Sunday, January 14, 2018

Peran Dan Kontribusi Imam Al-Ghazali Dalam Menghadang Pemikiran Dan Kejahatan Syiah. Benarkah Tasawuf Ajaran Nabi, Perbedaan Pokoknya Dengan Ajaran Islam, Serta Taubatnya Dari Filsafat Dan Tasawuf.


Hasil gambar untuk imam ghazali mewaspadai 10 taktik ajaran syiah

Peran Imam al-Ghazali dalam Menghadang Pemikiran Syiah

Oleh: Kholili Hasib
Imam al-Ghazali merupakan ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu. Yang hebat, ia memadukan disiplin-disiplin ilmu seperti Kalam, Filsafat, Ilmu Syariat dan lain-lain dalam kerangka keilmuan yang integratif dengan berdasarkan tasawuf. Kebangkitan Islam pada masanya dibangun atas dasar kerangka ilmu yang dibangun imam al-Ghazali itu.
Salah satu hal penting yang pernah berhasil dilakukan oleh Imam al-Ghazali adalah ia menghamparkan jalan bagi bangkitnya kembali Ahlussunnah wal Jama’ah pada masa Perang Salib di tengah kehidupan umat Islam yang terpengaruh berbagai pemikiran.
Prof. Ali Muhammad al-Shalabi dalam buku Shalahuddin al-Ayyubi wa Juhuduhu fi Qadha’ ala al-Daulah al-Fatimiyah wa Tahriri Baitil Maqdis(edisi Indonesia Shalahuddin al-Ayyubi Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis, Pustaka al-Kautsar, 2007) mengupas peran besar imam al-Ghazali dalam mengalau aliran Syiah yang menjadi duri kaum Muslimin dalam menghadapi perang Salib.
Dalam memainkan peran ini imam al-Ghazali tidak lepas dari Madrasah Nidzamiyah, dimana beliau mengajar. Di madrasah ini imam al-Ghazali menjadi pelopor dalam memerangi pemahaman Syiah Rafidhah Bathiniyah pada zaman itu. beberapa cara dilakukan, misalnya dengan menumbuhkan budaya intelektual di madrasah, melakukan pendekatan kepada penguasa bahkan dengan operasi penangkapan kepada pemberontak Syiah.
Salah satu upaya intelektual dilakukan oleh imam Ghazali dengan menulis kitab Fadha’ih al-Bathiniyah (noda-noda Syiah Batiniyah) diterbitkan pada tahun 487 H atas dukungan Khalifah al-Mustadhir.
Pada zamannya, pada akhir abad ke-5 H dunia Islam menurut Ali al-Shalabi tidak ditemukan ulama yang lebih kuat dalam menolak dan menghadang gerakan Syiah melebihi peranan imam al-Ghazali.
Imam al-Ghazali dengan pemikirannya yang mendalam, serta pengaruhnya yang luas, telah mampu memberikan peranan kuat dalam melawan gerakan Syiah Batiniyah dan menolong Ahlussunnah. Salah satu hal yang menarik adalah konstruksi pemikiran imam al-Ghazali yang mampu memukul mati logika Syiah Rafidhah.
Beliau telah mampu meletakkan ilmu syariat dan ilmu logika yang dimilikinya sesuai porsinya, sehingga hal itu merupakan metode yang kuat untuk mencabut dan meruntuhkan pemikiran Syiah Batiniyah sampai ke akar-akarnya.
Beliau berkomentar tentang Syiah: “Secara dzahir mereka menampakkan sikap menolak, sementara di batin mereka ada kekafiran sejati, mereka berkedok Syiah padahal sebenarnya mereka tidak kenal paham Syiah sama sekali, dan bahwasannya mereka rela menyembunyikan di belakang mereka tipu daya terhadap pemeluk Islam” (Imam al-Ghazali,Fadha’ih al-Batiniyah).
Bahkan imam al-Ghazali pernah ikut misi penangkapan orang-orang Syiah Batiniyah bersama pasukan sultan Nidzamul Muluk. Hal ini dikarenakan banyak da’i Syiah di Persia makin berani melakukan ekspansi ke kekuasaan Abbasiyah dan mendirikan benteng-benteng untuk mengancam Ahlussunnah.
Kehadiran benteng-benteng Syiah di dekat wilayah Abbasiyah ini mengancam keamanan dan keselamatan umat Ahlussunnah. Bahkan banyak tokoh-tokoh Islam yang menjadi korban kekejaman milisi Syiah.
Imam al-Ghazali seperti ditulis oleh Ali Muhammad al-Shalabi bertugas memberikan pengarahan dan bekal mental kepada jajaran pemimpin pasukan yang akan melakukan penangkapan. Di samping memang keinginannya kuat untuk turut mengambil peran dalam membela dan mempertahankan agama Islam.
Di sinilah para pemimpin rakyat bertemu dengan para ulama-nya dalam upaya mewujudkan tujuan-tujuan Islam. dan hal ini tidak lepas dari madrasah Nidzamiyah, lembaga pendidikan yang didirikan oleh Sultan Nidzamul Muluk.
Madrasah ini tercatat mencapai sukses besar mendidik dan mencetak ulama-ulama pejuang. Imam al-Subki mengutip cerita dari Ishaq al-Shirazi, seorang guru pertama di madrasah Nidzamiyah berkata: “Saya datang ke negeri Khurasan, di setiap kota atau desa yang saya hampiri, selalu aku temukan seorang qadhi, atau ahli fatwa, atau khatib, mereka adalah mantan siswa saya di madrasah Nidzamiyah atau merupakan sahabat saya”.
Di antara misi penting madrasah ini adalah mencetak para ulama Ahlussunnah pengikut madzhab Syafi’i. Membekali para pegawai untuk menempati lembaga-lembaga pemerintah, khususnya lembaga peradilan, perpajakan, dan pemberi fatwa. Posisi-posisi strategis ini yang kemudian dijabat oleh para alumni Nidzamiyah.
Madrasah dengan melalui karya-karya ilmiah yang diterbitkan dan tokoh-tokohnya maupun para ulamamnya telah menghaparkan jalan yang mudah bagi perjuangan para pejuang-pejuang Islam pada perang Salib. Sehingga daerah-daerah yang sebelumnya menjadi basis paham Syiah Rafidhah berubah menjadi daerah-daerah berbasis Ahlussunnah wal Jama’ah. Kita lihat misalnya peristiwa penting penyelamatan Sultan Shalahuddin yang bermadzhab Sunni-Asy’ari terhadap Mesir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah yang Syiah. Jasa Shalahuddin hingga dapat dirasakan kaum Muslimin sampai saat ini dengan sukses men-sunni-kan al-Azhar.


Dalam kitab Fadhaihul Batiniyyah, Imam Al Ghazali berkomentar tentang Syiah, ia berkata: “Seseorang yang dengan terus terang mengkafirkan Abu Bakr dan Umar Radhiallah Anhuma, maka bererti dia telah menentang dan menolak Ijma kaum Muslimin. Sedangkan tentang diri mereka (para sahabat) ini terdapat ayat-ayat yang menjanjikan syurga kepada mereka dan pujian bagi mereka serta pengukuhan atas kebenaran kehidupan agama mereka, dan keteguhan aqidah mereka serta kelebihan mereka dari manusia-manusia lain”.


Kemudian beliau berkata: “Apabila riwayat yang seperti ini telah sampai kepadanya, namun dia tetap berkeyakinan bahwa para sahabat itu kafir, maka orang semacam ini adalah kafir. Kerana dia telah mendustakan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi Wasallam. Sedangkan orang yang mendustakan satu kata saja dari ucapan beliau, maka menurut Ijma’ kaum Muslimin, orang tersebut adalah kafir”. - (Fadhaihul Batiniyyah, halaman 149)
http://www.syiahindonesia.com/2016/05/fatwa-imam-al-ghazali-tentang-syiah.html?m=0

Abu Hamid Al Ghazali

(Beliau adalah) Muhammad bin Muhammad bin Ahmad at Thuusi al Ghazali, Ibnu Katsir berkata: Beliau dahulu adalah orang yang terpandai di dalam setiap bidang pembahasannya. Karangannya banyak sekali yang tersebar di dalam berbagai macam bidang ilmu. Di antara kitab-kitabnya: Fadhaail al Baathiiniyah. Wafat, 505 H.

