Thursday, March 16, 2017

Kitab Al-Hikam Dalam Timbangan Islam



 

Oleh: Ustadz Abu Ahmad as Salafi hafizhahullah
Kitab al Hikam yang ditulis oleh Ibnu Atho’illah as Sakandari adalah kitab yang sangat popular di dunia dan juga di Indonesia. Kitab ini banyak dikaji di pondok-pondok pesantren dan bahkan di dalam siaran-siaran radio di banyak kota di Indonesia.
Kitab yang populer ini ternyata di dalamnya terdapat banyak sekali penyelewengan terhadap syari’at Islam. Karena itulah, insya Allah dalam pembahasan kali ini akan kami jelaskan kesesatan-kesesatan kitab ini sebagai nasihat keagamaan bagi saudara-saudara kami kaum muslimin dan sekaligus sebagai jawaban kami atas permintaan sebagian pembaca yang menanyakan isi kitab ini. Sebagai catatan, cetakan kitab yang kami jadikan acuan dalam pembahasan ini adalah cetakan Penerbit Balai Buku Surabaya.
Penulis Kitab Ini
Penulisnya adalah Abul Fadhl Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Atho’ullah as Sakandari.
Aqidah Wihdatul Wujud
Penulis berkata di dalam hikmah nomor 18-21:
“Bagaimana akan mungkin dihijab oleh sesuatu, padahal Dia yang terlihat di dalam segala sesuatu? Bagaimana akan dapat ditutupi oleh sesuatu, padahal Dia yang terlihat di dalam segala sesuatu? Bagaimana akan dapat di bayangkan bahwa Allah dapat di hijab oleh sesuatu, padahal Allah yang dzhohir sebelum adanya sesuatu? Bagaimana akan mungkin dihijab oleh sesuatu, padahal Dia lebih nampak daripada segala sesuatu? Bagaimana mungkin akan dihijab oleh segala sesuatu, padahal Dia lah Yang Esa (tunggal) yang tidak ada bersamanya segala sesuatu?
Penulis juga berkata dalam hikmah nomor 46:
“Telah ada Allah, dan tiada sesuatu pun bersama-Nya, dan Dia kini sebagaimana ada-Nya semula.”
Kami katakan:
Ini adalah aqidah wihdatul wujud yang batil dan kufur. Aqidah tersebut merupakan kelanjutan daru pemikiran hulul. Pemikiran hulul dicetuskan pertama kali oleh Husain bin Manshur al Hallaj, ialah pemikiran kelompok Sufi yang menetapkan bahwa Allah menjelma pada segala sesuatu.
Menurut keyakinan wihdatul wujud tidak ada sesuatu pun kecuali Allah, segala sesuatu yang ada adalah penjelmaan Allah, tidak ada pemisahan antara al Kholiq dan makhluk. Keyakinan ini berasal dari pemikiran Hindu, Buddha, dan Majusi, sedangkan Islam berlepas diri dari keyakinan sesat ini.
Para pencetus pemikiran ini terbagi menjadi dua kelompok:
Kelompok yang memandang bahwasanya Allah azza wa jalla adalah roh dan bahwasanya alam adalah jisim (jasad) dari roh tersebut. Jika seorang manusia telah menyucikan dirinya maka dia akan bersatu dengan roh yaitu Allah.
Kelompok yang lain beranggapan bahwa seluruh yang ada di alam semesta tidak ada hakikat bagi wujudnya kecuali wujud Allah.[1] Mereka berkata,”Selama Allah adalah hakikatnya wujud alam yang nampak ini maka semua keyakinan yang ada adalah haq, berarti semua agama kembali kepada satu aqidah, yaitu bahwa semua agama adalah sama dan semua agama adalah benar!”
Para ulama kaum muslimin sepakat tentang kufurnya kelompok Sufi yang menganut keyakinan wihdatul wujud dan hulul. Demikian juga mereka (para ulama) mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan pemikiran-pemikiran ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Kekufuran mereka ini lebih besar daripada kekufuran orang-orang Yahudi, Nasrani dan Musyrikin Arab.” [2]
Berdo’a Kepada Allah Berarti Menuduh Allah
Penulis berkata di dalam hikmah nomor 29:
“Permintaanmu dari Allah adalah menuduh Allah (khawatir tidak memberi kepadamu), dan permintaanmu untuk-Nya adalah ketidakhadiran-Nya darimu.”
Kami katakan:
Bagaimana dikatakan bahwa meminta kepada Allah adalah hal yang tercela, padahal Allah telah memerintahkan kepada para hamba-Nya untuk meminta kepada-Nya (yang artinya):
“Rabbmu berfirman : ‘Berdo’alah kepada-Ku pasti Aku kabulkan untuk kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina-dina.” [QS.Ghofir/40:60]
Bahkan Allah akan murka kepada orang-orang yang tidak mau meminta kepada-Nya sebagaimana di dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah ta’ala maka Allah murka kepadanya.” [HR.at Tirmidzi dalam Jami’ nya:5/456, dishohihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shohihul Jami’:2418]
Seorang penyair berkata:
“Allah murka jika engkau tidak minta kepada-Nya, sedangkan manusia ketika diminta maka dia marah.” [3]
Maka meminta kepada Allah adalah salah satu ibadah yang mulia sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Do’a itu ibadah.” [HR.at Tirmidzi dalam Jami’-nya: 5/211 dan ia mengatakan bahwa hadits ini hasan shohib. Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shohihul Jami’:3407)
Bolehkah Berdalil Atas Adanya Allah Dengan Adanya Alam Semesta?
Penulis berkata di dalam hikmah nomor 29:
Jauh berbeda antara orang yang berdalil bahwa adanya Allah menunjukkan adanya alam, dengan orang yang berdalil bahwa adanya alam inilah yang menunjukkan adanya Allah.
Orang yang berdalil bahwa adanya Allah menunjukkan adanya alam adalah orang yang mengenal haq dan meletakkan pada tempatnya, sehingga menetapkan adanya sesuatu dari asal mulanya. Sedang orang yang berdalil bahwa adanya alam menunjukkan adanya Allah, karena ia tidak sampai kepada Allah. Maka bilakah Allah itu ghaib sehingga memerlukan dalil untuk mengetahuinya? Dan bilakah Allah itu jauh sehingga adanya alam itu dapat menyampaikan kepadanya?
Kami katakan:
Allah telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk memikirkan ciptaan-ciptaan-Nya dan kemudian untuk beribadah semata-mata kepada-Nya. Allah azza wa jalla berfirman (yang artinya):
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan janganlah (pula kamu bersujud) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu benar-benar hanya kepada-Nya beribadah.” [QS.Fushshilat/41:37]
Dan Allah azza wa jalla berfirman (yang artinya):
“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Tuhan) yang telah menjadikan untukmu bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap, serta menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan air itu Dia menghasilkan segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” [QS.al Baqarah/221-22]
Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Hanya Pencipta segala sesuatu yang ada inilah yang berhak disembah dengan segala macam ibadah.” [4]
Ber-istidlal (berdalil) dengan adanya alam untuk menunjukkan keberadaan Allah adalah manhaj (metode) para imam Ahli Sunnah wal Jama’ah:
Al Imam Malik rahimahullah ditanya oleh Harun ar Rosyid tentang dalil atas wujudnya Allah maka beliau berdalil dengan perbedaan bahasa, suara dan nada.
Al Imam Abu Hanifah rahimahullah ketika ditanya oleh orang-orang zindiq tentang keberadaan Allah maka beliau berdalil tentang alam semesta yang sangat teratur yang tidak mungkin kecuali ada penciptanya.
Al Imam asy Syafi’i rahimahullah tatkala ditanya tentang dalil atas keberadaan Allah maka beliau berdalil dengan sebuah daun yang jika dimakan oleh ulat sutera maka akan mengeluarkan sutera, dan jika dimakan oleh lebah maka akan mengeluarkan madu, dan jika dimakan oleh kambing dan sapi maka akan mengeluarkan kotoran, dan jika dimakan oleh kijang misik maka akan mengeluarkan minyak misik, ini menunjukkan atas keagungan Pencipta.
Al Imam Ahmad rahimahullah keika ditanya tentang keberadaan Allah maka beliau berdalil dengan sebuah telur yang mati yang keluar darinya makhluk yang hidup. [5]
Ilmu Kasyaf
Penulis berkata dalam hikmah nomor 162-164
“Tempat terbitnya berbagai nur cahaya Ilahi itu dalam hati manusia dan rahasia-rahasianya. Nur cahaya yang tersimpan dalam hati itu datangnya dari nur yang datang langsung dari pembendaharaan yang ghaib.”
Kami katakan:
Inilah yang disebut sebagai Ilmu Kasyaf yang digambarkan oleh Ibnu ‘Arabi dengan perkataannya: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna di sisi kami dalam maqom ilmu sehingga ilmunya di ambil langsung dari Allah azza wa jalla…maka bukanlah ilmu melainkan yang berasa dari kasyaf dan syuhud.” [6]
Kaum sufi menyandarkan ajaran agama mereka kepada hawa nafsu mereka yang mereka namakan dengan kasyaf dan ilham. Mereka benar-benar menjauhi ilmu yang diambil dari para ulama Sunnah. Abu Yazid al Busthomi berkata kepada para ulama zamannya: “Kalian mengambil ilmu dari para ulama tulisan dari yang sudah mati dari yang sudah mati, sedangkan kami mengambil ilmu dari Dzat Yang Mahahidup yang tidak akan pernah mati, kami katakan: “Telah mengabarkan kepadaku hatiku dari Tuhanku!” [7]
Perkataan para dedengkot Sufi di atas menunjukkan betapa amat jahilnya mereka akan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan manhaj yang haq. Perkataan mereka ini mengandung ajakan kepada kaum muslimin agar meninggalkan semua kitab-kitab hadits yang mengandung sanad-sanad yang tsabit (terpercaya) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena para pemilik riwayat-riwayat ini sudah meninggal dunia, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri juga sudah meninggal dunia. Perkataan mereka ini sangat membahayakan Islam dan kaum muslimin meskipun tampak seolah-olah perkataan yang tidak berarti.
Beramal Tanpa Mengharap Pahala
Penulis berkata di dalam hikmah nomor 255:
“Bukanlah seorang yang mencintai itu yang meminta apa-apa dari yang dicintai, melainkan seorang yang cinta kasih itu sesungguhnya ialah yang berkorban untukmu, bukan yang engkau beri apa-apa kepadanya.”
Penulis juga berkaa di dalam hikmah nomor 265:
“Bagaimana engkau akan meminta upah terhadap sutu amal yang Allah sendiri menyedekahkan kepadamu  amal itu, atau bagaimanakah engkau minta balasan atas suatu keikhlasan padahal Allah sendiri yang memberi hidayah keikhlasan itu kepadamu?
Kami katakan:
Demikianlah kaum Sufi melandaskan ibadah hanya pada mahabbah (kecintaan) dan mengabaikan segi yang lainnya seperti khouf dan roja’, sebagaimana perkataan sebagian mereka: “Aku menyembah Allah bukan karena mengharap surga dan takut kepada neraka.”
Tidak syak lagi bahwasanya kecintaan kepada Allah adalah landasan ibadah. Hanya, ibadah tidak lah terbatas pada mahabbah saja. Masih banyak segi-segi lain ibadah seperti khouf, roja’, khudhu’, do’a dan lain-lain. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Ibadah adalah nama yang meliputi semua yang dicintai dan diridhoi oleh Allah dari perkataan dan perbuatan yang tampak dan tidak tampak.”
Allah menyifati para nabi dan rosul-Nya bahwasanya mereka beribadah kepada Allah dan bahwasanya mereka selalu mengharap rahmat Allah dan takut kepada Allah (yang artinya):
“….Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya.” [QS.al Isra’/17:57]
Dan diantara do’a yang sering diucapkan oleh penghulu anak Adam Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah:
“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu surga serta (dari) perkataan dan perbuatan yang mendekatkan kepadanya, dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka serta (dari) perkataan dan perbuatan yang mendekatkan kepadanya.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-Nya: 2/1264 dan dishohihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shohih Sunan Ibnu Majah]
Penutup
Inilah yang bisa kami paparkan dengan ringkas kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam kitab al Hikam. Sebetulnya masih banyak kesalahan lain kitab ini yang perlu dijelaskan tetapi insya Allah yang telah kami paparkan sudah bisa memberikan peringatan kepada kita tentang hakikat kitab ini.
Semoga Allah selalu menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan nasihat dan mengikutinya. Aamiin. Wallahu A’lam bishshowab.
Note:
[1] Shufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan hal.206-207
[2] Majmu’ Fatawa: 2/296
[3] Ibid
[4] Tafsir al Qur’an al-‘Azhim: 1/76
[5] Tafsir Ibnu Katsir: 1/77-78
[6] Thobaqoh Sya’roni: 1/5
[7] Ibid
Sumber: Diketik ulang dari Majalah al Furqon Edisi 10 Thn.XIII, Jumadil Ula 1430/Mei 2009, Hal.40-43
Dipublikasikan kembali oleh : Al Qiyamah – Moslem Weblog
reposting :
abangdani.wordpress.com
aslibumiayu.net
 
