Pengantar
Satu hari pada pengujung tahun 2006, di
Shan’a, ibukota Republik Yaman. Seorang pemuda Indonesia duduk di sebuah rumah
makan menunggu jamuan makan siang dihidangkan. Saat itu, tiba-tiba seorang
warga Yaman duduk di hadapan pemuda tadi
dan mengajak berbincang.
Kala warga Yaman itu mengetahui bahwa
pemuda yang diajak berbincang adalah penuntut ilmu di Dammaj, Sha’dah, ia
langsung menyebut nama Asy-Syaikh Muqbil. “Asy-Syaikh Muqbil pencela ulama,”
katanya seraya menampakkan ketidaksukaan.
Melihat sikap tidak terpuji dari lawan
bicaranya, pemuda Indonesia itu menjawab tegas, “Ya, benar. Asy-Syaikh Muqbil
seorang pencela ulama. Ulama su’ (buruk).”
Peristiwa tersebut menggambarkan sosok
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al- Wadi’i rahimahullah begitu dikenal di tengah
masyarakat Yaman. Beliau dikenal karena sikap lurusnya dalam menyampaikan
dakwah al-haq. Tegas mengutarakan kebenaran dan menolak kebatilan.
Tak mengherankan bila kalangan pelaku dan
pengusung kebatilan pun gerah karenanya. Hati mereka terbakar. Lantas,
karenanya mereka menunjukkan kebencian dan permusuhan.
Itulah tabiat dakwah. Pertarungan antara
bala tentara Allah melawan barisan setan senantiasa berkecamuk. Ketika
kebenaran disampaikan secara lantang, setan beserta kaki tangannya tak tinggal
diam. Mereka bergerak menebar beragam syubhat dan syahwat. Berupaya menghadang,
menjegal, menggelincirkan setiap hamba-Nya dari jalan yang lurus.
Itu telah tergambar melalui firman Allah
subhanahu wa ta’ala berikut.
قَالَ فَبِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأَقۡعُدَنَّ
لَهُمۡ صِرَٰطَكَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ١٦ ثُمَّ لَأٓتِيَنَّهُم مِّنۢ بَيۡنِ
أَيۡدِيهِمۡ وَمِنۡ خَلۡفِهِمۡ وَعَنۡ أَيۡمَٰنِهِمۡ وَعَن شَمَآئِلِهِمۡۖ وَلَا
تَجِدُ أَكۡثَرَهُمۡ شَٰكِرِينَ ١٧
(Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah
nyatakan aku sesat, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang
lurus. Kemudian aku pasti akan datangi mereka dari depan dan belakang, dari
kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka
bersyukur.” (al-A’raf: 16-17)
Iblis beserta bala tentaranya dari
kalangan jin dan manusia akan terus menerus menjauhkan dari al-haq. Dalam
sebuah hadits qudsi disebutkan.
إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ
وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ
“Sesungguhnya Aku telah menciptakan
hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus (bertauhid) seluruhnya. Lantas para setan
mendatangi mereka. Kemudian (para setan berusaha) menggelincirkan mereka dari
agamanya.” (HR. Muslim, no. 2875, dari ‘Iyadh bin Himar al-Mujasyi’i)
Asy-Syaikh Muqbil tak akan tinggal diam
manakala kebatilan menyeruak di tengah umat. Asy-Syaikh Muqbil berbicara tegas
saat Abdul Majid az-Zindani menebar kebatilan. Pemikiran az-Zindani yang
menjerumuskan umat untuk melaksanakan pemilihan umum sebagai wujud sistem
demokrasi, bahkan melegalkan para wanita terjun ke dunia politik, langsung
mendapat tanggapan dari beliau.
Asy-Syaikh Muqbil menjelaskan letak
ketidakbenaran sistem demokrasi; dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.
“Demokrasi mengandung paham, bahwa rakyat menghukumi dirinya oleh dirinya.
