaan Madzhab
Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu menjelaskan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di antara ulama,  yaitu :
1.Perbedaan terhadap makna lafadz-lafadz arab
terkadang nash-nash syar’i ada yang  bermakna mujmal (umum), musytarak (kata yang memiliki banyak makna), terkadang ada yang bermakna haqiqiy dan majaziy, dan perbedaan-perbedaan yang menyangkut bahasa yang memberikan peluang terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama.
2.Faktor-faktor yang menyangkut periwayatan hadits
Sebagian besar perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama adalah adanya hadits yang diperselisihkan keshahihannya, sebagian ulama mengatakan bahwa hadits ini shahih, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa hadits ini dhaif, jika para ulama masih memperselisihkan akan keshahihannya hadits  tersebut merupakan celah yang menjadikan terjadi perbedaan karena akan berbeda pula dalam menyimpulkan hukum terkait dengan hadits yang diperselisihkan akan keshahihannya.
3.Perbedaan sumber hukum yang dijadikan sandaran dalam menyimpulkan sebuah hukum syar’i, seperti istihsan, mashlahah mursalah, istishhab, sadd dzari’ah, perkataan sahabat Madinah  yang masih diperselisihkan apakah bisa dijadikan dalil atau tidak.
4.Faktor-faktor yang menyangkut kaidah-kaidah ushuliyah, seperti kaidah al-amm al-makhsush bukan hujjah, mafhum bukan hujjah, nasikh, dan mansukh dan lain-lain.
5.Berijtihad dengan qiyas
6.Adanya Ta’arudh (saling berlawanan) dan tarjih (merajihkan) di antara dalil-dalil.[24]

V.Hukum Bermadzhab
Di sini terjadi perselisihan pendangan di kalangan umat Islam, yang terbagi kepada dua golongan besar.
A.Tidak wajib : sebagian ulama Ushul berpendapat bahwa bermadzhab itu tidak wajib. Umat Islam wajib mengikuti apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Ulama yang berpendapat demikian adalah Khujandi, Nashiruddin al-Albani dan Ibnu Hazm. Bagi golongan ini, tidak wajib mengamalkan pendapat madzhab tertentu dalam setiap masalah.[25] Ia boleh berpindah dan mengamalkan pendapat dari madzhab lain.[26] Iltizam terhadap satu madzhab saja merupakan kesulitan dan kesempitan, padahal adanya beberapa madzhab merupakan rahmat, nikmat dan karunia.[27] Muhammad Sulthan al-Ma’shumi al-Khujandi al-Makki, beliau mengatakan tidak wajib bagi seorang muslim untuk melazimi salah satu madzhab dari empat madzhab, dan barangsiapa yang melazimi salah satu  madzhab dalam setiap permasalahan-permasalahannya maka ia adalah orang yang fanatik salah, orang yang bertaklid buta, dan yang memecah belah agama sehingga terjadinya golongan-golongan dan Allah telah melarang dari berpecah belah dalam agama.[28]

B.Wajib : Golongan ini mengatakan bermadzhab itu harus bahkan bagi orang awam hukumnya wajib,[29] Al-Amidi mengatakan bahwa orang awam dan orang yang tidak memiliki keahlian berijtihad, walaupun dapat menghasilkan sebagian ilmu yang diakui (mu’tabar) dalam berijtihad, ia wajib mengikuti pendapat para mujtahid dan berpegang dengan fatwa-fatwanya, demikian menurut ahli tahqiq dan ulama ushul.[30] Khudhari Bek pula berpandangan wajib atas orang awam meminta fatwa dan mengikuti para ulama.[31]
mayoritas ulama ushul berpendapat bahwa bermadzhab bagi orang awam itu harus, bahkan bagi orang awam yang benar-benar murni, bermadzhab itu wajib. Hanya saja mereka berbeda pendapat, apakah mengikuti madzhab itu dalam arti kata taqlid [32] atau ittiba.[33] keduanya memberikan kesimpulan yang sama yaitu bermadzhab, mereka juga tidak membedakan antara orang awam yang memang tidak faham tentang persoalan hukum dengan orang yang berpengetahuan tetapi belum sampai ke tahap mujtahid. Kedua golongan ini dianggap awam, dan bagi orang awam kewajiban mereka adalah bertanya kepada ahlu ilmi yaitu mujtahid, jika ia bertanya atau mengikuti seorang mujtahid maka ia disebut bermadzhab.[34]      

Dari kenyataan yang ada antara kedua golongan, nampaknya sangat sulit untuk mengkompromikan keduanya namun ada titik temu antara kedua golongan ini yaitu mereka bersepakat tentang keharusan mengikuti pendapat atau fatwa para imam madzhab.