35 Comments
 
surya yunan
OCTOBER 10, 2014 AT 2:51 AM
Syekh Ibnu Athaillah
Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari (w. 1309 M) hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), lalu pindah ke Kairo. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fikih mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid Al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas dibidang tasawuf sebagai seorang “master” (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.
Ibn ‘Athaillah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara ibn ‘Athaillah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibn ‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn ‘Athillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku ibn Athaillah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al Hikam yang melegenda ini.
Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.
Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.
Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.
Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”. Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa:
Masa pertama
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.
Masa kedua
Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.
Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.
Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”.
Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.
Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.
Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”.
Masa ketiga
Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.
Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya. Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.
Karya.
Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.
Kitabnya yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh dunia Islam ialah kitabnya yang bernama Hikam, yang telah diberikan komentar oleh beberapa orang ulama di kemudian hari dan yang juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia.
Kitab ini dikenali juga dengan nama al-Hikam al-ata’iyyah untuk membezakannya daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam.
Karomah Ibn Athoillah
Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.
Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya”.
Pandangan tentang Maqam Sufi
Dalam pandangan tasawuf secara umum, konsep maqām dan hāl adalah dua konsep yang sangat berhubungan dengan salik (pejalan sufi).
Maqām adalah tahapan-tahapan thariqah yang harus dilalui oleh seorang salik, yang membuahkan keadaan tertentu yang merasuk dalam diri salik. Semisal maqām taubat; seorang salik dikatakan telah mencapai maqām ini ketika dia telah bermujahadah dengan penuh kesungguhan untuk menjauhi segala bentuk maksiat dan nafsu syahwati. Dengan demikian, maqām adalah suatu keadaan tertentu yang ada pada diri salik yang didapatnya melalui proses usaha riyadhah (melatih hawa nafsu).
Sedangkan yang dimaksud dengan hāl − sebagaimana diungkapkan oleh al-Qusyairi − adalah suatu keadaan yang dianugerahkan kepada seorang sālik tanpa melalui proses usaha riyadhah.
Namun, dalam konsep maqām ini Ibn Atha’illah memiliki pemikiran yang berbeda, dia memandang bahwa suatu maqām dicapai bukan karena adanya usaha dari seorang salik, melainkan semata anugerah Allah swt. Karena jika maqām dicapai karena usaha salik sendiri, sama halnya dengan menisbatkan bahwa salik memiliki kemampuan untuk mencapai suatu maqām atas kehendak dan kemampuan dirinya sendiri.
Pun jika demikian, maka hal ini bertentangan dengan konsep fana’ iradah, yaitu bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kehendak, dan juga bertentangan dengan keimanan kita bahwa Allah yang menciptakan semua perbuatan manusia. Dengan demikian, bagi seorang salik untuk mencapai suatu maqām hendaknya salik menghilangkan segala kehendak dan angan-angannya (isqath al-iradah wa al-tadbir).
Mengenai maqām, Ibn Atha’illah membaginya tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan;
1. Maqam taubat
2. Maqam zuhud
3. Maqam shabar
4. Maqam syukur
5. Maqam khauf
6. Maqam raja’
7. Maqam ridha
8. Maqam tawakkal
9. Maqam mahabbah
Maqam Taubat
Taubat adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum mencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal yang benar.
Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang salik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.
Untuk mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan mempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas kehendak-Nya.
Sedangkan hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaik sangka (husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu sangatlah besar sehingga menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.
Maqam Zuhud
Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam; Zuhd Ẓahir Jalī seperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara ḥalal, seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasan duniawi. Dan Zuhd Bāţin Khafī seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.
Hal yang dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini, maka dia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah, dia akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan. Jikalau sudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Maqām zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat rasa cinta kepada dunia, dan rasa ḥasud kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau ḥasud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.
Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.
Seorang salik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama sekali tidak memiliki apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua; yaitu saat kenikmatan dunia tidak ada dan saat kenikmatan dunia itu ada. Ini dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh sālik, maka dia akan menghargainya dengan bershukur dan memanfaatkan nikmat tersebut hanya karena Allah. Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya, maka dia merasa nyaman, tenang dan tidak sedih.
Maqam Sabar
Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.
“Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas salik untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”.
Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha salik sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salik dan orang-orang yang dipilih-Nya.
Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Maqam Syukur
Shukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam; pertama shukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat. Kedua, shukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan. Ketiga, shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah:
“Dalam shukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat tiga bagian; shukur lisan yaitu memberitakan kenikmatan (pada orang lain), shukur badan adalah beramal dengan ketaatan kepada Allah, dan shukur hati adalah mengakui bahwa Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari seseorang adalah semata-mata dari Allah.”
Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk shukur orang yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.
Lebih lanjut Ibn ‘Aţā’illah memaparkan bahwa shukur juga terbagi menjadi 2 bagian; shukur ẓāhir dan shukur bāţin. Shukur ẓāhir adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan shukur bāţin adalah mengakui dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah semata.
Manfaat dari shukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika seorang salik tidak menshukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jika dia menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi pengikat kenikmatan tersebut.
Allah berfirman: لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ
(Jika kalian bershukur [atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah [kenikmatan itu]).1
 
Jika seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Ata’illah.
 
Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu bershukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.
 
Meskipun pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, shukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Dia harus bershukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan shari‘at, seraya mengakui dan meyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dari Allah.
Pengejawantahan shukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan shukur.
Maqam khauf
Seorang salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasa takut atas sirnanya ḥal dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah memiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah. Ketika Allah berkehendak untuk mencabut suatu maqām dan ḥal yang ada pada diri salik, seketika itu juga Allah akan mencabutnya.
“Bukti dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia tak akan terputus maqām khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendak Allah terwujud.”
Khauf seorang sālik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf pasti diiringi dengan rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalah pembangkit dari rajā’. Maqām khauf adalah maqām yang membangkitkan maqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika khauf tidak ada.
Ibn ‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu rajā’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allah kepadanya berupa anugerah maqām, ḥal dan berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan dan ketaatan penuh pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah:
”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, maka lihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau berikan kepada-Nya.”
Rajā’ bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika rajā’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib bagi seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya dengan amal kepatuhan, dan peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah secara kontinu.
Jika rajā’ sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan semakin menguatkan khauf yang ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pasti akan disertai dengan rasa takut akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan menjadi penguat khauf.
Maqam Ridha dan Tawakkal
Riḍa dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah adalah penerimaan secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Mā’idah ayat 119:
(Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka riḍa kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah SAW.:
(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang riḍa kepada Allah).
Maqam riḍa bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi riḍa adalah anugerah yang diberikan Allah.
Jika maqam riḍa sudah ada dalam diri sālik, maka sudah pasti maqām tawakkal juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqām riḍa dan maqām tawakkal. Orang yang riḍa terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqām tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Hūd ayat 123:
(…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya).
Sebagaimana maqām-maqām lainnya, maqām riḍa dan tawakkal tidak akan benar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakan bahwa angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya, dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentuk angan-angan.
“Perencanaan (tadbīr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal tersebut, maka tiada lagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap perjalanan takdir. Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan maqām tawakkal dan riḍa, hal ini jelas, karena seorang yang riḍa maka cukup baginya perencanaan Allah atasnya. Maka bagaimana mungkin dia menjadi perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan perencanan-Nya. Apakah engkau tidak tahu bahwa cahaya riḍa telah membasuh hati dengan curahan perencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang riḍa terhadap Allah telah dianugrahkan baginya cahaya riḍa atas keputusan-Nya, maka tiada lagi baginya perencanaan bersama Allah…”
Hikmah riḍa kepada qaḍā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Dasar riḍa akan qaḍā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”
Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia riḍa, hatinya tidak boleh mendongkol. Riḍa dengan qaḍā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada.
Meriḍai qaḍā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang meriḍai kekufuran dan kemaksiatan.
Riḍa dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia serta membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, juga dapat mendapatkan hiburan yang sempurna di kala menderita segala bencana. Dialah obat yang sangat mujarab untuk menolak penyakit gelap mata hati. Dengan riḍa atas segala ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak gelisah.
Seseorang wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang, adakalanya juga merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih suka mengoreksi segala amal perbuatan pada masa-masa yang lampau, agar seseorang dapat mengubah dan memperbaiki jejak langkah dan perbuatannya pada masa-masa yang akan datang.
Menyerah kepada qaḍā’illah (keputusan takdir) Allah termasuk tidak boleh mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak ikut rombongan ini, barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini, sebagaimana firman Allah SWT.:
Hai orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir, yang berkata kepada saudara-saudara mereka tatkala mereka bepergian di bumi, atau sedang bertempur : Sekiranya bersama-sama kami, niscaya mereka tidak akan mati, dan tidak akan terbunuh. Yang demikian karena Allah hendak jadikan yang tersebut itu duka cita di hati-hati mereka dan Allah rnenghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha melihat akan apa yang engkau kerjakan.
Maqam Mahabbah
Imam al-Ghazālī berpendapat bahwa maqām maḥabbah adalah maqām tertinggi dari sekian maqām-maqām dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa maḥabbah adalah tujuan utama dari semua maqām.
Namun, Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep maḥabbah bahwa dalam maḥabbah seorang sālik harus menanggalkan segala angan-angannya. Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa sālik yang telah sampai pada maḥabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak bahwa rasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orang yang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang dicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yang dicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT.
”…maḥabbah (cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh maqām, titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqām setelah mahabbah, karena maḥabbah adalah hasil dari seluruh maqām, menjadi akibat dari seluruh maqām, seperti rindu, senang, riḍa dan lain sebagainya. Dan tiadalah maqām sebelum maḥabbah kecuali hanya menjadi permulaan dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhd dan lain sebagainya…”
Wafat
Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.
di
Assalamu’alaikum
Ustadz Abu Ahmad as Salafi hafizhahullah
semoga Allah SWT segera merahmati anda,
mohon maaf saudaraku, saya sangat tidak setuju atas postingan anda, karena anda telah berani membuat pernyatan2 sesat atas AL HIKAM, MANUSIA SE KALIBER beliau anda katakan kitabnya mengandung kesesatan, itu menurut pemikiran anda. Sebaiknya anda bertobat dan menkaji lebih dalam lagi atas AL HIKAM dan jangan dipelajari sendiri, harus ada guru yang ahli membimbing anda.
wassalam …
 
