Saturday, December 23, 2017

Sentimen Kebangsaan Syiah Shafawi Dan Hubungannya Dengan Kisah Pernikahan Imam Husain Dan Syahzanan Binti Yazdrajid. Antara Syiah Shafawi Dan Syiah ‘Alawi



Shafawiyah adalah nama negara yang didirikan oleh Syah Ismail As-Shafawi dan pengikutnya,ia adalah keturunan dari Syaikh Shafiyuddin Al-Aradabili, dan pernah belajar pada Tajuddin Az-Zahid Al-Kailani salah satu pendiri Tarekat Sufi. Dr. Ali Syari’ati, seorang pemikir dan sosiolog Syi’ah dari Iran, menyebutkan bahwa maksud dari Syiah Shafawi adalah Syiah yang tunduk pada kekuasaan Iran yang berpusat di Qumm dan meyakini wilayatul faqih di Teheran. Rivalnya adalah Syiah Arabi yang menolak kekuasaan Iran dan menolak Wilayatul Faqih di Teheran.

Syiah Shafawi inilah yang menancapkan pola keberhalaan, syirik dan taqlid buta, sampai syiah ini bisa memasuki ranah kekuasaan politik secara umum, lalu dengan kekuasaan politik tersebut syiah bisa dengan cepat merubah negara Persia yang awalnya 90 % Ahlus Sunnah dengan mazhab Syafi’i menjadi syi’i melalui tekanan senjata.

Dengan kekuatan senjata itu, Syah Ismail As-Shafawi memerintahkan tentaranya untuk bersujud padanya ketika bertemu dengannya, membantai pengikut Sunni dari ulama sampai yang awam. Sekitar satu juta orang sunni jadi korbannya, tidak hanya itu, setelah mereka dikubur ia perintahkan untuk menggali kuburan itu lalu membakar tulang-belulang mereka. Syah Ismail juga memerintahkan para khatib jumat untuk menghina tiga Sahabat; Abu Bakar, Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan dan sebaliknya mengkultuskan 12 imam Syiah. Ia juga memaksa penduduk Iran untuk memeluk ajaran sekte Syi’ah yang menjadi doktrin resmi negara.

Dan perlu diperhatikan, bahwa kedua kelompok syiah, shafawi atau arabi di atas tetap sama dalam hal ke-ghuluwan mereka, karena syiah dibangun di atas dua fondasi:

1.Ghuluw kepada Ahlu Bait dan banyak memalingkan ibadah kepada mereka.
2.Mencela sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar dan Ummahatul Mukminin terutama Aisyah dan Hafshah dengan kata-kata yang tidak semestinya diucapkan seorang manusia, apalagi yang menyandarkannya kepada Islam.

Ghuluw dalam Syiah telah ada sebelum munculnya Shafawiyah, cukuplah kita melihat kitab al-Kaafi yang dianggap sebagai salah satu yang terpenting, di dalamnya tercantum banyak sekali ghuluw yang dilakukan oleh Syiah. Maka dari itu salah jika ada yang beranggapan bahwa syiah itu bersikap I’tidal sampai munculnya shafawiyah, dan sikap ghuluw itu muncul dengan kemunculan syiah itu sendiri, sebagaimana Ali telah membakar pendahulu mereka.

Pada masa Shafawi banyak terjadi kebid’ahan-kebid’ahan yang akhirnya menjadi aqidah mereka; sebagian dari bid’ah tersebut:

1.Menghujat Sahabat dan tiga Khulafa’ Rasyidin; Abu Bakar, Umar dan Utsman di mimbar-mimbar, masjid dan pasar-pasar.
2.Upacara Ta’ziyah, meratapai kematian Husain, yang idealnya dengan menyiksa diri dengan memukul kepala, dada dan punggung dengan benda-benda tajam, berpakaian serba hitam sambil menyenandungkan syair-syair ratapan dan terus menerus memelihara tingkat emosi yang tinggi dari “dendam Historis”.
3.      Memasukkan syahadat ketiga dalam adzan: أشهد أن لا عليّا وليّ الله (dan aku bersaksi bahwa Ali adalah wali Allah) dan Tatswib: حي على خير العمل
4.Bersujud di atas Tanah Husain (Turbah Husainiyah) yang diambil dari tanah Karbala
5.Wajib menguburkan orang matinya Syiah di Najaf
6.Merubah arah kiblat di masjid-masjid Syiah, yang menyelisihi masjid-masjid Ahlus Sunnah.
7.Membolehkan manusia sujud pada yang lainnya.
8.Memberikan untuk ulama-ulama mereka apa yang disebut dengan Al-Khumus yaitu 20% dari penghasilan, kepada imam hidup atau mujtahid bagi keperluan kehidupan keagamaan dan keumatan.
9.Proyek Khomeini: pemakaian kembali kalender majusi sebagai penanggalan kenegaraan, yaitu kalender Matahari yang bertahun baru pada hari raya Nawruz,31 Maret,ketika matahari berada di titik equinox dan siang maupun malam sama panjang yang juga merupakan haru raya umat Baha’i.ketetapan ini dituliskan dalam konstitusi.


Akar Permusuhan Syiah Persia (Iran) terhadap Saudi Arabia

Bagi sebagian pihak, permusuhan Iran terhadap pemerintah Jazirah Arab  (sebagai representasi dari Ahlus Sunnah) adalah politis belaka. Bahkan terlihat ada upaya pihak-pihak tertentu untuk menjadikan alasan politik itu menjadi wacana dominan. Sedemikian sehingga akar permusuhan bangsa Iran yang sebenarnya tidak terlihat bagi publik.

Untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dan bagaimana permusuhan itu, kita dapat menguak akar-akar sentimen bangsa negeri mullah ini, seperti kultur, sejarah, keyakinan, dan lainnya.

Akar Historis

Iran memposisikan diri sebagai pewaris sah kebesaran Imperium Persia Zoroaster pra-Islam. Itu sebab sehingga sentimen kebencian Iran terhadap bangsa Arab, terutama terhadap mereka yang berasal dari Jazirah Arab dan Hijaz, adalah hal yang biasa. Sebab nenek moyang orang-orang Arab itulah yang dahulunya menyeberangi sungai Dajlah dan Furat, di era Khulafa Rasyidun, dan berhasil merebut kota-kota Persia. Mereka saat itu bahkan sempat melakukan shalat di Istana al-Abyadh di kota al-Mada’in.

Inilah akar historis yang demikian dalam tertanam dalam memori bangsa Iran. Sedemikian dalam sehingga berbagai upaya pernah dilakukan oleh bangsa Persia itu untuk meruntuhkan umat Islam. Antara lain tahun 136 H. oleh Astadzsis, Babek al-Kharmi tahun 202 H., pada tahun 224 oleh al-Afsyin, Mardawayij di tahun 323 H., Asfar bin Syirawaih di tahun 316 H. Bahkan serentetan pengkhianatan dan perlawanan terhadap khilafah Islam sebagai pemerintahan yang sah telah dilakukan oleh negeri-negeri yang dibangun di atas fondasi Persia, seperti dinasti Buwaihiyah, Samaniyah dan Zaydiyah.

Setelah itu, berdirilah dinasti Shafawiyah yang menjadi fondasi historis bagi negara Iran kontemporer. Dinasti Shafawiyah adalah dinasti yang menjadi musuh bebuyutan Khilafah Utsmaniyah, lantaran posisi yang terakhir ini  sebagai representasi dunia Islam Sunni. Berkali-kali dinasti Shafawiyah terlibat perang terbuka dengan Khilafah Utsmaniyah. Dinasti ini juga berkali-kali bekerja sama dengan musuh-musuh Utsmaniyah, seperti Rusia, Portugis, Inggris, dll. Sehingga sikap permusuhan Shafawiyah terhadap Utsmaniyah lebih keras daripada sikapnya terhadap kaum Salib Eropa saat itu. Alasan utama sikap permusuhan Shafawiyah itu adalah perselisihan mazhab belaka.