C.Berpegang Pada Satu Madzhab
Wahbah az-Zuhaili membagi pandangan ulama ushul fikih dalam masalah ini       menjadi tiga :
Pendapat pertama mengatakan bahwa wajib melazimi madzhab imam tertentu, karena ia berkeyakinan bahwa itu adalah yang benar, dan wajib baginya beramal dengan apa yang ia yakini.
Pendapat kedua mengatakan bahwa tidak wajib bertaklid dengan madzhab imam tertentu dalam setiap permasalahan dan peristiwa yang dihadapi. Bahkan ia boleh bertaklid kepada mujtahid mana pun yang ia kehendaki, walaupun ia beriltizam dengan madzhab tertentu seperti Abu Hanifah, Imam Syafi’i atau yang lainnya, tidak ada kewajiban untuk terus menerus mengikutinya, bahkan membolehkan baginya untuk berpindah dari madzhabnya ke madzhab yang lain, karena tidak ada kewajiban kecuali mengikuti apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya tidak mewajibkan untuk bermadzhab dengan madzhab seseorang dari para imam, Allah hanya mewajibkan untuk mengikuti ulama dan tidak mengkhususkan dengan satu imam saja tanpa imam yang lain, sebagaimana firman Allah :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون                                                       
“…Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.”
 (Q.S. Al – Anbiya : 7).”
Demikian juga orang yang meminta fatwa di zaman para sahabat dan tabi’in mereka tidak melazimi madzhab tertentu, tapi mereka bertanya  kepada orang yang bersedia menjawab tanpa terikat dengan satu orang saja tidak dengan yang lain, dan ini adalah ijma mereka atas ketidakwajiban bertaklid dengan seorang imam, atau mengikuti madzhab tertentu dalam setiap permasalahan, iltizam dengan satu madzhab saja merupakan kesulitan dan kesempitan, padahal adanya beberapa madzhab merupakan nikmat, karunia, dan rahmat bagi umat, Pendapat yang kedua adalah pendapat yang rajih dikalangan ulama ushul fikih.
pendapat ketiga adalah pendapat imam Al-Amidi, Al-Kamal bin al-Hamam memperinci masalah ini sebagai berikut : bahwa amalan seseorang dengan melazimi sebagian permasalahannya dalam madzhab tertentu, maka tidak boleh baginya bertaklid kepada orang lain dalam masalah tersebut, jika pada sebagian tertentu ia tidak beramal dengan madzhab yang dianutnya maka boleh mengikuti madzhab yang lain, karena dalam syari’at tidak ada kewajiban mengikuti madzhab yang diiltizaminya, hanyasanya syari’at mewajibkan mengikuti ulama tanpa mengkhususkan orang alim tertentu.[35]

VI.Golongan yang menolak madzhab (Allamadzhabiyah)
Terdapat sebagian kelompok yang kononnya terlalu progresif dalam ilmu agama yang berpendapat bahwa masyarakat awam pada hari ini tidak perlu mengikuti madzhab dan ulama manapun, yang perlu diikuti adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah.[36]
Siapa pun yang mengikuti madzhab termasuk pelaku bid’ah mungkar, bahkan ada yang lebih dangkal dengan menyatakan mereka sesat dan kafir.[37] Apabila kenyataan itu keluar dari mulut seseorang, maka terbukti sekali kedangkalan mereka dalam memahami pembahasan ulama mu’tabar, mereka membayangkan ulama madzhab terdahulu mengeluarkan fatwa tanpa sandaran atau serampangan terhadap nash Al-Qur’an dan as-Sunnah.[38]
Pemahaman anti madzhab ini sangat berbahaya, ia akan tergelincir dalam pemahaman yang salah yang disebabkan oleh keangkuhan hati yang egois dalam menerima suatu perkara yang haq, dan akan terjadi pengamalan suatu hukum yang sesuai dengan hawa nafsunya dengan mengambil yang enak – enak saja. Tentu akan terjadi kesalahpahaman dalam memahami nash-nash syar’i.

VII. Larangan Fanatik Madzhab dan Taklid Buta
Sejarah mencatat fikih mengalami beberapa fase pertumbuhan, dimulai sejak diutusnya Rasulullah untuk membawa risalah Islam, kemudian fikih mengalami masa kematangan dan kesempurnaan atau yang dikenal juga dengan masa kecemerlangan fikih sampai kepada fase kejumudan dan fanatisme madzhab yang sampai sekarang pengaruhnya masih dirasakan.
Fenomena fanatisme madzhab sangat nyata dan tak bisa dielakkan karena kecenderungan pengikut madzhab tertentu adalah fanatik terhadap madzhab yang diikutinya, membela mati-matian, mencari pembenaran terhadap madzhabnya, bahkan menganggap madzhabnya lah yang paling benar dan yang lain salah, dan fenomena fanatisme inilah yang bisa berpotensi memecah belah persatuan umat.
Fanatisme madzhab adalah istilah yang diberikan kepada sikap yang hanya mengakui madzhabnya sebagai landasan dalam beragama dan menolak pendapat lain walaupun didukung oleh dalil yang kuat.[39]
Berpedoman dengan Satu madzhab dan kemudian menolak mentah-mentah pendapat di luar madzhabnya yang jelas – jelas didukung oleh dalil-dalil yang kuat yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, di samping hal tersebut merupakan sikap yang tidak diajarkan dalam agama Islam, bertentangan dengan sunnah Rasulullah, para sahabatnya dan salafush shalih, hal tersebut juga memberikan dampak negatif yang tidak sedikit, baik bagi pelakunya maupun umat Islam secara umum.[40]
Dampak negatif bagi pelakunya – diakui atau tidak – akan menjadikan pendapat – pendapat madzhab yang dianutnya lebih diagungkan daripada Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga ia menolak kebenaran sekalipun sudah jelas hujjahnya, ia akan mementahkan dalil yang shahih karena bertentangan dengan madzhabnya, berpegang dengan argumen yang rapuh karena berpaling dari argumen yang kuat, demi kepentingan madzhabnya ia rela merubah nash yang benar, dalam rangka menjunjung madzhabnya ia pun rela memalsukan dalil dan juga bisa jadi ia akan mempermainkan dalil demi membela madzhabnya.
Bagi umat Islam secara umum tidak diragukan lagi bahwa dampak paling nampak dari sikap  fanatisme madzhab terjadinya perpecahan umat, menimbulkan api perselisihan dan permusuhan, persatuan umat terasa mustahil terwujud bila penyakit fanatik madzhab masih ada pada tubuh umat.
Syeikh Muhammad Ied al-Abbasi dalam kitab Bid’atu at-Ta’asshub al-Madzhabi beliau mengatakan : Kami tidak menentang kajian fikih madzhab pada masa sekarang, dengan syarat yaitu tanpa adanya ta’asshub (fanatisme) madzhab, karena ta’asshub madzhablah yang tidak kami sukai dan kami perangi.[41] 