Andai suara yang mendukung penghalalan liwath (homoseksual) itu menang, niscaya
hasil suara itu yang didahulukan dari al-Kitab dan as-Sunnah,” tegas Asy-Syaikh
Muqbil. (Tuhfah al-Mujib, hlm. 431)
Abdul Majid az-Zindani, menurut sebagian
masyarakat Yaman, termasuk orang yang dikategorikan sebagai ulama. Namun, di
hadapan Asy-Syaikh Muqbil, az-Zindani dinyatakan sebagai orang yang membawa
pemahaman sesat. Karena itu, asy-Syaikh Muqbil memperingatkan umat dari
orang-orang semacam itu.
tanda-seru-dan-tanya
Kata asy-Syaikh Muqbil rahimahullah,
“Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala telah meninggikan derajat para ulama dan
meninggikan kedudukan mereka, sungguh Allah subhanahu wa ta’ala telah
merendahkan pula para ulama su’ (buruk) dan menelanjangi kebusukan-kebusukannya.”
Siapakah ulama su’ itu?
Kata Asy-Syaikh lebih lanjut, “Ulama su’
adalah orang-orang yang menyelewengkan fatwa-fatwa (sehingga) selaras dengan
hawa nafsu masyarakat dan penguasa. Jika keadaan ulama seperti itu, wajib
mentahdzir (memperingatkan) dan menjauhkan umat dari para ulama su’ tersebut.”
(Tuhfah al-Mujib, hlm. 420)
Itulah sikap tegas beliau rahimahullah.
Bagi orang-orang yang terjangkiti penyakit di dalam hatinya, sikap lurus
selaras al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman salaf, dipersepsikan sebagai
bentuk celaan, tidak diterima sebagai bentuk nasihat dan kritik yang membangun.
Semestinya, sikap tersebut disambut dengan penuh lapang dada dan disusul dengan
bersegera rujuk serta bertobat.
Keadaan Yaman
Selama kurang lebih tiga abad, masyarakat
Yaman sebagian memeluk mazhab Malikiyah dan sebagian lainnya menganut mazhab
Hanafiyah.
Sekira akhir tahun 280 H, al-Hadi Yahya
bin al-Husein, seorang da’i Syiah dan Mu’tazilah, masuk Yaman. Ia beserta dua
rekannya, Ja’far bin Ahmad bin Abdis Salam al-Bahluli dan Zaid bin al-Hasan
al-Baihaqi, menyebarkan pemahaman bid’ah.
Selama kurang lebih seribu tahun
pemahaman Syiah merambah keyakinan masyarakat Yaman. Kegelapan demi kegelapan
mencengkeram. Yaman menjadi lahan subur bagi dakwah Syiah. Pemahaman Syiah pun
mendarah daging dalam tubuh umat.
Inilah masa kelabu bagi masyarakat.
Beragam khurafat bergayut di tubuh masyarakat. Bermacam bidah melilit kuat di
sekujur umat. Taqdis (menyucikan) ahlul bait serta menanamkan sikap berlebihan
padanya terus dijejalkan. Termasuk juga tradisi penyembahan terhadap kubur
selalu disuntikkan ke benak umat.
Semua itu—serta beragam bidah dan
khurafat lainnya—menjadi pemandangan yang kerap ditemukan di Yaman. Negeri Arab
di selatan jazirah itu gulita. Tiada kemilau sunnah secercah pun. Pekat
menghitam.
Yaman pernah pula di bawah kekuasaan
Daulah Utsmaniyah dan Inggris. Keduanya memperebutkan wilayah kekuasaan hingga
akhirnya Yaman terpilah. Pada 1914 Yaman dibagi: bagian selatan dan timur
dikuasai Inggris sedang bagian utara dan barat dalam kekuasaan Turki Utsmani.
Pada 1967 Yaman bagian selatan
dimerdekakan. Sejak itu Yaman selatan terlepas dari koloni negara asing. Bagian
selatan diwarnai komunis, Yaman utara diwarnai Syiah. Di wilayah selatan
ditanamkan pemikiran Karl Marx bahwa agama itu candu masyarakat, sedangkan di
utara ditanamkan beragam bidah dan khurafat.
