TEGAS !!! REAKSI UST .KHALID KETIKA
SUNNAH NABI DI HINA SAID AGIL ---UST KHALID BASALAMAH
KIYAI KOK NGAWUR --- UST .KHALID &
UST. YAZID JAWAS
Reaksi Ustadz Khalid Ketika SUNNAH NABI
DI HINA
Bantahan tentang Arabisasi, semakin
panjang jenggot goblok, Islam Nusantara –Ustadz Khalid Basalamah
Bantahan Ust .YAZID terhadap ceramah SAID
AGIL SIRADJ -ust.yazid bin abdul qadir
PEDAS.... HINAAN SAID AQIL SIRADJ PADA
PENDIRI DAN PETINGGI NU DAN TERKHUSUS BUAT RASULULLAH
SAID AGIL SYIRAJ TERNYATA SYI'AH NU
KECOLONGAN(13)
Kalian akan dipimpin oleh orang yang
seperti kalian
Oleh
Syaikh Abdulmalik bin Ahmad bin
al-Mubarak Ramadhani
Ungkapan ini bukan hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam meski sangat terkenal di tengah masyarakat[1].
Ungkapan ini adalah sebuah kata hikmah yang sering diungkapkan oleh para
sejarawan dan ahli sosial. Seakan ungkapan tersebut sudah menjadi kaidah baku
dalam masalah kepemimpinan dan didukung oleh penelitian terhadap sejarah.
Faktanya, hampir semua jama’ah atau kelompok masyarakat itu dipimpin oleh orang
yang sesuai dengan kwalitas kebaikan masyarakatnya. Jadi, setiap pemimpin
adalah cerminan rakyatnya, sebagaimana ketika Allâh Azza wa Jalla menjadikan
Fir’aun sebagai penguasa bagi kaumnya, karena mereka sama seperti Fir’aun.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهُ فَأَطَاعُوهُ ۚ إِنَّهُمْ
كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan
perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah
kaum yang fasik. [Az-Zukhruf/43:54]
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla
menegaskan bahwa kaum Fir’aun adalah orang-orang fasik, oleh karena itu, Allâh
Azza wa Jalla menjadikan orang yang seperti mereka sebagai penguasa mereka.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “al-khafîf[2] berarti orang dungu yang
tidak beramal dengan ilmunya, dan ia selalu mengikuti hawa nafsunya.”[3]
Jadi sejatinya ungkapan “Kalian akan
dipimpin oleh orang yang seperti kalian” adalah kata hikmah zaman dulu kala.
Al-Ajlauni berkata, “Imam Thabrani t meriwayatkan dari Hasan al-Bashri
rahimahullah bahwa ia mendengar seorang laki-laki mendoakan keburukan untuk
al-Hajjâj (salah seorang pemimpin yang kejam), lantas ia berkata, “Janganlah
kamu lakukan itu! Kalian diberikan pemimpin seperti ini karena diri kalian
sendiri. Kami khawatir, jika al-Hajjâj digulingkan atau meninggal, maka monyet
dan babi yang akan menjadi penguasa kalian, sebagaimana telah diriwayatkan bahwa
pemimpin kalian adalah buah dari amalan kalian dan kalian akan dipimpin oleh
orang yang seperti kalian.[4]
Perkataan beliau rahimahullah “telah
diriwayatkan …” menunjukkan bahwa kaidah ini sudah ada sejak dahulu, bahkan ada
beberapa pernyataan dari kalangan assalafusshâlih tentang penisbatan kalimat
ini kepada sebagian para Nabi terdahulu. Tentu ini sudah cukup menjadi bukti
nyata akan keberadaan kaidah ini di zaman dahulu. Namun kaidah ini diketahui
awal mulanya meskipun ia sudah menjadi kaidah baku dalam masalah kerakyatan dan
kepemimpinan.
Telah dijelaskan didepan bahwa individu
adalah sebab pertama munculnya bencana, juga telah dijelaskan bahwa semua orang
itu akan merasakan buah dari amal perbuatannya. Diantara wujud dari buah
amalannya itu adalah kondisi para pemimpin mereka. Karena kondisi mereka sesuai
dengan prilaku masyarakat, sebagaimana peribahasa bahasa arab yang artinya
kezhaliman penguasa itu disebabkan oleh kezhaliman yang dilakukan rakyat.
