Bhineka Tunggal Ika, kebhinekaan, pluralitas/pluralisme, dan toleransi adalah kata-kata popular yang muncul di berbagai media. Apalagi semenjak partai merah berkuasa – setelah (katanya) 10 tahun ‘puasa’[1] –, kata-kata tersebut menjadi jauh lebih sering dan nyaring. Apakah salah ?. Tidak sepenuhnya salah. Yang jadi salah (diantaranya) muncul kecondongan penafsiran kebhinekaan dalam bentuk pluralisme agama. Sebagaimana jamak diketahui, paham pluralisme sendiri sangat ditentang oleh Majelis Ulama Indonesia melaluifatwanya yang telah dirilis beberapa tahun silam.Alhamdulillah, banyak kaum muslimin Indonesia masih memegang fithrahnya menolak pluralisme agama. Banyak pula tokoh dan kiyai kita, terutama dari kalangan NU, yang memahami pluralisme hanya sekedar sikap sosial saling menghormati pemeluk agama lain tanpa meyakini eksistensi kebenaran majemuk semua agama. Hanya Islam agama yang benar. Sekali lagi, patut kita syukuri.
Tentu ada pengecualiannya dari kalangan oknum – baik individu maupun kelompok, besar atau kecil – yang menyimpang dari garis normal tersebut. Di satu sisi mereka dengungkan secara keras keberagaman dan toleransi secara eksternal, di sisi lain sangat primitif dalam masalah toleransi secara internal.
Betapa tidak ?!.
Dengan suka dan rela gereja-gereja dijaga dan diamankan, agar orang yang melakukan ibadah kesyirikan di dalamnya merasa nyaman. Sementera saya yakin mereka pernah melewati bacaan ayat Al-Qur’an:
لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ مَرۡيَمَ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putra Maryam’” [QS. Al-Maaidah : 17 & 72].
لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ ثَالِثُ ثَلَٰثَةٖۘ وَمَا مِنۡ إِلَٰهٍ إِلَّآ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۚ وَإِن لَّمۡ يَنتَهُواْ عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah salah satu dari yang tiga, padahal sekali-kali tidak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Rabb Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih” [QS. Al-Maaidah : 73].
Dengan suka dan rela mereka melakukan doa bersama lintas agama dengan berbagai motif untuk sekedar simbol toleransi dan persatuan[2]. Mungkin saja prinsipnya‘berbeda-beda tuhan namun tetap dikabulkan jua’. Saya yakin, Anda tidak membenarkan apa yang mereka lakukan karena MUI telah mengeluarkan fatwa bid’ah dan haramnya acara tersebut dengan rincian:
1. Doa bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan non-muslim tidak dikenal dalam Islam. Oleh karenanya, termasuk bid’ah.
2. Doa Bersama dalam bentuk “Setiap pemuka agama berdoa secara bergiliran” maka orang Islam haram mengikuti dan mengamini doa yang dipimpin oleh non-muslim.
3. Doa Bersamadalam bentuk “Muslim dan non-muslim berdo’a secara serentak” (misalnya mereka membaca teks doa bersama-sama) hukumnya haram.
4. Doa Bersama dalam bentuk “Seorang non-Islam memimpin doa” maka orang Islamharam mengikuti dan mengamininya.
5. Doa Bersama dalam bentuk “Seorang tokoh Islam memimpin doa” hukumnya mubah.
6. Doa dalam bentuk “Setiap orang berdo’a menurut agama masing-masing” hukumnya mubah.
[selengkapnya : http://sangpencerah.id/2014/10/fatwa-mui-hukum-doa-bersama-lintas-agama/].
Bagaimanakah sikap mereka terhadap kaum muslimin yang berbeda paham dengan mereka ?. Saya ajak membaca sebagian fakta yang sempat booming:
1. Pengambilalihan paksa Masjid As-Salam yang dikelola Muhammadiyyah (sertifikat Nomor 3 tanggal 23/9/2008 atas nama PC Muhammadiyah Cengkareng) di Cengkareng Barat (27/2/2015) yang ditindaklanjuti dengan tindakan arogan moncoret plang masjid, memaksa menggelar seremoni maulid yang dihadiri habaaib dan massa (dimana tradisi ini tidak dilaksanakan oleh Muhammadiyyah), mengganti khathib dan imam secara sepihak, dan lainnya (selengkapnya :http://sangpencerah.id/2015/02/kronologis-penyerobotan-masjid/).
Kasus ini sempat menghebohkan jagad media yang akhirnya dapat diselesaikan secara damai.
2. Ittihadul Ma’ahid Muhammadiyah (ITMAM/Persatuan Pondok Pesantren Muhammadiyah) yang sedang mengadakan Daurah Tahfidzul-Qur’an (program dua bulan dengan target hafal 30 juz) di Karimunjawa, Jepara; dibubarkan paksa. Diantara alasannya adalah ketiadaan IMB (https://goo.gl/UHHPHk danhttps://goo.gl/R4Kj88). Memang terkesan mengada-ada (baca : dibuat agar ada), karena masjid-masjid yang dikelola NU pun banyak yang belum ber-IMB. Passionmereka hanyalah menyasar ke masjid-masjid non-NU.
3. Mendemo dan menolak pembangunan (kembali) Masjid Imam Ahmad bin Hanbal Bogor yang telah memiliki IMB. Padahal, masjid ini telah berdiri semenjak 2001. Mungkin karena melihat celah peluang menolak masjid ketika masih berdiri kecil, maka ketika masjid dirobohkan untuk direnovasi dengan memperbaharui IMB, peluang itu ada dan tak mereka sia-siakan. ‘Cerdas’. Dengan modal hasutan (wahabi, eksklusif, bukan masjid umum, dll.), terkumpullah massa untuk melakukan demo di kantor Wali Kota (29/8/2017) yang akhirnya atas desakan itu Walikota akan membatalkan IMB Masjid Ahmad bin Hanbal yang telah diperoleh secara sah (https://goo.gl/dcG9zW, https://goo.gl/pddQm5, dan https://goo.gl/NKz576).
4. Perobohan dan perebutan tanah waqaf Masjid Al-Ikhlash/Baitul-Muttaqin Muhammadiyyah di Dusun Jimus, Desa Pule, Kecamatan Modo, Lamongan pada tahun 1993 oleh sekelompok warga yang merasa mayoritas. Masih di wilayah yang sama, pembangunan masjid baru Muhammadiyyah mengalami berbagai tekanan dan gangguan sebelum akhirnya dapat diresmikan pada tanggal 15 Agustus 2017 (https://goo.gl/cYQG3S dan https://goo.gl/XFS9pj).
Silakan baca kronologisnya di link ini : https://goo.gl/bbeqEM.
5. Demo pada bulan Mei 2014 terhadap pengurus Mushalla An-Nurjannah Desa Yunyang, Kecamatan Modo, Kab. Lamongan (H. Darim) yang dikatakan ‘mendominasi’ kegiatan masjid. Para pendemo berhasil menonaktifkan H. Darim dan melarangnya menjadi imam. Padahal H. Darim hanya mengaktifkan mushalla yang selama ini cenderung vakum dan kemudian mengadakan pengajaran agama untuk warga sekitar. Kegiatan ini sudah berlangsung selama 14 tahun tanpa ada warga sekitar yang protes dan merasa terganggu. Lalu datanglah kelompok yang mengatasnamakan warga (?) yang melakukan apa yang mereka lakukan.
Setelah 2 bulan dilarang melakukan aktivitas, datang bantuan dari Yayasan Bina Muwahhidin untuk membangunkan masjid di tempat tersebut. Masjid tersebut sekarang telah berdiri dan dinamakan Masjid Jauharo Ali Muhammadiyah (https://goo.gl/sCFFjF).
6. Dan yang lainnya.
Ini hanya segelintir contoh yang dapat ditelusuri di internet. Yang lain masih banyak. Apalagi cerita berdasarkan pengalaman individu. Sengaja saya ambilkan mayoritas contohnya adalah kasus Muhammadiyyah vs (oknum) NU, karena lebih gampang diindera dan dibuktikan. Konflik klasik yang sudah berusia 1 abad semenjak kelahirannya.
Warga Muhammadiyyah mengakui Wahabi era dulu sangat diidentikkan dengan mereka (https://goo.gl/U814uX). Begitu juga kaum kaum tradisionalis aswaja yang dalam hal ini diwakili oleh suara Habib Munzir ketika menjawab pertanyaan kaitan Muhammadiyyah dengan Wahabi. Habib Munzir secara jelas menyatakan : “Muhammadiyyah tidaktermasuk salah satu dari Madzhab Ahlussunnah waljamaah, karena banyak hal yg mereka tentang, dan Muhammadiyyah ini hanya ada di indonesia saja, di negeri lain dikenal dengan sebutan wahabi, dan faham wahabi ini bertentangan dengan 4 Madzhab Ahlussunnah waljamaah” (https://goo.gl/K4ZUCt atau https://goo.gl/DjUY8Q). Walhasil, kaitan Muhammadiyyah dengan stigma Wahabi di sini valid karena ada statement dari objek maupun subjeknya.