Dari sisi keagamaan, penduduk Yaman
diwarnai pemahaman Syiah Zaidiyah. Sejak mulai penyebarannya –dan hingga kini–
mereka membangun basis pemahamannya di Sha’dah. Namun, keadaan sekarang sudah
jauh berubah. Warna Zaidiyah memupus dan warna Syiah Rafidhah menguat. Generasi
pascarevolusi Syiah di Iran memberi warna yang sangat kental terhadap
perkembangan Syiah Rafidhah di Yaman.
Polesan Syiah Rafidhah tidak lepas dari
peran Badruddin al-Hutsi, seorang penganut Syiah Zaidiyah Jarudiyah ekstrem.
Melalui Badruddin al-Hutsi—di antaranya—dan anak-anaknya, yaitu Husein
Badruddin al-Hutsi dan Abdul Malik Badruddin al-Hutsi, ikatan dengan negara
Syiah Iran semakin intens dan kuat. Berbagai bantuan; dana, senjata, tenaga
instruktur, dan logistik terus dikucurkan dari Iran. Termasuk pelatihan dan
pengiriman pelajar dan pemuda Yaman ke negeri Syiah. Semua ini membangkitkan
semangat untuk meledakkan revolusi guna mendirikan negara Syiah di selatan
Jazirah Arab.
Adapun para penganut Yahudi di Yaman
berada di daerah Raidah, Sha’dah. Secara jumlah populasi, penganut Yahudi di
Yaman sedikit. Jumlah mereka di Yaman mengalami penurunan drastis. Sebab,
kebanyakan mereka melakukan eksodus ke Palestina setelah negara Zionis
mencaplok tanah Palestina.
Sejak zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam, komunitas Yahudi sudah menetap di Yaman. Saat sahabat mulia,
Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu, hendak diutus berdakwah ke Yaman, di antara
wasiat yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam adalah
penjelasan tentang orang-orang yang akan didakwahi. Siapakah mereka? Tak lain
adalah orang-orang ahlul kitab.
Para penganut Sufi di Yaman banyak
mendiami wilayah Hadramaut. Mereka memiliki tempat rujukan yang dikenal sebagai
Darul Musthafa, sebuah tempat pembelajaran sekaligus pusat dakwah kaum Sufi.
Darul Musthafa terletak di daerah Tarim, Hadramaut. Dan Umar bin Salim bin
Hafidz adalah salah seorang penting bagi kalangan penganut Sufi. Di tempat
itulah kaderisasi Sufi berlangsung.
Penanaman berbagai pemahaman yang
menyelisihi pemahaman salaf dilakukan di tempat tersebut. Tidak sedikit
orang-orang Indonesia yang datang ke tempat tersebut untuk menggali pemahaman
sufi. Setelah kembali ke Indonesia, mereka menyebarkan paham sufi ke tengah
masyarakat.
Pemahaman Sufi masuk ke Yaman dibawa oleh
kalangan Alawiyin dari wilayah Tarim. Di antara pemukanya ialah Abdullah bin
Ahmad bin Isa al-Muhajir, yang ayahnya adalah seorang penganut Syiah Imamiyah.
Selain Syiah, Yahudi, Sufi, di Yaman pun masih terdapat para penganut komunis
dan Nasrani.
Sosok Asy-Syaikh Muqbil
Bagi kalangan penuntut ilmu, nama
asy-Syaikh Muqbil rahimahullah termasuk nama yang dekat di hati. Banyak upaya
yang telah beliau perbuat untuk umat. Khususnya untuk dakwah Ahlus Sunnah wal
Jamaah. Tak semata di Yaman, tetapi juga di segenap penjuru bumi.
Beliau termasuk figur yang berdedikasi
dalam menyebarkan pemahaman salaful ummah. Kesehariannya selalu diisi dengan
taklim, ibadah, dan beramal kebajikan. Beliau lahir di Dammaj, sebuah daerah
yang terletak sebelah tenggara kota Sha’dah. Jarak antara Dammaj-Sha’dah sekira
9 km. Adapun Sha’dah-Shan’a berjarak kurang lebih 250 km.