Dalil-Dalil Al-Quran Dan As-Sunnah Serta
Pemahaman Para Salaf Menyangkut Kaidah Ini :
Diantara dalil-dalil dari al-Qur’an dan
Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta pemahaman salaf mengenai kaidah
ini adalah dalil-dalil yang telah disebutkan dalam pembahasan tentang (hukuman
disebabkan oleh dosa), misalnya :
1. Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا
كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu
maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allâh memaafkan
sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) [As-Syûra/42:30]
Kezhaliman seorang pemimpin adalah
musibah yang mengancam umat. Dan Allâh sudah memberitahukan bahwa penyebab
musibah adalah kesalahan umat.
2. Dalil lain untuk kaidah ini adalah kisah
perjalanan hidup Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memfokuskan diri
untuk mendakwahi masyarakat umum, tidak fokus pada jajaran konglomerat,
pejabat, penguasa serta tokoh masyarakat. Cara dakwah semacam inilah yang
merupakan metode berdakwahnya para Nabi.
Sebagai tambahan, saya sebutkan
dalil-dalil lain dibawah ini :
3. Diriwayatkan oleh Abu as-Syeikh dari
Manshûr bin Abi al-Aswad, ia berkata, “Aku bertanya kepada al-A’masy tentang
firman Allâh Azza wa Jalla :
وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ
بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian
orang-orang yang zhalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan
apa yang mereka usahakan [Al-An’âm/6:129]
Apa yang kau dengar dari perkataan mereka
tentang ayat ini? Ia menjawab, “Aku mendengar mereka berkata, ‘Jika manusia
sudah rusak maka mereka akan dipimpin oleh orang-orang jahat mereka”[5]
4. Thurthusyi berkata[6] , “Aku masih
mendengar orang-orang senantiasa menyuarakan, “Amal perbuatan kalian adalah
pemimpin kalian” juga “Sebagaimana kalian begitulah pemimpin kalian” sampai
akhirnya saya menemukan ayat yang senada dengan dua perkataan ini, yaitu firman
Allâh Azza wa Jalla :
وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ
بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian
orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan
apa yang mereka usahakan” [al-An’âm/6:129]
Orang dahulu juga mengatakan, “Kerusakan
atau keburukan yang engkau ingkari pada zamanmu, itu sesungguhnya akibat dari
tindakan dan perbuatanmu sendiri.” Abdul Mâlik bin Marwan rahimahullah juga
pernah berkata, ‘Wahai rakyatku! Sungguh kalian tidak berlaku adil pada kami.
Kalian menuntut kami berlaku seperti Abu Bakr dan Umar bin Khatthab Radhiyallahu
anhuma akan tetapi kalian tidak berlaku seperti keduanya. Kami memohon kepada
Allâh agar setiap individu saling membantu.’
5. Qatâdah rahimahullah berkata, “Dahulu
Bani Israil pernah mengatakan, ‘Wahai Tuhan kami! Engkau di langit sementara
kami di bumi, lalu bagaimana kami dapat mengetahui ridha dan murka-Mu?’ Lalu
Allâh Azza wa Jalla mengilhamkan kepada sebagian para Nabi-Nya “Kalau Aku
angkat orang-orang baik sebagai pemimpin kalian, berarti Aku ridha kepada
kalian. Kalau Aku angkat orang-orang jahat sebagai pemimpin kalian, berarti Aku
murka kepada kalian.’
6. ‘Abidatu as-Salmaini berkata kepada
Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, “Wahai Amirul Mukminin! Apakah gerangan
Abu Bakr dan Umar Radhiyallahu anhuma, kenapa semua rakyat tunduk dan patuh
kepada keduanya? Wilayah kekuasaan yang semula lebih sempit dari satu jengkal
lalu meluas dalam kekuasaan mereka? Lalu saat engkau dan Utsman menggantikannya
posisi keduanya, rakyat tidak lagi tunduk dan patuh terhadap kalian berdua,
sehingga kekuasaan yang luas ini menjadi sempit buat kalian? Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu anhu menjawab, “Karena rakyat mereka berdua adalah orang-orang
yang seperti aku dan Utsman, sementara rakyatku sekarang adalah kamu dan
orang-orang yang sepertimu.”