[Al Bidaayah wan Nihaayah 12:173-174, Miraatul Janaani 3:177-192]

Beliau (Abu Hamid Al Ghazali) berkata: Karena golongan Rafidhah dalam memahami Islam itu lemah (dangkal), maka mereka melakukan kedurhakaan dengan membuat aqidah al Badaa’. Meriwayatkan dari Ali, bahwa beliau tidak mau menceritakan hal yang ghaib, karena khawatir diketahui oleh Allah, sehingga Allah akan mengubah-nya.

[Bihaarul Anwaar 4:97]

Pada riwayat lain ucapan tersebut dinisbatkan kepada Ali bin Al-Husein.

[Tafsiirul ‘Iyyaasyi 2:215, Bihaarul Anwar 4:118, Al Burhaan 2:299, Tafsir Ash Shafii 3:75]

Note:

Seseorang yang mempelajari aqidah al badaa’ dalam madzhab Rafidhah akan mengetahui, bahwa keyakinan tersebut muculnya bukan karena pemahaman agama yang lemah tetapi sudah merupakan suatu jalan pemikiran yang dengan sengaja diciptakan oleh adanya keyakinan yang berlebih-lebihan terhadap para imam mereka. Pendapat imam Ghazali ini serupa dengan pernyataan imam Al Amidi (Al Ihkaam, 3:109) , Beliau (Al Amidi) berkata: Golongan Rafidhah tidak bisa memahami perbedaan antara nasakh dan al Badaa’.

Kata-kata al Amidi ini lebih jauh dikomentari oleh Syeikh Abdur Razak Afifi, Katanya: “Barang siapa mengetahui dengan jelas hal ikhwal Rafidhah, memahami kebusukan hatinya dan kezindiqkannya berupa sikap merahasiakan kekafiran dan menampakkan keislaman, mewarisi prinsip-prinsip agamanya dari Yahudi, menempuh cara-cara memperdayakan islam sebagaimana dilakukan orang yahudi, maka ia tentu memahami bahwa segala kebohongan dan kedustaan (tentang al Badaa’) adalah suatu pernyataan yang bertujuan jahat, rasa kedengkian kepada kebenaran dan pemeluknya, dan karena fanatik buta, sehingga membuat mereka berani melakukan tipu daya dan berbagai bentuk perbuatan merusak secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan guna menghancurkan syariat Islam dan negara-negara yang menegakkannya.

[Al Ihkaam fii Ushuuli Ahkaam 3:109-110]

Mereka (Rafidhah Syi’ah) pun meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, bahwa ia berkata: “Allah tidak mengetahui sesuatu kejadian dimasa datang sebagaimana hanya pada peristiwa Ismail, yaitu peristiwa penyembelihannya.

[Bacalah riwayat ini di dalam kitab At Tauhiid, oleh Ibnu Baabawaih hal. 36]

Aqidah semacam ini benar-benar suatu kekafiran, dan menganggap Allah itu bodoh dan mudah terpengaruh. Hal semacam ini mustahil, karena Allah itu ilmu-Nya Maha meliputi segala sesuatu.

[Mustashfaa 1:110]

Al-Ghazali berkata: “Seseorang yang dengan terus terang mengkafirkan Abu Bakar dan Umar -semoga Allah meridhai mereka- maka ia telah menentang dan membinasakan ijma’ kaum muslimin. Padahal tentang diri mereka (para shahabat) ini terdapat ayat-ayat yang menjanjikan surga kepada mereka dan pujian bagi mereka serta mengukuhkan atas kebenaran kehidupan agama mereka, keteguhan aqidah mereka dan kelebihan mereka dari manusia-manusia lain. Kemudian kata beliau: “Bilamana riwayat yang begini banyak telah sampai kepadanya, namun ia tetap berkeyakinan bahwa para shahabat itu kafir, maka orang semacam ini adalah kafir. Karena ia telah mendustakan Rasulullah. Sedangkan orang yang mendustakan satu kata saja dari ucapan beliau, maka menurut ijma’ kaum muslimin, orang tersebut adalah kafir.

Nahdhatul Ulama sangat memuliakan Imam Ghazali rahimahullah. Namun apakah Imam Ghazali adalah wahhabi karena memusuhi syi’ah atau islam nusantara??

Imam Ghazali rahimahullah berkata:

ولأجل قصور فهم الروافض عنه ارتكبوا البداء ونقلوا عن علي رضي الله عنه أنه كان لا يخبر عن الغيب مخافة أن يبدو له تعالى فيه فيغيره ، وحكوا عن جعفر بن محمد أنه قال : ما بدا لله شيء وهذا هو الكفر الصريح ونسبة الإله تعالى إلى الجهل

“Dan akibat rendahnya pemahaman syiah rafidhah dalam memahami islam, maka mereka meyakini akidah Al-Bada’. Dan mereka mengklaim telah menukil dari Ali radhiyallahu anhu bahwasanya Ali tidak ingin mengabarkan tentang perkara ghaib karena takut diketahui oleh Allah, sehingga Allah mengubahnya. Dan mereka juga mengklaim telah menukil dari Ja’far bin Muhammad bahwasanya dia mengatakan: “Allah tidak mengetahui sesuatu”. Dan ini adalah kekufuran yang nyata dan menisbatkan hal ini kepada Allah adalah perkara yang dungu” (Al-Mustashfa 1/169)

Silahkan merenungi perkataan Imam Ghazali diatas.

Maka kalau begitu Imam Ghazali adalah islam wahhabi, karena terbukti bahwasanya Imam Ghazali memusuhi syi’ah dan mencela mereka.

Prof. Ali Muhammad al-Shalabi menceritakan peran Imam al-Ghazali dalam menghalau Syiah.

Beliau mengatakan: “Imam al-Ghazali dengan pemikirannya yang mendalam, serta pengharuhnya yang luas, telah mampu memberikan peranan kuat dalam melawan gerakan Syiah Batiniyah dan mendolong madzhab Ahlus Sunnah. Imam al-Ghazali telah mampu meletakkan ilmu-ilmu syariat dan ilmu logika yang dimilikinya sesuai porsinya; sehingga hal itu merupakan metode yang kuat untuk mencabut dan meruntuhkan Syiah Batiniyah sampai ke akar-akarnya” (Ali Muhammad al-Shalabi,Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis, hal. 219).
Dilaporkan dalam buku itu, betapa imam al-Ghazali yang ahli tasawuf menunjukkan keberanian yang tinggi dalam menegakkan kebenaran dan melawan kebatilan Syiah pada masa itu. Imam al-Ghazali membuka kedok Syiah dengan menunjukkan kotradiksi dan pemikiran Syiah. Dan membukan tabir kejahatan perilaku pengikutnya yang merugikan umat Islam pada saat Perang Salib I. Syaikh Yusuf Nabhani dalam kitab Syawahidul Haq membeber sejumlah ulama yang memfatwakan Syiah sesat.

