Tuesday, August 29, 2017

Ilmu Al-Jarh Wat-Ta’dil

Hasil gambar untuk Ilmu Al-Jarh Wat-Ta’dil

Khabar yang yang berkaitan dengan "agama", kita perlu kalam ulama jarh wat ta’dil tentang kejujuran, kebenaran aqidah orang yang membawa berita sehingga kita terima atau kita tolakkah khabarnya. Adakah perkataan ulama jarh wat ta’dil tentang si fulan apakah dia jujur, aqidahnya baik atau tidak, sehingga kita terima khabarnya riwayatnya ? Orang yang tidak ada perkataannya, tidak ada khabarnya di dalam kitab jarh wat ta’dil maka kita katakan orang ini majhul, yang majhul demikian khabarnya tertolak.  ini agama bukan sembarang orang bisa mengaku-ngaku. Maka dari situ kita katakan sanadnya munqothi’ (terputus).

Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang (Lisaanul-Arab; kosa kata “Jaraha”).
– Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
– At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendla’ifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.
– Al-‘Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa; lawan dari durhaka. Dan seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima; dan At-Ta’dil artinya mensucikannya dan membersihkannya.
– Al-‘Adlu menurut istilah adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits (yaitu : Islam, baligh, berakal, dan kekuatan hafalan).
– At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.
Dan atas dasar ini, maka ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka (Ushulul-Hadiits halaman 260; dan Muqaddimah Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil 3/1
Perkembangan Ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil
Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut :
1. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang laki-laki :
”(Dan) itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya” (HR. Bukhari).
2. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah melamarnya :
”Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta” (HR. Muslim).
Dua hadits di atas merupakan dalil Al-Jarh dalam rangkan nasihat dan kemaslahatan. Adapun At-Ta’dil, salah satunya berdasarkan hadits :
3. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu).
Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan; bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.
Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan shahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang diperingatkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
”Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Dari Yahya bin Sa’idAl-Qaththan dia berkata,”Aku telah bertanya kepada Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin ‘Uyainah tentang seseorang yang tidak teguh dalam hadits. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya tentang dia, mereka berkata,”Kabarkanlah tentang dirinya bahwa haditsnya tidaklah kuat” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Dari Abu Ishaq Al-Fazary dia berkata,”Tulislah dari Baqiyyah apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal, dan jangan engkau tulis darinya apa yang telah dia riwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal, dan janganlah kamu menulis dari Isma’il bin ‘Iyasy apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal maupun dari selain mereka” (- Baqiyyah bin Al-Walid banyak melakukan tadlis dari para dlu’afaa).
Diketahuinya hadits-hadits yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan penelitian para ulama’ yang berpengalaman yang dikaruniai oleh Allah kemampuan untuk mengenali keadaan para perawi. Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak : ”(Bagaimana dengan) hadits-hadits yang dipalsukan ini?”. Dia berkata,”Para ulama yang berpengalaman yang akan menghadapinya”.
Maka penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk agama. Oleh karenannya kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan para perawi dan keadilan mereka, yaitu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadits, tidak sering lalai dan tidak peragu. Melalaikan itu semua (Al-Jarh wat-Ta’dil) akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Dikatakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththan,”Apakah kamu tidak takut terhadap orang-orang yang kamu tinggalkan haditsnya akan menjadi musuh-musuhmu di hadapan Allah?”. Dia berkata,”Mereka menjadi musuh-musuhku lebih baik bagiku daripada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menjadi musuhku. Beliau akan berkata : mengapa kamu mengambil hadits atas namaku padahal kamu tahu itu adalah kedustaan?” (Al-Kifaayah halaman 144).
Perbedaan Tingkat Para Perawi
Tingkatan perawi itu berbeda-beda :
Diantara mereka Ats-Tsabt (yang teguh), Al-Hafidh (yang hafalannya kuat), Al-Wari’ (yang shalih/hati-hati), Al-Mutqin (yang teliti), An-Naqid (yang kritis terhadap hadits). Yang mendapatkan predikat demikian ini tidak lagi diperselisihkan, dan dijadikan pegangan atas Jarh dan Ta’dil-nya, dan pendapatnya tentang para perawi dapat dijadikan sebagai hujjah.
Di antara mereka ada yang memiliki sifat Al-‘Adl dalam dirinya, tsabt teguh dalam periwayatannya, shaduq jujur dan benar dalam penyampaiannya, wara’dalam agamanya, hafidh dan mutqin pada haditsnya. Demikian itu adalah perawi yang ‘adil yang bisa dijadikan hujjah dengan haditsnya, dan dipercaya pribadinya.
Di antara mereka ada yang shaduqwara’, shalih dan bertaqwa, dan tsabt; namun terkadang salah periwayatannya. Para ulama peneliti hadits masih menerimanya dan ia dapat dijadikan sebagai hujjah dalam haditsnya.
Di antara mereka ada yang shaduqwara’, bertaqwa, namun seringkali lali, ragu, salah, dan lupa. Yang demikian ini boleh ditulis haditsnya bila terkait dengan targhib (motivasi) dan tarhib (ancaman), kezuhudan, dan adab. Adapun untuk masalah halal dan haram tidak boleh berhujjah dengan haditsnya.
Adapun orang yang nampak darinya kebohongan, maka haditsnya ditinggalkan dan riwayatnya dibuang (Muqaddimah Al-Jarh wat-Ta’dil 1/10).

Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh Wat-Ta’dil


Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama’ yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama’ menetapkan tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap tingaktan. Tingkatan Ta’dil ada enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).
Tingkatan At-Ta’dil
1. Tingkatan Pertama
Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan af’ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.
2. Tingkatan Kedua
Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-‘adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma’mun), atau tsiqah dan hafidh.
3. Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, atau hafidh.
4. Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan adanya ke-‘adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : ShaduqMa’mun (dipercaya),mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sa bihi adalahtsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut).
5. Tingkatan Kelima
Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya ‘anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).
6. Tingkatan Keenam
Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya).
Hukum Tingkatan-Tingkatan Ini
1. Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
2. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
3. Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.
Tingkatan Al-Jarh
1. Tingkatan Pertama
Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal(dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan).
2. Tingkatan Kedua
Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).
3. Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla’if jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
4. Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulanmuttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah(bukan orang yang terpercaya).
5. Tingkatan Kelima
Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti :kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla’ (pemalsu hadits), atauyakdzib (dia berbohong), atau yadla’ (dia memalsikan hadits).
6. Tingkatan Keenam
Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
1. Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
2. Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.(Tadriibur-Rawi halaman 229-233; dan Taisir Musthalah Al-Hadits halaman 152-154).
Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-Jarh wat-Ta’dil
Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.
Para penyusun mempunyai metode yang berlainan :
a. Sebagian di antara mereka hanya menyebutkan orang-orang yangdla’if saja dalam karyanya.
b. Sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja.
c. dan sebagian lagi menggabungkan antara yang dla’if dan yang tsiqaat.
Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada mereka :
1. Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.
2. Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India. Karya beliau yang lain : At-Tarikh Al-KabiirAl-Ausath, dan Ash-Shaghiir[/I].
3. Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.
4. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.
5. Kitaab Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min-Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bin ‘Amr Al-Bardza’I (wafat tahun 292 H).
6. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam Shmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adl-Dlu’afaa’ karya Imam Bukhari.
7. Kitab Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr binMusa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.
8. Kitab Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H), manuskrip; dan karyanyaKitab Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.
Dan di antara karya-karya mereka adalah tentang sejarah perawi ahdits secara umum, tidak hanya terbatas pada biografi tokoh-tokoh saja, atau biografi paratsiqaat saja, atau para dlu’afaa’ saja; seperti :
9. Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) mencakup atas 12315c biografi sebagaimana dalam naskah yang dicetak dengan nomor.
10. Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk di antara yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al-Jarh wat-Ta’dil yang sampai pada kita, dan paling banyak faidahnya; dimana ia mencakup banyak perkataan para imam Al-Jarh wat-Ta’dil terkait dengan para perawi hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.
Kemudian karya-karya mengenai perawi hadits yang disebutkan dalam kutubus-sittah dan lainnya, sebagian di antaranya khusus pada perawi satu kitab, dan sebagian yang lain mencakup kitab-kitab hadits dan lainnya.
11. Kitab Asaami’ Man Rawa ‘anhum Al-Bukhari karya Ibnu Qaththan – Abdullah bin ‘Ady Al-Jurjani (wafat tahun 360 H), manuskrip.
12. Kitab Dzikri Asma’it-Tabi’iin wa Man ba’dahum Min Man Shahhat Riwayatuhu minats-Tsiqaat ‘indal-Bukhari, karya Abul-hasan Ali bin Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H), manuskrip.
13. Kitab Al-Hidayah wal-Irsyaad fii Ma’rifati Ahlits-Tsiqah was-Sadaad, karya Abu Nashr Ahmad bin Muhammad Al-kalabadzi (wafat tahun 398 H), khusus tentang perawi Imam Bukhari; manuskrip.
14. Kitab At-Ta’dil wat-Tarjih li Man Rawa ‘anhul-Bukhari fish-Shahiih, karya Abul-Walid Sulaiman bin Khalaf Al-Baaji Al-Andalusi (wafat tahun 474 H), manuskrip.

15. Kitab At-Ta’rif bi Rijaal Al-Muwaththa’, karya Muhammad bin Yahya bin Al-Hidza’ At-tamimi (wafat tahun 416 H); manuskrip.
16. Kitab Rijaal Shahih Muslim, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Manjawaih Al-Ashfahani (wafat tahun 247 H); manuskrip.
17. Kitab Rijal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abul-hasan Ali bin ‘Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H); manuskrip.
18. Kitab Rijaal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.
19. Kitab Al-Jam’I baina Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy (wafat tahun 507 H); dicetak.
20. Kitab Al-Kamal fi Asmaa-ir-Rijaal, karya Al-Hafidh Abdul Ghani bin Abdil-Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ily (wafat tahun 600 H), termasuk karya tertua yang sampai pada kita yang secara khusus membahas perawi kutub sittah. Kitab ini dianggap sebagai asal bagi orang setelahnya dalam bab ini. Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan dan peringkasan atasnya.
21. Kitab Tahdzibul-Kamal, karya Al-Hafidh Al-Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).
22. Kitab Tadzkiratul-Huffadh, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H).
23. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Adz-Dzahabi juga.
24. Kitab Al-Kasyif fii Ma’rifat man Lahu Riwayat fil-Kutubis-Sittah, karya Adz-Dzahabi juga.
25. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Al-hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani (wafat tahun 852 H), yang merupakan ringkasan dan perbaikan dari Tahdzibul-Kamal karya Al-Hafidh Al-Mizzi; dan dia adalah kitab yang paling menonjol yang dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibnu hajar telah meringkas hal-hal yang perlu diringkas, dan menambah hal-hal yang terlewatkan di kitab asli, dan kitab Kitab Tahdzibut-Tahdzib adalah kitab paling baik dan paling detil.
26. Kitab Taqribut-Tahdzib, karya Ibnu Hajar juga.
27. Kitab Khulashah Tahdzibul-Kamal, karya Shafiyyuddin Ahmad bin Abdillah Al-Khazraji (wafat tahun 934 H).
28. Kitab Ta’jilul-Manfa’ah bi Zawaid Al-Kutub Al-Arba’ah, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalany.
29. Kitab Mizaanul-I’tidaal fii Naqdir-Rijaal, karya Al-Hafidh Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H). dan termasuk kitab yang paling lengkap tentang biografi orang-orangyang di-jarh.