7. Seorang laki-laki menulis sepucuk
surat kepada Muhammad bin Yûsuf. Ia mengadukan perihal kekejaman para
pemimpinnya. Muhammab bin Yusuf membalas surat itu dengan mengatakan, “Suratmu
telah saya terima, dimana kau menceritakan tentang keadaan kalian saat ini,
padahal tidak sepantasnya pelaku maksiat mengingkari akibat perbuatannya.
Menurut hemat saya, keadaan kalian seperti ini tidak lain karena disebabkan
oleh dosa-dosa kalian, wassalam.’
8. Muhammad Haqqi saat menafsirkan makna
firman Allâh di bawah ini :
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي
الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ
تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah, “Wahai Rabb Yang mempunyai
kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan
Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. [Ali ‘Imrân/3:26]
Kandungan ayat ini adalah “Jika kalian
adalah orang-orang yang taat dan patuh niscaya Allâh Azza wa Jalla akan
menjadikan orang yang penuh kasih sayang sebagai pemimpin kalian. Namun jika
kalian pelaku kemaksiatan, niscaya Allâh akan menjadi orang jahat sebagai
penguasa kalian.”
Yang semakna dengan ini adalah firman
Allâh Azza wa Jalla :
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً
أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ
فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu
negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
(supaya mentaati Allâh) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu,
maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian
Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. [al-Isrâ/17: 16]
Allâh memberitahukan dalam ayat ini bahwa
Dia memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang melampaui batas dalam
kefasikan mereka untuk rakyat yang layak mendapatkan kehancuran. Dan tidak
diragukan lagi bahwa mereka yang berhak mendapatkan kehancuran dan kebinasaan
itu adalah mereka yang zhalim, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَتِلْكَ الْقُرَىٰ أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا
ظَلَمُوا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ مَوْعِدًا
Dan (penduduk) negeri telah Kami
binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu
bagi kebinasaan mereka” [Al-Kahfi/18:59]
Dengan pengertian seperti inilah sebagian
Ulama salaf memahami ayat di atas. Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari
Ka’ab al-Ahbar bahwa ia berkata , “Sungguh pada setiap masa pasti ada raja atau
pemimpin yang dijadikan oleh Allâh sesuai dengan (keadaan) hati rakyatnya. Jika
Allâh Azza wa Jalla menghendaki kebaikan untuk kaum tersebut, niscaya Dia akan
mengutus yang melakukan perbaikan. Jika Allâh menghendaki kehancuran atas
mereka niscaya Allâh akan mengutus mutrafa, ” Kemudian beliau t membaca ayat
al-Qur’an yang terdapat dalam surat al-Isra’ ayat ke-16 di atas.
9. Sebagian Ulama berdalil dengan hadits
riwayat Imam Muslim, no. 1819 dari Jâbir Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu
anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
النَّاسُ تَبَعٌ لِقُرَيْشٍ فِي الْخَيْرِ
وَالشَّرِّ
Umat manusia itu mengikuti Quraisy dalam
hal kebaikan dan keburukan[8]
Ali al-Qâri mengatakan, “Dikatakan,
maknanya adalah jika mereka baik niscaya Allâh Azza wa Jalla akan memberikan
kekuasaan kepada orang baik, jika mereka jahat niscaya Allâh akan memberikan
kekuasan kepada orang jahat dari kalangan mereka, sebagaimana ungkapan
“Perbuatan kalian adalah pemimpin kalian” juga “Sebagaimana keadaan kalian,
begitulah keadaan pemimpin kalian.”[9] Pemahaman ini disampaikan oleh al-Munâwi
dalam tafsir Faidhu al-Qadîr.[10]
Allâh telah memberikan kekuasaan kepada
al-Hajjâj bin Yusuf dengan segala kezhalimannya. Ketika imam al-Hasan al-Bashri
rahimahullah melihat masyarakat membenci dan marah terhadap terhadap kekuasaan
al-Hajjâj, beliau rahimahullah berusaha menasihati mereka dengan berdalilkan
kaidah ini, “Al-Hajjâj adalah hukuman dari Allâh atas kalian yang belum pernah
ada sebelumnya. Janganlah kalian merespon hukuman Allâh ini dengan pedang!