wa’alaikumussalam warahmatullah,.
Membaca komentar anda,. semakin menambah keyakinan saya tentang kesesatan kitab alhikam,
Mudah2an kaum muslimin tidak tertipu dengan kitab ini, siapapun yang menyampaikannya,.
 
Anonymous
 
AUGUST 13, 2015 AT 9:47 PM
Perbedaan pendapat akan terus ada sampai akhir zaman.jadi yg percaya kitab alhikam ya silahkan dan yang tdk percaya silahkan.kok gitu aja repot
Perbedaan pendapat itu hal yang wajar,.
Tapi menyelisihi penjelasan dari rasulullah, itu adalah hal YANG TIDAK WAJAR, dan itu bukan perbedaan pendapat, tapi MENYELISIHI AJARAN RASULULLAH, jadi tolong dibedakan,
Tinggal ikuti saja yang diajarkan oleh Rasulullah,. mudah bukan? itulah jalan keselamatan, silahkan baca postingannya disini
 
GITU AJA KOK REPOT,.
 
 
Fifit
NOVEMBER 25, 2016 AT 3:37 PM
Benar, kelihatan jelas apa yg dijelaskan Surya memang kitab Al hikam isinya bukan ajaran dari Rasulullah Shalallahualaihiwasalam, kok ada ya tingkatan maqom2?,
 
itu dapet dari mana ?
 
Itulah salah satu kesesatan tasawuf, jika maqomnya sdh taraf hakekat, maka terbebas dari syareat.. Boleh melakukan hal-hal haram seperti minum khamr, ga shalat, zina..
 
tatang
FEBRUARY 14, 2017 AT 11:20 AM
astagfirulloh…..
 
takdir
OCTOBER 10, 2014 AT 12:07 PM
Mas admin sya pernah mendengar ceramah orang2 sufi bahwasanya orng yg sakaratul maut itu yg bagusnya itu d jemput oleh RASULULLAH SALLALLAHU ALAIHI WASALLAM bukan malaikat pencabut nyawa,dan dia jga berkata bahwa dia pernah melaksanakan haji dan masuk ke dalam ka’bah d bawa oleh mahluk halus d d perintahkan untuk menyampaikannya k pada keluarganya d tanah air bahwa dia pernah masuk k dlm ka’bah
nah,.. itulah salah satu kengawuran orang-orang sufi,. lucu-lucu, aneh dan nyeleneh,.
 
Ahlus sunnati wal jama'ati asy 'ariyati syafi'iyati shuffiyati
OCTOBER 12, 2014 AT 12:20 PM
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Sebelumnya saya sangat berterima kasih kepada admin atas kesempatannya berbagi komentar atas tulisan di atas.
Sebagaimana pepatah mengatakan tak kenal. Maka, itulah yang terjadi terhadap masyarakat kita dewasa ini.
Begitupula dengan ilmu, sepertinya sayapun beranggapan bahwa penulis artikel di atas tidak mengenal dan mengerti tentang dunia tashawwuf. Sehingga penulis dengan tegasnya mengatakan bahwa Imam ibn ‘Athaillah As sakandari telah beraqidah salah.
Padahal tidak demikian, apalagi tentang paham wihdatul wujud / manunggaling kawulo gusti. Padahal jika penulis berkenan belajar tentang ilmu Tashawwuf, maka akan paham, bahwa maksud dari waihdatul wujud / manunggaling kawulo gusti itu bukanlah bersatunya antara wujud hamba dan wujud Tuhan.
Akan tetapi, maksud dari kalimat tersebut adalah Dzauqiyan dan bukan Dzaatiyan. Karena telah jelas bahwa Tuhan itu bersifat Qadim dan hamba itu bersifat hadits.
Bagaimana mungkin dua sifat Dzat yang berbeda dapat bersatu dalam satu Dzat.
Untuk itu, saya hanya menyarankan kepada penulis agar mempelajari, mengkaji dan memperdalam ilmu Tashawwuf, bukan sekedar membaca kitab Tashawwuf.
Bahkan seorang salik/murid saja tidak akan sanggup untuk belajar ilmu Tashawwuf jika hanya sekedar membaca kitabnya saja. Tetapi harus di sertai dengan berguru kepada para mursyid yang kamil mikammil.
Terima kasih atas kesempatannya memberikan tanggapan atas tulisan di atas. Semoga dengan adanya ini, penulis artikel berkenan mempelajari, mengkaji dan memperdalam ilmu Tashawwuf, agar tidak lagi menuduh seorang Ulama beraqidah sesat.
Wallahu a’lam Bish Shouab…
Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq, wal afwu minkum
Wassalamu ‘Alaikum warahmatullahi Wabarakatuh
ilon Khanani
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,.
 
TErimakasih, sdh komentar disini, dengan komentar yang panjang,.
 
Para Ulama tasawuf, menggeluti tasawuf puluhan tahun,.
 
Imam Ghazali,Ibnu Rusyd,Ar raazi,Aabul Maali Aljuwaini,.
 
Bagaimana komentar mereka setelah sekian puluh tahun bergelut dengan ilmu kalam atau tasawuf?
 
Kebingungan dan Penyesalan,..
Jadi anda belum apa-apanya dibanding orang-orang yang ada dipostingan ini, silahkan klik disini untuk membacanya
 
Sadin
OCTOBER 13, 2014 AT 10:33 PM
Kalau Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari yang sudah diakui dan diikuti oleh banyak ulama saja merupakan orang yang sesat, yang cuma ngetik ulang artikel ini mau disebut apa ya?
Terimakasih sadin, sudah komentar disini,.
 
Patokan kita bukanlah ulama, tapi rasulullah,
 
Jika seorang ulama menyampaikan ajaran rasulullah, maka kita ikuti, dan jika kita menyebarkannya maka berpahala,.
 