Telinga kaum tradisonalis aswaja (NU) kerap memerah apabila mendeteksi sinyal 4G dakwah Wahabi Muhammadiyyah memberantas TBC, takhayyul-bid'ah-churafat. Menilik sejarahnya, tidak terlalu mengherankan karena pemicu didirikannya NU sendiri diantaranya adalah untuk menghadapi ‘Wahabisme’ yang kala itu – menurut Masdar F. Mas’udi – menguasai Arab Saudi (https://goo.gl/9HyGm7). Sentimen yang terjadi di Timur Tengah ditarik ke dalam negeri untuk mengimbangi ormas yang lebih dahulu lahir yang diklaim sebagai duplikasi Wahabi Saudi.
Konflik fisik berupa penyerangan dan pengusiran oleh oknum Aswaja (NU) yang merasa mayoritas bukan sesuatu yang aneh buat warga Muhammadiyyah. Sebagian konflik ini telah direkam dalam beberapa tulisan/penelitian akademik, diantaranya:
1. Skripsi berjudul : KOFLIK ANTARA NU DAN MUHAMMADIYAH (1960-2002) (Studi Kasus di Wonokromo Pleret Bantul Yogyakarta) - http://digilib.uin-suka.ac.id/1084/.
2. Skripsi berjudul : KONFLIK dan INTEGRASI : Antara Penganut NU dan Muhammadiyah di Dusun Sumber Langgeng Kel. Sumberejo, Kec. Pakal, Kota Surabaya. http://repository.unair.ac.id/18382/.
Atau konflik kaum tradisionalis aswaja versus ‘Wahabi’ versi lain, seperti Persis sebagaimana dilakukan Ayub (2011) untuk studi kasus di Kelurahan Mekarsari, Depok (http://repository.uinjkt.ac.id/).
Semakin lama, area konflik semakin melebar sehingga semua orang, kelompok, organisasi, atau ormas non-tradisional dianggap Wahabi di luar border aliran Aswaja (versi mereka). Muhammadiyyah, Persis, Al-Irsyad, dan terakhir Salafi. Objek-objek ini dianggap mengganggu eksistensi kaum tradisionalis aswaja tanah air - kaum yang menganggap diri paling moderat, Pancasilais, pro-kebhinekaan, dan toleran.
Beberapa masalah yang sering dijadikan media provokasi umat antara lain bid’ah, maulid, tahlil, yasinan, qunut Shubuh, tawassul, ngalap berkah (tabaruk), istighatsah, dan beberapa budaya lokal yang dilakukan masyarakat. Mari kita sekilas melihat substansi sebagian alergen mereka:
1. Bid’ah
Kaum tradisionalis aswaja (NU) maunya ada bid’ah hasanah – selain madzmumah - berdasarkan qaul Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah:
الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُودَةٌ، وَبِدْعَةٌ مَذْمُومَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُودٌ، وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُومٌ
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu : (1) bid’ah yang terpuji, dan (2) bid’ah yang tercela. Maka segala hal yang sesuai dengan sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah (bid’ah yang) tercela” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 9/113].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berdalil dengan perkataan ‘Umar bin Al-Khaththaabradliyallaahu ‘anhu ketika shalat tarawih di bulan Ramadlaan:
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هِيَ
“Sebaik-baik bid’ah adalah hal itu” [idem].
Adapun non-tradionalis memahami bid’ah itu semuanya tercela, tidak ada yang baik sebagaimana keumuman sabda Nabi ﷺ:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih[3]].
Juga perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan (bid'ah hasanah)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya hasan].
Mu’aadz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu:
فَإِيَّاكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلَالَةٌ
“Maka berhati-hatilah kalian dari segala sesuatu yang dibuat-buat (oleh manusia), karena sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat (bid’ah) itu adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4611; shahih].
Saya tahu kaum tradisionalis aswaja punya sanggahan. Begitu juga sebaliknya. Masing-masing punya rincian (tafshiil) dari apa yang mereka pahami.
2. Perayaan Maulid Nabi ﷺ
Kaum tradisionalis aswaja maunya merayakan maulid Nabi ﷺ karena dianggap sunnah dan bukti kecintaan mereka kepada beliau ﷺ. Diantara dalil yang mereka pergunakan adalah hadits :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " قَدِمَ النَّبِيُّ ﷺ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: مَا هَذَا؟ قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ، هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ، فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ "
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu : “Ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, beliau ﷺmelihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Aasyuuraa’. Lalu beliau ﷺ bersabda :‘Apa yang kalian lakukan ?’. Mereka (Yahudi) berkata : ‘Ini adalah hari baik. Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israaiil dari musuh mereka, lalu Muusaa pun berpuasa pada hari itu’. Beliau ﷺ bersabda : ‘Aku lebih berhak terhadap Muusaa daripada kalian’. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan (orang-orang) untuk berpuasa” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2004 dan Muslim no. 1130].
As-Suyuuthiy menukil perkataan Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniyrahimahumallah:
أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة ، ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها ، فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا ، قال : وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت وهو ما ثبت في الصحيحين
“Hukum asal peringatan maulid adalah bid’ah yang tidak ternukil dari kalangan as-salafush-shaalih yang hidup pada tiga jaman (yang pertama). Namun demikian, peringatan maulid ini mengandung kebaikan dan lawannya. Maka barangsiapa yang , jadi barangsiapa yang berusaha melakukan kebaikan dalam perayaan maulid dan menjauhi lawannya (keburukan), maka itu adalah bid’ah hasanah. Jika tidak seperti itu, maka bukan bid’ah hasanah (tidak bolehdilakukan). Dan nampak bagiku dasar pengambilannya (maulid) atas pokok yang shahih dari riwayat dalam Shahiihain…” [Al-Haawiy lil-Fataawaa].
Kemudian Al-Haafidh menyebutkan riwayat Ibnu ‘Abbaas di atas.
Adapun non-tradisionalis tidak merayakan maulid dan menganggapnya itu bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi ﷺ, para shahabat, taabi’iin, dan at-baa’ut-taabi’iin dari kalangan as-salafush-shaalih – seperti dikatakan Al-Haafidh Ibnu Hajarrahimahullah di atas. Ibnul-Maajisyuun rahimahullah berkata:
سمعت مالكا يقول : "من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا"
”Aku mendengar Maalik berkata : ‘Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad ﷺmengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu’ (QS. Al-Maaidah :5). Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu di jaman Rasulullah ﷺ beserta para shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama” [Al-I’tishaam oleh Asy-Syathibi, 1/49].
Seandainya kita berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbaas, maka perbuatan yang seharusnya dilakukan adalah berpuasa, sebagaimana dilakukan Nabi ﷺ dalam riwayat tersebut. Bukan perayaan maulid Nabi ﷺ.
3. Tahlilan dan Yasinan
Konstruksi pendalilan antara tradisionalis aswaja dan non-tradisionalis dalam bab ini polanya hampir sama. Berkisar pada masalah persepsi bid’ah. Masalah menjadi runyam karena sebagian oknum tradisionalis aswaja di tingkat tapak memberikan bumbu provokasi : “Masak berdzikir membaca tahlil dan membaca Al-Qur’an dilarang ?’. Lalu merebaklah bau tak sedap : ‘Wahabi melarang berdzikir dan baca Al-Qur’an’.
Padahal, bukan dzikir dan baca Al-Qur’annya secara umum yang dilarang non-tradisionalis, akan tetapi pelaziman kaifiyyah-nya. Kejadian ini analog dengan atsar Sa’iid bin Al-Musayyib yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq berikut:
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ أَبِي رِيَاحٍ، عَنِ ابْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ رَأَى رَجُلا يُكَرِّرُ الرُّكُوعَ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَنَهَاهُ، فَقَالَ: " يَا أَبَا مُحَمَّدٍ أَيُعَذِّبُنِي اللَّهُ عَلَى الصَّلاةِ؟ قَالَ: لا، وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلافِ السُّنَّةِ "
Dari Ats-Tsauriy, dari Abu Rayyaah, dari Ibnul-Musayyib : Bahwasannya ia (Ibnul-Musayyib) pernah melihat seorang laki-laki memperbanyak rukuknya setelah terbit fajar, lalu ia melarangnya. Laki-laki tersebut berkata : “Wahai Abu Muhammd, apakah Allah akan mengadzabku dengan sebab shalat (yang aku kerjakan)?”. Ia menjawab : “Tidak, akan tetapi Allah mengadzabmu karena menyelisihi sunnah[4]” [Al-Mushannaf 3/52 no. 4755; shahih – lihat Irwaaul-Ghaliil, 2/236].
Jadi ketika Ibnul-Musayyib mengingatkan shalat yang dilakukan laki-laki itu tidak disyari’atkan, tidak lantas disimpulkan dirinya melarang shalat secara umum. Akan tetapi yang dilarang adalah dirinya menyelisihi petunjuk Rasulullah ﷺ. Melakukan apa yang tidak dilakukan Nabi ﷺ, padahal hal yang mendorong beliau untuk itu ada namun tetap tidak beliau lakukan.