Namun sambutlah hukuman ini dengan bertaubat kepada Allâh dan tunduk
kepada-Nya! Bertaubatlah kalian, niscaya kalian akan terpelihara darinya!”[11]
dalam riwayat lain dengan sanad yang shahih bahwa beliau Imam al-Hasan
al-Bashri menyampaikan kalimat ini ketika mendapati seseorang yang sedang
memprofokasi masyarkat umum untuk melakukan pemberontakan dan penentangan
terhadap kuasa kepemimpinan dan kepemerintahan.[12]
Perhatikanlah! Bagaimana para
assalafusshalih mengaitkan kaidah ini dengan larangan memberontak dan menentang
serta keluar dari pemerintah!
Imam Hasan al-Bashri rahimahullah
mengatakan ini juga kepada rakyat yang berusaha melawan al-Hajjâj yang haus
darah, sebagaimana telah dinukil oleh Hisyâm bin Hassan, beliau mengatakan,
“Coba kalian hitung jumlah mayat yang dibunuh oleh al-Hajjâj secara zhalim.
Jumlahnya mencapai 120.000 mayat.”[13]
Inilah yang disampaikan oleh Imam
adz-Dzahabi dalam as-Siyar, “Dia adalah seorang yang zhalim, bengis, nâshibi
(pembenci Ahlul Bait), keji dan haus darah…”[12] bahkan sebagian salaf sampai
berani menjatuhkan vonis kafir kepada dia.[15]
Kesimpulannya, tujuan dari penjelasan ini
adalah ingin menjelaskan gelar paling ringan disematkan untuk al-Hajjâj adalah
ia seorang muslim yang suka membantai dan membunuh rakyat. Namun meski
demikian, para Ulama tetap melarang rakyatnya untuk memberontak. Karena pada
hakikatnya, naiknya dia sebagai penguasa adalah sebagai hukuman dari Allâh Azza
wa Jalla akibat dari dosa-dosa rakyat. Diharapkan, rakyat segera menyadari dan
segera bertaubat, bukan sebaliknya menyambut buah dari dosanya dengan
mengangkat pedang (atau melakukan tindakan anarkis).
Hendaklah ini menjadi perhatian kita,
jika kita ingin mengikuti jejak as-salafus shalih.
Seorang Tabi’in dan seorang ahli ibadah
bernama Abi al-Jalad al-Asdi rahimahullah mengatakan, “Kelak di hari kiamat
para pemimpin akan dibangkitkan di hadapan halayak manusia dengan memikul
dosa-dosa mereka”[16]
Dahulu seorang penasihat bernama Ibrahim
ibn Hamsy berkata, “Ya Allâh, karena perbuatan tangan-tangan kami ini, Engkau
berikan kekuasaan kepada seorang yang tidak mengenal dan tidak menyayangi
kami.”[17]
Imam ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan,[18] : “Ada sebagian para Nabi bani Israel menyaksikan apa yang
diperbuat oleh raja Bukhtanashar, lantas iapun berkata, ‘Karena perbutan
tangan-tangan kami ini, Engkau berikan kekuasaan kepada seorang yang tidak
mengenal-Mu dan tidak menyayangi kami.”
Bukhtanashar menyampaikan pertanyaan
kepada Nabi Daniel, “Gerangan apa yang menjadikanku berkuasa penuh terhadap
kaummu? Ia menjawab, “Karena besarnya kesalahanmu dan kezhaliman kaumku
terhadap diri mereka.”
