Nasihat Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-'Utsaimin
Dan Syaikh Ali Hasan Al Halabi Bagi Pelaku Bid'ah. Hakikat Bid’ah Oleh
As-Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki, Habib Umar Bin Hafidz Dan Muti Mesir
DR. Ali Jum'ah, DR. M. Quraish Shihab, Buya Yahya, Ust. Abdul Somad LC Dan Adi
Hidayat .
http://lamurkha.blogspot.com/2019/02/nasihat-syaikh-muhammad-bin-shalih-al.html?m=0
(1).Memahami Kaidah-Kaidah Bid’ah
(Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat)
Dalam
kajian ini Al-Ustadz Abdul Hakimmembahas secara rinci tentang memahami
kaidah-kaidah bid’ah merujuk dari kitab yang beliau tulis ” Risalah Bid’ah
“. Secara ringkas saya tuliskan beberapa kaidah bid’ah yang beliau
turunkan dalam kitab Risalah Bid’ah (hal.91)
Kaidah
pertama: Ketahuilah! Bahwa bid’ah itu dosa, dan kesesatannya tidak tetap
pada satu tingkatan atau satu derajat. Akan tetapi bid’ah itu
bertingkat-tingkat atau berderajat dosa dan kesesatannya. Kalau kita lihat dari
besar dan kecilnya, bid’ah itu terbagi menjadi tiga tingkatan:
1.Sebagian bid’ah ada yang tegas-tegas mencapai
tingkatan syirik dan kufur.
2.Sebagiannya lagi haram, atau masih di
perselisihkan tentang syirik dan kekufurannya.
3.Sebagiannya lagi haram dan telah disepakati
bahwa dia itu tidak sampai pada tingkatan syirik atau kufur. (Dari sini kita
mengetahui bahwa tidak ada bid’ah yang makruh apalagi wajib atau sunnah!)
Kaidah
kedua: Setiap bid’ah itu maksiat dan tidak sebaliknya, (yakni setiap
maksiat itu bid’ah). Contohnya: Zina, dia itu maksiat akan tetapi bukan bid’ah.
Maulid, dia itu bid’ah dan pasti maksiat!.
Kaidah
ketiga: Bid’ah haqiqiyah dan bid’ah idhafiyyah
Yang
dimaksud dengan bid’ah haqiqiyah ialah: “Satu macam bid’ah yang tidak
ditunjuki oleh dalil syar’i (al-kitab, sunnah, dan ijma’) dari segala
jurusannya, baik secara jumlah (garis besarnya) atau secara tafsil
(terperinci)”. Contohnya: seperti orang yang mengaku menjadi nabi atau mengaku
mendapat wahyu atau mengingkari kehujjahan sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam dan lain-lain.
Adapun
yang di maksud dengan bid’ah idhafiyyah ialah: “Satu macam bid’ah,
yang apabila dilihat dari satu sisi, disyariatkan atau ada dalilnya, akan tetapi
apabila dilihat dari sisi yang lain, maka dia serupa dengan bid’ah haqiqiyyah”.
Contonya: seperti orang-orang yang berkumpul untuk Yasinan setiap malam Jum’at.
Dilihat dari satu sisi di syari’atkan, yaitu membaca al-Qur’an termasuk di
dalamnya surat Yasin. Akan tetapi dilihat dari sisi yang lain tidak syak lagi
tentang bid’ahnya. Karena menentukan cara dan waktunya setiap malam Jum’at sama
sekali tidak ada asal-usulnya dari Agama yang mulia ini.
Kaidah
keempat: Bid’ah i’tiqadiyyah dan bid’ah amaliyyah
Yang di
maksud dengan bid’ah i’tiqadiyyah ialah: “Meyakini sesuatu yang
menyalahi dengan keyakinan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para Shahabat
beliau. Sama saja, apakah keyakinan tersebut bersama perbuatan (amal) atau
tidak”. Contonya seprti bid’ahnya Syi’ah, Mu’tazilah, Jahmiyyah dan lain-lain.
Adapun
yang di maksud dengan bid’ah amaliyyah ialah: “Setiap perbuatan
ibadah di dalam agama yang tidak pernah di syari’atkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Atau mensyariatkan ibadah di dalam agama yang tidak pernah di syari’atkan
Allah dan Rasul-Nya. Karena setiap ibadah yang tidak pernah di perintahkan oleh
Agama dengan perintah wajib atau sunnat, maka sesungguhnya dia masuk ke dalam
bid’ah-bid’ah amaliyyah”.
Kaidah
kelima: Setiap bid’ah itu sesat, meskipun dianggap baik oleh manusia.
Berkata Abdullah bin Umar: ” Setiap bid’ah itu sesat meskipun di anggap
baik oleh manusia”.
Perkataan
diatas keluar atau terbit dari mata air nabawiyyah bahwa:Setiap bid’ah itu
sesat. Kalimat ” kullu ” (setiap) mencakup segala sesuatu yang
tersebut sesudahnya yaitu bid’ah. Dan kalimat ” bid’ah ” dengan
bentuk nakirah yang menunjukkan keumumannya. Dan dia tidak dapat
dikhususkan atau di kecualikan, kecuali dengan
tanda pengecualian. Misalnya: Setiap bid’ah itu sesat , kecuali
bid’ah hasanah. Akan tetapi di dalam hadits setiap bid’ah itu sesat, tidak ada
tanda pengecualian.
Oleh
karena itu ia tetap di dalam keumummannya, bahwa setiap bid’ah itu sesat. Yang
dengan tegas menafikan adanya pembagian bid’ah kepada hasanah dan sayyi’ah.
Inilah
yang difahami oleh para Shahabat, diantaranya Abdullah Bin Umar yang mengatakan
bahwa ” setiap bid’ah itu sesat, meskipun dianggap baik oleh manusia “.
Tidak ada yang menyalahi kaidah ini, kecuali ulama yang tergelincir di dalam
memahami sunnah atau mereka yang jahil terhadap Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’
Shahabat serta bahasa Arab.
Kaidah
keenam: ” Setiap kesesatan itu tempatnya di neraka “. (secara ringkas)
Bahwa hadits diatas bersama saudara-saudaranya termasuk di dalam hadits-hadits
mengenai ancaman (wa’id). Bahwa setiap kesesatan itu tempatnya tidak lain
di dalam neraka. Ini tidak berarti bahwa setiap orang yang mengerjakan bid’ah
pasti sesat dan masuk neraka. Berbeda hukum atas amal dengan pelaku. Oleh
karenahadits diatas merupakan hadits ancaman, maka perinciannya sebagai
berikut:
Adakalanya
orang mengerjakan bid’ah dia mengetahui bahwa perbuatan tersebut bid’ah, atau
adakalanya dia tidak mengetahui bahwa yang di kerjakan itu adalah perbuatan
bid’ah. Kalau dia telah mengetahui – yakni telah tegak kepadanaya
hujjah – bahwa perbuatan tersebut bid’ah, akan tetapi dia tetap di dalam
bid’ahnya, maka orang yang seperti ini tidak ragu telah masuk dengan sempurna
kedalam hadits diatas.
Dan
kalau dia tidak mengetahui – karena belum tegak kepadanya alasan dan
hujjah – yang dilakukan itu bid’ah, maka dia tidak berdosa dan sesat, meskipun
p;erbuatannya tetap wajib di katakan sebagai bid’ah dan kesesatan. Dan dengan
sendirinya dia tidak masuk kedalam ancaman hadits di atas. Kecuali, kalaupun
mau dikatakan berdosa hanya terbatas karena dia tidak mau menuntut ilmu dan
bertanya kepada ahlinya.
Kaidah
ketujuh: Setiap orang yang mengerjakan bid’ah belum tentu dia
sebagai ahli bid’ah (mubtadi’). Karena adakalanya dia jahil atau dia
seorang mujtahid yang salah dalam ijtihadnya. Akan tetapi orang yang terus
menerus di dalam bid’ahnya sesudah nyata baginya kebenaran lantaran mengikuti
(taqlid) kepada nenek moyang atau kaumnya atau golongannya dan dia berpaling
dan menentang kebenaran atau tidak menerimanya, karena tidak sesuaidengan
fahamnya atau madzhabnya (ta’ashshub), maka orang seperti ini tidak syak/ragu
lagi masuk ke dalam golongan ahlul bid’ah (mubtadi’).
Kaidah
kedelapan (terakhir): Pegangan ahlul bid’ah. Adapun yang menjadi pegangan
ahlul bid’ah banyak sekali diantaranya:
1.Hadits-hadits dha’if (lemah) dan maudhu’
(palsu) dan hadits-hadits yang batil dan munkar bersama hadits yang tidak ada
asal usulnya (laa ashla lahu)
2.Menolak hadits-hadits yang telah tsabit (shahi
dan hasan) dengan beberapa cara yang sangat lemah seperti: Mempertentengkan
hadits dengan Qur’an atau hadits dengan akal atau hadits dengan ilmu
pengetahuan(!?)
3. Men-ta’wil ayat-ayat Al-Qur’an
4. Berpegang pada keumuman ayat yang mereka sangka
denagn sebab kejahilan, bahwa ayat tersebut umum dan mutlak, untuk menolak
sejumlah hadits shahih yang datang secara rinci yang tidak terdapat hukumnya di
dalam A-Qur’an
5.Berpegang dengan sebagian ayat atau hadits dan
meninggalkan sebagian ayat dan hadits yang lain.
6.
Mengikuti hawa nafsu
7.
Menolak kebenaran
8.
Kejahilan (kebodohan), dan lain-lain. selesai
Ini
adalah secara ringkas kaidah-kaidah yang beliau Al-Ustadz Abdul Hakim bin
Amir Abdat turunkan di dalam kitabnya. Untuk pembahasan secara luas
silahkan download kajian berikut:
Semoga bermanfaat.
Semoga bermanfaat.
Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid’ah Hasanah- Syubhat
Pertama :
Syubhat Kedua : Sabda Nabi “Seluruh Bid’ah
Sesat, Adalah Lafal Umum Tapi Terkhususkan”
https://firanda.com/571-syubhat-kedua-sabda-nabi-seluruh-bid-ah-sesat-adalah-lafal-umum-tapi-terkhususkan.html
https://firanda.com/571-syubhat-kedua-sabda-nabi-seluruh-bid-ah-sesat-adalah-lafal-umum-tapi-terkhususkan.html
Syubhat Pendukung Bid’ah Hasanah – Syubhat
Ketiga
https://firanda.com/576-syubhat-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-ketiga.html
https://firanda.com/576-syubhat-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-ketiga.html
Syubhat Pendukung Bid’ah Hasanah – Syubhat
Keempat
https://firanda.com/581-syubhat-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-keempat.html
https://firanda.com/581-syubhat-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-keempat.html
Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid’ah Hasanah –
Syubhat Kelima
https://firanda.com/589-syubhat-syubhat-para-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-kelima.html
https://firanda.com/589-syubhat-syubhat-para-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-kelima.html
Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid’ah Hasanah –
Syubhat Keenam
https://firanda.com/629-syubhat-syubhat-para-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-keenam.html
https://firanda.com/629-syubhat-syubhat-para-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-keenam.html
Semua Bid’ah Adalah Kesesatan (lihat Comments)
https://firanda.com/200-semua-bidah-adalah-kesesatan.html
Ulama Syafi’iyah Mengingkari Bid’ah (lihat
Comments)https://firanda.com/200-semua-bidah-adalah-kesesatan.html
https://firanda.com/613-ulama-syafi-iyah-mengingkari-bid-ah.html
Ini Dalilnya (1): Manakah Bid’ah dan Manakah
Sunnah?
Ini Dalilnya (2): Jadikan Manhaj Salaf Sebagai
Rujukan
Ini Dalilnya (3): Tidak Semua yang Baru Berarti
Bid’ah
Ini Dalilnya (4): Adakah Bid’ah Hasanah?
Ini Dalilnya (5): Makna Setiap Bid’ah adalah
Sesat
Ini Dalilnya (6): Benarkah Pembagian Bid’ah
Menjadi Lima?
Ini Dalilnya (7): Beda Bid’ah dan Mashalih
Mursalah
Ini Dalilnya (8): Pembagian Bid’ah yang Tepat
Ini Dalilnya (9): Meluruskan Pemahaman Tentang
Bid’ah
Ini Dalilnya (10): Terapi Intensif bagi Pelaku
Bid’ah
Ini Dalilnya (11): Benarkah Rasulullah Tidak
Khawatir Umatnya Berbuat Syirik?
Definisi Bid’ah ('Abdullah bin 'Abdul 'Aziz
at-Tuwaijiri)
‘Umar Dan Imam Syafi’i Berbicara Tentang Bid’ah
Hasanah
Imam Syafi’i : Sang Pembela Sunnah dan Hadits
Nabi dan Biografi Singkat Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Syafi’i Sang Pembela Hadits Nabi
Menjawab Syubhat Kyai Idrus Ramli Dalam
Melegalkan Bid’ah Hasanah
Kitab-Kitab Ulama Syafi'iyyah Dalam
Memperjuangkan Sunnah Dan Mengingkari Bid'ah
Shalat Taraweh Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam (Sunnah Muaqad), Bukan Bid’ahnya Umar RA. Mengapa Syiah Anti-Shalat
Tarawih Berjama’ah (Karena Kedengkiannya Kepada Aisyah RA Dan Umar RA) ?
Pengertian Bid'ah Dan Bahayanya - Ustadz DR
Khalid Basalamah MA
5 Model Bid'ah - Ustadz Firanda Andirja
Perhatikan !!! Perbedaan Bid'ah Akidah dan
Bid'ah Fiqh - Ustadz Firanda Andirja
Bid'ah Hasanah - Tanya Jawab Ustadz DR FIranda
Andirja MA
Bidah Hasanah - Ustadz Firanda Andirja, MA
Meluruskan Kekhilafan UAH Atas Perkataan Antum
Bidah Dari Kepala Sampai Kaki I Ust Sofyan Chalid Rur
Menjawab Syubhat Ustadz Fulan Antum Bidah Dari
Kepala Hingga Kaki I Ust Dzulqarnain M Sunusi
Definisi Bid'ah, Apa itu bid'ah dll | Ustad
Badru Salam.
Definisi Bidah Menurut Bahasa dan Istilah -
Ustadz Badru Salam Lc
Sebenarnya Yg B* Doh Itu Siapa Dalam
Mengartikan Bid'ah Hasanah I Ust Zainal Abidin
(2).Bid’ah dan Beberapa
Perkara Baru
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Seperti dijelaskan sebelumnya, bid’ah
secara bahasa ialah sesuatu yang baru, ciptaan baru tanpa contoh sebelumnya,
atau suatu perkara yang diada-adakan. Dalam istilah lain bid’ah juga kerap
disebut sebagai muhda-tsatul umur (urusan baru yang diada-adakan).
Ummat Islam sangat diperingatkan oleh
Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam terhadap urusan bid’ah ini karena
belajar dari pengalaman para pengikut Nashrani yang banyak berbuat bid’ah, lalu
mereka tersesat. Bid’ah di kalangan Nashrani misalnya, mewajibkan kerahiban,
sehingga seorang rahib Nashrani meninggalkan dunia, tidak menikah, mengasingkan
diri dalam biara-biara untuk fokus ibadah. Mereka juga menghalalkan gambar dan
patung-patung orang shalih, menghalalkan Salib dan menyembahnya, menjadikan
kuburan orang shalih sebagai tempat bersujud (dulunya dalam ibadah Nashrani ada
ritual bersujud), dan sebagainya.
Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam dalam hadits
populer dari Irbath bin Sariyyah Radhiyallahu ‘Anhu pernah berkata: “Wa iyyakum
min muhdatsatil umur, fa inna kulla muhdasatin bid’ah, wa kulla bid’atin
dhalalah” (hati-hatilah kalian dari perkara baru yang diada-adakan, karena
setiap yang baru (diada-adakan) itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
sesat). Dalam riwayat lain disebutkan tambahan, “Wa kullu dhalalatin fin naar”
(dan setiap yang sesat itu nanti resikonya masuk neraka). Na’udzubillah wa
na’udzubillah min dzalik.
Jadi, menghindari bid’ah itu adalah jalan
untuk menjauhkan diri dari siksa neraka. Bukan karena ingin disebut Wahabi,
atau karena ingin menang-menangan dalam perdebatan. Mungkin ada yang bilang:
“Lihat nih, gua lebih hebat dari lu. Gua dalilnya lebih kuat, sedangkan lu
dalilnya rusak. Singkat kata, gua nih calon ahli syurga, sementara lu calon
ahli neraka. Rasain tuh jadi calon ahli neraka! Ha ha ha…!” Omongan seperti ini
tidak boleh ada dalam agama. Ia adalah omongan setan yang nyaru menjadi
manusia. Dalam beragama kita harus “mukhlishina lahud diin” (mengikhlaskan
agama semata-mata untuk Allah). Bukan untuk menang-menangan di mata manusia.
Banyak orang mendefinisikan bid’ah dengan
pengertian sekedar: “Sesuatu yang tidak ada di zaman Nabi” (maa laa yakunu fi
ahdin Nabi). Definisi demikian terlalu general. Nanti bisa menimbulkan
masalah-masalah ketika kita bertemu hal-hal baru yang tidak ada di masa
Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam.
Mestinya definisi itu diperbaiki menjadi:
“Sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak sesuai
dengan Syariat Islam” (maa laa syara’allahu bihi wa Rasuluhu, wa huwa yukhalifu
Syariatal Islam). Intinya, bid’ah itu selain tidak diperintahkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, ia juga menyelisihi Syariat Islam. (Dalam hal ini, Anda mesti ingat
kaidah para ulama, bahwa Syariat Islam ditujukan untuk menjaga jiwa, menjaga
agama, menjaga harta, menjaga akal, menjaga keturunan kaum Muslimin).
Kemudian pertanyaannya, adakah hal-hal baru
yang tidak ada di masa Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam, tetapi ia sesuai
dengan Syariat Islam? Jawabnya, ada dan banyak! Nah, hal demikian harus
benar-benar dipahami, agar Anda tidak bingung ketika memahami persoalan Sunnah
dan bid’ah.
Disini akan kita sebut hal-hal yang baru
tersebut, dengan izin dan rahmat Allah Ta’ala:
[A]. MASLAHAH MURSALAH. Istilah ini sudah
populer di kalangan pengkaji ilmu-ilmu fiqih. Intinya, dalam Islam itu ada
urusan-urusan baru yang tidak pernah dilakukan di masa Nabi, tetapi ia sangat
dibutuhkan oleh Ummat Islam, demi kemaslahatan hidupnya. Para ulama menyebut
dengan istilah al maslahah al mursalah.
Contoh perkara yang masuk urusan ini
ialah: Penulisan Mushaf Al Qur’an, penyeragaman Qira’ah Al Qur’an, penerapan
sistem administrasi yang mengadopsi sistem orang Persia di masa Khalifah Umar
Radhiyallahu ‘Anhu, musyawarah untuk menentukan Khalifah kaum Muslimin,
mengangkat pegawai Khalifah dan memberikan gaji kepadanya, membuat
kaidah-kaidah keilmuwan Islam, penulisan dan penerbitan buku-buku ilmiah,
pendirian madrasah-madrasah Islam, membuat sistem militer yang teratur dan
tetap, dan lain-lain. Semua perkara ini tak ada di masa Rasulullah Shallallah
‘Alaihi Wasallam, tetapi sangat dibutuhkan oleh Ummat, sehingga ia diadakan dan
dipelihara dari masa ke masa. Alasannya, kalau perkara-perkara itu tidak
dilakukan, khawatir akan muncul kerusakan atau madharat yang merugikan.
Dulu di masa Rasulullah Shallallah
‘Alaihi Wasallam untuk belajar agama, kaum Muslimin belajar di masjid-masjid,
dalam halaqah-halaqah majlis taklim. Tetapi cara seperti itu dianggap kurang
efektif dan memenuhi kebutuhan Ummat. Maka dibentuklah madrasah-madrasah untuk
mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Dengan adanya madrasah ini, proses belajar
bisa lebih fokus, terarah, dan hasilnya lebih mudah dilihat.
Dasar pikiran yang sama dikembangkan di
dunia militer, pelayanan kesehatan, pengembangan ekonomi, baitul maal,
birokrasi, dll.
[B]. IJTIHAD ILMIAH. Selain al maslahah
al mursalah, ada pula perkara ijtihad. Ijtihad ini ialah kerja ilmiah secara
sungguh-sungguh untuk memberikan solusi atas masalah-masalah aktual kaum Muslimin,
berlandaskan Syariat Islam. Jadi ijtihad itu bermula dari masalah-masalah yang
timbul dalam kehidupan kaum Muslimin, sedangkan solusinya secara qath’i (pasti)
belum ada dalam Kitabullah dan Sunnah. Maka para ulama bersusah-payah mengkaji
dalil-dalil Syariat untuk memberikan solusi atas masalah itu.
Imam Syafi’i rahimahullah dikenal sebagai
salah seorang Ulama Mujtahid (ulama yang banyak berijtihad). Ketika beliau
tinggal di Irak, fatwa-fatwa beliau dikenal sebagai Qaulun Qadim (pendapat
lama). Ketika kemudian pindah ke Mesir, pendapat-pendapat beliau dikenal dengan
sebutan Qaulun Jadid (pendapat baru). Ketika diteliti mengapa Imam Syafi’i
seolah berubah pendapatnya. Ternyata, beliau menyesuaikan pendapatnya dalam
Qaulun Jadid dengan kenyataan masyarakat di Mesir yang umumnya bekerja sebagai
petani. Disini dapat dilihat betapa eratnya hubungan antara ijtihad ulama
dengan masalah-masalah kehidupan sosial suatu masyarakat.
Kalau al maslahah al mursalah dibutuhkan
untuk memenuhi kemaslahatan hidup kaum Muslimin dan menghindarkan mereka dari
resiko madharat (mafasid). Maka ijtihad ulama muncul sebagai respon atas
masalah-masalah aktual yang muncul dalam kehidupan Ummat, dimana masalah itu
belum ada dalilnya yang pasti dalam Syariat Islam (Kitabullah dan As Sunnah).
Contoh, di zaman modern kita menemui
hal-hal baru seperti internet, televisi, operasi cesar, operasi plastik, donor
organ tubuh, kloning, rekayasa genetik, bank, asuransi, transaksi elektronik,
hukum merokok, video porno, dll. Semua ini masalah-masalah aktual yang muncul
di tengah kaum Muslimin. Ia tidak secara pasti ada dalilnya dalam Kitabullah
dan As Sunnah, sehingga membutuhkan kerja keras ulama untuk meneliti masalah
itu dan mengeluarkan hukum-hukumnya.
Dalam urusan maslahah mursalah jelas-jelas
tujuannya untuk mencapai maslahat dan menolak kerusakan (mafsadah). Tetapi
dalam kasus ijtihad, tidak bisa dipastikan bahwa setiap urusan disana otomatis
halal dilakukan. Tidak demikian. Hukum perkara-perkara dalam ijtihad bisa halal
(mubah), haram, atau syubhat (meragukan). Jadi dalam perkara ijtihad tidak
selalu mengharuskan untuk dilakukan. Kalau suatu urusan diputuskan hukumnya
haram, maka ia jelas harus dijauhi.
