Oleh:
Ustadz Abu Ahmad as Salafi hafizhahullah
Kitab al
Hikam yang ditulis oleh Ibnu Atho’illah as Sakandari adalah kitab yang sangat
popular di dunia dan juga di Indonesia. Kitab ini banyak dikaji di
pondok-pondok pesantren dan bahkan di dalam siaran-siaran radio di banyak kota
di Indonesia.
Kitab
yang populer ini ternyata di dalamnya terdapat banyak sekali penyelewengan
terhadap syari’at Islam. Karena itulah, insya Allah dalam pembahasan kali ini
akan kami jelaskan kesesatan-kesesatan kitab ini sebagai nasihat keagamaan bagi
saudara-saudara kami kaum muslimin dan sekaligus sebagai jawaban kami atas
permintaan sebagian pembaca yang menanyakan isi kitab ini. Sebagai catatan,
cetakan kitab yang kami jadikan acuan dalam pembahasan ini adalah cetakan
Penerbit Balai Buku Surabaya.
Penulis
Kitab Ini
Penulisnya
adalah Abul Fadhl Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Atho’ullah as
Sakandari.
Aqidah
Wihdatul Wujud
Penulis
berkata di dalam hikmah nomor 18-21:
“Bagaimana
akan mungkin dihijab oleh sesuatu, padahal Dia yang terlihat di dalam segala
sesuatu? Bagaimana akan dapat ditutupi oleh sesuatu, padahal Dia yang terlihat
di dalam segala sesuatu? Bagaimana akan dapat di bayangkan bahwa Allah dapat di
hijab oleh sesuatu, padahal Allah yang dzhohir sebelum adanya sesuatu?
Bagaimana akan mungkin dihijab oleh sesuatu, padahal Dia lebih nampak daripada
segala sesuatu? Bagaimana mungkin akan dihijab oleh segala sesuatu, padahal Dia
lah Yang Esa (tunggal) yang tidak ada bersamanya segala sesuatu?
Penulis
juga berkata dalam hikmah nomor 46:
“Telah
ada Allah, dan tiada sesuatu pun bersama-Nya, dan Dia kini sebagaimana ada-Nya
semula.”
Kami
katakan:
Ini
adalah aqidah wihdatul wujud yang batil dan kufur. Aqidah tersebut merupakan
kelanjutan daru pemikiran hulul. Pemikiran hulul dicetuskan pertama kali oleh
Husain bin Manshur al Hallaj, ialah pemikiran kelompok Sufi yang menetapkan
bahwa Allah menjelma pada segala sesuatu.
Menurut
keyakinan wihdatul wujud tidak ada sesuatu pun kecuali Allah, segala sesuatu
yang ada adalah penjelmaan Allah, tidak ada pemisahan antara al Kholiq dan
makhluk. Keyakinan ini berasal dari pemikiran Hindu, Buddha, dan Majusi,
sedangkan Islam berlepas diri dari keyakinan sesat ini.
Para
pencetus pemikiran ini terbagi menjadi dua kelompok:
Kelompok
yang memandang bahwasanya Allah azza wa jalla adalah roh dan bahwasanya alam
adalah jisim (jasad) dari roh tersebut. Jika seorang manusia telah menyucikan
dirinya maka dia akan bersatu dengan roh yaitu Allah.
Kelompok
yang lain beranggapan bahwa seluruh yang ada di alam semesta tidak ada hakikat
bagi wujudnya kecuali wujud Allah.[1] Mereka berkata,”Selama Allah adalah
hakikatnya wujud alam yang nampak ini maka semua keyakinan yang ada adalah haq,
berarti semua agama kembali kepada satu aqidah, yaitu bahwa semua agama adalah
sama dan semua agama adalah benar!”
Para
ulama kaum muslimin sepakat tentang kufurnya kelompok Sufi yang menganut
keyakinan wihdatul wujud dan hulul. Demikian juga mereka (para ulama) mengkafirkan
orang yang tidak mengkafirkan pemikiran-pemikiran ini. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata, “Kekufuran mereka ini lebih besar daripada
kekufuran orang-orang Yahudi, Nasrani dan Musyrikin Arab.” [2]
Berdo’a
Kepada Allah Berarti Menuduh Allah
Penulis
berkata di dalam hikmah nomor 29:
“Permintaanmu
dari Allah adalah menuduh Allah (khawatir tidak memberi kepadamu), dan
permintaanmu untuk-Nya adalah ketidakhadiran-Nya darimu.”
Kami
katakan:
Bagaimana
dikatakan bahwa meminta kepada Allah adalah hal yang tercela, padahal Allah
telah memerintahkan kepada para hamba-Nya untuk meminta kepada-Nya (yang
artinya):
“Rabbmu
berfirman : ‘Berdo’alah kepada-Ku pasti Aku kabulkan untuk kalian. Sesungguhnya
orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku akan masuk neraka
Jahannam dalam keadaan hina-dina.” [QS.Ghofir/40:60]
Bahkan
Allah akan murka kepada orang-orang yang tidak mau meminta kepada-Nya
sebagaimana di dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa
yang tidak meminta kepada Allah ta’ala maka Allah murka kepadanya.” [HR.at
Tirmidzi dalam Jami’ nya:5/456, dishohihkan oleh Syaikh al Albani dalam
Shohihul Jami’:2418]
Seorang
penyair berkata:
“Allah
murka jika engkau tidak minta kepada-Nya, sedangkan manusia ketika diminta maka
dia marah.” [3]
Maka
meminta kepada Allah adalah salah satu ibadah yang mulia sebagaimana dalam
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Do’a itu ibadah.” [HR.at
Tirmidzi dalam Jami’-nya: 5/211 dan ia mengatakan bahwa hadits ini hasan shohib.
Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shohihul Jami’:3407)
Bolehkah
Berdalil Atas Adanya Allah Dengan Adanya Alam Semesta?
Penulis
berkata di dalam hikmah nomor 29:
Jauh
berbeda antara orang yang berdalil bahwa adanya Allah menunjukkan adanya alam,
dengan orang yang berdalil bahwa adanya alam inilah yang menunjukkan adanya
Allah.
Orang
yang berdalil bahwa adanya Allah menunjukkan adanya alam adalah orang yang
mengenal haq dan meletakkan pada tempatnya, sehingga menetapkan adanya sesuatu
dari asal mulanya. Sedang orang yang berdalil bahwa adanya alam menunjukkan
adanya Allah, karena ia tidak sampai kepada Allah. Maka bilakah Allah itu ghaib
sehingga memerlukan dalil untuk mengetahuinya? Dan bilakah Allah itu jauh
sehingga adanya alam itu dapat menyampaikan kepadanya?
Kami
katakan:
Allah
telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk memikirkan ciptaan-ciptaan-Nya
dan kemudian untuk beribadah semata-mata kepada-Nya. Allah azza wa jalla
berfirman (yang artinya):
“Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan.
Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan janganlah (pula kamu bersujud)
kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu
benar-benar hanya kepada-Nya beribadah.” [QS.Fushshilat/41:37]
Dan
Allah azza wa jalla berfirman (yang artinya):
“Wahai
manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang
sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Tuhan) yang telah menjadikan untukmu bumi
sebagai hamparan dan langit sebagai atap, serta menurunkan air (hujan) dari
langit, lalu dengan air itu Dia menghasilkan segala buah-buahan sebagai rezeki
untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah,
padahal kamu mengetahui.” [QS.al Baqarah/221-22]
Al
Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Hanya Pencipta segala sesuatu yang
ada inilah yang berhak disembah dengan segala macam ibadah.” [4]
Ber-istidlal
(berdalil) dengan adanya alam untuk menunjukkan keberadaan Allah adalah manhaj
(metode) para imam Ahli Sunnah wal Jama’ah:
Al Imam
Malik rahimahullah ditanya oleh Harun ar Rosyid tentang dalil atas wujudnya
Allah maka beliau berdalil dengan perbedaan bahasa, suara dan nada.
Al Imam
Abu Hanifah rahimahullah ketika ditanya oleh orang-orang zindiq tentang
keberadaan Allah maka beliau berdalil tentang alam semesta yang sangat teratur
yang tidak mungkin kecuali ada penciptanya.
Al Imam
asy Syafi’i rahimahullah tatkala ditanya tentang dalil atas keberadaan Allah
maka beliau berdalil dengan sebuah daun yang jika dimakan oleh ulat sutera maka
akan mengeluarkan sutera, dan jika dimakan oleh lebah maka akan mengeluarkan
madu, dan jika dimakan oleh kambing dan sapi maka akan mengeluarkan kotoran,
dan jika dimakan oleh kijang misik maka akan mengeluarkan minyak misik, ini
menunjukkan atas keagungan Pencipta.