Ibnu al-Azrâq mengatakan, “Sudah menjadi
keharusan bagi setiap masyarakat untuk selalu mencatat bahwa kekejaman para
pemimpin dan pejabat disebabkan oleh tindakan dan perbuatan rakyat yang jauh
dari jalan kebenaran, sebagaimana kandungan kaidah, “Sebagaimana keadaan
kalian, begitulah penguasa kalian.” Dengan kaidah ini pula Ibnu al-Jazzâr
as-Sirqisthi mejawab pertanyaan al-Musta’in bin Hud mengenai perihal keluhan
rakyatnya dengan puisinya :
Kalian nisbatkan kezhaliman kepada para
penguasa kalian
Sementara kalian tertidur (lupa) terhadap
buruknya perbuatan kalian
Janganlah kalian nisbatkan kezhaliman
kepada para penguasa kalian
Karena penguasa kalian akibat dari
perbuatan kalian
Demi Allâh, seandainya kalian berkuasa
walau sejenak
Tidak akan terbetik dalam benak kalian
untuk berlaku adil
Setelah menyampaikan kisah Umar bin
Khatthab Radhiyallahu anhu, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin memberikan
pesan, “Beginilah dahulu kondisi para khalifah di masa-masa awal umat ini,
ketika rakyatnya selalu menegakkan perintah Allâh Azza wa Jalla , takut
terhadap siksa-Nya dan senantiasa berharap limpahan pahala-Nya. Namun ketika
rakyat berubah dan mulai menzhalimi diri mereka, maka berubahlah pula sikap dan
karakter permimpin-pemimpin mereka, Sebagaimana keadaan kalian, begitulah
penguasa kalian.”[20]
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah
menyapaikan sebuah pesan yang sangat menyentuh, seakan belum pernah ada pesan
ahli ilmu yang lebih menyentuh dari itu. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Renungilah hikmah Allâh Azza wa Jalla yang telah memilih para raja, penguasa
dan pelindung umat manusia berdasarkan perbuatan rakyatnya, bahkan seakan
perbuatan rakyat tergambar dalam prilaku pemimpin dan penguasa mereka. Jika
rakyat istiqamah dan lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat
adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun jika rakyat berbuat zhalim,
maka penguasa mereka juga akan berbuat zalim pula. Jika menyebar tindakan
penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula pemimpin mereka. Jika
rakyat bakhil dan tidak menunaikan hak-hak Allâh Azza wa Jalla yang ada pada
mereka, maka para pemimpin juga akan bakhil dan tidak menunaikan hak-hak rakyat
yang ada pada mereka. Jika dalam bermuamalah, rakyat mengambil sesuatu yang
bukan haknya dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka juga akan mengambil
sesuatu yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan
berbagai beban tugas yang berat. Semua yang diambil oleh rakyat dari
orang-orang lemah maka akan diambil paksa oleh para pemimpin dari mereka. Jadi
(karakter) para penguasa itu tampak jelas pada prilaku rakyatnya.
Jelas bukan hikmah ilahiyah, mengangkat
penguasa bagi orang jahat dan buruk perangainya kecuali dari orang yang sama
dengan mereka.
Ketika masa-masa awal Islam berisi
generasi terbaik, maka demikian pula pemimpin-pemimpin kala itu. Ketika rakyat
mulai rusak, maka pemimpin mereka juga mulai rusak. Jelas tidak sejalan dengan
hikmah Allâh, (jika) pada zaman ini kita dipimpin oleh pemimpin yang seperti
Mu’âwiyah dan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah , apalagi dipimpin oleh pemimpin
sekelas Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu. Akan tetapi
pemimpin kita itu sesuai dengan kondisi kita. Begitu pula pemimpin orang-orang
sebelum kita sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari
kedua hal tersebut merupakan sebab akibat dan tuntunan hikmah Allâh Azza wa
Jalla .
Orang yang punya kecerdasan, apabila
merenungkan masalah ini, maka dia akan menemukan bahwa hikmah ilahiyah itu
senantiasa berjalan seiring dengan qadha’ dan qadar, baik yang tampak maupun
yang tidak tampak, begitulah pula dalam masalah penciptaan dan perintah agama.
Jangan sampai Anda menduga dan menyangka bahwa ada diantara qadha dan taqdir
Allâh yang tidak mengandung hikmah. Bahkan semua qadha dan qadar Allâh itu
terjadi sesuai dengan hikmah dan kebenaran yang paling sempurna. Tetapi, karena
keterbatasan dan kelemahan akal manusia, sehingga mereka tidak sanggup
memahaminya, sebagaimana mata kelelawar karena lemahnya ia tidak sanggup
melihat sinar matahari. Akal-akal yang lemah ini, apabila berjumpa dengan
kebatilan, akan menerima dan menyebarkannya, sebagaimana kelelawar yang terbang
dan pergi saat kegelapan malam telah datang.
Cahaya siang menyilaukan pandang
kelelawar
Pantas jika ia ditemani oleh gelap malam
yang gulita”[21] .
Oleh karena itu, merupakan sebuah
kesalahan jika kezhaliman penguasa Muslim di atasi dengan cara pemberotakan dan
perlawanan, bahkan agama Islam yang mulia ini senantiasa menyerukan untuk taat
selama ia tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Jika ia memerintahkan kepada
kemaksiatan maka rakyat tidak disyari’atkan untuk mentaatinya, sebagaimana
tidak disyari’atkan untuk memberontak dan melawannya meskipun penguasa tersebut
tergolong orang jahat.