Sejujurnya, peranan MUI selama ini lebih
banyak dalam ranah perkara-perkara ijtihad ini. MUI dengan Komisi Fatwa-nya
bekerja menghasilkan keputusan-keputusan hukum untuk memberi kepastian hukum
atas masalah-masalah sosial yang ada, sesuai dengan Syariat Islam (menurut
metode yang diterapkan di MUI).
[C]. ADAT. Selain maslahah mursalah dan ijtihad,
ada pula perkara adat. Adat adalah suatu kebiasaan masyarakat yang bersifat
alamiah, berkembang secara turun-temurun dalam masa yang panjang, dan menjadi
ciri khas suatu masyarakat dibandingkan masyarakat lain. Dalam banyak hal, adat
ini diberi toleransi oleh ajaran Islam, sehingga ada kaidah fiqih, “Al ‘adad al
muhakamah” (adat itu bisa memberikan nilai hukum).
Kalau disebut adat, jangan Anda bayangkan
kita bicara tentang kreasi-kreasi kesenian suatu masyarakat, seperti
tari-tarian, baju adat, ritual adat, rumah adat, adat pernikahan tradisional,
dll. Bukan, bukan yang semisal ini; meskipun pada bagian-bagian tertentu ada
korelasinya. Pendek kata, Anda lepaskan dulu kesan bahwa adat itu adalah
kesenian. Lepaskan dulu gambaran seperti itu!
Perkara adat ini, misalnya soal makanan
pokok. Di dunia Arab dan di masa Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam yang dikenal
sebagai makanan pokok adalah kurma dan
tepung untuk membuat roti. Di Indonesia, kita makan beras; di Madura
–katanya- masyarakat mengonsumsi jagung; di Maluku masyarakat mengonsumsi sagu;
di Papua masyarakat mengonsumsi ubi-ubian. Ketika tiba saat membayar Zakat
fitrah, maka ketentuan yang berlaku di negara kita tidak ditakar dengan kurma
atau tepung, tetapi dengan beras, jagung, sagu, atau ubi-ubian.
Contoh lain, profesi petani padi berbeda
dengan profesi pencari sagu, apalagi nelayan pencari ikan di laut. Kalau petani
padi, setiap pagi datang ke sawah, lalu pulang sore hari. Maka pencari sagu,
mereka bisa kapan saja datang ke hutan untuk menebang pohon sagu, lalu
memproses batang-batang sagu untuk mendapatkan makanan yang dibutuhkan. Berbeda
lagi dengan nelayan, mereka pergi ke laut malam-malam, pulang saat pagi atau
siang hari. Lalu apa pentingnya kita membedakan profesi-profesi ini? Jelas penting,
sebab hal itu menyangkut pengaturan waktu sehari-hari yang dikaitkan dengan
kewajiban Shalat Lima Waktu. Hal itu juga berkaitan dengan penggunaan air dalam
profesi tersebut. Petani sangat butuh air untuk mengairi sawah, nelayan butuh
air tawar untuk minum di tengah laut, sedang pencari sagu juga butuh air untuk
menghasilkan sagu. Begitu pula, profesi tersebut juga berkaitan dengan modal
yang dibutuhkan disana.
Contoh lain, misalnya tentang bentuk
bangunan masjid. Di Indonesia, setiap masjid selalu dilengkapi atap dan
saluran-saluran air, karena di Indonesia sering hujan. Air hujan kalau tidak
diatur, bisa menimbulkan banyak masalah di dalam masjid. Namun di negara Afrika
(seperti Sudan, Somalia, Tunisia, dll.) bentuk bangunan masjid tidak harus
seperti di Indonesia, sebab disana hujan jarang turun. Maka saat membangun
masjid di Indonesia, wajib hukumnya membuat atap yang rapat dan saluran-saluran
air. Hal ini sesuai dengan kondisi kita di negeri ini. Kalau membuat masjid
berbentuk bulat-bulat seperti di Afrika, tanpa saluran air yang memadai, hal
itu justru dilarang.
Contoh lain, makanan orang Indonesia
kebanyakan cirinya mengutamakan cita-rasa (rempah-rempah), keragaman menu,
kandungan protein hewani terbatas, banyak mengandung karbohidrat dan serat. Pola
makan seperti ini mungkin terkait dengan kondisi alam yang ramah, hangat dan
banyak hujan. Kalau di negara-negara dengan empat musim, saat ada musim dingin,
menu ala orang Indonesia sangat tidak cocok. Menu ala Indonesia dianggap tak
cukup untuk melawan rasa dingin. Maka ketika musim dingin di bulan Ramadhan, di
negara-negara itu jangan sekali-kali memberikan menu masakan Indonesia, kecuali
sekedar selingan saja.
Banyak contoh adat kebiasaan yang berbeda
antara satu daerah dengan daerah lain, antara satu negara dengan negara lain.
Adat kebiasaan itu nanti bisa menghasilkan hukum “wajib” dan “haram”,
disesuaikan dengan kondisi adat kebiasaan setempat. Misalnya, bagi orang
Indonesia, membuat tempat wudhu berdampingan dengan toilet, di setiap
masjid-masjid adalah hal lumrah. Tetapi belum tentu itu cocok di Afrika, karena
untuk mendapatkan air saja disana tidak mudah. Maka membuat tempat wudhu di
setiap masjid di Indonesia bisa dianggap “wajib”, tetapi tidak untuk di Afrika.
Begitu pula, orang Indonesia pergi ke masjid dengan baju tipis dan sarung, hal
itu biasa dan lumrah. Tetapi di negara-negara empat musim, saat turun salju,
memakai pakaian seperti itu ke masjid, sama juga dengan “bunuh diri”. Maka ia
bisa dianggap perbuatan “haram” karena mencelakakan diri sendiri.
[D]. INOVASI KEDUNIAAN. Inovasi keduniaan
juga merupakan hal-hal baru. Biasanya ia terkait dengan perkembangan teknologi,
perkembangan sarana, atau perubahan kebiasaan hidup. Alat-alat modern seperti
TV, internet, HP, telepon, pesawat terbang, mobil, mesin, obat-obatan, alat
medis, dll. merupakan produk-produk inovasi kehidupan.
Hukum penemuan produk seperti ini afdhal
(utama). Ia serupa seperti ilmu-ilmu agama yang bermanfaat. Seorang Muslim yang
menemukan hal-hal bermanfaat itu, ia akan mendapat PAHALA JARIYAH (terus
mengalir), selama penemuannya terus bermanfaat bagi kehidupan Ummat. Dalilnya
adalah sabda Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam: “Al ‘ilmu yuntafa’u bihi” (ilmu
bermanfaat termasuk amal yang tidak terputus pahalanya).
Bisa juga dimasukkan sebagai dalil dalam
urusan ini ialah sabda Nabi: “Man sanna
fil Islami sunnatan hasanatan falahu ajruhu bi mitsi ujuri man tabi’ahu, wa laa
yanqhusu min ajrihim syai’a” (siapa yang memulai dalam Islam ini suatu sunnah
yang baik, maka dia mendapat pahala sebanyak pahala orang-orang yang
mengikutinya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun). Inovasi
Salman Al Farisi Radhiyallahu ‘Anhu saat mengusulkan konsep “perang parit”
dalam Perang Ahzab, bisa dimasukkan kategori amal ini. Beliau mengusulkan suatu
teknik baru yang belum dikenal di Jazirah Arab sebelumnya, dan teknik itu
bermanfaat.
Seharusnya, dalam urusan-urusan keduniaan
ini kaum Muslimin sangat semangat, gigih, dan kerja keras. Disini terbuka lebar
jalan-jalan menuju pahala jariyah yang kan terus mengalir. Jangan sebaliknya;
dalam urusan ibadah malah banyak inovasi, sedang dalam keduniaan lebih banyak
bersandar kepada takdir; atau selalu menanti datangnya Imam Mahdi. Ironis
sekali!
Demikianlah, ternyata ada hal-hal baru
dalam Islam yang bukan termasuk bid’ah. Ia adalah al maslahah al mursalah, al
ijtihad, dan adat suatu masyarakat. Anda harus bisa bedakan perkara-perkara ini
dengan bid’ah. Bedakan dengan baik, insya Allah dirimu akan dilapangkan untuk
memahami Syariat agama ini. Allahumma amin. Bid’ah ya tetap bid’ah, tidak perlu
disebut bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah.
Semoga artikel sederhana ini bermanfaat.
Mohon dimaafkan atas segala salah dan kekurangan. Allahummaghfirli wa li
walidaiya marhamhuma ka maa rabbayani shaghira. Allahummaghfir li umina min
kulli khathiah wa dzunub, wa yassir laha hayataha fi baqiyati ‘umriha, wahdi
qalbaha ila maghfiratika, rahmatika, wa husnil khatimah.
Jabodetabek, 17 Desember 2011.
[Ayah Aisyah, Fathimah, Khadijah].
Catatan: Naskah ini sudah ditulis sejak
pertengahan Desember 2011, tetapi baru publikasi sekitar pertengahan Januari
2012. Harap dimaklumi!
(3).Prinsip Memahami Bid’ah
(Kajian Ringkas)
Dengan demikian, setiap urusan bid’ah, cirinya
adalah: Ia tidak diperintahkan dalam Al Qur’an atau As Sunnah, ia tidak ada
manfaatnya bagi kebaikan hidup kaum Muslimin dalam urusan dunia atau Akhirat,
dan ia bila dilakukan bisa mematikan amalan Sunnah yang sudah jelas-jelas
diajarkan oleh Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam
Mari kita coba aplikasikan kaidah ini
dalam melihat amal-amal kaum Muslimin selama ini. Perhatikan contoh-contoh di
bawah ini:
1.Apakah meminta pertolongan kepada ahli
kubur yang sudah wafat (sekalipun ia adalah seorang Nabi dan Rasul) termasuk
perbuatan bid’ah? [Jawabnya ialah IYA. Sebab perbuatan seperti itu selain tidak
diperintahkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah, ia juga bisa menyeret seseorang ke
perbuatan syirik].
2.Apakah acara tahlilan 7 hari setelah
seseorang wafat, pada hari ke-40, pada hari ke-100, hari ke-1000 termasuk
bid’ah? [Jawabnya ialah IYA. Selain ia tidak diperintahkan dalam Al Qur’an dan
As Sunnah, tidak ada maslahatnya bagi urusan dunia-Akhirat, ia juga bisa
mematikan perbuatan Sunnah yang sudah pasti, seperti doa anak bagi
ayah-bundanya, doa orangtua bagi anak-anaknya, dll.].
3.Apakah pesawat terbang, internet,
telepon, listrik, komputer, HP, dll. termasuk perbuatan bid’ah? [Jawabnya
BUKAN, sebab ia adalah benda-benda teknologi yang memiliki maslahat untuk
memudahkan kehidupan Ummat Islam. Kecuali, kalau alat-alat itu dipakai untuk
urusan haram, maka hukumnya juga haram].
4.Apakah acara Maulid Nabi dengan
menggelar dzikir berjamaah di Monas, dipimpin seorang ulama Shufi dari Jakarta,
dengan melakukan hubungan teleconference dengan ulama Shufi lain dari Yaman;
lalu dalam acara itu banyak campur-baur laki-laki perempuan, diadakan sampai
malam hari, sehingga banyak kaum wanita dan anak-anak kesusahan di jalan,
membuat macet jalanan dan kotor lingkungan, mengundang datangnya kaum kriminal,
dll. apakah ia termasuk perbuatan bid’ah? [Jawabnya adalah IYA. Selain tidak
ada perintah melakukan dzikir seperti itu, ia juga mendatangkan aneka madharat
bagi Ummat. Ia mengundang pelanggaran-pelanggaran Syariat, dan lagi pula tidak
ada manfaatnya. Doa-doa yang dibaca di majelis seperti itu agar pemimpin jadi
shaleh, negeri melimpah rizki, bala dan bencana dihindarkan, dll. terbukti
tidak dikabulkan. Kalau mau berdzikir, mendapat Syafaat Rasulullah, mendapat
berkah doa orang shalih, mendapat pahala majelis dzikir, hal itu bisa dilakukan
dengan cara yang lebih baik].
5.Apakah mendawamkan membaca Barzanji di
saat Maulid Nabi, melakukan itu terus-menerus, dengan rukun-rukun amal yang
pasti, dan merasa berdosa bila meninggalkannya (atau meninggalkan
rukun-rukunnya), apakah hal itu merupakan bid’ah? [Jawabnya IYA. Selain tidak
diperintahkan, hal ini merupakan ritual-ritual khusus yang menyaingi
ritual-ritual Islami yang sudah jelas. Ia juga tidak bermanfaat, bagi kehidupan
dunia dan tidak dapat dipastikan pahalanya di Akhirat, karena tidak ada dalil
amaliahnya].
6.Apakah menulis buku Islami, mendirikan
sekolah, membuat majalah Islam, membuat situs dakwah, mendirikan universitas
Islam, membuat rumah sakit Islam, dll. termasuk bid’ah? Sebab semua itu tidak
ada di zaman Nabi dan Shahabat? [Jawabnya BUKAN, sebab hal-hal itu dibutuhkan
oleh kaum Muslimin dalam kehidupan mereka. Kalau semua itu tidak dilakukan,
justru kaum Muslimin akan tertimpa madharat, karena sekolah Islami tidak ada,
rumah sakit Islami tidak ada, universitas Islami tidak ada, dll.].
7.Apakah memfitnah ulama, mencaci-maki
kehormatan mereka, menganggap ulama sangat hina, bahkan menganggap orang kafir
lebih utama daripada ulama-ulama itu (seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Adz
Dzahabi, Muhammad bin Abdul Wahhab, Abdul ‘Aziz bin Baz, Al Albani, Al
Utsaimin, dll.), apakah perbuatan ini termasuk bid’ah? [Jawabnya, bukan bid’ah
lagi, tetapi ia perbuatan HARAM dan FAHISYAH (keji). Ulama-ulama itu tidak
mengharamkan dirinya dikritik, sebab mereka bukan Nabi. Mereka juga tidak
meminta dikultuskan. Mereka secara ikhlas melayani ilmu sesuai kaidah-kaidah
Salaf. Bahkan mereka tidak membuat-buat pendapat baru, tetapi selalu mencari
jalan kepada pendapat-pendapat Salaf. Misalnya, pendapat Ibnu Taimiyyah dalam
masalah Istiwa’. Ini bukan baru, tetapi hanya melanjutkan pendapat Imam malik
rahimahullah (bahwa Istiwa’ itu sudah maklum, tatacara Istiwa’ tidak diketahui,
mengimaninya wajib, mempersoalkannya adalah bid’ah). Para penghina ulama ini
wajib diingatkan agar tidak mengotori lisan dan hidupnya dengan menghujat para
ulama. Bila tidak berhenti dari berbuat keji, maka berlaku firman Allah dalam
hadits qudsi, “Wa man ‘ada liy waliyan, faqad adzantu lahu bil harbi” (dan
siapa yang memusuhi wali-Ku, maka aku umumkan perang baginya). Wahai insan,
amal-amal kalian tida ada seujung kuku dari amal-amal para ulama itu. Maka
kasihanilah diri kalian, sebelum Allah mewajibkan berlakunya kehinaan atas
manusia-manusia jahil yang menghina kehormatan ulama!].
Semoga risalah sederhana ini bermanfaat
dan bisa menjadi pelajaran (khususnya bagi diri kami sendiri). Mohon dimaafkan
atas segala salah dan kekurangan. Yang benar adalah Syariat Nabi Shallallah
‘Alaihi Wasallam, dan yang bathil adalah jalan-jalan yang menyelisihi Syariat
itu.
Jangan lemah karena omongan orang-orang
menyimpang, meskipun omongan itu banyak jumlahnya. Tetap istiqamah di jalan
Sunnah Sayyidil Mursalin! Qul laa ilaha illa Allah, tsumma istaqim! Wal akhiru,
alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
Sebagai contoh Bahasan Bid’ah diatas, silahkan
baca artikel dibawah ini :
(Maulid) Pendapat Ustadz Adi Hidayat Dibantah
oleh Ustadz Dzulqarnain bin MuhammadSunusi (Silahkan lihat 173
Comments)
Kajian Lengkap Pro-Kontra Hakikat Mencintai
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Dan Maulid Nabi. Sampai Akhir Abad
Ketiga Hijriyah Tidak Pernah Ada Perayaan Maulid. Pro-Maulid Merujuk Pendapat
Ulama Setelah Abad Kelima Hijriyah.
Ustadz Abdul Somad, Lc, MA : Hukum Peringatan
Maulid. Juga Pendapat Zon Jonggol (Mutiara Zuhud) dan Ustadz Drs. Idrus Ramli
(NU Garis Lurus). Bandingkan Dengan Paparan Artikel Komprehensif (Pro-Kontra)
dilamurkha.
Tokoh Sufi Habib Luthfi Bin Yahya: Anti Maulid
Lebih Berbahaya Daripada Anti Sahabat. Sedangkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wa Sallam, Para Sahabat, Para Thabi’in, Thabi’ut Thabi’in, Imam Empat Mazhab,
Para Ulama Ahlul Hadits Seperti Imam Bukhari, Muslim dan lain-lain, Tidak Ada
Yang Pernah Satu Kalipun Mengadakan Perayaan Maulid Nabi....
Apakah Perayaan Maulid Nabi Sebuah Ketaatan
(Taqarrub) Kepada Allah ?
Menjawab Syubhat Dan Argumen Perayaan Maulid
Nabi Yang Disampaikan Ustadz Abdul Somad Dan Lainnya.
Ustadz Abdul Somad, Lc, MA : Hukum Peringatan
Maulid. Juga Pendapat Zon Jonggol (Mutiara Zuhud) dan Ustadz Drs. Idrus Ramli
(NU Garis Lurus). Bandingkan Dengan Paparan Artikel Komprehensif (Pro-Kontra)
dilamurkha.
http://lamurkha.blogspot.com/2017/06/ustadz-abdul-somad-lc-ma-hukum.html
Bantahan Atas Retorika Adi Hidayat Lc. MA
Mengenai Pengkafirannya Atas Yang Mengingkari Al-Ihtifaal Bil Maulid
Silahkan lihat 107 Responses menarik to Prinsip
Memahami Bid’ah (Kajian Ringkas)
Mengenal
Seluk Beluk Bid’ah : Pengertian Bid’ah, Adakah Bid’ah Hasanah ?, Berbagai
Alasan Dalam Membela Bid’ah, Dampak Buruk Bid’ah
Pengertian
Bid’ah
Saudaraku yang semoga kita selalu
mendapatkan taufik Allah, seringkali kita mendengar kata bid’ah, baik dalam
ceramah maupun dalam untaian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, tidak sedikit di antara kita belum memahami
dengan jelas apa yang dimaksud dengan bid’ah sehingga seringkali salah memahami
hal ini. Bahkan perkara yang sebenarnya bukan bid’ah kadang dinyatakan bid’ah
atau sebaliknya. Tulisan ini -insya Allah- akan sedikit membahas permasalahan
bid’ah dengan tujuan agar kaum muslimin bisa lebih mengenalnya sehingga dapat
mengetahui hakikat sebenarnya. Sekaligus pula tulisan ini akan sedikit menjawab
berbagai kerancuan tentang bid’ah yang timbul beberapa saat yang lalu di
website kita tercinta ini. Sengaja kami membagi tulisan ini menjadi empat
bagian. Kami harapkan pembaca dapat membaca tulisan ini secara sempurna agar
tidak muncul keraguan dan salah paham. Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang
bermanfaat.
AGAMA ISLAM TELAH SEMPURNA
Saudaraku, perlu kita
ketahui bersama bahwa berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, agama Islam ini
telah sempurna sehingga tidak perlu adanya penambahan atau pengurangan dari
ajaran Islam yang telah ada.
Marilah kita renungkan
hal ini pada firman Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agama bagimu.” (QS.
Al Ma’idah [5] : 3)
Seorang ahli tafsir
terkemuka –Ibnu Katsir rahimahullah– berkata tentang ayat ini, “Inilah nikmat Allah
‘azza wa jalla yang tebesar bagi umat ini di mana Allah telah menyempurnakan
agama mereka, sehingga mereka pun tidak lagi membutuhkan agama lain
selain agama ini, juga tidak membutuhkan nabi lain selain nabi mereka
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya
kepada kalangan jin dan manusia. Maka perkara yang halal adalah yang
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan dan perkara yang haram adalah yang
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ma’idah ayat 3)
SYARAT DITERIMANYA AMAL
Saudaraku –yang semoga
dirahmati Allah-, seseorang yang hendak beramal hendaklah mengetahui bahwa
amalannya bisa diterima oleh Allah jika memenuhi dua syarat diterimanya amal.
Kedua syarat ini telah disebutkan sekaligus dalam sebuah ayat,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو
لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ
رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan Rabbnya dengan sesuatu pun.” (QS. Al Kahfi [18] : 110)
Ibnu Katsir mengatakan
mengenai ayat ini, “Inilah dua rukun diterimanya amal yaitu [1] ikhlas kepada
Allah dan [2] mencocoki ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam
agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang
bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Ibnu Rajab Al Hambali
mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam.
Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits innamal a’malu bin niyat [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya]
merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap
wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap
amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak.
Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan
Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77, Darul Hadits Al Qohiroh)
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Secara tekstual (mantuq), hadits ini
menunjukkan bahwa setiap amal yang tidak ada tuntunan dari syari’at maka amalan
tersebut tertolak. Secara inplisit (mafhum), hadits ini menunjukkan bahwa
setiap amal yang ada tuntunan dari syari’at maka amalan tersebut tidak
tertolak. …Jika suatu amalan keluar dari koriodor syari’at, maka amalan
tersebut tertolak.
Dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘yang bukan ajaran kami’ mengisyaratkan bahwa
setiap amal yang dilakukan hendaknya berada dalam koridor syari’at. Oleh karena
itu, syari’atlah yang nantinya menjadi hakim bagi setiap amalan apakah amalan
tersebut diperintahkan atau dilarang. Jadi, apabila seseorang melakukan suatu
amalan yang masih berada dalam koridor syari’at dan mencocokinya, amalan
tersebutlah yang diterima. Sebaliknya, apabila seseorang melakukan suatu amalan
keluar dari ketentuan syari’at, maka amalan tersebut tertolak. (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77-78)
Jadi, ingatlah wahai
saudaraku. Sebuah amalan dapat diterima jika memenuhi dua syarat ini yaitu
harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika salah satu dari dua syarat ini tidak ada, maka
amalan tersebut tertolak.
PENGERTIAN BID’AH
[Definisi Secara Bahasa]
Bid’ah secara bahasa
berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’
Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy
Syamilah)
Hal ini sebagaimana
dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,
بَدِيعُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am [6] : 101),
maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman-Nya,
قُلْ مَا كُنْتُ
بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat
bid’ah di antara rasul-rasul’.” (QS.
Al Ahqaf [46] : 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia
ini. (Lihat Lisanul ‘Arob, 8/6, Barnamej Al Muhadits Al Majaniy-Asy Syamilah)
[Definisi Secara Istilah]
Definisi bid’ah secara
istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy
Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ
طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ
بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama
yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran
Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah Ta’ala.
Definisi di atas adalah
untuk definisi bid’ah yang khusus
ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi).