VIII.  Masalah Bermadzhab
Perbedaan, pro dan kontra, selalu akan muncul dalam dinamika kehidupan manusia, tak terkecuali dalam perkara-perkara dien, dan lebih khusus lagi dalam ranah fikih yang notabene bersifat ijtihadiyah, perbedaan ini merupakan sebuah rahmat dan kemudahan dari Allah bagi umat Islam.
Tentunya hal yang tak kalah pentingnya untuk dipahami dalam masalah ini adalah sikap proporsional terhadap perbedaan yang terjadi, yaitu menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya, agar tidak terjadi kekeliruan dalam persoalan ini, berikut ini beberapa masalah yang terkait yang harus disikapi dengan proporsional :
1.  Taklid
Secara bahasa berarti menggantungkan kalung di leher. Sedangkan secara istilah berarti mengikuti pendapat orang lain tanpa tahu dalilnya[42], tidak mengetahui kekuatan dalilnya[43] atau iltizamnya seorang mukallaf terhadap suatu  pendapat dalam ranah hukum syar’i yang mana pendapat itu sendiri bukan merupakan sebuah hujjah.[44]
Ibnu Qayyim al-Jauziyah memberikan kriteria tentang jenis-jenis taklid yang diharamkan :
Berpaling dan tidak menghiraukan dari apa yang Allah turunkan karena merasa cukup dengan apa yang telah dia ikuti dari ajaran nenek moyangnya.
Taklidnya seseorang kepada orang yang tidak dia ketahui apakah orang tersebut layak diikuti atau tidak.
Taklid kepada seseorang padahal telah jelas adanya dalil yang bertentangan dengan pendapat orang yang dia ikuti. [45]
Pada dasarnya memahami Islam adalah upaya yang harus dilakukan secara terus menerus oleh setiap muslim, sebagai bentuk semangat ajaran Islam yang menyerukan untuk beramal sesuai dalil yang shahih, mengetahui landasan ilmu dalam beribadah dan beramal tidak hanya sekedar ikut-ikutan tanpa disertai pemahaman, namun perbedaan tingkatan manusia dalam suatu  ilmu merupakan sunatullah yang ada di dunia ini, mereka yang tidak memiliki perangkat-perangkat berijtihad dan tidak mampu untuk mengetahui suatu hukum syar’i beserta dalilnya maka ia harus bertaklid kepada seorang mufti (mujtahid) yang ia percaya, meskipun terdapat mufti yang lebih pandai darinya.
Dan bagi mereka yang dapat mempelajari dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ia tidak boleh baginya mengikuti begitu saja suatu pendapat tanpa menyelidiki terlebih dahulu kekuatan pendapat – pendapat tersebut jika disandingkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.[46]
2.  Talfiq
Secara umum talfiq adalah mengamalkan dua pendapat madzhab atau lebih dalam suatu amalan yang memiliki rukun-rukun atau cabang-cabang  yang lain sehingga darinya terkesan amalan baru yang tidak dipraktekkan oleh para mutahid.
Misalnya dalam hal wudhu, seseorang mengikuti madzhab Syafi’i yang cukup mengusap sebagian kepala saat berwudhu, kemudian mengikuti madzhab Abu Hanifah dan Imam Malik yang berpendapat bahwa wudhu’ tidak batal karena bersentuhan dengan wanita tanpa syahwat.[47]

IX.Sikap Terhadap Perbedaan Madzhab  dan Pendapat Ulama
1. Sikap terhadap para imam
Mereka adalah ulama pilihan dari kaum muslimin, namun mereka bukanlah orang  yang ma’sum[48] dari kesalahan. Setiap ijtihad mereka yang benar, maka mereka mendapat pahala ijtihad dan pahala dari kebenaran ijtihadnya. Adapun bila ijtihad mereka salah, mereka tetap mendapat pahala dari ijtihadnya dan mendapat udzur dari kesalahannya. Mereka mendapat pahala dalam setiap keadaan. Tidak ada bagi mereka celaan, aib, dan kekurangan karena kesalahan dalam ijtihadnya[49].
2. Sikap terhadap masalah khilafiyah
Perbedaaan pendapat (ikhtilaf) asalkan bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan metode pengambilan hukum yang benar maka itu adalah rahmat bagi umat, perbedaan yang ada merupakan sebuah kelapangan dan kelonggaran dari Allah bagi manusia, dan yang terpenting dari ikhtilaf tersebut tidak boleh melahirkan pertentangan dan pertikaian antara sesama muslim.