Hal ini sebagaimana kajian dari Dr. Badi’ Muhammad Jum’ah, dengan merujuk ke berbagai literature tentang Iran, baik yang ditulis dalam bahasa Persia, Arab maupun Inggris yang menyebutkan fakta-fakta adanya hubungan kerja sama antara dinasti As-Shafawwi dengan Negara-negara Eropa untuk melawan musuh bersama yaitu Turki Utsmani.

Akar Ideologis

Negara Iran adalah negara sektarian yang sejak era dinasti Shafawiyah telah berperan besar dalam menyebarluaskan sekte syiah, walaupun itu harus menempuh jalan kekerasan. Konstitusi Republik Iran yang fondasinya diletakkan wilayah al-faqih menyebut jelas bahwa ajaran Syi’ah adalah ajaran resmi negara. Konstitusi juga menegaskan pentingnya menyebarluaskan doktrin-doktrin revolusi Khomeni ke seluruh dunia.

Akar Politik

Sejak awal kesuksesan revolusi Khomeini, Iran telah bermimpi untuk mendirikan kembali imperium Persia yang lama. Iran bercita-cita menjadi negara besar yang disebut sebagai Bulan Sabit Syi’ah, yang wilayahnya mencakup Suriah, Irak, Urdun, dan Selatan daerah Jazirah Arab.

Oleh karena itu, Iran senantiasa berusaha tampil sebagai pemimpin dunia Islam. Tujuannya, untuk menarik simpati dan membentuk citra positif terhadap dirinya.

Majalah Albayan edisi ke 78 memuat artikel yang membongkar rencana rahasia Syiah dalam jangka 50 tahun yang mereka sebut dengan Khuttah Khamsiniyyah, yang bersumber dari Ikatan Ahlus Sunnah di Iran yang berpusat di London dengan judul “Alkhitthah As-Sirriyyah Lilaayaat fi Dhau’I Al-Waqi’ Al-Jadid” Khuttah Khamsiniyyah (program lima puluh tahun) ini terdiri dari lima tahap yang tiap langkah berjangka 10 tahun. Poin penting dari khuttah itu adalah.

1.Program tersebut ditujukan bagi Ahlus Sunnah yang ada di dalam atau di luar Iran.
2.Bersikap lebih mesra kepada negara-negara yang memberikan keuntungan sebanyak mungkin dan memperbanyak tentara yang akan mengamankan negara ini. Sesuai dengan nasehat Husein Kasyful Ghitha’ dalam kitab Ashlus Syiah wa Ushuluha kepada umat Syiah: “Selama pemerintahan yang ideal belum bisa ditegakkan, hendaklah mereka berbaik-baik sebagai warga negara dan bekerja sama dengan pemerintahan setempat.”
3.Memperbanyak transmigran (perpindahan penduduk) Syiah ke daerah-daerah Ahlus Sunnah dan agresif  mendirikan Husainiyyah, Pusat-pusat studi, pusat-pusat kebudayaan dan kesehatan masyarakat dan perwakilan di seluruh dunia muslim.
4.Infiltrasi terhadap organisasi-organisasi Islam dengan dalih pendekatan mazhab.
5.Pemusatan angkatan bersenjata hanya di tangan Syiah
6.Pembatasan laju pertumbuhan dan pembatasan keturunan (KB) penduduk Sunni.

Dan hari ini kita telah melihat perkembangan Syiah atau yang mengatas namakan mazhab Ahlul Bait di Indonesia sangat pesat sebagai akibat dari gema gerakan Syiah yang dihembuskan tokoh-tokoh Iran yang sengaja di sebar ke beberapa negara yang dikenal dengan Eksport Revolusi (untuk mengetahui reaksi pro-kontra revolusi ini, kami sarankan anda untuk membaca buku kumpulan artikel: “Gerbang Kebangkitan, Revolusi Islam dan Khomeini dalam Perbincangan” yang diterbitkan oleh Shalahuddin Press).

Sejumlah lembaga yang berbentuk pesantren maupun yayasan didirikan di beberapa kota di Indonesia,seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan di luar Jawa dan membanjirkan buku-buku Syiah yang sengaja diterbitkan oleh para penerbit yang berindikasi Syiah.

Sebagian dari fenomena sentimen kebangsaan Syiah Persia

1.Orang Syiah menjadikan hari kematian Umar bin Khatab sebagai hari raya terbesar mereka.
2.Menyebut pembunuh Umar bin Khatab yaitu Abu Lu’luah sebagai Baba Syujauddin dan kuburannya dijadikan tempat berziarah.
3.Syiah lebih memuliakan keturunan Husain dari pada Hasan saudaranya, karena anak-anak Husain berasal dari Persia dan mereka adalah Syahzanan binti Yazdrajid yang dinikahi oleh Husain ra.
4.Mengagungkan sahabat Salman Alfarisi melebihi sahabat lainnya, sampai mereka mengatakan: “Ia diberi wahyu!! Yang tidak lain karena dia adalah orang Persia.”
5.Syiah banyak meriwayatkan hadits-hadits yang menyebutkan bahwa kelak ketika imam mereka yang bersembunyi di Sirdab muncul maka mereka akan membunuh kabilah-kabilah arab dan terkhusus kabilah Quraisy.
6.Diriwayatkan dalam kitab mereka bahwa Ali mengatakan tentang Kisra: ”Sesungguhnya Allah swt akan melepaskannya dari azab neraka, dan neraka haram baginya.”[1]


Hakikat Pernikahan Imam Husain dan Syahzanan binti Yazdrajid

Untuk terus menghidupkan rasa kebangsaan mereka, Syiah Shafawi melakukan segala cara, seperti dengan mencatut nama Ahlul Bait Nabi saw ke dalam aqidah mereka dan membuat-buat riwayat dan hadits-hadits yang dibuat oleh para perawi Syiah. Salah satunya kisah ini, kisah pernikahan antara Imam Husain ra dan putri dari Yazdrajid ke tiga, Syahzanan yang disebut juga Syahbanu.

Kematian Husain di Padang Karbala yang cukup tragis diratapi oleh kalangan Syiah dari dulu sampai sekarang dengan keterlaluan seperti dengan menganiaya diri, memukul-mukul badan, dada dan kepala sampai bercucuran darah dengan alasan sebagai tanda kecintaan kaum Syiah kepada Husein, cucu Rasulullah saw. Tragedi itu juga dijadikan moment untuk propaganda agama Syiah, untuk menarik umat Islam agar masuk pada agama mereka.

Syiah menghabiskan dana yang tidak sedikit untuk acara ini, karena mereka beranggapan bahwa kegiatan ini adalah bagian dari agama dan syiar dari kegiatan ajaran Syiah. Anak-anak kecil diajar untuk membiasakan diri menangis untuk upacara seperti ini, sehingga nanti kalau sudah dewasa akan terbiasa dan dapat melakukan acara ini dengan sempurna.

Mengetahui hakekat kisah tersebut amat urgen karena beberapa hal berikut:

1.Riwayat ini telah disebukan dalam referensi utama Syiah seperti; Alkaafi, As-Shaduq, dan Almufid.
2.Menjebol kejumudan kaum muslimin yang taqlid dan mengkultuskan kisah tersebut dan menganggapnya sebagai dogma yang tidak boleh dijamah.
3.Kisah itu bukan Al-Quran atau wahyu yang turun, ia hanya kisah turun-temurun yang isinya bisa benar atau salah dan perawinya bisa majhul (tidak dikenal) atau math’un (cacat dalam riwayat).
4.Mengetahui benar tidaknya kisah pernikahan itu selanjutnya dapat menyingkap hakekat-hakekat kisah lain yang bersumber dari Syiah.
Selanjutnya kita akan mengupas kisah tersebut dari beberapa sisi seperti sisi ilmiah, historis, riwayah dan politik, dan selamat menyimak.