Dammaj merupakan daerah subur. Daerah
yang dilalui sebuah wadi (lembah). Apabila hujan lebat mengguyur Dammaj dan
area seputar Bukit Baros, air meluap mengalir di lembah tersebut. Sebuah
pemandangan langka kala lembah yang memanjang membelah Dammaj itu dialiri air
deras meluap.
Kehidupan masyarakat Dammaj kebanyakan
dari bercocok tanam dan beternak. Di antara hasil pertanian yang menonjol
adalah anggur hitam yang sangat manis. Bila musim tanam, sejauh mata memandang
diliputi warna hijau daun. Seakan dibentangkan karpet hijau di tengah padang
pasir yang dikitari gunung bebatuan. Dammaj menyimpan berjuta kenangan. Manis
getir terpatri dalam sanubari.
Di Dammaj, Allah subhanahu wa ta’ala
takdirkan lahir seorang bayi laki-laki. Bayi itu diberi nama Muqbil.
Lengkapnya, Muqbil bin Hadi bin Muqbil bin Qaidah al-Hamdani al-Wadi’i
al-Khilali dari kabilah (suku) Alu Rasyid.
Asy-Syaikh adalah seorang
berkewarganegaraan Yaman, seorang Yamani. Wadi’i merupakan nisbah yang
disematkan kepada penduduk yang tinggal di Dammaj dari Hamdan, Sha’dah.
Hamdani adalah asalnya. Lalu disebut
Dammaji terkait tanah kelahirannya. Adapun nama kuniahnya adalah Abu
Abdirrahman.
Beliau rahimahullah memiliki tiga istri,
yaitu Ummu Abdirrahman al-Wadi’iyah (wafat mendahului beliau), Ummu Syu’aib
al-Wadi’iyah, dan Ummu Salamah al-Umraniyah.
Dari istri pertama, Ummu Abdirrahman
al-Wadi’iyah, dikaruniai dua orang putri, yaitu Ummu Abdillah al-Wadi’iyah atau
dikenal juga dengan sebutan Bintu asy-Syaikh dan Ummu Ayub al-Wadi’iyah.
Tidak diketahui secara pasti tanggal dan tahun
kelahiran beliau rahimahullah. Pada tahun 1420 H, beliau pernah mengungkapkan
perihal usianya. “Dulu ayah kami tak pernah memerhatikan perihal tanggal
kelahiran. Umur saya (sekarang) antara 65, 66, atau 67 tahun.”
Usia hidup beliau rahimahullah sungguh
diberkahi. Waktu-waktu beliau tidak pernah keluar dari masalah keilmuan,
pembelajaran, memberikan nasihat, menulis, berzikir dan memurajaah. Tak ada
waktu tersisa yang kosong. Tidaklah asy-Syaikh rahimahullah masuk ke dalam
urusan dunia kecuali urusan tersebut mendatangkan manfaat bagi dakwah dan bisa
menepis bahaya terhadap dakwah.
Beberapa Akhlak Terpuji
Beliau memiliki sikap tawadhu’ (rendah
hati), tak tinggi hati, dan tak merasa paling berilmu. Dalam sebagian
perjalanan (rihlah), seringkali sikap tawadhu itu muncul.
Satu hari, saat kami menempuh perjalanan
bersama asy-Syaikh, terlihat seseorang yang lebih berilmu dan mencintai Sunnah
dibandingkan dengan kami. Lantas terucap dari lisan beliau, “Seandainya saya
tidak sibuk, sungguh saya hadir dalam pelajaran fulan.”
Asy-Syaikh pun kerap kali mengatakan
kepada para penuntut ilmu, “Engkau lebih mengetahui daripada diri saya.”
Kata-kata yang menunjukkan sikap rendah
hati beliau walau di hadapan para muridnya.
Sikap tawadhu itu pun terpantul dari
kemudahan beliau untuk ditemui. Tidak perlu acara protokoler resmi, tak perlu
perantara untuk menghubungi. Bila memungkinkan untuk bisa bertemu, bisa
langsung berbicara dengan Asy-Syaikh. Bisa di majelis setelah shalat atau
setelah pelajaran, bisa pula di rumah beliau, atau saat beliau keluar rumah
menuju masjid atau wadi. Begitu mudah untuk menemui asy-Syaikh.