Kaum tradisionalis aswaja juga berkata bahwa tahlilan 7 hari berturut-turut ada landasannya dari kaum salaf sebagaimana perkataan Thaawus:
إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الأَيَّامِ
“Sesungguhnya orang yang meninggal akan terfitnah (diuji) dalam kuburnya selama 7 hari. Dulu mereka (shahabat dan taabi’iin – Abul-Jauzaa’) menyukai untuk memberikan makanan dari mereka (yang meninggal) pada hari-hari tersebut” [Hilyatul-Auliyaa’ 4/11].
Tapi atsar ini lemah tak bisa dipakai sebagai dalil. Begitu menurut kaum non-tradisionalis.[5]
Masih berkaitan, kaum tradisionalis aswaja sering mengadakan kumpul-kumpul kendurian mayit bersamaan dengan penyelenggaraan tahlilan dan yasinan, sedangkan non-tradisionalis tidak. Kaum non-tradisional mengatakan perbuatan ini bukan sunnah dan termasuk bid’ah yang terlarang. Dalilnya adalah atsar Jariir bin ‘Abdillah Al-Bajaliy radliyallaahu ‘anhu:
كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami (para shahabat) menganggap menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) termasuk bagian dari niyahah (meratapi mayit)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 1612; dishahihkan oleh An-Nawawiy dalam Al-Majmuu’ 5/285, Ibnu Katsiir dalam Irsyaadul-Faqiih 1/241, dan yang lainnya].
Bahkan Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
وَأَكْرَهُ النِّيَاحَةَ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَأَنْ تَنْدُبَهُ النَّائِحَةُ عَلَى الِانْفِرَادِ، لَكِنْ يُعَزَّى بِمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الصَّبْرِ وَالِاسْتِرْجَاعِ، وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ، .....
“Dan aku membenci perbuatan niyaahah (meratap) terhadap mayit setelah kematiannya dan orang yang meratap tersebut menyebut-nyebut kebaikan si mayit secara tersendiri. Akan tetapi hendaknya ia dihibur dengan sesuatu yang diperintahkan Allah agar bersabar dan mengucapkan kalimat istirjaa’. Dan aku juga membenci berkumpul-kumpul di keluarga di mayit meskipun tidak disertai adanya tangisan, karena hal tersebut akan menimbulkan kesedihan dan membebani materi/bahan makanan (bagi keluarga si mayit)…..” [Al-Umm, 1/248].
4. Tawassul
Tawassul yang dilakukan kaum tradisionalis aswaja cenderung sangat longgar dengan berbagai bentuknya. Adapun non-tradionalis lebih ketat. Diantara titik perbedaan (dan ini bukan pembatas) adalah masalah tawassul dengan kedudukan/hak Nabi ﷺ atau orang-orang shalih seperti ucapan : “Aku memohon kepada-Mu ya Allah dengan kedudukan/hak Nabi ﷺ atau Fulaan…..demikian dan demikian…”.
Tawassul seperti ini memang ternukil dari sebagian ulama. Namun sebagian ulama yang lain melarang dan membencinya sebagaimana dinukil Al-Albaaniy dari kalangan Hanafiyyah rahimahumullah :
فقد جاء في "الدر المختار" "2/630" – وهو من أشهر كتب الحنفية – ما نصه: عن أبي حنيفة: لا ينبغي لأحد أن يدعو الله إلا به، والدعاء المأذون فيه، المأمور به ما استفيد من قوله تعالى: {وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا}. ونحوه في "الفتاوى الهندية" "5/280". وقال القُدوري في كتابه الكبير في الفقه المسمى "بشرح الكرخي" في "باب الكراهة": قال بشر بن الوليد حدثنا أبو يوسف قال أبو حنيفة: لا ينبغي لأحد أن يدعو الله إلا به، وأكره أن يقول: بمعاقد العز من عرشك، أو بحق خلقك، وهو قول أبي يوسف، قال أبو يوسف: معقد العز من عرشه هو الله، فلا أكره هذا، وأكره أن يقول: بحق فلان، أو بحق أنبيائك ورسلك، وبحق البيت الحرام والمشعر الحرام...."
“Tercantum dalam kitab Ad-Durrul-Mukhtaar (2/630) yang merupakan salah satu kitab masyhur madzhab Hanafiyyah : ‘Tidak sepatutnya bagi seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengan-Nya. Dan doa yang diidzinkan lagi diperintahkan-Nya adalah seperti yang tercantum dalam firman-Nya : Hanya milik Allah al-asmaaul-husnaa, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaulhusna itu (QS. Al-A’raaf ; 180)’. Hal yang semisal terdapat dalam Al-Fataawaa Al-Hindiyyah(5/280).
Telah berkata Al-Quduuriy dalam kitabnya yang besar dalam permasalahan fiqhSyarhul-Karkhiy, bab Al-Karahah : Telah berkata Bisyr bin Al-Waliid : Telah menceritakan kepada kami Abu Yuusuf, ia berkata : Telah berkata Abu Haniifah : ‘Tidak sepatutnya bagi seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengan-Nya, dan aku membenci untuk mengatakan : Dengan kemuliaan ‘Arsy-Mu atau Dengan hak makhluk-Mu’.
Dan inilah perkataan Abu Yuusuf : Telah berkata Abu Yuusuf : ‘Jaminan kemuliaan ‘Arsy adalah Allah, oleh karena itu aku tidak membencinya. Namun aku membenci untuk mengatakan : Dengan hak si Fulaan atau Dengan hak para nabi-Mu, para Rasul-Mu, ‘Al-Baitul-Haraam, dan Al-Masy’aril-Haraam’…….” [At-Tawassul, hal. 46-47].
5. Ngalap Berkah
Sebagian kaum tradisionalis aswaja akar rumput melakukan ngalap berkah pada hal-hal yang tidak ada dalilnya (menurut pandangan non-tradisionalis), lebih cenderung pada tradisi. Misalnya ngalap berkah masyarakat Solo terhadap gunungan kembar hasil bumi sebagaimana pada video di bawah:
Atau ngalap berkah dengan mencium dan mengusap-usap pintu makam di Cirebon (Jawa Barat) dan Mataram (NTB) sebagaimana video di bawah:
Sementara itu, kaum non-tradisionalis mengatakan perbuatan tabarruk di atas terlarang dan menyelisihi sunnah (bid’ah). Bahkan, berpotensi jatuh pada kesyirikan. Para shahabat membencinya sebagaimana atsar yang teriwayatkan dari Ibnu ‘Umarradliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، " أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ مَسَّ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari ‘Ubaidullah, dari Naafi’ : Bahwasannya Ibnu ‘Umar membenci mengusap kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam [Diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Aashim Ats-Tsaqafiy dalam Juuz-nya no. 27, dan darinya Adz-Dzahabiy dalam Mu’jamusy-Syuyuukh 1/45 dan As-Siyar12/378; shahih].
Terkait dengan atsar Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah mengatakan :
فصل : ولا يستحب التسمح بحائط قبر النبي صلى الله عليه و سلم ولا تقبيله قال أحمد : ما أعرف هذا قال الأثرم : رأيت أهل العلم من أهل المدينة لا يمسون قبر النبي صلى الله عليه و سلم يقومون من ناحية فيسلمون قال أبو عبد الله : هكذا كان ابن عمر يفعل
“Pasal : Tidak disukai mengusap tembok kubur Nabi ﷺ dan tidak pula menciumnya. Ahmad berkata : ‘Aku tidak mengetahuinya’. Al-Atsram berkata : ‘Aku melihat ulama dari kalangan penduduk Madiinah tidak mengusap kubur Nabi ﷺ, dan mereka berdiri dari sisi mengucapkan salam. Abu ‘Abdillah berkata : ‘Begitulah yang dilakukan Ibnu ‘Umar” [Al-Mughniy, 3/556].
Dalam kitab Kasysyaaful-Qinaa’ disebutkan :
اتَّفَقَ السَّلَفُ وَالْأَئِمَّةُ عَلَى أَنَّ مَنْ سَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ الصَّالِحِينَ فَإِنَّهُ لَا يَتَمَسَّحُ بِالْقَبْرِ وَلَا يُقَبِّلُهُ
“Salaf dan para imam telah bersepakat bahwasannya siapa saja yang mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ atau selainnya dari kalangan para nabi yang shalih, maka ia tidak mengusap kubur dan menciumnya” [4/439].
6. Dan lainnya….
Dengan melihat uraian di atas, pendapat yang dipegang kaum non-tradisionalis (baca : Wahabi) mempunyai dasar dan pendahulu di kalangan ulama (salaf). Tentu bukan di sini tempatnya untuk merinci pembahasan tersebut. Di sini saya hanya ingin menunjukkan anatomi pemahaman non-tradisionalis dari (sebagian) perkara yang sering dipermasalahkan. Perkara mereka (tradisionalis aswaja) setuju atau tidak setuju, lain perkara.
Non-tradisionalis secara hakekat bukan ‘aliran modern’ yang tidak ada sangkut-pautnya dengan pemahaman ulama sebelumnya. Pemahaman non-tradisionalis bukan ‘ujug-ujug’ ada di abad 19.
