ِ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا فَمَنْ
يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ عَلَى آلِهِ وَ
أَصَْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا
Tidak disangsikan lagi, kesempurnaan
agama ini adalah nikmat Allah yang paling besar bagi umat ini. Agama Islam yang
ditinggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan lengkap,
sempurna dan menyeluruh, sehingga terang benderang, tidak ada kesamaran sama
sekali pada ajarannya. Binasalah orang yang menyimpang darinya dan tidak mau
berjalan di atas manhaj rabbaniy, manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya.
Demikianlah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita seluruh kebaikan yang dapat
mendekatkan ke surga dan telah memperingatkan seluruh kejelekan yang menjauhkan
diri kita dari surga. Semua ini agar binasalah orang yang binasa di atas hujjah
dan hiduplah orang yang mengikutinya di atas hujjah juga.
Mengenal aqidah yang benar merupakan satu
keharusan bagi setiap muslim. Apalagi di masa seperti ini, masa yang penuh
dengan ujian dan cobaan hidup. Disamping juga dipenuhi usaha penyesatan dan
pemurtadan baik melalui kebidahan yang samar sampai kepada kekufuran yang
paling jelas. Semua usaha pemurtadan ini berkembang dan tumbuh subur dengan
pemeliharaan para musuh Allah dari kalangan syaitan manusia dan jin. Ditambah
dengan cara yang mereka tempuh untuk mensukseskan program mereka ini.
Sungguh mengerikan dan membuat seorang
muslim mengelus dada dan mengerenyutkan dahinya, khawatir di pagi hari jadi
seorang muslim dan di sore harinya menjadi kafir dan sebaliknya di sore hari
jadi seorang muslim dan di pagi harinya menjadi kafir.
Sudah berapa banyak kaum muslimin yang
murtad dan meninggalkan agamanya.
Berapa banyak pemuda muslim yang
kehilangan jati dirinya dan hidup tanpa pegangan.
Berapa banyak……berapa banyak ……dan berapa
banyak yang lainnya.
Sungguh pemandangan yang sangat
mengerikan ada di depan mata kita semua.
Lalu bila menengok keadaan kaum muslimin
secara khusus, didapatkan mereka dalam kondisi yang sangat menyedihkan.
Perselisihan, perpecahan dan permusuhan terus tumbuh berkembang dengan
suburnya. Mereka tidak ingat akan peringatan Allah dalam Al Qur’an:
وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَلاَتَنَازَعُوا
فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan ta’atlah kepada Allah dan Rasulnya
dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmt dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar. (Qs. Al Anfal: 46)
Juga tidak ingat akan perintah Allah
untuk mengembalikan perselisihan dan perbedaan pendapatnya kepada Al Qur’an dan
sunnah, sebagaimana firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي
شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah
Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Qs. An Nisa: 59)
Demikianlah seharusnya, sebagaimana telah
jelas dalam manhaj para sahabat dan tabiin serta orang yang mengikuti jejak mereka
dalam berislam.
Apalagi dalam permasalahan aqidah,
permasalahan yang sangat besar bagi seorang muslim. Tentunya harus mendapatkan
perhatian serius jangan sampai menyelisihi ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabatnya. Ironisnya banyak kaum muslimin yang tidak
memahaminya atau memahaminya dengan salah sehingga aqidah yang benar dianggap
salah dan yang salah itulah dianggap kebenaran.
Untuk itu perlu sekali mengembalikan kaum
muslimin kepada aqidah yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada para sahabatnya dan para sahabat mengajarkan kepada para tabiin
dan seterusnya generasi demi generasi. Inilah yang kemudian dinamakan aqidah
salaf.
Pengertian Aqidah Salaf
Aqidah salaf adalah istilah yang diambil
dari dua kata; aqidah dan salaf. Kata aqidah dalam bahasa Arab memiliki
pengertian ikatan, keyakinan dan kepastian. Aqidah adalah sesuatu yang diyakini
hatinya dengan pasti dan mengikat, baik itu benar ataupun batil. Sedangkan
dalam istilah para ulama, aqidah adalah perkara-perkara yang wajib dibenarkan
oleh hati, dan jiwa menerimanya dengan penuh hingga menjadi satu keyakinan yang
pasti yang tidak dicampuri satu keraguan dan kebimbangan. [1]
Sedangkan Kata salaf secara bahasa
bermakna orang yang telah terdahulu dalam ilmu, iman, keutamaan dan kebaikan.
Ibnul Mandzur berkata (Lisanul Arab
9/159): Salaf juga berarti orang-orang yang mendahului kamu dari nenek moyang,
orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu dan memiliki umur lebih
serta keutamaan yang lebih banyak. Oleh karena itu, generasi pertama dari
Tabiin dinamakan As-Salafush Sholeh.
Diantara penggunaan kata salaf dengan
makna ini adalah perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
putrinya, Fathimah:
فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
Sesungguhnya sebaik-baik pendahulu (salaf
) bagimu adalah aku. [2]
Dan diriwayatkan dari beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata kepada putri beliau, Zainab, ketika
wafat:
الْحَقِيْ بِسَلَفِنَا الصَالحِ ِعُثْمَانَ بْنِ
مَظْعُوْنِ
Susullah salaf sholih (pendahulu kita
yang sholeh) kita Utsman bin Madz’un. [3]
Adapun secara istilah, maka dia adalah
sifat pasti yang khusus untuk para sahabat dan yang selain mereka diikutsertakan
karena mengikuti para sahabat tersebut.
Al Qalsyaany berkata dalam Tahrirul
Maqaalah min Syarhir Risaalah (q 36): As Salaf Ash Sholih adalah generasi
pertama yang mendalam ilmunya lagi mengikuti petunjuk Rasulullah dan menjaga
sunnahnya. Allah ta’ala telah memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan
meridhoi mereka sebagai imam-imam umat. Mereka telah benar-benar berjihad di
jalan Allah ta’ala dan menghabiskan umurnya untuk memberikan nasihat dan
manfaat kepada umat, serta mengorbankan dirinya untuk mencari keridhoan-Nya.
Sungguh Allah ta’ala telah memuji mereka
dalam kitab-Nya dengan firman-Nya:
مُّحَمَّدُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ
أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ
Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka. (Qs. Al fath [48]: 29)
Dan
firman Allah,
لِلْفُقَرَآءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ
أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ
وَرِضْوَانًا وَيَنصُرُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah
yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari
karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itulah orang-orang yang benar. (Qs. Al Hasr [59]: 8)
Di dalam ayat ini, Allah ta’ala menyebut
kaum Muhajirin dan Anshor kemudian memuji ittiba’ (sikap ikut) kepada mereka
dan meridhoi hal tersebut demikian juga orang yang menyusul setelah mereka dan
Allah ta’ala mengancam dengan adzab orang yang menyelisihi mereka dan mengikuti
jalan selain jalan mereka, maka Allah ta’ala berfirman:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ
مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ
مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruknya tempat kembali. (Qs. An Nisa’ [4]: 115)
Maka merupakan suatu kewajiban mengikuti
mereka pada hal-hal yang telah mereka nukilkan dan mencontoh jejak mereka pada
hal-hal yang telah mereka amalkan serta memohonkan ampunan bagi mereka.
Allah ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلاَتَجْعَلْ
فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunilah
kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyanyang.” (Qs. Al Hasr [59]: 10)
Istilah ini pun diakui oleh ahli kalam
pada zaman dahulu dan mutaakhirin (zaman
sekarang -ed). Al Ghozali berkata dalam
kitab Iljaamul Awaam An Ilmil Kalaam hal 62 ketika mendefinisikan kata As
Salaf: “Saya maksudkan adalah madzhab
sahabat dan tabiin.”
Al Baijuuri berkata dalam kitab Syarah Jauharu At Tauhid
hal. 111: “Yang dimaksud dengan salaf adalah orang yang terdahulu, yaitu para
Nabi, sahabat, tabiin dan tabiit-tabiin.”
Istilah inipun telah dipakai oleh para
ulama pada generasi-generasi yang utama untuk menunjukkan masa sahabat dan
manhaj mereka, diantaranya:
1. Imam Bukhari berkata (6/66- Fathul
Bari): Rasyid bin Saad berkata: “Dulu para salaf menyukai kuda jantan, karena
dia lebih cepat dan lebih kuat.”
Al Hafidz Ibnu Hajar menafsirkan
perkataan Rasyid ini dengan mengatakan: “Yaitu dari para sahabat dan orang
setelah mereka.”
Saya berkata: Yang dimaksud adalah
sahabat karena Rasyid bin Saad adalah seorang tabi’in maka sudah tentu yang
dimaksud di sini adalah sahabat.