Adapun yang memasukkan
adat (tradisi) dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalah
طَرِيْقَةٌ فِي
الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا
مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
Suatu jalan dalam agama
yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam),
yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat
ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah). (Al I’tishom, 1/26, Asy Syamilah)
Definisi yang tidak
kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالْبِدْعَةُ : مَا
خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ
الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
“Bid’ah adalah i’tiqod
(keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’
(kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al
Fatawa, 18/346, Asy Syamilah)
Ringkasnya pengertian
bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah
agama tersebut sempurna. (Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Fairuz Abadiy
dalam Basho’iru Dzawit Tamyiz, 2/231, yang dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 26, Dar Ar Royah)
Sebenarnya terjadi
perselisihan dalam definisi bid’ah secara istilah. Ada yang memakai definisi
bid’ah sebagai lawan dari sunnah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Asy Syatibi, Ibnu Hajar Al Atsqolani, Ibnu Hajar Al Haitami, Ibnu
Rojab Al Hambali dan Az Zarkasi. Sedangkan pendapat kedua mendefinisikan bid’ah
secara umum, mencakup segala sesuatu yang diada-adakan setelah masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam baik yang terpuji
dan tercela. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Al ‘Izz bin
Abdus Salam, Al Ghozali, Al Qorofi dan Ibnul Atsir. Pendapat yang lebih kuat
dari dua kubu ini adalah pendapat pertama karena itulah yang mendekati
kebenaran berdasarkan keumuman dalil yang melarang bid’ah. Dan penjelasan ini
akan lebih diperjelas dalam penjelasan selanjutnya. (Lihat argumen
masing-masing pihak dalam Al Bida’ Al
Hawliyah, Abdullah At
Tuwaijiri, www.islamspirit.com)
Inilah sedikit
muqodimah mengenai definisi bid’ah dan berikut kita akan menyimak beberapa
kerancuan seputar bid’ah. Pada awalnya kita akan melewati pembahasan ‘apakah
setiap bid’ah itu sesat?’. Semoga kita selalu mendapat taufik Allah.
Adakah
BID’AH HASANAH?
Setiap bid’ah adalah tercela. Inilah yang masih diragukan oleh sebagian orang. Ada
yang mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, ada pula bid’ah yang baik
(bid’ah hasanah). Untuk menjawab sedikit kerancuan ini, marilah kita menyimak
berbagai dalil yang menjelaskan hal ini.
[Dalil dari As Sunnah]
Diriwayatkan dari Jabir
bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu
keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima
yang meneriaki pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu
sore’. Lalu beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah
bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari
telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ
وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah)
dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR.
Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i
dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ
فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan
shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih
wa Dho’if Sunan An Nasa’i)
Diriwayatkan dari Al
‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu
‘anhu, beliau berkata, “Kami
shalat bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pada
suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu
menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini
bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ
كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah
nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى
اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ
يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa
kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah
budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka
dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib
berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan
petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham
kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara
yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676.
Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
[Dalil dari Perkataan Sahabat]
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَا أَتَى عَلَى
النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً،
حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ
“Setiap tahun ada saja orang yang membuat
bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun
mati.” (Diriwayatkan
oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al
Kabir no. 10610. Al
Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا
تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi
kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab
shohih)
Itulah berbagai dalil
yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.
KERANCUAN: BID’AH ADA YANG TERPUJI ?
Inilah kerancuan yang
sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu
sesat namun ada sebagian yang terpuji yaitu bid’ah hasanah.
Memang kami akui bahwa
sebagian ulama ada yang mendefinisikan bid’ah (secara istilah) dengan
mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang tercela dan ada yang terpuji karena bid’ah
menurut beliau-beliau adalah segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana hal ini
dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i dari Harmalah bin Yahya. Beliau rahimahullah berkata,
الْبِدْعَة
بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang
terpuji dan bid’ah yang tercela.” (Lihat Hilyatul
Awliya’, 9/113, Darul Kitab
Al ‘Arobiy Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari, 20/330, Asy Syamilah)
Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala
mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata,
نِعْمَ الْبِدْعَةُ
هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010)
Pembagian bid’ah
semacam ini membuat sebagian orang rancu dan salah paham. Akhirnya sebagian
orang mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada yang
tercela (bid’ah sayyi’ah). Sehingga untuk sebagian perkara bid’ah seperti
merayakan maulid Nabi atau shalat nisfu Sya’ban yang tidak ada dalilnya atau
pendalilannya kurang tepat, mereka membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan
‘Ini kan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah)’. Padahal kalau kita melihat kembali
dalil-dalil yang telah disebutkan di atas baik dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun perkataan sahabat, semua riwayat
yang ada menunjukkan bahwa bid’ah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu
sekali pembaca sekalian mengetahui sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar
dapat mengetahui hakikat bid’ah yang sebenarnya.
SANGGAHAN TERHADAP KERANCUAN:
KETAHUILAH SEMUA BID’AH ITU SESAT
Perlu diketahui
bersama bahwa sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ‘sesungguhnya
sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama, pen)’,
‘setiap bid’ah adalah sesat’, dan ‘setiap kesesatan adalah di neraka’ serta
peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini
adalah dalil tegas dari beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka tidak
boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap
bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah
orang yang hina. (Iqtidho’ Shirotil
Mustaqim, 2/88, Ta’liq Dr.
Nashir Abdul Karim Al ‘Aql)
Tidak boleh bagi
seorang pun menolak sabda beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam yang
bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu mengatakan
‘tidak semua bid’ah itu sesat’. (Iqtidho’
Shirotil Mustaqim, 2/93)
Perlu pembaca sekalian
pahami bahwa lafazh ‘kullu’ (artinya: semua) pada hadits,
وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal
dengan lafazh umum.
Asy Syatibhi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan
keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu,
tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.”
(Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)
Inilah pula yang
dipahami oleh para sahabat generasi terbaik umat ini. Mereka menganggap bahwa
setiap bid’ah itu sesat walaupun sebagian orang menganggapnya baik. Abdullah
bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah
sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Juga terdapat kisah
yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di
dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka
bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Lalu Ibnu Mas’ud
mengingkari mereka dengan mengatakan,
فَعُدُّوا
سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ،
وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ
صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ
لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ
لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ
ضَلاَلَةٍ.
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah
penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang.
Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka
sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di
tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya
Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”
قَالُوا : وَاللَّهِ
يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ
مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu
‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud
berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan
kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad
bahwa sanad hadits ini jayid)
Lihatlah kedua sahabat
ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud- memaknai bid’ah dengan keumumannya tanpa
membedakan adanya bid’ah yang baik (hasanah) dan bid’ah yang jelek (sayyi’ah).
BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG
DILAKUKAN OLEH UMAR
[Sanggahan pertama]
Adapun shalat tarawih
(yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i.
Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah melakukan
shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam.
Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama
beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang
dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’
yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa
itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang
ada contoh sebelumnya.
Perlu diperhatikan,
apabila Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah
menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat,
atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali
setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam wafat (maksudnya
dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini
sebagai bid’ah secara bahasa. Begitu pula agama Islam ini disebut dengan
muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana perkataan
utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun
yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa
karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru.
(Disarikan dari Iqtidho’
Shirotil Mustaqim, 2/93-96)
[Sanggahan Kedua]
Baiklah kalau kita mau
menerima perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka kami sanggah bahwa
perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat
sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah
kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus
didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
[Sanggahan Ketiga]
Anggap saja kita
katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu
sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus
adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa
suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As
Sunnah atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul
fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali
pada dalil yang bersifat umum.
Misalnya mengenai acara
selamatan kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah
maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada
dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil
bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap
bid’ah) adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih tepat,
lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ‘setiap bid’ah adalah sesat’ adalah
termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan).
Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai
bid’ah.
Lalu pantaskah kita
orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat
Umar?
Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar
radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi
awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita
saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang
dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang
kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi
secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.
Misalnya HP ini
termasuk bid’ah secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa HP ini
termasuk bid’ah karena hal ini bisa menimbulkan kerancuan di tengah-tengah
umat.
Kesimpulan: Berdasarkan
berbagai dalil dari As Sunnah maupun perkataan sahabat, setiap bid’ah itu
sesat. Tidak ada bid’ah yang baik (hasanah). Tidak tepat pula membagi bid’ah
menjadi lima: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena pembagian semacam
ini dapat menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
HUKUM BID’AH DALAM ISLAM
Hukum semua bid’ah
adalah terlarang. Namun, hukum tersebut bertingkat-tingkat.
Tingkatan Pertama:
Bid’ah yang menyebabkan kekafiran sebagaimana bid’ah orang-orang Jahiliyah yang
telah diperingatkan oleh Al Qur’an. Contohnya adalah pada ayat,
وَجَعَلُوا لِلَّهِ
مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ
بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu
bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata
sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk
berhala-berhala kami”.” (QS.
Al An’am [6]: 136)
Tingkatan Kedua :
Bid’ah yang termasuk maksiat yang tidak menyebabkan kafir atau dipersilisihkan
kekafirannya. Seperti bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang Khowarij,
Qodariyah (penolak takdir) dan Murji’ah (yang tidak memasukkan amal dalam
definisi iman secara istilah).
Tingkatan Ketiga:
Bid’ah yang termasuk maksiat seperti bid’ah hidup membujang (kerahiban) dan
berpuasa diterik matahari.
Tingkatan Keempat:
Bid’ah yang makruh seperti berkumpulnya manusia di masjid-masjid untuk berdo’a
pada sore hari saat hari Arofah.
Jadi setiap bid’ah
tidak berada dalam satu tingkatan. Ada bid’ah yang besar dan ada bid’ah yang
kecil (ringan).
Namun bid’ah itu
dikatakan bid’ah yang ringan jika memenuhi beberapa syarat sebagaimana
disebutkan oleh Asy Syatibi, yaitu:
Tidak dilakukan terus
menerus.
Orang yang berbuat
bid’ah (mubtadi’) tidak mengajak pada bid’ahnya.
Tidak dilakukan di
tempat yang dilihat oleh orang banyak sehingga orang awam mengikutinya.
Tidak menganggap remeh
bid’ah yang dilakukan.
Apabila syarat di atas
terpenuhi, maka bid’ah yang semula disangka ringan lama kelamaan akan menumpuk
sedikit demi sedikit sehingga jadilah bid’ah yang besar. Sebagaimana maksiat
juga demikian. (Pembahasan pada point ini disarikan dari Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, www.islamspirit.com)
Pembahasan berikut adalah jawaban dari beberapa alasan dalam membela bid’ah.
Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk Allah.
Berbagai
Alasan Dalam Membela Bid’ah
Sebelumnya kami telah menyampaikan
sanggahan mengenai bid’ah hasanah yang dasarnya adalah dari perkataan Umar
bahwa sebaik-baik bid’ah yaitu shalat tarawih ini. Berikut kami sajikan
beberapa alasan lain dalam membela bid’ah dan jawabannya.
[1] Mobil, HP dan Komputer termasuk Bid’ah
Setelah kita mengetahui
definisi bid’ah dan mengetahui bahwa setiap bid’ah adalah tercela dan amalannya
tertolak, masih ada suatu kerancuan di tengah-tengah masyarakat bahwa berbagai
kemajuan teknologi saat ini seperti mobil, komputer, HP dan pesawat dianggap
sebagai bid’ah yang tercela. Di antara mereka mengatakan, “Kalau memang bid’ah itu terlarang, kita seharusnya
memakai unta saja sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Menurut kami, perkataan
ini muncul karena tidak memahami bid’ah dengan benar.
Perlu sekali ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah yang tercela
sehingga membuat amalannya tertolak adalah bid’ah dalam agama dan bukanlah perkara baru dalam urusan dunia
yang tidak ada contoh sebelumnya seperti komputer dan pesawat.
Suatu kaedah yang perlu
diketahui bahwa untuk perkara non ibadah (‘adat), hukum asalnya adalah tidak
terlarang (mubah) sampai terdapat larangan. Hal inilah yang dikatakan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (sebagaimana dalam Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/86) dan ulama lainnya.
Asy Syatibi juga
mengatakan, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka
dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan
ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)
Para pembaca dapat
memperhatikan bahwa tatkala para sahabat ingin melakukan penyerbukan silang
pada kurma –yang merupakan perkara duniawi-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَ شَىْءٌ
مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر
دِينِكُمْ فَإِلَىَّ
“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun,
apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan)
Kesimpulannya:
Komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai macam kendaraan, dan
teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, itu semua adalah perkara
yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam bid’ah yang tercela. Kalau mau kita
katakan bid’ah, itu hanyalah bid’ah secara bahasa yaitu perkara baru yang belum
ada contoh sebelumnya.
[2] Para Sahabat Pernah Melakukan Bid’ah
dengan Mengumpulkan Al Qur’an
Ada sebagian kelompok
dalam membela acara-acara bid’ahnya berdalil bahwa dulu para sahabat -Abu
Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit- saja melakukan bid’ah. Mereka
mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya. Jika kita mengatakan
bid’ah itu sesat, berarti para sahabatlah yang akan pertama kali masuk neraka.
Inilah sedikit kerancuan yang sengaja kami temukan di sebuah blog di internet.
Ingatlah bahwa bid’ah
bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baru dilakukan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah.
Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya berikut.
“Bid’ah dalam agama
adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang tidak
diperintahkan dengan perintah wajib ataupun mustahab (dianjurkan).
Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan dengan perintah wajib atau mustahab
(dianjurkan) dan diketahui dengan dalil syar’i maka hal tersebut merupakan
perkara agama yang telah Allah syari’atkan, … baik itu dilakukan di masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak. Segala sesuatu yang terjadi setelah
masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun berdasarkan perintah dari
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti membunuh orang yang murtad, membunuh
orang Khowarij, Persia, Turki dan Romawi, mengeluarkan Yahudi dan Nashrani dari
Jazirah Arab, dan semacamnya, itu termasuk sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’
Fatawa, 4/107-108, Mawqi’ Al
Islam-Asy Syamilah)
Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada
dalilnya dalam syari’at karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis Al Qur’an,
namun penulisannya masih terpisah-pisah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’
Shirotil Mustaqim, 2/97)
mengatakan, “Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalah
karena pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa mengubah dan
menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al Qur’an itu
dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena adanya
perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten setelah
wafatnya beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam; begitu
pula Al Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada
lagi penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan
sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdasarkan
tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk
sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah
secara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya, pen).”
Perlu diketahui pula
bahwa mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan bagian dari maslahal
mursalah. Apa itu maslahal mursalah?
Maslahal mursalah
adalah sesuatu yang didiamkan oleh syari’at, tidak ditentang dan tidak pula
dinihilkan, tidak pula memiliki nash (dalil tegas) yang semisal sehingga bisa diqiyaskan.
(Taysir Ilmu Ushul Fiqh, hal. 184, 186, Abdullah bin Yusuf Al Judai’,
Mu’assasah Ar Royyan). Contohnya adalah maslahat ketika mengumpulkan Al Qur’an
dalam rangka menjaga agama. Contoh lainnya adalah penulisan dan pembukuan
hadits. Semua ini tidak ada dalil dalil khusus dari Nabi, namun hal ini
terdapat suatu maslahat yang sangat besar untuk menjaga agama.
Ada suatu catatan
penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan maslahah mursalah. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’
Shirotil Mustaqim, 2/101-103)
mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa
perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul
setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam wafat dan hal itu
bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.”
Contoh penerapan kaedah
Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong
untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah kepada
Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada
penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan
maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan
meninggalkannya adalah sunnah.
Begitu pula hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah
faktor penghalang tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu
masih terus turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al
Qur’an dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun,
faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten.
Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat itu adalah suatu maslahat.
Kaedah beliau ini dapat
pula diterapkan untuk kasus-kasus lainnya semacam perayaan Maulid Nabi,
yasinan, dan ritual lain yang telah membudaya di tengah umat Islam. –Semoga
Allah memberikan kita taufik agar memahami bid’ah dengan benar-
[3] Yang Penting Kan Niatnya!
Ada pula sebagian orang
yang beralasan ketika diberikan sanggahan terhadap bid’ah yang dia
lakukan, “Menurut saya, segala sesuatu itu kembali
pada niatnya masing-masing.”
Kami katakan bahwa
amalan itu bisa diterima tidak hanya dengan niat yang ikhlas, namun juga harus
sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hal ini
telah kami jelaskan pada pembahasan awal di atas. Jadi, syarat diterimanya amal
itu ada dua yaitu [1] niatnya harus ikhlas dan [2] harus sesuai dengan tuntunan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, amal
seseorang tidak akan diterima tatkala dia melaksanakan shalat shubuh empat
raka’at walaupun niatnya betul-betul ikhlas dan ingin mengharapkan ganjaran
melimpah dari Allah dengan banyaknya rukuk dan sujud. Di samping ikhlas, dia
harus melakukan shalat sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al Fudhail bin ‘Iyadh
tatkala berkata mengenai firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ
أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya.” (QS.
Al Mulk [67] : 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan
showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam).”
Lalu Al Fudhail
berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak sesuai ajaran
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula,
apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak
akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19)
Sekelompok orang yang
melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka beralasan di hadapan Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا
عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu
Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Lihatlah orang-orang
ini berniat baik, namun cara mereka beribadah tidak sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Mas’ud menyanggah
perkataan mereka sembari berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ
لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan
kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad
bahwa sanad hadits ini jayid)
Kesimpulan: Tidak cukup
seseorang melakukan ibadah dengan dasar karena niat baik, tetapi dia juga harus
melakukan ibadah dengan mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kaedah yang benar “Niat baik semata belum
cukup.”
[4] Ini Kan Sudah Jadi Tradisi di Tempat
Kami…
Ini juga perkataan yang
muncul ketika seseorang disanggah mengenai bid’ah yang dia lakukan. Ketika ditanya, “Kenapa kamu masih merayakan 3 hari atau 40 hari setelah
kematian?” Dia
menjawab, “Ini kan sudah jadi
tradisi kami…”
Jawaban seperti ini
sama halnya jawaban orang musyrik terdahulu ketika membela kesyirikan yang
mereka lakukan. Mereka tidak memiliki argumen yang kuat berdasarkan dalil dari
Allah dan Rasul-Nya. Mereka hanya bisa beralasan,
إِنَّا وَجَدْنَا
آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami
menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. Az Zukhruf [43] : 22)
Saudaraku yang semoga selalu
dirahmati Allah, setiap tradisi itu hukum asalnya boleh dilakukan selama tidak
bertentangan dengan hukum syari’at dan selama tidak ada unsur ibadah di
dalamnya. Misalnya, santun ketika berbincang-bincang dengan yang lebih tua, ini
adalah tradisi yang bagus dan tidak bertentangan dengan syari’at. Namun, jika
ada tradisi dzikir atau do’a tertentu pada hari ketiga, ketujuh, atau keempat
puluh setelah kematian, maka ini adalah bid’ah karena telah mencampurkan ibadah
dalam tradisi dan mengkhususkannya pada waktu tertentu tanpa dalil.
Jadi, bid’ah juga bisa
terdapat dalam tradisi (adat) sebagaimana perkataan Asy Syatibi, “Perkara non
ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah.
Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan
sebagai ibadah, maka bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)
Dan sedikit tambahan
bahwa tradisi yang diposisikan sebagai ibadah sebenarnya malah akan menyusahkan
umat Islam. Misalnya saja tradisi selamatan kematian pada hari ke-7, 40, 100,
atau 1000 hari. Syari’at sebenarnya ingin meringankan beban pada hambanya.
Namun, karena melakukan bid’ah semacam ini, beban hamba tersebut bertambah.
Sebenarnya melakukan semacam ini tidak ada tuntunannya, malah dijadikan sebagai
sesuatu yang wajib sehingga membebani hamba. Bahkan kadang kami menyaksikan
sendiri di sebuah desa yang masih laris di sana tradisi selamatan kematian.
Padahal kehidupan kebanyakan warga di desa tersebut adalah ekonomi menengah ke
bawah. Lihatlah bukannya dengan meninggalnya keluarga, dia diringankan bebannya
oleh tetangga sekitar. Malah tatkala kerabatnya meninggal, dia harus mencari
utang di sana-sini agar bisa melaksanakan selamatan kematian yang sebenarnya
tidak ada tuntunannya. Akhirnya karena kematian kerabat bertambahlah kesedihan
dan beban kehidupan. Kami memohon kepada Allah, semoga Allah memperbaiki
kondisi bangsa ini dengan menjauhkan kita dari berbagai amalan yang tidak ada
tuntunannya.
[5] Semua Umat Islam Indonesia bahkan para
Kyai dan Ustadz Melakukan Hal Ini
Ada juga yang
berargumen ketika ritual bid’ah –seperti Maulid Nabi- yang ia lakukan dibantah
sembari mengatakan, “Perayaan
(atau ritual) ini kan juga dilakukan oleh seluruh umat Islam Indonesia bahkan
oleh para Kyai dan Ustadz. Kok hal ini dilarang?!”
Alasan ini justru
adalah alasan orang yang tidak pandai berdalil. Suatu hukum dalam agama ini
seharusnya dibangun berdasarkan Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan kaum
muslimin). Adapun adat (tradisi) di sebagian negeri, perkataan sebagian Kyai/Ustadz
atau ahlu ibadah, maka ini tidak bisa menjadi dalil untuk menyanggah perkataan
Allah dan Rasul-Nya.
Barangsiapa meyakini
bahwa adat (tradisi) yang menyelisihi sunnah ini telah disepakati karena umat
telah menyetujuinya dan tidak mengingkarinya, maka keyakinan semacam ini jelas
salah dan keliru. Ingatlah, akan selalu ada dalam umat ini di setiap waktu yang
melarang berbagai bentuk perkara bid’ah yang menyelisihi sunnah seperti
perayaan maulid ataupun tahlilan. Lalu bagaimana mungkin kesepakatan sebagian
negeri muslim dikatakan sebagai ijma’ (kesepakatan umat Islam), apalagi dengan
amalan sebagian kelompok?
Ketahuilah saudaraku
semoga Allah selalu memberi taufik padamu, mayoritas ulama tidak mau
menggunakan amalan penduduk Madinah (di masa Imam Malik) –tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah- sebagai dalil dalam beragama. Mereka
menganggap bahwa amalan penduduk Madinah bukanlah sandaran hukum dalam beragama
tetapi yang menjadi sandaran hukum adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimana mungkin kita berdalil dengan
kebiasaan sebagian negeri muslim yang tidak memiliki keutamaan sama sekali
dibanding dengan kota Nabawi Madinah?! (Disarikan dari Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 2/89 dan Al Bid’ah wa Atsaruha Asy Syai’ fil Ummah, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali, 49-50, Darul
Hijroh)
Perlu diperhatikan
pula, tersebarnya suatu perkara atau banyaknya pengikut bukan dasar bahwa
perkara yang dilakukan adalah benar. Bahkan apabila kita mengikuti kebanyakan
manusia maka mereka akan menyesatkan kita dari jalan Allah dan ini berarti
kebenaran itu bukanlah diukur dari banyaknya orang yang melakukannya.
Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ تُطِعْ
أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan
Allah.” (QS. Al An’am
[6] : 116)
Semoga Allah Ta’ala
senantiasa memberi kita taufik untuk mengikuti kebenaran bukan mengikuti
kebanyakan orang.
[6] Baca Al Qur’an kok dilarang?!
Ini juga di
antara argumen dari pelaku bid’ah
ketika diberitahu mengenai bid’ah yang dilakukan, “Saudaraku, perbuatan seperti ini kan bid’ah.” Lalu dia bergumam, “Masa baca Al Qur’an saja dilarang?!” Atau ada pula yang berkata, “Masa baca dzikir saja dilarang?!”
Untuk menyanggah
perkataan di atas, perlu sekali kita ketahui mengenai dua macam bid’ah yaitu
bid’ah hakikiyah dan idhofiyah.
Bid’ah hakikiyah adalah
setiap bid’ah yang tidak ada dasarnya sama sekali baik dari Al Qur’an, As
Sunnah, ijma’ kaum muslimin, dan bukan pula dari penggalian hukum yang benar
menurut para ulama baik secara global maupun terperinci. (Al I’tishom, 1/219)
Di antara contoh bid’ah
hakikiyah adalah puasa mutih (dilakukan untuk mencari ilmu sakti), mendekatkan
diri pada Allah dengan kerahiban (hidup membujang seperti para biarawati), dan
mengharamkan yang Allah halalkan dalam rangka beribadah kepada Allah. Ini semua
tidak ada contohnya dalam syari’at.
Bid’ah idhofiyah adalah
setiap bid’ah yang memiliki 2 sisi yaitu [1] dari satu sisi memiliki dalil,
maka dari sisi ini bukanlah bid’ah dan [2] di sisi lain tidak memiliki dalil
maka ini sama dengan bid’ah hakikiyah. (Al I’tishom, 1/219)
Jadi bid’ah idhofiyah
dilihat dari satu sisi adalah perkara yang disyari’atkan. Namun ditinjau dari
sisi lain yaitu dilihat dari enam aspek adalah bid’ah. Enam aspek tersebut
adalah waktu, tempat, tatacara (kaifiyah), sebab, jumlah, dan jenis.
Contohnya bid’ah
idhofiyah adalah dzikir setelah shalat atau di berbagai waktu secara berjama’ah
dengan satu suara. Dzikir adalah suatu yang masyru’ (disyari’atkan), namun
pelaksanaannya dengan tatacara semacam ini tidak disyari’atkan dan termasuk
bid’ah yang menyelisihi sunnah.
Contoh lainnya adalah
puasa atau shalat malam hari nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Begitu
pula shalat rogho’ib pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab. Kedua contoh
ini termasuk bid’ah idhofiyah. Shalat dan puasa adalah ibadah yang
disyari’atkan, namun terdapat bid’ah dari sisi pengkhususan zaman, tempat dan
tatacara. Tidak ada dalil dari Al Kitab dan As Sunnah yang mengkhususkan ketiga
hal tadi.
Begitu juga hal ini dalam acara yasinan dan tahlilan. Bacaan tahlil adalah
bacaan yang disyari’atkan. Bahkan barangsiapa mengucapkan bacaan tahlil dengan
memenuhi konsekuensinya maka dia akan masuk surga. Namun, yang dipermasalahkan
adalah pengkhususan waktu, tatacara dan jenisnya. Perlu kita tanyakan manakah
dalil yang mengkhususkan pembacaan tahlil pada hari ke-3, 7, dan 40 setelah
kematian. Juga manakah dalil yang menunjukkan harus dibaca secara berjama’ah
dengan satu suara. Mana pula dalil yang menunjukkan bahwa yang harus dibaca
adalah bacaan laa ilaha illallah, bukan bacaan tasbih, tahmid atau takbir.
Dalam acara yasinan juga demikian. Kenapa yang dikhususkan hanya surat Yasin,
bukan surat Al Kahfi, As Sajdah atau yang lainnya? Apa memang yang teristimewa
dalam Al Qur’an hanyalah surat Yasin bukan surat lainnya? Lalu apa dalil yang
mengharuskan baca surat Yasin setelah kematian? Perlu diketahui bahwa
kebanyakan dalil yang menyebutkan keutamaan (fadhilah) surat Yasin adalah
dalil-dalil yang lemah bahkan sebagian palsu.
Jadi, yang kami
permasalahkan adalah bukan puasa, shalat, bacaan Al Qur’an maupun bacaan dzikir
yang ada. Akan tetapi, yang kami permasalahkan adalah pengkhususan waktu,
tempat, tatacara, dan lain sebagainya. Manakah dalil yang menunjukkan hal ini?
Semoga
sanggahan-sanggahan di atas dapat memuaskan pembaca sekalian. Kami hanya
bermaksud mendatangkan perbaikan selama kami masih berkesanggupan. Tidak ada
yang dapat memberi taufik kepada kita sekalian kecuali Allah. Semoga kita
selalu mendapatkan rahmat dan taufik-Nya ke jalan yang lurus.
Dampak
Buruk BID’AH
Sudah sepatutnya kita menjauhi
berbagai macam bid’ah mengingat dampak buruk yang ditimbulkan. Berikut beberapa
dampak buruk dari bid’ah.
[Pertama, amalan bid’ah tertolak]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam
agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
Orang yang berbuat
bid’ah inilah yang amalannya merugi. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ هَلْ
نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan
kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi [18] : 103-104)
[Kedua, pelaku bid’ah terhalangi untuk
bertaubat selama dia terus menerus dalam bid’ahnya. Oleh karena itu, ditakutkan
dia akan mengalami su’ul khotimah]
Dari Anas bin Malik,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَ اللهَ حَجَبَ
التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
“Allah betul-betul akan menghalangi setiap
pelaku bid’ah untuk bertaubat sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” (HR. Thabrani. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al
Albani dalam Shohih At Targib wa At
Tarhib no. 54)
[Ketiga, pelaku bid’ah tidak akan minum dari
telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak akan mendapatkan syafa’at
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ
عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا
أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى .
يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh
(telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku
akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan
dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah
berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat
sesudahmu.’ “ (HR.
Bukhari no. 7049)
Dalam riwayat lain
dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى .
فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا
لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul
pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa
mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku
sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)
Inilah do’a laknat untuk
orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbuat bid’ah.
Ibnu Baththol
mengatakan, “Demikianlah, seluruh perkara bid’ah yang diada-adakan dalam
perkara agama tidak diridhoi oleh Allah karena hal ini telah menyelisihi jalan
kaum muslimin yang berada di atas kebenaran (al haq). Seluruh pelaku bid’ah
termasuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang membuat-buat perkara baru dalam agama.
Begitu pula orang yang berbuat zholim dan yang menyelisihi kebenaran, mereka
semua telah membuat sesuatu yang baru dan telah mengganti dengan ajaran selain
Islam. Oleh karena itu, mereka juga termasuk dalam hadits ini.” (Lihat Syarh Ibnu Baththol, 19/2, Asy Syamilah) -Semoga Allah menjauhkan kita
dari berbagai perkara bid’ah dan menjadikan kita sebagai umatnya yang akan
menikmati al haudh sehingga kita tidak akan merasakan dahaga yang
menyengsarakan di hari kiamat, Amin Ya Mujibad Du’a-
[Keempat, pelaku bid’ah akan mendapatkan dosa
jika amalan bid’ahnya diikuti orang lain]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِى
الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ
مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى
الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ
وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan
lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran
semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi
ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan
kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa
semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1017)
Wahai saudaraku,
perhatikanlah hadits ini. Sungguh sangat merugi sekali orang yang melestarikan
bid’ah dan tradisi-tradisi yang menyelisihi syari’at. Bukan hanya dosa dirinya
yang akan dia tanggung, tetapi juga dosa orang yang mengikutinya. Padahal
bid’ah itu paling mudah menyebar. Lalu bagaimana yang mengikutinya sampai
ratusan bahkan ribuan orang? Berapa banyak dosa yang akan dia tanggung?
Seharusnya kita melestarikan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenapa harus melestarikan tradisi dan budaya yang
menyelisihi syari’at? Jika melestarikan ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam -seperti mentalqinkan mayit menjelang
kematiannya bukan dengan talqin setelah dimakamkan- kita akan mendapatkan
ganjaran untuk diri kita dan juga dari orang lain yang mengikuti kita.
Sedangkan jika kita menyebarkan dan melestarikan tradisi tahlilan, yasinan,
maulidan, lalu diikuti oleh generasi setelah kita, apa yang akan kita
dapat? Malah hanya dosa dari yang mengikuti kita yang kita peroleh.
Marilah Bersatu di Atas Kebenaran
Saudaraku, kami
menyinggung masalah bid’ah ini bukanlah maksud kami untuk memecah belah kaum
muslimin sebagaimana disangka oleh sebagian orang jika kami menyinggung masalah
ini. Yang hanya kami inginkan adalah bagaimana umat ini bisa bersatu di atas
kebenaran dan di atas ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar. Yang kami inginkan adalah agar
saudara kami mengetahui kebenaran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kami ketahui. Kami tidak ingin
saudara kami terjerumus dalam kesalahan sebagaimana tidak kami inginkan pada
diri kami. Semoga maksud kami ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا
الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ
تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan)
perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku
melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan
hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11] : 88)
Inilah sedikit
pembahasan mengenai bid’ah, kerancuan-kerancuan di dalamnya dan dampak buruk
yang ditimbulkan. Semoga dengan tulisan yang singkat ini kita dapat semakin
mengenalinya dengan baik. Hal ini bukan berarti dengan mengetahuinya kita harus
melakukan bid’ah tersebut. Karena sebagaimana perkataan seorang penyair,
عَرَّفْتُ الشَّرَّ
لاَ لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ …
وَمَنْ لاَ يَعْرِفُ الشَّرَّ مِنَ
النَّاسِ يَقَعُ فِيْهِ
Aku mengenal kejelekan, bukan berarti ingin
melakukannya, tetapi ingin menjauhinya
Karena barangsiapa tidak mengenal kejelekan,
mungkin dia bisa terjatuh di dalamnya
Ya Hayyu, Ya Qoyyum. Wahai Zat yang Maha
Hidup lagi Maha Kekal. Dengan rahmat-Mu, kami memohon kepada-Mu. Perbaikilah
segala urusan kami dan janganlah Engkau sandarkan urusan tersebut pada diri
kami, walaupun hanya sekejap mata. Amin Yaa Mujibbas Sa’ilin.
Semoga tulisan ini
bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang
bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala
nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Selesai disusun di
rumah tercinta, Desa Pangukan, Sleman
Saat Allah memberi nikmat hujan di siang hari, Kamis, 9 Syawal 1429 (bertepatan
dengan 9 Oktober 2008)
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
https://muslim.or.id/388-mengenal-seluk-beluk-bidah-1.html
https://muslim.or.id/389-mengenal-seluk-beluk-bidah-2.html
https://muslim.or.id/390-mengenal-seluk-beluk-bidah-3.html
https://muslim.or.id/391-mengenal-seluk-beluk-bidah-4.html
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
https://muslim.or.id/388-mengenal-seluk-beluk-bidah-1.html
https://muslim.or.id/389-mengenal-seluk-beluk-bidah-2.html
https://muslim.or.id/390-mengenal-seluk-beluk-bidah-3.html
https://muslim.or.id/391-mengenal-seluk-beluk-bidah-4.html
3 (tiga) Syarat Disebut Bid’ah
Sebagian orang kadang memahami apa yang dimaksud dengan bid’ah. Mereka
menganggap bahwa bid’ah adalah setiap perkara baru. Sehingga karena saking
tidak suka dengan orang yang meneriakkan bid’ah, ia pun mengatakan, “Kalau
memang hal itu bid’ah, kamu tidak boleh pakai HP, tidak boleh haji dengan naik
pesawat, tidak boleh pakai komputer, dst karena semua itu baru dan bid’ah
adalah suatu yang baru dan dibuat-buat“. Padahal sebenarnya hal-hal tadi
bukanlah bid’ah yang tercela dalam Islam karena bid’ah yang tercela adalah
bid’ah dalam masalah agama. Begitu juga ada yang tidak setuju dengan nasehat
bid’ah, ia menyampaikan bahwa para sahabat dahulu mengumpulkan Al Qur’an dan di
masa ‘Umar dihidupkan shalat tarawih secara berjama’ah. Syubhat-syubhat yang
muncul ini karena tidak memahami hakekat bid’ah. Untuk lebih jelas dalam
memahami bid’ah, kita seharusnya memahami tiga syarat disebut bid’ah yang
disimpulkan dari dalil-dalil berikut ini.
Pertama: Hadits Al ‘Irbadh bin
Sariyah radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits tersebut disebutkan sabda
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ
“Hati-hatilah dengan perkara yang
diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap
bid’ah adalah sesat.”[1]
Kedua: Hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu
‘anhu, dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا
بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى
مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan
(bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.”[2]
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ
ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.”[3]
Ketiga: Hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru
dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[4]
Keempat: Dalam riwayat lain,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang
bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”[5]
Dari hadits-hadits tersebut dapat
disimpulkan apa yang dimaksud bid’ah yang terlarang dalam agama, yaitu:
1.Sesuatu yang baru (dibuat-buat).
2.Sesuatu yang baru dalam agama.
3.Tidak disandarkan pada dalil syar’i.
Pertama: Sesuatu yang baru (dibuat-buat).
Syarat pertama ini diambil dari sabda
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ
أَحْدَثَ
“Siapa yang berbuat sesuatu yang baru.”
كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
“Setiap yang baru adalah bid’ah.”
Sehingga masuk dalam definisi adalah
segala sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya baik berkaitan dengan
urusan agama maupun dunia, baik sesuatu yang terpuji (mahmudah) maupun yang
tercela (madzmuma). Sehingga perkara yang sudah ada sebelumnya yang tidak
dibuat-buat tidak termasuk bid’ah seperti shalat lima waktu dan puasa Ramadhan.
Perkara dunia juga termasuk dalam definisi pertama ini, namun akan semakin
jelas jika kita menambah pada syarat kedua.
Kedua: Sesuatu yang baru dalam agama.
Karena dalam hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan,
فِى
أَمْرِنَا هَذَا
“Dalam urusan agama kami.” Sehingga
perkara dunia tidak termasuk dalam hal ini. Yang dimaksudkan bid’ah dalam
urusan agama berarti: (1) bid’ah mendekatkan diri pada Allah dengan sesuatu
yang tidak disyari’atkan, (2) bid’ah telah keluar dari aturan Islam, dan (3)
sesuatu dilarang karena dapat mengantarkan pada bid’ah lainnya.
Ketiga: Tidak disandarkan pada dalil
syar’i yang bersifat umum maupun khusus.
Hal ini diambil dari sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
مَا
لَيْسَ مِنْهُ
“Tidak asalnya (dalilnya) dalam Islam.”
Ini berarti jika sesuatu memiliki
landasan dalam Islam berupa dalil yang sifatnya umum seperti dalam
permasalahan ‘maslahah mursalah’, contoh mengumpulkan Al Qur’an di masa
sahabat, maka tidak termasuk bid’ah. Begitu pula jika ada sesuatu yang
mendukung dengan dalil yang sifatnya khusus seperti menghidupkan
kembali shalat tarawih secara berjama’ah di masa ‘Umar bin Khottob tidak
termasuk bid’ah.
Tiga syarat di atas telah kita temukan
pula dalam perkataan para ulama berikut.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata,
فكلُّ
من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه ، فهو
ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات ، أو الأعمال ،
أو الأقوال الظاهرة والباطنة .
“Setiap yang dibuat-buat lalu disandarkan
pada agama dan tidak memiliki dasar dalam Islam, itu termasuk kesesatan. Islam
berlepas diri dari ajaran seperti itu termasuk dalam hal i’tiqod (keyakinan),
amalan, perkataan yang lahir dan batin.”[6]
Beliau rahimahullah juga
berkata,
والمراد
بالبدعة : ما أُحْدِثَ ممَّا لا أصل له في الشريعة يدلُّ عليه ، فأمَّا ما كان له
أصلٌ مِنَ الشَّرع يدلُّ عليه ، فليس ببدعةٍ شرعاً ، وإنْ كان بدعةً لغةً
“Yang dimaksud dengan bid’ah adalah
sesuatu yang baru yang tidak memiliki landasan (dalil) dalam syari’at sebagai
pendukung. Adapun jika didukung oleh dalil syar’i, maka itu bukanlah bid’ah
menurut istilah syar’i, namun bid’ah secara bahasa.”[7]
Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
والمراد
بقوله كل بدعة ضلالة ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام
“Yang dimaksud setiap bid’ah adalah sesat
yaitu setiap amalan yang dibuat-buat dan tidak ada dalil pendukung baik dalil
khusus atau umum.”[8]
Ibnu Hajar juga menyatakan mengenai
bid’ah,
مَنْ
اِخْتَرَعَ فِي الدِّين مَا لَا يَشْهَد لَهُ أَصْل مِنْ أُصُوله فَلَا يُلْتَفَت
إِلَيْهِ
“Siapa yang membuat-buat perkara baru
dalam agama lalu tidak didukung oleh dalil, maka ia tidak perlu ditoleh.”[9]
Di tempat lain, Ibnu Hajar berkata,
وَمَا
كَانَ لَهُ أَصْل يَدُلّ عَلَيْهِ الشَّرْع فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ ، فَالْبِدْعَة
فِي عُرْف الشَّرْع مَذْمُومَة بِخِلَافِ اللُّغَة فَإِنَّ كُلّ شَيْء أُحْدِث
عَلَى غَيْر مِثَال يُسَمَّى بِدْعَة سَوَاء كَانَ مَحْمُودًا أَوْ مَذْمُومًا
“Sesuatu yang memiliki landasan dalil
dalam syari’at, maka itu bukanlah bid’ah. Maka bid’ah menurut istilah syari’at
adalah tercela berbeda dengan pengertian bahasa karena bid’ah secara bahasa
adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya baik terpuji
maupun tercela.”[10]
Setelah memahami yang dikemukakan di
atas, pengertian bid’ah secara ringkas adalah,
ما
أحدث في الدين من غير دليل
“Sesuatu yang baru (dibuat-buat) dalam
masalah agama tanpa adanya dalil.”[11] Inilah
yang dimaksud dengan bid’ah yang tercela dan dicela oleh Islam.
Semoga dengan memahami hal ini, kita
tidak rancu lagi dengan berbagai macam hal seputar bid’ah, terkhusus dalam
memahami perkataan
ulama mengenai bid’ah hasanah.
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 19 Jumadats
Tsaniyah 1433 H
[1] HR.
Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Syaikh Al Albani mengatakan hadits
ini shahih.
[2] HR.
Muslim no. 867
[3] HR.
An Nasa’i no. 1578. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[4] HR.
Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718
[5] HR.
Muslim no. 1718.
[6] Jaami’ul
‘Ulum wal Hikam, 2: 128.
[7] Jaami’ul
‘Ulum wal Hikam, 2: 127.
[8] Fathul
Bari, 13: 254.
[9] Fathul
Bari, 5: 302.
[10] Fathul
Bari, 13: 253.
[11] Lihat
Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 22. Pembahasan pada point ini juga diringkas
dari Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 17-22.
Hadits-Hadits Tentang Bid’ah
Banyak kaum muslimin yang masih meremehkan masalah bid’ah. Hal itu bisa jadi
karena minimnya pengetahuan mereka tentang dalil-dalil syar’i. Padahal andaikan
mereka mengetahui betapa banyak hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang
membicarakan dan mencela bid’ah, mereka akan menyadari betapa Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam sangat sering membahasnya dan sangat mewanti-wanti umat beliau
agar tidak terjerumus pada bid’ah. Jadi, lisan yang mencela bid’ah dan
mewanti-wanti umat dari bid’ah adalah lisan Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam sendiri.
Hadits 1
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ
مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara
baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka
perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim
no. 1718)
Hadits 2
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan
yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim
no. 1718)
Hadits 3
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah
biasanya beliau mengucapkan,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ
اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara
agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah
bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i,
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ،
وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،
وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh
Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah
tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar
perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara
agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah
bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR.
An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa
Dha’if Sunan An Nasa’i)
Hadits 4
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى
فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk
bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang
memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di
antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan
yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku
dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk.
Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah
dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang
diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At
Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”)
Hadits 5
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ
صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
“Sungguh Allah menghalangi taubat dari
setiap pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya” (HR.
Ath Thabrani dalam Al Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani
dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 54)
Hadits 6
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ،
لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ
اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا
أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh
(telaga). Lalu ditampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika
aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan
dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku’. Allah berfirman,
‘Engkau tidak tahu (bid’ah) yang mereka ada-adakan sepeninggalmu’ “ (HR.
Bukhari no. 6576, 7049).
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ
تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabb), sungguh mereka bagian dari
pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sungguh engkau tidak tahu bahwa
sepeninggalmu mereka telah mengganti ajaranmu”. Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti
ajaranku sesudahku”(HR. Bukhari no. 7050).
Al’Aini ketika menjelaskan hadits ini
beliau berkata: “Hadits-hadits yang menjelaskan orang-orang yang demikian yaitu
yang dikenal oleh Nabi sebagai umatnya namun ada penghalang antara mereka dan
Nabi, dikarenakan yang mereka ada-adakan setelah Nabi wafat. Ini menunjukkan
setiap orang mengada-adakan suatu perkara dalam agama yang tidak diridhai Allah
itu tidak termasuk jama’ah kaum muslimin. Seluruh ahlul bid’ah itu adalah
orang-orang yang gemar mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada, juga
orang-orang zhalim dan ahli maksiat, mereka bertentangan dengan al haq.