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu
bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ
بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ
قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمِانِ إِنْسِ قَالَ : قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ –
يَارَسُوْلَ اللهِ- إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَسْمَعُ وَتُطِيعُ
لِلْأَمِيرِ ، وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ، وَأَخَذَ مَالَكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِع
Nanti setelahku, akan ada
pemimpin-pemimpin yang tidak mengambil petunjuk dari petunjukku dan tidak pula
melaksanakan sunnahku. Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang
berhati setan berbadan manusia.” Aku berkata, “Wahai Rasûlullâh, apa yang harus
aku lakukan jika aku mendapatkan zaman seperti itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Dengarlah dan ta’atlah kepada pemimpinmu, walaupun mereka
menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu.Tetaplah mendengar dan ta’at kepada
mereka.”[22]
Muhammad Haqqiy mengatakan ketika
menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah
Allâh dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. [An-Nisa’/4:59]
Dia mengatakan, “Ketahuilah bahwa para
pemimpin itu sesuai dengan perbuatan para rakyatnya, baik dan buruknya.
Diriwayatkan bahwa ada yang mengatakan kepada al-Hajjâj bin Yûsuf, “Kenapa kamu
tidak berbuat adil sebagaimana Umar padahal engkau mendapati pemerintahan
beliau Radhiyallahu anhu ? Apakah engkau tidak melihat keadilan dan
kebaikannya?’ Ia menjawab, ‘Jadilah kalian seperti Abu Dzar Radhiyallahu anhu,
maka aku akan seperti Umar.”
Jika dalam kondisi seperti di atas tidak
disyari’atkan memberontak lalu bagaimana dengan keadaan kita?
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
06/Tahun XVIII/1436H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]
Footnote
[1]. Silsilah ad-Dhâ’ifah karya Syaikh
Al-Albâni (320)
[2]. Majmû’al-Fatâwâ (16/337)
[3]. Kasyfu al-Khafâ 1/148)
[4]. Ad-Durru al-Mantsûr milik as-Suyuthi
(3/358)
[5]. Sirâjul Mulûk (2/467)
[6]. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim (6/30),
dan Baihaqi dalam Syu’abul Imân (7389), dan Abu Amr ad-Dani dalam as-Sunan
al-Wârid fil Fitan (299)
[7]. HR Muslim (1819)
[8]. Mirqatul Mafâtih Syarh Misykâtul
Misbâh (11/131
[9]. Faidhul Qadîr (1/265)
[10]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya
dalam al-Uqûbât, no. 52 dengan sanad shahih dan dalam satu riwayat dalam
Thabaqât Ibnu Sa’ad, 7/164 dan dalam kitab Jumal min Ansâbil Asyrâf, Bilâdzri
(7/394) dengan sanad yang shahih
[11]. Dinukilkan dalam kitab Thabaqât Ibnu
Sa’ad (7/164), dan dalam kita Jumal min Ansâbil Asyrâf karya Bilâdzri (7/394)
dengan sanad yang shahih
[12]. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dengan
sanad yang shahih
[13]. Terdapat dalam kitab as-Siyar karya
ad-Dzahabi (4/343), dishahihkan oleh Imam al-Albâni.
[14]. Lihatlah tentang ini dengan sanad
shahih dari Thâwus pada kitab al-Amâli fi Atsâri Shahâbah, Abdurrazaq; kitab
al-Imân, karya Ibnu Abi Syaibah; at-Thabaqat, ibnu Sa’ad; Syarhu Ushul I’tiqad,
al-Lalika’i.
[15]. Dinukilkan oleh ad-Dani dalam as-Sunanul
Wâridah fil Fitan (300),dan Ibnu ‘Asakir dalam Târîkh Dimasyqa (39/477)
[16]. Dinukilkan oleh al-Baihaqi dalam
Syu’ab (7390)
[17]. Ad-Dâ’ wad Dawâ (75)
[18]. Badâ’ius Sulûk Fi Thabâ’iul Mulûk
(1/235)
[19]. Khutbah yang kesepuluh dalam Kitab
Dhiyâ’ul Lâmi’
[20]. Miftâh Dâris Sa’âdah (1/253)
[21]. HR. Muslim (1847)