30. Kitab Lisaanul-Mizaan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani.
31. Kitab At-Tadzkiratul bir-Rijaal Al-‘Asyarah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Husaini Ad-Dimasyqi (wafat tahun 765 H).
Kitab ini mencakup atas biografi sepeuluh perawi dari kitab-kitab hadits, yaitu :al-kutubus-sittah, yang menjadi objek pembahasan pada kitab Tahdzibul-Kamal-nya Al-Mizzi, ditambah empat kitab lagi karya imam empat madzhab :Al-Muwaththa’, Musnad Asy-Syafi’I, Musnad Ahmad, Al-Musnad yang diriwayatkan oleh Al-Husain bin Muhammad bin Khasru dari hadits Abu Hanifah. Dan terdapat manuskrip lengkap dari kitab At-Tadzkirah ini.

Al-Jarh Wat-Ta'dil Adalah Perkara Ijtihadiyyah?

Abûl Jauzâ’ al-Atsarî
Berikut ini adalah ta’yîd (sokongan) ilmiah, al-Akh al-Karîm Abûl Jauzâ’ –Jazzâhullâhu khoyrol Jazâ– terhadap salah satu artikel di blog ini. Saya melihat apa yang dipaparkan oleh Fadhîlatul Akh Abûl Jauzâ’ adalah sangat bermanfaat dan ilmiah, karena beliau menurunkan nukilan-nukilan dari para salaf kita yang shalih mengenai permasalahan ini. Sehingga untuk memperluas faidah dan manfaat, saya reposting ulang tulisan al-Akh Abûl Jauzâ’ di dalam blog ini.
Saya melihat begitu banyaknya para thullâbul ‘ilmi pemula, terutama yang dibakar semangat tanpa diiringi dengan keilmuan, jatuh kepada kesalahkaprahan di dalam menerapkan manhaj yang mulia ini. Mereka jadikan (baca : kambinghitamkan) ilmu ini untuk memenuhi ambisi dan hawa nafsu mereka di dalam menjatuhkan dan mengeluarkan saudara-saudara mereka dari lingkaran ahlus sunnah. Padahal ushûl mereka sama, hanya saja terdapat perbedaan dalam tataran tathbîq (penerapan) di dalam memandang realitas.
Semoga Alloh membalas al-Akh Abûl Jauzâ’ dengan pahala yang berlimpah atas jerih payahnya di dalam menyebarkan ilmu dan risalah-risalah yang bermanfaat di dalam blognya yang sarat faidah. (Abû Salmâ)
Al-Akh Abûl Jauzâ berkata :
Di Blog-nya Abu Salma telah ditulis beberapa bahasan dan penjelasan mengenai tema di atas. Tentu kita paham bahwa tulisan itu ditujukan kepada beberapa orang yang mengaku ber-intisab pada madzhab salaf – yang kemudian menyebut diri mereka sebagai salafiyyun – namun sebenarnya mereka tidak lebih dari gerombolan muqalliduun yang jauh dari apa yang mereka nisbatkan.
Betul bahwasannya al-jarh wat-ta’dil itu adalah salah satu kaidah yang sangat penting dalam agama. Betul pula bahwasannya al-jarh wat-ta’dil itu tidak hanya khusus di bidang ilmu hadits. Dua kata ‘betul’ tadi menjadi benar-benar ‘betul’ jika memang dijalankan sesuai dengan kaidah dan aturannya. Sebaliknya, kata ’betul’ pun menjadi ’tidak betul’ jika diterapkan secara serampangan, sembrono, dan semau gue. Al-Jarh wat-Ta’dil itu bukan merupakan monopoli satu atau dua orang ulama saja. Bahkan bagi ulama yang telah dikenal pengetahuannya tentang ilmu itu. Harap kiranya kalimat ini tidak disangkakan bahwa saya bermaksud menyindir atau mencela ulama tertentu.
Sebagaimana yang telah dinukil oleh al-akh Abu Salma, permasalahan al-jarh wat-ta’dil ini membuka pintu perbedaan pendapat. Konsekuensinya, jika ada dua orang ulama yang telah dikenal keilmuan dan dakwahnya kepada sunnah berbeda pendapat akan ’status’ objek tertentu, maka tidak ada celah untuk membawa permasalahan ini kepada perpecahan dan saling cela satu sama lain, khususnya sesama Ahlus-Sunnah. Tidak lain karena permasalahan al-jarh wat-ta’dil itu asalnya merupakan perkara ijtihadiyyah. Sikap kita seharusnya adalah mengambil mana yang rajih (dan meninggalkan yang marjuh) di antara dua pendapat serta menghormati orang yang berselisih pendapat dengan kita. Jadi, sah-sah saja kita tidak mengikuti pendapat salah seorang ulama dan mengikuti ulama yang lain yang kita pandang lebih dekat dengan kebenaran menurut sisi pandang kita. Perkara ini masyhur sebenarnya di kitab-kitab para ulama,……….. Namun sayangnya hal ini seakan-akan menjadi lenyap tertelan bumi oleh sikap ghulluw dan ashabiyyah yang menjangkiti sebagian ikhwah ’salafiyyun’.
Sedikit akan saya berikan contohnya……..
