Monday, September 11, 2017

Indonesia : Negeri Dengan Jumlah Penduduk, Masjid Dan Pengirim Haji Terbesar Di Dunia, Dimana Organisasi Muslim Mayoritasnya Gemar Hancurkan Masjid Dan Mengusir Ustadz-Ustadz (Dakwah) Ahlus Sunnah (Istidraj). Menggugat Arogansi Parasit Oknum Penggiat Toleransi.

Hasil gambar untuk demo masjid bogor

Bhineka Tunggal Ika, kebhinekaan, pluralitas/pluralisme, dan toleransi adalah kata-kata popular yang muncul di berbagai media. Apalagi semenjak partai merah berkuasa – setelah (katanya) 10 tahun ‘puasa’[1] –, kata-kata tersebut menjadi jauh lebih sering dan nyaring. Apakah salah ?. Tidak sepenuhnya salah. Yang jadi salah (diantaranya) muncul kecondongan penafsiran kebhinekaan dalam bentuk pluralisme agama. Sebagaimana jamak diketahui, paham pluralisme sendiri sangat ditentang oleh Majelis Ulama Indonesia melaluifatwanya yang telah dirilis beberapa tahun silam.Alhamdulillah, banyak kaum muslimin Indonesia masih memegang fithrahnya menolak pluralisme agama. Banyak pula tokoh dan kiyai kita, terutama dari kalangan NU, yang memahami pluralisme hanya sekedar sikap sosial saling menghormati pemeluk agama lain tanpa meyakini eksistensi kebenaran majemuk semua agama. Hanya Islam agama yang benar. Sekali lagi, patut kita syukuri.
Tentu ada pengecualiannya dari kalangan oknum – baik individu maupun kelompok, besar atau kecil – yang menyimpang dari garis normal tersebut. Di satu sisi mereka dengungkan secara keras keberagaman dan toleransi secara eksternal, di sisi lain sangat primitif dalam masalah toleransi secara internal.
Betapa tidak ?!.
Dengan suka dan rela gereja-gereja dijaga dan diamankan, agar orang yang melakukan ibadah kesyirikan di dalamnya merasa nyaman. Sementera saya yakin mereka pernah melewati bacaan ayat Al-Qur’an:
لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ مَرۡيَمَ
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putra Maryam’” [QS. Al-Maaidah : 17 & 72].
لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ ثَالِثُ ثَلَٰثَةٖۘ وَمَا مِنۡ إِلَٰهٍ إِلَّآ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۚ وَإِن لَّمۡ يَنتَهُواْ عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah salah satu dari yang tiga, padahal sekali-kali tidak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Rabb Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih” [QS. Al-Maaidah : 73].
Dengan suka dan rela mereka melakukan doa bersama lintas agama dengan berbagai motif untuk sekedar simbol toleransi dan persatuan[2]. Mungkin saja prinsipnya‘berbeda-beda tuhan namun tetap dikabulkan jua’. Saya yakin, Anda tidak membenarkan apa yang mereka lakukan karena MUI telah mengeluarkan fatwa bid’ah dan haramnya acara tersebut dengan rincian:
1.    Doa bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan non-muslim tidak dikenal dalam Islam. Oleh karenanya, termasuk bid’ah.
2.    Doa Bersama dalam bentuk “Setiap pemuka agama berdoa secara bergiliran” maka orang Islam haram mengikuti dan mengamini doa yang dipimpin oleh non-muslim.
3.    Doa Bersamadalam bentuk “Muslim dan non-muslim berdo’a secara serentak” (misalnya mereka membaca teks doa bersama-sama) hukumnya haram.
4.    Doa Bersama dalam bentuk “Seorang non-Islam memimpin doa” maka orang Islamharam mengikuti dan mengamininya.
5.    Doa Bersama dalam bentuk “Seorang tokoh Islam memimpin doa” hukumnya mubah.
6.    Doa dalam bentuk “Setiap orang berdo’a menurut agama masing-masing” hukumnya mubah.
Bagaimanakah sikap mereka terhadap kaum muslimin yang berbeda paham dengan mereka ?. Saya ajak membaca sebagian fakta yang sempat booming:
1.    Pengambilalihan paksa Masjid As-Salam yang dikelola Muhammadiyyah (sertifikat Nomor 3 tanggal 23/9/2008 atas nama PC Muhammadiyah Cengkareng) di Cengkareng Barat (27/2/2015) yang ditindaklanjuti dengan tindakan arogan moncoret plang masjid, memaksa menggelar seremoni maulid yang dihadiri habaaib dan massa (dimana tradisi ini tidak dilaksanakan oleh Muhammadiyyah), mengganti khathib dan imam secara sepihak, dan lainnya (selengkapnya :http://sangpencerah.id/2015/02/kronologis-penyerobotan-masjid/).
Kasus ini sempat menghebohkan jagad media yang akhirnya dapat diselesaikan secara damai.
2.    Ittihadul Ma’ahid Muhammadiyah (ITMAM/Persatuan Pondok Pesantren Muhammadiyah) yang sedang mengadakan Daurah Tahfidzul-Qur’an (program dua bulan dengan target hafal 30 juz) di Karimunjawa, Jepara; dibubarkan paksa. Diantara alasannya adalah ketiadaan IMB (https://goo.gl/UHHPHk danhttps://goo.gl/R4Kj88). Memang terkesan mengada-ada (baca : dibuat agar ada), karena masjid-masjid yang dikelola NU pun banyak yang belum ber-IMB. Passionmereka hanyalah menyasar ke masjid-masjid non-NU.
3.    Mendemo dan menolak pembangunan (kembali) Masjid Imam Ahmad bin Hanbal Bogor yang telah memiliki IMB. Padahal, masjid ini telah berdiri semenjak 2001. Mungkin karena melihat celah peluang menolak masjid ketika masih berdiri kecil, maka ketika masjid dirobohkan untuk direnovasi dengan memperbaharui IMB, peluang itu ada dan tak mereka sia-siakan. ‘Cerdas’. Dengan modal hasutan (wahabi, eksklusif, bukan masjid umum, dll.), terkumpullah massa untuk melakukan demo di kantor Wali Kota (29/8/2017) yang akhirnya atas desakan itu Walikota akan membatalkan IMB Masjid Ahmad bin Hanbal yang telah diperoleh secara sah (https://goo.gl/dcG9zWhttps://goo.gl/pddQm5, dan https://goo.gl/NKz576).
4.    Perobohan dan perebutan tanah waqaf Masjid Al-Ikhlash/Baitul-Muttaqin Muhammadiyyah di Dusun Jimus, Desa Pule, Kecamatan Modo, Lamongan pada tahun 1993 oleh sekelompok warga yang merasa mayoritas. Masih di wilayah yang sama, pembangunan masjid baru Muhammadiyyah mengalami berbagai tekanan dan gangguan sebelum akhirnya dapat diresmikan pada tanggal 15 Agustus 2017 (https://goo.gl/cYQG3S dan https://goo.gl/XFS9pj).
Silakan baca kronologisnya di link ini : https://goo.gl/bbeqEM.
5.    Demo pada bulan Mei 2014 terhadap pengurus Mushalla An-Nurjannah Desa Yunyang, Kecamatan Modo, Kab. Lamongan (H. Darim) yang dikatakan ‘mendominasi’ kegiatan masjid. Para pendemo berhasil menonaktifkan H. Darim dan melarangnya menjadi imam. Padahal H. Darim hanya mengaktifkan mushalla yang selama ini cenderung vakum dan kemudian mengadakan pengajaran agama untuk warga sekitar. Kegiatan ini sudah berlangsung selama 14 tahun tanpa ada warga sekitar yang protes dan merasa terganggu. Lalu datanglah kelompok yang mengatasnamakan warga (?) yang melakukan apa yang mereka lakukan.
Setelah 2 bulan dilarang melakukan aktivitas, datang bantuan dari Yayasan Bina Muwahhidin untuk membangunkan masjid di tempat tersebut. Masjid tersebut sekarang telah berdiri dan dinamakan Masjid Jauharo Ali Muhammadiyah (https://goo.gl/sCFFjF). 
6.    Dan yang lainnya.
Ini hanya segelintir contoh yang dapat ditelusuri di internet. Yang lain masih banyak. Apalagi cerita berdasarkan pengalaman individu. Sengaja saya ambilkan mayoritas contohnya adalah kasus Muhammadiyyah vs (oknum) NU, karena lebih gampang diindera dan dibuktikan. Konflik klasik yang sudah berusia 1 abad semenjak kelahirannya.