Jika ada ulama yang menyampaikan ajaran yang tidak ada contohnya dari Rasulullah, maka tidak usah kita ikuti, jika kita mengikutinya, maka kita berdosa, apalagi mengajarkannya,. nambah pula dosanya,.
Jadi itu semua tergantung yang kita nukil,.
Kalau ngetik ulang kesesatan maka akan sesat dan dapat dosa, jika ngetik ulang kebenaran maka akan dapat pahala,.
Copy paste bisa lebih selamat, bisa juga tidak, tergantung dari mana sumbernya, silahkan baca disini
 
kebenaran dari allah
OCTOBER 14, 2014 AT 3:40 PM
tolong anda pelajari dengan betul apa itu kitab alhikam ?? kalo baru belajar agama jangan sok bilang sesat kepada orang lain. ustad anda tuh mungkin yg sesat.
 
ilmu al hikam itu tinggi dan bagi orang awam yg salah baca bisa salah paham sehingga bisa jadi menuduh sesat.
 
dalam mempelajari suatu kitab, pelajari dengan betul dan dengan ulama yg paham kalo anda ga mampu baca sendiri, jangan berkesimpulan pernyataan tadi diatas wihdatul wujud, anda salah dalam memahami kita al hikam.
Anda sudah baca? atau jangan-jangan anda cuma ngekor saja, alias ngga paham dengan kitab yang bikin otak kita muter-muter, dan kalau dipaksakan mungkin bisa error,.
ada lagi contoh
contoh : “Aku menyembah Allah bukan karena mengharap surga dan takut kepada neraka.”
 
pernyataan itu benar, karena itulah tingkatan ikhlas tertinggi.
 
Ini adalah bukan ikhlas tingkat tinggi, tapi goblok tingkat tinggi,.
 
Rasulullah sebagai manusia terbaik di dunia ini, beliau masih takut kepada neraka, padahal beliau sudah dijamin masuk surga,. itu rasulullah, bukan orang sufi,
 
Yang tidak takut dengan neraka hanya Allah,. jadi jika ada manusia yang tidak takut neraka, maka secara tidak langsung dia sedang mensejajarkan diri dengan Allah,
 
ada orang yg beribadah mengharapkan pahala
 
ada orang yg beribadah karena takut neraka
 
ada orang yg beribadah karena ingin surga, dan yg tingkat tertinggi adalah dia beribadah bukan karena ingin surga atau takut neraka tapi karena ingin menjadi hamba yg bersyukur ( cinta kepada allah )
 
masih kah kita ingat kisah rosulullah yang ibadah malamnya sampai bengkak kakinya ??
 
ketika beliau ditanya mengapa beliau melakukan sampai sedemikian padahal beliau sudah dijamin surga. beliau menjawab, tidakkah saya boleh menjadi hamba Allah yang bersyukur ?
 
tuh lihat ?? itu contoh dari nabi, jadi anda berkata dusta bila mengatakan kitab alhikam itu bukan berdasar dari sunnah nabi.
Mba, Rasulullah sudah dijamin masuk surga, beliau juga tetap masih sangat takut dengan neraka,.. lha kok ada orang sufi yang tidak takut dengan neraka? akalnya dimana?
seandainya anda sudah dipasstikan dapat surga ?? apakah anda masih mau beribadah jika niat ibadah hanya ingin surga ??
jika seseorang beribadah hanya karena ingin surga, maka dia akan berhenti beribadah ketika sudah mendapatkan keinginannya. paham ga ??
Anda salah besar, amal ibadah manusia sebanyak apapun, walaupun seumur hidupnya itu digunakan untuk beribadah saja,. maka seluruh amalannya itu tidak bisa untuk menebus surga,. paham ga? Kenapa? karena masuk surga itu bukan dengan amalan manusia, karena kenikmatan surga itu tidak bisa ditebus dengan amalan manusia, tapi manusia masuk surga karena rahmat Allah,. bukan karena amalannya,.
namun hal itu pun tidak dilarang, tidak apa2 beribadah ingin dapat imbalan, asalkan berharapnya kepada allah.
sama halnya dengan anak kecil yg mau menurut pada tua jika diberi imbalan, namun alangkah lebih baik lagi jika sang anak itu menurut meskipun tanpa imbalan/iming2 permen, tapi dia melakukan perintah orang tuanya dengan seikhlas hatinya karena kesadaran dia bahwa anak haruslah patuh pada orang tua.
sama juga dengan seorang hamba sudah sewajarnya patuh untuk beribadah pada sang pencipta, meskipun tanpa imbalan, tapi karena allah maha baik maka barangsiapa yg patuh dan taat apda allah dan rosulnya maka baginya surga yg telah dijanjikan.
Nah, Rasulullah yang menyuruh kita agar kita beribadah dengan meminta balasan surga, dijauhkan dari api neraka,..
 
beda dengan orang sufi, contohnya seperti rabiah aladawiyah, sufi keblinger,. ngga takut neraka, bahkan perkataanya yang seolah-olah hebat banget menunjukkan keikhlasannya dia,. namun pada hakekatnya menunjukkan kebodohan dia tentang ajaran rasulullah,. sudah saya posting disini
 
semoga kita mendapat hidayah dan tidak asal menuduh orang lain sesat, apalagi ulama besar anda tuduh sesat, sungguh malang manusia akhir jaman ini baru belajar islam secuil dari sedikit ustad dah berani bilang kata2 dusta.
satu lagi, ilmu tasawuf dan sufi itu ada 2 : ada yg murni dan sesuai sunnah dan ada juga yg menyimpang, jadi jangan disama ratakan.
Anda tahu, kapan sih mulai ada aliran tasawuf ini? jangan-jangan anda ngga paham juga kapan tasawuf itu muncul,.
 
Apakah sufi itu ajaran nabi? silahkan baca disini
 
 
Anonymous
AUGUST 12, 2015 AT 3:29 PM
Setuju
 
fajar
OCTOBER 16, 2014 AT 6:41 AM
Hati-hati dengan faham takfiri yang menganggap orang selain golongan mereka ada dalam kesesatan…….
Siapa yang mengkafirkan mas fajar, buktiin dong, jangan malah anda berdusta, jika anda tidak bisa membuktikannya, berarti anda berdusta,. dan dusta adalah ciri2 sifat kemunafikan,.
 
Salafi sangat berhati-hati dalam urusan kafir mengkafirkan ini, silahkan baca disini ulasannya
 
yang berhak menilai sesat dan bukan itu hanyalah Allah SWT.
Dan Allah sudah mengutus rasulnya untuk menyampaikan kebenaran tersebut,. Dan rasulullah sering mengatakan setiap bidah itu sesat, dan kesesatan itu tempatnya di neraka, tentang kebenaran dari Allah, sudah ada ulasannya disini
mudah-mudahan anda bisa kembali ke jalan yang lurus….
Dan jalan yang lurus itu hanya satu, sebagaimana dikatakan oleh Rasulllah, ulasannya ada disini
sebagi umat yang mencintai dan menghargai sesamanya…..
Sebatas mana menghargai atau toleransi itu? bukan toleransi kebablasan, sudah diulas disini
sesama salapi aja anda saling mentesatkan …..
 
buka di youtube perpecahan di tubuh salafi…..!!!!!
 
Salafi yang mana? kalau yang ngaku2 sebagai salafi, ada,.
 
Dan perpecahan diluar salafi itu lebih banyak lagi,.
 
smoga semua ditunjukan kepada jala kebenaran…..Amiiin !!!!
Aamiin,. terimakasih mas faja,. mudah2an Allah berikan hidayah taufik kepada anda, juga pembaca semuanya
 
Desliani Amga
NOVEMBER 26, 2014 AT 1:28 PM
Sangat bermamfaat…jazakallah khoir katsiran, barakallah fiik…
Alhamdulillah,.
 
Jazakumullahu khairan, wafiiki baarakallah,
 
 
micha
MARCH 16, 2015 AT 7:30 AM
Assalamualaikum….
 
Aneh bener orang2 aliran sufi ini. Islam sudah memberi ajaran yg mudah dan gampang dicerna oleh siapapun eh malah mereka menambah-nambah dan bikin rumit dan ruwet dengan istilah2 dan kata2 yg bikin pusing.
 