Siapa yang tidak kenal dengan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah ? Ia adalah imam kota Madinah, panutan dalam ilmu di masanya. Apakah semua perkataannya dalam bidang al-jarh wat-ta’dil diterima dan haram hukumnya untuk ditolak ? Mari kita lihat tentang kasus Al-Imam Muhammad bin Ishaq rahimahullah, seorang imam di bidang sirah.Apa kata Al-Imam Malik kepadanya ? Akan saya sebutkan sedikit di antaranya. Adz-Dzahabi rahimahullah berkata :
يحيى بن آدم: حدثنا ابن إدريس قال: كنت عند مالك، فقال له رجل: إن محمد بن إسحاق يقول: اعرضوا علي علم مالك فإني بيطاره.
فقال مالك: انظروا إلى دجال من الدجاجلة يقول: اعرضوا علي علم مالك.
Yahya bin Adam berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, ia berkata : Kami pernah bersama Malik (pada suatu saat). Ada seseorang yang berkata kepada beliau : Sesungguhnya Muhammad bin Ishaq berkata : ’Paparkan kepadaku ilmunya Malik, karena aku adalah pakarnya’. Maka Malik pun berkata : ’Lihatlah oleh kalian seorang pendusta (dajjal) di antara para pendusta itu. Ia mengatakan ’paparkan ilmunya Malik kepadaku’ ?” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’ oleh Adz-Dzahabi, 7/50; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 9 – 1413 H/1993 M].
أبو جعفر العقيلي: حدثني أسلم بن سهل، حدثني محمد بن عمرو بن عون، حدثنا محمد بن يحيى بن سعيد القطان قال: قال أبي: سمعت مالكا يقول: يا أهل العراق من يغت عليكم بعد محمد بن إسحاق ؟
”Abu Ja’far Al-’Uqailiy berkata : Telah menceritakan kepadaku Aslam bin Sahl : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ’Amru bin ’Aun : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan, ia berkata : Telah berkata ayahku : Aku telah mendengar Malik berkata : ”Wahai penduduk ’Iraq, siapa lagi yang merusak kalian setelah Muhammad bin Ishaq ?” [idem, 7/53].
Jarh dari Al-Imam Malik kepada Ibnu Ishaq ini didahului oleh Hisyam bin ’Urwah yang menuduhnya pula sebagai pendusta. Adz-Dzahabi membawakan riwayat :
العقيلي: حدثنا العباس بن الفضل الاسفاطي، حدثنا سليمان بن داود، حدثنا يحيى بن سعيد، حدثنا وهيب: سمعت هشام بن عروة يقول: ابن إسحاق كذاب
”Al-’Uqailiy berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-’Abbas bin Al-Fadhl Al-Isfaathiy : Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib : Aku mendengar Hisyaam bin ’Urwah berkata : ”Ibnu Ishaq adalah pendusta (kadzdzaab)” [idem, 7/48].
Hisyam bin ’Urwah dan Malik bin Anas rahimahumalah adalah para imam Ahlus-Sunnah yang telah melakukan jarh yang sangat jelas kepada Muhammad bin Ishaq. Tuduhan sebagai pendusta (apalagi sampai menyebut : dajjal) dalam ilmu hadits adalah salah satu jenis jarh yang paling berat. Namun apakah para imam selain keduanya menerimajarh mereka tanpa ada penyelisihan ? Ternyata tidak. Saya nukilkan perkataan ringkas dari Adz-Dzahabi tentang perselisihan antara Malik bin Anas dan Ibnu Ishaq :
لسنا ندعي في أئمة الجرح والتعديل العصمة من الغلط النادر، ولا من الكلام بنفس حاد فيمن بينهم وبينه شحناء وإحنة ، وقد علم أن كثيرا من كلام الاقران بعضهم في بعض مهدر لا عبرة به ، ولا سيما إذا وثق الرجل جماعة يلوح على قولهم الانصاف، وهذان الرجلان كل منهما قد نال من صاحبه، لكن أثر كلام مالك في محمد بعض اللين، ولم يؤثر كلام محمد فيه ولا ذرة، وارتفع مالك، وصار كالنجم، والآخر، فله ارتفاع بحسبه، ولاسيما في السير، وأما في أحاديث الاحكام، فينحط حديثه فيها عن رتبة الصحة إلى رتبة الحسن، إلا فيما شذ فيه، فإنه يعد منكرا.
هذا الذي عندي في حاله، والله أعلم.
”Kita tidak mengklaim bahwa dalam diri para imam al-jarh wat-ta’dil terjaga dari kesalahan yang jarang dan perkataan dengan nafas yang tajam dari seseorang dimana di antara mereka dengan dirinya terdapat permusuhan dan kebencian. Telah diketahui bahwa tidak sedikit perkataan sebagian orang terhadap kawan-kawannya yang lain akan sia-sia tanpa makna, lebih-lebih jika orang yang bersangkutan telah dinyatakan tsiqah oleh jama’ah dimana objektifitas terlihat dalam perkataan mereka. Kedua orang ini saling bersaing dengan rekannya. Akan tetapi perkataan Malik memberikan pengaruh pada diri Muhammad (bin Ishaq) dengan sedikit melemahkannya. Sebaliknya perkataan Muhammad tidak membekas pada diri Malik sedikitpun. Malik terangkat dan menjadi seperti bintang, sementara kawannya ini juga naik sesuai dengan keadaannya, lebih-lebih di bidang sirah. Adapun dalam hadits-hadits hukum, maka haditsnya turun dari derajat shahih menjadi derajat hasan. Kecuali pada apa-apa yang ada keganjilan (syadz)di dalamnya. Maka ia terhitung sebagai hadits munkar. Ini adalah kesimpulanku tentang keadaannya. Wallaahu a’lam” [idem, 7/40-41].
Begitu juga para imam lain yang membuat perincian dan penjelasan tentang jarh sebagai pendusta sebagian ulama kepada Ibnu Ishaq, dimana mereka tidak menerima begitu saja jarh tersebut. Sebut saja Al-’Iraqiy[1], Ibnu Hajar[2], dan yang lainnya yang tetap menerima riwayat dari Ibnu Ishaq.