Orang-orang yang melakukan itu semua yaitu mengganti (ajaran agama) dan
mengada-ada apa yang tidak ada ajarannya dalam Islam termasuk dalam
bahasan hadits ini” (Umdatul Qari, 6/10)
Hadits 7
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انَّهُ سَيَلِي أَمْرَكُمْ مِنْ بَعْدِي رِجَالٌ
يُطْفِئُونَ السُّنَّةَ ، وَيُحْدِثُونَ بِدْعَةً ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ
عَنْ مَوَاقِيتِهَا ” ، قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَيْفَ بِي
إِذَا أَدْرَكْتُهُمْ ؟ قَالَ : ” لَيْسَ يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ طَاعَةٌ لِمَنْ
عَصَى اللَّهَ ” ، قَالَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
“Sungguh diantara perkara yang akan
datang pada kalian sepeninggalku nanti, yaitu akan ada orang (pemimpin)
yang mematikan sunnah dan membuat bid’ah. Mereka juga mengakhirkan shalat dari
waktu sebenarnya’. Ibnu Mas’ud lalu bertanya: ‘apa yang mesti kami perbuat jika
kami menemui mereka?’. Nabi bersabda: ‘Wahai anak Adam, tidak ada ketaatan pada
orang yang bermaksiat pada Allah'”. Beliau mengatakannya 3 kali. (HR. Ahmad
no.3659, Ibnu Majah no.2860. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits
Shahihah, 2864)
Hadits 8
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ
أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا ، وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ
ضَلَالَةٍ لَا يَرْضَاهَا اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ
عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا
“Barangsiapa yang sepeninggalku
menghidupkan sebuah sunnah yang aku ajarkan, maka ia akan mendapatkan pahala
semisal dengan pahala orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala
mereka sedikitpun. Barangsiapa yang membuat sebuah bid’ah dhalalah yang
tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan dosa semisal
dengan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka
sedikitpun” (HR. Tirmidzi no.2677, ia berkata: “Hadits ini hasan”)
Hadits 9
Hadits dari Hudzaifah Ibnul Yaman, ia berkata:
يا رسولَ اللهِ ! إنا كنا بشرٌ . فجاء اللهُ
بخيرٍ . فنحن فيه . فهل من وراءِ هذا الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : هل من
وراءِ ذلك الشرِّ خيرٌ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : فهل من وراءِ ذلك الخيرِ شرٌّ ؟ قال (
نعم ) قلتُ : كيف ؟ قال ( يكون بعدي أئمةٌ لا يهتدون بهدايَ ، ولا يستنُّون
بسُنَّتي . وسيقوم فيهم رجالٌ قلوبُهم قلوبُ الشياطينِ في جُثمانِ إنسٍ ) قال قلتُ
: كيف أصنعُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! إن أدركت ُذلك ؟ قال ( تسمعُ وتطيع للأميرِ . وإن
ضَرَب ظهرَك . وأخذ مالَك . فاسمعْ وأطعْ )
“Wahai Rasulullah, dulu kami orang biasa.
Lalu Allah mendatangkan kami kebaikan (berupa Islam), dan kami sekarang berada
dalam keislaman. Apakah setelah semua ini akan datang kejelekan? Nabi bersabda:
‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kebaikan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah
itu akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Aku bertanya: ‘Apa itu?’. Nabi
bersabda: ‘akan datang para pemimpin yang tidak berpegang pada petunjukku
dan tidak berpegang pada sunnahku. Akan hidup diantara mereka orang-orang yang
hatinya adalah hati setan namun berjasad manusia’. Aku bertanya: ‘Apa yang
mesti kami perbuat wahai Rasulullah jika mendapati mereka?’. Nabi bersabda:
‘Tetaplah mendengar dan taat kepada penguasa, walau mereka memukul punggungmu
atau mengambil hartamu, tetaplah mendengar dan taat’” (HR. Muslim no.1847)
Tidak berpegang pada sunnah Nabi dalam
beragama artinya ia berpegang pada sunnah-sunnah yang berasal dari selain Allah
dan Rasul-Nya, yang merupakan kebid’ahan.
Hadits 10
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوَّلُ مَنْ يُغَيِّرُ سُنَّتِي رَجُلٌ مِنْ
بَنِي أُمَيَّةَ
“Orang yang akan pertama kali mengubah-ubah
sunnahku berasal dari Bani Umayyah” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam Al Awa’il,
no.61, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1749)
Dalam hadits ini Nabi mengabarkan bahwa
akan ada orang yang mengubah-ubah sunnah beliau. Sunnah Nabi yang diubah-ubah
ini adalah kebid’ahan.
Hadits 11
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ
تَقَالُّوهَا ، فَقَالُوا : وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
؟ قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا ، فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا ،
وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا
أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ ، فَقَالَ : ” أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ
كَذَا وَكَذَا ، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ
لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ
، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Ada tiga orang mendatangi rumah
istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi
shallallahu’alaihi wasallam. ٍSetelah
diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi
mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang
telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata,
“Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya” (tanpa tidur). Kemudian yang
lain berkata, “Kalau aku, sungguh aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan
aku tidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita
dan tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata
begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut
kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga
berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang
benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku” (HR. Bukhari no.5063)
Dalam hadits di atas, ketiga orang
tersebut berniat melakukan kebid’ahan, karena ketiganya tidak pernah diajarkan
oleh Nabi. Yaitu puasa setahun penuh, shalat semalam suntuk setiap hari, kedua
hal ini adalah bentuk ibadah yang bid’ah. Dan berkeyakinan bahwa dengan tidak
menikah selamanya itu bisa mendatangkan pahala dan keutamaan adalah keyakinan
yang bid’ah. Oleh karena itu Nabi bersabda “Barangsiapa yang benci sunnahku,
maka bukanlah dari golonganku“.
Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang
membicarakan dan mencela bid’ah, namun apa yang kami nukilkan di atas sudah
cukup mewakili betapa bahaya dan betapa pentingnya kita untuk waspada dari
bid’ah.
Wallahu’alam.
Penulis: Yulian Purnama
Oleh : Abu ‘Utsmaan Ismaa’iil bin
‘Abdirrahmaan Ash-Shaabuuniyrahimahullaah
(373 – 449 H)
Ada baiknya jika saya tuliskan sedikit
pemaparan biografi Al-Imam Abu ‘Utsman Ash-Shaabuuniy rahimahullah.
“Beliau adalah Abu ‘Utsmaan Ismaa’iil bin
‘Abdirrahmaan bin Ahmad bin Ismaa’iil bin ‘Aamir bin ‘Aabid Ash-Shaabuuniy
An-Naisaabuuriy, Al-Haafidh, Al-Mufassir, Al-Muhadiits, Al-Faqiih, Al-Mulaqqib,
Syaikhul-Islaam. Lafadh ‘Ash-Shaabuuniy’ dinisbatkan kepada pekerjaan beliau
sebagai pembuat/pedagang sabun, sebagaimana disebutkan oleh As-Sam’aaniy rahimahullah dalam
kitab Al-Ansaab.
Dilahirkan pada pertengahan bulan
Jumadil-Akhir 373 H.
Diantara guru beliau rahimahullah yang
terkenal adalah :
1. Al-Haakim An-Naisaburiy, Abu
‘Abdillah – penulis kitab Al-Mustadrak ‘alash-Shahihain.
2. Abi Thaahir Muhammad bin Al-Fadhl
bin Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah.
3. Abu Muhammad Al-Hasan bin Ahmad
bin Muhammad bin Mikhlad Asy-Syaibaniy An-Naisaburiy.
4. Abul-Hasan Ahmad bin Muhammad bin
‘Umar Az-Zaahid.
5. Dan yang lainnya.
Adapun murid-murid beliau rahimahullah yang
terkenal antara lain :
1. Abul-Qaasim ‘Aliy bin Muhammad
bin ‘Aliy bin Ahmad bin Abil-‘Alaa’ As-Sulamiy Al-Mushiishiy Al-Faqiih
Asy-Syaafi’iy; seorang faqih lagi tsiqah.
2. Abu Shaalih Al-Muadzdzin Ahmad
bin ‘Abdil-Malik bin ‘Aliy bin Ahmad An-Naisaburiy Al-Haafidh.
3. Abu Muhammad ‘Abdil-‘Aziiz bin
Ahmad bin Muhammad At-Taimiy Ad-Dimasyqiy Al-Kattaaniy; seorang imam, muhaddits,
lagi mutqin.
4. Dan yang lainnya.
Pujian ulama terhadap
beliau rahimahullah :
1. Al-Imam Abu Bakr
Al-Baihaqiy rahimahullah :
إنه إمام المسلمين حقاً وشيخ الإسلام صدقاً ،
وأهل عصره كلهم مذعنون لعلو شأنه في الدين والسيادة وحسن الاعتقاد وكثرة العلم
ولزوم طريقة السلف
“Beliau adalah imam kaum muslimin yang
sebenar-benarnya, seorang Syaikhul-Islam sejati. Semua orang di masanya mengakui
ketinggian beliau dalam agama, kemuliaannya, kebaikan ‘aqidahnya, keluasan
ilmunya, dan kesungguhannya dalam hal kewajiban meniti jalan salaf”.
2. Al-Imam Ibnu Naashiruddin rahimahullah :
كان إماماً حافظاً عمدة مقدماً في الوعظ والأدب
وغيرهما من العلوم وحفظة للحديث وتفسير القرآن
“Beliau adalah seorang imam, haafidh,
seorang pemimpin yang didahulukan dalam nasihat, adab, dan yang lainnya pada
bidang ilmu, hafalan hadits, serta tafsir Al-Qur’an”.
3. Al-Haafidh Adz-Dzahabiy rahimahullah :
الواعظ، المفسر، المصنف، أحد الأعلام، كان شيخ
خرسان في زمانه.
“Ahli pemberi nasihat, mufassir, dan
penulis. Beliau juga salah seorang tokoh terkemuka, sekaligus penghulu ulama
Khurasan”.
Beliau wafat pada bulan Muharram tahun
449 H.
[selesai]
Adapun penjelasan mengenai ciri-ciri
Ahlul-Bid’ah sebagaimana tercantum dalam kitab beliau yang berjudul : ‘Aqiidatus-Salaf
Ashhaabil-Hadiits adalah sebagai berikut :
١٦٢
- وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة ، وأظهر آياتهم وعلاماتهم : شدة
معاداتهم محملة أخبار النبي - صلى الله عليه وسلم- ، واحتقارهم لهم [واستخفافهم
بهم] ، وتسميتهم إياهم حشوية ، وجهلة ، وظاهرية ، ومشبهه . اعتقادا منهم في
أخبار رسول الله - صلى الله عليه وسلم- أنها بمعزل عن العلم ، وأن العلم ما يلقيه
الشيطان إليهم من نتائج عقولهم الفاسدة ، ووساوس صدورهم المظلمة ، وهو أجس قلوبهم
الخالية من الخير ،[وكلماتهم] وحججهم بل شبههم الداحضة الباطلة.
(أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى
أَبْصَارَهُمْ). (وَمَن يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِن مُّكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ
يَفْعَلُ مَا يَشَاء).
162 – Dan ciri-ciri yang dimiliki oleh
Ahli Bid’ah itu amatlah jelas dan terang. Yang paling menonjol di antaranya
adalah : Besarnya antipati mereka terhadap para pembawa riwayat hadits-hadits
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, melecehkan mereka, [merendahkan
mereka], bahkan menggelari mereka sebagai hasyawiyyah (tukang hapal
catatan kaki), orang-orang jahil, dhahiriyyah (tekstual), dan musyabbihah.
Semua itu didasari keyakinan mereka bahwa hadits-hadits Rasulullah shallalaahu
‘alaihi wa sallamitu terpisah dari ilmu. Dan ilmu (menurut mereka) adalah
apa-apa yang dijejalkan setan kepada mereka, hasil dari olah akal mereka yang
rusak, waswas dari hati mereka yang gelap, imajinasi mereka yang hampa dari
kebenaran, serta [berbagai kalimat] dan hujjah mereka yang lemah dan bathil.
Allah telah berfirman : “Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah
dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka” (QS.
Muhammad : 23). “Dan barang siapa yang dihinakan Allah maka tidak seorang
pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki” (QS.
Al-Hajj : 18).
١٦٣
- سمعت الحاكم أبا عبد الله الحافظ يقول : سمعت أبا على الحسين بن علي الحافظ
يقول ، سمعت جعفر بن أحمد بن سنان الواسطي يقول ، سمعت أحمد بن سنان القطان يقول :
(ليس في الدنيا مبتدع إلا وهو يبغض أهل الحديث ، فإذا ابتدع الرجل نزعت حلاوة
الحديث من قلبه) .
163 – Aku mendengar Al-Haakim Abu
‘Abdillah Al-Haafidh berkata : Aku mendengar Abu ‘Aliy Al-Husain bin ‘Aliy
Al-Haafidh berkata : Aku mendengar Ja’far bin Ahmad bin Sinaan Al-Waasithiy
berkata : Aku mendengar Ahmad bin Sinaan Al-Qaththaan berkata : “Tidak ada seorang mubtadi’ di
dunia ini kecuali ia membenci Ahlul-Hadits. Karena bila ada seorang yang
berbuat bid’ah, maka akan dicabut manisnya ilmu hadits dalam hatinya”.
١٦٤
- وسمعت الحاكم يقول سمعت أبا الحسين محمد بن أحمد الحنظلي ببغداد يقول ،
سمعت [أبا إسماعيل]محمد بن إسماعيل الترمذي يقول : كنت أنا وأحمد بن الحسن
الترمذي عند إمام الدين أبي عبد الله أحمد بن حنبل ؛ فقال له أحمد بن الحسن : يا
أبا عبد الله ذكروا لابن أبي قتيلة بمكة أصحاب الحديث فقال : أصحاب الحديث قوم سوء
فقام أحمد بن حنبل وهو ينفض ثوبه ويقول : زنديق ! زنديق ! [زنديق] : حتى دخل البيت
.
164 – Aku (Abu ‘Utsman Ash-Shaabuniy)
mendengar Al-Haakim berkata : Aku mendengar Abu Al-Husain Muhammad bin Ahmad
Al-Handhaliy berkata di Baghdaad : Aku mendengar [Abu Isma’il] Muhammad bin
Isma’il At-Tirmidziy berkata : “Aku dan Ahmad bin Al-Hasan At-Tirmidziy pernah
berada di sisi Imaamuddiin Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal. Maka Ahmad bin
Al-Hasan berkata kepadanya : ‘Wahai Abu ‘Abdillah, orang-orang pernah menyebut
Ahli Hadits di hadapan Ibnu Abi Qutailah. Maka ia (Ibnu Abi Qutailah) berkata :
‘Para Ahli Hadits (Ashhaabul-Hadiits) adalah satu kaun yang jelek’. Maka Ahmad
bin Hanbal berdiri sambil mengibaskan pakaiannya seraya berkata : ‘Zindiq,
zindiq, [zindiq] !’, hingga ia masuk rumah”.
١٦٥
- وسمعت الحاكم أبا عبد الله يقول ، سمعت أبا نصر أحمد بن سهل الفقيه ببخارى
يقول ، سمعت أبا نصر بن سلام الفقيه يقول:(ليس شيء أثقل على أهل الإلحاد ، ولا
أبغض إليهم من سماع الحديث وروايته بإسناده ).
165 – Aku mendengar (Abu ‘Utsman
Ash-Shaabuniy) Al-Haakim Abu ‘Abdillah berkata : Aku mendengar Abu Nashr Ahmad
bin Sahl, seorang faqih negeri Bukhara, berkata :Aku mendengar Abu Nashr bin
Salaam Al-Faqiih berkata : “Tidak ada satu hal yang lebih berat dan dibenci
oleh Ahlul-Ilhaad (pengingkar/atheis/Ahli Bid’ah) daripada
mendengarkan hadits dan meriwayatkan dengan sanadnya”.
١٦٦
- وسمعت الحاكم يقول : سمعت الشيخ أبا بكر أحمد بن إسحاق بن أيوب الفقيه –
وهو يناظر رجلاً – فقال الشيخ أبو بكر : حدثنا فلان ، فقال له الرجل : دعنا من
حدثنا إلى متى حدثنا ؟ فقال الشيخ له : قم يا كافر ، فلا يحل لك أن تدخل داري بعد
هذا أبداً. ثم التفت إلينا وقال : ما قلت [قط] لأحد قط ما
تدخل داري إلا هذا.
166 – Aku (Abu ‘Utsman Ash-Shaabuniy)
mendengar Al-Haakim berkata : Aku mendengar Asy-Syaikh Abu Bakr Ahmad bin
Ishaaq bin Ayyuub Al-Faqiih – saat itu ia tengah berdebat dengan seorang
laki-laki - . Maka berkatalah Asy-Syaikh Abu Bakr : “Haddatsanaa Fulaan (Telah
menceritakan kepada kami Fulan)”. Laki-laki tersebut berkata kepadanya :
“Tinggalkan kami dari perkataan haddatsanaa. Sampai kapan kita menyebut haddatsanaa ?”.
Syaikh Abu Bakr berkata : “Berdirilah wahai kafir ! Tidak halal bagimu untuk
memasuki rumahku setelah ini untuk selamanya”. Kemudian ia (Asy-Syaikh Abu
Bakr) menoleh kepada kami dan berkata : “Aku tidak pernah berkata pada seorang
pun untuk tidak masuk ke rumahku kecuali pada orang ini”.
١٦٧
- سمعت [الأستاذ] أبا منصور محمد بن عبد الله ابن حمشاد العالم
الزاهد [رحمه الله] يقول ، سمعت أبا القاسم جعفر بن أحمد المقرى الرازي
يقول : قرئ على عبد الرحمن بن أبي حاتم الرازي وأنا أسمع : سمعت أبي يقول – عنى به
الإمام في بلده أبا حاتم محمد بن إدريس الحنظلي الرازي – يقول : ( علامة أهل البدع
الوقيعة في أهل الأثر وعلامة الزنادقة : تسميتهم أهل الأثر حشوية ، يريدون بذلك
إبطال الآثار . وعلامة القدرية : تسميتهم أهل السنة مجبرة . وعلامة
الجهمية : تسميتهم أهل السنة مشبهة . وعلامة الرافضة : تسميتهم أهل الأثر
نابتة وناصبة .
167 – Aku (Abu ‘Utsman Ash-Shaabuniy)
mendengar [Al-Ustadz] Abu Manshuur Muhammad bin ‘Abdillah bin Himsyaad
Al-’Aalim Az-Zaahid [rahimahullah] berkata : Aku mendengar Abul-Qaasim Ja’far
bin Ahmad Al-Muqriy Ar-Raaziy berkata : Pernah dibacakan kepada ‘Abdurrahman
bin Abi Haatim Ar-Raaziy, dan waktu itu aku mendengarkannya : Aku mendengar
ayahku berkata – yang dimaksudkan adalah penghulu ulama di negerinya,
yaitu Abu Haatim Muhammad bin Idriis Al-Handhaliy Ar-Raaziy berkata - :
“Tanda-tanda Ahli Bid’ah adalah mencela Ahlul-Atsar. Tanda-tanda
Zanaadiqah adalah penamaan mereka terhadap Ahlul-Atsar dengan Hasyawiyyah.
Mereka memaksudkan hal itu untuk membatalkan/menolak atsar. Tanda-tanda
Qadariyyah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Mujabbirah(=Jabriyyah,
golongan yang hanya bergantung kepada taqdir). Tanda-tanda Jahmiyyah adalah
penamaan mereka kepada Ahlus-Sunnah dengan Musyabbihah. Dan tanda-tanda
Raafidlah adalah penamaan mereka kepada Ahlul-Atsar dengan Naabitah sertaNaashibah”.
١٦٨
- قلت : وكل ذلك عصبية ، ولا يلحق أهل السنة إلا اسم واحد ؛ وهو أهل الحديث
168 – Aku (Abu ‘Utsman Ash-Shaabuniy)
berkata : “Semuanya itu dikarenakanashabiyyah (fanatisme golongan). Tidak
ada sebutan yang pantas bagi Ahlus-Sunnah melainkan satu saja, yaitu : Ahlul-Hadiits”.
١٦٩
- قلت : أنا رأيت أهل البدع في هذه الأسماء التي لقبوا بها أهل
السنة - [ولا يلحقهم شيء منها فضلا من الله ومنة] - ؛ سلكوا معهم مسلك
المشركين [لعنهم الله] مع رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فإنهم
أقتسموا القول فيه : فسماه بعضهم ساحراً وبعضهم كاهنا وبعضهم شاعراً وبعضهم
مجنوناً وبعضهم مفتوناً وبعضهم مفتريا مختلقاً كذاباً ، وكان النبي - صلى
الله عليه وسلم - من تلك المعائب بعيداً بريئاً ، ولم يكن إلا رسولاً
مصطفى نبياً ، قال الله عز وجل : (انظُرْ كَيْفَ ضَرَبُوا لَكَ الأَمْثَالَ
فَضَلُّوا فَلاَ يَسْتَطِيعُونَ سَبِيلاً ).
169 – Aku (Abu ‘Utsman Ash-Shaabuniy)
berkata : “Aku memandang para Ahli Bid’ah dalam penamaan ini yang kemudian
mereka gelarkan dengannya kepada Ahlus-Sunnah – [namun dengan karunia dan
keutamaan Allah, tidak sedikitpun yang pantas disandarkan kepada mereka] adalah
mengikuti jalan kaum musyrikin [semoga Allah melaknat mereka]
terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka membagi-bagi
perkataan di dalamnya. Sebagian mereka menamakan beliau dengan tukang sihir,
sebagian lagi dengan dukun, sebagian lagi dengan tukang syair, sebagian lagi
dengan orang gila, sebagian lagi dengan orang yang terfitnah, sebagian lagi
dengan pembual, orang yang mengada-ada, lagi pendusta. Padahal Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallamberlepas diri dan jauh dari segala aib tersebut. Beliau
hanyalah seorang Rasul dan Nabi yang terpilih. Allah ‘azza wa jalla telah
berfirman : ‘Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat
perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak
sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu)’ (QS. Al-Furqaan
: 9)”.
١٧٠
- وكذلك المبتدعة خذلهم الله اقتسموا القول في حملة أخباره ، ونقله أثاره ، ورواة
أحاديثه المقتدين بسنته [المعروفين بأصحاب الحديث]، فسماهم بعضهم حشوية ، وبعضهم
مشبهة ، وبعضهم نابتة ، وبعضهم ناصبة وبعضهم جبرية. وأصحاب الحديث عصامة من هذه
المعائب بريئة ، زكية نقية ، وليسوا إلا أهل السنة المضية ، والسيرة المرضية ،
والسبل السوية ، والحجج البالغة القوية ، قد وفقهم الله جل جلاله لإتباع كتابه ،
ووحيه وخطابه [واتباع أقرب أوليائه] ، والاقتداء برسوله - صلى الله عليه وسلم - في
أخباره ، التي أمر فيها أمته بالمعروف من القول والعمل ، وزجرهم فيها عن المنكر
منها ، وأعانهم على التمسك بسيرته ، والاهتداء بملازمة سنته ، [وجعلهم من أتباع
أقرب أوليائه - وأكرمهم وأعزهم عليه] وشرح صدورهم لمحبته ، ومحبة أئمة شريعته ،
وعلماء أمته .
ومن أحب قوماً فهو منهم يوم القيامة يحكم [قول]
رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : ( المرء مع من أحب ) ...
170 – Demikian pula dengan Mubtadi’ (Ahli
Bid’ah) – semoga Allah tidak menolong mereka – membagi-bagi perkataan kepada
para pembawa khabar (hadits), penukil atsar, perawi hadits yang mengikuti
sunnah-sunnah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam[yang dikenal dengan
nama Ashhaabul-Hadiits]. Sebagian Ahli Bid’ah menamakan mereka
dengan Hasyawiyyah, sebagian lagi dengan Musyabbihah, sebagian lagi
denganNaabitah, sebagian lagi dengan Naashibah, dan sebagian lagi
dengan Jabriyyah. PadahalAshhaabul-Hadiits terbebas, berlepas diri,
dan bersih dari segala macam aib/cela ini. Tidak ada sebutan bagi mereka
kecuali pengikut sunnah yang terang, perjalanan yang diridlai, jalan kehidupan
yang lurus, dan hujjah yang terang lagi kuat. Sungguh Allahjalla
jalaaluhu telah menguatkan mereka untuk mengikuti (ittiba’) Kitab-Nya,
wahyu-Nya, dan firman-Nya; [mengikuti jejak para wali-Nya], meneladani
Rasul-Nyashallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap khabar beliau
sebagaimana diketahui bahwa hal itu beliau perintahkan kepada umatnya dalam
perkataan maupun perbuatan, serta mencegah mereka untuk berbuat kemunkaran.