Dan parahnya mereka sangat bangga dengan itu semua dan menganggap levelnya udah yg paling tinggi di sisi Allah swt.
 
Menurut saya cuma buang2 waktu percuma aja baca tulisan mereka yg njelimet dan ribet seperti komen diatas. Naudzubillahiminzalik….
 
Lebih baik waktu saya saya gunakan baca2 tulisan karangan ulama salafi yg belum sempat saya baca.
terimakasih pak admin….
wassalamualaikum…
wa’alaikumussalam warahmatullah,.
 
betul sekali micha,.
 
tapi bagi orang sufi, kalau bingung, itu tandanya paham,.. kalau ngga bingung, berarti belum ngarti,.
 
 
individu merdeka
AUGUST 12, 2015 AT 8:13 PM
duh kasian mas surya yunan.udah nulisnya panjang banget untuk menguatkan argumennya dan membantah admin,ternyata mas admin tidak tergugah sedikitpun.malah jawabannya sedikit tapi pedas dan tegas..
 
yg sabar ya mas surya yunan,hehehehe
 
 
Anonymous
AUGUST 12, 2015 AT 8:24 PM
Summa naudzubillahi min dalik,….
anda berani menyesatkan kitab al hikam . Seberapa hebatkah anda dan sejauh mana kebenaran anda setinggi apa ilmu anda ,.. jangan anggap pemikiran anda itu paling benar, sedangkan ilmu alloh itu luas , kalwpun pohon pohonn di buat kolam dan lautan di buat tinta , tdak akan cukup untuk menuliskan ilmu alloh, sedangkan ilmi manusia hanya setetes dari luasnya samudra , klwpun anda merasa benar dan kitab al hikam sekaligus pengarangnya d anggap sesat,anda dan pengarang kitab hidupnya awal mana , ?
Coba anda fikirkan sdah hapal berapa ribu anda al hadist sedalam mana anda tau isi al quran ,.. sebelum menyesatkan orang anda mesti faham dna mengerti sejauh mana ilmu,wawasan , pengalaman, agama bukan sebatas femahan, coba anda cermati perkataan imam al gozali yang bergelar hujjatulislamiyah , beliaupun mengatakan “kalau aku hidup semasa dengan hallaj pasti aku akan membelanya karena hallaj itu benar” dengan perkataan imam gozali ini , apa anda akan menyesatkan imam gozali juga.?…..
Hallaj itu dihukum mati oleh ulama karena pemikirannya yang nyeleneh, pikiran kekufuran,
 
Imam ghazali di akhir hidupnyapun bertaubat dari pemikirannya, rujuk kepada manhaj salaf, silahkan baca biografinya disini
 
sekarang mah bung jangan saling menyesatkan , jangan saling caci mencaci , kapan anda akan meraih ridho alloh ny klw anda sibuk Menyesatkan orang… jadi begini bung kitab hikam dan kitab kitab selepel dengan kitab tersebut, di ibaratkan anak sekolah sd belajr pelajaran universitas. Apa komentar anak sd.?
Apa anak sd akan faham dan mengerti… sehebat hebatnya penjelassan tetap tidak akan faham dan mengerti , malah berujung keburukan . Tapi anak sd sdh mnginjak kuliah , baru ia akan faham sesuai femahamanny. Semoga bermanfaat , saya ngeri bung anda berani menysatkan ulama. Apa anda tidak takut bung, sabbiah anda menjadi orang islam krena adanya ulama.
Islam itu agama yang mudah,.
 
Anak SD saja bisa memahaminya,.
 
Tapi kalau pemikiran yang menyimpang, memang anak SD susah memahaminya,. bahkan anak SD itu fitrahnya masih terjaga, jadi akan menolak jika ada pemikiran yang menyimpang dan aneh,.
 
Berbeda dengan anak kuliahan,. makanya wajar, bahkan di institusi islam pun akal-akal mereka dirusak dengan ajaran tasawuf ini,ilmu filsafat, seprti sudah saya posting disini
 
Anonymous
AUGUST 13, 2015 AT 2:24 AM
Misi wahabi masuk ke Indonesia adalah untuk menghilangkan kepercayaan umat kepada ulama’.
Artikel inilah salah satu contoh diantara sekian banyak contoh.
Maka berhati-hatilah. Perlu diketahui, bahwa para ulama berani menulis kitab adalah karena memang sudah hafal dan menguasai Al Qur’an dan Al Hadits.
Wah,.. anda kalah cerdas dengan presiden kita, Pak sukarno, beliau aja bangga dengan dakwah wahabi,. silahkan baca disini mas
Kitab-kitab karangan ulama sudah diakui oleh dunia Islam dari zaman ke zaman. dari generasi ke generasi. Kalau wahabi mengatakan zaman Rasulullah SAW tidak dikenal Ilmu Tasawuf, maka ilmu tajwid, ilmu mustholah hadits, ilmu fiqih juga tidak dikenal di zaman Nabi, bahkan tulisan Al Qur’an yang kita baca sa’at ini juga tidak dikenal di zaman Nabi, karena ayat-ayat Al Qur’an pada waktu itu tidak ada titik, tidak ada harakat.
Dan yang paling paham ilmu tajwid,musthalah hadits,fikih, bahkan tentang penulisan Alquran, itu adalah para ulama yang mengikuti manhaj salaf,. yang kalian juluki dengan sebutan wahabi,.
 
Belanda saja ketakutan dengan dakwah wahabi,. buya hamka yang cerita,.silahkan baca ulasannya disini
 
 
Agan Irham
AUGUST 13, 2015 AT 6:22 AM
logika waras dan sederhana saya mengatakan:
 
Ya saya lebih ngikut dan membenarkan Ibnu Athaillah dari pada penulis artikel ini. Penulis kitab ini pernah nulis satu kitab gak? Lha Ibnu Athaillah alim, hafal quran, hafal banyak hadis, diikiti banyak umat islam, karya2nya banyak.
 
Masa saya harus meninggalkan beliau demi mempercayai penulis artikel ini? Apalagi pemilik blog ini cuma reblog. Apa hebatnya? Taklid berarti Anda itu.
 
Sedangkan tidak ada manusia yang tidak salah, kecuali Rasulullah SAW. Kalau Ibnu Athaillah saja yang jauh lebih hebat dibanding Anda dan penulis artikel ini bisa memiliki kekeliruan karena manusia biasa, apalagi penulis artikel ini, apalagi Anda yang hanya reblog.
Logika sederhana ini, menjadikan saya tidak mungkin mau mempercayai dan mengamini isi artikel ini.
 
Anda, kalau tidak menampilkan komen saya ini, berarti Anda pengecut.
 
Insyaalloh, kalau ada waktu, akan saya bantah artikel ini.
 
Reblog dari sumber yang selamat, itu jauh lebih selamat daripada ikut kitab tapi isinya menyimpang,..
 
Pada hakekatnya ya sama saja, itu reblog akidah yang menyimpang,..
 
Lebih selamat copy paste, asal yang dicopy paste itu adalah kebenaran, silahkan baca ulasannya disini
 
Ahmad
AUGUST 13, 2015 AT 9:28 AM
Logika waras kok spt itu. logika waras ya harus mempelajari serta mencari tahu ,sesuai nggak tulisan Ibnu Athailah dengan perkataan atau pemahaman RASULULLAH ATAU SAHABAT.
Kalo gak sesuai ngapain harus mempercayainya. Itu namanya logika akal-akalan thok.
Tau ndak tentang biography Al-Ghazali,beliau bertaubat di akhir hayatnya dgn belajar ilmu hadist.Padahal beliau salah satu ulama tasawuf juga
Sabar kang Ahmad,.
 