Menurut Al Ghazali, Imamah/Khilafah Tidak Penting!!
Imam al-Ghazali (w. 505 H), dalam kitabnya al-Iqtishâd fi al-I’tiqâd, menyatakan bahwa imamah/khilafah tidak penting, dengan menulis: “Kajian tentang khilafah tidak penting, dan lebih selamat tidak mengkajinya”. Pada kitab tersebut, bab Imamah, dalam paragraph pertama menyatakan:

النظر في الإمامة أيضاً ليس من المهمات، وليس أيضاً من فن المعقولات[1] فيها من الفقهيات، ثم إنها مثار للتعصبات والمعرض عن الخوض فيها أسلم من الخائض بل وإن أصاب، فكيف إذا أخطأ! ولكن إذا جرى الرسم باختتام المعتقدات به أردنا أن نسلك المنهج المعتاد فإن القلوب عن المنهج المخالف للمألوف شديدة النفار، ولكنا نوجز القول فيه ونقول: النظر فيه يدور على ثلاثة أطراف

“Membahas masalah imamah/khilafah ini juga bukan termasuk perkara yang penting, juga bukan termasuk bidang ‘aqidah, namun termasuk bidang fiqhiyyah. Masalah ini juga menjadi pemicu terjadinya fanatisme. Orang yang menolak membahasnya lebih selamat, ketimbang orang yang melibatkan diri di dalamnya. Itupun jika benar, lalu bagaimana kalau salah! Namun, jika dirumuskan untuk mengakhiri apa yang selama ini menjadi keyakinan, maka kami ingin menempuh metode yang lazim. Sebab, biasanya hati sangat keras penolakannya terhadap metode yang bertentangan.. Tetapi, kami ingin meringkas pendapat dalam hal ini, dan kami katakan: pandangan (tentang imamah) dalam hal ini berkisar pada tiga hal: …


Pimpinan MUI tetap mengacu kepada hasil keputusan Rakernas MUI 1984 dan buku panduan MUI bahwa terdapat perbedaan ushul (pokok agama) antara sunni dan syi’ah. (Lihat buku “Himpunan Fatwa MUI Sejak Th 1975”). Syi’ah di indonesia hanya ada satu firqoh yaitu imamiyah itsna asyariyah alias rafidhah yang jelas menyimpang. (Lihat buku panduan MUI “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia”).

Biografi Imam Al Ghazali , Banyak Pengagumnya Tidak Tahu Bagaimana Akhir Kehidupan Imam Ghazali

Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengenalnya. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.”Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.”(Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.”(Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).

Karya-Karyanya*
*Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204
Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:
Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
Al Iqtishad Fil I’tiqad.
Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).
Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.”(Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).
Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.
(2) Mahakun Nadzar.
(3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
(4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
(5) Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
(6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
(7) Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
(8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329).
Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.
(9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
(10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
(11) Qanun At Ta’wil.
(12) Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
(13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.
(14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
(15) Ar Risalah Alladuniyah.
(16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya:
Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala19/334).
Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).
Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.
(17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.
(18) Al Wasith.
(19) Al Basith.
(20) Al Wajiz.
(21) Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.
Aqidah dan Madzhab Beliau
Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”
Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.
Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.
Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).
Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:
Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.
Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).
Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).
Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”


Oleh: Moh. Nasirul Haq 
Syiah cenderung lebih licin dan penuh dengan taktik dalam mendoktrin ajarannya.
Secara singkat saja saya akan jelaskan sepuluh marhalah atau proses mereka dalam merekrut pengikut madzhabnya.

1-2. Azzarq wa tafarrus : yaitu menipu semua orang dalam perkataannya.

3. Ta'nis : meng iyakan pendapat orang demi melesatkan pendapatnya sendiri.

4. Tashkik : membuat keraguan dalam keyakinan seseorang.

5. Ta'liq : menggantungkan hukum jika ia terdesak.

6. Robt : mengikat doktrinnya pada perasaan kita.

7. Tadlis : Merekonstruksi, menambah dan mengurangi dalil se enaknya.

8. Talbis : menyama nyamakan keyakinan kita sebelumnya dengan keyakinannya.

9. Khol'u : mempreteli dan menelanjangi keyakinan kita dari kita.

10. Salkh'u : melepaskan seutuhnya apa yang kita yakini dan diganti dengan akidah Syiah !!

Keterangan selengkapnya bisa anda baca dan anda buka semua MODUS  dan trik syiah mendoktrin akidahnya pada orang lain dari kitab "FADLOIH BATHINIYAH" Karya al imam hujjatul islam Muhammad al Ghozali.



Di kitab itu imam ghozali membuka tabir licik yang disembunyikan aliran Syiah ini.
Semoga bermanfaat dan semoga kita semua bisa mempelajarinya. Amin.
muslimoderat.net

.
Taubatnya IMAM GHAZALI Dari FILSAFAT Atau TASAWUF

Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh fmFILSAFAT dalam diri beliau begitu kentalnya.
Beliau menyusun buku yang berisi CELAAN terhadap FILSAFAT, seperti kitab At Tahafut yang membongkar KEJELEKAN filsafat.
Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar.
Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat.
Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab IBNU SINA.
Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi FILSAFAT dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat SEDIKIT pengetahuannya tentang ilmu HADITS dan SUNNAH Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamyang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. 

Akibatnya beliau menyukai FILSAFAT dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya IBNU SINA dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.

Adz Dzahabi berkata,
“Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama.
Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal.
Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa.
Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan.
Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.”(Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i).
Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya.
Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan,“Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali

Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia.

Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan.
Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari.
Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus.
Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah).
Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthasdan kitab Mahakkun Nadzar.
Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi.
Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalamSiyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H.
Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah.
Kemudian kembali ke Thusi.”(Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur.
Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah.
Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi.
Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an , berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim).
Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata,
“Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).