2. Imam Bukhari berkata (9/552 – Fathul
Bari): Bab As Salaf tidak pernah menyimpan di rumah atau di perjalanan mereka makanan, daging dan
yang lainnya.
Yang dimaksud adalah sahabat.
3. Imam Bukhari berkata (1/342- Fathul
Bari): Dan Azzuhri berkata tentang tulang-tulang bangkai-seperti gajah dan yang
sejenisnya- : “Saya menjumpai orang-orang dari kalangan ulama salaf bersisir dan berminyak dengannya dan
mereka tidak mempersoalkan hal itu.”
Yang dimaksud adalah sahabat karena
Azzuhri adalah seorang tabi’in.
4. Imam Muslim telah mengeluarkan dalam
Muqodimah Shohihnya hal. 16 dari jalan periwayatan Muhammad bin Abdillah,
beliau berkata: Aku telah mendengar Ali bin Syaqiiq berkata: Saya telah
mendengar Abdullah bin Al Mubarak berkata- di hadapan manusia banyak-:
“Tinggalkanlah hadits Amru bin Tsaabit, karena dia mencela salaf.”
Yang dimaksud adalah sahabat.
5. Al Auza’iy berkata: “Bersabarlah
dirimu di atas sunnah, tetaplah berdiri di tempat kaum tersebut berdiri,
katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tinggalkan apa yang mereka
tinggalkan dan tempuhlah jalannya As Salaf Ash Sholih, karena akan mencukupi
kamu apa saja yang mencukupi mereka. [4]
Yang dimaksud adalah sahabat.
Oleh karena itu, kata As Salaf telah
mengambil makna istilah ini dan tidak lebih dari itu.
Adapun dari sisi periodisasi
(perkembangan zaman), maka dia dipergunakan untuk menunjukkan generasi terbaik
dan yang paling benar untuk dicontoh dan diikuti, yaitu tiga generasi pertama
yang telah dipersaksikan dari lisan sebaik-baiknya manusia, Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa mereka memiliki keutamaan dengan sabdanya:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَذِيْنَ
يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ يَجِيْءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ
شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِيْنَهُ وَ يَمِيْنُهُ شَهَادَتَهُ
Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku,
kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi kemudian datang
kaum yang syahadah salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya
mendahului syahadatnya. [5]
Akan tetapi periodisasi ini kurang
sempurna untuk membatasi pengertian salaf ketika kita lihat banyak dari
kelompok-kelompok sesat telah muncul pada zaman-zaman tersebut, oleh karena itu
keberadaan seseorang pada zaman tersebut tidaklah cukup untuk menghukum
keberadaannya di atas manhaj salaf kalau
tidak sesuai dengan para sahabat dalam memahami Al Kitab dan As Sunah. Oleh
karena itu para Ulama mengkaitkan
istilah ini dengan As Salaf Ash Sholih.
Dengan ini jelaslah bahwa istilah salaf
ketika dipakai tidaklah melihat kepada dahulunya zaman akan tetapi melihat
kepada para sahabat nabi dan yang mengikuti mereka dengan baik. Dan di atas
tinjauan inilah dipakai istilah salaf yaitu dipakai untuk orang yang menjaga
keselamatan aqidah dan manhaj di atas pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabatnya sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.
[6]
Dengan demikian aqidah salaf adalah
keyakinan terhadap ajaran agama islam sesuai dengan keyakinan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Arti Penting Aqidah Salaf
Sudah sepantasnya seorang yang ingin
memperjari aqidah salaf mengetahui arti penting (urgensi) aqidah tersebut.
Semua ini untuk memberikan gambaran kedudukan aqidah tersebut dan dapat
mendorong untuk lebih semangat mempelajarinya. Terlebih-lebih pada masa
sekarang ini; dimana banyak kaum muslimin yang melalaikan hal ini dan tenggelam
dalam lautan syahwat dan syubhat.
Arti penting mempelajari aqidah salaf
terlahir dari arti penting aqidah itu sendiri. Juga kepada kewajiban
bersungguh-sungguh bekerja untuk mengembalikan manusia kepada aqidah tersebut.
Hal ini karena beberapa hal:
1.
Belajar aqidah salaf termasuk mempelajari ilmu termulia, teragung dan
terpenting, karena kemuliaan satu ilmu tergantung dengan dzat yang dipelajari
(Al Ma’lum) dan Allah adalah Dzat yang maha agung dan maha mulia. Mengenal
Allah merupakan dasar terpenting semua ilmu. Oleh karena itu imam Abu hanifah
menamakan ilmu aqidah ini sebagai Fiqhul Akbar.
2.
Aqidah salaf adalah wasilah terpenting mencapai keridhoan Allah.
3.
Barisan kaum muslimin dan para da’inya hanya dapat bersatu diatas aqidah
ini. Demikian juga kekuatan mereka, tanpa aqidah ini mereka akan berpecah
belah. Hal ini dikarenakan aqidah salaf adalah aqidah Al Quran dan sunah serta
aqidah generasi pertama umat ini dari kalangan para sahabat. Sehingga seluruh
kesatuan dan persatuan yang tidak berlandaskan aqidah ini hasilnya hanyalah
kegagalan dan perpecahan.
4.
Aqidah salaf membuat seorang muslim mengagungkan nash Al Qur’an dan
Sunnah dan melindunginya dari penolakan makna atau bermain-main dalam
menafsirkannya sesuai hawa nafsu dan keinginannya.
5.
Aqidah salaf mengikat seorang muslim kepada para salaf dari kalangan
sahabat dan yang mengikuti mereka, sehingga menambah kemuliaan, iman dan kehormatannya.
Hal ini karena para salaf tersebut adalah para wali Allah dan imam-imam yang
bertaqwa. Hal ini seperti disampaikan oleh Ibnu Mas’ud:
إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ
فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ
الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي
قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ
قُلُوب الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا
سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ
Sesungguhnya Allah telah melihat hati
para hamba-Nya, dan mendapatkan hati Muhammad sebaik-baiknya hati mereka, lalu
memilihnya dan mengutusnya membawa risalah. Kemudian melihat kepada hati para
hamba setelah hati Muhammad dan mendapatkan hati para sahabat sebaik-baiknya
hati para hamba, lalu menjadikan mereka sebagai pendamping nabi-Nya. Mereka
berperang membela agama-Nya, sehingga apa yang dipandang kaum muslimin sebaagi
kebaikan maka ia baik disisi Allah dan apa yang dipandang mereka sebagai
kejelakan maka ia adlah kejelekan di sisi Allah. [7]
6.
Aqidah salaf memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh yang
lainnya, yaitu kejelasannya. Aqidah salaf menjadikan Al Qur’an dan Sunnah
sebagai sumber gambaran dan pemahamannya, jauh dari ta’wil, ta’thil dan
tasybih. Demikian juga aqidah ini dapat menyelamatkan orang yang berpegang
teguh (komitmen) kepadanya dari kerancuan pembicaraan tentang dzat Allah,
menemtang nash Al Qur’an dan Sunnah nabi-Nya. Dari sana aqidah salaf memberikan
pemiliknya sikap ridho dan tenang menerima taqdir Allah dan mengagungkan
keagungan Allah serta tidak membebani akal untuk berfikir tentang sesuatu di
luar kemampuannya, seperti masalah-masalah ghaib. Maka aqidah salaf sangat
mudah sekali (dipahami –ed) serta jauh dari kerancuan dan ketidak mampuan
memahaminya. [8]
Keistimewaan dan Karakteristik Aqidah
salaf
Diantara kekhususan dan keistimewaan
aqidah salaf, adalah:
1.
Aqidah salaf bersumber kepada sumber yang asli dan suci yaitu Al Qur’an
dan Sunnah, dan jauh dari hawa nafsu dan syubhat.
2.
Aqidah salaf memberikan ketenangan dan kemantapan jiwa dan menjauhkan
pemiliknya dari keraguan dan kerancuan.
3.
Aqidah salaf menjadikan sikap seorang muslim selalu mengagungkan
nash-nash Al Qur’an dan Sunnah, karena ia mengetahui kebenaran dan hak hanya
ada padanya. Inilah keselamatan dan keistimewaan yang penting.
4.
Aqidah salaf dapat mewujudkan sifat yang Allah ridhoi dalam firman-Nya:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ
حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya. (Qs. An Nisaa’ : 65)
5.
Aqidah salaf mengikat seseorang dengan para Salaf Sholeh.
6.
Aqidah salaf menyatukan barisan kaum muslimin dan persatuannya, karena
ini merupakan perwujudan firman Allah:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ
تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً
فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ
عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ
اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Qs.