Al Imam
Ahmad rahimahullah keika ditanya tentang keberadaan Allah maka beliau berdalil
dengan sebuah telur yang mati yang keluar darinya makhluk yang hidup. [5]
Ilmu
Kasyaf
Penulis
berkata dalam hikmah nomor 162-164
“Tempat
terbitnya berbagai nur cahaya Ilahi itu dalam hati manusia dan
rahasia-rahasianya. Nur cahaya yang tersimpan dalam hati itu datangnya dari nur
yang datang langsung dari pembendaharaan yang ghaib.”
Kami
katakan:
Inilah
yang disebut sebagai Ilmu Kasyaf yang digambarkan oleh Ibnu ‘Arabi dengan
perkataannya: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna di sisi kami dalam
maqom ilmu sehingga ilmunya di ambil langsung dari Allah azza wa jalla…maka
bukanlah ilmu melainkan yang berasa dari kasyaf dan syuhud.” [6]
Kaum
sufi menyandarkan ajaran agama mereka kepada hawa nafsu mereka yang mereka
namakan dengan kasyaf dan ilham. Mereka benar-benar menjauhi ilmu yang diambil
dari para ulama Sunnah. Abu Yazid al Busthomi berkata kepada para ulama zamannya:
“Kalian mengambil ilmu dari para ulama tulisan dari yang sudah mati dari yang
sudah mati, sedangkan kami mengambil ilmu dari Dzat Yang Mahahidup yang tidak
akan pernah mati, kami katakan: “Telah mengabarkan kepadaku hatiku dari
Tuhanku!” [7]
Perkataan
para dedengkot Sufi di atas menunjukkan betapa amat jahilnya mereka akan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan manhaj yang haq. Perkataan mereka
ini mengandung ajakan kepada kaum muslimin agar meninggalkan semua kitab-kitab
hadits yang mengandung sanad-sanad yang tsabit (terpercaya) dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam karena para pemilik riwayat-riwayat ini sudah
meninggal dunia, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri juga
sudah meninggal dunia. Perkataan mereka ini sangat membahayakan Islam dan kaum
muslimin meskipun tampak seolah-olah perkataan yang tidak berarti.
Beramal
Tanpa Mengharap Pahala
Penulis
berkata di dalam hikmah nomor 255:
“Bukanlah
seorang yang mencintai itu yang meminta apa-apa dari yang dicintai, melainkan
seorang yang cinta kasih itu sesungguhnya ialah yang berkorban untukmu, bukan
yang engkau beri apa-apa kepadanya.”
Penulis
juga berkaa di dalam hikmah nomor 265:
“Bagaimana
engkau akan meminta upah terhadap sutu amal yang Allah sendiri menyedekahkan
kepadamu amal itu, atau bagaimanakah engkau minta balasan atas suatu
keikhlasan padahal Allah sendiri yang memberi hidayah keikhlasan itu kepadamu?
Kami
katakan:
Demikianlah
kaum Sufi melandaskan ibadah hanya pada mahabbah (kecintaan) dan mengabaikan segi
yang lainnya seperti khouf dan roja’, sebagaimana perkataan sebagian mereka:
“Aku menyembah Allah bukan karena mengharap surga dan takut kepada neraka.”
Tidak
syak lagi bahwasanya kecintaan kepada Allah adalah landasan ibadah. Hanya,
ibadah tidak lah terbatas pada mahabbah saja. Masih banyak segi-segi lain
ibadah seperti khouf, roja’, khudhu’, do’a dan lain-lain. Sebagaimana dikatakan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Ibadah adalah nama yang meliputi semua
yang dicintai dan diridhoi oleh Allah dari perkataan dan perbuatan yang tampak
dan tidak tampak.”
Allah
menyifati para nabi dan rosul-Nya bahwasanya mereka beribadah kepada Allah dan
bahwasanya mereka selalu mengharap rahmat Allah dan takut kepada Allah (yang
artinya):
“….Mereka
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya.” [QS.al Isra’/17:57]
Dan
diantara do’a yang sering diucapkan oleh penghulu anak Adam Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah:
“Ya
Allah, aku meminta kepada-Mu surga serta (dari) perkataan dan perbuatan yang
mendekatkan kepadanya, dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka serta (dari)
perkataan dan perbuatan yang mendekatkan kepadanya.” [Diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dalam Sunan-Nya: 2/1264 dan dishohihkan oleh Syaikh al Albani dalam
Shohih Sunan Ibnu Majah]
Penutup
Inilah
yang bisa kami paparkan dengan ringkas kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam
kitab al Hikam. Sebetulnya masih banyak kesalahan lain kitab ini yang perlu
dijelaskan tetapi insya Allah yang telah kami paparkan sudah bisa memberikan
peringatan kepada kita tentang hakikat kitab ini.
Semoga
Allah selalu menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan nasihat dan
mengikutinya. Aamiin. Wallahu A’lam bishshowab.
Note:
[1]
Shufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan hal.206-207
[2]
Majmu’ Fatawa: 2/296
[3] Ibid
[4]
Tafsir al Qur’an al-‘Azhim: 1/76
[5]
Tafsir Ibnu Katsir: 1/77-78
[6]
Thobaqoh Sya’roni: 1/5
[7] Ibid
Sumber:
Diketik ulang dari Majalah al Furqon Edisi 10 Thn.XIII, Jumadil Ula 1430/Mei
2009, Hal.40-43
Dipublikasikan
kembali oleh : Al Qiyamah –
Moslem Weblog
reposting
:
abangdani.wordpress.com
aslibumiayu.net
35
Comments
surya
yunan
OCTOBER
10, 2014 AT 2:51 AM
Syekh
Ibnu Athaillah
Syeikh
Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari (w. 1309 M) hidup di Mesir di masa kekuasaan
Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), lalu pindah ke
Kairo. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fikih mazhab
Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid Al-Azhar. Di
waktu yang sama dia juga dikenal luas dibidang tasawuf sebagai seorang “master”
(syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.
Ibn
‘Athaillah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah
dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan
ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab
al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa
kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh
Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.
Beberapa
kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan
at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism
al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn
Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam
satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi
dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek
sufisme. Sementara ibn ‘Athaillah dan para pengikutnya melihat tidak semua
jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibn
‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan
bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi
orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia
dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili
setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu Al Abbas
Al Mursi. Dan Ibn ‘Athillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran,
pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat syadziliah
tetap terpelihara.
Meski ia
tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh
intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku ibn Athaillah
dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab
dan tarikat, terutama kitab Al Hikam yang melegenda ini.
Pengarang
kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu
al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami
al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal
dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin
Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah
merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya
tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum,
namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan
menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan
sekitar tahun 658 sampai 679 H.
Ayahnya
termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah
al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful
Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu
al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian
telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya,
lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.
Keluarga
Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari
jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin
remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih
Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang
salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi
oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab,
tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin
Oleh
karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang
faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt
sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan
tidak menyukainya.
Ibnu
Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah
seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari
kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan:
“Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke
sini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan:
“Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga
gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung
lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka
aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ”
Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak
musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim
fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”. Pada akhirnya
Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga
perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh
dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup
Atho’illah menjadi tiga masa:
Masa
pertama
Masa ini
dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti
tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di
Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya
yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih,
dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang
mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”.
Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka
(ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat
menentangnya”.
Masa
kedua
Masa ini
merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati
ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas
al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa
ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia
jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya
ini.
Ada
cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn
Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam
hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar
kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna
akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi
sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan
benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini
menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.
Lalu aku
datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang
masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini
jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini
mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah
menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”.
Maka
demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin
tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya
dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke
dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan
meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan
keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.
Dalam
hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam
hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku
mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan :
“Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah
pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya
tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya
aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku
memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita.
Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi
garis tanganmu akan sampai padamu juga”.
Setelah
bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau
berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali
tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia
sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu
aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah
Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku
baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang
diberikan oleh Allah”.
Masa
ketiga
Masa ini
dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir
dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini
adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan
ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah
pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan
cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari
perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman
dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan
suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah
dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.
Menurut
Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya,
setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya
seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya
matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang
banyak penghuninya. Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi
tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas
ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah
ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu
Hajar berkata: “Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang
menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan
riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran
kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”. Hal senada
diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh,
berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali.
Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan
perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat
mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau
mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf,
seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab
“Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.
Karya.