Taubatnya Imam Al Ghazali Kejalan Yang Benar

Bismillahirrahmanirrahim,
Imam Al-Ghazali (Wafat 505 H, umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, ia berkata di akhir hidupnya : “ketahuilah bahwa kebenaran yang nyata yang tidak ada perdebatan di dalamnya menurut ahli ilmu yang dalam ilmunya adalah madzhab salaf, maksud saya madzhab para sahabat dan tabi’in”(lihat kitab al-iman wal islam karya Khalid al baghadi hal. 79)
“Ketika beliau meninggal, kitab shahih bukhari tengah berada di atas dada beliau. Ini menunjukkan bahwa beliau cenderung kepada thariqah ahli hadits”. (lihat kitab dar’u ta’arudhil aql wan naql karya syaikhul islam ibnu taimiyah 1/162)
Pada akhir hidupnya Al Ghazali menyibukkan dirinya mempelajari dua kitab shahih(Bukhari&Muslim) sebagaimana diceritakan oleh muridnya yaitu Abdul Ghafir Al Farisi dgn pernyataanya : " Dan akhir urusan beliau (Al Ghazali) adalah memperhatikan hadits Al Musthafa shalallahu'alaihi wasallam, dan duduk dihadapan para ahlinya. Serta menelaah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim --yang kedua orang ini merupakan hujjatul islam--. Seandainya beliau masih hidup tentulah akan mendahului setiap orang dalam cabang ilmu (hadits) ini dengan sedikit waktu yang beliau curahkan untuk meraihnya. Dan tidak ada keraguan bahwa pada waktu-waktu sebelumnya, beliau telah mendengar hadits-hadits. Dan pada akhir usianya beliau menyibukkan diri dengan mendengarnya" [Lihat Manhaj Ahlis Sunnah Wal Jama'ah Wa Manhaj Al Asya'irah Fii Tauhidillah, II/682, karya Khalid bin Abdul Lathif bin Muhammad bin Nur].
"Bersyukurlah orang yang telah mengenal jalan dan manhaj yang benar dalam beragama. Peganglah selalu hingga maut menjemputmu." [Imam Al-Ghazali]
Al-Ghazali di akhir hidupnya menemukan pentingnya arti hadits, karena itu ia singsingkan lengan bajunya mengejar apa yang terlewatkan. Akan tetapi kematian menjemputnya sebelum ia dapat mewujudkan tekadnya, dan ia wafat ketika sibuk mempelajari kitab Shahih Bukhari.
Potongan kalimat diatas, merupakan sebagian kecil dari penjelasan tentang perjalan Al-Ghazali dengan kitabnya yang terkenal Ihya Ulumudin, dimana buku ini (Ihya Ulumudin) sangat digemari di sebagian kalangan muslim dan menjadi pegangan bagi orang-orang yang berminat pada dunia tasawuf meskipun kandungannya jelas-jelas bertolak belakang dengan masalah tauhid, kenabian dan hari kiamat.
Lengkapnya, penjelasan tersebut akan saya salinkan secara ringkas dari kitab Jawabi' fi Wajhi As-Sunnah Qadiman wa Haditsan, edisi Indonesia Bahaya Mengingkari Sunnah oleh Shalahuddin Maqbul Ahmad.
IHYA' ULUMUDDIN KARYA ABU HAMID AL-GHAZALI
Syaikh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali Al-Thusi (pada tahun 505H) menulis buku yang berjudul 'Ihya Ulumuddin. Buku ini sangat digemari di kalangan muslim dan menjadi pegangan bagi orang yang berminat pada dunia tasawuf meskipun kandungannya jelas-jelas bertolak belakang dengan masalah tauhid, kenabian dan hari kiamat. Bahkan ada yang mengatakan, "Siapa yang tidak membaca Ihya', maka tidak akan mendapatkan hakikat kehidupan".
Al-Ghazaali dalam Ihya' ini mengambil berbagai pandangan dari buku-buku orang sufi [1] lain, karena ia telah menyatu dengan Al-Quut karya Abu Thalib Al-Maki, dan Ar-Ri'ayah karya Harits Al-Muhasibi.
Telah disebutkan bahwa Imam Ahmad meninggalkan dan mewaspadai karya Al-Muhasibi. Begitu juga Abu Zur'ah.
Ibnu Al-Jauzi menggambarkan dengan cukup buku Al-Quut sebagai berikut: 'Quut Al-Qulub karya Abu Thalib Al-Maki banyak menyajikan hadits-hadits batil dan yang terputus sanadnya, misalnya hadits tentang keutamaan shalat-shalat malam, serta hadits-hadits maudhu' lain. Ia juga menyebutkan akidah yang rusak.[2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah merahmatinya- ditanya tentang buku Ihya' Ulumuddin dan Quut Al-Qulub, dia menjawab, "Ihya' mengikuti seperti yang ada dalam Quut Al-Qulub dalam hal pembahasan segala perbuatan hati dan sabar, syukur dan cinta, tawakal, tauhid dan lain-lain. Sebab Abu Thalib lebih memahami ilmu hadits, atsar, kaum sufi yang mendalami masalah hati daripada Abu Hamid Al-Ghazali. Perkataannya lebih bagus dan tepat, serta jauh dari bid'ah, meskipun hadits yang terangkum dalam Quut Al-Qulub termasuk hadits dha'if dan maudhu serta banyak yang ditolak".
Sedangkan pembahasan tentang penyakit hati yang ada dalam Ihya' seperti sombong, membagakan diri, riya, dengki dan lain-lain, kebanyakan mengambil dari pendapat Harits Al-Muhasibi dalam buku Ar-Ri'ayah. Ada yang diterima, ada yang di tolak dan ada yang masih diperdebatkan.
Ihya' banyak memuat pelajaran bermanfaat, tetapi mengandung juga materi-materi tercela dan rusak yang diambil dari pandapang filosof mengenai hal yang berkaitan dengan tauhid, kenabian dan hari pembalasan. Jika menyebutkan makrifat-makrifat, Al-Ghazali seperti mengambil seorang musuh umat Islam dan memberinya pakaian muslim.
Para ulama menentang Abu Hamid dalam hal ini dalam buku mereka. Mereka berkata, "Abu Hamid terjangkit Asy-Syifa", maksudnya karya Ibnu Sina mengenai filsafat.
Dalam buku yang berjudul Al-Ihya' terdapat banyak hadits dan atsar yang dhai'f (lemah), bahkan maudhu' (palsu).
Di dalam Al-Ihya' terdapat kesalahan dan kebohongan para sufi. Meski demikian, terdapat juga kaum sufi yang arif dan istiqamah dalam berbagai perbuatan hati yang selaras dengan Al-Qur'an dan Sunnah, serta ibadah dan adab yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Kandungan ini memang lebih banyak daripada kandungan yang ditolak. Itulah sebabnya terjadi perbedaan ijhtihad mengenai Al-Ihya'[3].
Inilah gambaran yang tepat mengenai Al-Ihya' dan isi-isinya, yang mencakup hak dan kewajban dengan segenap amanah dan keinsafan.
Bila kita perhatikan Al-Ihya', maka akan kita temukan sejumlah kekurangan yang dapat disimpulkan ke dalam point-point sebagai berikut:[4]
- Banyak menampilkan hadits-hadits yang dha'if dan maudhu', Al-Hafidhz Al-Iraqi telah mentakhrij hadits-hadits dalam bukunya Al-Mugni 'an-Hamli Al-Safar fil Asfar fi Takhrij ma fil Ihya' minal Akhbar.
* Al-Ghazali sendiri mengakui dalam sebagian bukunya bahwa ia mempunyai sedikit pengetahuan tentang hadits. Ia berkata, "Hadits yang ada padaku masih campur aduk"[5]
Al-Ghazali di akhir hidupnya menemukan pentingnya arti hadits, karena itu ia singsingkan lengan bajunya mengejar apa yang terlewatkan. Akan tetapi kematian menjemputnya sebelum ia dapat mewujudkan tekadnya, dan ia wafat ketika sibuk mempelajari kitab Shahih Bukhari[6].
*Para ulama menjelaskan bahwa Al-Ghazali terpengaruh oleh para filosof dan teolog, kemudian dengan cepat ia berpaling kepada ahli sufi dan selanjutnya berusaha melepaskan diri dari cengkeraman mereka, akan tetapi ia tidak mampu.
Abu Bakar bin Al-Arabi yang hidup semasa dengan Al-Ghazali berkata, "Guru kami Abu Hamid menyelami filsafat kemudian ia ingin keluar darinya, namun ia tidak bisa"[7]
Ibn Al-Jauzi berkata, "Abu Hamid mengarang kitab Al-Ihya' untuk mereka dengan metode yang familiar bagi masyarakat waktu itu, dengan menyajikan hadits-hadits yang batil (sesat). Padahal ia tidak mengetahui kebatilan hadits tersebut. Ia berbicara tentang ilmu 'mukasyafah' dan tidak mengindahkan kaidah-kaidah fikih. Ia mengatakan, maksud dari bintang, matahari, bulan yang dilihat oleh Ibrahim adalah cahaya yang merupakan hijab Allah Subhanahu wa Ta'ala. Abu Hamid tidak memaksudkannya sebagai benda yang kita kenal. Kalam ini termasuk kalam kebatinan" [8]
Kencaman keras Imam Syafi'i kepada para ahli kalam :
حُـكْمِيْ فِيْ أَهْلِ الْكَلاَمِ أَنْ يُضْرَبُوْا بِالْـجَرِيْرِ، وَيُـحْمَلُوْا عَلَى الإِبِلْ، وَيُطَافُ بِـهِـمْ فِي الْعَشَائِرِ، يُنَادَى عَلَيْهِمْ: هَذَا جَزَاءُ مَنْ تَرَكَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الْكَلاَمِ
"Hukumanku bagi ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan di atas unta, kemudian dia dikelilingkan ke kampung seraya dikatakan pada khalayak: 'Inilah hukuman bagi orang yang berpaling dari al-Qur'an dan sunnah lalu menuju ilmu kalam/filsafat.”[Manaqib Syafi'i al-Baihaqi 1/462].
Catatan kaki :
[1]Baca Al-Munqidz min Adh-Dhalal
[2]Talbis Iblis
[3]Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 10/551-552
[4]Baca kitab Muallafat Said Hawa, karya Al-Hilali, hal 32-39
[5]Qanun At-Ta'wil, Al-Ghazali, hal 16 ; dan Naqdh Al-Manthiq, karya Ibnu Taimiyah, hal. 52
[6] Muwafaqah Shahih Al-Manqul li Sharih Al-Ma'qul, Ibnu Taimiyah, 1/94, cetakan Kairo
[7]Ibid
[8]Baca perinciannya, Ibid, 1/196-197
Bahaya Mengingkari Sunnah, Hal 300-307, Pustaka Azzam
https://www.facebook.com/permalink.php?id=555638731129296&story_fbid=631727363520432

