Kisah ketika 3 Imam, Syekh Bin Baz, Syekh Al-Albani, dan
Syekh Al-Utsaimin, bertemu dalam satu waktu. Perhatikan adab ulama yang sudah
jarang kita lihat...
dari Ceramah Syekh DR. Muhammad Hassan.
Begitu Sederhana,
Hafalannya Luar Biasa
By: muhammad abduh
Syaikh Ibnu Baz adalah seorang yang sangat tidak
perhatian dengan dunia sebagaimana yang bisa kita ketahui dari keadaan beliau.
Terlebih jika kita tahu bahwa beliau itu tidak memiliki rumah!!!.
Dr Zahrani pernah berupaya untuk meminta izin kepada
beliau untuk membeli rumah yang biasa beliau tempati jika berada di Mekah
karena rumah tersebut biasanya cuma disewa. Komentar beliau,
Suatu ketika Raja Faishal berkunjung ke kota Madinah dan
Syeikh Ibnu Baz ketika itu adalah rektor Universitas Islam Madinah. Ketika itu
raja Faishal berkunjung ke rumah Syeikh Ibnu Baz. Saat itu raja Faishal berkata
kepada beliau,
“Kami akan bangunkan rumah yang layak untukmu”.
Menanggapi hal tersebut, beliau hanya
diam dan tidak berkomentar. Akhirnya rumah pun dibangun. Ketika panitia
pembangunan mau membuat surat kepemilikan rumah atas nama Syeikh Ibnu Baz
beliau berkata,
“Jangan. Buatlah surat kepemilikan rumah
tersebut atas nama rektor Universitas Islam Madinah sehingga jika ada rektor
baru penggantiku maka inilah rumah kediamannya”.
Syeikh Ibnu Baz itu memiliki daya ingat
yang luar biasa. Jika kita bertemu dan mengucapkan salam kepada beliau dan kita
pernah mengucapkan salam kepada beliau beberapa tahun sebelumnya maka beliau
pasti masih mengenal kita.
Bahkan ada orang yang bercerita bahwa dia
bertemu dan mengucapkan salam kepada Syeikh Ibnu Baz setelah lima belas tahun
ternyata Syeikh Ibnu Baz masih ingat dengan namanya.
Akan tetapi yang lebih mengherankan
adalah kemampuan beliau untuk menghafal jilid dan halaman buku. Bahkan beliau
bisa mengoreksi beberapa buku dengan bermodalkan hafalan beliau.
Syeikh Syinqithi, penulis Adhwa-ul Bayan,
itu tergolong guru Syeikh Ibnu Baz. Beliau adalah seorang pakar dalam ilmu
syar’i dengan kekuatan hafalan yang tidak tertandingi. Syeih Ibnu Baz sering
menghadiri ceramah-ceramah yang disampaikan oleh Syiekh Syinqithi. Beliau kagum
dengan cepatnya Syeikh Syinqithi dalam penyampaiannya. Dalam salah satu kaset
Syeikh Ibnu Baz mengungkapkan kekagumannya dengan mengatakan, “Maa syaallah.
Maa syaallah”.
Satu hari Syeikh Syinqithi sejak usai
shalat Shubuh sampai watu dhuha mencari-cari sebuah hadits yang dinyatakan oleh
Ibnu Katsir ada dalam sunan Abu Daud. Beliau bolak-balik kitab sunan Abu Daud
namun beliau tidak kunjung mendapatkannya. Syeikh Syinqithi berkata,
“Aku tidak menyalahkan Ibnu Katsir namun
aku belum mendapatkannya. Ketika aku sedang asyik mencari tiba-tiba ada orang
yang mengetuk pintu. Aku lantas berdiri dan membuka pintu”.
Ternyata Syeikh Ibnu Baz yang datang
bertamu. Ketika Ibnu Baz masih di depan pintu dan belum masuk ke dalam rumah,
Syeikh Syinqithi berkata,
“Ya Syekh Abdul Aziz, Ibnu Katsir
menyebutkan bahwa hadits yang bunyinya demikian dan demikian itu ada di Sunan
Abu Daud. Sejak usai shalat Shubuh kucari-cari hadits tersebut namun tidak
kudapatkan. Di manakah hadits tersebut?”.
Syeikh Ibnu Baz berkata,
“Ada…ada di kitab ini halaman sekian”.
Syeikh Syinqithi,
“Sekarang silahkan masuk ya Syeikh”.
Syeikh Ibnu Baz memiliki daya ingat yang
luar biasa. Ini disebabkan tentunya karunia Allah kemudian beliau adalah
seorang yang tidak pernah lepas dari berdzikir. Lisan beliau selalu basah untuk
berdzikir mengingat Allah. Beliau senantiasa berdzikir. Ini adalah sebuah
realita yang bisa disaksikan oleh orang yang bertemu dengan beliau meski
sejenak.
Syeih Ibnu Baz mulai mengisi kajian dan
menyebaran ilmu sejak belia. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh sebuah
majalah yang bernama al Majallah dengan Ibnu Baz terdapat dialog sebagai
berikut.
Al Majallah, “Sungguh engkau adalah
seorang hakim akan tetapi engkau mendapatkan popularitas yang luas berbagai
dengan para hakim yang lain. Apa rahasianya?”
Jawaban beliau,
“Kami bertugas sebagai hakim. Setelah jam
kerja berakhir kami mengisi berbagai kajian. Kami adakan berbagai kajian
keislaman dan kami terus mengajar dan mengisi pengajian sehingga Allah jadian
kami manusia yang bermanfaat bagi banyak orang”.
Beliau memang memiliki pandangan khas
tentang tugas seorang hakim peradilan syariah. Beliau berpandangan bahwa
seorang hakim tidak cukup dengan menjalankan tugasnya di pengadilan. Beliau mencela para hakim
yang bersikap semacam itu.
Beliau pernah mengatakan,
“Jika seorang hakim hanya mencukupkan diri memutuskan
sengketa tentang onta, keledai, sapi dan kambing atau semisalnya maka tidak ada
kebaikan pada dirinya. Bahkan tugas hakim yang paling penting adalah amar
makruf nahi munkar, berdakwah, memperbaiki lingkungan sekitarnya, mewujudkan
kemaslahatan kaum muslimin dan menghubungkan orang-orang yang memerlukan untuk
dihubungkan”.
Ketika Ibnu Baz menjadi hakim di daerah Dalm, beliau
memiliki kursi terbuat dari tanah di tengah-tengah pasar. Di situlah beliau
memutuskan berbagai sengketa yang terjadi di antara kaum muslimin.