Sebagai
seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22
kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai
khitobah.
Kitabnya
yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh dunia Islam
ialah kitabnya yang bernama Hikam, yang telah diberikan komentar oleh beberapa
orang ulama di kemudian hari dan yang juga telah diterjemahkan ke dalam
beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia.
Kitab
ini dikenali juga dengan nama al-Hikam al-ata’iyyah untuk membezakannya
daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam.
Karomah
Ibn Athoillah
Al-Munawi
dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam
ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang
artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar
suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak
ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu
Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal
kelak.
Di
antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid
beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang
thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan
Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi
haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya
menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru.
Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?”
lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan
tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi
dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti
menjawabnya”.
Pandangan
tentang Maqam Sufi
Dalam
pandangan tasawuf secara umum, konsep maqām dan hāl adalah dua konsep yang
sangat berhubungan dengan salik (pejalan sufi).
Maqām
adalah tahapan-tahapan thariqah yang harus dilalui oleh seorang salik, yang
membuahkan keadaan tertentu yang merasuk dalam diri salik. Semisal maqām
taubat; seorang salik dikatakan telah mencapai maqām ini ketika dia telah
bermujahadah dengan penuh kesungguhan untuk menjauhi segala bentuk maksiat dan
nafsu syahwati. Dengan demikian, maqām adalah suatu keadaan tertentu yang ada
pada diri salik yang didapatnya melalui proses usaha riyadhah (melatih hawa
nafsu).
Sedangkan
yang dimaksud dengan hāl − sebagaimana diungkapkan oleh al-Qusyairi − adalah
suatu keadaan yang dianugerahkan kepada seorang sālik tanpa melalui proses
usaha riyadhah.
Namun,
dalam konsep maqām ini Ibn Atha’illah memiliki pemikiran yang berbeda, dia
memandang bahwa suatu maqām dicapai bukan karena adanya usaha dari seorang
salik, melainkan semata anugerah Allah swt. Karena jika maqām dicapai karena
usaha salik sendiri, sama halnya dengan menisbatkan bahwa salik memiliki
kemampuan untuk mencapai suatu maqām atas kehendak dan kemampuan dirinya
sendiri.
Pun jika
demikian, maka hal ini bertentangan dengan konsep fana’ iradah, yaitu bahwa
manusia sama sekali tidak memiliki kehendak, dan juga bertentangan dengan
keimanan kita bahwa Allah yang menciptakan semua perbuatan manusia. Dengan
demikian, bagi seorang salik untuk mencapai suatu maqām hendaknya salik
menghilangkan segala kehendak dan angan-angannya (isqath al-iradah wa
al-tadbir).
Mengenai
maqām, Ibn Atha’illah membaginya tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan;
1. Maqam
taubat
2. Maqam
zuhud
3. Maqam
shabar
4. Maqam
syukur
5. Maqam
khauf
6. Maqam
raja’
7. Maqam
ridha
8. Maqam
tawakkal
9. Maqam
mahabbah
Maqam
Taubat
Taubat
adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum mencapai maqam
ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam lainnya. Karena sebuah
tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal yang benar.
Cara
taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan
berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang salik
melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia
mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya
dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya
berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat
kepada-Nya.
Untuk
mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan mempercayai bahwa
irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk
ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas
kehendak-Nya.
Sedangkan
hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaik sangka (husn
adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah perbuatan
dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu sangatlah besar sehingga
menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.
Maqam
Zuhud
Dalam
pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam; Zuhd Ẓahir Jalī seperti zuhd dari
perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara ḥalal, seperti: makanan, pakaian, dan
hal lain yang tergolong dalam perhiasan duniawi. Dan Zuhd Bāţin Khafī seperti
zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai
hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.
Hal yang
dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang
sālik benar-benar merenungkan dunia ini, maka dia akan mendapati dunia hanya
sebagai tempat bagi yang selain Allah, dia akan mendapatinya hanya berisikan
kesedihan dan kekeruhan. Jikalau sudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap
dunia. Dia tidak akan terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Maqām
zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat rasa cinta
kepada dunia, dan rasa ḥasud kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi.
Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan
bagimu jika engkau ḥasud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia. Namun,
jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada
mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan
dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa
yang tidak engkau dapatkan”.
Inti
dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan
dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang
tidak didapat.
Seorang
salik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama sekali tidak memiliki
apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua; yaitu saat kenikmatan dunia
tidak ada dan saat kenikmatan dunia itu ada. Ini dimaksudkan bahwa jika
kenikmatan dunia itu didapat oleh sālik, maka dia akan menghargainya dengan
bershukur dan memanfaatkan nikmat tersebut hanya karena Allah. Sebaliknya, jika
nikmat sirna dari dirinya, maka dia merasa nyaman, tenang dan tidak sedih.
Maqam
Sabar
Ibn
‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara haram, sabar
terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan
usaha.
Sabar
terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sedangkan sabar terhadap
kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada
Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan
melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut salik untuk
meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.
“Sabar
atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban
adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban
ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas salik untuk meniadakan segala
angan-angannya bersama Allah”.
Sabar
bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha salik sendiri. Namun, sabar
adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salik dan orang-orang yang
dipilih-Nya.
Maqam
sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan
ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan
usaha.
Maqam
Syukur
Shukur
dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam; pertama shukur dengan
lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat.
Kedua, shukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam
bentuk ketaatan. Ketiga, shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya
Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia
semata-mata dari-Nya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah:
“Dalam
shukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat tiga bagian; shukur lisan yaitu
memberitakan kenikmatan (pada orang lain), shukur badan adalah beramal dengan
ketaatan kepada Allah, dan shukur hati adalah mengakui bahwa Allah semata Sang
Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari seseorang adalah semata-mata
dari Allah.”
Ibn
‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk shukur orang yang berilmu adalah
dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk kepada
manusia lainnya. Sedangkan bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan
adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bentuk
shukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan
memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam
kekuasaannya.
Lebih
lanjut Ibn ‘Aţā’illah memaparkan bahwa shukur juga terbagi menjadi 2 bagian;
shukur ẓāhir dan shukur bāţin. Shukur ẓāhir adalah melaksanakan perintah Allah
dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan shukur bāţin adalah mengakui dan
meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah semata.
Manfaat
dari shukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi
langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika seorang
salik tidak menshukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima
sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jika dia menshukurinya, maka rasa shukurnya
akan menjadi pengikat kenikmatan tersebut.
Allah
berfirman: لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ
(Jika
kalian bershukur [atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah [kenikmatan itu]).1
Jika
seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya,
maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah
yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Ata’illah.
Lebih
lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu bershukur
kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak
terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi
Nikmat.
Meskipun
pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, shukur kepada
makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Dia harus bershukur terhadap apa
yang telah diberikan orang lain kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan
shari‘at, seraya mengakui dan meyakini dalam hati bahwa segala bentuk
kenikmatan tersebut adalah dari Allah.
Pengejawantahan
shukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan
keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada
manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk.
Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat
kepada Allah. Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan
berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan
menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah
yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan shukur.
Maqam
khauf
Seorang
salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasa takut atas sirnanya
ḥal dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah memiliki kepastian hukum dan
kehendak yang tidak dapat dicegah. Ketika Allah berkehendak untuk mencabut
suatu maqām dan ḥal yang ada pada diri salik, seketika itu juga Allah akan
mencabutnya.
“Bukti
dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia
memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia tak akan terputus
maqām khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum
kepastian dan kehendak Allah terwujud.”
Khauf
seorang sālik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf pasti diiringi dengan
rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalah pembangkit dari rajā’. Maqām
khauf adalah maqām yang membangkitkan maqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika
khauf tidak ada.
Ibn
‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu rajā’
maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allah kepadanya berupa anugerah
maqām, ḥal dan berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika dia ingin agar terbuka
baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat apa yang dia berikan kepada-Nya
berupa peribadatan dan ketaatan penuh pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn
‘Atā’illah:
”Jika
engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, maka lihatlah segala
sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin agar Allah
membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau berikan
kepada-Nya.”
Rajā’
bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika rajā’
hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah
angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib bagi seorang sālik untuk
menyertakan rajā’nya dengan amal kepatuhan, dan peribadatan yang dapat
mendekatkan dirinya kepada Allah secara kontinu.
Jika
rajā’ sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan semakin menguatkan khauf
yang ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pasti akan disertai dengan rasa
takut akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan
rajā’, dan rajā’ akan menjadi penguat khauf.