Secara Ilmiah, Historis dan Riwayat

Syiah akan terperanjat dan kaget ketika mereka mengetahui bahwa ahli sejarah telah bersepakat bahwa ibu dari Ali bin Husain adalah Ummu Walad, sebagaimana disebutkan oleh Albaladzi dalam kitab Alansab: juz 3 hal 146, Alkhawarizmi dalam Al-Manaqib hal 143, Alyafi’I dalam Miratul Jinan juz 1 hal 210, Ya’qubi dalam tarikhnya juz 3 hal 43, Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat juz 5 hal 156, Ibnu Thuulun dalam Alaimmah alitsna asar hal 78 dan Ahmad Amin dalam Dhuhal Islam juz 1 hal 11.

Dan mereka akan lebih kaget lagi ketika mereka mengetahui bahwa para peneliti (muhaqqiq) menyimpulkan bahwa Yazdrajid ketiga tidak pernah memiliki seorang putri pun yang bernama Syahzanan!!!.

Seorang peneliti dari Iran bernama Said Nafisi menyimpulkan hal itu dalam bukunya “Tarikh Iran Alijtima’I”, ia menyebutkan: “Yazdrajid ketiga tidak pernah sama sekali memiliki anak yang bernama “Syahzanan” sampai dia tertawan di Madain lalu diambil oleh Umar untuk dinikahkan dengan Imam Husain dan menjadi ibu dari Imam As-Sajjad, dan “Yazdrajid” ketika masa Umar baru berumur lima belas tahun, bagaimana ia bisa memiliki anak yang lalu dinikahkan oleh Umar!![2]

Dan Almas’udi dalam Murujuz Zahab juga menyebutkan bahwa Yazdrajid ketika itu berumur 35 tahun dan meninggalkan dua anak lelaki: Bahram dan Fairuz dan tiga anak perempuan: Adrak, Syahin dan Mardawanda.[3]

Dan riwayat tentang pernikahan antara Imam Husain dan Syahzanan itu saling bertentangan (mudhtharib), berikut ini hadits-hadits tersebut:

Riwayat dari Muhammad bin Hasan As-Shaffar (209 H)
قال: ((بسبب الحقد والكراهية التي كانت تكنها لخليفة العرب عمر بن الخطاب، الذي أصدر أمرا باحتلال إيران، وأسقط المملكة الساسنية، فإنها حين رأته في ((المسجد)) غطت وجهها وبكت وقالت: آه! بيروج بادا هرمز (أي: النصر لهرمز).

فهجم عليها عمر ليؤدبها –اعتقادًا منه أن الأميرة شتمته- ولكن الإمام علي بن أبي طالب –وبسبب الود المملوء بالسر الغيبي الذي كان يكنه للآل ساسان!-، تقدم بسرعة إلى الأمام، وأمسك بعمر وقال له: يا رجل! قف إنها لا تعنيك، ومن الأفضل أن تجعلها حرة، حتى تختار شخصًا من المسلمين زوجًا لها، فوافق عمر وقال:هو كذلك! فأنتي حرة، ولكِ أن تختاري.

فجاءت ممثلة الخونة ((نور)) الفرهة الإيزادية، وسليلة الأسرة الساسانية، التي أخذت ضيائها من اهوار مزاد ((إله المجوس))! تتقدم وتتقدم وتتقدم، فوضعت يدها على رأس الحسين بن علي لتتخذه زوجاً لها، واصلة بذالك بين وارث النبوة المحمدية، وبقية سلطنة ((اهورا)) الساسانية.[4]

Riwayat Muhammad bin Ali bin Husain atau As-Shaduq (381 H)
((قال: حدثنا الحاكم أبو علي الحسين بن محمد البيهقي قال: حدثنا محمد بن عيسى الصولي. قال: حدثنا سهل بن القاسم النوشجاني قال: قال لي الإمام الرضا (ع) بخراسان: إن بيننا وبينكم نسباً.

قلت: وما هو أيها الأمير؟

قال: إن عبد الله بن عامر بن كريز لما افتتح خراسان، أصاب ابنتين ليزدجرد بن شهريار ملك الأعاجم، فبعث بهما إلى عثمان بن عفان، فوهب إحداهما للحسن، والأخرى للحسين، فماتتا عندهما نفساوين. وكانت صاحبة الحسين نفست بعلي بن الحسين))[5]

Riwayat Muhammad bin Muhammad bin Nu’man yang dikenal dengan Almufid (413 H)
قال: ((وأمه شاه زنان بنت يزدجرد بن شهريار بن كسرى. ويقال: اسمها شهربانويه، وكان أمير المؤمنين (ع) ولى حريث بن جابر الحنفي جانباً من المشرق، فبعث إايه ابنتي يزدجرد بن شهريار بن كسرى، فنحل ابنه الحسين شاه زنان منهما، فأولدها زين العابدين، ونحل الأخرى محمد بن أبي بكر، فولدت له القاسم بن محمد بن أبي بكر، فهما ابنا خالة)).[6]

Pembaca yang teliti menyimak ketiga riwayat di atas dengan mudah akan mendapatkan pertentangan dalam hal waktu dan tempat dimana putri Kaisar Yazdrajid sekaligus istri Husain di tawan.

Riwayat pertama menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi di kota Madain pada masa Khalifah kedua, Umar bin Khatab pada tahun kesembilan belas dari hijrah.

Riwayat kedua menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi di kota Khurasan pada pemerintahan Utsman bin Affan.

Dan riwayat ketiga menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi di daerah timur ketika masa khalifah Ali bin Abi Thalib.

Dari bukti-bukti ilmiah dan historis di atas kita dapat menyimpulkan bahwa kisah pernikahan antara Imam Husain dan Syahzanan adalah Dhaif dan dibuat-buat oleh Syiah.

Bukan hanya kisah pernikahannya saja yang berbeda dan saling bertentangan, tetapi riwayat yang menyebutkan waktu dan tempat wafatnya Imam Husain dan Syahzanan juga berbeda-beda.

Perihal wafatnya Imam Husain sempat membingungkan umat Islam karena banyaknya simpang siur yang mengkhabarkan bahwa jasad Imam Husain dibawa ke Kairo, ada yang mengatakan dibawa ke Asqalan atau kepala Imam Husain yang katanya dibawa ke Damsyiq lalu ke Mesir atau dibawa ke Madinah tanpa melewati Syam dan Mesir.

Untuk menjawab kebingungan tersebut, Syaikhul Islam telah menulis risalah pendek berjudul “Ra’sul Husain” yang artinya dimanakah gerangan kepala Imam Husain? Lewat buku itu beliau singkap kebenaran dibalik khurafat berkenaan kepala Imam Husain yang hanya berdasar pada donngeng atau mimpi dan ngaku-ngaku saja, lalu dimanakah kepala Imam Husain? Ibnu Taimiyah lantas menyebutkan kesepakatan ulama bahwa kepala Imam Husain telah dikuburkan di kota Madinah.

Demikian pula tentang kematian Syahzanan, As-Shaduq mengatakan bahwa Ia meninggal di Madinah seperti Ali bin Husain. Tetapi Syiah membangun bangunan dan tempat ziarah di gunung kota Ray dekat  Teheran, Iran yang disebut “Gunung Bibi Syahzanan”. Di atas kuburan itu dibangun marmer yang bertuliskan tahun keempat hijrah. Kuburan ini dimarmer ketika masa Buwaih dan Seljuk dan diperbaharui lagi pada masa As-Shafawi dan Al-Qajari. Di pintu masuk kuburan ini tertulis “Riwayat As-Shaffar” yang bercerita tentang kisahnya bersama Khalifah Umar dan Ali di masjid Madinah.

Kisah kuburan Imam Husain dan Syahzanan ini mirip dengan kisah kuburan Fairuz An-Nahawandi atau Abu Lu’luah (la’natullah ‘alaih), pembunuh Umar bin Khatab. Riwayat terpercaya menyebutkan bahwa dia dibunuh oleh Abdurrahman bin Auf setelah membunuh Umar bin Khatab di pertengahan shalat Subuh. Hanya saja Syiah membangun tempat ziarah untuk lelaki terlaknat ini di jalan antara kota Qom dan Kasan yang disebut Baba Syujauddin.