Rahasia-Rahasia Syaikh
Bin Baaz
Salah seorang murid Syaikh ‘Ibn Utsaimin rahimahullah
menceritakan kisah ini kepadaku. Dia berkata: “Pada salah satu kajian Syaikh
Utsaimin rahimahullah di Masjidil Haram, salah seorang murid beliau bertanya
tentang sebuah masalah yang didalamnya ada syubhat, beserta pendapat dari
Syaikh Bin Baz rahimahullah tentang masalah tersebut. Maka Syaikh Utsaimin
menjawab pertanyaan penanya serta memuji Syaikh bin Baz rahimahullah. Di
tengah-tengah mendengar kajian, tiba-tiba ada seorang lelaki dengan jarak
kira-kira 30 orang dari arah sampingku kedua matanya mengalirkan air mata
dengan deras, dan suara tangisannyapun keras hingga para muridpun
mengetahuinya.
Di saat Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah selesai dari
kajian, dan majelis sudah sepi aku melihat kepada pemuda yang tadi menangis.
Ternyata dia dalam keadaan sedih, dan bersamanya sebuah mushhaf. Akupun lebih
mendekat hingga kemudian aku bertanya kepadanya setelah kuucapkan salam:
“Bagaimana kabarmu wahai akhi, apa yang membuatmu menangis?”
Maka diapun menjawab dengan bahasa yang mengharukan:
“Jazakallahu khairan.” Akupun mengulangi pertanyaanku sekali lagi: “Apa yang
membuatmu menangis akhi?” Diapun menjawab dengan tekanan suara yang haru:
“Tidak ada apa-apa, sungguh aku telah ingat Syaikh bin Baz, maka akupun
menangis.” Kini menjadi jelas bagiku dari penuturannya bahwa dia dari Pakistan,
sedang dia mengenakan pakaian orang Saudi.
Dia meneruskan keterangannya: “Dulu aku mempunyai sebuah
kisah bersama Syaikh bin Baz rahimahullah, yaitu sepuluh tahun yang lalu aku
bekerja sebagai satpam pada salah satu pabrik batu bata di kota Thaif. Suatu
ketika datang sebuah surat dari Pakistan kepadaku yang menyatakan bahwa ibuku
dalam keadaan kritis, yang mengharuskan operasi untuk penanaman sebuah ginjal.
Biaya operasi tersebut membutuhkan tujuh ribu Riyal Saudi (kurang lebih 17,5
juta Rupiah). Jika tidak segera dilaksanakan operasi dalam seminggu, bisa jadi
dia akan meninggal. Sedangkan beliau sudah berusia lanjut.
Saat itu, aku tidak memiliki uang kecuali seribu Riyal,
dan aku tidak mendapati orang yang mau memberi atau meminjami uang. Maka akupun
meminta kepada perusahaan untuk memberiku pinjaman, Mereka menolak, Aku
menangis sepanjang hari. Dia adalah ibu yang telah merawatku dan tidak tidur
karena aku.
Pada situasi yang genting tersebut, aku memutuskan untuk
mencuri pada salah satu rumah yang bersebelahan dengan perusahaan pada jam dua
malam. Beberapa saat setelah aku melompati pagar rumah, aku tidak merasa
apa-apa kecuali para polisi tengah menangkap dan melemparkanku ke mobil mereka.
Setelah itu duniapun terasa menjadi gelap.
Tiba-tiba, sebelum shalat subuh para polisi
mengembalikanku ke rumah yang telah kucuri. Mereka memasukkanku ke sebuah
ruangan kemudian pergi. Tiba-tiba ada seorang pemuda yang menghidangkan makanan
seraya berkata: “Makanlah, dengan membaca bismillah!” Aku pun tidak mempercayai
apa yang tengah kualami. Saat adzan shalat subuh, mereka berkata kepadaku,
“Wudhu’lah untuk shalat!” Saat itu rasa takut masih menyelimutiku. Tiba-tiba
datang seorang lelaki yang sudah lanjut usia dipapah salah seorang pemuda masuk
menemuiku. Kemudian dia memegang tanganku dan mengucapkan salam kepadaku seraya
berkata: “Apakah engkau sudah makan?” Akupun menjawab: “Ya, sudah.” Kemudian
dia memegang tangan kananku dan membawaku ke masjid bersamanya. Kami shalat
subuh. Setelah itu aku melihat lelaki tua yang memegang tanganku tadi duduk di
atas kursi di bagian depan masjid, sementara jama’ah shalat dan banyak murid
mengitarinya. Kemudian syaikh tersebut memulai berbicara menyampaikan sebuah
kajian kepada mereka. Maka akupun meletakkan tanganku di atas kepalaku karena
malu dan takut.
Ya, Alloh, apa yang telah aku lakukan? Aku telah mencuri
di rumah Syaikh bin Baz rahimahullah. Sebelumnya aku telah mendengar nama beliau,
dan beliau telah terkenal di negeri kami, Pakistan.
Setelah Syaikh bin Baz selesai dari kajian, mereka
membawaku ke rumah sekali lagi. Syaikh pun memegang tanganku, dan kami sarapan
pagi dengan dihadiri oleh banyak pemuda. Syaikh mendudukanku di sisi beliau. Di
tengah makan beliau bertanya kepadaku: “Siapakah namamu?” Kujawab: “Murtadho.”
Beliau bertanya lagi: “Mengapa engkau mencuri?” Maka aku ceritakan kisah ibuku.
Beliau berkata: “Baik, kami akan memberimu 9000 Riyal.” Aku berkata kepada
beliau: “Yang dibutuhkan Cuma 7000 Riyal.” Beliau menjawab: “Sisanya untukmu,
tetapi jangan lagi mencuri wahai anakku.”
Aku mengambil uang tersebut, dan berterima kasih kepada
beliau dan berdoa untuk beliau. Aku pergi ke Pakistan, lalu melakukan operasi
untuk ibuku. Alhamdulillah, beliau sembuh. Lima bulan setelah itu, aku kembali
ke Saudi, dan langsung mencari keberadaan Syaikh bin Baz rahimahullah. Aku pergi rumah beliau.
Aku mengenali beliau dan beliaupun mengenali aku. Kemudian beliaupun bertanya
tentang ibuku. Aku berikan 1500 Riyal kepada beliau, dan beliau bertanya, “Apa
ini?” Kujawab: “Itu sisanya.” Maka beliau berkata: “Ini untukmu.” Kukatakan:
“Wahai Syaikh, saya memiliki permohonan kepada anda.” Maka beliau menjawba:
“Apa itu wahai anakku?” Kujawab: “Aku ingin bekerja pada anda sebagai pembantu
atau apa saja, aku berharap dari anda wahai Syaikh, janganlah menolak
permohonan saya, mudah-mudahan Alloh menjaga anda.” Maka beliau menjawab:
“Baiklah.” Akupun bekerja di rumah Syaikh hingga wafat beliau.