Ali Imran: 103)
7.
Aqidah salaf menjadikan orang yang berpegang teguh (komitmen) dengannya
selamat dan masuk dalam janji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendapatkan pertolongan dan kemenangan disunia dan keselamatan di akherat.
8.
Berpegang teguh kepadanya merupakan sebab terpenting keistiqomahan agama
seseorang.
9.
Aqidah salaf memiliki pengaruh besar dalam perbaikan suluk dan akhlak
orang yang berpegang teguh (komitmen) dengannya.
10.
Berpegang teguh dan mengamalkan aqidah salaf termasuk sebab terpenting
yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh keridhoannya. [9]
11.
Aqidah salaf adalah aqidah yang konsisten tidak berubah dengan tempat
dan zaman.
12.
Aqidah salaf adalah aqidah yang jelas dan mudah, karena diambil dari
sumber yang suci jauh dari noda syubhat dan hawa nafsu dan bersih dari
ta’wil-ta’wil.
Arti Penting Kitab Al ‘Aqidah Al
Wasitiyah Dalam Mempelajari Aqidah Salaf
Kitab ini telah mendapatkan pujian dan
penerimaan dari para ulama dan penuntut ilmu baik terdahulu maupun sekarang.
Kitab yang dikarang Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah ini sudah tidak asing lagi
bagi mereka, karena kedudukan dan arti pentingnya dalam menjelaskan aqidah Ahlu
Sunnah wal Jama’ah.
Di antara arti pentingnya adalah:
1. Kitab ini telah diakui sangat
bermanfaat dalam menjelaskan aqidah salaf walaupun dengan lafadz yang ringkas
dan ibarat yang mudah.
2. Kandungan Aqidah Wasitiyah ini
seluruhnya bersandarkan kepada Al Qur’an, Sunnah dan ijma’ salaf umat ini dan
para imamnya. Ini ada pada lafadz dan maknanya. Hal ini dijelaskan beliau dalam
pernyataannya dalam dialog yang terjadi dalam aqidah ini:
Saya dalam aqidah ini sangat
memperhatikan petunjuk Al Quran dan Sunnah. [10]
Dan menyatakan:
Semua lafadz yang saya sebutkan (dalam
aqidah ini), mesti saya sebutkan juga dengannya ayat atau hadits atau ijma’
salaf. [11]
3. Isi kandungan kitab ini adalah hasil
riset penelitian Syeikhul Islam terhadap perkataan dan pendapat para salaf
dalam pembahasan nama dan sifat Allah, hari akhir, iman, takdir, sahabat dan
lain-lainnya dari permasalahan ushul dan i’tikad. Ini tampak dalam pernyataan beliau:
Tidaklah saya masukkan dalam kitab ini
kecuali aqidah seluruh salaf sholeh. [12]
4.
Pengarang kitab ini (Syeikhul Islam) telah mengerahkan kemampuan dan
kesempatannya untuk menjelaskan sejelas-jelasnya jalan firqatun najiyah dalam
aqidah, sehingga beliau berkata:
Saya telah teliti secara perlahan seluruh
orang yang menyelisihi saya pada satu hal dari aqidah ini selama tiga tahun.
Jika ada satu huruf dari seorang yang termasuk tiga generasi mulia yang
menyelisihi apa yang telah saya sampaikan, maka saya akan rujuk dari hal itu.
[13]
5.
Kitab aqidah ini walaupun sangat ringkas tapi telah mencakup hampir
semua permasalahan i’tikad dan ushul iman. [14]
Demikian, kitab ini telah meraih
penerimaan para ulama, sehingga Al Imam Adz Dzahabi menyatakan:
Telah disepakati kitab ini merupakan
i’tikad salafi yang bagus. [15]
Juga Ibnu Rajab menyatakan:
Telah disepakati, inilah I’tikad sunni
salafi. [16]
Demikian juga Syeikh Abdurrahman As
Sa’diy menyatakan:
Kitab ini dengan ringkas dan jelasnya
telah mencakup seluruh i’tikad yang wajib diyakini dalam ushul iman dan aqidah
yang shohihah. [17]
Syeikh Zaid bin Abdilaziz bin Fayyaadh
menyatakan:
Sesungguhnya kitab Al Aqidah Al Wasitiyah
karya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah walaupun kecil dan ringkas namun sangat
bermanfaat dan besar faedahnya. Beliau dalam kitab ini telah menjelaskan
madzhab salaf dalam aqidah yang selamat dari noda-noda kebidahan dan pemikiran
ahli kalam yang sesat. [18]
Syarah dan Ta’liq Kitab Al Aqidah Al
Wasithiyah
Oleh karena itulah para ulama dan penuntut
ilmu memberikan perhatian serius terhadap kitab ini baik dalam pengajaran atau
karya tulis mereka. Mereka menulis syarah dan ta’liq (komentar penjelas)
terhadap kitab ini.
Diantara hasil karya mereka yang
berkenaan dengan kitab Al Aqidah Al Wasitiyah adalah sebagai berikut:
At Tambihatul Lathifah fi Maa Ihtawat
‘alaihi Al Wasithiyah minal Mabaahits Al Munifah karya Syeikh Abdurrahman bin
Naashir As Sa’diy. Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul Syarah Aqidah Al Wasitiyah oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
Jawaz, diterbitkan oleh Darul Haq, Jakarta.
Al Aqidah Al Wasithiyah yang dita’liq
oleh Syeikh Muhammad bin Abdil Aziz bin Maani’, ini merupakan komentar singkat
beliau, diterbitkan di percetakan Saad Ar Rasyiid di Riyadh.
Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah karya
Syeikh Muhammad Kholil Haraas, kitab ini ditahqiq oleh Alwiy bin Abdil Qadir As
Saqqaaf, diterbitkan oleh penerbit Darul Hijroh, Riyadh, KSA. Sebelum beliau
kitab ini telah diteliti oleh Syeikh Abdur Razaaq ‘Afifiy dan dicetak oleh Al
Jami’ah Al Islamiyah (Universitas Islam Madinah) dalam 176 halaman. Kemudian
dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar Syeikh Isma’il Al Anshoriy, dicetak
di Riasah Al Amaah liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal
Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Syarah ini memiliki keistimewaan dalam
syarah yang tidak terlalu panjang, namun hampir semua ibarat Syeikhil Islam
telah tersyarah kata perkata.
At Tambihatus Sunniyah ‘Alal Aqidah Al
Wasithiyah karya Syeikh Abdulaziz bin Naashir Ar Rosiid. Ini adalah syarah yang
cukup panjang lebar dalam 388 halaman dan diterbitkan Dar Ar Rasyid.
Al Kawaasyif Al jaliyah ‘An Ma’aaniy Al
Wasithiyah karya Syeikh Abdul Aziz bin Muhammad Ali Salman. Dicetak beberapa
kali dan dibagikan cuma-cuma. Akhir cetakan adalah cetakan ke-17 tahun 1410
dalam 807 halaman.
Al Asilah wal Ajwibah Al Ushuliyah ‘Alal
Aqidah Al Wasithiyah karya Syeikh Abdul Aziz Ali Salman. Berisi 340 halaman dan
dibagikan cuma-cuma.
Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah karya
Syeikh Sholih bin Fauzaan Ali Fauzan. Beliau salah seorang anggota majlis ulama
besar Saudi Arabia. Ini adalah syarah
ringkas dan mudah dalam 222 halaman. Beliau banyak bersandar dalam syarah ini
kepada kitab At Tambihatus Sunniyah ‘Alal Aqidah Al Wasithiyah karya Syeikh
Abdul Aziz bin Naashir Ar Rosiid dan Ar Roudhatun Nadiyah Syarh Al Aqidah Al
Wasithiyah karya Zaid bin Abdil Aziz bin Fayyaadh.
At Ta’liqatul Mufidah ‘Alal Aqidah Al
Wasithiyah karya Abdullah bin Abdurrohman bin Ali Asy Syariif.
Al Aqidah Al Wasithiyah wa Majlis Al
Munadzaroh fiha Baina Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah wa ‘Ulama Ashrihi, ditahqiq
oleh Zuhair Asy Syaawiisy.
Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah karya
Syeikh Sa’id bin Ali bin Wahb Al Qohthoniy.
Ar Roudhatun Nadiyah Syarh Al Aqidah Al
Wasithiyah karya Zaid bin Abdil Aziz bin Fayyaadh. Kitab yang menjelaskan
Aqidah Al Wasithiyah dengan panjang lebar sepanjang 516 halaman.
Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya
Syeikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Ini adalah syarah yang sangat bagus dan
indah, sepantasnya dimiliki oleh setiap penuntut ilmu. Dicetak dalam 2 jilid
sebanyak 414 halaman di Dar Ibnil Jauziy.
Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah min Kalami
Syeikhil Islam karya Syeikh Kholid bin Abdillah Al Mushlih. Dalam syarah ini
beliau mengambil penukilan pernyataan Syeikhul Islam dalam karya-karya tulisnya
ditambah sedikit dari pernyataan Ibnul Qayim dalam melengkapi syarahnya.
Dicetak dalam 216 halaman di Dar Ibnil Jauziy tahun 1421 H
Syarah Aqidah al-Wasithiyah karya Syeikh
Sholih bin Abdul Aziz Ali Syeikh
Syarah Aqidah al-Wasithiyah karya Syeikh
Abdurrahman al-Baraak
At Ta’liqaat as-Sunniyah ‘Alal Aqidah Al
Wasithiyah karya Syeikh Faishol bin Abdul Aziz Ali Mubaarak.
Dan lain-lain.
Sebab Penamaan Al Aqidah Al Wasitiyah
Kitab Al Aqidah Al Wasitiyah karya
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah ditulis beliau dengan satu sebab, yaitu permintaan
Syeikh Radhiuddin Al Waasithiy. Beliau diminta menulis satu tulisan mengenai
aqidah salaf Ahli Sunnah wal Jama’ah karena banyaknya penyimpangan dan
kebodohan kaum muslimin terhadap aqidah yang benar. Hal ini beliau jelaskan
dalam pernyataannya:
Seorang qadhi dari wilayah Waasith [19]
bernama Radhiuddin Al Waasithiy yang bermadzhab Syafi’iy datang kepada kami
sambil pergi haji. Beliau seorang yang sholeh dan berilmu. Kedatangan beliau
kepada kami mengadukan keadaan manusia di negeri tersebut dan di negeri Tatar
(di bawah kekuasan bangsa Tatar (Mongol)). Mereka dalam keadaan sangat bodoh
dan dzolim sampai-sampai mereka kehilangan agama dan ilmu. Beliau meminta saya
menulis aqidah yang dapat dijadikan sandaran (pedoman) dia dan keluarganya.
Lalu saya merasa sungkan memenuhinya. Maka saya katakana padanya: “Sudah banyak
para ulama telah menulis kitab aqidah yang beragam, ambillah darinya aqidah
para imam sunnah.” Namun beliau terus meminta kepada saya dan berkata: “Saya
hanya menginginkan aqidah yang engkau tulis.” Kemudian saya menuliskan untuknya
aqidah ini dalam keadaan duduk setelah Ashar. Akhirnya tulisan aqidah ini
banyak tersebar di kota Mesir, Iraq dan lainnya. [20]
Karena itulah aqidah ini dinamakan Al
Aqidah Al Wasithiyah. Demikian juga aqidah ini merupakan aqidah yang
tengah-tengah yang adil sebagaimana Ahlus Sunnah tengah-tengah di antara
kelompok islam yang ada. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan:
Bahkan mereka –yaitu Ahlus sunnah wal
Jama’ah- wasath (tengah-tengah) di antara kelompok (firqoh) umat islam,
sebagaimana umat islam adalah umat tengah-tengah di antara umat yang ada.
Mereka (ahlu sunnah) bersikap adil (tengah-tengah) dalam pembahasan sifat Allah
diantara ahlu ta’thil [21] Jahmiyah [22] dan ahlu Tasybih [23] Al Musyabihah
[24]. Demikian juga bersikap adil (tengah-tengah) dalam masalah perbuatan
Allah, di antara Al Jabariyah dan Al Qadariyah… [25]
Sehingga benar-benar wasithiyah yang
wasath (yang adil tengah-tengah).
Footnotes:
[1] Al-Wajiz fi Aqidah as-Salaf hal. 20
[2] HSR Muslim No. 2450
[3] HSR Ahmad (1/237-238) dan Ibnu Saad
dalam Thobaqaat (8/37) dan dishohihkan Ahmad Syakir dalam Syarah Musnad No.
3103, akan tetapi dimasukkan oleh Al Albany dalam Silsilah Dhoifah No. 1715
[4] Dikeluarkan oleh Al Aajury dalam Asy
Syari’at hal.57
[5] Dan dia adalah hadits mutawatir.
[6] Lihat Limaaza Ikhtartu Manhaj as-Salafi.
[7] Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/379 dan dishohihkan sanadnya oleh Syeikh Ahmad
Syaakir no. 3600. Syeikh
Abu Usamah Saliim bin ‘ied Al Hilaliy: “Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam
musnadnya 3/179, Ath Thoyaalisiy dalam musnadnya hal 23 dan Al Khothib Al
baghdadiy dalam Al Faqiih wal Mutafaqqih 1/166 secara mauquf dengan sanad
hasan.” (diambil dari kitab Limadza Ikhtartu Al manhaj As Salafi (edisi Bahasa
Arab) karya Saalim bin I’ed Al Hilalie, cetakan Markaz Al Albani hal 88
[8] Dari kata pengantar Syeikh ‘Alwi
Abdil Qadiir As Saqaf pada kitab Syarah Al Aqidah Al Wasitiyah karya Muhammad
Kholil Al Haras, tahqieq ‘Alwi Abdil Qadiir As Saqaf, cetakan ketiga, tahun
1415H, Dar Al Hijroh, Riyaadh. hal 6-7 dengan pengurangan.
[9] Keistimewaan ini teringkas dalam
Mudzakirot Manhaj As Salaf hasil ceramah
Syeikh Abdullah Al Ubailaan. Hal 5-6.
[10] Majmu’ Fatawa 3/165
[11] ibid 3/189
[12] ibid 3/169
[13] ibid
[14] Hal ini diambil dari Syarah Al
Aqidah Al Wasitiyah yang disusun Syeikh Kholid bin Abdillah Al Mushlih, cetakan
pertama tahun 1421 H, Dar Ibnu Al Jauzie, Al Dammaam, hal 5-6.
[15] Al ‘Uqud Ad Duriyah hal 212
[16] Adz Dzail ‘ala Thobaqatul Hanabilah
2/396
[17] At Tambihat Al Lathifah hal 6
[18] Ar Roudhatun Nadiyah Syarah Al
Aqidah Al Wasitiyah karya Zaid bin Abdul Aziz Al Fayaadh, cetakan ketiga tahun
1414 H. Dar Al Wathon, Riyaadh. hal 3.
[19] Waasith adalah satu wilayah yang
dibangun Al Hajjaaj bin Yusuf Ats Tsaqafiy seorang panglima kholifah Abdil
Malik bin Marwan. Wilayah ini terletak di bagian selatan negeri Iraq di antara
kota Kufah dan Bashroh. Wilayah ini menjadi tengah-tengah di antara dua kota
ini. Karena inilah dinamakan Waasith. Lihat kitab Tarikh Waasith karya Bahsyal
hal 22.
[20] Majmu’ Fatawa 3/164
[21] Akan datang penjelasannya.
[22] Jahmiyah adalah sekte (firqoh) yang
berkembang pada akhir daulah bani Umayah dan muncul pertama kali di daerah
Turmudz. Mereka adalah pengikut Jahm bin Sofwan At Turmudziy yang dibunuh Salam
bin Ahwaz Al Maaziniy di Marw. Sekte ini memiliki kesamaan dengan Mu’tazilah
dalam meniadakan sifat-sifat Allah, menolak aqidah bahwa penghuni surga dapat
melihat Allah di surga (ru’yatullah). Dan mereka meyakini Al Qur’an adalah
makhluk. Namun ini lebih parah dari Mu’tazilah karena memiliki ajaran lain yang
berbahaya, diantaranya:
Tidak boleh mensifatkan Allah dengan
sifat yang dipakai mensifati makhluknya, karena hal itu menunjukkan adanya
tasybih (penyerupaan) Allah kepada makhluknya.
Manusia itu majbur (terjajah) dalam amal
perbuatannya, ia tidak memiliki kemampuan dan kehendak sedikitpun.
Neraka dan Surga tidak kekal
Iman hanyalah mengenal Allah dan tidak
bertingkat-tingkat.
Lihat kitab Al Milal wan Nihal karya Asy
Syahrostaniy 1/86-88 dan kitab Maqalaat Islamiyin karya Abul Hasan Al Asy’ariy
1/15 dan catatan kaki pentahqiq kitab Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits hal 162
serta catatan kaki pentahqiq Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Muhammad
Kholil Haraas op.cit hal 185.
[23] Akan datang penjelasannya.