Atau pembahasan mengenai khabaruts-tsiqat yang masyhur. Apakah setiap khabarun minats-tsiqaat – terutama berkaitan dengan al-jarh wat-ta’dil – harus diterima secara aklamasi tanpa boleh ada penyelisihan ? Barangsiapa yang menyelisihi akan diikut di-jarh tanpa ada ampun ?[3] Ada kisah menarik Al-Qadli Abu Ya’la Al-Farra’ rahimahullah, salah seorang pembesar madzhab Hanabilah. Ia pernah dituduh sebagai mujassimah, sebagaimana hal itu dikatakan oleh Al-Qadli Abu Bakr bin Al-’Arabiy rahimahullah. Ibnul-’Arabiy berkata :
”Di antara syaikh (guru)-ku yang terpercaya telah mengkhabarkan kepadaku, bahwa Abu Ya’la Muhammad bin Husain Al-Farra’, pemuka madzhab Hanabilah di Baghdad, pernah berkata apabila ia menyebut Allah ta’ala dan dalil-dalil dhahir yang menetapkan shifat-shifat-Nya, ia berkata : ”Berikanlah konsekuensi apapun yang kalian inginkan kepadaku. Aku akan menerimanya, kecuali jengot dan aurat” [Al-’Awaashim minal-Qawaashim oleh Al-Qadli Abu Bakr bin Al-’Arabiy, hal. 209-210, tahqiq : Dr. Ammar Thalibi].
Beberapa ulama telah membantah ’khabaruts-tsiqaat’ ini. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyahrahimahullah berkata :
وما نقله عنه أبو بكر بن العربي في العواصم كذب عليه عن مجهول لم يذكره أبو بكر وهو من الكذب عليه
”Dan apa-apa yang dinukil dari Abu Ya’la oleh Abu Bakr bin Al-’Arabiy dalam kitab Al-’Awaashim adalah satu kedustaan terhadapnya. Nukilan ini berasal dari seorang yangmajhul (tidak diketahui identitasnya) yang tidak disebutkan namanya oleh Abu Bakr (bin Al-’Arabiy). Perkataan ini termasuk kedustaan terhadap Al-Qadli Abu Ya’la” [Dar’ut-Ta’aarudl Al-’Aql wan-Naql oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, 5/238, tahqiq : ’Abdul-Lathif bin ’Abdirrahman; Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. Thn. 1417].
Al-Qadli Ibnul-’Arabiy adalah seorang tsiqah. Yang mengkhabarkan kepada beliau pun dikatakan olehnya (Ibnul-’Arabiy) juga sebagai seorang yang tsiqah.[4] Namun pengkhabaran ini tidak diterima oleh Syaikhul-Islam karena apa yang tampak oleh beliau dari perkataan-perkataan Al-Qadli Abu Ya’la dalam kitab-kitabnya sama sekali tidak menunjukkan tuduhan itu. Syaikhul-Islam tidak menerimanya walaupun Ibnul-’Arabiy telah menegaskan bahwa khabar itu diperolehnya dari salah seorang gurunya yang terpercaya. Al-Qadli Abu Ya’la mengatakan bahwa ia sering difitnah karena ’aqidahnya yang lurus mengenai shifat-shifat Allah yang menolak ta’wil (yang bathil) ala Asyaa’irah, dimana musuh-musuhnya berkata : ”Dalam kitab tersebut (yaitu kitab Ibthaalut-Ta’wiil), ia telah menyebutkan bab kelamin, dua buah pelir, mulut, jenggot, kepala, bulu dada, rambut, sandal sharrarah, naik keledai, berjalan di pasar, dan bahwa Dia menciptakan diri-Nya dari keringat kuda, dan yang lain-lainnya”. Beliau mengatakan bahwa apa yang dikatakan musuh-musuhnya tentang dirinya hanyalah kedustaan dan kebohongan belaka [lihat selengkapnya dalam Ibthaalut-Ta’wiil, hal. 187/A].
Oleh karena itulah – sekali lagi – Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah menolak khabaruts-tsiqaat-nya Al-Qadli Ibnul-’Arabiy rahimahumallah. Yaitu dengan alasan-alasan yang menurut sisi pandang beliau cukup kuat.
Jika demikian, bukankah hal itu di jaman sekarang masih berlaku ? Apalagi jaman sekarang didominasi oleh para muqallid yang miskin ilmu ?[5] Jaman dimana banyak tuduhan tidak mempunyai sisi pandang yang dianggap.