X.  Kesimpulan
Tidak dipungkiri bahwa perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyah (ijtihadiyah) adalah realita klasik yang sudah ada sejak generasi salaf, maka kita mesti memilih sikap yang benar sehubungan dengan adanya banyak perbedaan. Sehingga kita dapat terhindar dari taklid buta dan ta’asshub (fanatik) terhadap madzhab tertentu dan memilih pendapat yang lebih benar dan bijak.
Telah disepakati bahwa Seorang mujtahid tidak disyariatkan bertaklid kepada mujtahid lainnya dan mengambil pendapat mujtahid lain yang berbeda serta meninggalkan pendapat sendiri. Menurut mayoritas ulama, ijtihad dibolehkan bagi orang yang mampu berijtihad dan taklid dibolehkan bagi orang yang tidak mampu berijtihad. orang yang belum mencapai tingkatan mujtahid harus mengikuti seorang imam agar tidak mengeluarkan pendapat yang ganjil dalam sebuah masalah. Dianjurkan untuk mengkaji fikih dengan imam tertentu dengan syarat tidak ta’asshub (fanatik buta), karena tuntutan zaman sekarang adalah memulai belajar melalui salah satu imam madzhab kemudian menelaahnya dan setelah itu meninggalkan pendapat yang jelas kesalahannya oleh dalil. 
Adapun orang awam kewajiban baginya adalah bertanya kepada  orang yang berilmu, karena hakikat bermadzhab adalah bagi orang berilmu yang mereka mengikuti madzhab tertentu berdasarkan dengan ilmu, dan orang awam tidak mempunyai madzhab karena madzhabnya adalah madzhab orang yang memberi fatwa kepadanya. Wallahu a’lam bisshawab.

[1] Disampaikan dalam munazharah ilmiyyah  di Ma’had A’ly An-Nuur, pada hari Ahad, 13 Rabi’uts Tsani 1437 H / 24 Januari 2016 M.
[2] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh kedudukan dan cara menyikapinya, (Riyadh, Dar Khalid bin Al-Waleed for Pub. & Dist, 2004), hlm. 25-26
[3]  Ibid, hlm. 11
[4] Muhammad bin Mukarram bin Mandzur al-Ifriqi al-Misri, LIsan al-Arab, (Beirut, Dar Shadir), vol. 1 cet. 1, hlm. 394
[5] Lihat Ibrahim Musthafa, dkk,  al-Mu’jam al-Wasith vol.  1 hlm. 316 (Versi Maktabah Syamilah)
[6] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh kedudukan dan cara menyikapinya… hlm. 11
[7] Bisa dilihat dalam “ Kamus Besar Bahasa Indonesia”, oleh tim penyusun kamus besar bahasa Indonesia Depatemen Pendidikan dan Kesehatan, Penerbit Balai Pustaka edisi ketiga hlm. 726
[8] Umar Sulaiman al-Asyqar, Al-Madkhal ilaa asy-Syari’ah wa al-Fiqh al-Islami, (Oman, Dar an-Nafais, 2005 ), hlm. 205
[9] al-Mu’jam al-Wasith hlm. 317  (Versi Maktabah Syamilah)
[10] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh kedudukan dan cara menyikapinya… hlm. 13
[11] Khalid bin Musa’id, At-Tamadzhub, (Riyadh, Dar al-Tadmuriyah, 2013), Vol. 1, hlm. 87
[12] Umar Sulaiman al-Asyqar, Al-Madkhal  ilaa asy-Syariah wa al- Fiqh al-Islami…hlm. 101
[13] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh kedudukan dan cara menyikapinya… hlm. 15-16
[14] Manna’ Qaththan, Tarikh at-Tasyri al-Islami, (Beirut, Muassasatu ar-Risalah, 1997), hlm. 193
[15] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh kedudukan dan cara menyikapinya… hlm. 20
[16] Dikatakan ahlu hadits karena aliaran ini sangat besar sekali perhatiannya terhadap hadits – hadits Rasulullah dimana keputusan –keputusan hukum selalu menyertakan hadits – hadits Rasulullah tidak mengherankan karena aliran ini berpusat di Madinah yang pada waktu itu lebih dikenal dengan istilah Madrasah Hijaz
[17] Karakteristik aliran ini adalah sedikit mengunakan periwatan hadits, sebagai kompensasinya mereka banyak menggunakan ra’yu (logika) dalam menetapkan hukum, hal ini sama sekali bukan berarti mereka mengesampingkan hadits Rasul sebagai landasan hukum dan mengutamakan pendapatnya, mengingat wilayah tempat tinggal mereka (Irak) jauh dari dari pusat periwayatan hadits waktu itu (Madinah), karena itu mereka banyak menggunakan analogi (qiyas) dan mencari sebab (Illat) dari sebuah masalah, lalu menjadikan sebab tersebut sebagai perbandingan bagi penetapan hukum dalam kasus yang berbeda dengan sebab yang sama.
[18] Ibid, hlm. 23-24
[19] Ibid, hlm. 25
[20] Ibid, 32
[21] Ibid.
[22] Ibid, 34-35
[23] Ibid, hlm. 29
[24] Wahbah az- Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,(Damaskus, Dar al-Fikr, 2009), Vol. 1, hlm. 77-78
[25] Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), vol. 2, hlm.  1165
[26] Ibid hlm. 1166
[27] Ibid hlm. 1167
[28] Lihat Muhammad Sulthan al-Ma’shumi al-Khujandi al-Makki, Hal al-muslim Mulzimun bittibai’ madzhabin mua’yyinin min al- Mazahahib al-Arba’ah, (Kuwait, Jami’ah Ihya at-Turats al-Islam, tt), hlm. 7
[29] pendapat ini disarikan dari kitab yang berjudul “ alla Madzhabiyah akhtharu bidatin tuhaddidu al-Syari’ah al-Islamiyah” yang ditulis oleh DR. Said Ramadhan al-Buti, sebenarnya kitab ini beliau tulis untuk membantah penyataan al-Khujandi dalam kitabnya  “ Hal al-Muslim mulzimun bittibai’ madzhabin mua’yanin min al-mazhahib al-arba’ah ? ”  yang menyatakan bahwa pendapat al-Khujandi tersebut amat menyesatkan.
[30] Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Kairo, Mussasat al-Halabi, 1955), Vol. 5, hlm.198
[31] Khudhari Bek, Ushul al-Fiqh, (Mesir, Maktabah Tijariyyah al-Kubra, 1960), hlm. 382
[32] Mengambil sebuah pendapat, bahwa fulan berkata demikian, tanpa ilmu dan mengetahui dalil perkataannya.
[33] Soal Aqidah Jakim, Bahaya Anti Madzhab, Mohd Aizam Mas’ud, Cawangan Aqidah, Bahagian penyelidikan JAKIM, hlm. 2. makna ittiba’ adalah Mengambil pendapatnya seorang mujtahid dengan mengetahui dalilnya atau mengambil pendapat seseorang yang bukan mujtahid setelah mengetahui dalil.
[34] Ibid, hlm. 4
[35] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu…hal, 84
[36] Haji Jainal Sakiban al-Jauhari, Persoalan Madzhab, (Johor, Majlis Agama Islam Negeri Johor, 2010), hlm.  5
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh kedudukan dan cara menyikapinya… hlm. 51
[40] Ibid hlm. 59
[41] Shalah Shawi,  Ats-Tsawabit wa al-Mutagayyirat fi Masiir al-‘Amal al-Islamy, (Amerika, Akademik Syari’ah Amerika, 1430 H), hlm. 74
[42] Wahbah az-Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islami, (Damaskus: Darul Fikr, 1986), vol. 2, hlm. 1120, lihat juga Abu al-Khitab al-Kalwadhani, At-Tamhid fi Ushul al-Fiqh, (Jeddah: Dar al-Madani, 1985) vol. IV, hlm. 395, lihat juga Muhammad bin Husain bin Hasan al-Jizani, Ma’alim fi Ushul al-Fiqh, (Riyadh: Dar Ibnu al-Jauzi, 1996), hlm. 496
[43] Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Muassasah Qurtubah), hlm. 410
[44] Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz asy-Syatsari, at-Taqlid wa Ahkamuhu, (Riyadh: Dar al-Wathn, 1416 H), hlm. 29
[45] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I’ laamu al-Muawaqqi’iin, (Beirut, Daar al-Jail, tt), Vol. 4 hlm. 187
[46] Abdullah Haidir, Madzhab Fiqh kedudukan dan cara menyikapinya… hlm. 70
[47]  Wahbah az-Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islami… hlm. 95
[48] Yang disucikan dari berbuat salah
[49] Muhammad bin Husain bin Hasan al-Jizani, Ma’alim fi Ushul al-Fiqh, (Riyadh: Dar Ibnu al-Jauzi, 1996), hlm. 499