[24] Al Musyabihah atau Mujassimah adalah
lawannya Jahmiyah dalam penetapan nama dan sifat Allah. Mereka menyatakan:
Allah memiliki tangan seperti tangan makhluk-Nya, memiliki pendengaran seperti
pendengaran makhluk-Nya dan memiliki penglihatan seperti penglihatan
makhluknya. Mereka inilah kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Lihat catatan kaki pentahqiq Syarh Al Aqidah Al Wasitiyah karya Haraas op.cit
hal 185.
[25] Syarah Aqidah Al Wasithiyah karya
Syeikh Kholid Al Mushlih op.cit hal 94-96.
-bersambung insya Allah-
Penyusun: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.ekonomisyariat.com
Silsilah Penjelasan Al Aqidah Al
Washithiyah
(Bagian 1)
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ، ونستعينه ، ونستغفره ،
ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ، ومن سيئات أعمالنا ، من يهده الله فلا مضل له ومن
يضلل فلا هادي له ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك لـه ، وأشهد أن محمداً
عبده ورسوله
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ آل عمران:102
Tulisan berikut merupakan usha sederhana
untuk ikut serta berdakwah kepada Alloh Ta’ala, catatan ini telah dimulai sejak
2 tahun yang lampau, dengan memohon pertolongan Alloh kami sajikan pada anda :
Rujukan Utama Tulisan :
Al-Washithiyah, Syaikh Abdurrohman Nashir
As-Sa’di rohimahulloh. (Dar Al-Bashiroh).
Syarhu Al-Washithiyah, Syaikh Muhammad
Kholil Haros rohimahulloh. (Dar Al-Bashiroh). Takhrij Syaikh Alwi bin Abdil
Qodir Asyaqof (Sahab.org).
Al-Kawasyiful Jaliyyah ‘alal Ma‘ani
Al-Washithiyyah. Abdul Aziz bin Muhammad Sulaiman. Rohimahulloh. (Dar
Al-Bashiroh).
Syarhu Al-Washithiyah, Abdul ‘Aziz bin
Baz rohimahulloh. (Dar Al-Bashiroh).
Syarhu Al-Washithiyah, Muhammad bin
As-Shalih Al-‘Utsaimin rohimahulloh. (Dar Al-Bashiroh).
Syarhu Al-Washithiyah, Shalih bin Abdul
Aziz Al-Fauzan hafidzohulloh. (Dar Al-Bashiroh).
Syarhu Al-Washithiyah, Shalih bin Abdul
Aziz Alu Syaikh hafidzohulloh. (Rekaman dan tulisan dari Sahab.org).
Syarhu At-Thohawiyah, Shalih bin Abdul
Aziz Alu Syaikh hafidzohulloh. (Dar Ibnul Jauzi dan
Rekamannya).
Syarhu Al-Washithiyah, Andurrohman Nashir Al-Barrok.
(Rekaman dan tulisan dari Maktabah Syamilah).
At-Ta’liqot As-Saniyah ‘alal Aqidah Al-Washithiyah,
Syaikh Faishol bin Abdul Aziz Al-Barrok
rohimahulloh.
Syahu Al-Washithiyah, Kholid Al-Mushlih hafidzohulloh.
(Dar Ibnul Jauzy).
Al-Masail Al-Mardhiyah ‘alal Aqidah Al-Washithiyah. Ali
Khudair hafidzohulloh.
Mulhaq Al-Aqidah Al-Washithiyah, Syaikh Alwi bin Abdil
Qodir Asyaqof hafidzohulloh. (Sahab.org).
Syarhu Al-Aqidah Al-Washithiyah, Syaikh Ibrohim Ar-Ruhaili
hafidzohulloh. (Rekaman)
At-Ta’liqot Az Zakiyah ‘alal Aqidah al Washithiyah,
Syaikh Jibrin rohimahulloh, Darul Wathon Linasyr.
التنبيهات السنية على العقيدة الواسطية, Syaikh Abdul Aziz
bin Nashir ar Rosyid.
Ar Raudoh An Nadiyah Syarh al Aqidah al
Washithiyah, Zaid bin Abdul Aziz, Darul Wathon.
Ar-Rosail Al-Jami’ah fil Aqidah Juz 1.
(Kumpulan permasalahan Aqidah yang kami kumpulkan dari berbagai kitab). Koleksi
Maktabah Keluarga Abu Abdussalam Al-Maktabah Asy-Syakilah
Muqoddimah
I. Biografi Singkat Penulis Aqidah
Al-Washithiyah :
1. Nama, Gelar Dan Tempat Tanggal Lahir
Nama beliau adalah Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam
Ibnu Taimiyah Al Harrani kemudian Dimasqi.
Gelar Beliau adalah syaikhul Islam
Taqiyuddin.
Lahir pada hari Senin tanggal 10 atau 12
Robi’ul Awwal tahun 661 H. di Kota Harran, yaitu kota yang terletak di Timur
Laut negeri Syam di Jazirah Ibnu Amru. Antara sungai Tigris dan Eufrat. Pada
tahun 667 H beliau pindah bersama kedua orang tuanya ke Damaskus.
2. Keluarga Beliau
Keluarga beliau adalah keluarga yang
dikenal dengan kecintaannya kepada ilmu. Ayah dan kakek beliau seorang ulama
terkemuka. Kakek beliau Al-Majd bin Taimiyah seorang ulama besar di zamannya,
warisan kakek beliau adalah kitab ‘Muntaqol Akhbar fi Ahaditsi Sayyidil
Akhyar”, demikian pula ayahnya, Syihabuddin Abdul Halim rohimahumulloh Ta’ala.
Saudaranya Abu Muhammad, beliau seorang
ulama ahli fiqih dari kalangan Hanabilah.
3. Guru-Guru Penulis.
Salah seorang muridnya; Ibnu Abdil Hadi
berkata : “Dan guru-guru beliau yang dia belajar dari mereka lebih dari dua
ratus guru”.
Yang paling terkenalnya adalah :
Syamsuddin Abu Muhammad Abdurrohman bin Qudamah Al-Maqdisi. (W. 682 H).
Aminuddin Abul Yaman Abdusshomad bin
‘Asakir Ad-Dimasqi As-Syafi’I (W. 687 H).
Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin
Abdul Qowi bin Baddan Al Mardawi (W.703 H).
4. Murid-Murid Penulis
Termashurnya adalah :
Syamsuddin bin Abdul Hadi A-Hanbali (W.
744 H)
Syamsuddin Adz-Dzahabi As-Syafi’i (W. 748 H)
Syamsuddin Ibnul Qoyyim (W.751 H)
Syamsuddin Ibnu Muflih Al-Hanbali (W. 762
H)
‘Imaduddin Ibnu Katsir As-Syafi’i (774 H)
5. Karya Tulis Penulis
Imam Adz-Dzahabi berkata : “Aku mengumpulkan tulisan
Syiakhul Islam Taqiyuddin Abil Abbas Ahmad bin Taimiyyah rodiyallohu ‘anhu,
maka aku dapati seribu tulisan, kemudian aku melihat pula, baginya
tulisan-tulisan yang lainnya”.
Berikut kita sebutkan beberapa karya tulis beliau :
Dalam Bidang Tafsir :
Tafsiru Surotil Ikhlas, terangkum di dalam kitab Majmu’
al-Fatawa.
Jawabu Ahlil Ilmi wal Iman bi Tahqiq Ma Akhbaro bihi
Rosulur Rahman, min an Qulwuallohu Ahad Ta’dilu Tsulutusul Qur’an.
Tafisrul Mu’awidatain.
Dalam Bidang Fiqih
Risalatul Qiyas
Al-Qowa’id
Risalatul Hisbah
Al -Amru bil Ma’ruf
Al-‘Uqud
Haqiyatus Shiam
Dalam Bidang Aqidah
Al-Iman
Al-Istiqomah
Iqtido shirotil Mustaqim
Al-Furqon baina Waliairrohman Wa Awaliyaisy Syaithon
At-Tawashul Wal Washilah
Al-Washithiyah
At-Tadmuriyah
Al-Hamawiyah
Minhajuss Sunnah An-Nabawiyah
Syarhu Haditsin Nuzuul
Naqdul Manthiq
Ma’arijul Wushul
6. Keilmuan Penulis
Imam As-Syubqi, Muhammad bin Abdil Bar As-Syafi’I berkata
(W.777 H) :
ما يبغض ابن تيمية إلا جاهل أو صاحب هوى فالجاهل
لا يدري ما يقول وصاحب الهوى يصده هواه عن الحق بعد معرفته به
“Tidaklah membenci Ibnu Taimiyah kecuali
seorang yang bodoh atau pengekor hawa nafsu, orang yang bodoh tidak mengetahui
apa yang dia katakan, adapun pengekor hawa nafsu maka hawa nafsunya telah
menghalanginya dari kebenaran setelah dia mengetahuinya”.