Pendapat Orientalis tentang kisah pernikahan Imam Husain dan Syahzanan

Orientalis Jerman Isbelir mengatakan: “Saya percaya bahwa pernikahan antara  Husain bin Ali bin Abi Thalib dan putri kisra adalah kisah yang dibuat-buat, dan Syiah berusaha untuk mengait-kaitkan imam mereka dengan keturunan terakhir kerajaan Iran, mereka sangat perhatian terhadap masalah ini”.[7]

Sejarawan Denmark terkenal, Christein Sun, menyebutkan dalam bukunya “Iran fil ‘Ahdis Sasani” bahwa polemik pernikahan Imam Husain dan Syahzanan tidak bisa dipercaya.

Secara Politis

Imamah atau khilafah menurut Syiah termasuk ushuluddin atau salah satu rukun dari rukun agama, dan barang siapa ingkar terhadap imamah tersebut maka dia dianggap telah kafir. Syiah yang sekarang ada adalah Syiah Imamiyyah Itsna Asairah, Syiah ini lebih tepat disebut sebagai aliran politik dari pada aliran agama dan sebutan Imamiyyah tersebut memperkuat makna Syiah sebagai faham politik. Dan pengaruh Imamah lebih menonjol dalam moralitas Syiah, sehingga mewarnai semua ajarannya.

Seorang peneliti dan ahli sejarah, Dr. R. Nath menulis dalam artikel yang berjudul “Alislamu fi Iran” atau “Islam di negeri Iran” yang menyebutkan bahwa Islam di Iran memiliki corak khusus, Islam bagi orang Iran tidak bisa terlepas dari kebudayaan Iran. Budaya ini berbeda dengan adat dan kebiasaan masyarakat di negeri Arab seperti; Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Mesir, Suriah, bahkan negara tetangganya, Iraq.

Corak itu bahwa Persia percaya dan meyakini kalau “seorang raja memiliki sifat tuhan”, bagi orang Persia, raja adalah penegak kebenaran, pemilik tujuh petala langit dan empat penjuru bumi, dan raja adalah titisan tuhan di bumi.

Oleh karena itu, mereka menolak pemilihan kepala negara lewat sistim khilafah karena belawanan dengan keimanan mereka terhadap raja. Inilah corak khusus dari Islam Iran seperti yang disebutkan Dr. R. Nath.

Kemudian agar kepercayaan pada raja itu tetap terus ada, sementara kerajaan terakhir mereka telah dihancurkan oleh umat Islam yang dipimpin oleh khalifah Umar bin Khatab. Mereka membuat kisah pernikahan antara Imam Husain dan Syahzanan, putri ketiga dari raja Persia yang terakhir, agar keturunan ini terus berlanjut dan membuat keturunan baru perpaduan antara seorang pemuda dari Bani Hasyim dan seorang pemudi dari Bani Assasin.

Inilah maneuver politik Syiah dalam kisah pernikahan Imam Husain dan Syahzanan untuk melegitimasi aqidah dan keyakinan mereka, yaitu dengan cara berdusta atas nama cinta Ahlul Bait dan menyembunyikan zindiq dan kemunafikan dalam hati. Artikel tentang pernikahan Imam Husain dan Syahzanan ini, yang ditulis dengan referensi yang kuat juga menjadi koreksi untuk kalangan yang menyebutkan bahwa Ali Zainal Abidin melalui jalur ibunya, terhitung keturunan Kaisar Gao-Zu, Pendiri Dinasti Tang, atau  keturunan Cyrus II “The Great”, yang oleh sebagian kalangan, dianggap sebagai Zulqarnain.

Semoga tulisan ini menjadi mata pisau kebenaran yang membedah tuntas kebohongan dan kepalsuan yang mengatasnamakan Agama Samawi (baca: Islam) yang selalu di klaim oleh penganut Syiah manapun. Meski demikian,  makalah sederhana ini, tentu masih banyak kekurangan dan belum komprehensif dalam pembahasannya, namun dapatlah kita simpulkan bahwa Sunnah dan Syiah adalah dua ajaran yang saling bertentangan dan kisah pernikahan antara Imam Husain dan Syahzanan adalah palsu dan dibuat-buat. Dan upaya-upaya pendekatan Sunnah-Syiah akan mendapatkan kendala yang sangat besar, terutama selama ulama Syiah masih saja melancarkan cacian dan hujatan terhadap para sahabat Nabi saw dan isteri Nabi saw yang sangat dihormati oleh kalangan Ahlus Sunnah.

Referensi:

Mengapa kita menolak Syiah, Kumpulan makalah seminar tentang Syiah tanggal 2 September 1997
Beberapa kekeliruan Aqidah Syiah, Muhammad Abdul Sattar Al-Tunsawi, terj. A. Radzafatzi, cet I, Surabaya, 1984
As-Syiah Itsna Asariyah wa Takfiruhum li Umumil Muslimin, Abdullah bin Muhammad As-Salafi, cet1, 2010, syabakah Ad-Difa’ Anis Sunnah
Al-Masyru’ Al-Irani As-Shafawi Al-Farisi, Dr. Muhammad Bassam Yusuf, cet1,2010, syabakah Ad-Difa’ Anis Sunnah
As-Syu’ubiyyah inda Syiatul Fursi, Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi, cet I, 2009, Dar Al-Muntaqa
Aina Ra’sul Husain, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, www.syamela.ws
Hidup dan pikiran Ali Zainal Abidin, Muhammad Baqir, Mizan, Bandung, cet I, 1983 M
Majalah Albayan edisi 78
Wikipedia/shafawi
 [1] Biharul Anwar, 14/14
 [2] 1 hal 13
 [3] 1 hal 310-311
 [4] Bashair Darajaat, juz 11, dalam bahasa Persia yang menukil dari buku Al-Majlisi ‘Biharul Anwar’, hal. 46 juz 9
 [5] Uyunul Akhbar, juz II, hal.128
 [6] Al-Irsyad, juz II, hal.138
 [7] Islamicerchief-wiesbaden hal 178


syiah shafawi

Judul di atas adalah tema dari buku yang ditulis oleh Ali Syari’ati, seorang pemikir Syi’ah dari Iran, dalam buku itu ia ingin memberikan satu statement dalam membenarkan praktek ghuluw al-Hali yang ia sebut dengan syiah shafawi yang menurutnya masih ada hubungan dengan syiah awal yang ia sebut dengan syiah Alawi.
Syiah Shafawi inilah yang menancapkan pola keberhalaan, syirik dan taqlid buta, sehingga memanaskan permusuhan abadi antara syiah dan sunni, sehingga syiah ini bisa memasuki ranah kekuasaan politik secara umum, dan dengan kekuasaan politik tersebut syiah bisa dengan cepat merubah negara Persia yang awalnya mayoritas sunni menjadi syi’I melalui tekanan senjata.
Maksud dari syiah shafawi adalah syiah yang tunduk kepada kekuasaan Iran yang berpusat di Qumm dan percaya wilayatul Faqih di Teheran. Maksud dari Syiah Arabi adalah Syiah yang menolak kekuasaan Iran dan menolak wilayatul Faqih, dan tidak ayal bahwa kedua kelompok syiah, shafawi atau arabi tetap berada pada ke-ghuluwan mereka, syiah dibangun di atas dua pokok:
Ghuluw kepada Ahlu Bait dan banyak memalingkan ibadah kepada mereka.
Mencela sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar dan Aisyah
Ghuluw dalam Syiah telah ada sebelum munculnya Shafawiyah, cukuplah kita melihat kitab al-Kaafi, di dalamnya tercantum banyak sekali ghuluw yang dilakukan oleh Syiah. Maka dari itu salah jika ada yang beranggapan bahwa syiah itu bersikap I’tidal sampai munculnya shafawiyah, dan sikap ghuluw itu muncul dengan kemunculan syiah itu sendiri, sebagaimana Ali telah membakar pendahulu mereka.
Dan kalau kita lihat pekembangan syiah, sebagai contoh di Iraq, Diana terdapat berbagai macam syiah, ada Syiah Sekuler, Shawiyah, Arabiyah dan Harakiyah, yang mengherankan adalah mereka ini berselisih di dalamnya tetapi perselisihan mereka adalah Tanawwu’ namun dalam memusuhi Ahlu Sunnah mereka bersepakat.
Akhirnya kita harus terus waspada dengan kelompok syiah, mereka ibarat Yahudi yang tidak akan ridha sehingga kita masuk agama mereka. [oleh Jumal Ahmad, disarikan dari Majalah al-Bayan]