Warga Muhammadiyyah mengakui Wahabi era dulu sangat diidentikkan dengan mereka (https://goo.gl/U814uX). Begitu juga kaum kaum tradisionalis aswaja yang dalam hal ini diwakili oleh suara Habib Munzir ketika menjawab pertanyaan kaitan Muhammadiyyah dengan Wahabi. Habib Munzir secara jelas menyatakan : “Muhammadiyyah tidaktermasuk salah satu dari Madzhab Ahlussunnah waljamaah, karena banyak hal yg mereka tentang, dan Muhammadiyyah ini hanya ada di indonesia saja, di negeri lain dikenal dengan sebutan wahabi, dan faham wahabi ini bertentangan dengan 4 Madzhab Ahlussunnah waljamaah” (https://goo.gl/K4ZUCt atau https://goo.gl/DjUY8Q). Walhasil, kaitan Muhammadiyyah dengan stigma Wahabi di sini valid karena ada statement dari objek maupun subjeknya.
Telinga kaum tradisonalis aswaja (NU) kerap memerah apabila mendeteksi sinyal 4G dakwah Wahabi Muhammadiyyah memberantas TBC, takhayyul-bid'ah-churafat. Menilik sejarahnya, tidak terlalu mengherankan karena pemicu didirikannya NU sendiri diantaranya adalah untuk menghadapi ‘Wahabisme’ yang kala itu – menurut Masdar F. Mas’udi – menguasai Arab Saudi (https://goo.gl/9HyGm7). Sentimen yang terjadi di Timur Tengah ditarik ke dalam negeri untuk mengimbangi ormas yang lebih dahulu lahir yang diklaim sebagai duplikasi Wahabi Saudi.
Konflik fisik berupa penyerangan dan pengusiran oleh oknum Aswaja (NU) yang merasa mayoritas bukan sesuatu yang aneh buat warga Muhammadiyyah. Sebagian konflik ini telah direkam dalam beberapa tulisan/penelitian akademik, diantaranya:
1.    Skripsi berjudul : KOFLIK ANTARA NU DAN MUHAMMADIYAH (1960-2002) (Studi Kasus di Wonokromo Pleret Bantul Yogyakarta) - http://digilib.uin-suka.ac.id/1084/.
2.    Skripsi berjudul : KONFLIK dan INTEGRASI : Antara Penganut NU dan Muhammadiyah di Dusun Sumber Langgeng Kel. Sumberejo, Kec. Pakal, Kota Surabaya. http://repository.unair.ac.id/18382/.
Atau konflik kaum tradisionalis aswaja versus ‘Wahabi’ versi lain, seperti Persis sebagaimana dilakukan Ayub (2011) untuk studi kasus di Kelurahan Mekarsari, Depok (http://repository.uinjkt.ac.id/).
Semakin lama, area konflik semakin melebar sehingga semua orang, kelompok, organisasi, atau ormas non-tradisional dianggap Wahabi di luar border aliran Aswaja (versi mereka). Muhammadiyyah, Persis, Al-Irsyad, dan terakhir Salafi. Objek-objek ini dianggap mengganggu eksistensi kaum tradisionalis aswaja tanah air - kaum yang menganggap diri paling moderat, Pancasilais, pro-kebhinekaan, dan toleran.
Beberapa masalah yang sering dijadikan media provokasi umat antara lain bid’ah, maulid, tahlil, yasinan, qunut Shubuh, tawassul, ngalap berkah (tabaruk), istighatsah, dan beberapa budaya lokal yang dilakukan masyarakat. Mari kita sekilas melihat substansi sebagian alergen mereka:
1.    Bid’ah
Kaum tradisionalis aswaja (NU) maunya ada bid’ah hasanah – selain madzmumah - berdasarkan qaul Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah:
الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُودَةٌ، وَبِدْعَةٌ مَذْمُومَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُودٌ، وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُومٌ
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu : (1) bid’ah yang terpuji, dan (2) bid’ah yang tercela. Maka segala hal yang sesuai dengan sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah (bid’ah yang) tercela” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 9/113].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berdalil dengan perkataan ‘Umar bin Al-Khaththaabradliyallaahu ‘anhu ketika shalat tarawih di bulan Ramadlaan:
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هِيَ
“Sebaik-baik bid’ah adalah hal itu” [idem].
Adapun non-tradionalis memahami bid’ah itu semuanya tercela, tidak ada yang baik sebagaimana keumuman sabda Nabi :
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih[3]].
Juga perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan (bid'ah hasanah)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya hasan].
Mu’aadz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu:
فَإِيَّاكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلَالَةٌ
“Maka berhati-hatilah kalian dari segala sesuatu yang dibuat-buat (oleh manusia), karena sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat (bid’ah) itu adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4611; shahih].
Saya tahu kaum tradisionalis aswaja punya sanggahan. Begitu juga sebaliknya. Masing-masing punya rincian (tafshiil) dari apa yang mereka pahami.
2.    Perayaan Maulid Nabi 
Kaum tradisionalis aswaja maunya merayakan maulid Nabi  karena dianggap sunnah dan bukti kecintaan mereka kepada beliau . Diantara dalil yang mereka pergunakan adalah hadits :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " قَدِمَ النَّبِيُّ ﷺ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: مَا هَذَا؟ قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ، هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ، فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ "
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu : “Ketika Nabi  tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Aasyuuraa’. Lalu beliau  bersabda :‘Apa yang kalian lakukan ?’. Mereka (Yahudi) berkata : ‘Ini adalah hari baik. Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israaiil dari musuh mereka, lalu Muusaa pun berpuasa pada hari itu’. Beliau  bersabda : ‘Aku lebih berhak terhadap Muusaa daripada kalian’. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan (orang-orang) untuk berpuasa” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2004 dan Muslim no. 1130].
As-Suyuuthiy menukil perkataan Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniyrahimahumallah:
أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة ، ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها ، فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا ، قال : وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت وهو ما ثبت في الصحيحين
“Hukum asal peringatan maulid adalah bid’ah yang tidak ternukil dari kalangan as-salafush-shaalih yang hidup pada tiga jaman (yang pertama). Namun demikian, peringatan maulid ini mengandung kebaikan dan lawannya. Maka barangsiapa yang , jadi barangsiapa yang berusaha melakukan kebaikan dalam perayaan maulid dan menjauhi lawannya (keburukan), maka itu adalah bid’ah hasanah. Jika tidak seperti itu, maka bukan bid’ah hasanah (tidak bolehdilakukan). Dan nampak bagiku dasar pengambilannya (maulid) atas pokok yang shahih dari riwayat dalam Shahiihain…” [Al-Haawiy lil-Fataawaa].
Kemudian Al-Haafidh menyebutkan riwayat Ibnu ‘Abbaas di atas.
Adapun non-tradisionalis tidak merayakan maulid dan menganggapnya itu bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi , para shahabat, taabi’iin, dan at-baa’ut-taabi’iin dari kalangan as-salafush-shaalih – seperti dikatakan Al-Haafidh Ibnu Hajarrahimahullah di atas. Ibnul-Maajisyuun rahimahullah berkata:
سمعت مالكا يقول : "من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا"
”Aku mendengar Maalik berkata : ‘Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu’ (QS. Al-Maaidah :5). Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu di jaman Rasulullah  beserta para shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama” [Al-I’tishaam oleh Asy-Syathibi, 1/49].