Mudah-mudahan dengan membaca tanggapan saya, juga tambahan dari anda, maka logika warasnya itu jadi betul-betul menjadi logika yang waras secara benar,.
 
Jadi bukan logika waras menurut dirinya,. tapi logika waras yang sejalan dengan dalil, sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah,. bukan sejalan dengan tokoh yang dikaguminya,.. walaupun menyimpang dari ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah,.
 
Kita doakan saja, mudah-mudahan mereka mendapatkan hidayah taufik,. sehingga bisa merasakan manisnya akidah yang benar, sesuai dengan pemahaman para sahabat,.
 
Agan Irham
AUGUST 13, 2015 AT 6:30 AM
logika waras dan sederhana saya
 
mengatakan:
 
Ya saya lebih ngikut dan membenarkan
 
Ibnu Athaillah dari pada penulis artikel
ini. Penulis kitab ini pernah nulis satu
kitab saja gak? atau tiga deh.. Lha Ibnu Athaillah itu alim,
hafal quran, hafal banyak hadis, diikuti
banyak umat islam, karya2nya banyak.
Masa saya harus meninggalkan beliau
demi mempercayai penulis artikel ini?
Apalagi Anda pemilik blog ini cuma reblog.
Apa hebatnya? Taklid berarti Anda itu.
Sedangkan tidak ada manusia yang
tidak salah, kecuali Rasulullah SAW.
Kalau Ibnu Athaillah saja yang jauh
lebih hebat dibanding Anda dan penulis
artikel ini bisa memiliki kekeliruan
karena manusia biasa, apalagi penulis
artikel ini, apalagi Anda yang hanya
reblog. hahaha.. lucu.
Jadi dengan Logika sederhana ini saja, saya ya
tidak mungkin mau mempercayai dan
mengamini isi artikel ini lah. Sayang banget islam dan akal saya ini kalau dibuang cuma cuma.
Yang jelas, Anda taklid, dan taklid pada orang yang ilmunya jauh lebih cetek dari pada penulis kitab Al-Hikam itu. Kemungkinan dosa dan salahnya juga lebih besar Anda dari pada beliau.
Anda, kalau tidak menampilkan komen
saya ini, berarti Anda pengecut ya.. hehehe
Insyaalloh, kalau ada waktu, akan saya
bantah artikel ini.
 
Apalah artinya banyaknya karya, jika isinya berseberangan dengan akidah yang benar,.
 
Justru banyaknya karaya yang isinya adalah akidah yang menyimpang, itu akan menjadi DOSA JARIYAH bagi penulisnya, bukan menjadi AMAL JARIYAH… na’udzubillahi min dzalik
 
 
Daun Sehelai
AUGUST 13, 2015 AT 7:17 AM
للهم صل على عبدك ورسولك محمد وعلى آله وأصحابه الذين هم بهديه مستمسكون، وسلم تسليما كثيرا.
mari kita bersholawat
Mari bershalawat, tentu denganc cara-cara shalawat yang diajarkan oleh rasulullah, bagaimana shalawat yang diajarkan oleh Rasul? silahkan baca disini
 
·  Anonymous
AUGUST 13, 2015 AT 7:31 AM
kayaknya ada tukang stempel nih….1 stempel sesat, 2. stempel ahlul bidah, stempel kafir dll…. hehehe,…. enak yang jadi tukang stempel yaa… karena gak distempel…. bersihhhhh….
anda tukang apa mas? he..he..he..
 
Buktikan dong kalau saya itu tukang stempel sesat,ahlul bidah,kafir,. silahkan,.buktikan kang, jangan cuma nuduh doang,.
 
 
Abu Izzah
AUGUST 13, 2015 AT 1:47 PM
di dalam kitab hikam ada hadits “man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu” apakah hadits ini shohih? jika dhoif mohon penjelasan letak kedhoifannya. jazakallaahu khoiron
Itu adalah HADITS PALSU, tidak ada asal usulnya,. sudah saya posting disini
 
Adnan Adnani
AUGUST 13, 2015 AT 2:29 PM
untuk abu Izzah, itu memang bukan hadits pak, itu perkataan salah seorang ulama, jelas itu bukan hadits, itu ada di pembahasan tentang sifat-sifat Allah, *bapak Abu Izaah beserta admin kalau mau mengecek silahkan, judul kitabnya ” syarh imam al-laqqoni fi kitab jauharuttauhid ‘inda syaikh al-bajuri” disitu ada nanti persis kata-katanya seperti itu.
 
nanti disitu juga dijelaskan tentang ma’rifat, dan lain-lain.
 
semoga berkenan
 
Kesalahannya, justru yang beredar di masyarakat, itu dianggap seperti hadits rasulullah,.
 
Abu Izzah
AUGUST 14, 2015 AT 4:55 PM
akhi adnan adnani, untuk ngecek kitabnya kayaknya sulitlah, ana kan tinggal di kampung jauh dari perpustakaan, jauh dari ponpes. tolong dong kalau bisa di tuliskan di sini atau kalau bisa dalam bentuk scan dari kitab aslinya. jazakallahu khoiron.
 
Adnan Adnani
AUGUST 13, 2015 AT 2:18 PM
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
hahaha, pak admin, makanya yang dibaca kitab arabnya, jangan baca terjemah, setelah baca arabnya, ikut juga kajian yg men-syarah kitab tersebut (ikut kajianya sama syeikh/ ulama’ yang sudah diakui kapasitas ilmunya ya). Memang di awal Islam tidak muncul istilah tasawwauf, istilah itu baru muncul jauh setelah zaman ulama’ salaf. *sy jadi penasaran, apa pengertian pak admin tentang ulama’ salaf dan kholaf ?- semoga berkenan di jelaskan-
 
Saya lupa detail kapan muncul istilah ini, memang masalah ini menjadi sangant kompleks pak admin, karena menjadi anggapan disinilah awal kelemahan islam (bukan hanya satu faktor yg membuat islam lemah, sejarah juga mencatat, islam mempunyai masa dimana banyak ulama’ yg jelek (as-su’) salah satunya Al-Hajjaj yg terkenal itu, dia orang alim tapi jahat dan penipu).
 
saya kira, pak admin terlalu berani dan terburu-buru mensetempel yg bukan-bukan,
 
tulisan anda, jangan sampai membuat keyakinan yg anda yakini semakin terlihat buruk di mata masyarakat, kesatuan umat harganya mahal daripada tulisan saudara yg membuat orang-orang menjadi bingung pak admin.
semoga berkenan, sy hanya al-faqir yg mengembara.
 
-catatan pak admin, tujuan utama tasawwuf itu 3 hal, Iman,ihsan, dan islam. memperkuat keimanan, memperbaiki diri, dan semakin mengerti islam.
 
tak usah dipisahpun, tasawwuf sudah ada dalam islam sejak dulu pak admin.
 
tertima kasih, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
 
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,.
 
Terimakasih mas adnan,.
 
Oh iya, kalau betul tasawuf sudah ada dalam islam sejak dulu, silahkan jelaskan sejarah tasawuf menurut yang anda ketahui,.
 
Silahkan jawab dibawah komentar ini,.
mari kita buktikan, apakah betul tasawuf ini adalah ajaran nabi?
 