Ini artikel dari Ali Reza yang membantah tulisan saya tentang pernikahan Imam Husain dan Syahrbanu/Syahzanan yang terbit di Fimadani.Com. Sengaja saya post di blog ini agar banyak dibaca orang dengan terlebih dahulu meminta izin kepada penulis.
Tulisan Saudara Jumal Ahmad[1] yang mengangkat tema pernikahan Imam Husaindengan seorang putri raja Persia menarik perhatian saya. Meski menggabungkan tema tersebut dengan beberapa tema lain yang sudah biasa dituduhkan kepada Syiah sekaligus dijawab oleh ulama Syiah—seperti ratapan saat Asyura, caci maki terhadap sahabat, atau kekeliruan terhadap pemahaman imamah—namun muatan utama tulisan tersebut adalah anggapan bahwa riwayat pernikahan tersebut dibuat oleh Syiah untuk melegitimasi akidahnya dan berdusta atas nama ahlulbait.

Riwayat pernikahan Imam Husain dengan seorang putri raja Persia bernama Syahrbanu sama sekali tidak berkaitan dengan akidah, karena akidah Syiah jelas dibangun oleh tauhid, kenabian, dan hari akhir. Karenanya, seorang pengikut Syiah yang tidak meyakini riwayat pernikahan tersebut tidak kemudian terkeluar dari Syiah. Dengan demikian, tuduhan bahwa riwayat pernikahan tersebut berkaitan dengan “akidah”, yakni, imam ahlulbait hanya berasal dari keturunan Imam Husain—karena menikah dengan putri Persia—sama sekali tidak memiliki dasar yang kuat.
Seperti riwayat dan kabar sejarah pada umumnya, perbedaan riwayat-riwayat yang muncul bukanlah berarti bahwa seluruhnya adalah mutlak palsu dan tertolak. Sekaitan dengan riwayat pernikahan Imam Husain dengan putri raja Persia, Yazdgerd III, yang dikenal dengan nama Syahrbanu, dalam Syiah sendiri juga menjadi perhatian kritis; bukan sebuah riwayat yang menjadi dogma atau dikultuskan.
Di antara kitab yang menyebutkan riwayat tersebut adalah Ushûl Kâfi dan ‘Uyûn Akhbâr Ar-Ridhâ, namun kedua kitab tersebut menyebutkan peristiwa pada zaman yang berbeda. Sebagaimana yang dijelaskan ulama Syiah, kitab-kitab hadis Syiah tidaklah mencatat riwayat yang seluruhnya sahih. Tidak seperti sahih Bukhari yang disebut sebagai kitab paling sahih setelah Alquran, riwayat dalam kitab hadis Syiah seperti Al-Kâfi maupun Al-Bihâr terus dikritisi oleh para ulama Syiah sendiri. Riwayat dalam Ushûl Kâfi tersebut, misalnya, mendapat kritikan baik dari sisi sanad maupun matan.
Sementara terkait pribadi Syahrbanu, ahli tarikh seperti Yaqubi (w. 284 H), Muhammad bin Hasan Qummi, Kulaini (w. 329 H), Muhamad bin Hasan Shaffar Qummi (w. 290 H), Allamah Majlisi (w. 1110 H), Syekh Shaduq (w. 381 H), Syekh Mufid (w. 413 H) memandangnya benar sebagai putri Yazdgerd III meski mereka tidak sepakat mengenai namanya.[2] Dalam sumber suni, di antara nama-nama yang disebutkan adalah Salafah, Salamah, Harrar, atau Ghazalah. Sementara dalam sumber Syiah, di antara nama-nama yang disebutkan adalah Syahzanan, Jahansyah, Fatimah, Mariam, namun yang lebih sering disebut adalah Syahrbanu.
Sementara nama-nama putri Yazdgerd yang disebut oleh Masudi tidak sesuai dengan nama-nama yang pernah disebutkan—oleh ahli sejarah lain yang jumlah lebih banyak—untuk ibu Imam Sajjad dan Masudi sendiri tidak menyebutkan kisah tentang penawanan dalam kitabnya. Perlu diingat juga bahwa pelafazan nama Persia bagi orang yang tinggal di Arab bukanlah sesuatu yang lazim. Misalnya perubahan nama Roozbeh menjadi Salman Al-Farisi atau Khosrau menjadi Kasra. [3] Sementara nama Ummu Walad yang disebut para ahli sejarah sebagai ibu dari Ali bin Husain, disebutkan tertawan di beberapa tempat seperti Sistan, Sinad, atau Kabul. Ummu Walad sendiri hanyalah sebutan yang memiliki arti “budak wanita yang memiliki anak”.
Dengan kritikan terhadap riwayat dan perbedaan sejarah tersebut, maka sulit untuk mendapatkan informasi yang pasti terkait istri Imam Husain bin Ali. Namun demikian, hal yang lebih penting adalah tuduhan bahwa riwayat tersebut diciptakan untuk melestarikan keyakinan Persia dan melegitimasi akidah Syiah. Jauh sebelum Ahmad Jumal mengutip pendapat nasionalis Iran dan orientalis—kelompok kedua yang disebut ini sering kali mendapat kritikan, namun juga digunakan untuk memperkuat dalil—Syahid Muthahhari telah mengkritik tuduhan tersebut dalam kajiannya tentang Islam dan Iran.
Keyakinan Syiah dan Persia[4]
Sejak awal menerima Islam, rakyat Iran sudah menunjukkan ikatan emosional yang lebih kuat kepada keluarga nabi (ahlulbait) dibandingkan dengan rakyat dan bangsa lain. Namun beberapa orientalis berusaha mewarnai ikatan emosional ini dengan motif tersembunyi dan menafsirkannya sebagai reaksi melawan Islam, atau setidaknya melawan Arab, dengan tujuan menghidupkan tradisi dan kebiasaan kuno Iran. Pandangan orang-orang ini melengkapi dalih yang baik bagi dua kelompok. Pertama, kelompok suni fanatik yang menggunakannya untuk memfitnah Syiah sebagai kelompok politik bermuka dua dalam Islam—seperti yang dilakukan Ahmad Amin, penulis Mesir, dalam bukunya Fajr Al-Islâm yang telah dibantah oleh Allamah Syekh Muhammad Husain Kasyif Al-Ghita dalam bukunya Ashl Asy-Syî’ah wa Ushûlihâ. Kedua, mereka yang disebut sebagai nasionalis Iran, yang bertolak belakang dengan kelompok pertama, membanggakan Iran untuk melestarikan dan menghidupkan kembali tradisi Persia kuno di bawah jubah Syiah.
Dalam Qânun wa Šakhsiyyât, salah satu terbitan Universitas Tehran, Dr. Parviz Sanii, ketika menyatakan bahwa pengajaran sejarah di sekolah-sekolah kita kering, dangkal, dan hambar dan karena itu harus hidup, mendalam, dan analitis, menulis:
Sebagai contoh, masalah perbedaan Syiah dan suni berkaitan dengan Islam diajarkan sebagai masalah sejarah. Dikatakan bahwa orang Iran, yang cenderung kepada Ali, mengikutinya, dan perbedaan mendasar antara pengikut Syiah dan suni adalah karena kita menganggap Ali sebagai khalifah pertama, sementara suni menganggapnya sebagai khalifah keempat. Metode penjelasan dan pendeskripsian masalah ini menunjukkan bahwa perbedaan Syiah dan suni sebenarnya hal yang formal dan sepele, sehingga perbedaan itu sendiri dibuat agar terlihat tidak masuk akal. Bertahun-tahun setelah meninggalkan sekolah, dalam perjalanan studi saya, saya sampai pada kesimpulan bahwa kelahiran sekte Syiah memiliki asal-usul yang bersumber dari pemikiran Iran yang ingin menjaga independensi nasional dan warisan kunonya. Seperti Imam Husain yang menikahi putri raja Persia terakhir, sehingga putra dan anak keturunannya dianggap sebagai pangeran dan penerus kekaisaran Iran yang agung. Dengan cara ini mereka berhasil memastikan keberlanjutan pemerintahan Iran dengan seluruh tradisi dan perbedaan masa lalu. Setelah itu, gelar “sayid” yang dikhususkan untuk keturunan para imam, menjadi pengganti bagi gelar “pangeran” (shâhzâdeh).