Seandainya kita berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbaas, maka perbuatan yang seharusnya dilakukan adalah berpuasa, sebagaimana dilakukan Nabi  dalam riwayat tersebut. Bukan perayaan maulid Nabi .
3.    Tahlilan dan Yasinan
Konstruksi pendalilan antara tradisionalis aswaja dan non-tradisionalis dalam bab ini polanya hampir sama. Berkisar pada masalah persepsi bid’ah. Masalah menjadi runyam karena sebagian oknum tradisionalis aswaja di tingkat tapak memberikan bumbu provokasi : “Masak berdzikir membaca tahlil dan membaca Al-Qur’an dilarang ?’. Lalu merebaklah bau tak sedap : ‘Wahabi melarang berdzikir dan baca  Al-Qur’an’.
Padahal, bukan dzikir dan baca Al-Qur’annya secara umum yang dilarang non-tradisionalis, akan tetapi pelaziman kaifiyyah-nya. Kejadian ini analog dengan atsar Sa’iid bin Al-Musayyib yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq berikut:
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ أَبِي رِيَاحٍ، عَنِ ابْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ رَأَى رَجُلا يُكَرِّرُ الرُّكُوعَ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَنَهَاهُ، فَقَالَ: " يَا أَبَا مُحَمَّدٍ أَيُعَذِّبُنِي اللَّهُ عَلَى الصَّلاةِ؟ قَالَ: لا، وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلافِ السُّنَّةِ "
Dari Ats-Tsauriy, dari Abu Rayyaah, dari Ibnul-Musayyib : Bahwasannya ia (Ibnul-Musayyib) pernah melihat seorang laki-laki memperbanyak rukuknya setelah terbit fajar, lalu ia melarangnya. Laki-laki tersebut berkata : “Wahai Abu Muhammd, apakah Allah akan mengadzabku dengan sebab shalat (yang aku kerjakan)?”. Ia menjawab : “Tidak, akan tetapi Allah mengadzabmu karena menyelisihi sunnah[4]” [Al-Mushannaf 3/52 no. 4755; shahih – lihat Irwaaul-Ghaliil, 2/236].
Jadi ketika Ibnul-Musayyib mengingatkan shalat yang dilakukan laki-laki itu tidak disyari’atkan, tidak lantas disimpulkan dirinya melarang shalat secara umum. Akan tetapi yang dilarang adalah dirinya menyelisihi petunjuk Rasulullah . Melakukan apa yang tidak dilakukan Nabi , padahal hal yang mendorong beliau untuk itu ada namun tetap tidak beliau lakukan.
Kaum tradisionalis aswaja juga berkata bahwa tahlilan 7 hari berturut-turut ada landasannya dari kaum salaf sebagaimana perkataan Thaawus:
إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الأَيَّامِ
“Sesungguhnya orang yang meninggal akan terfitnah (diuji) dalam kuburnya selama 7 hari. Dulu mereka (shahabat dan taabi’iin – Abul-Jauzaa’) menyukai untuk memberikan makanan dari mereka (yang meninggal) pada hari-hari tersebut” [Hilyatul-Auliyaa’ 4/11].
Tapi atsar ini lemah tak bisa dipakai sebagai dalil. Begitu menurut kaum non-tradisionalis.[5]
Masih berkaitan, kaum tradisionalis aswaja sering mengadakan kumpul-kumpul kendurian mayit bersamaan dengan penyelenggaraan tahlilan dan yasinan, sedangkan non-tradisionalis tidak. Kaum non-tradisional mengatakan perbuatan ini bukan sunnah dan termasuk bid’ah yang terlarang. Dalilnya adalah atsar Jariir bin ‘Abdillah Al-Bajaliy radliyallaahu ‘anhu:
كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami (para shahabat) menganggap menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) termasuk bagian dari niyahah (meratapi mayit)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 1612; dishahihkan oleh An-Nawawiy dalam Al-Majmuu’ 5/285, Ibnu Katsiir dalam Irsyaadul-Faqiih 1/241, dan yang lainnya].
Bahkan Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
وَأَكْرَهُ النِّيَاحَةَ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَأَنْ تَنْدُبَهُ النَّائِحَةُ عَلَى الِانْفِرَادِ، لَكِنْ يُعَزَّى بِمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الصَّبْرِ وَالِاسْتِرْجَاعِ، وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ، .....
“Dan aku membenci perbuatan niyaahah (meratap) terhadap mayit setelah kematiannya dan orang yang meratap tersebut menyebut-nyebut kebaikan si mayit secara tersendiri. Akan tetapi hendaknya ia dihibur dengan sesuatu yang diperintahkan Allah agar bersabar dan mengucapkan kalimat istirjaa’. Dan aku juga membenci berkumpul-kumpul di keluarga di mayit meskipun tidak disertai adanya tangisan, karena hal tersebut akan menimbulkan kesedihan dan membebani materi/bahan makanan (bagi keluarga si mayit)…..” [Al-Umm, 1/248].
4.    Tawassul
Tawassul yang dilakukan kaum tradisionalis aswaja cenderung sangat longgar dengan berbagai bentuknya. Adapun non-tradionalis lebih ketat. Diantara titik perbedaan (dan ini bukan pembatas) adalah masalah tawassul dengan kedudukan/hak Nabi  atau orang-orang shalih seperti ucapan : “Aku memohon kepada-Mu ya Allah dengan kedudukan/hak Nabi  atau Fulaan…..demikian dan demikian…”.
Tawassul seperti ini memang ternukil dari sebagian ulama. Namun sebagian ulama yang lain melarang dan membencinya sebagaimana dinukil Al-Albaaniy dari kalangan Hanafiyyah rahimahumullah :
فقد جاء في "الدر المختار" "2/630" – وهو من أشهر كتب الحنفية – ما نصه: عن أبي حنيفة: لا ينبغي لأحد أن يدعو الله إلا به، والدعاء المأذون فيه، المأمور به ما استفيد من قوله تعالى: {وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا}. ونحوه في "الفتاوى الهندية" "5/280". وقال القُدوري في كتابه الكبير في الفقه المسمى "بشرح الكرخي" في "باب الكراهة": قال بشر بن الوليد حدثنا أبو يوسف قال أبو حنيفة: لا ينبغي لأحد أن يدعو الله إلا به، وأكره أن يقول: بمعاقد العز من عرشك، أو بحق خلقك، وهو قول أبي يوسف، قال أبو يوسف: معقد العز من عرشه هو الله، فلا أكره هذا، وأكره أن يقول: بحق فلان، أو بحق أنبيائك ورسلك، وبحق البيت الحرام والمشعر الحرام...."
“Tercantum dalam kitab Ad-Durrul-Mukhtaar (2/630) yang merupakan salah satu kitab masyhur madzhab Hanafiyyah : ‘Tidak sepatutnya bagi seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengan-Nya. Dan doa yang diidzinkan lagi diperintahkan-Nya adalah seperti yang tercantum dalam firman-Nya : Hanya milik Allah al-asmaaul-husnaa, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaulhusna itu (QS. Al-A’raaf ; 180)’. Hal yang semisal terdapat dalam Al-Fataawaa Al-Hindiyyah(5/280).
Telah berkata Al-Quduuriy dalam kitabnya yang besar dalam permasalahan fiqhSyarhul-Karkhiy, bab Al-Karahah : Telah berkata Bisyr bin Al-Waliid : Telah menceritakan kepada kami Abu Yuusuf, ia berkata : Telah berkata Abu Haniifah : ‘Tidak sepatutnya bagi seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengan-Nya, dan aku membenci untuk mengatakan : Dengan kemuliaan ‘Arsy-Mu atau Dengan hak makhluk-Mu’.
Dan inilah perkataan Abu Yuusuf : Telah berkata Abu Yuusuf : ‘Jaminan kemuliaan ‘Arsy adalah Allah, oleh karena itu aku tidak membencinya. Namun aku membenci untuk mengatakan : Dengan hak si Fulaan atau Dengan hak para nabi-Mu, para Rasul-Mu, ‘Al-Baitul-Haraam, dan Al-Masy’aril-Haraam’…….” [At-Tawassul, hal. 46-47].
5.    Ngalap Berkah
Sebagian kaum tradisionalis aswaja akar rumput melakukan ngalap berkah pada hal-hal yang tidak ada dalilnya (menurut pandangan non-tradisionalis), lebih cenderung pada tradisi. Misalnya ngalap berkah masyarakat Solo terhadap gunungan kembar hasil bumi sebagaimana pada video di bawah:

Atau ngalap berkah dengan mencium dan mengusap-usap pintu makam di Cirebon (Jawa Barat) dan Mataram (NTB) sebagaimana video di bawah:

Sementara itu, kaum non-tradisionalis mengatakan perbuatan tabarruk di atas terlarang dan menyelisihi sunnah (bid’ah). Bahkan, berpotensi jatuh pada kesyirikan. Para shahabat membencinya sebagaimana atsar yang teriwayatkan dari Ibnu ‘Umarradliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، " أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ مَسَّ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari ‘Ubaidullah, dari Naafi’ : Bahwasannya Ibnu ‘Umar membenci mengusap kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam [Diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Aashim Ats-Tsaqafiy dalam Juuz-nya no. 27, dan darinya Adz-Dzahabiy dalam Mu’jamusy-Syuyuukh 1/45 dan As-Siyar12/378; shahih].
Terkait dengan atsar Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah mengatakan :
فصل : ولا يستحب التسمح بحائط قبر النبي صلى الله عليه و سلم ولا تقبيله قال أحمد : ما أعرف هذا قال الأثرم : رأيت أهل العلم من أهل المدينة لا يمسون قبر النبي صلى الله عليه و سلم يقومون من ناحية فيسلمون قال أبو عبد الله : هكذا كان ابن عمر يفعل
“Pasal : Tidak disukai mengusap tembok kubur Nabi  dan tidak pula menciumnya. Ahmad berkata : ‘Aku tidak mengetahuinya’. Al-Atsram berkata : ‘Aku melihat ulama dari kalangan penduduk Madiinah tidak mengusap kubur Nabi , dan mereka berdiri dari sisi mengucapkan salam. Abu ‘Abdillah berkata : ‘Begitulah yang dilakukan Ibnu ‘Umar” [Al-Mughniy, 3/556].
Dalam kitab Kasysyaaful-Qinaa’ disebutkan :
اتَّفَقَ السَّلَفُ وَالْأَئِمَّةُ عَلَى أَنَّ مَنْ سَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ الصَّالِحِينَ فَإِنَّهُ لَا يَتَمَسَّحُ بِالْقَبْرِ وَلَا يُقَبِّلُهُ
“Salaf dan para imam telah bersepakat bahwasannya siapa saja yang mengucapkan salam kepada Nabi  atau selainnya dari kalangan para nabi yang shalih, maka ia tidak mengusap kubur dan menciumnya” [4/439].
6.    Dan lainnya….
Dengan melihat uraian di atas, pendapat yang dipegang kaum non-tradisionalis (baca : Wahabi) mempunyai dasar dan pendahulu di kalangan ulama (salaf). Tentu bukan di sini tempatnya untuk merinci pembahasan tersebut. Di sini saya hanya ingin menunjukkan anatomi pemahaman non-tradisionalis dari (sebagian) perkara yang sering dipermasalahkan. Perkara mereka (tradisionalis aswaja) setuju atau tidak setuju, lain perkara.
Non-tradisionalis secara hakekat bukan ‘aliran modern’ yang tidak ada sangkut-pautnya dengan pemahaman ulama sebelumnya. Pemahaman non-tradisionalis bukan ‘ujug-ujug’ ada di abad 19.
Lantas, apakah pas kiranya dikarenakan masalah itu kaum tradisionalis aswaja (NU) membikin-bikin provokasi, teror, intimidasi, okupasi/pendudukan tanah waqaf dan masjid, pengusiran, dan semisalnya? – sementara di sisi lain sibuk dengan propaganda toleransi dan kebhinekaan?.
Sebuah paradoks dan ironi yang nyata. Bahkan arogansi dan penjajahan praktek beragama.
Apakah dipikir semua masjid di Nusantara harus menyelenggarakan perayaan maulid, shalawatan, istighatsahan, dan kegiatan lain yang menjadi ciri khas tradisionalis aswaja (NU) yang secara fiqh tidak disepakati non-tradisionalis ?.
Apakah dipikir ketika tradisionalis aswaja meyakini disunnahkannya sesuatu, yang lain harus setuju atau diam ?. Tidak boleh mengatakan terlarang, haram, atau bid’ah ?. Atau,…. kenapa tidak sebaliknya saja mereka yang mengikuti lawannya ?
Apakah pernah kita temui para ulama dulu melakukan seperti apa yang mereka lakukan ?.
Ketika sebagian ulama Syaafi’iyyah mengatakan dibolehkan perayaan maulid, ‘Umar bin ‘Aliy bin Saalim bin Shadaqah Al-Lakhmiy Al-Iskandariy yang masyhur dengan nama Al-Faakihaaniy (lahir 654 H/656 H) dengan terang-terangan berfatwa bid’ah:
أما بعد : فإنه قد تكرر سؤال جماعة من المباركين عن الاجتماع الذي يعمله بعض الناس في شهر ربيع الأول ويسمونه المولد : هل له أصل في الشرع ، أو هو بدعة وحدث في الدين ؟ ؟ وقصدوا الجواب من ذلك مبينا ، والإيضاح عنه معينا ، فقلت وبالله التوفيق : لا أعلم لهذا المولد أصلا في كتاب ولا سنة ، ولا ينقل عمله عن أحد من علماء الأمة الذين هم القدوة في الدين المتمسكون بآثار المتقدمين ، بل هو بدعة أحدثها المبطلون ، وشهوة نفس اعتنى بها الأكالون بدليل أنا إذا أدرنا عليها الأحكام الخمسة : قلنا إما أن يكون واجبا أو مندوبا ، أو مباحا أو مكروها أو محرما ، وليس هو بواجب إجماعا ، ولا مندوبا ، لأن حقيقة المندوب : ما طلبه الشارع من غير ذم على تركه ، وهذا لم يأذن فيه الشارع ، ولا فعله الصحابة ، ولا التابعون ، ولا العلماء المتدينون فيما علمت ، وهذا جوابي عنه بين يدي الله تعالى إن عنه سئلت ولا جائزا أن يكون مباحا ، لأن الابتداع في الدين ليس مباحا بإجماع المسلمين فلم يبق إلا أن يكون مكروها أو محرما
Amma ba’du, sungguh telah berulang kali pertanyaan dilontarkan oleh jama’ah orang-orang yang mendapat keberkahan tentang perkumpulan yang dilakukan sebagian orang di bulan Rabii’ul-Awwal, yang mereka namai dengan Maulid (Nabi) : ‘Apakah ia mempunyai asal/dalil dari syari’at? Ataukah ia merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama ?. Mereka menghendaki jawaban dan penjelasan yang terang tentang perkara tersebut.
Maka aku katakan – wa billaahit-taufiiq - :
Aku tidak mengetahui asal perbuatan maulid dari Al-Kitaab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah. Perbuatan tersebut juga tidak pernah ternukil dari satupun ulama umat yang menjadi teladan dalam agama dan berpegang pada atsar ulama terdahulu. Bahkan perbuatan itu adalah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang baathil (kalangan Faathimiyyin – Abul-Jauzaa’), serta syahwat jiwa yang diperhatikan oleh orang-orang yang senang makan. Dalilnya, apabila aku menghendaki hukum-hukum syar’iyyah, maka kami katakan : kemungkinan ia wajib, manduub (sunnah), mubah, makruh, atau haram. Perbuatan (maulid) itu bukan termasuk wajib secara ijmaa’. Bukan pula manduub, karena hakekat manduub adalah sesuatu yang dituntut oleh Syaari’ (Allah) tanpa adanya celaan jika meninggalkannya. Adapun perbuatan ini (yaitu maulid) tidaklah diizinkan oleh Syaari’ (Allah), tidak pernah dilakukan para shahabat, taabi’iin, dan ulama yang dijadikan pegangan dalam agama sepanjang pengetahuanku. Inilah jawabanku di hadapan Allah ta’ala jika nanti aku ditanya tentang permasalahan itu. Tidak boleh menjadikan perkara tersebut sesuatu yang mubah, karena berbuat bid’ah dalam agama bukanlah perkara mubah berdasarkan ijmaa’ kaum muslimin. Oleh karena itu, tidaklah tersisa kecuali perbuatan itu dihukumi makruh atau haram........” [Al-Maurid fii ‘Amalil-Maulid, hal. 20-22, Maktabah Al-Ma’aarif, Riyaadl, Cet. 1/1407].
Kita dapat lihat bersama, para ulama tak menjadi bisu dan dipaksa bisu oleh lainnya.
Ketika Asy-Syaafi’iy rahimahullah mengatakan sunnahnya qunut Shubuh secara terus-menerus, tak ternukil dari beliau larangan untuk menyelisihi pendapatnya. At-Tirmidziyrahimahullah memaparkan fakta masa silam dalam permasalahan ini:
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْقُنُوتِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، فَرَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ وَغَيْرِهِمُ الْقُنُوتَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، وقَالَ أَحْمَدُ، وَإِسْحَاق: لَا يُقْنَتُ فِي الْفَجْرِ إِلَّا عِنْدَ نَازِلَةٍ تَنْزِلُ بِالْمُسْلِمِينَ، فَإِذَا نَزَلَتْ نَازِلَةٌ فَلِلْإِمَامِ أَنْ يَدْعُوَ لِجُيُوشِ الْمُسْلِمِينَ
“Para ulama berbeda pendapat mengenai qunut shalat Shubuh. Sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi  dan selain mereka berpendapat (masyru’-nya) qunut pada shalat Shubuh. Itu merupakan perkataan Asy-Syaafi’iy. Ahmad (bin Hanbal) dan Ishaaq (bin Rahawaih) berkata : ‘Qunut tidak dilakukan pada shalat Shubuh, kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin. Jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin, maka imam mendoakan (kebaikan/kemenangan) untuk pasukan kaum muslimin”
وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ، وقَالَ سفيان الثوري: إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ، وَاخْتَارَ أَنْ لَا يَقْنُتَ، وَلَمْ يَرَ ابْنُ الْمُبَارَكِ الْقُنُوتَ فِي الْفَجْرِ،
“(Hadits Abu Maalik Al-Asyja’iy di atas) diamalkan oleh kebanyakan ulama. Sufyaan Ats-Tsauriy berkata : ‘Apabila seseorang melakukan qunut di waktu shalat Shubuh, maka itu baik. Jika tidak melakukannya, itu pun baik’. Ia (Ats-Tsauriy) memilih untuk tidak qunut. Ibnul-Mubaarak tidak berpendapat adanya qunut pada shalat Shubuh” [Jaami’ At-Tirmidziy, 1/426-427].
Semua berbicara sesuai dengan ilmu dan ijtihadnya. Bebas berpemahaman sesuai dengan koridor keilmuan.
Tapi mari kita lihat sebagian gambaran realitas di lapangan – yang sebenarnya bagi non-tradisionalis – tak terlalu dibawa pikiran:

Tak begitu masalah, tapi silakan rasakan taste-nya…
Coba perhatikan pula model rekayasa lawakan dai tentang anak yang mau membunuh bapaknya dalam video di bawah (00:58 – 01:30):