Selang beberapa waktu dari pekerjaanku di rumah Syaikh,
salah seorang pemuda yang mulazamah kepada beliau memberitahuku tentang kisahku
ketika aku melompat ke rumah beliau hendak mencuri di rumah Syaikh. Dia
berkata: “Sesungguhnya ketika engkau melompat ke dalam rumah, Syaikh bin Baz
saat itu sedang shalat malam, dan beliau mendengar sebuah suara di luar rumah.
Maka beliau menekan bel yang beliau gunakan untuk membangunkan keluarga untuk
shalat fardhu saja. Maka mereka terbangun semua sebelum waktunya.
Mereka merasa heran dengan hal ini. Maka beliau memberitahu bahwa beliau telah
mendengar sebuah suara. Kemudian mereka memberi tahu salah seorang menjaga
keamanan, lalu dia menghubungi polisi. Mereka datang dengan segera dan
menangkapmu. Tatkala Syaikh mengetahui hal ini, beliau bertanya: “Kabar apa?”
Mereka menjawab: “Seorang pencuri berusaha masuk, mereka sudah menangkap dan
membawanya ke kepolisian.” Maka Syaikhpun berkata sambil marah: “Tidak, tidak,
hadirkan dia sekarang dari kepolisian, dia tidak akan mencuri kecuali dia orang
yang membutuhkan.”
Maka di sinilah kisah tersebut berakhir.
Aku katakan kepada pemuda tersebut: “Sungguh matahari sudah terbit, seluruh
umat ini terasa berat, dan menangisi perpisahan dengan beliau. Berdirilah
sekarang, marilah kita shalat dua rakaat dan berdoa untuk Syaikh rahimahullah.
Mudah-mudahan Alloh merahmati Syaikh bin
Baz dan Ibnu Utsaimin dan menempatkan keduanya di keluasan surga-Nya. Amiin.
[Di kutip dari Majalah Qiblati edisi 02
tahun III (11-2007M / 10-1428H)]
Barangkali inilah salah satu kisah
pengamalan hadits di atas oleh sebuah pemerintahan Islam dan seorang ulama
besar di abad ini yang pernah menjadi mufti (semacam ketua MUI) di negara
tersebut. Ali bin Abdullah Ad-Darbi menceritakan:
“Ada satu kisah yang sangat berkesan
bagiku, pernah suatu saat berangkatlah empat orang dari salah satu lembaga
sosial di Kerajaan Saudi Arabia ke pedalaman Afrika untuk mengantarkan bantuan
dari pemerintah negeri yang penuh kebaikan ini, Kerajaan Saudi Arabia.
Setelah berjalan kaki selama empat jam
dan merasa capek, mereka melewati seorang wanita tua yang tinggal di sebuah
kemah dan mengucapkan salam kepadanya, lalu memberinya sebagian bantuan yang
mereka bawa.
Maka berkatalah sang wanita tua, “Dari mana asal kalian?”
Mereka menjawab, “Kami dari Kerajaan Saudi Arabia”.
Wanita tua itu lalu berkata, “Sampaikan salamku kepada
Syaikh Bin Baz”.
Mereka berkata, “Semoga Allah merahmatimu, bagaimana
Syaikh Bin Baz tahu tentang Anda di tempat terpencil seperti ini?”
Wanita tua menjawab, “Demi Allah, Syaikh Bin Baz
mengirimkan untukku 1000 Riyal setiap bulan, setelah aku mengirimkan kepadanya
surat permohonan bantuan, setelah aku memohon kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala”.”
(Koran Al-Madinah, no. 13182)
Mengenal Lebih Dekat Asy-Syaikh Abdul
Aziz bin Baz rahimahullah
Ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi
Akidah (Prinsip Keyakinan) Beliau
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah adalah seorang yang berakidah lurus. Akidah beliau tegak di atas
al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam serta bimbingan
generasi terbaik umat ini (as-salafush shalih). Di antara akidah yang mulia itu
adalah sebagai berikut:
1. Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa
ta’ala Rabb semesta alam, Maha Esa (tunggal) dan Mahakuasa. Tiada yang berhak
diibadahi selain Dia semata. Dialah satu-satunya tempat bergantung. Allah tidak
beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak ada sesuatu pun yang sebanding
dengan- Nya. Barang siapa mempersembahkan sebuah ibadah kepada selain-Nya, ia
telah musyrik dan kafir.
2. Menetapkan nama-nama dan sifat-sifat
yang mulia bagi Allah Subhanahu wa ta’ala sebagaimana yang terdapat dalam al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Semua nama Allah
Subhanahu wa ta’ala mengandung sifat yang dikandung oleh nama itu. Demikian
pula semua sifat Allah Subhanahu wa ta’ala menunjukkan makna zahir (yang
tampak) yang dikandungnya tanpa dipalingkan dari makna zahirnya (takwil), atau
dianalogikan dengan sesuatu (takyif). Semua itu dinilai sesuai dengan kemuliaan
dan keagungan Allah Subhanahu wa ta’ala, tanpa menyerupakannya sedikit pun
dengan makhluk-Nya.
3. Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa
ta’ala berada di atas Arsy-Nya, dan terpisah dengan makhluk sesuai dengan
kemuliaan dan keagungan-Nya. Dia berbicara dengan sifat bicara yang azali
(tidak berawal) dan berbicara kapan saja sesuai dengan kehendak-Nya,
sebagaimana akidah salaf.
4. Meyakini bahwa al-Qur’an adalah
kalamullah (firman Allah Subhanahu wa ta’ala) bukan makhluk. Dari Allah-lah
Subhanahu wa ta’ala al-Qur’an itu berasal dan kepada-Nya ia kembali. Barang
siapa meyakini bahwa al-Qur’an itu makhluk, ia telah kafir dan keluar dari
Islam.
5. Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala
mempunyai sifat cinta dan ridha, suka dan tidak suka, menghidupkan dan
mematikan, marah dan senang, turun setiap malam ke langit dunia dengan sifat
turun yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya, tidak serupa dengan
makhluk-Nya.
6. Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa
ta’ala dapat dilihat oleh orang-orang yang beriman pada hari kiamat dengan
pandangan mata mereka, sebagaimana yang terdapat dalam hadits-hadits sahih.
7. Meyakini bahwa Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba Allah Subhanahu wa ta’ala dan
rasul-Nya yang diutus kepada seluruh manusia dan jin (tsaqalain). Risalah Islam
telah beliau sampaikan seutuhnya, amanat pun telah beliau tunaikan dengan
sebaik-baiknya.