Lantas, apakah pas kiranya dikarenakan masalah itu kaum tradisionalis aswaja (NU) membikin-bikin provokasi, teror, intimidasi, okupasi/pendudukan tanah waqaf dan masjid, pengusiran, dan semisalnya? – sementara di sisi lain sibuk dengan propaganda toleransi dan kebhinekaan?.
Sebuah paradoks dan ironi yang nyata. Bahkan arogansi dan penjajahan praktek beragama.
Apakah dipikir semua masjid di Nusantara harus menyelenggarakan perayaan maulid, shalawatan, istighatsahan, dan kegiatan lain yang menjadi ciri khas tradisionalis aswaja (NU) yang secara fiqh tidak disepakati non-tradisionalis ?.
Apakah dipikir ketika tradisionalis aswaja meyakini disunnahkannya sesuatu, yang lain harus setuju atau diam ?. Tidak boleh mengatakan terlarang, haram, atau bid’ah ?. Atau,…. kenapa tidak sebaliknya saja mereka yang mengikuti lawannya ?
Apakah pernah kita temui para ulama dulu melakukan seperti apa yang mereka lakukan ?.
Ketika sebagian ulama Syaafi’iyyah mengatakan dibolehkan perayaan maulid, ‘Umar bin ‘Aliy bin Saalim bin Shadaqah Al-Lakhmiy Al-Iskandariy yang masyhur dengan nama Al-Faakihaaniy (lahir 654 H/656 H) dengan terang-terangan berfatwa bid’ah:
أما بعد : فإنه قد تكرر سؤال جماعة من المباركين عن الاجتماع الذي يعمله بعض الناس في شهر ربيع الأول ويسمونه المولد : هل له أصل في الشرع ، أو هو بدعة وحدث في الدين ؟ ؟ وقصدوا الجواب من ذلك مبينا ، والإيضاح عنه معينا ، فقلت وبالله التوفيق : لا أعلم لهذا المولد أصلا في كتاب ولا سنة ، ولا ينقل عمله عن أحد من علماء الأمة الذين هم القدوة في الدين المتمسكون بآثار المتقدمين ، بل هو بدعة أحدثها المبطلون ، وشهوة نفس اعتنى بها الأكالون بدليل أنا إذا أدرنا عليها الأحكام الخمسة : قلنا إما أن يكون واجبا أو مندوبا ، أو مباحا أو مكروها أو محرما ، وليس هو بواجب إجماعا ، ولا مندوبا ، لأن حقيقة المندوب : ما طلبه الشارع من غير ذم على تركه ، وهذا لم يأذن فيه الشارع ، ولا فعله الصحابة ، ولا التابعون ، ولا العلماء المتدينون فيما علمت ، وهذا جوابي عنه بين يدي الله تعالى إن عنه سئلت ولا جائزا أن يكون مباحا ، لأن الابتداع في الدين ليس مباحا بإجماع المسلمين فلم يبق إلا أن يكون مكروها أو محرما
“Amma ba’du, sungguh telah berulang kali pertanyaan dilontarkan oleh jama’ah orang-orang yang mendapat keberkahan tentang perkumpulan yang dilakukan sebagian orang di bulan Rabii’ul-Awwal, yang mereka namai dengan Maulid (Nabi) : ‘Apakah ia mempunyai asal/dalil dari syari’at? Ataukah ia merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama ?. Mereka menghendaki jawaban dan penjelasan yang terang tentang perkara tersebut.
Maka aku katakan – wa billaahit-taufiiq - :
Aku tidak mengetahui asal perbuatan maulid dari Al-Kitaab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah. Perbuatan tersebut juga tidak pernah ternukil dari satupun ulama umat yang menjadi teladan dalam agama dan berpegang pada atsar ulama terdahulu. Bahkan perbuatan itu adalah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang baathil (kalangan Faathimiyyin – Abul-Jauzaa’), serta syahwat jiwa yang diperhatikan oleh orang-orang yang senang makan. Dalilnya, apabila aku menghendaki hukum-hukum syar’iyyah, maka kami katakan : kemungkinan ia wajib, manduub (sunnah), mubah, makruh, atau haram. Perbuatan (maulid) itu bukan termasuk wajib secara ijmaa’. Bukan pula manduub, karena hakekat manduub adalah sesuatu yang dituntut oleh Syaari’ (Allah) tanpa adanya celaan jika meninggalkannya. Adapun perbuatan ini (yaitu maulid) tidaklah diizinkan oleh Syaari’ (Allah), tidak pernah dilakukan para shahabat, taabi’iin, dan ulama yang dijadikan pegangan dalam agama sepanjang pengetahuanku. Inilah jawabanku di hadapan Allah ta’ala jika nanti aku ditanya tentang permasalahan itu. Tidak boleh menjadikan perkara tersebut sesuatu yang mubah, karena berbuat bid’ah dalam agama bukanlah perkara mubah berdasarkan ijmaa’ kaum muslimin. Oleh karena itu, tidaklah tersisa kecuali perbuatan itu dihukumi makruh atau haram........” [Al-Maurid fii ‘Amalil-Maulid, hal. 20-22, Maktabah Al-Ma’aarif, Riyaadl, Cet. 1/1407].
Kita dapat lihat bersama, para ulama tak menjadi bisu dan dipaksa bisu oleh lainnya.
Ketika Asy-Syaafi’iy rahimahullah mengatakan sunnahnya qunut Shubuh secara terus-menerus, tak ternukil dari beliau larangan untuk menyelisihi pendapatnya. At-Tirmidziyrahimahullah memaparkan fakta masa silam dalam permasalahan ini:
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْقُنُوتِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، فَرَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ وَغَيْرِهِمُ الْقُنُوتَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، وقَالَ أَحْمَدُ، وَإِسْحَاق: لَا يُقْنَتُ فِي الْفَجْرِ إِلَّا عِنْدَ نَازِلَةٍ تَنْزِلُ بِالْمُسْلِمِينَ، فَإِذَا نَزَلَتْ نَازِلَةٌ فَلِلْإِمَامِ أَنْ يَدْعُوَ لِجُيُوشِ الْمُسْلِمِينَ
“Para ulama berbeda pendapat mengenai qunut shalat Shubuh. Sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi ﷺ dan selain mereka berpendapat (masyru’-nya) qunut pada shalat Shubuh. Itu merupakan perkataan Asy-Syaafi’iy. Ahmad (bin Hanbal) dan Ishaaq (bin Rahawaih) berkata : ‘Qunut tidak dilakukan pada shalat Shubuh, kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin. Jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin, maka imam mendoakan (kebaikan/kemenangan) untuk pasukan kaum muslimin”
وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ، وقَالَ سفيان الثوري: إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ، وَاخْتَارَ أَنْ لَا يَقْنُتَ، وَلَمْ يَرَ ابْنُ الْمُبَارَكِ الْقُنُوتَ فِي الْفَجْرِ،
“(Hadits Abu Maalik Al-Asyja’iy di atas) diamalkan oleh kebanyakan ulama. Sufyaan Ats-Tsauriy berkata : ‘Apabila seseorang melakukan qunut di waktu shalat Shubuh, maka itu baik. Jika tidak melakukannya, itu pun baik’. Ia (Ats-Tsauriy) memilih untuk tidak qunut. Ibnul-Mubaarak tidak berpendapat adanya qunut pada shalat Shubuh” [Jaami’ At-Tirmidziy, 1/426-427].
Semua berbicara sesuai dengan ilmu dan ijtihadnya. Bebas berpemahaman sesuai dengan koridor keilmuan.
Tapi mari kita lihat sebagian gambaran realitas di lapangan – yang sebenarnya bagi non-tradisionalis – tak terlalu dibawa pikiran:
Tak begitu masalah, tapi silakan rasakan taste-nya…
Coba perhatikan pula model rekayasa lawakan dai tentang anak yang mau membunuh bapaknya dalam video di bawah (00:58 – 01:30):
Semua aliran Islam, semua sesat kecuali NU katanya (he he he he…. – menit 02.22 – 02.43). Dai di atas juga mencontohkan sesuatu yang sangat merendahkan Muhammadiyyah – yang mungkin kalau benar ceritanya itu – sifatnya kasuistik. Tentang kasus siswi sekolah Muhammadiyyah yang ‘meteng’ (hamil) 4 bulan karena dikerjai temannya (02:50 – dst). Tapi kalau madrasah yang dibina NU, insya Allah tidak ada, kata beliau[6]. Sangat mudah sebenarnya membantah klaim tak berbobot ini, tapi biarlah.
Yang seperti ini banyak.
Pengurus NU mengeluh banyak masjid NU yang ‘direbut’ oleh orang selain NU. Modusnya katanya:
“munculnya seseorang yang dengan sukarela membantu membersihkan masjid, lalu membantu adzan, diteruskan dengan mengajak temannya untuk menjadi khotib dan akhirnya merubah seluruh kepengurusan takmir masjid dan tatanan peribadatan yang selama ini sudah berjalan dengan baik. Kemunculan kasus seperti ini akhirnya menimbulkan resistensi di masjid-masjid yang lain yang sebelumnya cukup terbuka dengan alasan untuk menjaga eksistensi peribadatan yang sudah ada dan diyakini kebenarannya”
[Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/34016/]
“Banyak masjid dan mushola NU yang direbut mereka. Istilahnya, mereka tidak bisa membangun masjid sendiri, bisanya cuma merebut masjid milik orang lain. Ingin enaknya sendiri,” ujar Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars itu”
[Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/9124/].