Contoh lain lagi,….. Kita ambil contoh kontemporer. Misalnya perbedaan pandangan mengenai status Asy-Syaikh Rasyid Ridla rahimahullah. Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy rahimahullah[6] dan banyak di antara murid-muridnya menganggap bahwa Asy-Syaikh Rasyid Ridla bukan Ahlus-Sunnah. Bahkan ia dianggap seorang Mu’taziliy (berpemahaman Mu’tazillah). Namun di sisi lain, Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin, dan jumhur ulama muta’akhkhirin lainnya menganggapnya masih sebagai ulama Ahlus-Sunnah (yang terjatuh dalam kesalahan dalam ijtihad). Sampai sini tidak terlalu masalah bagi kita. Namun datanglah kemudian sebagian muqallid yang menjadikan perbedaan pandangan tersebut sebagai asas saling cela terhadap sesama. Allaahul-Musta’aan…… Dan yang lainnya.[7]
Sungguh sangat menyedihkan perilaku orang-orang belakangan ini. Mereka menjadikan sempit apa yang sebenarnya luas bagi kaum muslimin (Ahlus-Sunnah). Sikap keras (baca : sok keras) yang mereka ada-adakan adalah wujud dari sikap tidak mau melihat realitas perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jika mereka membahas fiqh murni, bahasan perbedaan pendapat (khilaf ijtihadiyyah) ini ada mereka tampilkan. Tapi giliran membahasal-jarh wat-ta’dil – terutama dalam kasus kontemporer – bahasan ini menjadi lenyap bagai tertelan bumi. Padahal kedudukan dua hal ini adalah sama. Mereka menginginkan bahwa penyelisihan (khilaf) yang pantas diberikan pemakluman padanya adalah penyelisihan yang terjadi di kalangan orang-orang tertentu saja, terutama pihak-pihak yang mereka tokohkan. Namun jika penyelisihan itu terjadi pada orang-orang tidak mereka kehendaki, maka penyelisihan itu mereka anggap seakan-akan merupakan penyelisihan terhadap nash atau ijma’ yang tidak diberikan ruang pemakluman. Hal itu diperparah dengan sikap menyembunyikan fakta karena mengikuti hawa nafsu.[8]
Kedangkalan penyikapan itu juga dikarenakan oleh sebab akut mereka yang tidak bisa membedakan antara perselisihan yang lahir dari penyimpangan prinsip ilmu dengan perselisihan yang lahir dari perbedaan memandang realitas.[9] Dalam hal ushul ilmu, mereka (para ulama Ahlus-Sunnah) tidak berbedalah berbeda. Mereka semua sama dalam hal ushul-ilmu tentang kewajiban memegang manhaj salaf, membenci sikap hizbiyyah dan orang-orang hizbiyyin, serta membenci perpecahan dan mencintai persatuan (dengan dasar ’aqidah dan manhaj). Perselisihan mereka (terutama dalam masalah al-jarh wat-ta’dil) adalah perselisihan tentang jenis kesalahan tertentu yang telah dilakukan oleh seorang ulama apakah cukup membuatnya keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah atau tidak ? Jika perselisihannya adalah dalam perkara ini, maka tidak seharusnya menjadi sebab tafaarruq di kalangan Ahlus-Sunnah !!
Semoga kita terhindar dari berbagai macam fitnah dan bukan termasuk orang yang menjadikan fitnah yang ada bertambah besar. Hanya kepada Allah lah kita mengadu dan memohon pertolongan. Wallaahu a’lam.
Abul-Jauzaa’ – Ciomas Permai.
NB : Apa yang saya tuliskan di sini bukan hendak mendeskreditkan beberapa ulama yang disebutkan dalam tulisan ini. Kita mencintai Asy-Syaikh ’Abdul-Muhsin, Asy-Syaikh Al-Fauzan, Asy-Syaikh Rabi’, Asy-Syaikh ’Ubaid, Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri, Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi, Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy, Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy, dan yang semisal dengan mereka. Mereka semua adalah ulama Ahlus-Sunnah yang kita cintai. Kita tidak memilih-milih salah seorang pun di antara mereka dengan meninggalkan yang lainnya.
Selain itu, apa yang saya tulis hanyalah buih tambahan atau bahkan pengulangan dari apa yang telah ditulis oleh al-akh Abu Salma dalam blognya.
[1] Al-‘Iraqiy berkata :
المشهور قبول حديث ابن إسحق إلا أنه مدلس فإذا صرّح بالتحديث كان حديثه مقبولا
”Menurut pendapat yang masyhur bahwa hadits riwayat Ibnu Ishaq dapat diterima, meskipun ia seorang perawi yang mudallis. Apabila telah ada penegasan yang jelas (tentang penyimakannya), maka haditsnya dapat diterima” [Tharhut-Tatsrib Syarh At-Taqrib oleh Al-‘Iraqi, 8/72].
[2] Ibnu Hajar berkata :
ما ينفرد به وإن لم يبلغ الصحيح فهو في درجة الحسن إذا صرح بالتحديث….وإنما يصحح له من لا يفرق بين الصحيح والحسن، ويجعل كل ما يصلح للحجة صحيحا، وهذه طريقة ابن حبان ومن ذكر معه
”Selama ia tidak bersendirian (dalam meriwayatkan hadits), meskipun tidak sampai pada derajat hadits shahih, namun merupakan hadits yang berderajat hasan dengan syarat ada penegasan penyimakan haditsnya…….. Dan yang menganggap shahih haditsnya hanyalah orang yang tidak bisa membedakan antara hadits shahih dan hadits hasan, dan orang yang menganggap semua hal yang baik untuk hujjah disebut hadits shahih. Itulah anggapan Ibnu Hibban dan kawan-kawannya” [Fathul-Baari oleh Ibnu Hajar 11/163].
[3] Sebagaimana pendapat muta’akhkhirin yang mengharuskan menerima khabaruts-tsiqaat secara mutlak tanpa boleh ada penyelisihan, walaupun penyelisihan itu mempunyai qarinah yang cukup kuat.
[4] Ditunjukkan oleh perkataan Ibnul-‘Arabiy : “ Di antara syaikh (guru)-ku yang terpercaya telah mengkhabarkan kepadaku”.