Haruskah Kita Bermazhab

By Abu Ayaz
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz Rahimahullah, ditanya : "Apa hukum mengikuti salah satu dari empat madzhab, dan bagaimana sikap kita tehadap mereka yang bermadzhab dan yang mewajibkan bermadzab, serta sejauh mana kebenaran klaim bahwa mereka mengikuti salah satu imam tersebut?".

Beliau rahimahullah menjawab:
“Empat imam mahdzab memiliki kapasitas ilmu yang berbeda. Karena tentunya tidak ada seorang pun yang menguasai semua ajaran Nabi, dan tidak ada seorang pun manusia yang menguasai keseluruhan ilmu yang ada. Sehingga mereka kadang berbeda pada beberapa hal. Namun, mereka adalah para imam besar. Mereka memiliki pengikut yang merumuskan madzhab mereka. Pengikut para imam ini mengumpulkan pembahasan-pembahasan serta fatwa-fatwa para imam. Kemudian ditulis dalam banyak kitab sehingga menyebarlah madzhab mereka dan dikenal banyak orang. Yaitu disebabkan pengikut para imam yang menuliskan dan mengumpulkan pembahasan dan fatwa dari para imam tersebut.

Sebagian diantara empat imam madzhab kadang terjerumus dalam kesalahan. Karena kadang sebagian mereka belum mengetahui hadits yang berkaitan dengan masalah tertentu. Lalu mereka berfatwa dengan ijtihad. Sehingga, dengan sebab ini, mereka memfatwakan yang salah. Sedangkan sebagian imam yang lain mengetahui hadits yang berkaitan, sehingga mereka berfatwa dengan fatwa yang benar. Hal seperti ini banyak terjadi dalam berbagai masalah yang mereka bahas, semoga Allah merahmati mereka semua.