Allah juga menolong mereka untuk dapat berpegang teguh pada perjalanan hidup
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, meneladani dan konsekuen pada
sunnah-sunnah beliau. [Dan Allah pun menjadikan siapa saja yang mengikuti
syari’at-Nya sebagai wali-wali-Nya yang paling dekat - yang paling mulia dan
terhormat]. Allah juga melapangkan dada mereka untuk mencintai beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam, para imam/pemimpin syari’at-Nya, dan para ulama umat.
Barangsiapa yang mencintai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka di
hari kiamat kelak, dengan dasar [sabda] Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam :‘Seseorang itu bersama orang yang ia cintai’ “.
[Selesai].
Bahan bacaan :
1. ‘Aqiidatus-Salaf
Ashhaabil-Hadiits oleh Abu ‘Utsman Ash-Shaabuniy, hal. 116-120, tahqiq :
Badr bin ‘Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415 H,
Madinah].
2. Syarh ‘Aqiidatis-Salaf wa
Ashhaabil-Hadiits li-Abi ‘Utsman Ash-Shaabuniy oleh Dr. Khaalid bin ‘Aliy
Al-Musyaiqih - www.Almoshaiqeh.com.
3. Aqidah Salaf Ashabul-Hadits,
terjemah oleh : Abu Umar Basyir Al-Maidani, hal. 184-194; Pustaka At-Tibyan,
Solo].
[Ditulis oleh Abu Al-Jauzaa’ Al-Jawiy –
pekan pertama bulan Rajab 1430 H].
Semua
Bid’ah Adalah Kesesatan
“Semua bid’ah adalah kesesatan”, demikianlah kaidah yang merupakan wahyu dari Allah yang telah dilafalkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Sebagaimana telah diriwayatkan oleh
sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلاَ
صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ «
صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ ». وَيَقُولُ « بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ
». وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ « أَمَّا
بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى
مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ »
Dari Jabir bin Abdillah berkata : Jika Rasulullah berkhutbah maka merahlah kedua mata beliau dan suara beliau tinggi serta keras kemarahan (emosi) beliau, seakan-akan beliau sedang memperingatkan pasukan perang seraya berkata “Waspadalah terhadap musuh yang akan menyerang kalian di pagi hari, waspadalah kalian terhadap musuh yang akan menyerang kalian di sore hari !!”. Beliau berkata, “Aku telah diutus dan antara aku dan hari kiamat seperti dua jari jemari ini –Nabi menggandengkan antara dua jari beliau yaitu jari telunjuk dan jari tengah-, dan beliau berkata : “Kemudian daripada itu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang baru dan semua bid’ah adalah kesesatan” (HR Muslim no 2042)
Dari Jabir bin Abdillah berkata : Jika Rasulullah berkhutbah maka merahlah kedua mata beliau dan suara beliau tinggi serta keras kemarahan (emosi) beliau, seakan-akan beliau sedang memperingatkan pasukan perang seraya berkata “Waspadalah terhadap musuh yang akan menyerang kalian di pagi hari, waspadalah kalian terhadap musuh yang akan menyerang kalian di sore hari !!”. Beliau berkata, “Aku telah diutus dan antara aku dan hari kiamat seperti dua jari jemari ini –Nabi menggandengkan antara dua jari beliau yaitu jari telunjuk dan jari tengah-, dan beliau berkata : “Kemudian daripada itu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang baru dan semua bid’ah adalah kesesatan” (HR Muslim no 2042)
Dalam riwayat An-Nasaai ada tambahan
وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Dan semua perkara yang baru adalah
bid’ah dan seluruh bid’ah adalah kesesatan dan seluruh kesesatan di neraka” (HR
An-Nasaai no 1578)
Kaidah ini juga merupakan penggalan dari
wasiat Nabi yang telah mengalirkan air mata para sahabat radhiallahu ‘anhum,
sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat ‘Irbaadh bin Sariyah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata :
«فَإِنَّهُ
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا
بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ»
“Sesungguhnya barangsiapa yang hidup setelahku maka dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaaur rosyidin yang mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengan sunnah-sunnah tersebut, dan gigitlah ia dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara baru, karena semua perkara baru adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah kesesatan“ (HR Abu Dawud no 4069)
“Sesungguhnya barangsiapa yang hidup setelahku maka dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaaur rosyidin yang mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengan sunnah-sunnah tersebut, dan gigitlah ia dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara baru, karena semua perkara baru adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah kesesatan“ (HR Abu Dawud no 4069)
Selain dua hadits di atas ada hadits lain
yang juga mendukung bahwa semua bid’ah adalah kesesatan, yaitu sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً ثُمَّ فَتْرَةً، فَمَنْ
كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى بِدْعَةٍ فَقَدْ ضَلَّ، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى
سُنَّةٍ فَقَدْ اهْتَدَى “
“Sesungguhnya bagi setiap amalan ada
semangat dan ada futur (tidak semangat), maka barangsiapa yang futurnya ke
bid’ah maka dia telah sesat, dan barangsiapa yang futurnya ke sunnah maka dia
telah mendapatkan petunjuk” (HR Ahmad 38/457 no 23474 dengan sanad yang
shahih)
Dalam hadits ini jelas Nabi menjadikan
sunnah sebagai lawan bid’ah dan mengandengkan bid’ah dengan kesesatan.
Demikian juga sebuah atsar dari Mu’adz
bin Jabal radhiallahu ‘anhu dimana beliau pernah berkata:
فَيُوشِكُ قَائِلٌ أَنْ يَقُولَ مَا لِلنَّاسِ
لاَ يَتَّبِعُونِى وَقَدْ قَرَأْتُ الْقُرْآنَ مَا هُمْ بِمُتَّبِعِىَّ حَتَّى
أَبْتَدِعَ لَهُمْ غَيْرَهُ فَإِيَّاكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ
ضَلاَلَةٌ
“Hampir saja ada seseorang yang berkata : Kenapa orang-orang tidak mengikuti aku, padahal aku telah membaca Al-Qur’an, mereka tidaklah mengikutiku hingga aku membuat bid’ah untuk mereka. Maka waspadalah kalian terhadap bid’ah karena setiap bid’ah adalah kesesatan.” (Riwayat Abu Dawud no 4613, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro 10/210 no 21444, Abdurrozaq dalam mushonnafnya 11/363 no 20750 dengan sanad yang shahih)
“Hampir saja ada seseorang yang berkata : Kenapa orang-orang tidak mengikuti aku, padahal aku telah membaca Al-Qur’an, mereka tidaklah mengikutiku hingga aku membuat bid’ah untuk mereka. Maka waspadalah kalian terhadap bid’ah karena setiap bid’ah adalah kesesatan.” (Riwayat Abu Dawud no 4613, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro 10/210 no 21444, Abdurrozaq dalam mushonnafnya 11/363 no 20750 dengan sanad yang shahih)
Dalam atsar ini Mu’adz bin Jabal
mensifati bid’ah dengan dolalah (kesesatan).
Hadits dan atasar ini semakin menguatkan
kaidah umum yang telah dilafalkan oleh Nabi “Semua bid’ah adalah kesesatan“.
Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata,
فقوله – صلى الله عليه وسلم – : «كلُّ بدعة
ضلالة» من جوامع الكلم لا يخرج عنه شيءٌ ، وهو أصلٌ عظيمٌ من أصول الدِّين … فكلُّ
من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه ، فهو
ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات ، أو الأعمال ،
أو الأقوال الظاهرة والباطنة
“Maka sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Semua bid’ah adalah kesesatan” termasuk dari jawaami’ul kalim (kalimat yang singkat namun mengandung makna yang luas-pen), tidak ada satupun yang keluar darinya (yaitu dari keumumannya-pen), dan ia merupakan pokok yang agung dari ushuul Ad-Diin… maka setiap orang yang mengadakan perkara yang baru dan menyandarkannya kepada agama padahal tidak ada pokok agama yang dijadikan sandaran maka ia adalah sesat, dan agama berlepas darinya. Dan sama saja apakah dalam permasalahan keyakinan atau amal ibadah baik yang dzohir maupun yang batin” (Jaami’ul uluum wal hikam hal 252)
“Maka sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Semua bid’ah adalah kesesatan” termasuk dari jawaami’ul kalim (kalimat yang singkat namun mengandung makna yang luas-pen), tidak ada satupun yang keluar darinya (yaitu dari keumumannya-pen), dan ia merupakan pokok yang agung dari ushuul Ad-Diin… maka setiap orang yang mengadakan perkara yang baru dan menyandarkannya kepada agama padahal tidak ada pokok agama yang dijadikan sandaran maka ia adalah sesat, dan agama berlepas darinya. Dan sama saja apakah dalam permasalahan keyakinan atau amal ibadah baik yang dzohir maupun yang batin” (Jaami’ul uluum wal hikam hal 252)
Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,
أَنَّ الْبِدْعَةَ الشَّرْعِيَّةَ لاَ تَكُوْنُ
إِلاَّ ضَلاَلَةً بِخِلاَفِ اللُّغَوِيَّةِ
“Bahwasanya bid’ah syar’iyah pasti sesat
berbeda dengan bid’ah secara bahasa” (Al-Fataawa Al-Hadiitsiyah hal 206)
Banyak hal yang menunjukan keumuman
kaidah Nabi ini “Semua bid’ah adalah sesat”, diantaranya :
Pertama : Semua dalil yang
menunjukan tercelanya bid’ah datang dalam bentuk mutlak dengan tanpa
pengecualian sama sekali. Tidak ada satu dalilpun dalam syari’at yang
menyatakan : “Semua bid’ah adalah sesat kecuali ini dan itu”. Jika ternyata
tidak ada dalil sama sekali yang mengecualikan maka kita harus kembali kepada
keumuman “Semua bid’ah adalah sesat” tanpa ada pengecualian.
Kedua : Kaidah umum yang disebutkan
oleh Nabi ini –yaitu “Semua bid’ah adalah sesat”- selalu diucapkan dan
disampaikan oleh Nabi tatkala khutbah sebagaimana dijelaskan oleh sahabat Jarir
bin Abdillah di atas. Hal ini menunjukan Nabi sering menyampaikan kaidah ini
kepada para sahabat, akan tetapi tidak ada satu dalilpun yang mengecualikan
keumuman kaidah Nabi ini. Dan dalam suatu kaidah jika ada suatu kaidah yang
kulliah (umum) atau suatu dalil syar’i (yang lafalnya menunjukan keumuman) jika
terulang-ulang di tempat yang banyak tanpa sama sekali ada pentaqyidan atau
pengkhususan maka hal ini menunjukan akan berlakunya keumuman dalil tersebut.
Dan dalil-dalil yang berkaitan tentang pencelaan bid’ah keadaannya seperti ini
dimana datang dalam jumlah yang banyak di tempat yang berbeda-beda, pada waktu
yang berbeda-beda, namun tidak ada satu dalilpun yang menunjukan adanya
pengkhususan atan pentaqyidan
Ketiga : Kalau ada dalil yang
menunjukan adanya pengecualian bid’ah yang baik maka dalil tersebut harus dari
Al-Qur’an atau dari hadits Nabi, atau ijmak para ulama. Adapun perkataan
sebagian ulama maka itu bukanlah dalil yang mengkhususkan dan mengecualikan
keumuman kaidah Nabi “Semua bid’ah adalah sesat”. Jika para ulama tidak
memandang ijmaknya para ahli Madinah di zaman Imam Malik sebagai hujjah, dan
hujjah adalah sunnah Nabi, apalagi hanya pendapat sebagian dan segelintir
ulama. Apalagi ternyata ada ulama lain yang menyelisihi mereka.
Keempat : Kalau ada dalil yang
mengkhususkan keumuman kaidah Nabi ini sehingga ada satu atau dua bid’ah yang
dikecualikan maka keumuman kaidah ini tetap berlaku pada seluruh bid’ah yang
lain, kecuali pada dua bid’ah yang telah terkecualikan tadi. Akan tetapi
kenyataannya tidak ada dalil sama sekali yang mengecualikan
Kelima : Ijma’ para sahabat dan para
tabi’in akan pencelaan bid’ah secara umum tanpa ada pengkhususan, hal ini
diketahui dengan menelusuri atsar-atsar mereka (diantaranya silahkan lihat
atsar-atsar para sahabat dalam kitab Al-Baa’its ‘alaa inkaaril bida’ wal
hawaadits karya Abu Syaamah As-Syafi’i). Tidaklah kita dapati perkataan mereka
atau sikap mereka terhadap bid’ah kecuali dalam rangka mencela. Adapun
perkataan Umar ((sebaik-baik bid’ah adalah ini)) tidak menunjukan
penyelisihannya terhadap para sahabat yang lain, karena Umar tidak bermaksud
dengan perkataannya tersebut kecuali bid’ah menurut bahasa karena sholat
tarawih merupakan sunnah Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam.
Keenam : sesuatu bid’ah dinilai baik
merupakan hal yang relatif. Bukankah setiap bid’ah dinilai baik oleh peakunya,
namun dinilai buruk oleh orang lain??. Oleh karena perkaranya relatif maka
tidak bisa dijadikan patokan dalam membentuk suatu ibadah baru.
Sebagai contoh bid’ah maulid Nabi,
sebagaian orang merasa hal itu merupakan sesuatu yang baik karena bisa
menumbuhkan dan memupuk kecintaan kepada Nabi. Akan tetapi sebagian orang
menganggap perayaan maulid Nabi merupakan perkara yang buruk karena mengandung
beberapa mafsadah diantaranya :
–
Tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih diperselisihkan,
akan tetapi hampir merupakan kesepakatan para ulama bahwasanya Nabi meninggal
pada tanggal 12 Rabi’ul awwal. Oleh karenanya pada hekekatnya perayaan dan
bersenang-senang pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal merupakan perayaan dan
bersenang-senang dengan kematian Nabi
–
Acara perayaan kelahiran Nabi pada hakekatnya tasyabbuh (meniru-niru) perayaan
hari kelahiran Nabi Isa yang dilakukan oleh kaum Nashrani. Padahal Nabi
bersabda مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ
مِنْهُمْ “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum
maka ia termasuk kaum tersebut”
–
Kelaziman dari diperbolehkannya merayakan hari kelahiran Nabi adalah
diperbolehkan pula merayakan hari kelahiran Nabi-Nabi yang lain, diantaranya
merayakan hari kelahiran Nabi Isa. Jika perkaranya demikian maka sangat
dianjurkan bahkan disunnahkan bagi kaum muslimin untuk turut merayakan hari
natal bersama kaum Nashrani
–
Bukankah dalam perayaan maulid Nabi terkadang terdapat kemungkaran, seperti
ikhtilat antara para wanita dan lelaki?, bahkan di sebagian Negara dilaksanakan
acara joget dengan menggunakan music?, bahkan juga dalam sebagaian acara maulid
ada nilai khurofatnya dimana sebagian orang meyakini bahwa Nabi ikut hadir
dalam acara tersebut, sehingga ada acara berdiri menyambut kedatangan Nabi.
Bahkan dalam sebagian acara maulid dilantunkan syai’ir-sya’ir pujian kepada
Nabi yang terkadang berlebih-lebihan dan mengandung unsur kesyirikan
–
Acara perayaan maulid Nabi ini dijadikan sarana oleh para pelaku maksiat untuk
menunjukan kecintaan mereka kepada Nabi. Sehingga tidak jarang acara perayaan
maulid Nabi didukung oleh para artis –yang suka membuka aurot mereka-, dan juga
dihadiri oleh para pelaku maksiat. Karena mereka menemukan sarana untuk
menunjukan rasa cinta mereka kepada Nabi yang sesuai dengan selera mereka.
Akhirnya sunnah-sunnah Nabi yang asli yang prakteknya merupakan bukti kecintaan
yang hakiki kepada Nabipun ditinggalkan oleh mereka. Jika diadakan perayaan
maulid Nabi di malam hari maka pada pagi harinya tatkala sholat subuh maka
mesjidpun sepi. Hal ini mirip dengan perayaan isroo mi’rooj yang dilakukan
dalam rangka mengingat kembali hikmah dari isroo mi’rooj Nabi adalah untuk
menerima perintah sholat lima waktu. Akan tetapi kenyataannya betapa banyak
orang yang melaksanakan perayaan isroo’ mi’rooj yang tidak mengagungkan sholat
lima waktu, bahkan tidak sholat sama sekali. Demikian juga perayaan nuzuulul
qur’an adalah untuk memperingati hari turunnya Al-Qur’aan akan tetapi
kenyataannya betapa banyak orang yang semangat melakukan acara nuzulul qur’an
ternyata tidak perhatian dengan Al-Qur’an, tidak berusaha menghapal Al-Qur’an,
bahkan yang dihapalkan adalah lagu-lagu dan musik-musik yang merupakan seruling
syaitan
–
Kelaziman dari dibolehkannya perayaan maulid Nabi maka berarti dibolehkan juga
perayaan-perayaan yang lain seperti perayaan isroo’ mi’rooj, perayaan nuzuulul
qur’aan dan yang lainnya. Dan hal ini tentu akan membuka peluang untuk
merayakan acara-acara yang lain, seperti perayaan hari perang badr, acara
memperingati hari perang Uhud, perang Khondaq, acara memperingati Hijrohnya
Nabi, acara memperingati hari Fathu Mekah, acara memperingati hari dibangunnya
mesjid Quba, dan acara-acara peringatan yang lainnya. Hal ini tentu akan sangat
menyibukan kaum muslimin.
Dari sini sangatlah jelas bahwasanya
baiknya suatu bid’ah merupakan hal yang sangat relatif.
Ketujuh : Jika ada yang berkata,
“Saya ingin melakukan sesuatu manuver baru yang akan mendatangkan banyak
kebaikan dan akan menghilangkan perselisihan diantara kaum muslimin dan
mengkokohkan barisan mereka. Karena kenyataannya sekarang kaum muslimin
bercerai berai. Manuver baru tersebut adalah : Tidaklah kita beribadah dan
berkeyakinan kecuali dengan ibadah dan keyakinan yang diyakini oleh para
salafus sholeh. Jika seluruh sekte dalam Islam mengikuti manuver ini maka
tentunya akan mempersatukan umat Islam”.
Tanpa diragukan lagi bahwa manuver ini
bukanlah bid’ah, bahkan banyak dalil dari syari’at yang mendukung akan hal ini.
Akan tetapi taruhlah hal ini merupakan bid’ah, toh ternyata terlalu banyak
sekte Islam yang tidak setuju dengan manuver ini, padahal hal ini merupakan hal
yang sangat baik. Bahkan hampir seluruh sekte memerangi manuver ini, karena
kelaziman dari manuver ini maka seluruh cara ibadah dan keyakinan yang dimiliki
sekte-sekte tersebut yang tidak terdapat di zaman salaf maka harus
ditinggalkan.
Kedelapan : Bukankah sunnah-sunnah
dan ibadah-ibadah yang jelas-jelas datang dari Nabi sangatlah banyak?? Dan
bukankah salah seorang dari kita tidak akan mampu untuk melaksanakan seluruh
ibadah-ibadah tersebut?. Sebagai contoh, cobalah salah seorang dari kita
membaca kitab Riyaadus Sholihiin, lalu berusaha menerapkan ibadah dan adab-adab
yang telah dijelaskan dalam kitab tersebut yang notabene benar-benar datang dan
dicontohkan oleh Nabi. Tentunya dia tidak akan mampu untuk melakukannya. Jika
perkaranya demikian, lantas mengapa kita harus bersusah payah untuk memunculkan
model-model ibadah yang baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para
sahabatnya??!!
(Lihat kitab Al-Baa’its ‘alaa inkaaril
bida’ wal hawaadits, karya Abu Syaamah As-Syafi’i, Haqiqotul Bid’ah wa
Ahkaamuhaa hal 1/282-285, Majmu’ fatawa Ibnu Taimiyyah 10/370-371, dan Iqtidho
shirootil Mustaqiim karya Ibnu Taimiyyah 1/270, Luma’ fi Ar-Rod ‘alaa
muhassinil bida’)
Madinah, 21 Dzul Hijjah 1431 / 27
November 2010
Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Ada dua pendapat ’ekstrim’ terkait dengan
bahasan ini. Satu pendapat mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak
dikerjakan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam tidak bisa
disebut bid’ah. Ini tergantung niat atau bentuknya. Jika niat atau bentuknyanya
(mereka anggap) baik, maka jadilah ia bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Bisa
dikatakan, tidak ada kamus bid’ah dalam bahasa syari’at mereka. Pendapat ini
dianut oleh kebanyakan penggemar bid’ah. Adapun pendapat lain mengatakan bahwa
segala sesuatu yang tidak dikerjakan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam, maka itu disebut bid’ah secara mutlak.[1]
Dua pendapat ini keliru. Ada satu kaidah
yang sangat penting (dalam mengenal bid’ah) yang perlu kita perhatikan sebagai
berikut :
إذا تَرَكَ الرسول صلى الله عليه وسلم فعل عبادة
من العبادات مع كون موجبها وسببها المقتضي لها قائمًا ثابتًا ، والمانع منها
منتفيًا ؛ فإن فعلها بدعة
”Apabila Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam meninggalkan satu ibadah dari jenis-jenis ibadah yang
ada, padahal faktor dan sebab yang menuntut dikerjakan ada, sementara faktor
penghalangnya tidak ada, maka melaksanakan ibadah tersebut adalah bid’ah”.
Ada dua kata kunci di sini, yaitu :
1. Keberadaan
faktor dan sebab yang menuntut dilakukannya amalan tersebut.
2. Ketiadaan
faktor penghalang untuk mengerjakan amalan tersebut.
Contoh (1) : Pengumpulan Al-Qur’an
di jaman Abu Bakar. Hal ini tidak pernah dilakukan pada jaman
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun apakah hal ini bisa
disebut sebagai bid’ah ? Jawabnya : Tidak. Mengapa ? Karena faktor atau sebab
yang mendorong dilakukan pengumpulan di jaman Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam itu belum ada. Pada waktu itu, Al-Qur’an dijaga dalam
dada para shahabat melalui hafalan mereka. Ini sekaligus sebagai faktor
penghalang dilakukannya pengumpulan Al-Qur’an. Oleh karena itu, pengumpulan
Al-Qur’an di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam belum
dirasa perlu sehingga hal itu belum/tidak dilaksanakan di jaman beliau shallallaahu
’alaihi wasallam. Namun setelah tragedi perang Yamamah ketika Khalifah Abu
Bakr radliyallaahu ’anhu menumpas orang-orang murtad dan gerombolan
pengikut nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab, banyak para penghafal Al-Qur’an
yang gugur (sebanyak 70 orang). Dari sinilah kemudian muncul faktor pendorong
atau sebab dilakukannya pembukuan Al-Qur’an – sekaligus menggugurkan faktor
penghalang yang dulu di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam ada. Ini tercermin pada perkataan ’Umar bin Khaththab kepada Abu
Bakr radliyallaahu ’anhuma :
”Dalam peperangan Yamamah para shahabat
yang hafal Al-Qur’an telah banyak yang gugur. Saya khawatir akan gugurnya para
shahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya, sehingga banyak ayat-ayat yang
perlu dikumpulkan”.