Imam Ghazali dan “Tahafut Falasifah”

Rasulullah SAW berjanji bahwa setiap abad akan hadir pembaharu (mujadid) agama. Disepanjang sejarah, para intelektual, penguasa, jenderal dan artis Muslim bermunculan untuk menggairahkan kembali agama di dunia Islam dan membantu kaum Muslimin menghadapi pelbagai masalahnya pada saat itu.  Masing-masing sosok ini, konteks kesejarahan yang spesifik dibutuhkan mereka untuk menyempurnakan apa yang telah mereka kerjakan.
Salah satu pembaharu terbesar Islam dalam sejarah adalah Abu Hamid Al Ghazali. Dia sekarang dikenal dengan julukan “Hujatul Islam”, Bukti Islam, karena upayanya yang tidak kenal lelah memerangi secara intelektual beberapa pandangan yang berbahaya dan aliran filsafat yang mempengaruhi dunia Islam pada saat itu. Dari kerumitan pandangan filsafat Yunani hingga bangkitnya ekstrimisme Syiah. Upaya Imam Ghazali sukses menjaga prinsip-prinsip dasar Islam ditengah maraknya ancaman keyakinan agama yang bersifat heterodoks.
Awal Kehidupan
Abu Hamid Al Ghazali dilahirkan pada 1058 di Kota Tus, Iran. Dia berasal dari keluarga Persia yang cakap berbahasa Arab, seperti halnya para ulama pada waktu itu. Dia belajar salah satu diantaranya dengan ulama Syafii Al Juwayni.
Setelah menamatkan pendidikannya, dia bergabung dengan pemerintahan wazir Seljuk, Nizam al Mulk di Isfahan pada 1058. Nizam al Mulk dikenal karena usahanya untuk mendirikan pusat pendidikan terkenal di dunia Islam. Dia mengangkat Ghazali sebagai guru di sekolah Nizamiyah di Baghdad pada 1091. Di Baghdad, Al Ghazali menduduki jabatan bergengsi dan kuliahnya mengundang banyak orang yang hadir.
Namun, pada 1095, Al Ghazali mengalami krisis spiritual karena dia mulai meragukan ketulusannnya. Dia menyatakan dalam otobiografinya bahwa keinginannya tidak semata untuk Allah, namun lebih kepada pencarian ketenaran dan prestise. Menghadapi dilema tersebut, dia meninggalkan jabatannya di Nizamiyyah dan kemudian mengembara ke Damaskus, Yerusalem dan Hijaz. Selama pengembaraannya, dia memfokuskan diri kepada pembersihan jiwa dan menganalisis pelbagai pendekatan terhadap Islam yang dikenal sekarang ini.
Dia pada akhirnya kembali lagi ke Baghdad pada 1106 dan mulai mengajar lagi, Perjalanan dan pencarian jati dirinya memiliki pengaruh besar dalam kehidupan selanjutnya. Dia kadang kali menghadapi pelbagai kontroversi selama tinggal di Baghdad. Dia pada akhirnya kembali ke kampung halamannya di Tus, disana dia kemudian wafat pada 1111.
Penolakan atas Filsafat
Dalam otobiografinya, Tahafut Falasifah, Al Ghazali menjelaskan  pendekatan pencarian kebenaran yang  diikuti orang. Salah satunya yang populer pada waktu itu adalah filsafat yang berdasar model filsafat Yunani, Aristoteles, Para penganjur Muslim filsafat Arsitoteles diantaranya adalah Ibnu Sina dan Al Farabi.
Bahaya logika dan filsafat Aristoteles menurut Al Ghazali adalah adanya kesimpulan para filosof yang meyakni bahwa hal-hal semacam keabadian alam, atau bahwa Tuhan tidak selalu Maha Tahu. Bagi Al Ghazali dan para Muslim lainnya jelas mereka menolak pandangan ini karena dapat merusak aqidah dan prinsip-prinsip dasar Islam.
Al Ghazali melihat sejauh ini belum ada ulama yang secara efektif tampil menolak pandangan sesat ini. Karena kebanyakan para filosof adalah orang yang jago dalam logika dan argumen sehingga seolah-olah pandangan mereka masuk akal dan dapat diterima, meskipun dalam kenyataannya bertentangan dengan keyakinan Islam.
Al Ghazali menantang pandangan tersebut dan menunjukkan bahwa argumen para filosof dalam pandangannya disebut sebagai“ketidakkonsistenan para filosof” (tahafut falasifah) yang diterbitkan pada 1095. Dengan menggunakan logika mereka sendiri, Al Ghazali membongkar celah-celah  dalam argumen mereka sehingga takluk. Untuk melakukanya, dia belajar serius dasar-dasar pandangan filsafat, langkah yang  dia sendiri tidak sarankan bagi kebanyakan orang. Melalui tulisannya tersebut, dia menekankan pentingnya berpegang teguh kepada ajaran yang benar sebelum terjerumus kepada keyakinan heterodoks.
Problem lainnya adalah bahwa Al Ghazali harus menghadapi bangkitnya aliran Syiah Islamiliyyah yang menjadikan Imam yang bersembunyi sebagai sumber valid aqidah dan hukum Islam. Bagi kalangan Ismailiyyah, yang pada saat itu berkuasa di Mesir, Nabi Muhammad SAW bukan kalam akhir dalam urusan agama. Oleh karena itu, sosok suci, yang dikenal sebagai Imam dapat menjadi sumber bimbingan lain.
Al Ghazali membantah pandangan yang menjadikan Imam sebagai dasar keyakinan dengan menunjukkan bahwa tidak ada narasi otentik dari Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan imamah setelah wafatnya. Dia juga menjelaskan bahwa untuk menjawab klaim tersebut secara logika dapat dilakukan dengan menganalisis peran hukum Islam dan bagaimana hukum tersebut diambil. Dia berkesimpulan tentang Ismailiyyah bahwa:
“Substansi doktrin mereka berasal dari manipulasi pandangan kalangan awam dan orang bodoh dengan menunjukkan pentingnya guru yang otoriter.”
Setelah menganalisis pendekatan Islam melalui filsafat, Syiah dan sejenisnya, Al Ghazali sampai kepada kesimpulan bahawa satu-satunya alat yang efektif untuk memahami dunia adalah melalui ajaran otentik Islam seperti yang diajarkan Rasulullah dan generasi awal. Dalam masanya, ajaran tersebut dipraktikkan oleh kelompok-kelompok Sufi, yang membenci ketergantunga kepada dunia dan sepenuhnya memfokuskan diri kepada pembersihan jiwa dalam rangka beribadah kepada Allah.
Al Ghazali dan Ilmu Pengetahuan
Pandangan umum yang dinisbatkan kepada Imam Ghazali oleh para orientalis adalah penolakannya terhadap ilmu filsafat membawa dunia Islam mengalami kemunduran ilmu pengetahuan. Mereka mendasarkan klaimnya bahwa banyak orang yang dibantah oleh Al Ghazali seperti Ibnu Sina dan Al Farabi adalah para ilmuwan terkemuka pada waktu itu.
Al Ghazali jelas berhadapan dengan ide falsafat para ilmuwan yang juga pada waktu itu menulis karya-karya matematik dan ilmu pengetahuan lainnya. Namun, dia sendiri sebenarnya membedakan antara filsafat dan ilmu pengetahuan.
“Siapa saja yang mengambil ilmu matematika akan takjub karena keakuratan dalam detail dan kejelasan dalam pembuktian. Karena itu, dia membentuk opini yang tinggi di kalangan para filosof dan menganggap bahwa semua ilmu pengetahuan memiliki kejelasan  dan kesolidan yang sama seperti halnya ilmu matematika.”
Bahaya belajar matematika dan ilmu pengetahuan lainnya, bantah Al Ghazali, bukanlah karena subyek tersebut bertentangan dengan Islam dan oleh karena itu harus dihindari, namun lebih karena seorang mahasiswa tidak hati-hati dalam menerima gagasan ilmiah para ilmuwan tanpa membabi buta menerimanya seperti halnya filsafat dan subyek bermasalah lainnya.
Dia menambahkan bahwa bahaya lainnya adalah karena ada para pembelajar yang serba tidak peduli terhadap ilmu pengetahuan dan bahwa penolakan atas semua penemuan ilmuwan para ilmuwan atas dasar mereka juga para filosof dengan keyakinan heterodoks yang sesat. Dia menyatakan:
“Benar adalah kejahatan atas agama yang dilakukan oleh seseorang yang menganggap bahwa Islam dapat dimenangkan dengan menolak  ilmu matematika. Karena wahyu tidak mengambil atau menolak ataupun menegaskan ilmu pengetahuan tersebut, dan tidak juga menganggap hal tersebut sebagai urusan agama.”
Ketika orang membaca karya Imam Al Ghazali bekerja pada tataran dangkal, orang bisa salah paham atas apa yang dia katakan sebagai sikap anti ilmu pengetahuan. Yang benar adalah bahwa hal tersebut menjadi peringatan Al Ghazali kepada para pembelajar untuk  tidak sepenuhnya menerima semua keyakinan dan gagasan bahwa ilmuwan hanya semata-mata karena prestasinya dalam matematika dan ilmu pengetahuan. Dengan mengeluarkan peringatan semacam itu, Al Ghazali dalam kenyataannya melindungi ilmu pengetahuan bagi generasi sesudahnya dengan memisahkannya dengan filsafat teoritis yang sering tercampur aduk satu sama lain.
Warisan
Artikel ini mencoba memberikan pandangan komprehensif Imam Ghazali berikut gagasan dan kontribusinya karena membutuhkan membaca semua karya dan menganalisis tulisan-tulisannya. Sebaliknya, bertujuan menunjukkan dampak yang Al Ghazali tinggalkan dalam sejarah sesudahnya.
Imam Al Ghazali kini dikenal sebagai hujjatul Islam yang berarti bukti Islam karena kontribusinya dalam melindungi dunia Islam dari tantangan intelektual yang dihadapinya. Keyakinan dan praktik Islam ditantang seiring kebangkitan filsafat nihilistik dan syiah ekstrim yang mengancam merubah wajah ajaran Islam. Karena usahanya tersebut banyak para ilmuwan setelahnya terinspirasi oleh Ghazali, sehingga mengembalikan kembali ajaran Islam seperti yang diajarkan Nabi SAW serta bebas dari penyelewengan selamanya. Kehidupannya juga sejalan dengan sabda Nabi SAW yang menjanjikan bangkitnya pembaruh agama dalam seratus tahunnya, Al Ghazali tepat hidup 500 tahun setelah sabda Nabi SAW tersebut.