Maqam
Ridha dan Tawakkal
Riḍa
dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah adalah penerimaan secara total terhadap
ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Mā’idah ayat 119:
(Allah
riḍa terhadap mereka, dan mereka riḍa kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah
SAW.:
(Orang
yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang riḍa kepada Allah).
Maqam riḍa
bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi riḍa adalah
anugerah yang diberikan Allah.
Jika
maqam riḍa sudah ada dalam diri sālik, maka sudah pasti maqām tawakkal juga
akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqām riḍa dan
maqām tawakkal. Orang yang riḍa terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia
akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan
berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik
bagi dirinya.
Maqām
tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu ada
dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Hūd ayat 123:
(…kepada-Nya
lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah
kepada-Nya).
Sebagaimana
maqām-maqām lainnya, maqām riḍa dan tawakkal tidak akan benar jika tanpa
menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakan bahwa angan-angan itu
bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah berpasrah kepada Allah,
dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya
atas segala urusannya, dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala
bentuk angan-angan.
“Perencanaan
(tadbīr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang
bertawakkal kepada Allah adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya
kepada-Nya, dan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya. Barangsiapa
telah menetapi semua hal tersebut, maka tiada lagi perencanaan baginya, dan dia
berpasrah terhadap perjalanan takdir. Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga
terkait dengan maqām tawakkal dan riḍa, hal ini jelas, karena seorang yang riḍa
maka cukup baginya perencanaan Allah atasnya. Maka bagaimana mungkin dia
menjadi perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan
perencanan-Nya. Apakah engkau tidak tahu bahwa cahaya riḍa telah membasuh hati
dengan curahan perencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang riḍa terhadap Allah
telah dianugrahkan baginya cahaya riḍa atas keputusan-Nya, maka tiada lagi
baginya perencanaan bersama Allah…”
Hikmah
riḍa kepada qaḍā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan
kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang
lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan
mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan
meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Dasar riḍa
akan qaḍā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang
(yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka
“Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi
kepada-Nya.”
Jika
seseorang ditimpa bencana hendaklah dia riḍa, hatinya tidak boleh mendongkol.
Riḍa dengan qaḍā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang,
dengan rasa senang hati dan lapang dada.
Meriḍai
qaḍā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai
oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang meriḍai kekufuran dan
kemaksiatan.
Riḍa
dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia serta
membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, juga dapat mendapatkan
hiburan yang sempurna di kala menderita segala bencana. Dialah obat yang sangat
mujarab untuk menolak penyakit gelap mata hati. Dengan riḍa atas segala
ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak gelisah.
Seseorang
wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang, adakalanya juga
merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih suka mengoreksi segala amal
perbuatan pada masa-masa yang lampau, agar seseorang dapat mengubah dan
memperbaiki jejak langkah dan perbuatannya pada masa-masa yang akan datang.
Menyerah
kepada qaḍā’illah (keputusan takdir) Allah termasuk tidak boleh
mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak ikut rombongan ini,
barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini, sebagaimana firman Allah
SWT.:
Hai
orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir, yang berkata
kepada saudara-saudara mereka tatkala mereka bepergian di bumi, atau sedang
bertempur : Sekiranya bersama-sama kami, niscaya mereka tidak akan mati, dan
tidak akan terbunuh. Yang demikian karena Allah hendak jadikan yang tersebut
itu duka cita di hati-hati mereka dan Allah rnenghidupkan dan mematikan, dan
Allah Maha melihat akan apa yang engkau kerjakan.
Maqam
Mahabbah
Imam
al-Ghazālī berpendapat bahwa maqām maḥabbah adalah maqām tertinggi dari sekian
maqām-maqām dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa maḥabbah adalah tujuan utama
dari semua maqām.
Namun,
Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep maḥabbah bahwa
dalam maḥabbah seorang sālik harus menanggalkan segala angan-angannya. Dia berpendapat
demikian karena alasan bahwa sālik yang telah sampai pada maḥabbah (cinta) bisa
jadi dia masih mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari
sini tampak bahwa rasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk
mendapatkan balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah
orang yang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang
dicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yang dicintainya, yang
dalam konteks ini adalah Allah SWT.
”…maḥabbah
(cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh maqām, titik puncak dari
seluruh derajat. Tiada lagi maqām setelah mahabbah, karena maḥabbah adalah
hasil dari seluruh maqām, menjadi akibat dari seluruh maqām, seperti rindu,
senang, riḍa dan lain sebagainya. Dan tiadalah maqām sebelum maḥabbah kecuali
hanya menjadi permulaan dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar,
zuhd dan lain sebagainya…”
Wafat
Tahun
709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar
yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih
mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup
beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan
pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan
di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.
di
Assalamu’alaikum
Ustadz
Abu Ahmad as Salafi hafizhahullah
semoga
Allah SWT segera merahmati anda,
mohon
maaf saudaraku, saya sangat tidak setuju atas postingan anda, karena anda telah
berani membuat pernyatan2 sesat atas AL HIKAM, MANUSIA SE KALIBER beliau anda
katakan kitabnya mengandung kesesatan, itu menurut pemikiran anda. Sebaiknya
anda bertobat dan menkaji lebih dalam lagi atas AL HIKAM dan jangan dipelajari
sendiri, harus ada guru yang ahli membimbing anda.
wassalam
…
wa’alaikumussalam
warahmatullah,.
Membaca
komentar anda,. semakin menambah keyakinan saya tentang kesesatan kitab
alhikam,
Mudah2an
kaum muslimin tidak tertipu dengan kitab ini, siapapun yang menyampaikannya,.
Anonymous
AUGUST 13,
2015 AT 9:47 PM
Perbedaan
pendapat akan terus ada sampai akhir zaman.jadi yg percaya kitab alhikam ya
silahkan dan yang tdk percaya silahkan.kok gitu aja repot
Perbedaan
pendapat itu hal yang wajar,.
Tapi
menyelisihi penjelasan dari rasulullah, itu adalah hal YANG TIDAK WAJAR, dan
itu bukan perbedaan pendapat, tapi MENYELISIHI AJARAN RASULULLAH, jadi tolong
dibedakan,
Tinggal
ikuti saja yang diajarkan oleh Rasulullah,. mudah bukan? itulah jalan keselamatan,
silahkan baca
postingannya disini
GITU AJA
KOK REPOT,.
Fifit
NOVEMBER 25,
2016 AT 3:37 PM
Benar,
kelihatan jelas apa yg dijelaskan Surya memang kitab Al hikam isinya bukan
ajaran dari Rasulullah Shalallahualaihiwasalam, kok ada ya tingkatan maqom2?,
itu
dapet dari mana ?
Itulah
salah satu kesesatan tasawuf, jika maqomnya sdh taraf hakekat, maka terbebas
dari syareat.. Boleh melakukan hal-hal haram seperti minum khamr, ga
shalat, zina..
tatang
FEBRUARY 14,
2017 AT 11:20 AM
astagfirulloh…..
takdir
OCTOBER 10,
2014 AT 12:07 PM
Mas
admin sya pernah mendengar ceramah orang2 sufi bahwasanya orng yg sakaratul
maut itu yg bagusnya itu d jemput oleh RASULULLAH SALLALLAHU ALAIHI WASALLAM
bukan malaikat pencabut nyawa,dan dia jga berkata bahwa dia pernah melaksanakan
haji dan masuk ke dalam ka’bah d bawa oleh mahluk halus d d perintahkan untuk
menyampaikannya k pada keluarganya d tanah air bahwa dia pernah masuk k dlm
ka’bah
nah,..
itulah salah satu kengawuran orang-orang sufi,. lucu-lucu, aneh dan nyeleneh,.
Ahlus
sunnati wal jama'ati asy 'ariyati syafi'iyati shuffiyati
OCTOBER 12,
2014 AT 12:20 PM
Assalamu
‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Sebelumnya
saya sangat berterima kasih kepada admin atas kesempatannya berbagi komentar
atas tulisan di atas.
Sebagaimana
pepatah mengatakan tak kenal. Maka, itulah yang terjadi terhadap masyarakat
kita dewasa ini.
Begitupula
dengan ilmu, sepertinya sayapun beranggapan bahwa penulis artikel di atas tidak
mengenal dan mengerti tentang dunia tashawwuf. Sehingga penulis dengan tegasnya
mengatakan bahwa Imam ibn ‘Athaillah As sakandari telah beraqidah salah.