 
Ahmad
AUGUST 13, 2015 AT 4:05 PM
Untuk yg ini “-catatan pak admin, tujuan utama tasawwuf itu 3 hal, Iman,ihsan, dan islam. memperkuat keimanan, memperbaiki diri, dan semakin mengerti islam”, tolong lampirkan dalil nya dan siapa ulama ahlussunnah yg mengatakan hal tsb?
Apa anda tidak tahu tentang Imam Syafi’i yg menghukum org yg belajar tasawuf…buka akal dan pikiran anda dalam belajar agama jangan taqlid buta dan fanatik yg berlebihan
Nah itu dia, memang orang yang ikut tasawuf itu suka ngawur, berdusta atas nama ulama,.
 
Ulama tasawufnya saja kebingungan , bahkan di akhir hayatnya menyesal telah berpuluh tahun menggeluti tasawuf,.
 
 
Adnan Adnani
AUGUST 24, 2015 AT 3:22 AM
saya kira pak admin lebih paham soal tasawwuf, sy tidak perlu menjelaskan panjang lebar (krena menurut hemat sy, orang berani menulis artikel seperti ini, dia berarti sudah memahami tentang tasawwuf itu sendiri)
FYI, sy bukan pengikut aliran tasawwuf, tapi sy juga bukan orng yg mengatakan tasawwuf itu dilarang, hal yg dilarang itu jika jelas sudah bertentangan dengan syari’at islam yg ada, misal ada anjuran solat tdk wajib, diperbolehkanya beristri lebih dr empat, dsb.
Karena tasawwuf dan sufiesme sudh beredar di masyarakat, apa salahnya kita mau mengkasji supaya tau dan ngerti sejauh mana batas yg dibenarkan dalam islam dan di hal mana yg sudah melenceng dari ajalan islam.
wallahu ta’ala ‘alam.
salam ukhuwwah
Begitulah mas Adnan,.. jika keburukan sudah menyebar di masyarakat, maka keburukan itu dianggap hal yang biasa,.
 
Bahkan orang yang tidak ikut melakukan keburukan tersebut akan dianggap aneh,. berbeda, mungkin juga dijauhi,.
 
Nah, sebagai muslim yang taat, muslim yang cerdas, apa yang harus dilakukan??..
 
Apakah ikut-ikutan dengan kebiasaan yang sudah menyebar di masyarakat, mempelajarinya?.. ini adalah pilihan konyol,.
 
 
salam
AUGUST 14, 2015 AT 9:22 AM
yang nulis makalah ini, jelas2 anti tasauf. tapi sebelum mengkafirkan orang lain, sebaiknya pahami terlebih dahulu apa akibat mengkafirkan orang lain, Apa bila orang yg dikafirkan tersebut tidak kafir, maka yg mengkafirkan, telah mengkafirkan dirinya sendiri.
Siapa yang mengkafirkan mas,.
 
Dibaca artikelnya tidak, jangan baca judulnya saja,.
 
Silahkan buktikan disini jika ada kata-kata pengkafiran terhadap kaum muslimin,.
 
 
Shu ay
OCTOBER 25, 2015 AT 11:41 AM
Jadi dgn kata lain: pesantren telah sesat,?
Kita bukan sedang membicarakan pesantrennya,. tapi buku alhikam,. terlepas siapapun pesantren yang mengajarkannya, buku alhikam adalah buku yang menyesatkan,.
Orang yang melakukan perbuatan kesesatan, tidak otomatis berarti sesat, banyak pelaku kesesatan karena mereka tidak tahu bahwa itu sesat,.
 
abu syuaib
MAY 1, 2016 AT 8:47 PM
hadechh..yg komentarnya kontra, rata2 berkomentar pake hawa nafsu dan logika jahil..
 
ihdinas shirootol mustaqiem..
 
ga usah heran, kan tasawuf atau sufi itu yang dijadikan pegangan adalah logika, bukan dalil,
maka wajar saja jika komentarnya itu lbh mengedepankan logika
 
radenkelana
AUGUST 25, 2016 AT 5:41 PM
YAA ALLAH selamatkan agama kami,iman kami,islam kami dan tuntun kami kejalanMU yg hak fi dunya wal akhrah. aamiin.
 
Ukhti Tiara
AUGUST 26, 2016 AT 3:23 PM
Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
ana sudah baca artikelnya, bagus sekali Masya Allah.
 
Tapi ana bingung dengan tasawuf yang di maksud itu seperti apa ya? kemudian, tasawuf yang benar dan sesuai sunnah rasullulah alaihi wa salam yang sperti apa ya ?
 
Jazakallah khoiron katsira
Wa’alaikumussalamwarahmatullahi wabaraktuh,
tidak ada tasawuf yg benar , karena ajaran tasawuf itu bkn dari islam, tapi dari para filosof yunani,
 
kemunduran islam dimulai ketika buku-buku yunani tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa arab di jaman pemerintahan harun arrasyid,.
 
makanya imam syafii menghukum orang-orang-orang yg belajar tasawuf, baca di sini ulasannya
 
 
ahmad
AUGUST 27, 2016 AT 2:44 AM
pak admin bisa dilampirkan data pendidikan pak admin..!!biar saya lebih bisa mengukur apakah pak admin benar bisa dipegang tulisannya atau tidak.setuju nggak bapak” dan ibu”
Saya cuma memposting tulisan para ustadz yang kredible ilmunya, mengikuti manhaj salaf, kalau mau tahu penulisnya, lihat di akhir setiap postingan, itu penulisnya, silahkan rujuk kesana, saya cuma copy paste,
 
Rudi indramawan
SEPTEMBER 25, 2016 AT 7:27 PM
La hawla wala quwwata illa billah
 
dedy tas
OCTOBER 10, 2016 AT 2:23 PM
Aduh yg komen kontra kok ribet dan mumet si..bikin pusing sendiri si,makanya yg jadi patokan dan yg di kedepankan itu DALIL bukan logika dan akal.
 
candra
DECEMBER 5, 2016 AT 9:23 AM
Itulah kenapa ahlul bidah lbh disukai iblis drpd ahli maksiat sukron admin
 
Dialog rekaan antara Syaikhul Islam dengan Pengarang Al Hikam
http://abuyusakh.blogspot.co.id/2012/10/dialog-rekaan-antara-syaikhul-islam.html
 
Kirim Pahala sangat dicela oleh Ibnu Atha'illah dalam Al Hikam
 
Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.
 
Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
 
Ibnu Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.
 
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad.
  
Bagi seseorang yang beramal baik, maka pahalanya adalah untuk dirinya sendiri. Begitu juga bila ia beramal buruk, maka dosanya ditanggung oleh dirinya sendiri. Maka jangan pernah berharap atau  menuntut untuk mendapatkan suatu pahala atas amal oleh orang lain, terlebih lagi berharap agar mendapat limpahan (transfer) dosa dari amal orang lain kepada diri kita, sebab itu adalah amal atau usaha orang lain, bukan amal usaha kita. Bahkan Imam Syafi'i mengatakan bahwa kirim pahala bacaan Al Qur'an kepada orang lain, terlebih kepada yang sudah meninggal dunia, tidak akan sampai karena bukan amal usaha si mayit, tetapi amal usaha orang lain yang masih hidup.  Keterangan tersebut didukung oleh hampir 20 ayat dalam al Qur'an dalam surah yang berbeda-beda. Keterangan selengkapnya baca di sini : http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/search/label/Kirim%20Pahala
 
Ini adalah perkataan Ibnu Atha'illah dalam Al Hikam, Risalah 12. No. 122.
 
لا تطلب عواضا على عمل لست له فاعلا يكفي من الجزاء لك على العمل أن كان له قابلا
 
"Jangan menuntut pahala atas suatu amal yang pelakunya bukan dirimu sendiri. Cukup besar pahala Allah bagimu jika Dia meridhai amal tersebut."
hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.co.id