Kisah yang memilukan hati dari taubatnya para ulama dari pengaruh ilmu filsafat

1.Imam abul- ma’ali ibn Al juwaini (478 H) yg bergelar imam haramain. Rahimahullah. Beliau berkata : “ wahai sahabat-sahabatku, janganlah kalian menyibukkan diri dengan ilmu kalam(filsafat). Seandainya aku mengetahui bahwa kalam membawaku kepada keadaanku sekarang ini, niscaya aku tak akan menyibukkan diri dengannya” Dan pada saat akan wafat beliau berkata : “aku telah menyelami lautan yang ganas, dan aku telah meninggalkan(tidak perduli) ulama islam dan ilmu-ilmu mereka, dan aku telah memasuki apa yang telah mereka melarangku daripadanya. Kini jika Allah tidak menyusulku dengan rahmat-NYA sungguh celaka ibnu juwaini. Inilah aku mati di atas aqidah ibuku, dan di atas aqidah wanita-wanita desa naisabur yang awam (aqidah yang masih bersih) “ (lihat kitab syarh aqidah thahawiyah karya ibn abil izzi al hanafi) 2. Imam fakhru ‘d-din ar razi (606 H) yang dikenal dengan fakhrurrazi rahimahullah Beliau mengalunkan bait-bait syair yang memilukan hati: “akhir perjalanan akal adalah jalan buntu Akhir upaya(akal) manusia adalah sesat Roh-roh kita terasa asing (kesepian) dalam tubuh kita Hasil dunia kita adalah penyakit dan musibah Kita tidak akan mendapatkan guna dari penelitian kita selama ini Selain hanya mengumpulkan “katanya dan katanya” Berapa banyak kami saksikan para tokoh dan Negara Mereka cepat sekali binasa dan lenyap Berapa banyak orang-orang mendaki gunung-gunung yang tinggi Lalu mereka lenyap, dan gunung tetap gunung Saya sudah merenungi seluruh aliran ilmu kalam dan manhaj filsafat Ternyata tidak menyembuhkan orang yang sakit dan menyegarkan orang yang kehausan..” Hingga akhirnya beliau berkata “ barangsiapa pernah mencoba apa yang aku coba pasti mengetahui apa yang aku ketahui”….”andai saja aku tidak meyibukkan diri dengan ilmu kalam”.lalu dia menangis “ (lihat kitab dar’u ta’arudhil aql wan naql karya syaikhul islam ibnu taimiyah dan syarh thahawiyah karya ibn abil izz al hanafi dan kitab tauhid asma wa shifat karya Muhammad Ibrahim al hamd).
3. Imam asy syaukani (1250 H) Beliau berkata : “aku melahap kitab-kitab karangan para ahli filsafat/kalam yang bermacam-macam dengan harapan pulang dapat ilmu yang bermanfaat dan dapat keuntungan, ternyata aku tidak mendapatkan apa-apa dari semua itu selain kekecewaan dan kebingungan. Hal itulah yang menjadikan aku cinta (kembali) kepada madzhab salaf, setelah dulunya aku pernah ada di salaf, tetapi saat itu aku ingin tambah memahami dan menguasai (dengan belajar filsafat). Maka pada saat itu aku katakana: hasil akhir dari penelitianku dari pandanganku setelah lama merenung, adalah berdiri di antara persimpangan jalan yang bimbang, tidaklah ilmu orang yang belum bertemu selain kebimbangan, padahal sebelumnya aku telah melau di tengah-tengahnya. Dan tidaklah aku puas sebelum menyelami”(lihat kitab at-tuhaf fii madzahib ‘s-salaf karya imam ay syaukani)
4. Syamsuddin al-khasrusyahi (625 H) Sebagian ulama menjenguknya saat dia sakit, lalu bertanya : “ apa yang anda yakini?” dia menjawab :“apa yang di yakini oleh kaum muslimin”, maka para tamu ersebut bertanya karena penasaran : “dada anda merasa lapang dengan hal itu dan sangat yakin?” dia menjawab: ”Ya”, kemudian ia berkata lagi : “saya bersyukur kepada Allah atas nikmat (taubat) ini. Akan tetapi demi Allah saya tidak tau apa yang saya yakini, demi Allah saya tidak tau apa yang saya yakini, demi Allah saya tidak tau apa yang saya yakini” kemudian ia menangis hingga basah jenggotnya. ( lihat tahqiq kitab al-lqdu ‘l-manzhum fii khusuusi wa’l-umuum li syihabu dien al Qaerafi)
5. Imam ghazali (505 H)ia berkata di akhir hidupnya : “ketahuilah bahwa kebenaran yang nyata yang tidak ada perdebatan di dalamnya menurut ahli ilmu yang dalam ilmunya adalah madzhab salaf, maksud saya madzhab para sahabat dan tabi’in”(lihat kitab al-iman wal islam karya Khalid al baghadi hal. 79) “Ketika beliau meninggal, kitab shahih bukhari tengah berada di atas dada beliau. Ini menunjukkan bahwa beliau cenderung kepada thariqah ahli hadits”( lihat kitab dar’u ta’arudhil aql wan naql karya syaikhul islam ibnu taimiyah 1/162) bersyukurlah yang telah mengenal jalan dan manhaj yang benar dalam beragama..peganglah selalu hingga maut menjemput.. {di saring dari buku abul hasan al-asy'ari imam yang terzhalimi karya ut. agus hasan bashori Lc. M.Ag. hafizhohullah}



Penulis: Al-Ustadz Abu ‘Utsman ‘Ali, Lc.
Tak banyak yang tahu, Ihya` ‘Ulumuddin, kitab yang banyak dipuja orang ini, merupakan salah satu gudangnya kemungkaran. Kajian berikut memang tidak memaparkannya secara keseluruhan. Namun cukuplah menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak lagi menggeluti buku ini terlebih mengagungkannya.

Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan suatu umat yang senantiasa berupaya untuk komitmen di atas kemurnian agama, serta bersikap tegas terhadap segala bentuk penyimpangan atau upaya segolongan orang yang akan mengaburkan As-Sunnah.

Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): “Yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah imam-imam yang menyesatkan.” (HR. Abu Dawud, 4/4252 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, jilid 4 no. 1586)

Abdurrahman bin Abu Hatim Ar-Razi berkata: “Aku mendengar bapakku dan Abu Zur’ah, keduanya memerintahkan untuk memboikot ahlul bid’ah. Keduanya sangat keras terhadap mereka, dan mengingkari pemahaman kitab (Al-Qur`an, red.) dengan akal semata tanpa bersandar dengan atsar (hadits, red.), melarang duduk bersama ahlul kalam (kaum filsafat), dan melihat kitab-kitab ahlul kalam.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 322)
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Kalian akan mendapati segolongan kaum yang menyangka bahwa mereka menyeru kepada Kitabullah, namun hakekatnya mereka telah melemparkannya ke belakang punggung-punggung mereka.” (Al-Ibanah, 1/322)

Mengingat hal ini, akan kami paparkan secara ringkas tentang kitab Ihya` ‘Ulumuddin yang selalu dibanggakan segolongan orang. Bahkan dianggap sebagai literatur yang sarat akan bimbingan aqidah dan akhlak!
Berikut beberapa kesalahan yang terdapat dalam kitab Ihya` ‘Ulumuddin dan bantahannya secara global.
1.Dalam pembahasan sifat-sifat Allah Subhanahu Wata’ala, Al-Ghazali terkadang melakukan penakwilan ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah Subhanahu Wata’ala.
Ahlus Sunnah Wal Jamaah selalu meyakini bahwa sifat-sifat Allah Subhanahu Wata’ala tidak boleh disamakan dengan sifat makhluk, tidak boleh ditanyakan tentang bagaimana keadaannya, tidak boleh menakwilkan dengan sesuatu yang keluar dari makna zhahir sebagaimana yang telah diyakini salafus shalih, dan tidak boleh pula mengingkarinya. (lihat Fathur Rabbil Bariyyah bi Talkhisil Hamawiyyah, hal. 27-28)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab Al-Wushabi hafizhahullah berkata: “Tauhid asma wash shifat adalah mengesakan Allah Subhanahu Wata’ala pada apa yang telah Dia namakan diri-Nya sendiri dengannya atau dengan apa yang telah dinamakan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, dan mengesakan Allah kpada apa yang Dia sifatkan terhadap diri-Nya atau yang telah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam sifatkan untuk-Nya, tanpa mempertanyakan bagaimananya (kaifiyah), atau menyerupakannya dengan makhluk, memalingkan maknanya, dan mengingkarinya. (Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, hal. 81)
Sebagai contoh, Al-Ghazali telah menakwilkan makna istiwa` (artinya naik di atas ‘Arsy) dengan istaula (menguasai). (lihat Ihya` ‘Ulumuddin, jilid 1 sub pemba-hasan Aqidah)
Hal ini telah menyelisihi Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ para salafush shalih. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):
“Sucikan Rabbmu yang Maha Tinggi.” (Al-A’la: 1)

“Sesungguhnya Allah itu Maha Tinggi dan Maha Besar.” (An-Nisa`: 34)

“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas ‘Arsy-Nya.” (Thaha: 5)

Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya):

“Ketika Allah menentukan ketentuan makhluk, maka Dia tulis dalam Kitab-Nya yang ada di sisi-Nya, di atas ‘Arsy…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Tidak ada satupun salafush shalih yang mengingkari bahwa Allah k benar-benar ber-istiwa` di atas Arsy-Nya. Yang tidak mereka ketahui adalah bagaimana cara ber-istiwa`. Dan sungguh hal itu tidaklah diketahui hakekatnya.” (Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah wa Kitabuhu Al-’Arsy, hal. 187)
2.Al-Ghazali berkata tentang ilmu kalam: “Dia merupakan penjaga aqidah masyarakat awam dan yang melindungi dari berbagai kerancuan para ahli bid’ah. Dan perumpamaan ahli ilmu kalam adalah seperti penjaga jalan bagi para jamaah haji.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 1/22)
Aqidah yang bersih akan selalu terbangun di atas pondasi yang benar berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Adapun ilmu kalam adalah belenggu yang menjadikan orang terlena dengan akal, sehingga akan menjauh dari hakekat kemurnian aqidah.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, bagi mereka yang mengharap Allah dan hari kiamat, dan dia banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah: “Contoh yang baik adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang yang mengambil suri teladan darinya berarti telah menempuh suatu jalan yang akan menyampaikan kepada kemuliaan Allah Subhanahu Wata’ala. Inilah jalan yang lurus.”
Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah: “Ketahuilah –semoga Allah Subhanahu Wata’ala merahmatimu–, sungguh tidaklah muncul kezindiqan, kekufuran, keraguan, bid’ah, kesesatan, dan kebingungan dalam agama kecuali akibat ilmu kalam, ahli ilmu kalam, debat, berbantahan, dan perselisihan.” (Syarhus Sunnah, hal. 93)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Mengikuti ocehan ahli ilmu kalam dan filsafat merupakan kerusakan yang nyata. Tak sedikit orang yang mencoba menyelami perkara itu akhirnya berlumuran dengan berbagai kotorannya, sebagaimana ucapan Al-Imam Ahmad: ‘Tidaklah orang yang melihat ilmu kalam kecuali akan terpengaruh dengan Jahmiyyah’. Beliau dan para ulama salaf lainnya selalu memperingatkan dari ahli ilmu kalam walaupun (ahli ilmu kalam itu) berniat membela As-Sunnah.” (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf, hal. 43)
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Ilmu kalam –yang telah disepakati Al-Imam Malik, Abu Hani-fah, Ahmad, dan Asy-Syafi’i sebagai suatu yang bid’ah– tidak akan mungkin menjadi penjaga aqidah dari berbagai bid’ah. Karena ilmu kalam itu sendiri adalah bid’ah.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-uhu wa Tashawwufuhu hal. 9)
Sungguh malang nasib pengagum ilmu kalam. Na’udzubillahi min dzalika (Kita berlindung kepada Allah Subhanahu Wata’ala dari hal itu).
3.Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian:
a. Ilmu zhahir: ilmu muamalah.
b. Ilmu batin: ilmu kasyaf. (Ihya` ‘Ulumuddin, 1/19-21)
Keyakinan bahwa ilmu kasyaf merupakan puncak ilmu merupakan hal yang umum di kalangan para Shufi! Kasyaf menurut keyakinan Shufi adalah tersingkapnya hijab di hadapan para wali Shufi, sehingga dia bisa melihat dan mengetahui sesuatu yang ghaib tanpa melalui indera perasa. Namun ilmu kasyaf adalah ilmu yang terilhamkan dalam hati. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsu-ruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114)
Sungguh menakutkan keadaan mereka. Bukankah Allah Subhanahu Wata’ala telah berfirman (yang artinya):

“Katakanlah: ‘Tidak ada siapapun yang ada di langit dan di bumi yang mengetahui suatu yang ghaib selain Allah.’” (An-Naml: 65)