Semua aliran Islam, semua sesat kecuali NU katanya (he he he he…. – menit 02.22 – 02.43). Dai di atas juga mencontohkan sesuatu yang sangat merendahkan Muhammadiyyah – yang mungkin kalau benar ceritanya itu – sifatnya kasuistik. Tentang kasus siswi sekolah Muhammadiyyah yang ‘meteng’ (hamil) 4 bulan karena dikerjai temannya (02:50 – dst). Tapi kalau madrasah yang dibina NU, insya Allah tidak ada, kata beliau[6]. Sangat mudah sebenarnya membantah klaim tak berbobot ini, tapi biarlah.
Yang seperti ini banyak.
Pengurus NU mengeluh banyak masjid NU yang ‘direbut’ oleh orang selain NU. Modusnya katanya:
“munculnya seseorang yang dengan sukarela membantu membersihkan masjid, lalu membantu adzan, diteruskan dengan mengajak temannya untuk menjadi khotib dan akhirnya merubah seluruh kepengurusan takmir masjid dan tatanan peribadatan yang selama ini sudah berjalan dengan baik. Kemunculan kasus seperti ini akhirnya menimbulkan resistensi di masjid-masjid yang lain yang sebelumnya cukup terbuka dengan alasan untuk menjaga eksistensi peribadatan yang sudah ada dan diyakini kebenarannya”
“Banyak masjid dan mushola NU yang direbut mereka. Istilahnya, mereka tidak bisa membangun masjid sendiri, bisanya cuma merebut masjid milik orang lain. Ingin enaknya sendiri,” ujar Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars itu”
Mari kita nalar. Seandainya masjid tersebut aktif dan jama’ah NU konsisten, tentu tidak terjadi apa yang mereka namakan ‘perebutan’. Kenyataan di lapangan dari istilah ‘perebutan’ itu lebih ke arah revitalisasi masjid yang sebelumnya minim jama’ah, vakum kegiatan, dan vakum kepengurusan. Atau, warga sekitar masjid atau jama’ah masjid tidak (lagi) didominasi orang NU. Ada perubahan dan dinamika. Anehnya, setelah aktif dan ramai jama’ah, sebagian oknum ‘nun jauh di sana’ yang tidak menjadi bagian dari masjid tersebut merasa direbut masjidnya. Dalam sebagian kasus, lantas rame-ramegalang massa mendemo orang yang mengaktifkannya (sebagaimana yang dialami H. Darim yang disebutkan sebelumnya). Ketika publikasi ke khalayak, merekalah yang (seakan) merasa didhalimi para perebut masjid itu. Memang menyedihkan dan sekaligus mengesalkan.
Tapi klaim tersebut sangat dipahami. Jangankan yang tidak ‘punya’ masjid, yang jelas-jelas ‘punya’ masjid saja dapat mereka duduki paksa dan didemo untuk dihentikan kegiatannya.
Mungkin, kegusaran mereka bertambah dengan kehadiran beberapa stasiun TV dan Radio dakwah ‘Wahabi’, semisal TV dan Radio RODJA[7]Alhamdulillah, TV dan Radio Rodja mendapatkan animo sangat besar dari masyarakat hingga ke wilayah pedalaman.[8]
Seandainya segala kegusaran mereka hanya ditindaklanjuti di tataran ilmiah (bantahan), tak ada soal. Ataupun maksimal, mereka katakan ‘Wahabi’ sesat, itu pun tak begitu merisaukan karena memang telah eksis semenjak jaman purba.
Kita tak pernah memaksa mereka untuk mengatakan ‘Wahabi’ itu baik hati, tidak sombong, dan gemar menabung. Tapi kiranya, jangan ikuti semua itu dengan hasutan, provokasi, ngarang cerita alias ndabul, demonstrasi, pengambilalihan paksa (secara fisik) tanah waqaf dan masjid, atau perobohan masjid seperti yang sudah-sudah. Ahmadiyyah yang jelas-jelas kafir dapat nyaman dengan perlindungan Anshor/Banser[9], tapi ‘Wahabi’ yang statusnya masih muslim selalu merasa gelisah bertetangga dengan mereka. Rasa-rasanya, sangat jarang terdengar ormas NU, para habaaib, dan pasukan Banser yang konon sakti mandraguna melindungi orang-orang Wahabi, atau yang belakangan mereka sebut ‘Salafi’.
Ironi toleransi pilih kasih…..
‘Wahabi’ yang katanya suka mengkafirkan, malah sering mengkampanyekan ‘peperangan’ terhadap golongan takfiri, diantaranya ISIS, LDII, dan yang lainnya. LDII, kelompok takfiri produk lokal, hampir tak tersentuh oleh kaum tradisionalis. ‘Wahabi’ bermitra dengan kepolisian untuk melakukan deradikalisasi dan detakfirisasi. Ini fakta, bukan sekedar ‘lamis-lamis lambe’ alias lips service. Dai ‘Wahabi’ sering dipanggil ngisi ceramah agama bersama pejabat negara atau di lembaga milik negara[10].
Wallaahul-musta’aan….

[abul-jauzaa’ – 19 Dzulhijjah 1438].


[1] Baca berita di link : https://goo.gl/63HTGK dan https://goo.gl/ScGtqv
[2] Misalnya dalam acara peringatan 40 hari kematian Gus Dur (https://goo.gl/aPwLTq), haul Gus Dur (https://goo.gl/sCx5BD), haul Bung Karno (https://goo.gl/LnwjcL), aksi keprihatinan bangsa (https://goo.gl/c2dAxY), peringatan HUT RI (https://goo.gl/DAHt6C), keprihatinan terhadap kerusuhan (https://goo.gl/dhCeYR), dan yang lainnya.
[4]Ibnul-Musayyib memahami dari sunnah Nabi  bahwa setelah adzan Shubuh, yang ada hanyalah shalat sunnah dua raka’at saja sebagaimana riwayat:
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَرْمَلَةَ، عَنِ ابْنِ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : " لا صَلاةَ بَعْدَ النِّدَاءِ، إِلا رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ "
Dari Ats-Tsauriy, dari ‘Abdurrahman bin Harmalah, dari Ibnul-Musayyib, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah  : “Tidak ada shalat setelah adzan kecuali dua raka’at fajr” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 3/53 no. 4756; shahih].
[5] Silakan baca pembahasannya pada artikel Atsar Thaawuus tentang Anjuran Tahlilan 7 Hari Berturut-Turut.
[6]Berikut diantara contoh bagaimana sebagian oknum tradisionalis aswaja membuat materi ‘Wahabi’ masuk pendidikan dasar:

 
Sumber foto : PR anak kelas IV MI pada akun FB Wahyu Surinto
Silakan rasakan taste-nya.
[7] Situs :  
[8] Sebenarnya NU memiliki stasiun TV sendiri misalnya Aswaja TV. Namun demikian, ada beberapa kontent yang secara spesifik membedakannya dengan TV Rodja (yang digembosi). Misalnya, Aswaja TV menampilkan shalawatan, lagu dan musik (religi), tertampilkannya wanita yang tidak menutupi aurat, dan lain-lain.
[9] Sumber :
[10] Contoh:
a.Prof. Yunahar Ilyas duet dengan Menteri Agama dalam pengajian Ramadlan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta - https://goo.gl/M6jU7w.
b.Dr. Firanda Andirja mengisi pengajian di Masjid Darul Ilmi Kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta - https://www.youtube.com/watch?v=yifwVim9Gz8
c.dll.

MUI: Isu Wahabi Adalah Bagian dari Permainan Musuh Islam untuk Mengadu Domba Umat Islam dan Melemahkan Persatuan & Kesatuan

MUI Kota Bogor menanggapi beredarnya selebaran yang mengajak masyarakat turun ke jalan menolak penyebarluasan ajaran Wahabi. Ajakan aksi itu terkait pembangunan Masjid Ahmad bin Hanbal di Bogor Utara.

Meski dalam selebaran tertulis “Aksi Damai Bogor Utara Tolak Wahabi”, MUI menganggap demo tersebut bakal memperkeruh suasana.

Karenanya, umat Islam Bogor diimbau tidak mengikuti aksi tersebut.

“Himbauan saya, umat Islam jangan masuk perangkap provokasi perpecahbelahan tersebut,” ujar Ketua Komisi IV MUI Kota Bogor, Ustaz Wardhani kepada Pojokjabar, Jumat (25/8).

Menurutnya isu Wahabi sengaja dihembuskan untuk menghancurkan persatuan warga di Kota Bogor yang selama ini berusaha menjaga kerukunan antar umat beragama.

“Isu wahabi adalah bagian dari permainan musuh Islam untuk mengadu domba umat Islam dan melemahkan persatuan dan kesatuan,” ujarnya.

Lebih lanjut Wardhani menghimbau mereka yang akan berdemo sebaiknya mengurungkan niatnya. Pasalnya MUI menilai akan ada provokator yang bermain di balik isu tersebut.

"Ini permainan provokator untuk pengalihan isu terhadap agenda yang sedang mereka gulirkan,” jelasnya.

“Yang harus diwaspadai adalah bangkitnya komunis, misionaris pemurtadan terselubung dan menyebarnya aliran menyimpang syiah dan yang lainnya,” pungkasnya.