[5] Menyedihkannya, itu terjadi pada orang-orang yang mengklaim dirinya di atas manhaj salaf – padahal ia sangat jauh darinya. Yaitu, ketika salah seorang ustadz mengatakan bahwa si Fulan itu hizbiy atau surury, maka para muqallid ramai-ramai membeonya. Mereka (para muqalliduun) tersebut tidak menghendaki satu pun ruang toleransi kepada saudaranya (yang sama-sama seperti dirinya yang ingin meniti manhaj salaf, manhaj Ahlus-Sunnah). Ia tidak mentolerir sama sekali dengan adanya kemungkinan alasan bahwa apa yang dilihat oleh saudaranya terhadap si Fulan tersebut tidak sesuai dengan dakwaannya. Padahal, apa yang dilihat oleh saudaranya itu, si Fulan bukanlah hizbiy, bukan pula sururiy. Tragisnya, diberlakukanlah kemudian kaidah yang buruk oleh mereka : ”Barangsiapa yang tidak bersama kami, maka ia menjadi musuh kami” (wa man laisa ma’anaa fahuwa ’alainaa). Para muqalliduun itupun akhirnya men-tahdzir dan meng-hajr saudaranya yang Ahlus-Sunnah secara mutlak, baik yang pandai sampai yang masih bodoh, baik yang mengetahui permasalahannya sampai yang baru belajar mengaji gak tahu apa-apa.Semua diperlakukan ’sama’ hanya karena punya ’koneksi’ dengan si Fulan. Paramuqalliduun itu men-tahdzir dan meng-hajr berdasarkan igauan, bukan dengan ilmu………
[6] Lihat dalam kitab beliau yang berjudul : Rudud Ahlil-‘Ilmi ‘alath-Thaa’iniin fii Hadits As-Sihri wa Bayaani Bu’di Muhammad Rasyid Ridlaa ’anis-Salafiyyah.
[7] Misalnya : Perbedaan pandangan antara Asy-Syaikh Al-Albani dan jumhur ulama dengan Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri (dan yang sepakat dengan beliau) mengenai Al-’Izz bin ’Abdis-Salaam rahimahullah, perbedaan pandangan jumhur ulamamuta’akhkhirin dengan Asy-Syaikh Muqbil mengenai status Abu Hanifah rahimahullah, dan yang lainnya.
[8] Seperti misal saudara-saudara kita yang ghuluw di Inggris dan Amerika yang menjalankan situs salafipublication, salafitalk, troid, dan yang lainnya. Ketika ada permasalahan antara Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy dengan Dr. Ahmad Bazmul, dengan serta merta mereka mem-blow up permasalahan tersebut dan ikut bicara memperkeruh keadaan. Dulu, mereka menyebut Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy sebagai Al-’Allamah Al-Muhaddits. Namun setelah muncul permasalahan yang berkaitan dengan Asy-Syaikh Abul-Hasan Al-Ma’ribiy, maka ’status’ Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy turun menjadi sekedar thaalibul-’ilmi. Mereka menurunkan ’status’ Asy-Syaikh ’Ali karena beliau tidak menganggap Abul-Hasan Al-Ma’ribiy sebagai seorang mubtadi’ (namun masih seorang ulama Ahlus-Sunnah yang telah terjatuh dalam sebagian kesalahan). Beliau (Syaikh ’Ali) tidak sendirian dalam hal ini. Asy-Syaikh ’Abdul-Muhsin Al-’Abbad bersama beberapa ulama yang lain pun tidak jauh berbeda dengan posisi beliau dalam hal ini. Namun di sisi lain, sebagian masyaikh (seperti Asy-Syaikh Rabi’, Asy-Syaikh ’Ubaid, Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri, dan yang lainnya hafidhahumullah) menganggap Abul-Hasan sebagai seorang mubtadi’ yang keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah. Mereka (para muqalliduun) belum begitu mencela Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy karena Asy-Syaikh Rabi’ pernah melarangnya. Begitu pula Dr. Muhammad bin ’Umar Bazmul sangat menghormati beliau (hingga saat ini). Namun ketika Asy-Syaikh ’Ali menuliskan sebuah risalah (kitab) – yang kemudian mereka anggap sebagai satu pembelaan terhadap mubtadi’ –, yang tidak lama kemudian ditindaklanjuti dengan bantahan yang dikeluarkan oleh Dr. Ahmad Bazmul dan Abu ’Abdirrahman Sa’d Az-Za’tiriy; maka status Asy-Syaikh ’Ali pun turun lagi dari thaalibul-’ilm menjadi : bukan apa-apa (baca : bukan ’ulama). Mereka tidak menganggap bahwa perselisihan ini adalah perselisihan di antara ahlul-ilmi yang harus disikapi dengan bijak. Perselisihan itu merupakan perselisihan antara Ahlus-Sunnah dengan Ahlus-Sunnah dalam sebagian perkara ijtihadiyyah.