Padahal
tidak demikian, apalagi tentang paham wihdatul wujud / manunggaling kawulo
gusti. Padahal jika penulis berkenan belajar tentang ilmu Tashawwuf, maka akan
paham, bahwa maksud dari waihdatul wujud / manunggaling kawulo gusti itu
bukanlah bersatunya antara wujud hamba dan wujud Tuhan.
Akan
tetapi, maksud dari kalimat tersebut adalah Dzauqiyan dan bukan Dzaatiyan.
Karena telah jelas bahwa Tuhan itu bersifat Qadim dan hamba itu bersifat
hadits.
Bagaimana
mungkin dua sifat Dzat yang berbeda dapat bersatu dalam satu Dzat.
Untuk
itu, saya hanya menyarankan kepada penulis agar mempelajari, mengkaji dan
memperdalam ilmu Tashawwuf, bukan sekedar membaca kitab Tashawwuf.
Bahkan
seorang salik/murid saja tidak akan sanggup untuk belajar ilmu Tashawwuf jika
hanya sekedar membaca kitabnya saja. Tetapi harus di sertai dengan berguru
kepada para mursyid yang kamil mikammil.
Terima
kasih atas kesempatannya memberikan tanggapan atas tulisan di atas. Semoga
dengan adanya ini, penulis artikel berkenan mempelajari, mengkaji dan
memperdalam ilmu Tashawwuf, agar tidak lagi menuduh seorang Ulama beraqidah
sesat.
Wallahu
a’lam Bish Shouab…
Wallahu
muwafiq ila aqwamit thariq, wal afwu minkum
Wassalamu
‘Alaikum warahmatullahi Wabarakatuh
ilon
Khanani
Wa’alaikumussalam
warahmatullahi wabarakatuh,.
TErimakasih,
sdh komentar disini, dengan komentar yang panjang,.
Para
Ulama tasawuf, menggeluti tasawuf puluhan tahun,.
Imam
Ghazali,Ibnu Rusyd,Ar raazi,Aabul Maali Aljuwaini,.
Bagaimana
komentar mereka setelah sekian puluh tahun bergelut dengan ilmu kalam atau
tasawuf?
Kebingungan
dan Penyesalan,..
Jadi
anda belum apa-apanya dibanding orang-orang yang ada dipostingan ini, silahkan
klik disini untuk membacanya
Sadin
OCTOBER 13,
2014 AT 10:33 PM
Kalau
Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari yang sudah diakui dan diikuti oleh banyak
ulama saja merupakan orang yang sesat, yang cuma ngetik ulang artikel ini mau
disebut apa ya?
Terimakasih
sadin, sudah komentar disini,.
Patokan
kita bukanlah ulama, tapi rasulullah,
Jika
seorang ulama menyampaikan ajaran rasulullah, maka kita ikuti, dan jika kita
menyebarkannya maka berpahala,.
Jika ada
ulama yang menyampaikan ajaran yang tidak ada contohnya dari Rasulullah, maka
tidak usah kita ikuti, jika kita mengikutinya, maka kita berdosa, apalagi
mengajarkannya,. nambah pula dosanya,.
Jadi itu
semua tergantung yang kita nukil,.
Kalau
ngetik ulang kesesatan maka akan sesat dan dapat dosa, jika ngetik ulang
kebenaran maka akan dapat pahala,.
Copy
paste bisa lebih selamat, bisa juga tidak, tergantung dari mana sumbernya, silahkan
baca disini
kebenaran
dari allah
OCTOBER 14,
2014 AT 3:40 PM
tolong
anda pelajari dengan betul apa itu kitab alhikam ?? kalo baru belajar agama
jangan sok bilang sesat kepada orang lain. ustad anda tuh mungkin yg sesat.
ilmu al
hikam itu tinggi dan bagi orang awam yg salah baca bisa salah paham sehingga
bisa jadi menuduh sesat.
dalam
mempelajari suatu kitab, pelajari dengan betul dan dengan ulama yg paham kalo
anda ga mampu baca sendiri, jangan berkesimpulan pernyataan tadi diatas
wihdatul wujud, anda salah dalam memahami kita al hikam.
Anda
sudah baca? atau jangan-jangan anda cuma ngekor saja, alias ngga paham dengan
kitab yang bikin otak kita muter-muter, dan kalau dipaksakan mungkin bisa
error,.
ada lagi
contoh
contoh :
“Aku menyembah Allah bukan karena mengharap surga dan takut kepada neraka.”
pernyataan
itu benar, karena itulah tingkatan ikhlas tertinggi.
Ini
adalah bukan ikhlas tingkat tinggi, tapi goblok tingkat tinggi,.
Rasulullah
sebagai manusia terbaik di dunia ini, beliau masih takut kepada neraka, padahal
beliau sudah dijamin masuk surga,. itu rasulullah, bukan orang sufi,
Yang
tidak takut dengan neraka hanya Allah,. jadi jika ada manusia yang tidak takut
neraka, maka secara tidak langsung dia sedang mensejajarkan diri dengan Allah,
ada
orang yg beribadah mengharapkan pahala
ada
orang yg beribadah karena takut neraka
ada
orang yg beribadah karena ingin surga, dan yg tingkat tertinggi adalah dia
beribadah bukan karena ingin surga atau takut neraka tapi karena ingin menjadi
hamba yg bersyukur ( cinta kepada allah )
masih
kah kita ingat kisah rosulullah yang ibadah malamnya sampai bengkak kakinya ??
ketika
beliau ditanya mengapa beliau melakukan sampai sedemikian padahal beliau sudah
dijamin surga. beliau menjawab, tidakkah saya boleh menjadi hamba Allah yang
bersyukur ?
tuh
lihat ?? itu contoh dari nabi, jadi anda berkata dusta bila mengatakan kitab
alhikam itu bukan berdasar dari sunnah nabi.
Mba,
Rasulullah sudah dijamin masuk surga, beliau juga tetap masih sangat takut
dengan neraka,.. lha kok ada orang sufi yang tidak takut dengan neraka? akalnya
dimana?
seandainya
anda sudah dipasstikan dapat surga ?? apakah anda masih mau beribadah jika niat
ibadah hanya ingin surga ??
jika
seseorang beribadah hanya karena ingin surga, maka dia akan berhenti beribadah
ketika sudah mendapatkan keinginannya. paham ga ??
Anda
salah besar, amal ibadah manusia sebanyak apapun, walaupun seumur hidupnya itu
digunakan untuk beribadah saja,. maka seluruh amalannya itu tidak bisa untuk
menebus surga,. paham ga? Kenapa? karena masuk surga itu bukan dengan amalan
manusia, karena kenikmatan surga itu tidak bisa ditebus dengan amalan manusia,
tapi manusia masuk surga karena rahmat Allah,. bukan karena amalannya,.
namun
hal itu pun tidak dilarang, tidak apa2 beribadah ingin dapat imbalan, asalkan
berharapnya kepada allah.
sama
halnya dengan anak kecil yg mau menurut pada tua jika diberi imbalan, namun
alangkah lebih baik lagi jika sang anak itu menurut meskipun tanpa
imbalan/iming2 permen, tapi dia melakukan perintah orang tuanya dengan seikhlas
hatinya karena kesadaran dia bahwa anak haruslah patuh pada orang tua.
sama
juga dengan seorang hamba sudah sewajarnya patuh untuk beribadah pada sang
pencipta, meskipun tanpa imbalan, tapi karena allah maha baik maka barangsiapa
yg patuh dan taat apda allah dan rosulnya maka baginya surga yg telah
dijanjikan.
Nah,
Rasulullah yang menyuruh kita agar kita beribadah dengan meminta balasan surga,
dijauhkan dari api neraka,..
beda
dengan orang sufi, contohnya seperti rabiah aladawiyah, sufi keblinger,. ngga
takut neraka, bahkan perkataanya yang seolah-olah hebat banget menunjukkan
keikhlasannya dia,. namun pada hakekatnya menunjukkan kebodohan dia tentang
ajaran rasulullah,. sudah saya
posting disini
semoga
kita mendapat hidayah dan tidak asal menuduh orang lain sesat, apalagi ulama
besar anda tuduh sesat, sungguh malang manusia akhir jaman ini baru belajar
islam secuil dari sedikit ustad dah berani bilang kata2 dusta.
satu
lagi, ilmu tasawuf dan sufi itu ada 2 : ada yg murni dan sesuai sunnah dan ada
juga yg menyimpang, jadi jangan disama ratakan.
Anda
tahu, kapan sih mulai ada aliran tasawuf ini? jangan-jangan anda ngga paham
juga kapan tasawuf itu muncul,.