8. Meyakini bahwa para malaikat benar
adanya, kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para rasul pilihan benar
adanya, para nabi dan rasul benar adanya, hari kebangkitan setelah kematian
benar adanya, surga dan neraka benar adanya, timbangan amal di hari kiamat
benar adanya, dan telaga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di hari kiamat
benar adanya.
9. Meyakini bahwa syafaat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, para nabi, dan orang-orang saleh di hari kiamat
benar adanya. Namun, semua itu bergantung pada izin Allah Subhanahu wa ta’ala
terhadap yang memberi syafaat dan keridhaan-Nya kepada yang diberi syafaat.
10. Meyakini bahwa sebaik-baik perkataan
adalah perkataan Allah Subhanahu wa ta’ala dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
11. Meyakini bahwa sejelek-jelek perkara
dalam agama ini adalah yang diada-adakan (tidak ada contohnya dari Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam). Setiap perkara dalam agama ini yang
diada-adakan (tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasallam) adalah bid’ah, setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat itu di
neraka.
12. Meyakini bahwa iman adalah keyakinan
di dalam hati, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan. Iman
bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
13. Meyakini bahwa takdir Allah Subhanahu
wa ta’ala yang baik ataupun yang buruk benar adanya.
14. Meyakini bahwa shalat, zakat, puasa
di bulan Ramadhan, dan haji bagi yang mampu ialah bagian dari rukun Islam yang
melengkapi dua kalimat syahadat. Semua itu harus diimani dan diamalkan sesuai
dengan bimbingan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi
wasallam.
15.Tidak boleh mengafirkan seorang pun
dari kaum muslimin kecuali jika melakukan salah satu dari pembatal keislaman.
Adapun pelaku dosa besar di bawah dosa syirik, seperti zina, mencuri, memakan
harta riba, meminum minuman keras, durhaka kepada kedua orang tua, dll,
tidaklah dikafirkan selama tidak menghalalkan kemaksiatan tersebut. Jika
meninggal dunia dan belum bertobat dari dosanya, dia di bawah kehendak
(masyi’ah) Allah Subhanahu wa ta’ala. Jika AllahSubhanahu wa ta’ala berkehendak
untuk mengampuninya— secara langsung—, ia akan mendapatkan ampunan dan masuk ke
dalam surga tanpa disiksa; dan jika Allah Subhanahu wa ta’ala berkehendak untuk
menyiksanya, dia akan disiksa terlebih dahulu, namun tempat kembalinya adalah
surga. Tidak seperti Khawarij yang mengkafirkannya, dan tidak pula seperti
Murji’ah yang meyakini bahwa pelaku dosa besar—di bawah dosa syirik itu—adalah
mukmin yang sempurna keimanannya.
16. Wajib menaati pemerintah kaum
muslimin yang adil atau yang jahat sekalipun, selama tidak memerintahkan kepada
kemaksiatan. Jika memerintahkan kepada kemaksiatan, pemerintah tidak boleh
ditaati (dalam urusan tersebut) namun masih wajib ditaati dalam hal lain yang
bukan kemaksiatan. Disyariatkan jihad bersamanya, walaupun dia seorang yang
jahat. Boleh menyalurkan harta sedekah kepadanya (untuk dibagikan kepada yang
berhak). Demikian pula, boleh shalat Jum’at dan shalat berjamaah di
belakangnya, tanpa harus mengulanginya. Barang siapa mengulanginya, dia
tergolong mubtadi’ (pelaku bid’ah).
17. Tidak boleh memberontak kepada
penguasa kaum muslimin walaupun dia seorang yang jahat. Berbeda halnya dengan
prinsip sesat Khawarij yang mengafirkannya dan mewajibkan memberontak
kepadanya. Berbeda pula halnya dengan prinsip sesat Mu’tazilah yang mewajibkan
memberontak, walaupun tidak mengafirkannya. Barang siapa memberontak, dia telah
menghancurkan tongkat kesatuan kaum muslimin.
18. Seseorang yang berhukum dengan selain
hukum Allah Subhanahu wa ta’ala maka tidak keluar dari empat keadaan:
a. Seseorang yang mengatakan, “Aku
berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam,” maka dia
kafir dengan kekafiran yang besar.
b. Seseorang yang mengatakan, “Aku
berhukum dengan hukum ini, karena ia sama (sederajat) dengan syariat Islam,
sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat
Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
c. Seseorang yang mengatakan, “Aku
berhukum dengan hukum ini, namun berhukum dengan syariat Islam lebih utama,
tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah,” maka ia
kafir dengan kekafiran yang besar.
d. Seseorang yang mengatakan, “Aku
berhukum dengan hukum ini,” namun dia dalam keadaan yakin bahwa berhukum dengan
selain hukum Allah Subhanahu wa ta’ala tidak diperbolehkan. Dia juga mengatakan
bahwa berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum
dengan selainnya. Tetapi, dia seorang
yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini) atau dia mengerjakannya karena
perintah dari atasan, maka dia kafir dengan kekafiran kecil yang tidak
mengeluarkannya dari keislaman dan teranggap sebagai dosa besar.
19. Wajibnya menjaga hati dan lisan dari
membenci, mencela, atau melecehkan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Sebab, mereka adalah generasi terbaik umat ini, bahkan manusia
terbaik setelah para nabi dan rasul. Barang siapa membenci, mencela, atau
melecehkan salah seorang dari mereka, dia adalah mubtadi’, hingga benar-benar
bertobat dan mendoakan kebaikan untuk sahabat tersebut.
20. Sahabat terbaik adalah Abu Bakr
ash-Shiddiq, kemudian ‘Umar bin al-Khaththab, kemudian ‘Utsman bin ‘Affan,
kemudian ‘Ali bin Abi Thalib, kemudian yang tersisa dari sepuluh orang yang diberitakan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penduduk jannah (yaitu
Sa’d bin Abi Waqqash, Thalhah bin ‘Ubaidillah, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu
‘Ubaidah bin al-Jarrah, Zubair bin al-Awwam, dan Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin
Nufail), kemudian para sahabat lainnya.
21. Menahan hati dan lisan terhadap
perselisihan yang terjadi di antara para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam, dan meyakini bahwa pihak yang benar mendapatkan dua pahala dan pihak
yang salah mendapatkan satu pahala. Sebab, mereka semua adalah ahli ijtihad
(orang-orang yang berhak berijtihad dalam urusan agama dan umat).