Al-‘Alamah Kamaluddin Ibnu Az-Zamalkani
As-Syafi’i –dan beliau salah satu dari musuhnya– berkata (W. 767) :
كان إذا سئل عن فن من العلم ظن الرائي والسامع
انه لا يعرف غير ذلك الفن وحكم ان احدا لا يعرف مثله وكان الفقهاء من سائر الطوائف
إذا جلسوا معه استفادوا في مذاهبهم منه ما لم يكونوا عرفوه قبل ذلك ولا يعرف أنه
ناظر أحدا فانقطع معه ولا تكلم في علم من العلوم سواء كان من علوم الشرع أو غيرها
إلا فاق فيه أهله والمنسوبين اليه
“Jika dia ditanya tentang satu bidang
ilmu tertentu maka yang melihat dan mendengar akan menyangka bahwa dia tidaklah
mengetahui ilmu yang lain kecuali ilmu tersebut, dan akan menghukumi bahwa
tidak ada seorang pun yang mengetahui seperti dia. Para ahli fiqih dari
berbagai kelompok, jika mereka duduk bersamanya maka mereka mendafatkan faidah
tentang madzhab mereka yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Tidaklah
diketahui, jika dia berdialog dengan seseorang kemudian dia kalah. Tidaklah dia
berkata tentang suatu ilmu dari ilmu-ilmu, baik ilmu syar’i atau pun yang
lainnya kecuali dia ahlinya di dalam ilmu tersebut dan dinasabkan kepada ilmu
yang dia bicarakan”.
Di dalam riwayat yang dikeluarkan Ibnu
Rojab secara sahih dari Al-‘Alamah Kamaluddin Ibnu Az-Zamalkani, beliau
berkata:
ما ير من خمسمائة سنة أو قال أربعمائة سنة والشك
من الناقل وغالب ظنه انه قال من خمسمائة سنة احفظ منه انتهى
“Tidaklah didapatkan semenjak 500 tahun
atau 400 tahun – dan keraguan dari yang menukil dan berat prasangkanya bahwa
dia berkata : semenjak 500 tahun – yang
lebih berilmu darinya”.
Al-‘Alamah Al-Imam Abul Fathi Muhammad
bin ‘Ali bin Wahb Ibnu Daqiqil ‘Id
As-Syafi’i al-Maliki berkata (W. 702 H) :
لما اجتمعت بابن تيمية رأيت رجلا العلوم كلها بين
عينيه يأخذ منها ما يريد ويدع ما يريد
“Tatkala aku bertemu dengan Ibnu
Taimiyah, maka aku melihat seseorang yang seluruh ilmu ada di kedua pelupuk
matanya, dia mengambil yang dia inginkan dan meninggalkan yang tidak dia
inginkan”.
Al-Hafidz Abul Hajaj Ad-Dimasqi As-Syafi’i berkata (W.
742 H) :
ما رأيت مثله ولا رأى هو مثل نفسه وما رأيت أحدا
أعلم بكتاب الله وسنة رسول الله صلى الله عليه و سلم ولا أتبع لهما منه
“Aku belum pernah melihat orang
sepertinya, dan dia sendiri tidak pernah pula melihat yang sepert dirinya, aku
tidak melihat seorang pun yang lebih mengetahui kitabulloh dan sunnah
rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam dan lebih mengikuti keduanya
daripadanya”.
7. Wafat Beliau
Beliau meninggal pada tanggal 26 Dzul Ao’dah tahun 728 H.
Sebelum meninggal beliau sakit selama dupuluh hari lebih,
kebanyakan orang tidak mengetahui tentang sakitnya, sehingga mereka sangat
terkejut mendengar berita kematiannya raohiamulloh rohmatan wasi’atan.
II. Sekilas Tentang Kitab Aqidah Al-Washithiyah
1. Sebab Penulisan
Risalah ini ditulis dikarenakan adanya permintaan dari
salah seorang hakim daerah Washith di
negeri Iraq. Dikatakan Washith (Pertengahan\tengah-tengah) karena daerah
tersebut terletak diantara Kuffah dan Bashroh.
Di dalam Majmu Fatawa (3\129) disebutkan : Salah seorang
hakim negeri Washith meminta Syaikhul Islam rohimahulloh untuk menuliskan kitab
aqidah yang bisa menjadi bekal baginya dan keluarganya, maka syaikh memenuhi
permintaannya.
Beliau berkata di dalam Al-Fatawa (3\160) : “Maka aku
menghadirkan kitab aqidah yang ditulis dari sejak tujuh tahun sebelum datangnya
pasukan Tartar ke Syam … (sampai perkataannya) …, kemudian aku mengutus orang
untuk menghadirkannya\mengambilkan-nya dari rumahku, dan bersama kitab tersebut
karoris (juz\bagian dari buku) dengan tulisanku. Maka datanglah al-aqidah
al-washithiyah. Aku berkata kepada mereka : Sebab ditulisnya kitab ini adalah
adanya seseorang hakim yang datang kepadaku dari daerah Washith, disebutkan
namanya : Rodiyuddin Al-Washithy penganut madzhab Syafi’i. Datang kepada kami
dalam keadaan berhaji, dia merupakan ahli khoir dan dien. Dia mengadukan
sesuatu yang telah menimpa manusia di negeri tersebut di bawah kungkungan
Tartar, dari tersebarnya kebodohan, kedzoliman, serta terkuburnya agama dan
ilmu. Ia meminta kepadaku untuk menuliskan aqidah yang bisa menjadi bekal
baginya dan keluarganya. Maka awalnya aku enggan untuk memenuhinya, aku berkata
kepadanya : ‘Telah banyak para ulama yang menulis masalah ‘aqo’id\aqidah, maka
ambilah sebagian kitab ‘aqo’id yang telah ditulis oleh para imam sunnah, aku
tidak bisa memenuhi permintaan anda’.
Dia menimpali perkataanku : ‘Aku tidak menginginkannya kecuali kitab
aqidah yang engkau tulis’. Maka aku-pun menuliskan kitab ini baginya, aku duduk
ba’da ashar. Setelah itu tersebarlah nuskoh yang sangat banyak, di Mesir, Iraq
dan di selain keduanya'”.
Di dalam al-Fatawa (3\194): Syaikh ‘Ilmuddin mengutipkan
bahwa as-syaikh semoga Alloh mensucikan ruhhnya berkata di dalam majlis para
petinggi tatkala mereka bertanya kepadanya tentang aqidah yang dianutnya, maka
syaikh menghadirkan kitab aqidahnya al-washithiyah kemudian berkata : ‘Kitab
aqidah ini aku menuliskannya sekitar tujuh tahun sebelum masuknya Tartar ke
Syam’. Maka kitab tersebut dibacakan di majlis. Kemudian ‘Ilmuddin mengutip
dari as-Syaikh, bahwa beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata : ‘Sebab penulisan kitab
ini adalah (datangnya) salah seorang hakim negeri Washith, dari kalangan ahli khoir, ad-dien
dan ilmu. Dia memintaku untuk menulis kitab aqidah baginya; sungguh aku telah
berkata kepadanya : ‘Para ulama aimmah sunnah telah menulis tentang aqo’id, aku
keberatan untuk memenuhi permintaan anda. Dia menyanggah alasanku : ‘Aku tidak
menginginkannya kecuali kitab aqidah yang engkau tulis’. Maka aku menuliskan
kitab aqidah ini, aku duduk setelah ashar’.
Komentar\catatan tentang sebab penulisan :
Bahwa ia ditulis untuk salah seorang hakim dan
keluarganya. Dari hal itu merupakan suatu kemestian didalamnya ada al-quwwah
(kekuatan) dan ringkas sehingga sesuai untuk seluruhnya.
Ia merupakan kitab yang khusus membahas masalah aqidah,
ini pada umumnya. Didalamnya terdapat pula suatu pembahasan tentang amal dan suluk. Pada akhir kitab beliau
mengungkapkan tentang manhaj ahli sunnah wal jama’ah di dalam masdar talaqi,
yang mereka (ahlu sunnah) bersandar kepadanya di dalam masalah aqidah, yaitu :
Al-Kitab, As-Sunnah dan Al-Ijma (sahabat)’.
2. Global Pembahasan Aqidah Al-Washithiyah[1]
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah di Dalam Masalah Asma dan
Sifat.
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah di Dalam Masalah Iman.
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah di Dalam Masalah Asma’,
Al-Ahkam dan Tentang (Al Wa’d) Ancama.