Mari kita nalar. Seandainya masjid tersebut aktif dan jama’ah NU konsisten, tentu tidak terjadi apa yang mereka namakan ‘perebutan’. Kenyataan di lapangan dari istilah ‘perebutan’ itu lebih ke arah revitalisasi masjid yang sebelumnya minim jama’ah, vakum kegiatan, dan vakum kepengurusan. Atau, warga sekitar masjid atau jama’ah masjid tidak (lagi) didominasi orang NU. Ada perubahan dan dinamika. Anehnya, setelah aktif dan ramai jama’ah, sebagian oknum ‘nun jauh di sana’ yang tidak menjadi bagian dari masjid tersebut merasa direbut masjidnya. Dalam sebagian kasus, lantas rame-ramegalang massa mendemo orang yang mengaktifkannya (sebagaimana yang dialami H. Darim yang disebutkan sebelumnya). Ketika publikasi ke khalayak, merekalah yang (seakan) merasa didhalimi para perebut masjid itu. Memang menyedihkan dan sekaligus mengesalkan.
Tapi klaim tersebut sangat dipahami. Jangankan yang tidak ‘punya’ masjid, yang jelas-jelas ‘punya’ masjid saja dapat mereka duduki paksa dan didemo untuk dihentikan kegiatannya.
Mungkin, kegusaran mereka bertambah dengan kehadiran beberapa stasiun TV dan Radio dakwah ‘Wahabi’, semisal TV dan Radio RODJA[7]. Alhamdulillah, TV dan Radio Rodja mendapatkan animo sangat besar dari masyarakat hingga ke wilayah pedalaman.[8]
Seandainya segala kegusaran mereka hanya ditindaklanjuti di tataran ilmiah (bantahan), tak ada soal. Ataupun maksimal, mereka katakan ‘Wahabi’ sesat, itu pun tak begitu merisaukan karena memang telah eksis semenjak jaman purba.
Kita tak pernah memaksa mereka untuk mengatakan ‘Wahabi’ itu baik hati, tidak sombong, dan gemar menabung. Tapi kiranya, jangan ikuti semua itu dengan hasutan, provokasi, ngarang cerita alias ndabul, demonstrasi, pengambilalihan paksa (secara fisik) tanah waqaf dan masjid, atau perobohan masjid seperti yang sudah-sudah. Ahmadiyyah yang jelas-jelas kafir dapat nyaman dengan perlindungan Anshor/Banser[9], tapi ‘Wahabi’ yang statusnya masih muslim selalu merasa gelisah bertetangga dengan mereka. Rasa-rasanya, sangat jarang terdengar ormas NU, para habaaib, dan pasukan Banser yang konon sakti mandraguna melindungi orang-orang Wahabi, atau yang belakangan mereka sebut ‘Salafi’.
Ironi toleransi pilih kasih…..
‘Wahabi’ yang katanya suka mengkafirkan, malah sering mengkampanyekan ‘peperangan’ terhadap golongan takfiri, diantaranya ISIS, LDII, dan yang lainnya. LDII, kelompok takfiri produk lokal, hampir tak tersentuh oleh kaum tradisionalis. ‘Wahabi’ bermitra dengan kepolisian untuk melakukan deradikalisasi dan detakfirisasi. Ini fakta, bukan sekedar ‘lamis-lamis lambe’ alias lips service. Dai ‘Wahabi’ sering dipanggil ngisi ceramah agama bersama pejabat negara atau di lembaga milik negara[10].
Wallaahul-musta’aan….
[abul-jauzaa’ – 19 Dzulhijjah 1438].
[1] Baca berita di link
: https://goo.gl/63HTGK dan https://goo.gl/ScGtqv
[2] Misalnya dalam acara
peringatan 40 hari kematian Gus Dur (https://goo.gl/aPwLTq), haul Gus Dur (https://goo.gl/sCx5BD), haul Bung Karno (https://goo.gl/LnwjcL), aksi keprihatinan bangsa (https://goo.gl/c2dAxY), peringatan HUT RI (https://goo.gl/DAHt6C), keprihatinan terhadap kerusuhan (https://goo.gl/dhCeYR), dan yang lainnya.
[3]Takhrij hadits ini
silakan dibaca dalam artikel Takhrij Hadits Al-‘Irbaadl
bin Saariyyah : Wajib Atas Kalian untuk Berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah
Al-Khulafaaur-Raasyidiin.
[4]Ibnul-Musayyib memahami
dari sunnah Nabi ﷺ bahwa setelah adzan Shubuh,
yang ada hanyalah shalat sunnah dua raka’at saja sebagaimana riwayat:
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ حَرْمَلَةَ، عَنِ ابْنِ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
" لا صَلاةَ بَعْدَ النِّدَاءِ، إِلا رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ "
Dari Ats-Tsauriy, dari
‘Abdurrahman bin Harmalah, dari Ibnul-Musayyib, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah ﷺ : “Tidak ada shalat setelah
adzan kecuali dua raka’at fajr” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 3/53 no. 4756;
shahih].
[5] Silakan baca
pembahasannya pada artikel Atsar Thaawuus tentang Anjuran
Tahlilan 7 Hari Berturut-Turut.
[6]Berikut diantara contoh
bagaimana sebagian oknum tradisionalis aswaja membuat materi ‘Wahabi’ masuk
pendidikan dasar:
Sumber foto : PR anak
kelas IV MI pada akun FB Wahyu Surinto
Silakan rasakan taste-nya.
[7] Situs :
[8] Sebenarnya NU memiliki
stasiun TV sendiri misalnya Aswaja TV. Namun demikian, ada beberapa kontent
yang secara spesifik membedakannya dengan TV Rodja (yang digembosi). Misalnya,
Aswaja TV menampilkan shalawatan, lagu dan musik (religi), tertampilkannya
wanita yang tidak menutupi aurat, dan lain-lain.
[9] Sumber :
[10] Contoh:
a.Prof. Yunahar Ilyas duet dengan Menteri Agama dalam
pengajian Ramadlan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta - https://goo.gl/M6jU7w.
b.Dr. Firanda Andirja mengisi pengajian di Masjid Darul
Ilmi Kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta - https://www.youtube.com/watch?v=yifwVim9Gz8
c.dll.
MUI: Isu Wahabi Adalah Bagian dari
Permainan Musuh Islam untuk Mengadu Domba Umat Islam dan Melemahkan Persatuan
& Kesatuan
MUI Kota Bogor menanggapi beredarnya
selebaran yang mengajak masyarakat turun ke jalan menolak penyebarluasan ajaran
Wahabi. Ajakan aksi itu terkait pembangunan Masjid Ahmad bin Hanbal di Bogor
Utara.
Meski dalam selebaran tertulis “Aksi
Damai Bogor Utara Tolak Wahabi”, MUI menganggap demo tersebut bakal memperkeruh
suasana.
Karenanya, umat Islam Bogor diimbau tidak
mengikuti aksi tersebut.
“Himbauan saya, umat Islam jangan masuk
perangkap provokasi perpecahbelahan tersebut,” ujar Ketua Komisi IV MUI Kota
Bogor, Ustaz Wardhani kepada Pojokjabar, Jumat (25/8).
Menurutnya isu Wahabi sengaja dihembuskan
untuk menghancurkan persatuan warga di Kota Bogor yang selama ini berusaha
menjaga kerukunan antar umat beragama.
“Isu wahabi adalah bagian dari permainan
musuh Islam untuk mengadu domba umat Islam dan melemahkan persatuan dan
kesatuan,” ujarnya.
Lebih lanjut Wardhani menghimbau mereka
yang akan berdemo sebaiknya mengurungkan niatnya. Pasalnya MUI menilai akan ada
provokator yang bermain di balik isu tersebut.
"Ini permainan provokator untuk
pengalihan isu terhadap agenda yang sedang mereka gulirkan,” jelasnya.
“Yang harus diwaspadai adalah bangkitnya
komunis, misionaris pemurtadan terselubung dan menyebarnya aliran menyimpang
syiah dan yang lainnya,” pungkasnya.
Sebelumnya Humas Polresta Bogor, Rahmat
membenarkan adanya selebaran dan aksi yang akan dilaksanakan tersebut.
Menurutnya itu bukanlah berita hoax.
“Itu bukan hoax. Memang benar dan sudah
di acc,” katanya.
Sementara itu, Kabag Ops Polres Kota
Bogor, Kompol Fajar Hari Kuncoro berharap aksi yang dilakukan tertib dan tidak
anarkis. Sehingga tidak mengganggu ketertiban dan kenyamanan orang lain.