Oleh karena itulah Imam Malik berkata:

ما منا إلا رادٌ ومردود عليه إلا صاحب هذا القبر

‘Setiap orang boleh diterima dan boleh ditolak pendapatnya, kecuali pemilik kuburan ini“, yaitu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

Namun tentang memilih salah satu pendapat madzhab, ini hanya layak dilakukan oleh orang yang serius belajar agama. Dan merekapun tetap tidak boleh taqlid terhadap salah satu madzhab. Selain itu, jika seseorang menisbahkan diri pada madzhab tertentu karena ia memandang kaidah-kaidah, landasan dan kesesuaian terhadap dalil secara umum pada madzhab ini, ini dibolehkan. Namun tetap ia tidak boleh taklid baik kepada Asy Syafi’i, atau kepada Imam  Ahmad, atau kepada Imam Malik, atau kepada Imam Abu Hanifah atau yang selain mereka. Yang wajib baginya adalah melihat sumber pendapat dan cara pendalilan dari para imam tersebut. Pendapat yang lebih kuat dalilnya dari beberapa pendapat yang ada, maka itulah yang diambil. Sedangkan dalam perkara ijma, tidak boleh ada yang memiliki pendapat lain. Karena para ulama tidak mungkin bersepakat dalam kebatilan.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ما منا إلا رادٌ ومردود عليه إلا صاحب هذا القبرلا تزال طائفة من أمتي على الحق منصورة…. الحديث

“Akan selalu ada sekelompok orang (thaifah) dari ummatku yang teguh di atas kebenaran, mereka ditolong oleh Allah”
Dan jika para ulama telah bersepakat, maka merekalah thaifah yang dimaksud”

Bagi orang yang paham agama, wajib baginya untuk memperhatikan dalil dalam masalah khilafiyah. Jika pendapat Imam Abu Hanifah didukung dalil, ini yang diambil. Jika pendapat Asy Syafi’i didukung dalil, maka ini yang diambil. Jika pendapat Imam Malik didukung dalil, ini yang diambil. Jika pendapat Imam Ahmad didukung dalil, ini yang diambil. Demikian juga, jika pendapat Imam Al Auza’i didukung dalil, ini yang diambil. Jika pendapat Ishaq bin Rahawaih didukung dalil, ini yang diambil, dan seterusnya. Wajib mengambil pendapat yang berdasarkan dalil dan wajib meninggalkan pendapat yang tidak berdasarkan atas dalil.
Karena Allah Ta’ala berfirman:

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59)

Juga firman Allah Ta’ala:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah” (QS. Asy Syuura: 10)

Kesimpulannya, wajib bagi orang yang paham agama untuk mengembalikan setiap permasalahan khilafiyah kepada dalil. Pendapat yang dalilnya paling kuatlah yang diambil.

Sedangkan orang awam, yang wajib bagi mereka adalah bertanya kepada orang yang berilmu yang ada di masanya. Yaitu orang alim yang dapat memilihkan pendapat yang menurutnya paling mendekati teladan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Orang alim tersebut juga wara’, sangat memahami ilmu agamanya, dan masyarakat pun percaya terhadap keilmuannya. Orang awam sebaiknya merujuk dan bertanya kepada mereka. Sehingga dapat dikatakan madzhab orang awam ini adalah madzhab sang ulama yang ia tanya.

Namun perlu ditekankan, orang awam sebaiknya merujuk pada ulama -baik yang ada di negerinya atau di luar negerinya- yang dikenal ketinggian kapasitas ilmunya, ia mengikuti kebenaran, ia menjaga shalat 5 waktu, ia dikenal sebagai ulama yang mengikuti sunnah Nabi, ia memanjangkan janggut, tidak isbal, bebas dari tuduhan dari ulama yang lain, dan pertanda-pertanda lainnya yang menunjukkan bahwa ia adalah orang yang istiqamah. Maka jika anda ditunjukkan kepada seorang ulama, dan dari zhahirnya nampak tanda-tanda kebaikan dan ia pun dikenal kapasitas ilmunya, silakan bertanya kepadanya tentang hal-hal yang anda belum paham dalam masalah agama. Alhamdulillah, Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertaqwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian” (QS. At Taghabun: 16)
Allah Ta’ala juga berfirman:

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepada orang yang mengetahui jika kalian tidak mengetahui” (QS. Al Anbiya: 7)

[Sampai di sini penjelasan beliau, dikutip dari  Fatawa Nurun 'Ala Ad Darb Juz 1, http://binbaz.org.sa/mat/4729]

Mengenai mayoritas orang yang menisbahkan diri kepada salah satu mahdzab di negeri kita, yaitu mahdzab Syafi’i, kami pernah menanyakan kepada Syaikh Ali Salim Bukair hafizhahullah saat berkunjung ke Indonesia, beliau adalah seorang faqih (pakar fiqih) Mazhab Syafi’i dan Anggota Majelis Syura negeri Yaman. Beliau mengatakan bahwa pada realitanya kebanyakan orang yang mengaku bermadzab Syafi’i adalah pengikut madzhab Syafi’i dalam masalah furu’, dan mereka banyak menyelisihi mahdzab Syafi’i dalam perkara ushul dan banyak mengikuti pendapat ulama Syafi’iyyah zaman belakangan yang menyelisihi qoul mu’tamad (pendapat yang dijadikan pegangang utama madzhab Syafi’i).
Wallahu’alam.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel UstadzKholid.Com

Wajibkah Kita Bermadzhab?

wajibkah-bermadzhabSegala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Seringkali kita mendengar sebagian orang mengatakan bahwa kita wajib memilih madzhab tertentu dalam beragama dan jangan sampai meninggalkannya. “Kalau memilih madzhab Syafi’i, madzhab itu saja. Jangan berpaling ke lainnya,” begitu ujar sebagian orang. Apakah benar prinsip semacam ini? Semoga tulisan kali ini bisa sebagai jawaban berharga.

Apakah Orang Awam Wajib Memilih Madzhab Tertentu Untuk Beragama?