Sebelumnya Humas Polresta Bogor, Rahmat membenarkan adanya selebaran dan aksi yang akan dilaksanakan tersebut. Menurutnya itu bukanlah berita hoax.

“Itu bukan hoax. Memang benar dan sudah di acc,” katanya.

Sementara itu, Kabag Ops Polres Kota Bogor, Kompol Fajar Hari Kuncoro berharap aksi yang dilakukan tertib dan tidak anarkis. Sehingga tidak mengganggu ketertiban dan kenyamanan orang lain. Sumber: Jpnn

Mendemo Masjid dan Membekukannya Itu Sangat Zalim, Sedang yang Mendukungnya dengan Melontarkan Celaan Tambah Tercela Lagi

Tingkah mendemo masjid yang kemudian diamini dengan membekukan kegiatan masjid, itu jelas menghalangi segala peribadahan di masjid itu. Sedangkan menghalangi kegiatan peribadahan di masjid itu jelas-jelas sangat dikecam oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya:

 وَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسٰجِدَ ٱللَّهِ أَن يُذۡكَرَ فِيهَا ٱسۡمُهٗ وَسَعٰى فِي خَرَابِهَآۚ أُوْلٰٓئِكَ مَا كَانَ لَهُمۡ أَن يَدۡخُلُوهَآ إِلَّا خَآئِفِيْنَۚ لَهُمۡ فِى ٱلدُّنۡيَا خِزۡيٌ وَلَهُمۡ فِى ٱلۡأٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ


“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalanghalangi menyebut nama Allāh dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allāh), kecuali dengan rasa takut (kepada Allāh). mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat. (QS Al-Baqarah: 114)”
Karena perbuatan menghalangi kegiatan masjid itu sangat dikecam dan diancam dalam Al-Qur’an, maka para pendemo, pihak yang membekukan kegiatan masjid, dan siapapun yang andil atas kejahatan agama itu serta siapapun yang membela para penghalang itu dengan kata-kata yang sebagus apapun, tetap merupakan perbuatan tercela lagi sangat zalim. Apatah lagi membelanya dengan kata-kata yang menyakiti lagi mencela. Betapa lebih terkecam dan hinanya lagi.
Na’udzubillahi min dzalik!
Perkataan untuk menyakiti lagi mencela adalah perbuatan yang diancam dalam Al-Qur’an. Contoh yang nyata telah diancamkan kepada orang munafik.

{وَمِنْهُمُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ وَيَقُولُونَ هُوَ أُذُنٌ قُلْ أُذُنُ خَيْرٍ لَكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ } [التوبة: 61]

Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan: هُوَ أُذُنٌ “Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya”. Katakanlah: “Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu”. Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih [At Tawbah61]
Orang-orang munafik menisbatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (suatu celaan) bahwa beliau mempercayai saja setiap apa yang dikatakan kepadanya, dan (mereka mencela bahwa) beliau tidak membedakan antara yang benar dan yang batil. (Fathul Bayan 5/333).
Celaan itu dibantah oleh Allah Ta’ala, أُذُنُ خَيْرٍ , ya tapi dia (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) hanya mendengar yang baik, dan tidak mendengarkan yang buruk. (Fathul Bayan).
Sifat mendengarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mengandung celaan, namun oleh orang munafik dijadikan celaan dengan dimaksudkan mengandung sifat tercela. Dicela dengan tuduhan bahwa beliau percaya saja terhadap setiap perkataan yang dia dengar. Padahal beliau hanya mendengar dan mempercayai yang baik, dan tidak mendengar, tidak mempercayai perkataan yang batil.
Perlu jadi pelajaran bahwa orang yang sedang membenci terhadap seseorang ataupun kelompok, bisa menjadikan suatu perbuatan yang sebenarnya tidak tercela, namun dijadikan sebagai bahan celaan. Bahkan lebih buruk lagi, sang pencela itu sendiri belum tentu dapat melakukannya, tetapi bisa mencela sedalam jurang terhadap orang yang dibenci.
Perbuatan mencela karena benci itu dilontarkan untuk menyakiti, merendahkan, mengejek, menyerang dan sebagainya. Misal, ketika seseorang jadi pendukung pihak yang mendemo masjid rumah Allah (lhah, masjid didemo tapi dia jadi pendukungnya?), lalu dengan entengnya dia nyinyir.  Misalnya, keluar kata-kata celaan yang menyakiti, bahwa kelompok yang beribadah di masjid yang didemo itu kan bisanya hanya gini, gitu, dan gituin istrinya…
Astaghfirullaah…

Betapa menyakitinya itu lontaran celaan. Padahal, apa salahnya, ketika seseorang mampu menggauli istrinya? Apakah itu suatu hal yang tercela dan untuk diobral dengan dicela-cela? Diejek-ejek dengan kata-kata: bisanya hanya…gituin istri.

Betapa tidak bagusnya, misalnya si pencela itu justru tidak bisa begini, tidak juga bisa begitu, bahkan tidak atau belum punya istri. Sehingga sejatinya justru mencela diri sendiri. Dan bahkan kalau toh mampu begini dan begitu dan mampu membegitukan istrinya pun tidak pantas untuk melontarkan kepada orang lain bahwa mampunya hanya… gituin istrinya.

Sudah pembelaannya terhadap pendemo masjid itu sendiri suatu hal yang tercela lagi tidak pantas, masih pula melontarkan kata-kata celaan yang tidak pantas pula.

Bernarlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ اْلجَنَّةَ؟ قَالَ: تَقْوَى اللهِ وَ حُسْنُ اْلخُلُقِ وَ سُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ؟ قَالَ: اْلفَمُ وَ اْلفَرَجُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sesuatu apakah yang terbanyak yang dapat memasukkan manusia ke dalam surga?. Beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. Beliau juga ditanya tentang sesuatu apakah yang terbanyak yang dapat memasukkan manusia ke dalam neraka?. Beliau menjawab, “Mulut dan farji (kemaluan)”. [HR at-Turmudziy: 2004, Ibnu Majah: 4246 dan Ahmad: II/ 291, 392, 442. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan sanadnya, lihat Shahiih Sunan at-Turmudziy: 1630, Shahih Sunan Ibni Majah: 3424, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 977 dan Misykah al-Mashobih: 4832. Di dalam satu riwayat; Beliau menjawab, “Dua lobang yaitu mulut dan farji”].

Sebaliknya, bagi orang yang menjaga mulut dan farjinya maka dijamin surga oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ” متفق عليه

“Barang siapa yang bisa menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya (lisan), dan yang ada di antara kedua pahanya (kemaluan) maka aku akan menjaminnya masuk syurga” (Muttaqun ‘alaih dari Sahl bin Saad radhiyallahu ‘anhu)

Betapa beruntungnya orang mukmin yang teguh menjaga lisan dan kemaluannya, hingga mendapatkan jaminan surga baginya. Sebaliknya, betapa celakanya orang yang mengumbar mulutnya dan kelaminnya hingga memasukkannya ke neraka. (Dan sekarang, kata-kata yang biasanya dilontarkan pakai mulut itu dapat pula diwakili lewat tulisan dengan sarana media sosial dan sebagainya, hingga tersebarnya lebih luas lagi dan jarak waktunya lebih awet lagi. Sehingga kalau itu berupa tebaran dosa (seperti komen-komen di medsos yang membela pendemo masjid bahkan dengan mencela orang-orang yang biasa berjamaah di masjid), maka akan lebih banyak dosanya lagi.

Padahal, di dunia ini pun kesenangan yang diperoleh dengan mengumbar mulut dan alat kelaminnya itu tak seberapa, namun ancaman neraka telah tersedia. Na’udzubillahi min dzalik! Maka sebaiknya bertobatlah wahai orang-orang yang terlanjur sebagaimana pembela orang-orang yang mendemo masjid dan membekukan kegiatan masjid itu, sebelum malaikat maut mencabut nyawa pelaku-pelaku perbuatan tak terpuji itu.

Sekian, semoga jadi peringatan bagi kita semua. Aamiin ya Rabbal ‘alamiin.
Oleh Hartono Ahmad Jaiz
nahimunkar.com

Pembangunan Masjid Imam Ahmad bin Hambal di Bogor Ditinjau dari Sisi Hukum Agama

Pembangunan masjid Imam Ahmad bin Hambal ditinjau dari hukum agama
Isu yang selalu dijadikan alasan untuk menghang-halangi pembangunan masjid adalah isu tuduhan wahabi atau perbedaan paham.

Pertama tentu dijelaskan apa dan bagaimana ajaran wahabi tersebut..?

Kedua: apakah tuduhan-tuduhan tersebut sudah terbukti secara hukum..?

Ketiga: jika tuduhan-tuduhan tersebut terbukti apakah melanggar secara hukum negara dan hukum agama..?

Keempat: Jika terbukti melanggar secara hukum negara dan hukum agama, Apakah wahabi secara resmi dilarang di negara ini..?