22. Mencintai semua ahlul bait (keluarga
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) yang beriman, baik dari generasi sahabat
maupun yang setelah mereka. Selain itu juga memuliakan para istri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam, karena mereka adalah para ibu kaum mukminin
(ummahatul mukminin) dan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam). Berbeda halnya dengan kelompok Syi’ah yang membenci, bahkan mengafirkan
para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk ummahatul mukminin, di
sisi lain memuliakan ahlul bait (orangorang tertentu yang mereka kehendaki) dan
berlebihan memuliakan mereka. Tidak pula seperti kelompok Nawashib yang
beragama dengan menyakiti ahlul bait (keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam) baik dengan perkataan maupun perbuatan. (Lihat Situs Resmi asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Baz seputar akidah beliau dan berbagai kitab, risalah, ta’liq,
atau fatwa tentang akidah yang terdapat dalam Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul
Aziz bin Baz)
Akhlak dan Perangai Beliau
Asy-Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
kesohor akan akhlak dan perangainya yang mulia. Pertemuan dengan beliau selalu
menghadirkan pesan dan meninggalkan kesan. Hal itu karena banyaknya akhlak dan
perangai mulia yang terkumpul pada diri beliau. Suatu keistimewaan yang sulit
didapati pada diri seorang ulama di zaman ini. Di antara akhlak dan perangai
beliau yang mulia itu adalah:
1. Ikhlas dalam beramal karena Allah
Subhanahu wa ta’ala.
2. Sangat tawadhu’ (rendah hati),
walaupun berkedudukan mulia dan berilmu tinggi.
3. Berpikiran jernih.
4. Tegar, tabah, dan mempunyai etos kerja
yang tinggi hingga di usianya yang lanjut.
5. Berbudi pekerti luhur dan penuh pengertian.
6. Dermawan dalam segala hal yang dimiliki; harta, waktu,
kesempatan, ilmu, kebaikan, mediator untuk kebaikan, kemurahan, dll.
7. Berkepribadian tenang dan mempunyai daya ingat yang
kuat.
8. Stabil dalam hal semangat dan kemauan, tidak goyah
dengan berbagai perubahan situasi dan kondisi.
9. Adil dalam memberikan keputusan.
10. Teguh di atas kebenaran dan tidak takut terhadap
celaan orang yang mencela.
11. Berwawasan luas, berpandangan jauh, dan selalu
mengikuti berbagai perkembangan peristiwa di dunia internasional.
12. Keyakinan yang kuat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
13. Zuhud terhadap dunia; harta, pangkat, kedudukan,
pujian, dll.
14. Semangat yang tinggi dalam merealisasikan Sunnah
(bimbingan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
15. Berjiwa sabar.
16. Murah senyum dan selalu tampak ceria.
17. Sangat menjaga adab dalam berbicara, bermajelis, dll.
18. Setia terhadap guru, kawan, dan orang
yang beliau kenal.
19. Menjalin hubungan silaturahmi dengan segenap
keluarga.
20. Memerhatikan hak-hak tetangga.
21. Bertutur kata mulia.
22. Jauh dari sikap bangga diri, merendahkan orang lain,
atau mencela makanan.
23. Tidak menerima berita kecuali dari orang yang dapat
dipercaya.
24. Selalu berbaik sangka terhadap orang lain.
25. Sedikit bicara dan banyak diam.
26. Banyak berzikir dan berdoa.
27. Tidak mengangkat suara ketika tertawa.
28. Sering menangis ketika mendengar bacaan al-Qur’an,
dibacakan kepada beliau sejarah para ulama, atau hal-hal yang berkaitan dengan
keagungan al-Qur’an dan as-Sunnah.
29. Menerima hadiah dari orang lain dan berusaha untuk
membalasnya.
30. Mencintai orang-orang miskin, dekat dengan mereka,
dan kerap kali makan bersama-sama mereka.
31. Sangat menjaga efesiensi waktu.
32. Selalu bersemangat mengajak orang lain kepada
kebaikan.
33. Jauh dari sifat iri/dengki kepada orang yang
mendapatkan nikmat dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
34. Membalas kejelekan dengan kebaikan.
35. Tidak berlebihan dalam hal menu makanan dan minuman.
36. Memerhatikan janji dan selalu menjaganya.
37. Penuh harap, jauh dari sifat putus asa.
Sepenggal Kisah Cerminan Akhlak Beliau
• Kira-kira 30 tahun sebelum wafat, beliau pernah
mendatangi sebuah masjid untuk menyampaikan ceramah. Alas masjid tersebut menggunakan
tikar, sedangkan khusus untuk beliau disediakan alas berupa sajadah
(permadani). Ketika beliau merasa bahwa alas beliau berbeda dengan keumuman
alas di masjid tersebut, digulunglah sajadah itu oleh beliau. Hal itu karena
karakter beliau yang tidak suka diistimewakan atas orang lain.
• Pada suatu hari ada seorang pemuda yang menghubungi
beliau via telepon seraya berkata, “Wahai Samahatusy Syaikh, umat Islam sangat
membutuhkan para ulama yang mempunyai kemampuan berfatwa (mufti). Untuk itu
saya mengusulkan kepada Anda agar menempatkan seorang mufti di setiap kota.”
Beliau berkata, “Masya Allah, semoga Allah Subhanahu wa ta’ala memperbaikimu.
Berapa umurmu?” Pemuda itu menjawab, “13 tahun.” Beliau pun berkata, “Ini
usulan yang bagus, berhak untuk mendapat perhatian.” Kemudian beliau menyuruh
sang sekretaris pribadi untuk menulis surat kepada penanggung jawab di Hai’ah
Kibar Ulama yang isinya, “Amma ba’du, ada masukan dari seorang penasihat bahwa
sudah saatnya ada seorang mufti di setiap kota. Kami memandang, usulan ini
perlu diteruskan ke al-Lajnah ad- Daimah (Komite Tetap Fatwa) agar bisa kita
diskusikan.”
• Ketika asy-Syaikh Dr. Muhammad Taqiyuddin al-Hilali
rahimahullah menulis bait-bait syair yang secara berlebihan memuji beliau dan
dimuat di Majalah al-Jami’ah as-Salafiyyah India edisi
09/Sya’ban 1397 H, beliau mengirim surat kepada redaksi
majalah tersebut, menyampaikan ketidakrelaan beliau terhadap pujian itu dan
meminta redaksi memuat ketidakrelaan beliau itu pada edisi berikutnya.
• Pada musim haji tahun 1418 H, saat beliau duduk di
sebuah mushalla di Padang Arafah dan dikitari oleh ratusan orang,
dihidangkanlah di hadapan beliau buah-buahan yang sudah dipotongpotong.