Asy-Syaikh sangat berlapang dada menerima
al-haq walau dari orang yang paling keras permusuhannya kepada beliau. Beliau
mau mengambil sikap rujuk manakala ditemukan kesalahan pada dirinya.
Kata Asy-Syaikh, “Sungguh saya bersaksi
kepada kalian, betapa saya akan rujuk bilamana ditemukan kesalahan dalam
buku-buku karya saya, audio rekaman saya, atau dalam dakwah saya yang mengajak
kepada Allah ‘azza wa jalla. Saya rujuk dengan sepenuh jiwa yang baik lagi
tenang.”
Untuk keluarga, disediakan waktu khusus,
yaitu setelah Ashr. Asy-Syaikh mengerjakan pekerjaan rumah guna membantu
keluarganya. Kerapkali beliau menolong membelahi kayu, menggali tanah menanam
pohon, membantu memecahkan masalah keluarga, memenuhi apa yang diinginkan
keluarga, dan melayani sendiri para tamunya dari kalangan penuntut ilmu, para
da’i, dan para pemuka kabilah (suku). Beliau melayani sendiri tanpa harus
meminta bantuan. Sebuah sikap tawadhu nan luhur.
Kesabaran beliau pun laik dicontoh,
termasuk kesabaran dalam mengajar. Walau keadaan fisik tengah sakit, beliau
tetap mengajar.
Satu hari pada hari Jumat, beliau menaiki
tangga guna mengambil sebuah kitab. Tiba-tiba beliau terjatuh yang mengakibatkan
tangannya patah. Setelah mendapat perawatan dan pengobatan beliau tetap
melangsungkan pelajaran. Walau dengan tangan digantung, pelajaran tidak
terhenti, tetap lanjut. Beliau tetap mengajar.
Apabila keadaan terpaksa lantaran tubuh
beliau tak kuat, beliau tidak mengajar. Namun, beliau tetap hadir di majelis
mendengarkan pelajaran yang disampaikan pengganti asy-Syaikh. Sebuah kesabaran
yang melahirkan dedikasi yang sedemikian tinggi dalam menyampaikan ilmu dan
dakwah ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala.
Kesabaran beliau terukir pula saat
mengawali dakwah di kampung halamannya sendiri. Merintis sebuah dakwah tentu
tidak mudah. Beragam tantangan dan kendala akan menghadang. Adanya kekurangan
sarana fisik. Permusuhan dan kebencian dari orangorang sekitar. Dana yang amat
sangat terbatas.
Namun, semua itu tak lantas menjadikan
seorang penyeru kebenaran mundur lalu jatuh terkulai layu. Justru tantangan,
kendala, dan ujian menjadi pembakar semangat seraya terus bertawakal dan
memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Beliau memulai dakwah di sebuah masjid
kecil. Di masjid kecil yang hanya berdinding bata, beliau memulai pelajaran.
Dengan sarana yang teramat terbatas, beliau terus merajut benang-benang dakwah.
Mengajari penduduk kampung mengenali al-Qur’an. Menanamkan pada masyarakat
cinta terhadap sunnah rasul dan membenci bidah. Secara bertahap membangun
fondasi tauhid dan merobohkan keyakinan syirik. Padahal, di kampung halaman
beliau, pemahaman Syiah telah mendarah daging pada sebagian besar penduduk.
Atas pertolongan Allah subhanahu wa
ta’ala, dakwah yang beliau tunaikan mendapat sambutan dari berbagai kalangan,
bahkan disambut hingga ke mancanegara.
Keikhlasan serta kepedulian asy-Syaikh
untuk berjuang dalam bidang ilmiah sangat tinggi. Kecintaannya terhadap ilmu
teramat besar. Kecintaan beliau ini disertai pula semangat untuk
menyebarkannya. Semangat yang menyala itu terlukis pada sikap keseharian dalam
mengajar.