Dalam hal ini ada dua pendapat: Salah satu pendapat yang ada mengatakan, “Tidak wajib“. Inilah pendapat yang lebih tepat. Yang namanya kewajiban adalah jika diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya sama sekali tidak mewajibkan kepada seseorang untuk mengikuti salah satu madzhab tertentu untuk diikuti agamanya, namun yang diwajibkan adalah mengikuti petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah. Dan telah berlalu beberapa generasi, namun mereka sama sekali tidak berpegang dengan satu madzhab tertentu.[1]
Intinya, mewajibkan mengikuti salah satu madzhab tertentu tidaklah dibolehkan. Inilah hukum asalnya.

Namun perlu diperhatikan bahwa pendapat di atas tidak berlaku secara mutlak. Sebenarnya tetap diperbolehkan mengikuti madzhab tertentu namun hanya berlaku pada keadaan tertentu saja. Keadaan-keadaan yang dibolehkan tersebut adalah:

Mempelajari madzhab tertentu hanya sebagai wasilah (perantara) saja dan bukan tujuan. Jika seseorang tidak mampu belajar agama kecuali dengan mengikuti madzhab tertentu, maka dalam keadaan seperti ini dibolehkan.

Jika ia mengikuti madzhab tertentu untuk menghilangkan mafsadat (kerusakan) lebih besar, yang ini bisa dihilangkan bila ia mengikuti madzhab tertentu, maka ini dibolehkan.[2]

Jadi sebenarnya mengikuti madzhab tertentu harus melihat pada maslahat dan mafsadat. Jika mengikuti madzhab tertentu membuat seseorang mendapatkan maslahat besar, maka pada saat ini boleh bermadzhab.
Namun ada beberapa rambu yang harus diperhatikan ketika belajar pada madzhab tertentu.

Rambu-Rambu dalam Bermadzhab

Rambu pertama: Harus diyakini bahwa madzhab tersebut bukan dijadikan sarana kawan dan musuh sehingga bisa memecah belah persatuan kaum muslimin. Jadi tidak boleh seseorang berprinsip jika orang lain tidak mengikuti madzhab ini, maka ia musuh kami dan jika semadzhab, maka ia adalah kawan kami.

Sifat dari pengikut hawa nafsu (ahlu bid’ah) berprinsip bahwa satu person dijadikan sebagai tolak ukur teman dan lawan. Sedangkan Ahlus Sunnah berprinsip bahwa yang dijadikan standar wala’ dan baro’ (kawan dan lawan) hanya dengan mengikuti Al Quran dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ijma’ (konsensus) para ulama kaum muslimin.

Rambu kedua: Tidak boleh seseorang meyakini bahwa setiap muslim wajib mengikuti imam tertentu dan tidak boleh mengikuti imam lainnya. Jika ada yang meyakini demikian, dialah orang yang jahil. Namun orang awam boleh baginya mengikuti orang tertentu, akan tetapi tidak ditentukan bahwa yang diikuti mesti Muhammad, ‘Amr atau yang lainnya.

Rambu ketiga: Imam yang diikuti madzhabnya tersebut harus diyakini bahwa ia hanya diaati karena ia menyampaikan maksud dari agama dan syari’at Allah. Sedangkan yang mutlak ditaati adalah Allah dan Rasul-Nya. Maka tidak boleh seseorang mengambil pendapat imam tersebut karena itu adalah pendapat imamnya. Akan tetapi yang harus jadi prinsipnya adalah dia mengambil pendapat imam tersebut karena itu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Rambu keempat: Menjaga diri agar tidak terjatuh pada hal-hal yang terlarang sebagaimana yang dialami para pengikut madzhab di antaranya:

Fanatik buta dan memecah persatuan kaum muslimin.

Berpaling dari Al Qur’an dan As Sunnah karena yang diagungkan adalah perkataan imam madzhab.

Membela madzhab secara overdosis bahkan sampai
menggunakan hadits-hadits dhoif agar orang lain mengikuti madzhabnya.

Mendudukkan imam madzhab sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]

Ibnu Taimiyah mengatakan,

أَمَّا وُجُوبُ اتِّبَاعِ الْقَائِلِ فِي كُلِّ مَا يَقُولُهُ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ دَلِيلٍ يَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ مَا يَقُولُ فَلَيْسَ بِصَحِيحِ ؛ بَلْ هَذِهِ الْمَرْتَبَةُ هِيَ ” مَرْتَبَةُ الرَّسُولِ ” الَّتِي لَا تَصْلُحُ إلَّا لَهُ

“Adapun menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang dalam setiap perkataannya tanpa menyebutkan dalil mengenai benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak tepat. Menyikapi seseorang seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul semata yang selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.”[4]

Dasar dari perkataan di atas adalah firman Allah Ta’ala,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An Nisa’: 65)

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا

“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 64)

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” (QS. Al Ahzab: 36)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An Nisa’: 69)

Prinsip Yang Benar: Ikutilah Al Quran dan As Sunnah

Prinsip yang benar adalah mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah. Selama perkataan imam madzhab sejalan dengan keduanya, maka barulah perkataan mereka layak diambil. Sedangkan memaksakan seseorang untuk bermadzhab dengan pendapat salah seorang di antara mereka, ini adalah menetapkan perintah tanpa adanya dalil.