Sumber: Jpnn
Mendemo Masjid dan Membekukannya Itu
Sangat Zalim, Sedang yang Mendukungnya dengan Melontarkan Celaan Tambah Tercela
Lagi
Tingkah mendemo masjid yang kemudian
diamini dengan membekukan kegiatan masjid, itu jelas menghalangi segala
peribadahan di masjid itu. Sedangkan menghalangi kegiatan peribadahan di masjid
itu jelas-jelas sangat dikecam oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya:
وَمَنۡ
أَظۡلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسٰجِدَ ٱللَّهِ أَن يُذۡكَرَ فِيهَا ٱسۡمُهٗ وَسَعٰى
فِي خَرَابِهَآۚ أُوْلٰٓئِكَ مَا كَانَ لَهُمۡ أَن يَدۡخُلُوهَآ إِلَّا
خَآئِفِيْنَۚ لَهُمۡ فِى ٱلدُّنۡيَا خِزۡيٌ وَلَهُمۡ فِى ٱلۡأٰخِرَةِ عَذَابٌ
عَظِيْمٌ
“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada
orang yang menghalanghalangi menyebut nama Allāh dalam mesjid-mesjid-Nya, dan
berusaha untuk merobohkannya? mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya
(mesjid Allāh), kecuali dengan rasa takut (kepada Allāh). mereka di dunia
mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat. (QS
Al-Baqarah: 114)”
Karena perbuatan menghalangi kegiatan
masjid itu sangat dikecam dan diancam dalam Al-Qur’an, maka para pendemo, pihak
yang membekukan kegiatan masjid, dan siapapun yang andil atas kejahatan agama
itu serta siapapun yang membela para penghalang itu dengan kata-kata yang
sebagus apapun, tetap merupakan perbuatan tercela lagi sangat zalim. Apatah
lagi membelanya dengan kata-kata yang menyakiti lagi mencela. Betapa lebih
terkecam dan hinanya lagi.
Na’udzubillahi min dzalik!
Perkataan untuk menyakiti lagi mencela
adalah perbuatan yang diancam dalam Al-Qur’an. Contoh yang nyata telah diancamkan
kepada orang munafik.
{وَمِنْهُمُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ
وَيَقُولُونَ هُوَ أُذُنٌ قُلْ أُذُنُ خَيْرٍ لَكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ
يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ } [التوبة: 61]
Di antara mereka (orang-orang munafik)
ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan: هُوَ
أُذُنٌ “Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya”. Katakanlah: “Ia
mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai
orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara
kamu”. Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang
pedih [At Tawbah61]
Orang-orang munafik menisbatkan kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (suatu celaan) bahwa beliau mempercayai saja
setiap apa yang dikatakan kepadanya, dan (mereka mencela bahwa) beliau tidak
membedakan antara yang benar dan yang batil. (Fathul Bayan 5/333).
Celaan itu dibantah oleh Allah
Ta’ala, أُذُنُ خَيْرٍ , ya tapi dia
(Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) hanya mendengar yang baik, dan tidak
mendengarkan yang buruk. (Fathul Bayan).
Sifat mendengarnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang tidak mengandung celaan, namun oleh orang munafik
dijadikan celaan dengan dimaksudkan mengandung sifat tercela. Dicela dengan
tuduhan bahwa beliau percaya saja terhadap setiap perkataan yang dia dengar.
Padahal beliau hanya mendengar dan mempercayai yang baik, dan tidak mendengar,
tidak mempercayai perkataan yang batil.
Perlu jadi pelajaran bahwa orang yang
sedang membenci terhadap seseorang ataupun kelompok, bisa menjadikan suatu
perbuatan yang sebenarnya tidak tercela, namun dijadikan sebagai bahan celaan.
Bahkan lebih buruk lagi, sang pencela itu sendiri belum tentu dapat melakukannya,
tetapi bisa mencela sedalam jurang terhadap orang yang dibenci.
Perbuatan mencela karena benci itu
dilontarkan untuk menyakiti, merendahkan, mengejek, menyerang dan sebagainya.
Misal, ketika seseorang jadi pendukung pihak yang mendemo masjid rumah Allah
(lhah, masjid didemo tapi dia jadi pendukungnya?), lalu dengan entengnya dia
nyinyir. Misalnya, keluar kata-kata celaan yang menyakiti, bahwa kelompok
yang beribadah di masjid yang didemo itu kan bisanya hanya gini, gitu, dan
gituin istrinya…
Astaghfirullaah…
(Mengenai masjid didemo dan dibekukan,
silakan baca artikel ini: Rumah Allah
di Bogor Didemo Lalu Dibekukan, Kok Bisa? https://www.nahimunkar.com/rumah-allah-di-bogor-didemo-lalu-dibekukan-kok-bisa/ ).
Betapa menyakitinya itu lontaran celaan.
Padahal, apa salahnya, ketika seseorang mampu menggauli istrinya? Apakah itu
suatu hal yang tercela dan untuk diobral dengan dicela-cela? Diejek-ejek dengan
kata-kata: bisanya hanya…gituin istri.
Betapa tidak bagusnya, misalnya si
pencela itu justru tidak bisa begini, tidak juga bisa begitu, bahkan tidak atau
belum punya istri. Sehingga sejatinya justru mencela diri sendiri. Dan bahkan
kalau toh mampu begini dan begitu dan mampu membegitukan istrinya pun tidak
pantas untuk melontarkan kepada orang lain bahwa mampunya hanya… gituin
istrinya.
Sudah pembelaannya terhadap pendemo
masjid itu sendiri suatu hal yang tercela lagi tidak pantas, masih pula
melontarkan kata-kata celaan yang tidak pantas pula.
Bernarlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam hadits ini:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: سُئِلَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ
اْلجَنَّةَ؟ قَالَ: تَقْوَى اللهِ وَ حُسْنُ اْلخُلُقِ وَ سُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ
مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ؟ قَالَ: اْلفَمُ وَ اْلفَرَجُ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu
berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sesuatu
apakah yang terbanyak yang dapat memasukkan manusia ke dalam surga?. Beliau
menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. Beliau juga ditanya
tentang sesuatu apakah yang terbanyak yang dapat memasukkan manusia ke dalam
neraka?. Beliau menjawab, “Mulut dan farji (kemaluan)”. [HR at-Turmudziy: 2004,
Ibnu Majah: 4246 dan Ahmad: II/ 291, 392, 442. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Hasan sanadnya, lihat Shahiih Sunan at-Turmudziy: 1630, Shahih Sunan Ibni
Majah: 3424, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 977 dan Misykah al-Mashobih:
4832. Di dalam satu riwayat; Beliau menjawab, “Dua lobang yaitu mulut dan
farji”].
Sebaliknya, bagi orang yang menjaga mulut
dan farjinya maka dijamin surga oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
“مَنْ
يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ
الْجَنَّةَ” متفق عليه
“Barang siapa yang bisa menjamin untukku apa
yang ada di antara dua rahangnya (lisan), dan yang ada di antara kedua pahanya
(kemaluan) maka aku akan menjaminnya masuk syurga” (Muttaqun ‘alaih dari Sahl
bin Saad radhiyallahu ‘anhu)
Betapa beruntungnya orang mukmin yang
teguh menjaga lisan dan kemaluannya, hingga mendapatkan jaminan surga baginya.
Sebaliknya, betapa celakanya orang yang mengumbar mulutnya dan kelaminnya
hingga memasukkannya ke neraka. (Dan sekarang, kata-kata yang biasanya
dilontarkan pakai mulut itu dapat pula diwakili lewat tulisan dengan sarana
media sosial dan sebagainya, hingga tersebarnya lebih luas lagi dan jarak
waktunya lebih awet lagi. Sehingga kalau itu berupa tebaran dosa (seperti
komen-komen di medsos yang membela pendemo masjid bahkan dengan mencela
orang-orang yang biasa berjamaah di masjid), maka akan lebih banyak dosanya
lagi.
Padahal, di dunia ini pun kesenangan yang
diperoleh dengan mengumbar mulut dan alat kelaminnya itu tak seberapa, namun
ancaman neraka telah tersedia. Na’udzubillahi min dzalik! Maka sebaiknya bertobatlah
wahai orang-orang yang terlanjur sebagaimana pembela orang-orang yang mendemo
masjid dan membekukan kegiatan masjid itu, sebelum malaikat maut mencabut nyawa
pelaku-pelaku perbuatan tak terpuji itu.
Sekian, semoga jadi peringatan bagi kita
semua. Aamiin ya Rabbal ‘alamiin.
Pembangunan Masjid Imam Ahmad bin Hambal
di Bogor Ditinjau dari Sisi Hukum Agama
Pembangunan masjid Imam Ahmad bin Hambal
ditinjau dari hukum agama
Isu yang selalu dijadikan alasan untuk
menghang-halangi pembangunan masjid adalah isu tuduhan wahabi atau perbedaan
paham.
Pertama tentu dijelaskan apa dan
bagaimana ajaran wahabi tersebut..?
Kedua: apakah tuduhan-tuduhan tersebut
sudah terbukti secara hukum..?
Ketiga: jika tuduhan-tuduhan tersebut
terbukti apakah melanggar secara hukum negara dan hukum agama..?
Keempat: Jika terbukti melanggar secara
hukum negara dan hukum agama, Apakah wahabi secara resmi dilarang di negara
ini..?
Kelima: apakah tuduhan sesat, radikal,
menyimpang dan lain sebagainya apakah dapat diterima bila dituduhkan oleh
setiap orang yang berbeda paham kepada lawannya tanpa ada pembuktian hukum..?