Tatkala asy-Syaikh masih menjadi
mahasiswa program pascasarjana di perguruan tinggi, tesis yang diajukan untuk
meraih gelar magister (S2) sempat disarankan oleh seorang profesor bidang
akademik untuk dipilah. Satu bagian judul pembahasan tesis diperuntukkan guna
memenuhi syarat memperoleh gelar magister (S2). Satu bagian lagi—dari tesis
tersebut—dijadikan bahan disertasi guna meraih gelar doktor (S3).
Saat itu Asy-Syaikh mengajukan tesis
untuk memperoleh gelar magister berjudul al-Ilzamat wa at-Tatabbu’ li ad
Daruquthni. Pembimbing menyarankan agar masalah al-Ilzamat dijadikan bahan
penyusunan tesis guna meraih magister. Adapun masalah at-Tatabbu’ dijadikan
bahan penyusunan disertasi guna meraih gelar doktor.
Namun, saran tersebut ditolak oleh
beliau. Berkali-kali disarankan kepada beliau untuk membaginya. Namun,
berkali-kali pula beliau menolak seraya mengucapkan, “Saya tidak memandang
ijazah.”
Itulah wujud keikhlasan beliau.
Kesungguhan dan perjuangannya dalam lapangan ilmiah tak tergiur dengan titel.
Beliau bersungguh-sungguh dalam melakukan penelitian dalam kerangka ilmiah
semata. Beliau tunaikan semuanya ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala.
Beberapa petikan potret akhlak asy-Syaikh
menunjukkan kepribadian yang luhur. Kepribadian seorang alim rabbani. Seorang
yang memiliki dedikasi tinggi dalam bidang pengajaran, dakwah, dan keumatan.
Kepribadian tanpa pamrih, sarat daya juang tinggi, penuh keikhlasan, kesabaran
dan tawakal. Itulah salah satu wajah seorang ulama Ahlu Sunnah pada masanya.
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali y
menyebutkan tentang asy-Syaikh Muqbil rahimahullah—diucapkan sehari atau dua
hari setelah asy-Syaikh Muqbil wafat, “Beliau seorang yang saleh, pakar hadits,
zuhud, wara’, dunia dan segenap hiasannya berada dalam pijakan kedua kakinya.”
“Sesungguhnya keberhasilan dakwah kita
setelah bertakwa kepada Allah, ikhlas, dan dengan ilmu yang bermanfaat,” kata
asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah. Sebuah wasiat penting dari seorang
alim rabbani bagi para da’i, penuntut ilmu dan segenap umat Islam.
Menyingkap Kebatilan Syiah
Kehadiran asy-Syaikh Muqbil rahimahullah
di Dammaj menjadikan para ahlul bidah geram dan jengkel. Kiprah dakwah beliau
langsung menusuk di jantung wilayah Sha’dah yang mayoritas penduduknya memeluk
Syiah.
Dammaj yang merupakan bagian wilayah
Sha’dah–jarak Dammaj-Sha’dah sekira 9 km– termasuk daerah basis Syiah. Banyak
di antara penduduk Dammaj memeluk paham Syiah Zaidiyah. Kebencian dan
permusuhan terhadap dakwah pun mulai bergetar. Goncangan mulai terasa.
Ketika tulisan Asy-Syaikh Muqbil
rahimahullah berjudul Riyadhu al-Jannah fi ar-Raddi ‘ala A’da’i as-Sunnah dan
ath-Thali’ah fi ar-Raddi ‘ala Ghulati asy-Syi’ah beredar di tengah masyarakat,
Badruddin bin Amiruddin al-Hutsi pun angkat pena. Badruddin al-Hutsi terbakar.
Badruddin al-Hutsi—ayah kandung Abdul
Malik al-Hutsi, pemberontak dan pembantai kaum muslimin Yaman—menulis bantahan
berjudul Tahriru al-Afkar ‘an Taqlidi al-Asyrar. Badruddin al-Hutsi yang
membangun jaringan dengan negara Syiah Iran untuk melakukan revolusi Syiah di
Yaman, merasa gerah dengan laju perkembangan dakwah asy-Syaikh Muqbil.