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah di Dalam Masalah Qodar.
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah Tentang Hari Akhir dan
Segala sesuatu yang Terjadi Didalamnya, Seperti Hisab, Syafa’at, Mizan Surga
dan Neraka.
Ushul Mereka di Dalam Masalah Karomah.
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah di Dalam Sikapnya dengan
Para Pemimpin dan Hukam.
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah Tentang Sahabat dan Sikap
Mereka Dengannya.
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah di Dalam Masalah Masdar
Talaqy, Ia Ada Tiga (Al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma’).
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah di Dalam Masalah Akhlak,
Suluk, Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyi ‘Anil Munkar.
Ushul Ahli Sunnah wal Jama’ah di Dalam Masalah Jihad dan
Menegakan Syia’r-Syi’ar yang Dzohir.
Penutup Risalah Dengan Mengungkapkan Tingkatan dan Jenis
Ahli Sunnah wal Jama’ah.
3. Keistimewaan Kitab Aqidah
Al-Washithiyah[2]
Kandungan aqidah ini senantiasa bersandar
kepada kitab Alloh Ta’ala dan Sunnah Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam
serta sesuatu yang telah diepakati oleh salaful umat dan para imamnya; dalam
lafadz dan maknanya. Syaikhul Islam telah menjelaskan tentang keistimewaannya
ketika berdialog dengan orang-orang yang mempermasalahkan kitab aqidah ini,
beliau berkata : “Aku benar-benar memilih di dalam (kitab) aqidah ini; ia hanya
mengikuti kitab dan sunnah”. beliau berkata pula : “Setiap lafadz yang aku
menyebutkannya, maka aku sebutkan baginya ayat, atau hadits, atau ijma para
salaf”.
Kandungan risalah yang berkah ini
merupakan hasil dan buah penelitian Syaikhul Islam rohimahulloh terhadap
perkataan para salaf. Dan merupakan hasil studi kritis pada perkataan mereka di
dalam pembahasan nama-nama Alloh dan sifat-sifat-Nya, hari akhir, iman, qodar,
sahabat dan yang lainnya dari permasalahan usul dan i’tiqod. Beliau
rohimahulloh berkata tentang aqidah ini : “Tidaklah aku mengunpulkan kecuali
aqidah as-salaf as-shalih, seluruhnya”.
Penulis rohimahulloh telah mencurahkan
kemampuan dan kepiaweananya di dalam menguraikan metode kelompok yang selamat,
yang ditolong, ahlu sunnah wal jama’ah di dalam aqidah ini, uraian yang sangat
jelas lagi mendalam. Sehingga beliau berkata : “Aku menantang seluruh orang
yang menyelisihiku di dalam aqidah ini selama tiga tahun. Jika dia datang
dengan satu huruf saja dari salah satu kurun yang tiga yang Nabi sholallohu
‘alaihi wa sallam telah memuji mereka …
menyelisihi sesuatu yang aku sebutkan, maka aku akan kembali dari hal itu”.
Beliau rohimahulloh berpaling dari menggunakan sebagian lafadz-lafadz yang
terkenal, seperti tahrif, tasybih dan selain keduanya; karena lafadz-lafadz
tersebut tidak disebutkan di dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Walaupun
kadang-kadang yang dimaksudkan dengan lafadz tersebut merupakan makna yang
sahih.
Dengan sedikit dan ringkasnya akidah yang
berkah ini, ia telah mencakup dari kebanyakan masalah aqidah dan usul iman,
serta telah disertakan di dalam kitab ini tentang jalan yang ditempuh ahlu
sunnah wal jama’ah di dalam amasalah amal dan akhlaq.
Kitab aqidah ini telah diterima oleh ahli
ilmu sejak dulu dan juga sekarang. Para ulama memuji kitab ini dan
menyebutkannya dengan kebaikan. Adz-Dzahabi rohimahulloh di dalam perkataannya
tentang risalah ini : “Telah terjadi kesepakatan bahwa kitab ini berisi aqidah
salafiy yang sangan bagus”. Ibnu Rojab rohimahulloh berkata : “Telah terjadi
kesepakatan bahwa kitab ini berisi aqidah suniyyah salafiyah”. Syaikh
Abdurrohman As-Si’di rohimanulloh berkata tentang kitab ini : “Kitab ini dengan
singkat dan jelasnya telah mengumpulkan segala sesuatu yang wajib diyakini di
dalam usul iman dan keyakinan-keyakinannya yang sahih”.
(Bersambung…., insya Alloh)
Kritik dan saran atau tambahan faidah
akan sangat membantu kami dalam menyongsong hari ‘esok’, insya Alloh Ta’ala.
[1] Al-Masail Al-Mardiyyah. Lihat pula
Syarhu Al-Washithiyah, Shalih Alu Syaikh.
[2] Lihat Syarhu Al-Aqidah
Al-Washithiyah, Syaikh Kholid bin Abdulloh Al-Mushlih.
(Bagian 2)
قال المصنف : بسم الله الرحمن الرحيم
Penulis berkata : “Dengan Nama Alloh Yang
Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang“.
Pertama : Mengapa Diawali Dengan Bismilah
?
Penulis rohimahulloh memualai risalah
yang berkah ini dengan bismillah sebagaimana tulisan-tulisan ahli ilmu.
Demikian itu disebabkan beberapa alasan :
Mengikuti kitabulloh; Karena ayat pertama yang kita dapatkan dalam al Qur’an
adalah ayat (بسم الله الرحمن الرحيم)
Mengikuti petunjuk nabi sholallohu
‘alaihi wa sallam di dalam tulisan dan suratnya. Seperti surat beliau kepada
Hiroql pembesar negri Romawi, sebagimana datang penyebutannya di dalam hadits
Abi Sufyan rodiyallohu’anhu di awal kitab Sahih Bukhori (No. 7).
Ibnu Hajar rohimahulloh berkata :
“Merupakan kebiasaa para Imam yang menulis kitab memulai kitab-kitab ilmu
dengan bismillah, demikian pula untuk sebagian besar kitab-kitab rosai“l.
Bertabarruk dengannya.
Peringatan :
Adapun haditas “Setiap urusan penting
yang tidak dimulai dengan ببسمِ اللهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ maka terputus”.
Dikeluarkan oleh Al-Khotib Al-Baghdadi
di dalam (Al-Jami’ li Adabi Ar-Rowi wa As-Sima’ 2\128), Ibnu Sam’ani di
dalam (Adabul Imla 1\283), Abdul Qodir Ar-Ruhawi di dalam (Al-Arba’in),
As-Subky di dalam (Thobaqot As-Syafi’iyyah 1\6).
Ia merupakan hadits yang dlho’if wahin.
Oleh karenanya lebih dari seorang ulama yang telah memastikan tentang
kelemahannya, diantaranya : Al-Hafidz Ibnu Hajar, As-Syakhowi, dan yang lainnya
[1].
Kedua : Kesepakatan Ulama
Para ulama sepakat bahwa bismillah
merupakan bagian dari surat An- Naml
ayat : 30.
Mereka sepakat pula untuk tidak
mencantumkannya pada awal surat baro-ah, karena surat baro-ah dengan surat Al
anfal dianggap\seakan-akan dijadikan satu surat.
Ketiga : Ikhtilaf Ulama Tentang Bismillah
Ulama berbeda pendapat Tentang bismillah;
apakah ia merupakan ayat dari setiap surat yang surat-surat tersebut dibuka
dengannya ? atau ayat tersendiri yang diturunkan untuk memisahkan antara
surat-surat dan tabarruk memulai dengannya ?. Dari pendapat-pendapat tersebut
yang terpilih adalah pendapat yang kedua[2].
Keempat : Apakah Bismillah Merupakan
Bagian Dari Surat Fatihah?
Dalam masalah ini telah terjadi perbedaan
pendapat di kalangan para ulama; Pendapat pertama : Ia merupakan ayat pertama
dari surat Fatihah dan dibaca dengan keras tatkala dalam sholat jahriyyah.
Selain itu merekapun berpendapat tidak sah-nya (sholat –pen) kecuali dengan
membaca bismillah. Pendapat kedua : Mereka yang berpendapat bahwa ia bukanlah
termasuk ayat dari surat Al Fatihah, akan tetapi merupakan ayat yang terpisah
dari kitab Alloh.
Kelima : Apakah Bismillah Merupakan
Kalimat Yang Sempurna ? Bismillah merupakan kalimat yang sempurna : Bisa jumlah
fi’liyyah menurut pendapat yang paling kuat atau-pun jumlah ismiyyah.