Bukankah ini namanya menyebar rasa
kebencian kepada orang lain..? Dan ada pasal pidananya..?
Alasan perbedaan paham
Sesungguhnya perbedaan paham bukanlah hal
yang baru ada sekarang ini. Perbedaan paham sudah ada sebelum Indonesia
merdeka, sebelum adanya ormas A dan B, bahkan sudah ada semenjak zaman para
ulama terkemuka di kalangan umat ini.
Selama perbedaan tersebut mengacu kepada
paham para sahabat dan ulama, maka hal ini merupakan sesuatu yang telah menjadi
kenyataan di tengah umat.
Disini harus dibedakan antara membahas
masalah secara ilmiah dengan hubungan berinteraksi sesama muslim.
Jika membahas masalah khilafiyah dilarang
berarti kitab-kitab ulama yang ada di tengah-tengah kita harus dibuang
jauh-jauh. Disamping itu berarti menutup pintu kecerdasan berdiskusi dan
kecerdasan dalam menjalin hubungan dalam perbedaan. Dan ini jelas bertentangan
dengan iradah kauniyah Allah.
Anehnya kenapa mereka yang dituduh wahabi
dilarang bicara tentang khilafiyah padahal tetangga sebelah bebas-bebas saja
untuk membicarakannya…?
Kenapa mereka yang dituduh wahabi
dianggap meresahkan pada hal mereka tidak pernah menggelar kajian di jalan umum
atau pakai speker keras-keras untuk salawatan dan tahlilan sampai larut
malam..?
Kenapa mereka yang dituduh wahabi
diisukan berfaham intoleran dan radikal..? Pada hal mereka belum pernah
melarang kajian, membakar pondok pesantren, melarang pembangunan masjid, justru
yang biasa melakukanya adalah pihak yang menuduh.
Kenapa mereka yang dituduh wahabi
difitnah memecah belah umat pada hal mereka selalu mengajak untuk bersatu
dengan jamaahnya para sahabat..? Bukan mengajak kepada ajaran ormas.
Jika mereka berbeda paham dengan yang
mayoritas, apa perbedaan mereka itu menyimpang secara ajaran Islam sebagaimana
yang diamalkan oleh para sahabat dan para ulama terkemuka dari kalangan umat
ini…?
Jika terdapat kesalahan, kekeliruan dan
kelemahan sebagian dari mereka, apakah pada kelompok yang lain tidak terdapat
pula hal yang sama di tengah-tengah mereka..?
Lalu permasalahannya apa dari pihak yang
melarang..?
Semestinya jika mereka terbukti salah
secara hukum negara, maka mereka harus dilaporkan kepada penegak hukum, bukan
main massa atau main hakim sendiri.
Seharusnya jika mereka terbukti salah dalam memahami
agama, maka mereka harus dilaporkan kepada MUI, bukan menghukum mereka menurut
faham ormas tertentu.
Mereka adalah orang yang berhak secara
sah untuk hidup dan berkehidupan di negeri ini.
Nenek moyang mereka juga ikut berjuang
untuk kemerdekaan negeri ini. Jadi jangan sampai ada pribadi atau ormas
tertentu yang merasa lebih berhak dari pada yang lain untuk hidup di negeri
ini, lalu bagi yang berbeda paham dengan mereka harus diusir atau diintimidasi.
Dr Alimusri Semjan Putra
Via fb Alimusri Semjan Putra – 29 Agustus
pukul 21:44
Dakwah Salafi Wahabi Meresahkan, Pemecah
Belah Umat? Atau Sebaliknya?
Pujian dalam Hujatan bagi Wahabi
meluruskan sejarah wahabiKetika aku
putuskan untuk beramal sesuai AlQuran & Sunnah dengan faham As Salafush
Shaleh, Aku pun dipanggil Wahabi
Ketika aku minta segala hajatku hanya
kepada Allah subhaanahu wa ta’ala tidak kepada Nabi & Wali .… Aku pun
dituduh Wahabi
Ketika aku meyakini Alquran itu kalam
Ilahi, bukan makhluq …. Aku pun diklaim sebagai Wahabi
Ketika aku takut mengkafirkan dan
memberontak penguasa yang dzalim, Aku pun dipasangi platform Wahabi
Ketika aku tidak lagi shalat, ngaji serta
ngais berkah di makam-makam keramat… Aku pun dijuluki Wahabi
Ketika aku putuskan keluar dari tarekat
sekte sufi yang berani menjaminku masuk surga… Aku pun diembel-embeli Wahabi
Ketika aku katakan tahlilan dilarang oleh
Imam Syafi’i
Akupun dihujat sebagai Wahabi
Ketika aku tinggalkan maulidan karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah ajarkan … Aku pun dikirimi
“berkat” Wahabi
Ketika aku takut mengatakan bahwa Allah
subhaanahu wa ta’ala itu dimana-mana sampai ditubuh babipun ada… Aku pun dibubuhi stempel Wahabi
Ketika aku mengikuti Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memanjangkan jenggot, memotong celana diatas dua mata kaki,
…,…., Aku pun dilontari kecaman Wahabi
Ketika aku tanya apa itu Wahabi…?
Merekapun gelengkan kepala tanda tak
ngerti
Ketika ku tanya siapa itu wahabi…?
merekapun tidak tahu dengan apa harus
menimpali
Tapi…!
Apabila Wahabi mengajakku beribadah
sesuai dengan AlQuran dan Sunnah… Maka aku rela mendapat gelar Wahabi !
Apabila Wahabi mengajakku hanya menyembah
dan memohon kepada Allah subhaanahu wa ta’ala … Maka aku Pe–De memakai mahkota
Wahabi !
Apabila Wahabi menuntunku menjauhi
syirik, khurafat dan bid’ah… Maka aku bangga menyandang baju kebesaran Wahabi !
Apabila Wahabi mengajakku taat kepada
Allah subhaanahu wa ta’ala dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam … Maka
akulah pahlawan Wahabi !
Ada yang bilang.…. Kalau pengikut setia
Ahmad shallallahu ‘alaihi wa sallam digelari Wahabi, maka aku mengaku sebagai
Wahabi.
Ada yang bilang….. Jangan sedih wahai
“Pejuang Tauhid”, sebenarnya musuhmu sedang memujimu, Pujian dalam hujatan….!
Oleh:
Ahmad Zainuddin
Dicopy dari web Ustadz Firanda, Lc, MA
Artikel www.muslim.or.id
COMMENTS
maskur
Bagi saya tidak terlalu penting disaat
kita dicap wahabi/salafi…klu memang didalam menjalankan ibadah kita sudah
sesuai perintah alloh dan rasulNya maju tak gentar allohuakbar….
Memang betul kang,.
Apalah artinya sebuah nama, jika
hakekatnya berbeda,.
Kotoran yang busuk walaupun dibungkus
dengan bungkus kado yang bagus, ya tetep saja tidak merubah isinya,.
Mutiara walaupun terbenam di lumpur
hitam, tetap saja akan berbentuk mutiara, tidak akan berubah, walaupun
mencarinya harus bersusah payah,.
Dan sudah menjadi hal yang wajar, jika
kita mendakwahkan kebenaran, pasti mendapatkan tantangan, hujatan ,celaan,.
Lihat manusia yang paling utama di muka
bumi, betapa mulia akhlaknya, perangainya,. beliau adalah Rasulullah
namun…
ketika beliau mulai mendakwahkan dakwah
yang hak, mentauhidkan Allah, menjauhi syirik, sehingga bertentangan dengan
budaya lokal kaumnya, maka apa yang didapatkan oleh Rasulullah?
Cacian, hinaan, penganiayaan,.. beliau
dilempar hingga berdarah-darah,..
Maka tidak heran dengan jaman sekarang,
siapa saja yang mendakwahkan kebenaran,mendakwahkan dakwah rasulullah, akan
mendapatkan perlakuan yang serupa,.
ikwan
Admin pembohong besar ,kalian tak sesuai
ucapan dengan tingkah laku kalian setiap hari ya, sunnah yg bagai mana yg km
jalani aq mau naya???
Kalian maulud di bilang bid ah tapi
kalian meryakan maulid si utsaimin dan si abdul wahab, mulia mana Nabi Muhamad
atau si abdul wahab??
Inilah orang kalau belajar agama setengah
setengah, belajar dulu yg dalem mas biar tulisan y berkelas dan berbobot,
jangan asal cuap cuap tapi gak mutu , makaya mas admin jangan maling teriak
maling y, pahami dulu ilmu dalam membaca dan pengertian isi makna kandungan Al
qur an, kalau uda bisa jawab pertyaaan saya itu ya,tar aq taya hadis ama dahlil
y yang membolehkan peryaan si utsaimin dan abdul wahab pemimpin kalian??
Ok tolong di jwb jangan di hapus y komen
saya
TErimakasih mas ikwan,. komentar yang
bagus,.