Dakwah Ahlus Sunnah menggeliat di
berbagai daerah di Yaman. Amanah ‘Ashimah (yang mencakup ‘Amran, adh-Dhali’,
dan Raimah), ‘Aden, Taiz, Ib, Dzammar, Syabwah, Hadhramaut, Baidha’, Mahwit,
Mahrah, Hudaidah, Jauf dan daerah lainnya telah tersentuh dakwah Ahlus Sunnah.
Perkembangan yang sedemikian pesat
menimbulkan kekhawatiran kaum Syiah. Terkhusus di wilayah Sha’dah, yang
merupakan pusat gerakan pemberontak Hutsi, keberadaan dakwah Ahlus Sunnah
merupakan ancaman. Karena itu, kaum Syiah Rafidhah dari para pemberontak Hutsi
tak segan membumihanguskan Markiz Dakwah Darul Hadits, Dammaj.
Di tengah basis kaum Syiah, asy-Syaikh
Muqbil menyuarakan kebenaran, melibas hujah batil yang menjadi keyakinan kaum
Syiah. Asy-Syaikh Muqbil menguliti satu demi satu pemahaman sesat Syiah. Beliau
singkap kebatilan Syiah. Di antaranya, masalah celaan terhadap para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam yang telah menjadi keyakinan sesat dan
menyesatkan dari kaum Syiah.
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah mengatakan
bahwa dalam masalah mencela para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salam sungguh Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ
وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ
وَرَضُواْ عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي تَحۡتَهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ
خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١٠٠
“Dan orang-orang terdahulu lagi yang pertama
(masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha
kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selamanya. Itulah kemenangan
yang agung.” (at-Taubah: 100)
Kemudian firman Allah subhanahu wa
ta’ala,
لَّقَد تَّابَ ٱللَّهُ عَلَى ٱلنَّبِيِّ
وَٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ ٱلۡعُسۡرَةِ
مِنۢ بَعۡدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٖ مِّنۡهُمۡ ثُمَّ تَابَ عَلَيۡهِمۡۚ
إِنَّهُۥ بِهِمۡ رَءُوفٞ رَّحِيمٞ ١١٧
“Sungguh, Allah telah menerima tobat
Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi pada
masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian
Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada mereka.” (at-Taubah: 117)
Karena itu, orang-orang yang mencela para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tidak termasuk dalam keutamaan
ini (sebagaimana disebutkan ayat di atas). Demikian pula orang-orang yang
mencela as-Sunnah, bosan terhadap as-Sunnah dan menyakiti Ahlus Sunnah.”
(Tuhfah al-Mujib, hlm. 17)
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah
pernah mengingatkan tentang bahaya pergerakan Syiah di Yaman. Seiring dengan
berdirinya negara Iran sebagai negara Syiah, asy-Syaikh Muqbil mengingatkan
tentang makar busuk kaum Syiah.
Kini, apa yang terjadi di Yaman,
hendaknya bisa dijadikan pelajaran. Betapa kaum Syiah akan senantiasa memusuhi,
bahkan membantai Ahlu Sunnah. Sekarang mereka senantiasa meneriakkan taqrib
(mendekatkan) antara Sunni-Syiah. Seakan-akan tidak ada perbedaan antara Sunni
dan Syi’i.
Sungguh, apa yang mereka teriakkan tak
lain karena jumlah mereka masih sedikit dan lemah. Namun, kala mereka memiliki
kekuatan, niscaya mereka akan membantai kaum muslimin. Orang-orang mulia di
seputar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, seperti sahabat Utsman bin
Affan radhiallahu ‘anhu dan cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, yaitu
al-Husain bin Ali bin Abi Thalib saja dibantai, apatah manusia biasa yang hidup
sekarang.
Allahu a’lam.
Sumber Bacaan
Tuhfah al-Mujib ‘ala As’ilah al-Hadhir wa
al-Gharib, Abi Abdirrahman Muqbil bin Hadi al-Wadi’i.
Al-Ibhaj bi at-Tarjamah al-’Allamah
al-Muhadits Abi Abdirrahman Muqbil bin Hadi al-Wadi’i wa Dar al-Hadits bi
Dammaj, Abi Ibrahim Humaid bin Qaid bin Ali al-’Utmi.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abul Faruq Ayip
Syafruddin