Kelima: apakah tuduhan sesat, radikal, menyimpang dan lain sebagainya apakah dapat diterima bila dituduhkan oleh setiap orang yang berbeda paham kepada lawannya tanpa ada pembuktian hukum..?

Bukankah ini namanya menyebar rasa kebencian kepada orang lain..? Dan ada pasal pidananya..?

Alasan perbedaan paham

Sesungguhnya perbedaan paham bukanlah hal yang baru ada sekarang ini. Perbedaan paham sudah ada sebelum Indonesia merdeka, sebelum adanya ormas A dan B, bahkan sudah ada semenjak zaman para ulama terkemuka di kalangan umat ini.

Selama perbedaan tersebut mengacu kepada paham para sahabat dan ulama, maka hal ini merupakan sesuatu yang telah menjadi kenyataan di tengah umat.

Disini harus dibedakan antara membahas masalah secara ilmiah dengan hubungan berinteraksi sesama muslim.

Jika membahas masalah khilafiyah dilarang berarti kitab-kitab ulama yang ada di tengah-tengah kita harus dibuang jauh-jauh. Disamping itu berarti menutup pintu kecerdasan berdiskusi dan kecerdasan dalam menjalin hubungan dalam perbedaan. Dan ini jelas bertentangan dengan iradah kauniyah Allah.

Anehnya kenapa mereka yang dituduh wahabi dilarang bicara tentang khilafiyah padahal tetangga sebelah bebas-bebas saja untuk membicarakannya…?

Kenapa mereka yang dituduh wahabi dianggap meresahkan pada hal mereka tidak pernah menggelar kajian di jalan umum atau pakai speker keras-keras untuk salawatan dan tahlilan sampai larut malam..?

Kenapa mereka yang dituduh wahabi diisukan berfaham intoleran dan radikal..? Pada hal mereka belum pernah melarang kajian, membakar pondok pesantren, melarang pembangunan masjid, justru yang biasa melakukanya adalah pihak yang menuduh.

Kenapa mereka yang dituduh wahabi difitnah memecah belah umat pada hal mereka selalu mengajak untuk bersatu dengan jamaahnya para sahabat..? Bukan mengajak kepada ajaran ormas.

Jika mereka berbeda paham dengan yang mayoritas, apa perbedaan mereka itu menyimpang secara ajaran Islam sebagaimana yang diamalkan oleh para sahabat dan para ulama terkemuka dari kalangan umat ini…?

Jika terdapat kesalahan, kekeliruan dan kelemahan sebagian dari mereka, apakah pada kelompok yang lain tidak terdapat pula hal yang sama di tengah-tengah mereka..?

Lalu permasalahannya apa dari pihak yang melarang..?

Semestinya jika mereka terbukti salah secara hukum negara, maka mereka harus dilaporkan kepada penegak hukum, bukan main massa atau main hakim sendiri.

Seharusnya  jika mereka terbukti salah dalam memahami agama, maka mereka harus dilaporkan kepada MUI, bukan menghukum mereka menurut faham ormas tertentu.

Mereka adalah orang yang berhak secara sah untuk hidup dan berkehidupan di negeri ini.

Nenek moyang mereka juga ikut berjuang untuk kemerdekaan negeri ini. Jadi jangan sampai ada pribadi atau ormas tertentu yang merasa lebih berhak dari pada yang lain untuk hidup di negeri ini, lalu bagi yang berbeda paham dengan mereka harus diusir atau diintimidasi.
Dr Alimusri Semjan Putra
Via fb Alimusri Semjan Putra – 29 Agustus pukul 21:44

Dakwah Salafi Wahabi Meresahkan, Pemecah Belah Umat? Atau Sebaliknya?

Pujian dalam Hujatan bagi Wahabi
meluruskan sejarah wahabiKetika aku putuskan untuk beramal sesuai AlQuran & Sunnah dengan faham As Salafush Shaleh, Aku pun dipanggil Wahabi

Ketika aku minta segala hajatku hanya kepada Allah subhaanahu wa ta’ala tidak kepada Nabi & Wali .… Aku pun dituduh Wahabi

Ketika aku meyakini Alquran itu kalam Ilahi, bukan makhluq …. Aku pun diklaim sebagai Wahabi

Ketika aku takut mengkafirkan dan memberontak penguasa yang dzalim, Aku pun dipasangi platform Wahabi

Ketika aku tidak lagi shalat, ngaji serta ngais berkah di makam-makam keramat… Aku pun dijuluki Wahabi

Ketika aku putuskan keluar dari tarekat sekte sufi yang berani menjaminku masuk surga… Aku pun diembel-embeli Wahabi

Ketika aku katakan tahlilan dilarang oleh Imam Syafi’i
Akupun dihujat sebagai Wahabi

Ketika aku tinggalkan maulidan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah ajarkan … Aku pun dikirimi “berkat”  Wahabi

Ketika aku takut mengatakan bahwa Allah subhaanahu wa ta’ala itu dimana-mana sampai ditubuh babipun ada…  Aku pun dibubuhi stempel Wahabi

Ketika aku mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjangkan jenggot, memotong celana diatas dua mata kaki, …,…., Aku pun dilontari kecaman Wahabi

Ketika aku tanya apa itu Wahabi…?
Merekapun gelengkan kepala tanda tak ngerti

Ketika ku tanya siapa itu wahabi…?
merekapun tidak tahu dengan apa harus menimpali

Tapi…!
Apabila Wahabi mengajakku beribadah sesuai dengan AlQuran dan Sunnah… Maka aku rela mendapat gelar  Wahabi !
Apabila Wahabi mengajakku hanya menyembah dan memohon kepada Allah subhaanahu wa ta’ala … Maka aku Pe–De memakai mahkota Wahabi !

Apabila Wahabi menuntunku menjauhi syirik, khurafat dan bid’ah… Maka aku bangga menyandang baju kebesaran Wahabi !

Apabila Wahabi mengajakku taat kepada Allah subhaanahu wa ta’ala dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam … Maka akulah pahlawan Wahabi !

Ada yang bilang.…. Kalau pengikut setia Ahmad shallallahu ‘alaihi wa sallam digelari Wahabi, maka aku mengaku sebagai Wahabi.

Ada yang bilang….. Jangan sedih wahai “Pejuang Tauhid”, sebenarnya musuhmu sedang memujimu, Pujian dalam hujatan….!
  
Oleh: Ahmad Zainuddin

Dicopy dari web Ustadz Firanda, Lc, MA


COMMENTS
maskur
Bagi saya tidak terlalu penting disaat kita dicap wahabi/salafi…klu memang didalam menjalankan ibadah kita sudah sesuai perintah alloh dan rasulNya maju tak gentar allohuakbar….

Memang betul kang,.
Apalah artinya sebuah nama, jika hakekatnya berbeda,.
Kotoran yang busuk walaupun dibungkus dengan bungkus kado yang bagus, ya tetep saja tidak merubah isinya,.
Mutiara walaupun terbenam di lumpur hitam, tetap saja akan berbentuk mutiara, tidak akan berubah, walaupun mencarinya harus bersusah payah,.
Dan sudah menjadi hal yang wajar, jika kita mendakwahkan kebenaran, pasti mendapatkan tantangan, hujatan ,celaan,.
Lihat manusia yang paling utama di muka bumi, betapa mulia akhlaknya, perangainya,. beliau adalah Rasulullah
namun…
ketika beliau mulai mendakwahkan dakwah yang hak, mentauhidkan Allah, menjauhi syirik, sehingga bertentangan dengan budaya lokal kaumnya, maka apa yang didapatkan oleh Rasulullah?
Cacian, hinaan, penganiayaan,.. beliau dilempar hingga berdarah-darah,..
Maka tidak heran dengan jaman sekarang, siapa saja yang mendakwahkan kebenaran,mendakwahkan dakwah rasulullah, akan mendapatkan perlakuan yang serupa,.

ikwan
Admin pembohong besar ,kalian tak sesuai ucapan dengan tingkah laku kalian setiap hari ya, sunnah yg bagai mana yg km jalani aq mau naya???
Kalian maulud di bilang bid ah tapi kalian meryakan maulid si utsaimin dan si abdul wahab, mulia mana Nabi Muhamad atau si abdul wahab??
Inilah orang kalau belajar agama setengah setengah, belajar dulu yg dalem mas biar tulisan y berkelas dan berbobot, jangan asal cuap cuap tapi gak mutu , makaya mas admin jangan maling teriak maling y, pahami dulu ilmu dalam membaca dan pengertian isi makna kandungan Al qur an, kalau uda bisa jawab pertyaaan saya itu ya,tar aq taya hadis ama dahlil y yang membolehkan peryaan si utsaimin dan abdul wahab pemimpin kalian??
Ok tolong di jwb jangan di hapus y komen saya

TErimakasih mas ikwan,. komentar yang bagus,.
Mohon diketahui, kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa setempat, itu bukanlah pembenaran terhadap ajaran rasulullah,. jadi jika ada penguasa arab yang merayakan maulid syaikh muhammad ibnul wahhab, itu bukan pembenaran, dan patokan kebenaran itu bukanlah apa yang dilakukan oleh penguasa arab,
Ingat, bangsa arab bukan patokan kebenaran bahwa itu adalah ajaran islam,
Contoh saya kasih misal yang banyak dilakukan,. memotong jenggot haram hukumnya, kita diperintahkan untuk membiarkan jenggot tumbuh, dan dilarang memotongnya,. lihat di arab saudi,. banyak tentara yang memotong jenggotnya, dan penguasa arab juga demikian,. ini contoh kecil saja,. apakah ajaran islam mengajarkan memotong jenggot? tidak,..