Mengingat, kebiasaan beliau di hari-hari itu (mayoritasnya) tidak makan
selain buah-buahan, kurma, dan yoghurt. Ketika
buah-buahan telah terhidang di hadapan beliau, beliau pun bertanya, “Apakah
semua yang hadir di sini juga mendapatkan hidangan seperti ini?” Mereka
menjawab, “Tidak.” Beliau marah seraya berkata, “Jauhkanlah hidangan ini!”
• Suatu hari (30 tahun sebelum wafat) beliau hendak
menjual rumah karena utang yang menumpuk. Hal ini tercium oleh salah seorang
pejabat kerajaan dan dia pun segera mengirimkan uang kepada beliau. Sang
pejabat berkata, “Telah sampai kepada saya berita bahwa Anda hendak menjual
rumah karena kesempitan yang sedang mengimpit. Sungguh, berita itu membuat saya
gelisah, kumohon Anda berkenan menerima hadiah dari saya ini3 dan izinkan saya
untuk menyampaikan hal ini kepada Raja.” Beliau balas ucapan pejabat itu dengan
banyak-banyak terima kasih dan doa kebaikan untuknya lalu berkata, “Berita yang
sampai kepada Anda itu benar, karena banyaknya tamu yang berdatangan dan
orang-orang yang membutuhkan bantuan baik di kota Riyadh maupun di kota
Madinah, namun saya tidak ingin hal ini sampai kepada Raja.”
• Asy-Syaikh Ahmad bin Abdul Aziz bin Baz berkata, “Aku
adalah salah seorang putra Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Aku dilahirkan
saat ayahku telah berusia di atas 60 tahun. Usia beliau yang sudah lanjut itu,
ditambah dengan aktivitas kantor, dakwah, dan fatwa yang sangat padat tidaklah
menjadi penghalang bagi beliau untuk menjadi seorang ayah bagiku dan
saudara-saudaraku, bahkan untuk umat Islam. Beliau sangat memerhatikan kami
selaku anak. Layaknya seorang ayah terhadap anaknya, beliau mencurahkan segenap
kasih sayang, pengawasan, nasihat, bimbingan, arahan, bahkan dakwah. Dengan
segala cara beliau berupaya untuk menjadi seorang ayah yang dekat dengan
anak-anaknya di tengah kesibukan beliau yang sangat padat.” Untuk melengkapi
berbagai kisah cerminan akhlak beliau yang mulia, silakan membaca rubrik
“Akhlak” dan “Manhaji” pada edisi ini.
Agenda Harian Beliau
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz mempunyai agenda harian
yang sangat ketat dan bagus. Dengan taufik dari Allah Subhanahu wa ta’ala,
kemudian berkat agenda harian yang tertata itulah berbagai amanat yang berada
di pundak beliau dapat ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Berikut ini agenda
harian beliau, semoga menjadi teladan bagi kita semua.
1. Beliau bangun pagi kurang lebih 1 jam sebelum shubuh.
Kemudian shalat tahajjud 11 rakaat dengan khusyu’ dan rendah diri kepada Allah
Subhanahu wa ta’ala. Beliau pun banyak berdoa, di antaranya mendoakan umat
Islam dan kebaikan para penguasa mereka, berzikir, membaca al-Qur’an, dan
beristighfar.
2. Setelah azan subuh (terkadang sebelumnya), beliau
pergi ke masjid dengan tenang dan penuh penghambaan kepada Allah Subhanahu wa
ta’ala dengan membaca doa keluar rumah (dan doa menuju masjid, -pen.)
sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sesampainya di masjid, beliau masuk dengan mendahulukan kaki kanan seraya
membaca doa masuk masjid dan shalat sunnah qabliyah. Beliau kemudian
memperbanyak doa hingga iqamat. Setelah itu, beliau menunaikan shalat shubuh
berjamaah. Selepas shalat, beliau membaca zikir-zikir yang khusus dibaca
setelah shalat, kemudian membaca wirid-wirid doa dan zikir yang dituntunkan
untuk dibaca di setiap pagi.
3. Setelah dirasa cukup membaca wirid-wirid pagi, beliau
memulai taklim (kajian) rutin di masjid tersebut dari beberapa kitab yang
dibacakan kepada beliau. Taklim (kajian) rutin itu menghabiskan waktu sekitar 3
jam, bahkan terkadang lebih. Setelah itu, beliau menjawab berbagai pertanyaan
agama yang diajukan kepada beliau dengan penuh perhatian dan ketelitian,
kemudian pulang ke rumah. Jika berhalangan
3 Permohonan tersebut disampaikan oleh sang pejabat
karena asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dikenal tidak mudah menerima bantuan. Dia
khawatir jika bantuannya itu ditolak. mengajar, beliau langsung pulang ke rumah
seusai membaca wirid doa dan zikir pagi.
4. Beliau duduk di rumah sekitar dua jam. Beliau
manfaatkan kesempatan itu untuk menjawab berbagai persoalan yang membutuhkan
jawaban dari beliau, atau dibacakan kepada beliau beberapa kitab dan karya
ilmiah. Setelah itu beliau masuk ke bagian dalam rumah guna beristirahat. Tepat
pukul 08.00 pagi, beliau keluar dari tempat peristirahatan dan bersiap-siap
untuk makan pagi. Setelah makan pagi, beliau berwudhu lalu shalat dua rakaat,
kemudian berangkat ke kantor dengan tenang dan kemauan yang kuat. Begitu naik
mobil, diajukan kepada beliau beberapa persoalan yang membutuhkan jawaban dari
beliau, atau dibacakan kepada beliau beberapa kitab. Setibanya di kantor, beliau
turun dari mobil dan berjalan kaki menuju ruangan pribadi beliau. Berbagai
tulisan dan persoalan pun diajukan kepada beliau hingga memasuki ruangan
tersebut.
5. Di ruangan pribadi tersebut, beliau mengerjakan
berbagai tugas harian yang berat dengan penuh semangat, seperti menyelesaikan
berbagai kasus dan persoalan yang diajukan kepada beliau, menyambut para
delegasi/tamu, mengeluarkan fatwa terkait pertanyaanpertanyaan yang berdatangan
dari para penanya, melayani para pengunjung yang sedang mengalami kasus talak,
dan sebagainya. Hal ini berlangsung hingga pukul 14.30 siang atau lebih
sedikit. Dengan demikian, seringkali beliau menjadi orang yang terakhir keluar
dari kantor. Setelah itu beliau pulang ke rumah.
6. Dalam perjalanan menuju rumah (di atas mobil),
diajukan kembali kepada beliau berbagai persoalan, atau dibacakan kitab. Jika
tidak ada yang membacakan, beliau manfaatkan untuk berzikir dan membaca
al-Qur’an. Dalam kesempatan itu pula terkadang beliau manfaatkan untuk
mendengarkan siaran berita radio pukul 14.30.