Apakah
sufi itu ajaran nabi? silahkan baca
disini
Anonymous
AUGUST 12,
2015 AT 3:29 PM
Setuju
fajar
OCTOBER 16,
2014 AT 6:41 AM
Hati-hati
dengan faham takfiri yang menganggap orang selain golongan mereka ada dalam
kesesatan…….
Siapa
yang mengkafirkan mas fajar, buktiin dong, jangan malah anda berdusta, jika
anda tidak bisa membuktikannya, berarti anda berdusta,. dan dusta adalah ciri2
sifat kemunafikan,.
Salafi
sangat berhati-hati dalam urusan kafir mengkafirkan ini, silahkan baca
disini ulasannya
yang
berhak menilai sesat dan bukan itu hanyalah Allah SWT.
Dan
Allah sudah mengutus rasulnya untuk menyampaikan kebenaran tersebut,. Dan
rasulullah sering mengatakan setiap bidah itu sesat, dan kesesatan itu
tempatnya di neraka, tentang kebenaran dari Allah, sudah ada
ulasannya disini
mudah-mudahan
anda bisa kembali ke jalan yang lurus….
Dan
jalan yang lurus itu hanya satu, sebagaimana dikatakan oleh Rasulllah, ulasannya ada
disini
sebagi
umat yang mencintai dan menghargai sesamanya…..
Sebatas
mana menghargai atau toleransi itu? bukan toleransi kebablasan, sudah diulas
disini
sesama
salapi aja anda saling mentesatkan …..
buka di
youtube perpecahan di tubuh salafi…..!!!!!
Salafi
yang mana? kalau yang ngaku2 sebagai salafi, ada,.
Dan
perpecahan diluar salafi itu lebih banyak lagi,.
smoga
semua ditunjukan kepada jala kebenaran…..Amiiin !!!!
Aamiin,.
terimakasih mas faja,. mudah2an Allah berikan hidayah taufik kepada anda, juga
pembaca semuanya
Desliani
Amga
NOVEMBER 26,
2014 AT 1:28 PM
Sangat
bermamfaat…jazakallah khoir katsiran, barakallah fiik…
Alhamdulillah,.
Jazakumullahu
khairan, wafiiki baarakallah,
micha
MARCH 16,
2015 AT 7:30 AM
Assalamualaikum….
Aneh
bener orang2 aliran sufi ini. Islam sudah memberi ajaran yg mudah dan gampang
dicerna oleh siapapun eh malah mereka menambah-nambah dan bikin rumit dan ruwet
dengan istilah2 dan kata2 yg bikin pusing.
Dan
parahnya mereka sangat bangga dengan itu semua dan menganggap levelnya udah yg
paling tinggi di sisi Allah swt.
Menurut
saya cuma buang2 waktu percuma aja baca tulisan mereka yg njelimet dan ribet
seperti komen diatas. Naudzubillahiminzalik….
Lebih
baik waktu saya saya gunakan baca2 tulisan karangan ulama salafi yg belum
sempat saya baca.
terimakasih
pak admin….
wassalamualaikum…
wa’alaikumussalam
warahmatullah,.
betul
sekali micha,.
tapi
bagi orang sufi, kalau bingung, itu tandanya paham,.. kalau ngga bingung,
berarti belum ngarti,.
individu
merdeka
AUGUST 12,
2015 AT 8:13 PM
duh
kasian mas surya yunan.udah nulisnya panjang banget untuk menguatkan argumennya
dan membantah admin,ternyata mas admin tidak tergugah sedikitpun.malah
jawabannya sedikit tapi pedas dan tegas..
yg sabar
ya mas surya yunan,hehehehe
Anonymous
AUGUST 12,
2015 AT 8:24 PM
Summa
naudzubillahi min dalik,….
anda
berani menyesatkan kitab al hikam . Seberapa hebatkah anda dan sejauh mana
kebenaran anda setinggi apa ilmu anda ,.. jangan anggap pemikiran anda itu
paling benar, sedangkan ilmu alloh itu luas , kalwpun pohon pohonn di buat
kolam dan lautan di buat tinta , tdak akan cukup untuk menuliskan ilmu alloh,
sedangkan ilmi manusia hanya setetes dari luasnya samudra , klwpun anda merasa
benar dan kitab al hikam sekaligus pengarangnya d anggap sesat,anda dan
pengarang kitab hidupnya awal mana , ?
Coba
anda fikirkan sdah hapal berapa ribu anda al hadist sedalam mana anda tau isi
al quran ,.. sebelum menyesatkan orang anda mesti faham dna mengerti sejauh
mana ilmu,wawasan , pengalaman, agama bukan sebatas femahan, coba anda cermati
perkataan imam al gozali yang bergelar hujjatulislamiyah , beliaupun mengatakan
“kalau aku hidup semasa dengan hallaj pasti aku akan membelanya karena hallaj
itu benar” dengan perkataan imam gozali ini , apa anda akan menyesatkan imam
gozali juga.?…..
Hallaj
itu dihukum mati oleh ulama karena pemikirannya yang nyeleneh, pikiran
kekufuran,
Imam
ghazali di akhir hidupnyapun bertaubat dari pemikirannya, rujuk kepada manhaj
salaf, silahkan
baca biografinya disini
sekarang
mah bung jangan saling menyesatkan , jangan saling caci mencaci , kapan anda
akan meraih ridho alloh ny klw anda sibuk Menyesatkan orang… jadi begini bung
kitab hikam dan kitab kitab selepel dengan kitab tersebut, di ibaratkan anak
sekolah sd belajr pelajaran universitas. Apa komentar anak sd.?
Apa anak
sd akan faham dan mengerti… sehebat hebatnya penjelassan tetap tidak akan faham
dan mengerti , malah berujung keburukan . Tapi anak sd sdh mnginjak kuliah ,
baru ia akan faham sesuai femahamanny. Semoga bermanfaat , saya ngeri bung anda
berani menysatkan ulama. Apa anda tidak takut bung, sabbiah anda menjadi orang
islam krena adanya ulama.
Islam
itu agama yang mudah,.
Anak SD
saja bisa memahaminya,.
Tapi
kalau pemikiran yang menyimpang, memang anak SD susah memahaminya,. bahkan anak
SD itu fitrahnya masih terjaga, jadi akan menolak jika ada pemikiran yang
menyimpang dan aneh,.
Berbeda
dengan anak kuliahan,. makanya wajar, bahkan di institusi islam pun akal-akal
mereka dirusak dengan ajaran tasawuf ini,ilmu filsafat, seprti sudah saya posting
disini
Anonymous
AUGUST 13,
2015 AT 2:24 AM
Misi
wahabi masuk ke Indonesia adalah untuk menghilangkan kepercayaan umat kepada
ulama’.
Artikel
inilah salah satu contoh diantara sekian banyak contoh.
Maka
berhati-hatilah. Perlu diketahui, bahwa para ulama berani menulis kitab adalah
karena memang sudah hafal dan menguasai Al Qur’an dan Al Hadits.
Wah,..
anda kalah cerdas dengan presiden kita, Pak sukarno, beliau aja bangga dengan
dakwah wahabi,. silahkan baca
disini mas
Kitab-kitab
karangan ulama sudah diakui oleh dunia Islam dari zaman ke zaman. dari generasi
ke generasi. Kalau wahabi mengatakan zaman Rasulullah SAW tidak dikenal Ilmu
Tasawuf, maka ilmu tajwid, ilmu mustholah hadits, ilmu fiqih juga tidak dikenal
di zaman Nabi, bahkan tulisan Al Qur’an yang kita baca sa’at ini juga tidak
dikenal di zaman Nabi, karena ayat-ayat Al Qur’an pada waktu itu tidak ada
titik, tidak ada harakat.
Dan yang
paling paham ilmu tajwid,musthalah hadits,fikih, bahkan tentang penulisan
Alquran, itu adalah para ulama yang mengikuti manhaj salaf,. yang kalian juluki
dengan sebutan wahabi,.
Belanda
saja ketakutan dengan dakwah wahabi,. buya hamka yang cerita,.silahkan baca
ulasannya disini
Agan
Irham
AUGUST 13,
2015 AT 6:22 AM
logika
waras dan sederhana saya mengatakan:
Ya saya
lebih ngikut dan membenarkan Ibnu Athaillah dari pada penulis artikel ini.
Penulis kitab ini pernah nulis satu kitab gak? Lha Ibnu Athaillah alim, hafal
quran, hafal banyak hadis, diikiti banyak umat islam, karya2nya banyak.
Masa
saya harus meninggalkan beliau demi mempercayai penulis artikel ini? Apalagi
pemilik blog ini cuma reblog. Apa hebatnya? Taklid berarti Anda itu.