Subhan
mas ikwan… klo admin ente sebut orang yg belajar agama setengah setengah, lah ente sendiri gimana…?
0.000000001% kah…?
komen anda yang menunjukkannya…

sabar mas subhan,.. kalem aja,. kita doakan, mudah2an mas ikwan mendapatkan hidayah, dipahamkan tentang ajaran islam yg benar, dengan pemahaman para sahabat,. aamiin,..

Sonto loyo
Aneh bin ajaib, sesungguhnya semua ciptaan Yuhan yang Maha Kuasa baik adanya, tidak ada yang tidak baik.
Ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa ada yang baik dan tidak itu disebabkan manusia yang tidak memahami kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.
Contoh; seekor anjing, ada sebagian yang menganggap najis sebaliknya ada pula sebagian yang menganggap tidak najis itu adalah anggapan manusia bukan dari pihak Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kalau saja Tuhan Yang Maha Kuasa juga menganggap bahwa anjing itu najis, maka Tuhan Yang Maha Kuasa tidak akan menciptan anjing walau hanya kakinya saja.
Banyak hewan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang dianggap najis oleh manusia, padahal manusia yang menganggap hewan-hewan itu najis tak sanggup membuat/memusnahkan kecuali memang hal itu kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.

Tulisan ini saya tulis secara obyektip tanpa melibatkan agama/kepercayaan apapun.
Alhamdulillah,. bener tuh kang sonto loyo, apa yang anda tulis itu benar, lalu apa maksudnya?
tapi ada yang salah juga,. bagian yang ini:
======
Contoh; seekor anjing, ada sebagian yang menganggap najis sebaliknya ada pula sebagian yang menganggap tidak najis itu adalah anggapan manusia bukan dari pihak Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kalau saja Tuhan Yang Maha Kuasa juga menganggap bahwa anjing itu najis, maka Tuhan Yang Maha Kuasa tidak akan menciptan anjing walau hanya kakinya saja.++++
sudah jelas tentang najisnya anjing, dan haram dagingnya,.
kalimat berikutnya ,.. darimana anda tahu jika anjing itu najis menurut Allah maka Allah tidak akan menciptakan anjing?? ini super ngawur mas,
saya tambahkan, bahkan Allah menciptakan IBLIS, JIN, SETAN, itu juga bukah hal yang jelek bagi Allah, Tidak ada ciptaan Allah yang jelek,.
Nama anda sonto loyo, itu juga mungkin jelek bagi orang jika mendengar nama sonto loyo,. anda menamakan diri sonto loyo, anda adalah ciptaan Allah, walaupun anda bernama sonto loyo, anda bukanlah makhluk yg jelek, makhluk ciptaan Allah itu semua sempurna, ga ada yang jelek, walaupun mungkin dipandang jelek oleh sebagian manusia,.
Demikian kang sonto loyo, mudah-mudahan Allah menunjuki anda agar menjadi orang yang paham tentang ajaran islam yang benar,. menurut pemahaman para sahabat,. aamiin,.

Ahmad Muridan
Assalamu`alaikum warohmatullah wabarokatuh.
Pak isinya kok mirip dengan ” PANTUN/SYAIR ” tapi penuh dengan ilmu dan nasehat.membuat gairah dalam beramal dan beribadah.
Baarokallahu Fikum.
Wassalamu`alaikum warohmatullah wabarokatuh

Wa’alaikumussalam warahmtullahi wabarakatuh,.
wafiikum baarakallah,

aggi
islam itu dulu asing dan akan kembali terasing maka beruntunglah orang” yg asing itu…
biar wahabi asal tau dalil dlm ibadah g cm ikt sbagian bsar org
krn yg bnyk blm tentu bnr…
Ya, banyak itu belum tentu benar, sudah diulas disini

Anonymous
Kayak pernah hidup dijaman nabi saja..
Yang pernah hidup di jaman nabi adalah para sahabat,.
Para sahabatlah yang dibina langsung oleh nabi,.

maka jika kita ingin selamat, maka ikutilah pemahaman para sahabat nabi,. sehingga cara beragama islam kita mengikuti pemahaman para sahabat, sebab itulah SATU-SATUNYA JALAN KESELAMATAN,. silahkan baca ulasannya disini

Ahmad Muridan
Assalamu`alaikum warohmatullah wabarokatuh
maaf pak ustadz .saya pernah nonton film/video kajian ustadz ” Abu Yahya ” di yatube.bahwasanya wahabi itu sesat karena suka mengkafir-kafirkan sesama muslim.aku jadi bingung.
Wassallamu`aliakum warohmatullah wabarokatuh.

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,.
Ada WAHABI YANG SESAT,. dan ini pula yang dijadikan oleh musuh-musuh dakwah,.
Hanya karena ada kesamaan nama Tokohnya, WAHABI YANG SESAT,mudah mengkafirkan bahkan menumpahkan darah kaum muslimin, itu adalah pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab bin RUSTUM, sudah saya posting disini
Adapun kalau dakwah yang diusung oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, itu adalah dakwah YANG HAQ,dakwah islam dengan pemahaman para sahabat,. dan dengan dakwah itu pula berdiri negara SAUDI ARABIA sebagai buah dari dakwah tauhid tersebut,.
Di Saudi nyawa kaum muslimin begitu dijaga, demikian pula hartanya,.
Jadi, seandainya betul tuduhan dakwah syaikh muhammad bin abdul wahhab itu mudah mengkafirkan,. maka sudah banyak buktinya ,. di saudi malah tokoh2 yang mengusung pemikiran pengkafiran banyak dijebloskan ke dalam penjara,.

Karena dakwah syaikh muhammad bin abdul wahhab tersebutlah, maka penjajah inggris tidak bisa menjajah saudi, lalu mencari kambing hitam untuk dakwah syaikh muhammad bin abdul wahhab, agar negara lain tidak menerima dakwahnya, sebab itu bisa mengancam kepentingan penjajah,. akhirnya dijulukilah dengan julukan WAHABI, wahabi yang sesat yaitu pemikiran muhammad bin abdul wahhab bin RUSTUM, postingannya bisa dibaca disini
Belanda saja takut dengan dakwah syaikh muhammad bin Abdul wahab yang mendakwahkan manhaj salaf,. bukan pengkafiran …
Buya hamka saja mengakui, bahkan ayahnya buya hamka juga kagum dengan dakwahnya,.
Bung karno saja bangga terhdap dakwah wahabi yang mengusung manhaj salaf,.
KH Ahmad Dahlan juga terinspirasi dengan dakwah syaikh muhammad bin abdul wahhab dengan manhaj salafnya,..

so… apakah anda masih bingung?

Ahmad Muridan
terimakasih pak atas penjelasan dan pencerahannya
jazzakumullah khairan.
Alhamdulillah,..

Anonymous
tapi disini memang aneh ya setiap ada yang mendakwahkan kebenaran sesuai Alqur’an dan Assunah pasti dicaci habis2an, anehnya lagi yg mencaci yg ngakunya umat islam…
yg katanya kelompoknya paling banyak…
bukannya cepet2 cari rujukan kalo merasa ada perbedaan dengan yg diyakininya…

faham
Alhamdulillah, marilah ikuti cara beragamanya para shahabat radhiallahu anhuma, agar selamat, bagaimana menyikapi adanya larangan berjenggot bagi para PNS, TNI dan Polri ?
apakah kita wajib taat kepada pimpinan yang melarang jenggot bagi kaum muslimin ?

Allah akan memintai pertanggungjawaban orang yang menghalangi orang yang mau mentaati Allah dan Rasulnya..
Allah juga akan memintai pertanggungjawaban orang yang tidak mau melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasulnya,..

Jadi,. masing-masing akan dimintai pertanggungjawaban kelak, dan jangan sampai kita menjadi orang yang tidak mau melakukan amalan ketaatan tersebut, apalagi menghalang-halangi orang yang mau mengamalkan amalan tersebut,.
Jadi tinggal kita berpikir cerdas,.
Carilah pekerjaan atau profesi dimana kita bisa mengamalkan amalan ketaatan ini dengan leluasa,. tidak dikekang,..

Faham
Alhamdulillah jazakumullahu khairan ustadz dan admin