7. Setiba di rumah, beliau langsung
disambut oleh banyak orang. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai keperluan
dengan beliau. Ada yang meminta fatwa, ada yang sekadar mengucapkan salam, ada
yang mempunyai kasus talak, ada yang meminta bantuan, orang fakir, pejabat, dan
pengunjung dari daerah yang dekat ataupun jauh. Beliau ucapkan salam kepada
mereka, kemudian mempersilakan para tamu tersebut untuk menyantap hidangan
makan siang yang telah disediakan di rumah beliau. Beliau makan siang sembari
berbincang dengan mereka, menanyakan keadaan mereka, dan menjawab berbagai
pertanyaan mereka.
Setelah dirasa cukup, beliau berhenti dan
masih menemani mereka beberapa saat agar mereka tidak terburu-buru
menyelesaikan makan. Kemudian beliau berdiri untuk mencuci tangan seraya
mengatakan, “Tidak usah terburu-buru, masing-masing hendaknya melanjutkan
makannya.” Ketika beliau berdiri menuju tempat cuci tangan, mulailah diajukan
berbagai pertanyaan kepada beliau. Setelah mencuci tangan, beliau kembali ke
tempat yang semula. Jika waktu agak sempit dan masuk waktu ashar, maka beliau
mengambil air wudhu, menjawab azan lalu berangkat ke masjid. Namun, jika masih
tersisa banyak waktu, beliau
meluangkan waktu untuk duduk-duduk
bersama para tamu sambil minum teh dan memakai minyak wangi, kemudian masuk ke
dalam rumah sejenak. Beliau keluar saat dikumandangkan azan ashar guna
berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat ashar.
8. Seusai shalat ashar, imam masjid
membacakan beberapa poin dari kitab Riyadhush Shalihin, al-Wabilush Shayyib,
atau Kitabut Tauhid, atau yang lainnya, lalu beliau menerangkannya kepada para
jamaah. Berikutnya, beliau menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan di
majelis tersebut. Kemudian beliau pulang ke rumah untuk beristirahat. Dalam perjalanan
menuju rumah pun, beliau masih menjawab banyak pertanyaan yang diajukan oleh
orang-orang yang berjalan mengiringi beliau.
9. Menjelang maghrib, beliau mengambil
air wudhu lalu pergi ke masjid untuk menunaikan shalat maghrib. Seusai shalat,
beliau pulang ke rumah dan melakukan shalat ba’diyah maghrib. Kemudian beliau
duduk bersama orangorang yang mengunjungi beliau dengan problemnya
masing-masing. Hal itu jika tidak ada jadwal mengajar atau memberikan catatan
penting dalam acara seminar.
10. Saat azan isya dikumandangkan, beliau
menjawabnya, lalu beranjak menuju masjid untuk menunaikan shalat isya. Ketika
tiba di masjid, beliau menunaikan shalat tahiyatul masjid. Seusai shalat sunnah
tersebut, imam masjid segera membacakan beberapa hadits untuk diterangkan
kepada para jamaah oleh beliau. Setelah itu beliau menjawab beberapa pertanyaan
yang diajukan. Kemudian ditnuaikanlah shalat isya.
11. Seusai shalat isya, jika tidak ada
janji di luar rumah, ceramah, undangan khusus, undangan walimah nikah, mengunjungi
orang sakit, atau agenda yang semisalnya, beliau langsung pulang ke rumah.
Beliau manfaatkan waktu tersebut untuk membaca beberapa persoalan yang
membutuhkan solusi, atau memuraja’ah beberapa kitab. Terkadang ada acara rapat
di rumah beliau, terkadang pula kedatangan para tamu, atau ada rekaman untuk
siaran radio, atau ceramah via telepon untuk kaum muslimin di luar negeri.
12. Setelah itu, beliau makan malam
bersama para tamu, para pegawai di kantor pribadi (di rumah) beliau, dan siapa
saja yang hadir saat itu. Selepas makan malam, beliau melanjutkan pekerjaan
yang dilakukan sebelum makan malam, atau melanjutkan perbincangan dengan para
tamu beliau, atau duduk untuk membaca beberapa kitab, atau menyelesaikan
beberapa persoalan yang membutuhkan solusi dari beliau hingga larut malam.
Terkadang hingga pukul 23.00 atau pukul 24.00 malam. Kemudian beliau masuk ke
bagian dalam rumah, lalu berjalan-jalan sekitar 30 menit, setelah itu beranjak
tidur. Demikianlah agenda harian asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
yang penuh ilmu, hikmah, derma, dan berbagai kegiatan bermanfaat lainnya. Semoga menjadi teladan dan
pelajaran berharga bagi kita semua. Amin.
Sumber Bacaan:
• Majmu’ Fatawa Ibn Baz, program
al-Maktabah asy-Syamilah.
• Asy-Abdul Aziz bin Baz Namudzaj Minar
Ra’ilil Awwal, karya Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, program al- Maktabah
asy-Syamilah.
• Al-Mauqi’ ar-Rasmi lisy Syaikh Abdil
Aziz bin Baz (Situs Resmi asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz)
• Durus lisy Syaikh Abdil Aziz bin Baz,
program al-Maktabah asy-Syamilah.
Sumber : Makalah Asy Syariah
Syaikh Abdul Aziz
bin Baz
Ijazah hadits beliau dari guru-gurunya diungkap dalam
kitab “Silsilah Mualafat wa Rasail Samahat asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz no.
57”. Dari kitab ini, diketahui bahwa beliau memiliki sedikitnya dua guru dalam
ijazah ammah, yaitu:
Pertama, dari Syaikh al-Muhadits Haramain Abdul Haq bin
Abdul Wahid al-Hasyimi al-Umari al-Hindi[1] (w. 1392 H), pengajar di Masjidil
Harom dan Darul Hadits Khairiyah Mekkah asal India, ayah kepada al-Muhadits Abu
Thurab adz-Dzahiri dan al-Musnid Abdul Wakil al-Hasyimi. Al-Hasyimi bukanlah
nisbah kepada Bani Hasyim melainkan kepada salah satu leluhurnya yang bernama
Hasyim, adapun nasab beliau tersambung kepada Umar bin Khathab
radhiyallahu’anhu atau dikenal dengan al-Umari.