Allah Ta’ala berfirman,

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al A’rof: 3)

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir“.  (QS. Ali Imron: 32)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” (QS. An Nisa’: 59)

Hal ini juga dapat dilihat dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu seolah-olah inilah nasehat terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu ‘anhum,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)

Salah seorang khulafa’ur rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ

“Aku tidaklah biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang.” (Lihat Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa atsar ini shohih)

Ibnu Baththoh dalam Al Ibanah, 1/246, mengomentari perkataan Abu Bakar di atas, beliau rahimahullah mengatakan, “Inilah, wahai saudaraku! Orang yang paling shiddiq (paling jujur) seperti ini saja masih merasa takut dirinya akan menyimpang jika dia menyelisihi sedikit saja dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana lagi dengan orang yang mengejek Nabi dan perintahnya (ajarannya), membanggakan diri dengan menyelisihinya, mencemooh petunjuknya (ajarannya). -Kita memohon kepada Allah agar terjaga dari kesalahan dan agar terselamatkan dari amal yang jelek-

Perkataan Berharga dari Imam Madzhab

Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf berkata,

لاَ يَحِلُّ لأَِحَدٍ أَنْ يَقُوْلَ بِقَوْلِنَا حَتَّى يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قُلْنَاهُ

“Tidak HALAL bagi seorang pun mengambil perkataan kami sampai ia mengetahui dari mana kami mengambil perkataan tersebut (artinya sampai diketahui dalil yang jelas dari Al Quran dan Hadits Nabawi, pen).”[5]

Imam Malik berkata,

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أُخْطِىءُ وَأُصِيْبُ فَانْظُرُوا فِي قَوْلِي فَكُلُّ مَا وَافَقَ الكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَخُذُوْا بِهِ وَمَا لَمْ يُوَافِقْ االكِتَابَ وَالسُّنَّةّ فَاتْرُكُوْهُ

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, jika itu mencocoki Al Qur’an dan Hadits Nabawi, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak mencocoki Al Qur’an dan Hadits Nabawi, maka tinggalkanlah.[6]

Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i berkata,

إِذَا صَحَّ الحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي

“Jika hadits itu shahih, itulah pendapatku.”[7]

Imam Asy Syafi’i berkata,

إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي

“Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.”[8]

Imam Ahmad berkata,

مَنْ رَدَّ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ

“Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berarti telah berada dalam jurang kebinasaan.”[9]

Hanya Allah yang beri taufik.

Diselesaikan di Panggang, GK, 18 Rabi’uts Tsani 1431 H (02/04/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

[1] Lihat I’lamul Muwaqi’in, 4/261-262
[2] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 11/514 dan 20/209
[3] Pembahasan ini dan point sebelumnya kami ambil faedah dari pembahasan kitab Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 501-503
[4] Majmu’ Al Fatawa, 35/121, Darul Wafa’
[5] I’lamul Muwaqi’in, 2/211, Darul Jail
[6] I’lamul Muwaqi’in, 1/75
[7] Dinukil dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/39, 41
[8] Majmu’ Al Fatawa, 20/211, Darul Wafa’
[9] Ibnul Jauzi dalam Manaqib, hal. 182. Dinukil dari sifat Shalat Nabi hal. 53

Apakah Seorang Muslim Harus Mengikuti Madzhab Tertentu (oleh Abu Al-Jauzaa')?
Apakah Imam Madzhab Itu Lebih Tahu Seluruh Hadits Daripada Ulama Setelahnya? Akidah Imam Yang Empat Itu Adalah Satu… Yaitu Akidah Yang Benar..!
Diantara Dusta Syi’ah Atas Nama Al-Imam Al-Bukhariy
Hakikat Yang Terlupakan Dari Imam Asy-Syafi'i Dan Kesamaan Aqidah Imam Empat
Kesepakatan Umat (Ulama) Kitab Shahih Al-Bukhari Dan Muslim, Kitab Yang Paling Shahih Setelah Al-Qur’an,Kecuali Golongan Syi’ah/Taqiyaher/Kamuflaser Yang Tidak Mengakui Keberadaan Keduanya.
Kedudukan Shahih Bukhari Muslim [ bagian I ]
Kalau logikanya seperti itu, tentu para sahabat yang lebih banyak menguasai hadits-hadits,. tapi nyatanya,. hadits-hadits itu diriwayatkan dari banyak sahabat, bukan satu sahabat saja, dan haditsnya berbeda-beda,.
[ Jawaban Dungu Web Syiah ] Kenapa Imam Mazhab Tidak Pakai Hadits Bukhari dan Muslim?
Rujuk Kepada Petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Korelasi Antara Bermadzhab Dengan Ta’ashub.
Sebagian ‘Aqidah Para Imam Ahli Hadits

Ahlul Hadits “Ahlul Madzhab”
Guru-Guru Terpenting Al-Imam Al-Bukhariy
Hukum Bermadzhab Dalam Islam
Imam Al-Bukhari Imamnya Muhaditsin
[Amirul mukminin dalam bidang hadits]
Kata Imam Syafi’i, Tinggalkan Pendapatku Jika Menyelisihi Hadits
[Lihat 50 Tanggapan pada sumber, sampai Januari 19, 2017 at 2:06 am, si admin sampai gelagapan membantah tulisan tersebut]
Mazhab Salafy adalah Mazhab yang Paling Benar dan Baik dalam Islam
Mengapa Imam Al-Bukhari Menulis Kitab Shahihnya? Mengenal Sisi Lain Shahih Al-Bukhari
Mengenal Shahih Bukhari Dan Shahih Muslim