Apa yang dikatakan oleh ’Umar merupakan
sebab yang sangat kuat dilakukannya pengumpulan Al-Qur’an demi kemaslahatan
kaum muslimin.
Hal yang sama juga seperti kasus
pembubuhan titik dan harakat pada huruf hijaiyyah.[3] Setelah banyak terjadi kesalahan
dalam bacaan dan banyaknya perselisihan karenanya, maka dipandang perlu untuk
membubuhkan tanda-tanda dalam Al-Qur’an sebagaimana dirintis oleh Abul-Aswad
Ad-Dualiy, yang kemudian dilanjutkan (disempurnakan) oleh Naashir bin ’Ashim
dan Yahya bin Ya’mar pada jaman kekhalifahan ’Abdul-Malik bin Marwan; dan
kemudian disempurnakan lagi oleh Al-Khalil. Hal itu dilakukan untuk
meminimalisasi kesalahan dalam bacaan Al-Qur’an.
Contoh (2) : Maulid Nabi. Jika kita
ditanya : ”Apakah hal itu dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam (atau jaman shahabat setelah Nabi wafat) ?”. Jawabannya : Tidak.
Apakah ini disebut bid’ah ? Jawabannya adalah : Ya. Mengapa ? Karena
faktor pendorong dan sebab untuk dilakukan di jaman Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam ada. Juga, faktor penghalangnya pun tidak ada. Namun
realitas menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan para
shahabatnya tidak melakukannya. Apa artinya ? Artinya, maulid Nabi bukan
merupakan amalan yang teranggap dalam syari’at secara asal. Jika ada yang
mengatakan : ”Kami melakukannya dengan tujuan (faktor pendorong) untuk
meramaikan syi’ar-syi’ar Islam dan sebagai wujud rasa syukur kami kepada
beliau shallallaahu ’alaihi wasallam”. Jika memang itu faktor pendorong Anda,
maka kami jawab : ”Bukankah faktor pendorong yang sama sangat mungkin ada pada
jaman Nabishallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya serta tidak
ada halangan bagi mereka untuk melakukannya ? Namun ternyata mereka tidak
melakukannya !!. Jadi, itu merupakan amalan bid’ah. Bukan teranggap sebagai
kemaslahatan dalam syari’at.
Ibnu Taimiyyah berkata :
فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له وعدم
المانع منه ، ولو كان هذا خيرًا محضًا أو راجحًا لكان السلف رضي الله عنه أحق به
منا ، فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيمًا له منا ، وهم
على الخير أحرص . وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته وإتباع
أمره ، وإحياء سنته باطنًا وظاهرًا ، ونشر ما بعُث به ، والجهاد على ذلك بالقلب
واليد واللسان . فإن هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار والذين
اتبعوهم بإحسان
”Sesungguhnya ini (maulid) tidak pernah
dilakukan oleh salaf, padahal faktor pendorongnya ada, sedangkan faktor
penghalangnya tidak ada. Seandainya ini baik atau agak kuat, tentu salaf lebih
berhak (melakukan hal ini) daripada kita; karena sesungguhnya kecintaan dan
pengagungan mereka terhadap Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam lebih
dari yang kita lakukan dan mereka sangat bersemangat dalam segala kebaikan.
Sempurnanya kecintaan dan pengagungan terhadapnya hanya terdapat pada kesetiaan
mengikuti jejaknya, menaatinya, melaksanakan perintahnya, menghidupkan
sunnahnya lahir dan batin, menjelaskan ajarannya, serta berjihad demi semua itu
dengan hati, tangan, dan lisan. Inilah jalan yang ditempuh oleh para pendahulu
dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan kebaikan”.[4]
Atau jika kita ingin contoh yang lebih
jelas dari nomor 2, maka kita ambil contoh ’ekstrim’ : adzan dan iqamah yang
dilakukan di shalat ’Ied. Saya yakin kita semua akan mengatakan bahwa itu
bid’ah.[5] Apa indikasinya ? Faktor pendorong
untuk dilakukan adzan dan iqamah pada shalat ’Ied di jaman Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam ada, yaitu untuk memberitahukan kaum muslimin agar
berkumpul dan menghadairi shalat berjama’ah di lapangan (mushalla); sementara
itu faktor penghalangnya tidak ada sama sekali. Tapi pada kenyataannya, beliau
tetap tidak melakukannya.[6] Maka sesuai dengan pernyataan di
awal, adzan dan iqamah pada shalat ’Ied itu hukumnya bid’ah.
Contoh (3) : Shalat tarawih
berjama’ah di masjid. Jika kita ditanya : ”Apakah hal itu dilakukan di jaman
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ?”. Kita jawab : ”Ya, akan tetapi
hanya dilakukan beberapa malam saja, dan kemudian beliau tinggalkan”. Apakah
shalat tarawih yang dihidupkan ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu
’anhu dan kemudian kita ikuti sampai sekarang bisa dikatakan bid’ah ?
Jawabannya : Tidak. Mengapa ? Karena ada faktor penghalang yang kuat dari
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam untuk meninggalkannya pada waktu
itu sebagaimana tergambar dalam perkataan beliau ketika memberikan penjelasan
kepada shahabat mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjama’ah di masjid
:
فإنه لم يخف علي شأنكم الليلة ولكني خشيت أن تفرض
عليكم صلاة الليل فتعجزوا عنها
”Sesungguhnya keadaan kalian tidaklah
samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam
beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada
kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya”.
Setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam wafat dan syari’at telah mantap[7], maka hilanglah kekhawatiran ini,
sekaligus hilang pula faktor penghalangnya. Dan hal ini sesuai dengan keumuman
anjuran beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk melakukan shalat
tarawih berjama’ah :
إنه من قام مع الامام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة
“Sesungguhnya barangsiapa shalat tarawih
bersama imam (berjama’ah) sampai selesai, maka ditulis baginya sama dengan
shalat semalam suntuk”.
****
Itu saja secara global uraian ringkas
mengenai salah satu kaidah mengenal bid’ah. Masih ada beberapa penjelasan lanjutan
terkait dengan pembahasan ini, sebagaimana diterangkan oleh Asy-Syaikh Muhammad
bin Husain Al-Jizaaniy dalam kitab Qawaaidu Ma’rifatil-Bida’. Tentu saja,
penentuan bid’ah atau tidaknya satu amalan bukan hanya berdasarkan kaidah di
atas saja. Masih banyak kaidah-kaidah lain yang berkaitan yang perlu diketahui
oleh kaum muslimin semua. Saya persilakan bagi rekan-rekan asatidzah dan thullabul-’ilmi yang
lebih berkompeten untuk membahasnya secara mendalam............
Wallaahu ta’ala a’lam bish-shawwab.
[Abul-Jauzaa’ – Shaffar, 1430 di Ciomas
Permai].
[1] Sebagian
ikhwah memahami pengertian bid’ah seperti ini, yaitu segala sesuatu yang tidak
ada di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka dinamakan bid’ah.
[2] Kaidah
turunan yang lebih luas dari yang di atas adalah :
كل عبادة من العبادات ترك فعلها السلف الصالح من
الصحابة والتابعين وتابعيهم أو نقلها أو تدوينها في كتبهم أو التعرض لها في مجالسهم
فإنها تكون بدعة بشرط أن يكون المقتضي لفعل هذه العبادة قائمًا والمانع منه
منتفيًا
”Setiap ibadah dari jenis-jenis ibadah
yang ada yang tidak dilakukan oleh as-salafush-shaalihdari kalangan shahabat,
tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in; atau mereka tidak menukilnya (tidak
meriwayatkannya) atau tidak menukilnya dalam kitab-kitab mereka, atau tidak
pernah menyinggung masalah tersebut dalam majelis-majelis mereka; maka jenis
ibadah tersebut adalah bid’ah dengan syarat faktor penuntut untuk mengerjakan
ibadah tersebut ada dan faktor penghalangnya tidak ada.
[3] Huruf
hijaiyyah di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak memakai
tanda, titik, dan harakat.
[4] Iqtidlaa’
Shirathil-Musthaqiim, 2/615.
[5] Kecuali
yang sudah ‘kebangetan’ doyan bid’ah.
[6] Sebagaimana
yang telah shahih dalam riwayat :
عن جابر بن سمرة قال صليت مع رسول الله صلى الله
عليه وسلم العيدين غير مرة ولا مرتين بغير أذان ولا إقامة
Dari Jabir bin Samurah radliyallaahu
‘anhu ia berkata : “Aku pernah shalat hari raya bersama Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bukan hanya sekali atau dua kali tanpa adzan dan iqamat”
[HR. Muslim no. 887].
[7] Tidak
ada kewajiban tambahan yang setelah Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam wafat, karena Islam telah sempurna dengan turunnya QS. Al-Maaidah
ayat 3.
لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
"Lau Kaana Khairan Lasabaquuna Ilaihi“
“Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentulah
para sahabat telah mendahului kita dalam mengamalkannya”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Para Sahabat, Para
Thabi’in, Thabi’ut Thabi’in, Imam Mazhab yang Empat, Para Ulama Hadits Seperti
Imam Bukhari- Muslim, Tidak Ada Yang Pernah Satu Kalipun Mengadakan Perayaan “Ibadah
baru” Nabi....
(Tiga Abad Pertama Hijriyah dan Paling Utama)
Diantara dalilnya:
1.Allah taala berfirman:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agama bagimu. (Q.S. Al Maidah: 3 ).
Ayat di atas menjelaskan bahwa agama
islam telah sempurna tidak boleh ditambah dan dikurangi, maka orang yang
mengadakan “Ibadah baru”yang dibuat setelah Rasulullah shallallahu `alaihi
wasallam wafat berarti menetang ayat ini dan menganggap agama belum sempurna
masih perlu ditambah.
Ibadah
Baru = “Setiap ibadah yang tidak di syari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta
tidak sesuai dengan Syariat Islam”
2.Sabda Nabi shallallahu `alaihi wasallam
:
“Hindarilah amalan yang tidak ku
contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah menyesatkan”. (HR. Abu Daud dan
Tarmizi).
3.Sabda Nabi shallallahu `alaihi
wasallam:
“Barang siapa yang meniru tradisi suatu
kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut”. (HR. Abu Daud).
4.Orang yang mengadakan “Ibadah baru”yang tidak
pernah diajarkan Nabi sesungguhnya dia telah menuduh Nabi telah berkhianat dan
tidak menyampaikan seluruh risalah yang diembannya.
Imam Malik berkata,” orang yang membuat suatu
bidah dan dia menganggapnya adalah suatu perbuatan baik, pada hakikatnya dia
telah menuduh Nabi berkhianat tidak menyampaikan risalah.
firman Allah:
Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan
Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka
tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (Q.S. Al An’aam: 116 ).
Dikutip dari: Al Ihtifal bil “Ibadah baru”i
An Nabawi Abra At Tarikh karya Nashir Muhammad Al Hanin.
Jawaban
Atas Sebuah Alasan : “Kenapa Sahabat Nabi Tak mengerjakan “Ibadah baru ?”
1. Tentu sama sekali bukan tipe para
sahabat jika merasa puas dengan amalan shalih yang sudah mereka kerjakan, tanpa
mengerjakan amalan shalih yang lain.Itu pun (sekali lagi) jika seandainya “Ibadah
baru”memang benar-benar merupakan amalan shalih.Justru sebaliknya, para sahabat
adalah sosok-sosok manusia yang paling semangat dan tidak merasa puas dengan
suatu amalan shalih, hingga mereka menginginkan amalan shalih yang lain demi
meraih pahala sebanyak-banyaknya.Beberapa riwayat yang shahih menunjukkan
sebagian sahabat meminta Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menunjukkan amalan
shalih kepada mereka, atau Nabi menawarkan amalan shalih dan para sahabat
sangat antusias menyambut tawaran tersebut.Lebih dari itu, pengetahuan mereka
tentang agama tidak sekedar sebagai wawasan atau wacana, akan tetapi
benar-benar mereka wujudkan dalam bentuk amal nyata.Kesimpulannya : Kalau
seandainya “Ibadah baru”memang benar-benar merupakan amalan shalih yang
menunjukkan kecintaan kepada Nabi, niscaya akan diselenggarakan oleh para sahabat
Nabi sebagai tambahan amal shalih mereka, yang mereka tidak pernah merasa puas
dengan amal shalih yang sudah mereka kerjakan, hingga mereka ingin mengerjakan
amal shalih berikutnya demi meraih pahala sebanyak-banyaknya.
2.Perkataan : “Sahabat-sahabat itu
merupakan saksi hidup perjalanan Rasulullah”, dapat kami pahami bahwa para
sahabat tidak mengadakan “Ibadah baru”karena mereka telah hidup bersama Nabi,
melihat langsung amaliah Nabi.Maka tidak perlu bagi mereka untuk mengadakan suatu
acara dalam rangka “Ibadah baru”.Jika memang demikian maksud perkataan di atas,
maka dapat kita tanggapi :
a). Kalau memang para sahabat tidak
mengadakan “Ibadah baru”karena mereka merupakan saksi hidup perjalanan Nabi,
lantas mengapa para sahabat tidak menganjurkan generasi manusia setelah
mereka yang tidak pernah menjumpai Nabi agar mengadakan “Ibadah baru”?! Apa
yang menghalangi mereka untuk tidak menganjurkan hal itu, sementara para
sahabat adalah generasi yang paling tahu dan semangat tentang kebaikan akherat
bagi umat ini ?!
b). Dipahami dari perkataan pada poin
ke-2 di atas, bahwa selain para sahabat yang memang bukan saksi hidup
perjalanan Nabi perlu untuk mengadakan “Ibadah baru”.Lalu mengapa para Tabi’in
(murid sahabat), Atba’u at-Tabi’in (murid para Tabi’in), para imam mazhab 4
yang tersohor (al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam asy-Syafi’i dan
al-Imam Ahmad bin Hanbal yang bukan saksi hidup perjalanan Rasul ternyata tidak
ada yang menyelenggarakan atau menganjurkan “Ibadah baru”?! Bahkan semasa para
imam mazhab yang 4 ini hidup, mereka tidak pernah mengenal istilah “Ibadah baru”.”Ibadah
baru”barulah diadakan pada abad ke-3 lebih atau 4 H oleh para khalifah
(penguasa) yang berpemahaman Syi’ah. Sedangkan al-Imam Ahmad bin Hanbal yang
merupakan imam mazhab 4 yang terakhir meninggal dunia, beliau wafat pada
kisaran tahun 241 H (abad ke-2 H lebih).
3. Perkataan (sebagai contoh) : “Kalau
tidak diadakan acara seperti ini (ibadah baru), kapan kita mulai mencintai
Nabi”, menunjukkan bahwa perkataan ini tidak memiliki kadar ilmiah apalagi
berbobot. Mengapa demikian ? Ya, seakan-akan perkataan ini menunjukkan bahwa “Ibadah
baru”merupakan satu-satunya wujud kita mencintai Nabi dan peringatan itu
merupakan awal kita mencintai Nabi.Tentu saja yang demikian sangat tidak tepat.
Melaksanakan seluruh perintah Nabi dan menjauhi seluruh larangan Nabi yang
sedemikian banyak bentuknya (dengan kata lain, menjalankan Islam secara kaffah)
merupakan wujud kecintaan seseorang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wasallam.Masih terlalu banyak ajaran Nabi yang belum kita pelajari dan kita
amalkan.Lantas mengapa sedemikian gigihnya diantara kita melestarikan sebuah
acara yang dianggap ibadah, yang ternyata tidak ada contohnya dari Nabi, para
sahabat, Tabi’in, Atba’u at-Tabi’in dan para imam mazhab yang 4 ?!
Maka kita katakan:
“Andai perkara ini baik, niscaya mereka
semua akan mendahului kita untuk melakukannya!”
Kita juga berkata sebagaimana al-Imam
Malik rahimahullaah berkata:
“Apa yang di jaman Nabi shallallaahu
‘alayhi wa sallam dan sahabatnya bukan bagian dari agama, maka pada HARI INI
PUN TAK AKAN PERNAH MENJADI AGAMA!”
Telah dimaklumi secara pasti bahwa
tidaklah Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam berpindah menuju negeri
akhirat kecuali telah Allah sempurnakan agama ini untuk beliau dan telah Allah
sempurnakan nikmat-Nya atas beliau!
Dan sungguh beliau telah memperingatkan
di dalam sunnah beliau dari perkara muhdats (yang diada-adakan) dalam agama ini
dan (memperingatkan pula) dari beramal dengan sesuatu yang tidak pernah
dilakukan oleh beliau dan para sahabatnya radliyallaahu ‘anhum.
Catatan penerjemah:
Catatan kaki:
1. Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu dijuluki
Ash-Shiddiq (seorang yang sangat jujur) karena beliau membenarkan kisah Isra’
dan Mi’raj Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam. Ketika Musyrikin Quraisy
mendatanginya dan meminta pendapatnya atas kisah Nabi shallallaahu ‘alayhi wa
sallam bahwa Nabi di Isra’kan oleh Allah ke Palestina dalam semalam, padahal
jarak normal dari Makkah harusnya sebulan, maka beliau tetap
membenarkannya. Oleh karena itu beliau dijuluki ash-Shiddiq (Siyar A’lamin
Nubala’-Sirah Nabawi-hal 202)
2. Q.S. At-Taubah:40
3. Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa
sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran
berada di lisan ‘Umar dan hatinya. Dialah al-Faaruq (sang Pemisah). Allah
memisahkan dengannya antara al-haq dan al-bathil.” (H.R. Ibnu Sa’d dalam
at-Thabaqat. Akan tetapi hadits tersebut dilemahkan al-Albani rahimahullaah
dalam as-Silsilah adh-Dha’ifah no 3062). Tetapi ada atsar shahih tentang
julukan tersebut dari ucapan Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma(Zhilalul
Jannah 1153)
4. Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa
sallam bersabda:
“Sungguh pada ummat-ummat terdahulu
terdapat muhaddatsun (orang-orang yang mendapat ilham). Jika ada diantara
ummatku seorang (yang seperti itu), maka dia adalah ‘Umar.” (Muttafaqun ‘alayhi
dari Abu Hurairah)
5. Awalnya ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu menikahi
Ruqayyah radliyallaahu ‘anha, putri Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam. Ketika
Ruqayyah wafat, Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam lalu menikahkannya
dengan putri beliau yang lainnya, Ummu Kultsum radliyallaahu ‘anha.
6. Hijrah pertama ke negeri
Habasyah. Adapun hijrah kedua ke Madinah.
7. Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa
sallam bersabda tentang ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu:
“Apakah aku tidak akan malu pada seorang
lelaki yang para malaikat saja malu padanya?”(H.R. Ahmad dan Muslim dari ‘Aisyah
radliyallaahu ‘anha)
8. Beliau adalah putra Abu Thalib,
saudara kandung ayah Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam.
9. Istri beliau adalah Fathimah bintun
Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam. Beliau menyatakan tentang Fathimah:
“Wahai Fathimah, apakah engkau tidak rela
bila engkau menjadi pemimpin para wanita penghuni Jannah atau pemimpin wanita
kaum mukminin?” (Muttafaqun ‘alayhi dari ‘Aisyah).
10. Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa
sallam bersabda tentang al-Hasan dan alHusain radliyallaahu ‘anhuma:
“Al-Hasan dan al-Husain adalah dua orang
pemimpin para pemuda penduduk Jannah.” Diriwayatkan dari banyak sahabat.
Silahkan lihat as-Silsilah ash-Shahihah no 796
11. Salah satu penguasa yang paling
menonjol dari Bani Umayyah karena keshalihan dan keadilannya. Tentunya setelah
Mu’awiyah radliyallaahu ‘anhu. Keadilan dan kezuhudan beliau telah masyhur
diketahui oleh kaum muslimin.
12. Beliau adalah penguasa yang shalih
dari Bani ‘Abbasiyyah. Asy-Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah mengatakan bahwa
beliau seorang yang shalih, bersungguh-sungguh dan baik dalam mengurusi
rakyatnya. Beliau membagi tahun-tahunnya menjadi dua bagian: setahun untuk
berhaji dan setahun berikutnya untuk berjihad.
13. Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa
sallam bersabda tentang “al-Quruun al-Mufadhdhalah”(kurun masa terbaik):
“Sebaik-baik manusia adalah jamanku(yakni
masa para sahabat-pent) kemudian yang setelah mereka (masa para murid-murid
sahabat. Mereka disebut tabi’in-pent) kemudian yang setelah mereka (murid-murid
dari tabi’in. Mereka disebut atba’ut tabi’in-pent).”(Muttafaqun ‘alayhi dari
Ibnu Mas’ud)
14. Allah berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan
untukmu agamamu. Dan telah Aku sempurnakan atasmu nikmat-Ku dan Aku telah
rela Islam sebagai agama bagimu.”(Q.S. al-Maidah:3)
15. Banyak sekali hadits Nabi yang
melarang dari perkara muhdats (ibadah baru dalam agama) yang tidak dicontohkan
oleh beliau shallallaahu ‘alayhi wa sallam dan para sahabat. Diantaranya sabda
beliau shallallaahu ‘alayhi wa sallam:
“Dan berhati-hatilah kalian dari perkara
muhdats karena setiap yang muhdats itu bid’ah dan setiap bid’ah itu
sesat.”(H.R. ath-Thabarani dalam Musnadusy Syamiyyin dan Mu’jamul Kabir dari
sahabat ‘Irbadh bin Sariyah radliyallaahu ‘anhu. Dishahihkan oleh al-Albani
rahimahullaah dalam ash-Shahihah 2735)
Alih Bahasa: Abu Abdillah عفا
الله عنه ولوالديه وللمؤمنين
Muraja’ah: al-Ustadz Kharisman حفظه
الله
Sumber: telegram al-Islam al-Haq
(4).“Ibadah baru”Dalam Pandangan Beberapa Ulama
Syafi’iyah, Siapakah Yang Pertama Kali Merayakannya?
(5)Perayaan
“Ibadah baru” Menurut Ulama Madzhab
[2]
Keterangan as-Syathibi (w. 790 H)
فمعلوم أن
إقامة المولد على الوصف المعهود بين الناس بدعة محدثة وكل بدعة ضلالة
Semua paham bahwa mengadakan “Ibadah baru”
seperti yang ada di masyarakat di masa ini adalah bid’ah, sesuatu yang baru
dalam agama. Dan semua bid’ah adalah sesat. (Fatawa as-Syatiby, hlm. 203).
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina Konsultasisyariah.com)
(6).Teka-Teki
“Ibadah baru” Nabi,.. siapa bisa jawab pertanyaanya?
TEKA TEKI “IBADAH BARU” Bermain teka
teki…untuk mengasah akal.