(Arthur) Comte de Gobineau dalam bukunya, Les Religions Et Les Philosophies Dans L’Asie Centrale, yang diterbitkan sekitar seratus tahun yang lalu, telah menelusuri akar keyakinan Syiah dalam kemaksuman dan kesucian para imam kepada dogma Iran kuno terkait asal-usul ketuhanan raja-raja Sasaniyah. Dia menganggap pernikahan Imam Husain dengan Syahrbanu sebagai faktor yang bertanggung jawab atas berpindahnya keyakinan tersebut kepada pemikiran Syiah. Edward G. Browne juga menganut pandangan Gobineau tersebut.
Seperti itulah pandangan beberapa orientalis dan orang Iran—yang berada dalam pengaruh leluhur—menafsirkan dan menjelaskan keyakinan Syiah dan penyebab kemunculannya. Tentu saja, diskusi rinci terkait masalah ini membutuhkan risalah terpisah, namun tetap tidak dapat dihindari untuk menjelaskan beberapa isu relevan di sini.
Masalah pernikahan Imam Husain dengan Syahrbanu, putri Yazdgerd, dan kelahiran Imam Sajjad (Ali bin Husain) dari seorang putri Iran serta pertalian para imam dari garis keturunannya dengan dinasti Sasaniyah menjadi alasan bagi sebagian orang-orang aneh dengan tujuan menafsirkan kencederungan orang Iran kepada keluarga nabi saw. karena hasil dari hubungannya dengan dinasti Sasaniyah, dan untuk menafsirkan keyakinan Syiah tentang hak ketuhanan para imam keluarga nabi sebagai sisa dari kepercayaan Iran kuno tentang kekuasaan para kaisar Sasaniyah, karena memang sebuah fakta bahwa raja-raja Sasaniyah meyakini bahwa mereka berasal dari langit yang memiliki kedudukan luar biasa atau setengah dewa, dan keyakinan mereka ini didukung oleh kepercayaan Zoroaster.
Oleh karena itu, mereka mengatakan, di satu sisi para raja Sasaniyah percaya bahwa diri mereka memiliki asal-usul ketuhanan dan di sisi lain garis keturunan para imam suci kembali kepada mereka, dan karena semua pengikut Syiah mereka adalah orang Iran, yang menurut mereka sebuah kedudukan langit, atas dasar premis-premis tersebut maka kesimpulan logis yang muncul adalah keyakinan Syiah terkait masalah kepemimpinan para imam suci merupakan cabang dari keyakinan Iran kuno.
Untuk membuktikan kejanggalan argumen tersebut, sebagai jawaban awal, kita harus katakan bahwa pandangan tersebut di atas didasari oleh dua premis yang perlu dipisahkan satu sama lain.
Pertama, merupakan sesuatu yang alami ketika sebuah bangsa dengan serangkaian kepercayaan dan nilai-nilai—baik agama maupun non-agama—kemudian berpindah kepada sebuah keyakinan yang baru, pasti menyimpan beberapa keyakinan lama di hati mereka dan tanpa sadar membaurkannya dalam keyakinan yang baru. Sebagaimana juga mungkin saja orang-orang tersebut harus menerima keyakinan yang baru dengan tulus tanpa ada niat untuk menjaga keyakinan lama mereka dalam bentuk baru, tapi karena hati mereka tidak sepenuhnya bebas dari keyakinan yang lama, mereka dengan satu dan lain cara, membawa keyakinan lama mereka bersama diri mereka sendiri kepada keyakinan yang baru.
Tidak ada keraguan bahwa beberapa negara yang kemudian memeluk Islam setelah sebelumnya penyembah berhala dan politeis, sementara yang lainnya Kristen atau Zoroaster, dan paling mungkin keyakinan lama mereka memberikan pengaruh kepada pemikiran dan keyakinan Islam mereka. Hal ini juga jelas terlihat bahwa orang-orang Iran juga mempertahankan keyakinan lama mereka dalam bentuk pakaian islami. Sayangnya, bagian dari takhayul kuno tersebut masih ada di beberapa orang Iran saat ini, seperti melompati api pada hari Rabu terakhir setahun atau bersumpah dengan sinar lampu, yang merupakan sisa-sisa pra-Islam masa lalu. Merupakan sebuah kewajiban agama untuk menjaga keyakinan Islam yang asli dari tercemar oleh keyakinan-keyakinan jahiliah pra-Islam.
Jika kita ingin mempelajari masalah imamah dan wilayah, kita harus merujuk pada Quran dan riwayat otentik dari nabi sehingga kita mampu untuk mengetahui apakah keyakinan seperti itu ada di dalam Islam sebelum berbagai bangsa dunia menganut Islam.
Studi terhadap Quran dan sunah nabi yang pasti mengungkapkan bahwa, pertama, kedudukan samawi dan suci beberapa orang saleh dapat dibuktikan oleh Quran itu sendiri. Kedua, Quran baik secara eksplisit maupun implisit, telah menegaskan masalah imamah dan wilayah. Selain itu, nabi saw. yang mulia juga menyatakan bahwa keluarganya (‘itrah) mendapatkan kedudukan tersebut.
Sebelum muslim-muslim Arab berhubungan dengan bangsa-bangsa lain dan terpengaruhi oleh keyakinan mereka, gagasan seperti itu telah ada dalam Islam. Sebagai contoh, sebuah ayat Alquran dalam surah Âli ‘Imrân ayat 33-34 menyebutkan:
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat, (sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (keturunan) dari yang lain. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ayat ini jelas menyatakan kedudukan khusus beberapa manusia yang ditandai oleh gagasan wilayah. Keyakinan Syiah tentu berakar dari Quran dan sunah, dan tidak ada keraguan akan hal tersebut. Kami tidak bermaksud untuk memulai masalah ini—meskipun membutuhkan bidang yang lebih luas untuk didiskusikan—karena tidak relevan dengan penelitian kami saat ini. Apa yang kita bahas di sini adalah hubungan Iran dengan keyakinan Syiah dan juga mengacu pada pernyataan beberapa orientalis dan pengikut mereka yang mengatakan bahwa keyakinan Syiah diciptakan oleh orang Iran sebagai media untuk melawan Islam serta melestarikan dan melindungi keyakinan kuno yang telah kuat diyakini di bawah jubah Syiah.
Poin lain adalah ketika sebuah bangsa ditundukkan oleh bangsa lain baik secara militer maupun politik, secara sadar ia akan melekat pada keyakinan lama dengan menjaganya diam-diam, dan ini merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap penakluknya. Beberapa orientalis, begitu juga orang-orang Iran yang terpengaruh leluhurnya, biasanya menyatakan bahwa Iran memilih Syiah dengan tujuan menyamarkan keyakinan lama secara diam-diam. Sekarang kami akan melakukan pemeriksaan analisis terkait pandangan ini.
Pandangan ini berhubungan dengan sesuatu yang sudah didiskusikan, yaitu, apakah orang-orang Iran menerima Islam dengan tulus atau ia merupakan sesuatu yang dipaksakan kepada mereka dengan kekuatan? Jika orang-orang Iran dipaksa untuk melepaskan keyakinan lama mereka dan menyerah pada agama baru, seseorang mungkin menganggap bahwa mereka berpura-pura membuang keyakinan kuno mereka dan menerima Islam di bawah tekanan. Tapi merupakan fakta yang telah dibangun bahwa umat muslim tidak pernah memaksa orang Iran untuk meninggalkan agama dan keyakinan mereka; sebaliknya, umat Islam mengizinkan mereka untuk mempertahankan kuil-apinya.