Sedangkan
tidak ada manusia yang tidak salah, kecuali Rasulullah SAW. Kalau Ibnu
Athaillah saja yang jauh lebih hebat dibanding Anda dan penulis artikel ini
bisa memiliki kekeliruan karena manusia biasa, apalagi penulis artikel ini,
apalagi Anda yang hanya reblog.
Logika
sederhana ini, menjadikan saya tidak mungkin mau mempercayai dan mengamini isi
artikel ini.
Anda,
kalau tidak menampilkan komen saya ini, berarti Anda pengecut.
Insyaalloh,
kalau ada waktu, akan saya bantah artikel ini.
Reblog
dari sumber yang selamat, itu jauh lebih selamat daripada ikut kitab tapi
isinya menyimpang,..
Pada
hakekatnya ya sama saja, itu reblog akidah yang menyimpang,..
Lebih
selamat copy paste, asal yang dicopy paste itu adalah kebenaran, silahkan baca
ulasannya disini
Ahmad
AUGUST 13,
2015 AT 9:28 AM
Logika
waras kok spt itu. logika waras ya harus mempelajari serta mencari tahu ,sesuai
nggak tulisan Ibnu Athailah dengan perkataan atau pemahaman RASULULLAH ATAU
SAHABAT.
Kalo gak
sesuai ngapain harus mempercayainya. Itu namanya logika akal-akalan thok.
Tau ndak
tentang biography Al-Ghazali,beliau bertaubat di akhir hayatnya dgn belajar
ilmu hadist.Padahal beliau salah satu ulama tasawuf juga
Sabar
kang Ahmad,.
Mudah-mudahan
dengan membaca tanggapan saya, juga tambahan dari anda, maka logika warasnya
itu jadi betul-betul menjadi logika yang waras secara benar,.
Jadi
bukan logika waras menurut dirinya,. tapi logika waras yang sejalan dengan
dalil, sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah,. bukan sejalan
dengan tokoh yang dikaguminya,.. walaupun menyimpang dari ajaran yang
disampaikan oleh Rasulullah,.
Kita
doakan saja, mudah-mudahan mereka mendapatkan hidayah taufik,. sehingga bisa
merasakan manisnya akidah yang benar, sesuai dengan pemahaman para sahabat,.
Agan
Irham
AUGUST 13,
2015 AT 6:30 AM
logika
waras dan sederhana saya
mengatakan:
Ya saya
lebih ngikut dan membenarkan
Ibnu
Athaillah dari pada penulis artikel
ini.
Penulis kitab ini pernah nulis satu
kitab
saja gak? atau tiga deh.. Lha Ibnu Athaillah itu alim,
hafal
quran, hafal banyak hadis, diikuti
banyak
umat islam, karya2nya banyak.
Masa
saya harus meninggalkan beliau
demi
mempercayai penulis artikel ini?
Apalagi
Anda pemilik blog ini cuma reblog.
Apa
hebatnya? Taklid berarti Anda itu.
Sedangkan
tidak ada manusia yang
tidak
salah, kecuali Rasulullah SAW.
Kalau
Ibnu Athaillah saja yang jauh
lebih
hebat dibanding Anda dan penulis
artikel
ini bisa memiliki kekeliruan
karena
manusia biasa, apalagi penulis
artikel
ini, apalagi Anda yang hanya
reblog.
hahaha.. lucu.
Jadi
dengan Logika sederhana ini saja, saya ya
tidak
mungkin mau mempercayai dan
mengamini
isi artikel ini lah. Sayang banget islam dan akal saya ini kalau dibuang cuma
cuma.
Yang
jelas, Anda taklid, dan taklid pada orang yang ilmunya jauh lebih cetek dari
pada penulis kitab Al-Hikam itu. Kemungkinan dosa dan salahnya juga lebih besar
Anda dari pada beliau.
Anda,
kalau tidak menampilkan komen
saya
ini, berarti Anda pengecut ya.. hehehe
Insyaalloh,
kalau ada waktu, akan saya
bantah
artikel ini.
Apalah
artinya banyaknya karya, jika isinya berseberangan dengan akidah yang benar,.
Justru
banyaknya karaya yang isinya adalah akidah yang menyimpang, itu akan menjadi
DOSA JARIYAH bagi penulisnya, bukan menjadi AMAL JARIYAH… na’udzubillahi min
dzalik
Daun
Sehelai
AUGUST 13,
2015 AT 7:17 AM
للهم صل على
عبدك ورسولك محمد وعلى آله وأصحابه الذين هم بهديه مستمسكون، وسلم تسليما كثيرا.
mari
kita bersholawat
Mari
bershalawat, tentu denganc cara-cara shalawat yang diajarkan oleh rasulullah,
bagaimana shalawat yang diajarkan oleh Rasul? silahkan baca
disini
· Anonymous
AUGUST 13,
2015 AT 7:31 AM
kayaknya
ada tukang stempel nih….1 stempel sesat, 2. stempel ahlul bidah, stempel kafir
dll…. hehehe,…. enak yang jadi tukang stempel yaa… karena gak distempel….
bersihhhhh….
anda
tukang apa mas? he..he..he..
Buktikan
dong kalau saya itu tukang stempel sesat,ahlul bidah,kafir,. silahkan,.buktikan
kang, jangan cuma nuduh doang,.
Abu
Izzah
AUGUST 13,
2015 AT 1:47 PM
di dalam
kitab hikam ada hadits “man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu” apakah hadits
ini shohih? jika dhoif mohon penjelasan letak kedhoifannya. jazakallaahu
khoiron
Itu
adalah HADITS PALSU, tidak ada asal usulnya,. sudah saya
posting disini
Adnan
Adnani
AUGUST 13,
2015 AT 2:29 PM
untuk
abu Izzah, itu memang bukan hadits pak, itu perkataan salah seorang ulama,
jelas itu bukan hadits, itu ada di pembahasan tentang sifat-sifat Allah, *bapak
Abu Izaah beserta admin kalau mau mengecek silahkan, judul kitabnya ” syarh
imam al-laqqoni fi kitab jauharuttauhid ‘inda syaikh al-bajuri” disitu ada
nanti persis kata-katanya seperti itu.
nanti
disitu juga dijelaskan tentang ma’rifat, dan lain-lain.
semoga
berkenan
Kesalahannya,
justru yang beredar di masyarakat, itu dianggap seperti hadits rasulullah,.
Abu
Izzah
AUGUST 14,
2015 AT 4:55 PM
akhi
adnan adnani, untuk ngecek kitabnya kayaknya sulitlah, ana kan tinggal di
kampung jauh dari perpustakaan, jauh dari ponpes. tolong dong kalau bisa di
tuliskan di sini atau kalau bisa dalam bentuk scan dari kitab aslinya.
jazakallahu khoiron.
Adnan Adnani
AUGUST 13,
2015 AT 2:18 PM
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
hahaha,
pak admin, makanya yang dibaca kitab arabnya, jangan baca terjemah, setelah baca
arabnya, ikut juga kajian yg men-syarah kitab tersebut (ikut kajianya sama
syeikh/ ulama’ yang sudah diakui kapasitas ilmunya ya). Memang di awal Islam
tidak muncul istilah tasawwauf, istilah itu baru muncul jauh setelah zaman
ulama’ salaf. *sy jadi penasaran, apa pengertian pak admin tentang ulama’ salaf
dan kholaf ?- semoga berkenan di jelaskan-
Saya
lupa detail kapan muncul istilah ini, memang masalah ini menjadi sangant
kompleks pak admin, karena menjadi anggapan disinilah awal kelemahan islam (bukan
hanya satu faktor yg membuat islam lemah, sejarah juga mencatat, islam
mempunyai masa dimana banyak ulama’ yg jelek (as-su’) salah satunya Al-Hajjaj
yg terkenal itu, dia orang alim tapi jahat dan penipu).
saya
kira, pak admin terlalu berani dan terburu-buru mensetempel yg bukan-bukan,
tulisan
anda, jangan sampai membuat keyakinan yg anda yakini semakin terlihat buruk di
mata masyarakat, kesatuan umat harganya mahal daripada tulisan saudara yg
membuat orang-orang menjadi bingung pak admin.
semoga
berkenan, sy hanya al-faqir yg mengembara.
-catatan
pak admin, tujuan utama tasawwuf itu 3 hal, Iman,ihsan, dan islam. memperkuat
keimanan, memperbaiki diri, dan semakin mengerti islam.
tak usah
dipisahpun, tasawwuf sudah ada dalam islam sejak dulu pak admin.
tertima
kasih, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Wa’alaikumussalam
warahmatullahi wabarakatuh,.