Mohon diketahui, kemungkaran yang
dilakukan oleh penguasa setempat, itu bukanlah pembenaran terhadap ajaran
rasulullah,. jadi jika ada penguasa arab yang merayakan maulid syaikh muhammad
ibnul wahhab, itu bukan pembenaran, dan patokan kebenaran itu bukanlah apa yang
dilakukan oleh penguasa arab,
Ingat, bangsa arab bukan patokan
kebenaran bahwa itu adalah ajaran islam,
Contoh saya kasih misal yang banyak
dilakukan,. memotong jenggot haram hukumnya, kita diperintahkan untuk
membiarkan jenggot tumbuh, dan dilarang memotongnya,. lihat di arab saudi,.
banyak tentara yang memotong jenggotnya, dan penguasa arab juga demikian,. ini
contoh kecil saja,. apakah ajaran islam mengajarkan memotong jenggot? tidak,..
Subhan
mas ikwan… klo admin ente sebut orang yg
belajar agama setengah setengah, lah ente sendiri gimana…?
0.000000001% kah…?
komen anda yang menunjukkannya…
sabar mas subhan,.. kalem aja,. kita
doakan, mudah2an mas ikwan mendapatkan hidayah, dipahamkan tentang ajaran islam
yg benar, dengan pemahaman para sahabat,. aamiin,..
Sonto loyo
Aneh bin ajaib, sesungguhnya semua
ciptaan Yuhan yang Maha Kuasa baik adanya, tidak ada yang tidak baik.
Ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa ada yang
baik dan tidak itu disebabkan manusia yang tidak memahami kehendak Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Contoh; seekor anjing, ada sebagian yang
menganggap najis sebaliknya ada pula sebagian yang menganggap tidak najis itu
adalah anggapan manusia bukan dari pihak Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kalau saja Tuhan Yang Maha Kuasa juga
menganggap bahwa anjing itu najis, maka Tuhan Yang Maha Kuasa tidak akan
menciptan anjing walau hanya kakinya saja.
Banyak hewan ciptaan Tuhan Yang Maha
Kuasa yang dianggap najis oleh manusia, padahal manusia yang menganggap
hewan-hewan itu najis tak sanggup membuat/memusnahkan kecuali memang hal itu
kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tulisan ini saya tulis secara obyektip
tanpa melibatkan agama/kepercayaan apapun.
Alhamdulillah,. bener tuh kang sonto
loyo, apa yang anda tulis itu benar, lalu apa maksudnya?
tapi ada yang salah juga,. bagian yang
ini:
======
Contoh; seekor anjing, ada sebagian yang
menganggap najis sebaliknya ada pula sebagian yang menganggap tidak najis itu
adalah anggapan manusia bukan dari pihak Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kalau saja Tuhan Yang Maha Kuasa juga
menganggap bahwa anjing itu najis, maka Tuhan Yang Maha Kuasa tidak akan
menciptan anjing walau hanya kakinya saja.++++
sudah jelas tentang najisnya anjing, dan
haram dagingnya,.
kalimat berikutnya ,.. darimana anda tahu
jika anjing itu najis menurut Allah maka Allah tidak akan menciptakan anjing??
ini super ngawur mas,
saya tambahkan, bahkan Allah menciptakan
IBLIS, JIN, SETAN, itu juga bukah hal yang jelek bagi Allah, Tidak ada ciptaan
Allah yang jelek,.
Nama anda sonto loyo, itu juga mungkin
jelek bagi orang jika mendengar nama sonto loyo,. anda menamakan diri sonto
loyo, anda adalah ciptaan Allah, walaupun anda bernama sonto loyo, anda
bukanlah makhluk yg jelek, makhluk ciptaan Allah itu semua sempurna, ga ada
yang jelek, walaupun mungkin dipandang jelek oleh sebagian manusia,.
Demikian kang sonto loyo, mudah-mudahan
Allah menunjuki anda agar menjadi orang yang paham tentang ajaran islam yang
benar,. menurut pemahaman para sahabat,. aamiin,.
Ahmad Muridan
Assalamu`alaikum warohmatullah
wabarokatuh.
Pak isinya kok mirip dengan ”
PANTUN/SYAIR ” tapi penuh dengan ilmu dan nasehat.membuat gairah dalam beramal
dan beribadah.
Baarokallahu Fikum.
Wassalamu`alaikum warohmatullah
wabarokatuh
Wa’alaikumussalam warahmtullahi
wabarakatuh,.
wafiikum baarakallah,
aggi
islam itu dulu asing dan akan kembali
terasing maka beruntunglah orang” yg asing itu…
biar wahabi asal tau dalil dlm ibadah g
cm ikt sbagian bsar org
krn yg bnyk blm tentu bnr…
Ya, banyak itu belum tentu benar, sudah
diulas disini
Anonymous
Kayak pernah hidup dijaman nabi saja..
Yang pernah hidup di jaman nabi adalah
para sahabat,.
Para sahabatlah yang dibina langsung oleh
nabi,.
maka jika kita ingin selamat, maka
ikutilah pemahaman para sahabat nabi,. sehingga cara beragama islam kita
mengikuti pemahaman para sahabat, sebab itulah SATU-SATUNYA JALAN KESELAMATAN,.
silahkan baca ulasannya disini
Ahmad Muridan
Assalamu`alaikum warohmatullah
wabarokatuh
maaf pak ustadz .saya pernah nonton
film/video kajian ustadz ” Abu Yahya ” di yatube.bahwasanya wahabi itu sesat
karena suka mengkafir-kafirkan sesama muslim.aku jadi bingung.
Wassallamu`aliakum warohmatullah
wabarokatuh.
Wa’alaikumussalam warahmatullahi
wabarakatuh,.
Ada WAHABI YANG SESAT,. dan ini pula yang
dijadikan oleh musuh-musuh dakwah,.
Hanya karena ada kesamaan nama Tokohnya,
WAHABI YANG SESAT,mudah mengkafirkan bahkan menumpahkan darah kaum muslimin,
itu adalah pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab bin RUSTUM, sudah saya posting
disini
Adapun kalau dakwah yang diusung oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, itu adalah dakwah YANG HAQ,dakwah islam dengan
pemahaman para sahabat,. dan dengan dakwah itu pula berdiri negara SAUDI ARABIA
sebagai buah dari dakwah tauhid tersebut,.
Di Saudi nyawa kaum muslimin begitu
dijaga, demikian pula hartanya,.
Jadi, seandainya betul tuduhan dakwah
syaikh muhammad bin abdul wahhab itu mudah mengkafirkan,. maka sudah banyak
buktinya ,. di saudi malah tokoh2 yang mengusung pemikiran pengkafiran banyak
dijebloskan ke dalam penjara,.
Karena dakwah syaikh muhammad bin abdul
wahhab tersebutlah, maka penjajah inggris tidak bisa menjajah saudi, lalu
mencari kambing hitam untuk dakwah syaikh muhammad bin abdul wahhab, agar
negara lain tidak menerima dakwahnya, sebab itu bisa mengancam kepentingan
penjajah,. akhirnya dijulukilah dengan julukan WAHABI, wahabi yang sesat yaitu
pemikiran muhammad bin abdul wahhab bin RUSTUM, postingannya bisa dibaca disini
Belanda saja takut dengan dakwah syaikh
muhammad bin Abdul wahab yang mendakwahkan manhaj salaf,. bukan pengkafiran …
Buya hamka saja mengakui, bahkan ayahnya
buya hamka juga kagum dengan dakwahnya,.
Bung karno saja bangga terhdap dakwah
wahabi yang mengusung manhaj salaf,.
KH Ahmad Dahlan juga terinspirasi dengan
dakwah syaikh muhammad bin abdul wahhab dengan manhaj salafnya,..
so… apakah anda masih bingung?
Ahmad Muridan
terimakasih pak atas penjelasan dan
pencerahannya
jazzakumullah khairan.
Alhamdulillah,..
Anonymous
tapi disini memang aneh ya setiap ada
yang mendakwahkan kebenaran sesuai Alqur’an dan Assunah pasti dicaci habis2an,
anehnya lagi yg mencaci yg ngakunya umat islam…
yg katanya kelompoknya paling banyak…
bukannya cepet2 cari rujukan kalo merasa
ada perbedaan dengan yg diyakininya…
faham
Alhamdulillah, marilah ikuti cara
beragamanya para shahabat radhiallahu anhuma, agar selamat, bagaimana menyikapi
adanya larangan berjenggot bagi para PNS, TNI dan Polri ?
apakah kita wajib taat kepada pimpinan
yang melarang jenggot bagi kaum muslimin ?
Allah akan memintai pertanggungjawaban
orang yang menghalangi orang yang mau mentaati Allah dan Rasulnya..
Allah juga akan memintai
pertanggungjawaban orang yang tidak mau melakukan ketaatan kepada Allah dan
Rasulnya,..
Jadi,. masing-masing akan dimintai
pertanggungjawaban kelak, dan jangan sampai kita menjadi orang yang tidak mau
melakukan amalan ketaatan tersebut, apalagi menghalang-halangi orang yang mau
mengamalkan amalan tersebut,.
Jadi tinggal kita berpikir cerdas,.
Carilah pekerjaan atau profesi dimana
kita bisa mengamalkan amalan ketaatan ini dengan leluasa,. tidak dikekang,..
Faham
Alhamdulillah jazakumullahu khairan
ustadz dan admin