Setelah mengadakan perjanjian dzimmah dengan ahlulkitab (Yahudi, Kristiani, dan Zoroaster), umat Islam bahkan menganggap dirinya berkewajiban untuk menjaga kuil mereka dan melindunginya dari kehancuran. Selain itu, tampaknya tidak mungkin sejumlah kecil orang-orang Arab—yang jumlahnya tidak pernah melebihi beberapa ribu—dapat memaksa sebuah bangsa yang jumlahnya beberapa juta untuk mengingkari agaman dan keyakinan mereka, terutama ketika keduanya, kelompok yang dilengkapi dengan senjata dan kekuatan yang imbang, atau lebih tepatnya, ketika orang-orang Iran lebih siap dalam hal ini.
Oleh karena itu, pasukan Arab tidak dalam posisi menggunakan tekanan kepada orang Iran untuk memaksa mereka meninggalkan agamanya. Mengingat fakta ini, mungkin akan ditanyakan, jika orang Iran ingin menjaga tradisi dan keyakinan kuno mereka, apa perlunya bagi mereka untuk menjadi munafik tunduk pada Islam dan menyelamatkan agama mereka di bawah jubah Syiah? Terlepas dari hal ini, kami telah membuktikan sebelumnya bahwa penerimaan Islam oleh Iran berlangsung secara bertahap, dan pengaruh Islam terhadap masyarakat Iran dan dominasinya terhadap Zoroastrianisme lebih besar dan mendasar selama periode ketika Iran merebut kembali kemerdekaan politik mereka. Dalam fakta terang ini, tidak ada dasar sama sekali untuk tuduhan absurd seperti itu.
Edward Browne sendiri telah mengakui dalam banyak tempat di bukunya bahwa orang-orang Iran dengan rela dan pilihan mereka sendiri untuk memeluk Islam. Dalam A Literary History of Persia dia menulis:
Lebih sulit dari melacak wilayah penaklukan kekuasaan Sasaniyah adalah kemenangan bertahap agama Muhammad terhadap Zoroaster. Seringkali dianggap bahwa pilihan yang ditawarkan oleh pejuang Islam adalah antara Quran dan pedang… Jumlah orang Persia yang memeluk Islam pada hari-hari pertama kekuasaan Arab mungkin sangat besar daripada alasan yang diberikan di atas, namun masa terakhir keyakinan kuno mereka dan catatan kepindahan tidak rutin selama berabad-abad berturut-turut, memberi kemungkinan bahwa penerimaan Islam berlangsung damai dan suka rela.
Mengutip (Reinhart) Dozy (Essai Sur L’Histoire de L’Islamisme, halaman 156), E. G. Browne menulis:
Bangsa yang paling penting dalam memeluk Islam adalah bangsa Iran, karena mereka memberikan kekuatan dan keseimbangan bagi Islam. Mereka bukan orang Arab. Dari merekalah sekte paling penting muncul.
Respon rakyat Iran terhadap Islam begitu bergairah dan bersemangat sehingga tak seorang pun dapat menuduh mereka dengan tabir sentimen kebangsaan dan tradisi keagamaan dengan menyamar dalam bentuk Syiah, sehingga mereka harus mempertahankan dan mempropagandakan keyakinan kuno mereka dalam jubah yang baru.
Sebelumnya, kami telah menjelaskan bahwa salah satu alasan utama kekalahan rakyat Iran—meskipun mereka memiliki seluruh kekuasaan dan keagungan—adalah ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah dan agama mereka. Rakyat merasa jijik terhadap mereka dan siap untuk mencari tempat berlindung. Mereka sudah siap menyambut panggilan keadilan serta kebenaran dan dengan segera menerimanya. Semangat yang luar biasa rakyat Iran dalam menerima keyakinan Mazdak juga didorong oleh ketidakpuasan yang sama. Telah ditunjukkan sebelumnya bahwa Zoroastrianisme telah merosot dan jika Islam tidak sampai ke Iran, Kristen akan berjaya di sana.
Pergeseran orang-orang Iran dari Avesta kepada Quran (juga) merupakan sebuah masalah sederhana dan alami. (Pertama), orang-orang Iran tidak punya alasan untuk tetap berpegang pada nilai-nilai yang mereka pelajari dari Avesta, atau kebiasaan untuk meyakini raja-raja mereka dan menyembunyikannya di bawah jubah Syiah dengan tujuan mengamalkannya.
Kedua, ketika Yazdgerd gagal untuk mempertahankan ibu kotanya, dia melarikan diri mencari perlindungan dari satu kota ke kota lain dan dari satu propinsi ke propinsi yang lain bersama rombongan istana yang besar, wanita selir, ribuan musisi, anjing pemburu, aktor dan badut, dan juga sejumlah besar pegawai lainnya, yang semuanya itu dia anggap masih sedikit. Jika rakyat Iran ingin menolong dia dari tentara yang menyerang, jelas mereka mampu melakukannya. Tapi mereka tidak memberinya pertolongan hingga dia tiba di Khorasan, di mana, sekali lagi tidak mendapati dukungan dari pihak manapun, sehingga harus bersembunyi di sebuah penggilingan, dan akhirnya terbunuh oleh penggilingan itu sendiri atau oleh seorang penjaga perbatasan berkebangsaan Iran. Bagaimana bisa seseorang menjelaskan pandangan bahwa orang Iran yang tidak memberikan perlindungan apapun untuk Yazdgerd, tapi kemudian menghubungkan kecintaan mereka kepada keluarga nabi saw. hanya karena hubungan (pernikahan) mereka dengan Yazdgerd, sampai menghormati dan menjaganya dalam hati?
Ketiga, jika kita menerima hipotesis bahwa orang-orang Iran terpaksa menyembunyikan sentimen mereka di bawah jubah Syiah pada abad pertama, mengapa mereka tidak merobek jubah ini bahkan dua abad setelah mereka meraih kemerdekan, agar sentimen asli mereka diketahui semua orang? Sebaliknya, mengapa dengan berlalunya waktu, mereka justru semakin mencurahkan komitmen yang lebih besar terhadap Islam, dan memutus diri mereka dari keyakinan lama?
Keempat, sementara setiap muslim Iran tahu bahwa Syahrbanu tidak mendapat penghormatan yang lebih besar daripada para ibu imam suci yang lain—di antara mereka adalah orang Arab dan beberapa lainnya berasal dari Afrika—apakah pengikut Syiah Iran atau non-Iran lebih menghormati dan memulikan ibu Imam Sajjad dibandingkan para ibu imam yang lain? Narjis Khatun, ibu Imam Mahdi—semoga Allah mempercepat kehadirannya—merupakan seorang budak Romawi, tapi beliau jelas lebih dihormati oleh rakyat Iran dibandingkan Syahrbanu.
Kelima, jika kita meneliti kisah pernikahan Syahrbanu dengan Imam Husain berdasarkan bukti-bukti sejarah, pernikahan ini dan kelahiran Imam Sajjad melalui seorang putri Iran diragukan keasliannya.
Kisah kedekatan rakyat Iran dengan para imam suci karena alasan hubungan mereka dengan dinasti Sasaniyah melalui Syahrbanu serupa dengan kisah Yusuf yang diceritakan ulang oleh seseorang yang berkata: “Putra seorang imam, Yakub, dicabik-cabik oleh seekor serigala di atas menara.”  Orang itu diberi tahu, “Dia putra seorang nabi, bukan imam. Beliau Yusuf, bukan Yakub. Beliau juga bukan di atas menara, tapi di bawah sumur. Karenanya, cerita tersebut benar-benar palsu, karena Yusuf tidak pernah dicabik-cabik oleh seekor serigala.”