Terimakasih
mas adnan,.
Oh iya,
kalau betul tasawuf sudah ada dalam islam sejak dulu, silahkan jelaskan sejarah
tasawuf menurut yang anda ketahui,.
Silahkan
jawab dibawah komentar ini,.
mari
kita buktikan, apakah betul tasawuf ini adalah ajaran nabi?
Ahmad
AUGUST 13,
2015 AT 4:05 PM
Untuk yg
ini “-catatan pak admin, tujuan utama tasawwuf itu 3 hal, Iman,ihsan, dan
islam. memperkuat keimanan, memperbaiki diri, dan semakin mengerti islam”,
tolong lampirkan dalil nya dan siapa ulama ahlussunnah yg mengatakan hal tsb?
Apa anda
tidak tahu tentang Imam Syafi’i yg menghukum org yg belajar tasawuf…buka akal
dan pikiran anda dalam belajar agama jangan taqlid buta dan fanatik yg
berlebihan
Nah itu
dia, memang orang yang ikut tasawuf itu suka ngawur, berdusta atas nama ulama,.
Ulama
tasawufnya saja kebingungan , bahkan di akhir hayatnya menyesal telah berpuluh
tahun menggeluti tasawuf,.
Adnan
Adnani
AUGUST 24,
2015 AT 3:22 AM
saya
kira pak admin lebih paham soal tasawwuf, sy tidak perlu menjelaskan panjang
lebar (krena menurut hemat sy, orang berani menulis artikel seperti ini, dia
berarti sudah memahami tentang tasawwuf itu sendiri)
FYI, sy
bukan pengikut aliran tasawwuf, tapi sy juga bukan orng yg mengatakan tasawwuf
itu dilarang, hal yg dilarang itu jika jelas sudah bertentangan dengan syari’at
islam yg ada, misal ada anjuran solat tdk wajib, diperbolehkanya beristri lebih
dr empat, dsb.
Karena
tasawwuf dan sufiesme sudh beredar di masyarakat, apa salahnya kita mau
mengkasji supaya tau dan ngerti sejauh mana batas yg dibenarkan dalam islam dan
di hal mana yg sudah melenceng dari ajalan islam.
wallahu
ta’ala ‘alam.
salam
ukhuwwah
Begitulah
mas Adnan,.. jika keburukan sudah menyebar di masyarakat, maka keburukan itu
dianggap hal yang biasa,.
Bahkan
orang yang tidak ikut melakukan keburukan tersebut akan dianggap aneh,.
berbeda, mungkin juga dijauhi,.
Nah,
sebagai muslim yang taat, muslim yang cerdas, apa yang harus dilakukan??..
Apakah
ikut-ikutan dengan kebiasaan yang sudah menyebar di masyarakat,
mempelajarinya?.. ini adalah pilihan konyol,.
salam
AUGUST 14,
2015 AT 9:22 AM
yang
nulis makalah ini, jelas2 anti tasauf. tapi sebelum mengkafirkan orang lain,
sebaiknya pahami terlebih dahulu apa akibat mengkafirkan orang lain, Apa bila
orang yg dikafirkan tersebut tidak kafir, maka yg mengkafirkan, telah
mengkafirkan dirinya sendiri.
Siapa
yang mengkafirkan mas,.
Dibaca
artikelnya tidak, jangan baca judulnya saja,.
Silahkan
buktikan disini jika ada kata-kata pengkafiran terhadap kaum muslimin,.
Shu ay
OCTOBER 25,
2015 AT 11:41 AM
Jadi dgn
kata lain: pesantren telah sesat,?
Kita
bukan sedang membicarakan pesantrennya,. tapi buku alhikam,. terlepas siapapun
pesantren yang mengajarkannya, buku alhikam adalah buku yang menyesatkan,.
Orang
yang melakukan perbuatan kesesatan, tidak otomatis berarti sesat, banyak pelaku
kesesatan karena mereka tidak tahu bahwa itu sesat,.
abu
syuaib
MAY 1, 2016
AT 8:47 PM
hadechh..yg
komentarnya kontra, rata2 berkomentar pake hawa nafsu dan logika jahil..
ihdinas
shirootol mustaqiem..
ga usah
heran, kan tasawuf atau sufi itu yang dijadikan pegangan adalah logika, bukan
dalil,
maka
wajar saja jika komentarnya itu lbh mengedepankan logika
radenkelana
AUGUST 25,
2016 AT 5:41 PM
YAA
ALLAH selamatkan agama kami,iman kami,islam kami dan tuntun kami kejalanMU yg
hak fi dunya wal akhrah. aamiin.
Ukhti
Tiara
AUGUST 26,
2016 AT 3:23 PM
Assalamu’alaikum
warrahmatullahi wabarakatuh
ana
sudah baca artikelnya, bagus sekali Masya Allah.
Tapi ana
bingung dengan tasawuf yang di maksud itu seperti apa ya? kemudian, tasawuf
yang benar dan sesuai sunnah rasullulah alaihi wa salam yang sperti apa ya ?
Jazakallah
khoiron katsira
Wa’alaikumussalamwarahmatullahi
wabaraktuh,
tidak
ada tasawuf yg benar , karena ajaran tasawuf itu bkn dari islam, tapi dari para
filosof yunani,
kemunduran
islam dimulai ketika buku-buku yunani tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa
arab di jaman pemerintahan harun arrasyid,.
makanya
imam syafii menghukum orang-orang-orang yg belajar tasawuf, baca di sini
ulasannya
ahmad
AUGUST 27,
2016 AT 2:44 AM
pak
admin bisa dilampirkan data pendidikan pak admin..!!biar saya lebih bisa
mengukur apakah pak admin benar bisa dipegang tulisannya atau tidak.setuju
nggak bapak” dan ibu”
Saya
cuma memposting tulisan para ustadz yang kredible ilmunya, mengikuti manhaj salaf,
kalau mau tahu penulisnya, lihat di akhir setiap postingan, itu penulisnya,
silahkan rujuk kesana, saya cuma copy paste,
Rudi
indramawan
SEPTEMBER 25,
2016 AT 7:27 PM
La hawla
wala quwwata illa billah
dedy tas
OCTOBER 10,
2016 AT 2:23 PM
Aduh yg
komen kontra kok ribet dan mumet si..bikin pusing sendiri si,makanya yg jadi
patokan dan yg di kedepankan itu DALIL bukan logika dan akal.
candra
DECEMBER 5,
2016 AT 9:23 AM
Itulah
kenapa ahlul bidah lbh disukai iblis drpd ahli maksiat sukron admin
Dialog rekaan
antara Syaikhul Islam dengan Pengarang Al Hikam
http://abuyusakh.blogspot.co.id/2012/10/dialog-rekaan-antara-syaikhul-islam.html
Kirim
Pahala sangat dicela oleh Ibnu Atha'illah dalam Al Hikam
Nama
lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Ia
lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada
1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.
Sejak
kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari
beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas
Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili,
pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai
Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh
tarikat Al-Syadzili.
Ibnu
Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah
dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan
ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab
Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah
beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi,
Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.
Beberapa
kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan
At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism
Al-Mufrad.
Bagi
seseorang yang beramal baik, maka pahalanya adalah untuk dirinya sendiri. Begitu
juga bila ia beramal buruk, maka dosanya ditanggung oleh dirinya sendiri. Maka
jangan pernah berharap atau menuntut untuk mendapatkan suatu pahala atas
amal oleh orang lain, terlebih lagi berharap agar mendapat limpahan (transfer)
dosa dari amal orang lain kepada diri kita, sebab itu adalah amal atau usaha
orang lain, bukan amal usaha kita. Bahkan Imam Syafi'i mengatakan bahwa kirim
pahala bacaan Al Qur'an kepada orang lain, terlebih kepada yang sudah meninggal
dunia, tidak akan sampai karena bukan amal usaha si mayit, tetapi amal usaha
orang lain yang masih hidup. Keterangan tersebut didukung oleh hampir 20
ayat dalam al Qur'an dalam surah yang berbeda-beda. Keterangan
selengkapnya baca di sini : http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/search/label/Kirim%20Pahala
Ini
adalah perkataan Ibnu Atha'illah dalam Al Hikam, Risalah 12. No. 122.
لا تطلب عواضا
على عمل لست له فاعلا يكفي من الجزاء لك على العمل أن كان له قابلا
"Jangan
menuntut pahala atas suatu amal yang pelakunya bukan dirimu sendiri. Cukup
besar pahala Allah bagimu jika Dia meridhai amal tersebut."
hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.co.id