Aqiqah bayi yang baru lahir disyariatkan
karena ada dalil. Makanya aqiqah memiliki adab2nya, seperti harinya, jenis
hewan yang disembelih, jumlah sembelihan, yang bertanggung jawab atas aqiqah,
syarat aqiqah, dsb. –
Memakai sandal memiliki banyak adab atau
tata cara dalam syariat, karena ada dalil, seperti memulai memakai dengan kaki
kanan, melepaskan dengan kaki kiri lebih dulu, tidak boleh memakai sandal
sebelah, boleh mengusap sandal ketika berwudhu, doa memakai sandal, dsb. –
Meludah juga memiliki banyak adab2 yang
diajarkan syariat, karena ada dalil yang mengajarkan. – Memakai pakaian juga
sudah diajarkan adab2nya dalam islam. Banyak dalil tentang ini. –
Cebok / istinja, buang air juga sudah
diajarkan adab2nya dalam islam. Banyak dalil tentang ini. – Khitan juga
memiliki banyak adab yang ada dalil2nya. Dan islam tidak lupa telah mengajarkan
tentang ini. –
Bekam juga memiliki banyak adab dan tata
caranya, banyak dalil yang telah memberitahu tentang ini. – Ada juga adab2 pada
hari raya idul fithri dan idul adha. Semua itu ada dalilnya. –
Bersetubuh dengan istri juga memiliki
banyak adab dan tata caranya. Dalil tidak lupa mengajarkannya semua. –
Segala sesuatu yang ada dalilnya dan
telah diajarkan islam memiliki adab2nya, seperti adab poligami, menyisir,
mencium, memasak, mandi, potong kuku, mencukur bulu kemaluan, shalat gerhana,
shalat khauf, puasa tasu’a dan asyura, i’tikaf, walimah, makan, minum, tidur,
mimpi, menyembelih, bersiwak, mentahniq bayi, dll.
Hal ini adalah termasuk bentuk
kesempurnaan agama islam.
Kemudian, bagaimana halnya dengan
perayaan “Ibadah baru” Nabi?
Al Masail:
1. Apakah “Ibadah baru”memiliki dalil
yang jelas dan shahih?
2. Jika memiliki dalil, maka apa saja
adab-adab atau tata cara “Ibadah baru” Nabi yang sudah diajarkan Islam sesuai
dengan dalilnya?
3. Jika tidak ada dalilnya, lantas kenapa
dikerjakan, diperingati dan dirayakan?
4. Jika tidak ada dalilnya, apakah
mungkin Rasulullah shalallahu alaihis sallam kelupaan menyampaikan kepada
umatnya?
5. Atau apakah mungkin Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam menyembunyikannya agar tidak diketahui umatnya?
6. Apakah mungkin masalah tentang “Ibadah
baru” Nabi hanya diketahui oleh orang-orang setelah abad ke 4 hijriyah,
sedangkan orang-orang yang sebelumnya seperti para shahabat Nabi, Tabi’in,
Tabiut Tabi’in, dan juga Imam yang empat tidak mengetahui tentang perayaan “Ibadah
baru” Nabi?
7. Atau apakah mungkin orang2 setelah
abad ke 4 hijriyah lebih pintar atau alim karena mereka mengetahui dan
merayakan “Ibadah baru” daripada para shahabat Nabi dan para ulama sebelum abad
ke 4 hijriyah?
8. Apakah “Ibadah baru”termasuk perkara
yang besar atau perkara yang kecil?
9. Jika “Ibadah baru” Nabi termasuk
perkara besar, lantas mana perintah atau dalilnya yang shahih dan diakui oleh
para ulama ahlu hadits?
10. Jika “Ibadah baru” Nabi adalah
perkara besar, lantas kenapa tidak ada seorangpun dari shahabat Nabi yang
merayakannya? Padahal mereka jauh lebih mencintai Rasulullah.
11. Jika “Ibadah baru” Nabi adalah
perkara kecil, lantas kenapa manusia begitu antusias dan semangat untuk
merayakannya? Sedangkan perkara2 besar yang lain dan wajib hukumnya mereka
tinggalkan dan kesampingkan.
12. Apakah mungkin jika perkara2 yang
kecil telah diajarkan oleh islam, sedangkan perkara2 yang besar tidak diajarkan
islam? Jelas tidak mungkin. Justru perkara2 yang besar lebih diajarkan dalam
islam.
13. Pantaskah Rasulullah mengajarkan tata
cara memakai sendal, meludah, cebok, dsb sedangkan perayaan “Ibadah baru”nya
sendiri serta adab dan tata caranya tidak beliau ajarkan kepada sahabat2nya dan
umatnya yang dicintainya?
14. Pernahkah kita membaca riwayat bahwa
Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau sahabat2 Nabi lainnya mengucapkan Selamat
Ulang Tahun kepada Nabinya?
Atau mereka kumpul2 dan berpesta pada
hari ‘Birthday’ Nabinya?
Atau mereka melakukan ritual ibadah
khusus pada hari Ulang Tahun Nabinya?
Atau mereka saling memberikan kado atau
hadiah untuk Nabinya spesial pada hari ulang tahunnya?
15. Apakah ada pembahasan atau bab
tentang “Ibadah baru” Nabi pada kitab2 ulama salaf terdahulu, seperti di kitab
Al Umm Imam Syafi’i, Musnad Imam Ahmad, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Ibnu
Hajar, Syarah Shahih Muslim an Nawawi, atau pada kitabut tis’ah?
Dan pembahasan Fiqih “Ibadah baru” pada
kitab Fiqih Bulughul Maram dan Subulus Salam, Al Mughni, Al Muhadzdzab?
atau pembahasan Fadhilah “Ibadah baru”
pada kitab Riyadhush Shalihin, Targhib wa Tarhib, Adabul Mufrad, dll?
Kesimpulan:
Berhubung dalil tentang keutamaan
perayaan “Ibadah baru” masih dalam pencarian dan penakwilan, maka diputuskan
bahwa “Ibadah baru” Nabi tidak ada pada zaman Rasulullah dan zaman shahabat.
Adapun segala sesuatu (dalam masalah ibadah) yang tidak ada pada zaman
Rasulullah dan para shahabat2nya maka itu bukan berasal dari Islam. Wallahu
a’lam.
Oleh Abu Fahd Negara Tauhid
(7).Alasan Sebagian Orang dalam Membela “Ibadah
baru”
Posting kali ini masih merupakan
kelanjutan dari posting sebelumnya. Yang kami angkat adalah beberapa kerancuan
dari orang yang membela “Ibadah baru” dan jawaban dari kerancuan tersebut.
Semoga bermanfaat.
[Pertama]
“Ibadah baru” adalah Bentuk Rasa Syukur,
Pengagungan dan Penghormatan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Cukup kami jawab, kalau memang “Ibadah
baru” adalah bentuk syukur, mengapa sejak generasi sahabat hingga imam mazhab
yang empat tidak ada yang melakukan perayaan ini[?] Apakah keimanan mereka
lebih rendah dibanding orang-orang sekarang yang merayakannya[?] Apakah orang
ini menyangka lebih mendapat petunjuk daripada generasi awal tersebut[?]
Semoga kita dapat merenungkan perkataan
para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah berikut.
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu
mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”
Inilah perkataan para ulama pada setiap
amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka
menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat
tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.(Lihat
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11)
Juga kami katakan, “Mengapa ucapan
syukur, penghormatan dan pengagungan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanya sekali dalam setahun, hanya pada 12 Rabi’ul Awwal? Mengagungkan,
mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersyukur bukan hanya sekali
setahun, namun setiap saat dengan mentaati dan selalu ittiba’ pada beliau.”
[Kedua]
“Ibadah baru” Nabi adalah Bid’ah Hasanah
(Bid’ah yang baik)
Perkataan ini muncul karena mereka
melihat para ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah
sayyi’ah atau dholalah (sesat/jelek). Jadi menurut mereka tidak semua bid’ah
itu sesat.
Ingatlah saudaraku, bid’ah dalam
hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikenal sama sekali
adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan diyakini oleh sahabat, setiap bid’ah adalah sesat.
Perhatikanlah sabda Nabi shallahu ‘alaihi
wa sallam berikut.
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ
اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan
(bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ،
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup
bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam
Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa
para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma
berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا
النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun
manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219,
Asy Syamilah)
Lihatlah perkataan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Kita akan melihat bahwa mereka mengatakan
semua bid’ah itu sesat, tanpa ada pengecualian.
Bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa
‘Umar bin Al Khaththab pernah menyatakan bahwa shalat tarawih yang dia hidupkan
adalah “sebaik-baik bid’ah”? Dari perkataan beliau ini menurut mereka, ada
bid’ah hasanah (yang baik).
Sanggahan: Ingatlah para sahabat tidak
mungkin melakukan bid’ah. Yang dimaksud dengan bid’ah dalam perkataan ‘Umar
adalah bid’ah secara bahasa Arab yang berarti sesuatu yang baru.
Jika ada yang masih ngotot bahwa tidak
semua bid’ah sesat, ada di sana bid’ah yang baik (hasanah), maka cukup kami
katakan: Kalau ‘Umar menghidupkan shalat tarawih dan beliau katakan sebagai
bid’ah, hal ini ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dulu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melaksanakan shalat tarawih di
awal-awal Ramadhan. Namun karena takut amalan tersebut dianggap wajib, maka
beliau tidak menunaikannya lagi. Jadi, intinya ‘Umar memiliki dasar dari
perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sekarang, apa “Ibadah baru” Nabi memiliki
dasar dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana shalat tarawih yang
dihidupkan oleh ‘Umar[?] Jawabannya tidak sama sekali. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah merayakan hari kelahirannya, begitu pula para
sahabat, tabi’in, dan para imam madzhab tidak ada yang merayakannya. Sehingga “Ibadah
baru” tidak bisa kita sebut bid’ah hasanah. Yang lebih tepat “Ibadah baru”
adalah bid’ah madzmumah (tercela) sebagaimana yang dikatakan oleh Asy Syuqairiy
dan Al Fakihaniy yang telah kami sebutkan dalam tulisan sebelumnya.
[Ketiga]
Niatannya Supaya Lebih Mengenal Sosok
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Mungkin ada yang berseloroh, kalau
melakukannya dengan niatan ibadah maka bid’ah, tapi kalau sekedar memperingati
agar lebih mengenal sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mubah,
bahkan bisa jadi sunnah atau wajib, karena setiap muslim wajib mengenal
Nabinya.
Kita katakan kepadanya bahwa itu tidak
benar! Sungguh ironis, seorang yang mengaku cinta kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, mengenalinya kok hanya setahun sekali?! Mengenal sosok
beliau tidaklah dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi
oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk ke
dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, sangat mustahil atau kecil kemungkinannya
bila tidak disertai niat merayakan hari kelahiran beliau, yang ini pun
sesungguhnya sudah masuk ke dalam lingkup tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang
Nashrani yang dibenci oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.
Mereka (orang Nashrani) merayakan kelahiran Nabi Isa melalui natalan, sedangkan
mereka merayakan kelahiran Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui
natalan. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum,
maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam
dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Sudikah kita mengenal dan mengenang Nabi,
namun beliau sendiri tidak suka dengan cara yang kita lakukan?! Dan siapa
bilang harus mengenal sosok Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam cuma melalui
acara “Ibadah baru” yang hanya diadakan sekali setahun[?] Bukankah masih ada
cara lain yang sesuai tuntutan dan tidak tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir.
[Keempat]
Nabi memperingati hari kelahirannya
dengan berpuasa
Sebagian beralasan dengan puasa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Senin, karena pada hari tersebut adalah
hari kelahirannya. Ini berarti hari kelahiran boleh dirayakan. Ketika beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanyakan mengenai puasa pada hari Senin, beliau
pun menjawab,
« ذَاكَ
يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ ».
“Hari tersebut adalah hari kelahiranku,
hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima wahyu.” (HR.
Muslim [Muslim: 14-Kitab Ash Shiyam, 36-Bab Anjuran Puasa Tiga Hari Setiap
Bulannya])
Sanggahan: Bagaimana mungkin dalil di
atas menjadi dalil untuk merayakan hari kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak
tepat dalam berdalil. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
melaksanakan puasa pada tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan
itu kalau benar pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah
tanggal kelahiran beliau masih terdapat perselisihan. Yang beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul
Awwal[!] Seharusnya kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi dengan dalil di
atas, maka perayaan “Ibadah baru” harus setiap pekan bukan setiap tahun.
Semoga Allah senantiasa memberi taufik.
Insya Allah berikutnya kami akan sampaikan syubhat (kerancuan lainnya). Semoga
Allah beri kemudahan.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
(8).Ini Lho Dalil Keutamaan “Ibadah baru”
Nabi,. Ternyata HADITS PALSU Semua
Bagaimana Sikap Imam Syafi’i rahimahullah
terhadap HADITS LEMAH ??
وَجِمَاعُ هَذَا أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ إِلَّا
حَدِيثٌ ثَابِتٌ كَمَا لَا يُقْبَلُ مِنَ الشُّهُودِ إِلَّا مَنْ عُرِفَ عَدْلُهُ،
فَإِذَا كَانَ الْحَدِيثُ مَجْهُولًا أَوْ مَرْغُوبًا عَمَّنْ حَمَلَهُ كَانَ
كَمَا لَمْ يَأْتِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِثَابِتٍ
“Kesimpulan dari semua ini, bahwa
TIDAKLAH (sebuah hadits) DITERIMA kecuali HADITS YANG VALID, sebagaimana
tidaklah para saksi diterima (pesaksiannya) kecuali orang yg dikenal adilnya.
Sehingga apabila hadits itu tidak diketahui atau dibenci perowinya, maka SEAKAN
HADITS ITU TIDAK ADA, karena ketidak-validannya.” (Kitab Ma’rifat Sunan Wal
Atsar, karya Imam Baihaqi 1/180).
Karena sikap seperti inilah Imam Syafi’i
dijuluki sebagai “Naashirus sunnah” (Pembela Sunnah Nabi). Beliau tidaklah
berdalil dengan hadits, kecuali bila hadits tersebut bisa
dipertanggung-jawabkan kevalidannya.
Naaah, jika hadits yang lemah saja sudah
beliau tolak mentah2, bagaimana lagi dengan hadits palsu, yakni riwayat2 yang
terang2an berdusta atas nama Nabi shallallahu alaohi wa sallam ???
Namun sayang, banyak dari orang-orang
yang mengaku sebagai pengikutnya, BERMUDAH-MUDAHAN dalam BERDALIL dengan HADITS
LEMAH, bahkan hadits palsu (!??)
Parahnya lagi, bila kita mengatakan
kepada mereka bahwa haditsnya lemah, maka langsung saja kita dicap sebagai
WAHABI !! Wallaahul Musta’aan.
Tidakkah mereka merenungi perkataan IMAM
SYAFI’I rahimahullaah di atas ?????
Camkan baik2 ancaman dari Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam berikut ini sebelum berhujjah dan membela hadits
dusta (palsu) :
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku
maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka.”(HR. Bukhari, dan juga
Muslim dalam Mukadimah Shahihnya, lihatal-Jam’u Baina ash-Shahihain,hal. 9)
Allaahu yahdiina wa iyyaahum.
(9).Hadits Palsu: “Barangsiapa Mengagungkan
Hari Kelahiranku…”
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
(10).Kumpulan Penjelasan Mengenai Perayaan “Ibadah
baru” Nabi
Berikut ini kami sajikan kumpulan
penjelasan mengenai “Ibadah baru”Shallallahu’alaihi Wasallam. Semoga
permasalahan yang selalu menjadi polemik setiap tahunnya ini dapat dipahami
secara ilmiah dan juga menyeluruh. Bagi pihak yang kontra, harap menyimak
penjelasan-penjelasan berikut dengan seksama, hati yang tenang dan pikiran yang
jernih agar tidak muncul prasangka-prasangka buruk, semisal prasangka
bahwa melarang perayaan “Ibadah baru” adalah mengkafirkan dan menyesatkan
setiap orang yang mengikuti perayaan tersebut.
Semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya
kepada kita semua.
Kewajiban Cinta Kepada Nabi
Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam
Antara Cinta Nabi dan “Ibadah baru” Nabi
Hukum Merayakan “Ibadah baru”
“Ibadah baru” Nabi Adalah Bid’ah Hasanah?
Mengenal
Seluk Beluk BID’AH (3): Berbagai Alasan Dalam Membela Bid’ah (Internet, HP, pesawat terbang, dll apakah bid’ah?
Silakan baca artikel ini)
(11).Engkau Harus Mencintai Nabimu
Seri Pertama dari Tiga Tulisan (Antara
Cinta Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan “Ibadah baru” Nabi)
kunci2Alhamdulillah hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fih kamaa yuhibbu
Robbuna wa yardho, wa asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarika lah wa
asy-hadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuluh. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina
Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam. Saudaraku yang semoga selalu
mendapatkan taufik Allah Ta’ala. Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi lagi sesudah beliau. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kedudukan yang mulia dengan syafa’at al
‘uzhma pada hari kiamat kelak. Itulah di antara keistimewaan Abul Qosim,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang muslim punya kewajiban
mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari makhluk lainnya.
Inilah landasan pokok iman. Engkau Harus Mencintai Nabimu Saudaraku, itulah
yang harus dimiliki setiap muslim yaitu hendaklah Nabinya lebih dia cintai dari
makhluk lainnya. Mari kita simak bersama firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ
وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ
تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ
بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “Katakanlah:
Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu,
harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya,
dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan
Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang fasik.” (QS. At Taubah: 24).
Ibnu Katsir mengatakan,
“Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai
daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah
musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
4/124).
Ancaman keras inilah yang menunjukkan
bahwa mencintai Rasul dari makhluk lainnya adalah wajib. Bahkan tidak boleh
seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya.
‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami
pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan
Umar bin Khaththab –radiyallahu ’anhu-. Lalu Umar –radhiyallahu ’anhu-
berkata, لأنت أحب إلي
من كل شيء إلا من نفسي ”Ya Rasulullah,
sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku
sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, لا
والذي نفسي بيده حتى أكون أحب إليك من نفسك”Tidak, demi yang jiwaku
berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau
cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, فإنه
الآن والله لأنت أحب إلي من نفسي”Sekarang, demi Allah.
Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, الآن
يا عمر ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).” (HR.
Bukhari) [Bukhari: 86-Kitabul Iman wan Nudzur, 2-Bab Bagaimana Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam bersumpah]
Al Bukhari membawakan dalam kitabnya: Bab
Mencintai Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam adalah bagian dari iman. An
Nawawi membawakan dalam Shahih Muslim: Bab-Wajibnya Mencintai Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam lebih dari kecintaan pada keluarga, anak, orang
tua, dan manusia seluruhnya. Dalam bab tersebut, Anas bin Malik mengatakan
bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ “Salah seorang
di antara kalian tidak akan beriman sampai aku lebih dia cintai daripada
anaknya, orang tuanya bahkan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Semua Cinta Butuh Bukti Cinta bukanlah
hanya klaim semata. Semua cinta harus dengan bukti. Di antara bentuk cinta pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ittiba’ (mengikuti), taat dan
berpegang teguh pada petunjuknya. Karena ingatlah, ketaatan pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah buah dari kecintaan. Penyair Arab
mengatakan:
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقاً لَأَطَعْتَهُ إِنَّ
المُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعٌ Sekiranya cintamu
itu benar niscaya engkau akan mentaatinya Karena orang yang mencintai tentu
akan mentaati orang yang dicintainya
Cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam bukanlah dengan melatunkan nasyid atau pun sya’ir yang indah, namun
enggan mengikuti sunnah beliau. Hakikat cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan mentaatinya.
Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia juga akan semakin mentaatinya.
Dari sinilah sebagian salaf mengatakan:
لهذا لما كَثُرَ الأدعياء طُولبوا بالبرهان ,قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ Tatkala banyak
orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan bukti.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31)
Seorang ulama mengatakan:
لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ وَلَكِن الشَّأْنُ
أَنْ تُحَبْ Yang terpenting bukanlah engkau
mencintai-Nya. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa dicintaiNya.
Yang terpenting bukanlah engkau mencintai
Nabimu. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa mendapatkan cinta
nabimu. Begitu pula, yang terpenting bukanlah engkau mencintai Allah. Namun
yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa dicintai-Nya. (Lihat Syarh ’Aqidah
Ath Thohawiyah, 20/2) Allah sendiri telah menjelaskan bahwa siapa pun yang
mentaati Rasul-Nya berarti dia telah mentaati-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا “Barangsiapa
yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisa’: 80)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga memerintahkan kita untuk berpegang teguh pada ajarannya. Sebagaimana hal
ini terdapat dalam hadits,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ “Berpegangteguhlah
dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam
ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.”
(HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan
hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat
Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)
Salah seorang khulafa’ur rosyidin dan
manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Abu Bakar Ash
Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي
أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ “Tidaklah aku
biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali
aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan
menyimpang.” (HR. Abu Daud no. 2970. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa atsar
ini shohih)
Itulah saudaraku di antara bukti
seseorang mencintai nabinya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yaitu dengan
mentaati, mengikuti dan meneladani setiap ajarannya. Kebalikan dari Cinta Dari
penjelasan di atas terlihat bahwa di antara bukti cinta adalah mentaati dan
ittiba’ pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berarti kebalikan dari hal ini
adalah enggan mentaatinya dan melakukan suatu ibadah yang tidak ada ajarannya.
Karena sebagaimana telah kami jelaskan di muka bahwa setiap orang pasti akan
mentaati dan mengikuti orang yang dicintai. Dari sini berarti setiap orang yang
melakukan suatu ajaran yang tidak ada tuntunan dari Nabinya dan membuat-buat
ajaran baru yang tidak ada asal usulnya dari beliau, walaupun dengan berniat
baik dan ikhlash karena Allah Ta’ala, maka ungkapan cinta Nabi pada dirinya
patut dipertanyakan. Karena ingatlah di samping niat baik, seseorang harus
mendasari setiap ibadah yang dia lakukan dengan selalu mengikuti tuntunan
Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itulah yang engkau harus pahami
saudaraku, sebagaimana engkau akan mendapati hal ini dalam perkataan Al Fudhail
berikut. Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Supaya Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk [67]
: 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (mencocoki
tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Lalu Al Fudhail berkata,
“Apabila amal dilakukan dengan ikhlas
namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan
tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan
mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas,
amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19)
Perkataan Fudhail di atas memiliki dasar
dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa
melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim no. 1718)
Itulah saudaraku yang dikenal dengan
istilah bid’ah. Amalan apa saja yang tidak mengikuti tuntunan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tertolak, walaupun yang melakukan berniat
baik atau ikhlash. Karena niat baik semata tidaklah cukup, sampai amalan
seseorang dibarengi dengan megikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Perkataan Fudhail di atas hampir serupa dengan perkataan Ibnu
Rajab Al Hambali. Beliau rahimahullah mengatakan, “Apabila suatu amalan
diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan
ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka
amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama tanpa
izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama
sekali.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77) Setelah kita mengetahui muqodimah di
atas, sekarang kita akan menelusuri lebih jauh, apakah betul cinta Nabi harus
dibuktikan dengan mengenang hari kelahiran beliau dalam “Ibadah baru”
sebagaimana yang dilakukan sebagian kaum muslimin? Silakan simak pembahasan
dalam posting selanjutnya. -Bersambung insya Allah pada posting selanjutnya-
(12).Sejarah Kelam “Ibadah baru” Nabi
(13).Meskipun Kelam, “Ibadah baru” Nabi Tetap
Ada Pembelaan
sumber :