Begitu juga seluruh kisah pernikahan seorang putri Yazdgerd yang disebut bernama Syahrbanu atau yang lainnya dengan Husain bin Ali dan keberadaan dia sebagai ibu Imam Sajjad adalah diragukan dari sudut pandang bukti sejarah. Sejarawan kontemporer biasanya meragukan keaslian kisah ini dan menganggapnya sebagai tak berdasar. Mereka mengatakan bahwa di antara seluruh ahli sejarah hanya Ibnu Wadhih Al-Yaqubi yang menyatakan bahwa ibunda Ali bin Husain adalah Harrar, putri Yazdgerd, dan Imam Husain menamainya Ghazalah. Edward Browne sendiri menganggap kisah ini palsu. Christensen juga menganggap kisah ini meragukan. Said Nafisi dalam Târikh-e Ejtemâ’i-ye Irân (“Sejarah Masyarakat Iran”) menjulukinya sebagai fiksi.
Jika kita menganggap bahwa orang-orang Iran telah menciptakan dan mengarang cerita ini untuk membenarkan cinta mereka kepada ahlulbait, yang pasti bahwa itu dilakukan dua abad setelah peristiwa terjadi—yaitu, bersamaan dengan kemerdekaan politik Iran. Seiring waktu, keyakinan Syiah juga telah berusia dua ratus tahun. Sekarang, apakah dibenarkan untuk mengatakan bahwa kencederungan rakyat Iran kepada Syiah merupakan hasil dari sebuah rumor tentang status bangsawan para imam ahlulbait?
Kisah pernikahan Imam Husain dengan seorang putri Yazdgerd yang meragukan merupakan pandangan berdasarkan penelitian sejarah. Tapi kisah ini dikonfirmasi oleh sejumlah hadis, salah satunya dicatat oleh Kulaini dalam Al-Kâfî. Diriwayatkan bahwa putri-putri Yazdgerd dibawa ke Madinah sebagai tawanan pada masa kekhalifahan Umar, dan wanita-wanita Madinah berkumpul untuk melihat mereka. Atas saran Amirulmukminin Ali, Umar membebaskan mereka untuk memilih orang yang ingin dinikahi, dan salah satu di antara mereka adalah Husain bin Ali. Tapi terlepas dari kesesuaian riwayat ini dengan bukti sejarah, di antara periwayat hadis ini terdapat dua orang yang kehadirannya di sanad menjadikannya tidak dapat diandalkan. Salah satu di antara mereka adalah Ibrahim bin Ishaq Al-’Ahmari An-Nahawandi, yang oleh para ahli rijal dianggap meragukan dari sisi agama dan riwayatnya tidak dapat diandalkan. Satu orang lainnya adalah ‘Amr bin Syimr, yang juga dianggap sebagai pendusta dan pembuat-buat riwayat. Saya tidak dalam posisi menilai riwayat lain terkait masalah ini. Seluruh riwayat terkait masalah ini perlu diteliti dan diperiksa secara hati-hati.
Keenam, jika orang-orang Iran menghormati para imam ahlulbait karena hubungan mereka dengan dinasti Sasaniyah, mereka juga seharusnya—karena alasan yang sama—menghormati keluarga Umayyah, karena mereka yang menyangkal keberadaan putri Yazdgerd yang bernama Syahrbanu sekalipun, mengakui bahwa salah satu putri Yazdgerd yang bernama Syahafrid, tertawan di salah satu pertempuran Qutaibah bin Muslim pada masa Walid bin Abdul Malik, yang kemudian menikahinya, dan melalui pernikahan ini lahirlah Yazid bin Walid bin Abdul Malik, yang dikenal sebagai Yazid An-Naqish. Karenanya, Yazid An-Naqish, salah seorang khalifah Umayyah, juga memiliki hubungan dengan raja-raja Sasaniyah dan seorang pangeran Iran dari sisi ibu. Tapi mengapa orang-orang Iran tidak mengekspresikan penghormatan dan kecintaan kepada Walid bin Abdul Malik sebagai menantu Yazdgerd dan kepada Yazid bin Walid sebagai seorang pangeran Iran? Juga kenapa, sebagai contoh, orang Iran menunjukkan kecintaan yang besar kepada Imam Ridha, padahal hubungannya dengan Yazdgerd telah berlalu enam generasi?
Jika orang-orang Iran terdorong oleh sentimen kebangsaan seperti itu, mereka juga seharusnya dengan luar biasa menghormati Ubaidullah bin Ziad, karena tentu dia adalah keturunan Iran. Ayah Ubaidullah adalah keturunan yang tidak diketahui, tapi ibu Ubaidullah, Marjanah, adalah seorang wanita Iran yang berasal dari Syiraz, yang dinikahi oleh Ziad ketika menjabat gubernur provinsi Fars. Lalu atas alasan apa orang-orang Iran, yang disebutkan oleh orang-orang di atas, memiliki sentimen kebangsaan dan rasial, memuliakan para imam ahlulbait karena kekerabatan mereka dengan dinasti rakyat Iran, tapi di sisi yang lain, meskipun memiliki kekerabatan yang sama, membenci dan memandang rendah Ubaidullah yang berdarah Iran dan ibunya yang asli orang Iran, Marjanah?
Ketujuh, pandangan tersebut dapat diterima sebagai kebenaran jika keyakinan Syiah hanya dibatasi untuk orang-orang Iran, atau setidaknya, jika orang-orang Iran menjadi kelompok Syiah pertama, atau jika mayoritas orang-orang Iran yang menjadi Islam menerima keyakinan Syiah. Tetapi faktanya adalah orang-orang Syiah yang pertama bukanlah orang Iran—dengan pengecualian Salman—dan juga mayoritas orang Iran yang menjadi Islam bukanlah Syiah. Sebaliknya, di era awal Islam sebagian besar ulama muslim yang berasal dari Iran dalam bidang tafsir, hadis, kalam, dan sastra mereka semua adalah suni, dan beberapa di antara mereka memiliki bias yang kuat terhadap Syiah—sebuah kecenderungan yang terus menerus sampai Safavi berkuasa (907/1501). Sebagian provinsi di Iran dihuni oleh mayoritas suni sampai pada masa Safavi. Ketika mengutuk Imam Ali dari mimbar-mimbar pada masa pemerintahan dinasti Umayyah menjadi sebuah praktik biasa, orang-orang Iran yang terpengaruh propaganda jahat Bani Umayyah, juga tertipu dan melakukan praktik jahat tersebut. Bahkan dikatakan, ketika Umar bin Abdul Aziz melarang praktik tersebut, beberapa kota di Iran menolak perintah larangan tersebut.
Mayoritas ulama suni terkemuka biasanya adalah orang Iran sampai kemunculan Safavi—mufasir, muhadis, teolog, filosof, sastrawan, leksikograf, dan filolog. Abu Hanifah, fakih besar ahlusunah, yang dikenal sebagai Imâm A’zhâm adalah orang Iran. Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, muhadis besar suni, yang rangkumannya dianggap sebagai kitab hadis suni terbesar, juga orang Iran. Demikian pula, Sibawayh di kalangan ahli bahasa, Al-Jauhari dan Al-Firuzabadi di kalangan leksikograf, Az-Zamakhsyari di kalangan mufasir, dan Abu Ubaidah dan Wail bin Atha di kalangan teolog, mereka semua adalah orang Iran. Mayoritas ulama Iran dan masyarakatnya tetap suni sampai pada masa Safavi.
Referensi:
[1] Ahmad, Jumal (18 Maret 2013). “Hakikat Pernikahan Imam Husain dan Syahzanan Putri Yazdrajid”. Fimadani.
[4] Muthahhari, Murtadha. “Islam and Iran: A Historical Study of Mutual Services”. At-Tawhid. Ahlul Bayt Digital Islamic Library Project.