Ahli nahwu dan ahli bahasa telah berbeda
pendapat dalam menentukan sesuatu yang berkaitan dengan bismillah. Huruf ‘ba’
dalam bismillah li-isti’anah dan ia berkaitan dengan sesuatu yang mahdzuf,
sebagian mereka menentukan bahwa taqdir-nya adalah fi’il (kata kerja) dan
sebagian yang lain menentukan taqdir-nya adalah isim (kata benda); Dua pendapat
ini berdekatan karena semua itu ada dalam Al Qur’an; Alloh U berfirman : ( اقرباسم
ربك ) “Dengan menyebut nama Robb-mu” (Surat Al‘alaq) dan Alloh U
-pun berfirman : (بسم الله
مجريها) “Dengan menyebut nama Alloh ketika berlayar” (Surat Hud : 41).
Pendapat yang paling benar dalam masalah
ini adalah : bahwasanya huruf ‘ba’ dalam
bismilah berkaitan dengan fi’il (kata kerja) yang dibuang dan diakhirkan sesuai
dengan keperluan; (Sebagai contoh-pen), apabila engkau hendak makan maka
taqdir-nya : بسم الله آكل “Dengan menyebut
nama Alloh aku makan”; apabila engkau akan membaca maka taqdir-nya : بسم
الله أقرأ “Dengan
nama Alloh aku membaca”.
Sedangkan alasan kita mentaqdirkannya
diakhirkan untuk dua faidah :
Al Hasr, karena mendahulukan ma’mul
berfaidah Al Hasr (yakni membatasi), maka jadilah بسم
الله أقرأ itu menempati kedudukan : لا
أقرأ إلا باسم الله maknanya : “Tidaklah aku membaca kecuali
dengan nama Alloh”.
Memulai dengan nama Alloh itu merupakan bentuk tayamunan
(tabarruk).
Alasan kita mentaqdirkannya khusus; Karena kata kerja
yang khusus itu lebih menunjukkan pada maksud daripada kata kerja umum; walaupun
dari suatu yang memungkinkan bagi kita
untuk mentaqdirkannya ” بسم الله أبتدئDengan nama Alloh aku
memulai”, tetapi بسم الله أبتدئ
tidaklah menunjukkan pada tertentunya maksud/tujuan; sedangkan بسم الله أقرأ
itu khusus; yakni lebih menunjukkan pada makna daripada kata kerja yang masih
umum.
Faidah : Adapun Syaikhul Islam berpendapat bahwa yang
dibuang itu adalah isim yang diakhirkan. Demikian diungkapkan oleh Syaikh
Kholid Al-Mushlih dalam syarah al-Washithiyah (rekaman).
Keenam : Arti Isim
Isim secara bahasa adalah : Sesuatu yang menunjukkan pada
yang dinamai, adapun menurut para ahli nahwu (tata bahasa) adalah : Suatu kata
yang menunjukkan pada maknanya dengan sendirinyan dan tidak berkaitan dengan
zaman (masa). Dikatakan pula bahwa isim adalah suatu kata yang memberitahukan
tentang yang dinamai, fi’il suatu kata yang memberitahukan tentang gerak dari
sesuatu yang dinamai dan huruf adalah sesuatu yang memberitahukan makna yang
bukan isim ataupun fi’il.
Ketujuh : Isim jalalah (Yakni nama الله)[3]
Ada yang berpendapat bahwa (lafadz الله)
merupakan isim jamid, yakni bukanlah mustaq, yang benar bahwasanya (lafadz الله
) adalah mustaq.
Ibnul Qoyyim membicarakannya di dalam “Nuniyah” tentang
lafdzul jalalah (Alloh), apakah ia jamid ataukah musytaq ? Beliau berkata :
Yang benar ia mustaq, ini merupakan madzhab ahlu sunnah wal jama’ah mengenai
lafdzul jalalah dan yang lainnya dari nama-nama Alloh.
Demikian sebagaimana firman Alloh U : (( وهو الله في
السمواة و في الأرض يعلم سركم وجهركم))
[surat Al An ‘am : 3]; Maka sesungguhnya ((قي
السمواة ))
berkaitan dengan lafadz jalalah, maknanya : “Dia-lah (Alloh) yang disembah dilangit dan dibumi”.
Adapun ahli bid’ah mereka berpendapat bahwa Ismul jalalah
(Alloh) jamid dan sababul qaul, sehingga mereka tidak memustaqkan sifat
darinya.
Ulama berbeda pendapat permulaan mustaqnya;
Dikatakan : أله –
يأله – ألوهة وإلاهة و ألوهية yang maknanya : عبد –
عبادة .
Dikatakan pula : أله –
بكسر الام – يأله – بفتحها – ألها ini jika bingung, kacau pikirannya.
Yang benar dari dua pendapat di atas
adalah yang pertama yaitu إله yang bermakna : مألوه yaitu معبود (yang disembah); Oleh karenanya berkata Ibnu
Abbas rodiyallohu ‘anhuma : “Alloh adalah pemilik ketuhanan dan peribadahan
atas seluruh hamba-hambanya”.
Faidah[4] : Lafadz “Alloh” tidaklah
dimutlakan kecuali pada pencipta langit dan bumi, berbeda dengan lafadz
“illah”, karena lafadz “ilah” dimutlakan penyebutanya kepada yang diibadahi
dengan benar dan juga kepada kepada sesuatu yang diibadahi dengan bathil. Oleh
karenanya perkataan “Lailahailalloh” adalah laa ma’buda bi haqqin illalloh
(tidak ada yang diiabadahi dengan benar kecuali Alloh). Jadi lafadz “illah”
dimutlakan atas seluruh yang disembah, baik hak atau pun bathil.
Kedelapan : الرحمن
الرحيم
” الرحمن
الرحيم” Ia adalah dua nama diantara nama-nama Alloh yang maha mulia
yang berada pada puncak keindahan; Kedua-duanya menunjukkan atas sifat-Nya
yaitu arrohmah, ia adalah sifat yang hakiki bagi Alloh Ta’ala, sesuai dengan
kemaha mulian-Nya. Dan sebagai peringatan, bahwa tidak boleh mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan rohmah itu adalah lawazimnya (keharusannya) seperti
kehendak untuk ihsan (berbuat baik) ataupun yang semisal dengannya; sebagaimana
dikatakan oleh mu’athilah; Akan datang penjelasannya, insya Alloh.
“الرحمن” maknanya : Pemilik
rahmat yang luas, karena ia mengikuti wajan (timbangan) فعلان , sedangkan
timbangan tersebut dalam bahasa arab menunjukkan pada luas dan penuh;
Sebagaimana dikatakan : رجل غضبان jika keadaan marahnya itu berada
pada puncaknya.
“الرحيم” adalah nama yang
menunjukan kepada perbuatan, karena ia fa’iil bernakna faa’il ia adalah yang
menunjukan kepada perbuatan.
Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh
berpendapat bahwa [الرحمن] menunjukkan atas
sifat yang ada pada Dzat Ta’ala. Adapun [الرحيم] adalah menunjukkan
pada keterkaitannya dengan yang dirahmati; Oleh karenanya tidaklah terdapat di
dalam Al-Qur’an nama Ar-rohman dalam kedaan muta’adi; Alloh Ta’ala berfirman :
(( وكان الله بالمؤمنين رحيما )) [Al Ahzab : 43].
Dan tidaklah dikatakan “ رحمانا ”. Inilah
sebaik-baik pendapat yang dikatakan dalam masalah perbedaan antara keduanya.
[1] Lihat pula Irwaul Gholil 1\ , Al-Muhadits Al-Albani Rohimahulloh.
[2] Syarhu Al-Washithiyah, Syaikh Holil
Harros. Syaikh Abdurrozaq ‘Afifiy rohimahulloh berkata : “Ia merupakan syarah
yang paling baik, paling mudah dan yang paling ringkas ungkapannya”.
[3] Dikatakan bahwa lafadz الله merupakan a’rofu
lma’arif ‘alal ithlaq (Suatu nama yang paling diketahui disemua tempat dan
waktu; sehingga ketika disebutkan nama الله maka pikiran-pun
mengerti tentang siapakah Dia; Dia-lah Alloh Rabb semesta Alam; Pencipta,
Pengatur Alam Semesta, Pemberi Rizki; Serta Dia-lah yang berhaq di sembah –pen)
Dikatakan pula lafadz الله merupakan ismun ‘a-dzom. (Lihat Sarah
Qowa’idul Arba’ karya Arrodadi, Sarah
Kasyfu Syubhat karya Abu Ubaidah Al Misroti dan yang lainnya).
[4] Syarhu At-Tadmuriyah, Syaikh Aman
Al-Jami’. (www. sahab.org).