Syaikh Abdul Haq memberi Syaikh Bin Baz ijazah ammah
untuk semua yang sah diriwayatkan darinya dengan ijazah tertulis yang lumayan
panjang, sebelumnya sempat Syaikh Bin Baz membacakan beberapa hadits kepada
gurunya ini. Syaikh Abdul Haq memiliki tsabat yang disebut Tsabat al-Kabir[2],
dan apa yang dituliskan kepada Syaikh Bin Baz adalah ringkasan dari Tsabatnya
tersebut. Disana disebutkan nama-nama gurunya dan sejumlah pendengaran dan
bacaannnya kepada mereka, seperti kepada Syaikh Ahmad bin Abdullah al-Baghdadi,
Syaikh Abu Wafa’ al-Amritsari, Syaikh Abu Sa’id Husein al-Batalwi dan lainnya
banyak sekali.
Photo :
Ijazah Syaikh Bin Baaz dari Syaikh Abdul Haq al-Hasyimi
Kedua, Syaikh al-Allamah al-Mufti Muhammad Syafi’ bin
Muhammad Yasin al-Utsmani al-Hindi (1314-1397 H), Mufti Pakistan, diantara
murid dari Syaikh Anwar Syah al-Kasymiri penulis Faidhul Baari dan juga bapak
dari mufti Pakistan saat ini, mujiz kami Syaikh Muhammad Rafi’ Utsmani. Syaikh
Bin Baaz meminta beliau mengijazahinya ammah, dan beliau mengabulkannya
permintaan itu.
Syaikh Muhammad Syafi Utsmani ini memiliki ahlak yang
tinggi lebih mengikuti dalil dan tidak ta’ashub kepada mazhab hanafi, dimana
kebanyakan ulama di negerinya bermazhab hanafi. Beliau berkata tentang Syaikh
Bin Baaz rahimahullahu, “Beliau ‘alim jayyid, mukhlis, sangat menguasai
berbagai macam ilmu”.
Dalam ijazahnya beliau berkata:
“Aku meriwayatkan Shahih Imam Muhammad bin Ismail
al-Bukhori dari hafizh zamannya Syaikh al-‘Ajl as-Sayyid Muhammad Anwar Syah
al-Kasymiri, dibacakan kepadanya sedangkan saya mendengarnya. Beliau
meriwayatkan dari Syaikh al-Hind Maulana Mahmud Hasan … dan seterusnya“.
Photo :
Ijazah Syaikh Bin Baaz dari Syaikh Muhammad Syafi’
Selain dengan kedua Syaikh diatas, Syaikh Bin Baz dikenal
berguru kepada Mufti Saudi sebelumnya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh,
juga kepada Syaikh Sa’ad bin Atiq dan Syaikh Hamad bin Faris. Beliau membacakan
kepada mereka beberapa kitab, terutama kitab-kitab karya Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab. Namun tidak diketahui apakah beliau mendapatkan ijazah ammah dari
mereka atau tidak. Ijazah ammah ini berguna ketika kita meriwayatkan apa-apa
yang tidak melalui penyema’an atau pembacaan, atau apa-apa yang kurang dari
keduanya. Seperti yang dinukilkan oleh Abu Bakar Ibnu Khair Al-Isybily di
mukaddimah kitab “Fihrisit”nya halaman 15-16 ,”Ketahuilah oleh kalian semua
rahimakumulloh bahwa ijazah adalah perkara yang mendesak dalam periwayatan yang
dengannya sesuatu menjadi sempurna, jika tidak maka dia adalah sesuatu yang
kurang, dan kekurangannya itu suatu kemestian. Telah mengkabarkan kepada kami
Abu Muhammad Ibnu ‘Itaab dari bapaknya Abu Abdillah dan beliau termasuk orang
yang perhatian, hati-hati dan begitu teliti dalam periwayatan, beliau berucap,
“Tidak mencukupi bagi para penuntut hadits tanpa ijazah, untuk apa-apa yang
telah dia dengar dari seorang muhaddits, atau apa yang telah ia perlihatkan
kepadanya, atau apa yang ia telah mendengarnya dari orang yang
memperlihatkannya kepadanya, sebab bisa saja ada terdapat kelupaan, kantuk,
tertinggal, tertukar dan terganti dengan yang lain yang dilakukan oleh keduanya
atau salah seorang dari mereka berdua. Maka jika seorang muhaddits: dia yang
membacakannya dengan lafadznya sendiri, bisa jadi datang lupa pada pihak yang
mendengarnya, hilang apa yang telah dibacakan itu, atau jika yang lain yang
membacakannya maka bisa jadi menimpa kelupaan itu kepada yang membacakannya
kepadanya. Namun, jika digabungkan antara ijazah dengan pendengaran atau
penyerahan hadits tadi, maka sebuah ijazah bisa menambal apa yang terjadi dari
berbagai bencana tersebut”.
Murid Beliau Dalam Riwayah
Adapun yang meriwayatkan dari Syaikh Bin Baz dari jalan
ijazah ammah adalah Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullahu setelah berguru
kepadanya sangat lama, dan penulis tidak mengetahui ada selain dari beliau.
Namun melalui haq as-sama’ beberapa kitab, beberapa muridnya meriwayatkan
melalui beliau. Diantaranya guru kami, Syaikh Badr Thami al-Utaibi yang membaca
secara kamil kepadanya kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang mana
Syaikh Bin Baz membacanya secara kamil kepada Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu
Syaikh yang meriwayatkan dari Syaikh Sa’ad bin Atiq dan seterusnya muntasil
dengan sama’i sampai Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu.
[as-Surianji].
[1] Biografi beliau bisa merujuk : al-Iqdul Nurani Tsabat
Syaikh Abdul Aziz az-Zahrani hal. 10, Natsr al-Jawahir hal. 633-634, Muqadimah
kitab Adatu al-Imam Bukhari fi Shahihi hal 20-40, Hadi as-Saari hal 180-183 dan
lainnya.
[2] Telah dicetak dengan tahqiq guru kami, Syaikh Badr
Thami al-Uthaibi hafizahullahu
Apa Yang Dikatakan Sheikh Bin Baz tentang
Aidh Al Qarni, Safar Al Hawali, dan Salman Al Audah?
Fadhilatusy Syaikh ‘Alwi Bin ‘Abdil Qadir
As-Saqqaf ‘Hafizhahullahu’ (Muridnya Syaikh Bin Baz) : Siapakah Ahlus Sunnah
Wal Jamaah? Kritikan Keras Beliau Terhadap Muktamar Internasional Di Chechnya.
Fatwa Asy-Syaikh Bin Baz Terhadap
“Pemberontakan” Melawan Rezim Tiran Al-Assad Di Suriah
Menjawab Syubhat Pembela Syiah yang Comot
Fatwa Syaikh bin Baz
Mau Tahu Sanad Ulama Salafy (Wahabi) ?
Pandangan Ulama Saudi Tentang Al-Ikhwan
Al-Muslimin (untuk alwi shihab, pembela syiah houtsi)
Silsilah Ulama Ahlus Sunnah