Lucunya,…. di sisi lain mereka ’menyembunyikan’ fakta adanya perselisihan antara Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri dengan Asy-Syaikh ’Ubaid Al-Jabiriy. Bahkan salah seorang di antara keduanya sampai mengatakan bahwa yang lainnya bukanlah ulama. Mereka juga menyembunyikan fakta kritikan Asy-Syaikh Al-Ghudayan kepada Asy-Syaikh Rabi’ (dan juga Asy-Syaikh ’Ali) tentang permasalahan irja’ (walaupun kritikan ini juga perlu dicermati lebih lanjut). Mereka diam saja seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Lebih lucu dari yang sebelumnya,…… ketika Asy-Syaikh ’Abdul-Muhsin Al-’Abbad menulis kitab Ar-Rifqan – dimana kitab ini dipuji oleh Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy sebagai kitab yang sangat bagus (karena kitab ini mengkritik perilaku sebagian orang yangsok keras yang menerapkan tahdzir dan hajr secara serampangan yang dengan itu menimbulkan perpecahan di kalangan Ahlus-Sunnah) – Fauziy Al-Bahrainiy menulis satu bantahan untuk kitab ini (sekaligus penulisnya). Untuk menguatkan kritikan ini, ditulislah beberapa ’pujian’ yang kira-kira dapat mengangkat status Fauziy Al-Bahrainiy (termasuk pernyataan bahwa ia adalah murid Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaiminrahimahullah). Ketika kritikan itu beredar, maka mengalirlah pembelaan dari beberapa ulama Ahlus-Sunnah yang mu’tabar seperti Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Asy-Syaikh ’Abdus-Salam bin Barjas, dan yang lainnya terhadap kitab Ar-Rifqan dan penulisnya. Pembelaan ini belumlah dianggap oleh mereka. Namun ketika Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhaliy telah angkat bicara men-tahdzir Fauziy Al-Bahrainiy, maka mereka baru ikut men-tahdzir Fauzi Al-Bahrainiy. Mereka anggap sepi – seakan-akan tidak terjadi apa-apa – terhadap apa yang telah mereka lakukan dulu dalam hal pembelaannya terhadap Fauzi Al-Bahrainiy dan dukungan mereka atas kritikan terhadap Asy-Syaikh ’Abdul-Muhsin Al-’Abbad dengan kitab Ar-Rifqan-nya. Kasus yang sama dengan Fauzi Al-Bahrainiy terjadi pada Falih Al-Harbiy. Begitulah mereka………
Dan ini yang paling lucu dari yang sebelum-sebelumnya….. ketika dulu Asy-Syaikh Abul-Hasan Al-Ma’ribi belum ramai dibicarakan, maka ia dianggap salah satu murid Asy-Syaikh Muqbil yang paling pandai dan unggul dalam ilmu hadits. Bisa dikatakan, tidak ada (jarang) ditemukan diantara murid Asy-Syaikh Muqbil yang dapat mengungguli Abul-Hasan Al-Ma’ribi dalam ilmu hadits. Namun ketika fitnah menerpanya, maka ia bukan lagi apa-apa. Ia tidak lagi dipandang sebagai seorang ulama hadits. Ilmu hadits yang beliau kuasai (dan pernah mereka akui) menjadi ’hilang’ karena adanya fitnah – padahal para ulama belum ittifaq dalam hal tabdi’terhadap Abul-Hasan. Pernyataan bahwa Abul-Hasan merupakan salah satu murid terbaik Asy-Syaikh Muqbil dalam ilmu hadits pun lenyap tak berbekas. Kritikan dan kebencian mereka itu membabi buta. Tidak objektif dan proporsional lagi. Persis seperti hilangnya status ’muhaddits’ kepada Asy-Syaikh ’Ali sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Begitulah mereka………… [lha wong yang namanya Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth saja masih diakui sebagai seorang muhaddits oleh para ulama walau beliau ini banyak terjatuh dalam kesalahan ta’wil Asya’irah dalam permasalahan shifat Allah – baca kitab : Istidraak wa Ta’qiib ’alasy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth fii Ta’wiilihi Ba’dli Ahaaditsish-Shifaat oleh Khaalid bin ’Abdirrahman Asy-Syaayi’, qara-ahu wa ’allaqa ’alaihi : Asy-Syaikh Ibnu Baaz].
Sayangnya,….. kelakuan orang-orang yang ghulluw dari daratan Inggris dan Amerika ini diikuti oleh sebagian orang-orang Indonesia. Khususnya – perlu saya sebutkan – adalah pemilik blog tukpencarialhaq.wordpress. Tidak ragu bagi saya untuk mengatakan bahwa pengelola blog ini adalah orang bodoh, sebagaimana diakui oleh Al-Ustadz ’Abdul-Mu’thi (yang notabene adalah salah seorang ustadz yang menjadi garis ilmu orang tersebut).
[9] Satu kaidah mengatakan : { التفريق في مواضع الخلاف بين ماكان مرده إلى المنازعة في الأصول العلمية وبين ماكان مرده إلى التفاوت في تقدير الواقع} ”Membedakan antara khilaf yang timbul dari penyimpangan ushul ’ilmiyyah dengan khilaf yang timbul dari perbedaan memandang realitas”.
Ketidakpahaman akan hal ini menyebabkan mereka mencela seseorang (ulama) yang sebenarnya tidak pantas untuk dicela. Misalnya saja mereka mencela Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid atau Asy-Syaikh Ibnu Jibrin yang dianggap cenderung membela Sayyid Quthb. Permasalahannya adalah jelas. Dalam hal prinsip ilmu, maka Asy-Syaikh Bakr bin ’Abdillah Abu Zaid dan Asy-Syaikh Ibnu Jibrin tidaklah berbeda dengan para masyaikh lainya (seperti misal : Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhaliy). Dan mereka sangatlah berbeda dengan Sayyid Quthb dalam hal prinsip ilmu (baik dalam ’aqidah dan manhaj secara umum). Perbedaan di antara para ulama tersebut berkisar apakah kesalahan Sayyid Quthb itu cukup mengeluarkannya dari lingkaran Ahlus-Sunnah. Selain itu, perbedaan itu juga disebabkan perbedaan kedalaman telaahan realitas terhadap karya-karya Sayyid Quthb. Tidak diragukan lagi bahwa dalam hal ini Asy-Syaikh Rabi’ lebih mendekati kebenaran dibandingkan yang lainnya. Namun bukan berarti dengan hal ini kita boleh seenaknya mencela Asy-Syaikh Bakr dan Asy-Syaikh Ibnu Jibrin dengan perkataan-perkataan yang tidak layak seperti : Quthbiyyun, bukan ulama, pendukung hizbiyyin, dan yang sejenisnya. Mereka semua kita cintai dan kita dudukkan sebagaimana kedudukan yang semestinya sebagai seorang ahli ilmu.
lihat COMMENTS 8 COMMENTS

JARH WA TA’DIL SALAH KAPRAH
Jarh wa Ta’dil Pada Masa Lampau dan Sekarang
oleh al-Allamah asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad (Hafidhahullah)
JARH WA TA’DIL ADALAH MASALAH IJTIHADIYAH
NASEHAT AL-‘ALLÂMAH ‘ABDULLÂH AL-MUTHLAQ