“(Dialah) Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan tidak menampakkannya kepada siapapun, kecuali kepada utusan-Nya yang telah Dia ridhai. Sesungguhnya Dia memberikan penjagaan (dengan para malaikat) dari depan dan belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Dia mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dan sungguh tidak ada makhluk-Nya yang bisa mengetahui ilmu-Nya kecuali yang Allah k beritahukan kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/462)
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): “Ada lima perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.” Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya): “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34) [HR. Ahmad, 5/353. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil v dalam Shahihul Jami’, 6/361]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ilmu ghaib merupakan sifat khusus bagi Allah Subhanahu Wata’ala. Dan segala perkara ghaib yang Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam kabarkan merupakan sesuatu yang dikabarkan Allah Subhanahu Wata’ala kepadanya. Dan tidaklah beliau mengetahui dari dirinya sendiri.” (Fathul Bari, 9/203). Adanya keyakinan kasyaf merupakan upaya penghinaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
4.Penafsiran ayat secara ilmu batin dan keluar dari kaedah-kaedah salaf.
Sebagai contoh Al-Ghazali menafsirkan firman Allah Subhanahu Wata’ala (yang artinya): “Dan jauhkan aku serta keturunanku dari penyembahan terhadap berhala.” (Ibrahim: 35)
Al-Ghazali menyatakan bahwa yang dimaksud berhala adalah dua batu, yaitu emas dan perak! (Ihya` ‘Ulumuddin, 3/235)
Cara seperti ini merupakan tipudaya setan, karena hanya akan menjadikan seseorang keluar dan menyeleweng dari pemahaman salafush shalih.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):
“Katakanlah, jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami jadikan ia di Jahannam. Dan Jahannam adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)
Ilmu batin menurut Shufiyyah adalah rahasia-rahasia ilmu yang ganjil, dan hanya diketahui oleh orang-orang Shufi yang berbicara dengan lisan yang abadi. (Majmu’ Fatawa, 13/231)

Keadaan ini menyerupai orang-orang bathiniyyah Qaramithah yang menafsirkan Al-Qur`an secara ilmu batin, seperti shalat berarti doa, puasa berarti menahan rahasia, haji bermakna safar dan berkunjung kepada guru serta para syaikh. (Majmu’ Fatawa, 13/236)
5.Al-Ghazali terpengaruh dengan suluk orang-orang Cina dan kependetaan dalam Nasrani. (Ihya` ‘Ulumuddin, 3/334)
Ia berkata: “Upaya para wali dalam penyucian, pencerahan, kebersihan, dan keindahan jiwa sehingga suatu kebenaran menjadi gemerlap, nampak dan bersinar sebagaimana dilakukan orang-orang Cina. Dan demikianlah upaya kaum cendekiawan dan ulama untuk meraih dan menghiasi ilmu, sehingga terpatri indah dalam hati sebagaimana yang dilakukan orang-orang Romawi.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 3/24)

Bahkan hubungan manis antara Shufiyyah dengan Nasrani dinyatakan Ibrahim bin Adham. Ia berkata: “Aku mempelajari ma’rifat dari seorang pendeta bernama Sam’an dan aku pernah masuk ke dalam tempat ibadahnya.” (Talbis Iblis, hal. 137)
Abdurrahman Al-Badawi berkata: “Sungguh, kalangan Shufiyyah dari kaum Muslimin menganggap tidak mengapa untuk mendengarkan pelajaran-pelajaran para pendeta dan perihal olah batin mereka karena terdapatnya faedah, walaupun hal itu datang dari Nasrani. (Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 64)
Anggapan seperti ini sangatlah naif, dan hanya akan melumpuhkan serta menelanjangi seseorang dari al-wala` wal-bara`. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya):
“Benar-benar kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang sebelum kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka.” (HR. Abu Dawud, 2/74. Dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adabuz Zifaf hal. 116)
Bahkan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dengan jelas menyatakan (yang artinya): “Tidak ada kependetaan dalam Islam.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/7)
Sungguh perilaku Shufiyyah merupakan virus pluralisme yang akan selalu bergulir seperti bola liar dengan kemerdekaan berfikir tanpa batas (freedom of thinking is every-thing).
6.Menurut Al-Ghazali, martabat kenabian bisa diraih seorang Shufi dari sisi turunnya ilham Ilahi di dalam hatinya. (Ihya`, 3/18-19)
Menurut para Shufi, ilham adalah pancaran ilmu kepada para syaikh dan wali dari Allah Subhanahu Wata’ala, yang tercurahkan dalam hati, yang bisa didapatkan baik saat terjaga ataupun tidur, sehingga terbukalah rahasia ilmu yang ada di Lauhul Mahfuzh. Hal ini terkadang mereka namakan ilmu laduni, yang tidak akan berakhir seperti berhentinya wahyu kepada para nabi. (Ash-Shufiyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114-115)
Bahkan Al-Ghazali berkata: “Sesungguhnya hati, di hadapannya siap tergelar hakekat sesuatu yang haq dalam semua urusan. Bahkan tercurahkan segala bentuk yang rahasia dan tersingkap dengan mata hati, menjadikan apa yang tertulis di Lauhul Mahfuzh terpampang, sehingga bisa mengetahui apa yang akan terjadi.”
Kemudian beliau menambahkan: “Berbagai urusan tersingkap bagi para nabi dan wali. Dan suatu cahaya tertuang dalam hati mereka yang didapatkan tanpa belajar, mengkaji, menulis, dan buku-buku, yang diraih dengan zuhud di dunia. (Ihya` ‘Ulumuddin, 3/18-19)
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya ilmu-ilmu yang didapatkan para nabi dan wali itu melalui pintu batin atau melalui hati, dan melalui pintu yang terbuka dari alam malakut/ Lauhul Mahfuzh.” (Ihya` ‘Ulu-muddin, 3/20)
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Perkataan Al-Gha-zali tentang kenabian merupakan kepanjangan tangan Ibnu Sina yang menganggap bahwa para nabi memiliki tiga kekuatan: kekuatan kesucian, kekuatan khayalan, kekuatan perasaan dan batin.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashaw-wufuhu hal. 35)
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah menukilkan ucapan Al-Ghazali dalam kitab Al-Jawahirul Ghali: “Tidak ada perbedaan sedikitpun antara wahyu dan ilham, bahkan dalam kehadiran malaikat yang memberikan faedah ilmu. Sesungguhnya ilmu didapatkan dalam hati kita dengan perantara para malaikat.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 38)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya yang terkandung dalam ucapan mereka adalah bahwa berita-berita dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tidaklah berfaedah sedikitpun dalam sisi ilmiah. Bahkan hal yang seperti itu bisa diraih oleh setiap orang dengan musyahadah [1], nur, dan kasyaf.” (Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql, 5/347)
Al-Ghazali bahkan menghina para fuqaha dengan ucapannya: “Para fuqaha hanyalah sekedar ulama dunia dan tugas mereka tidak lebih dari itu.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 1/18)
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Kebenciannya kepada para fuqaha merupakan kezindiqan terbesar. Karena para fuqaha selalu menghadirkan fatwa-fatwa tentang kesesatan dan kefasikan mereka. Dan sungguh al-haq itu berat sebagaimana beratnya zakat.” (Talbis Iblis hal. 374)
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyyah berkata: “Fiqih merupakan suatu upaya untuk membenahi sesuatu yang zhahir dan yang batin. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya): “Akan tetapi orang-orang munafiq tidaklah memahami.” (Al-Munafiqun: 7)
Jikalau hati-hati mereka bersih dan tercermin dalam zhahir-zhahirnya, sungguh mereka adalah orang yang memahami. Ingatlah pemimpin para fuqaha, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu yang didoakan oleh Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam: ‘Ya Allah, fahamkanlah dia dalam urusan agama’.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-tuhu wa Tashawwufuhu hal. 45)
Perilaku Shufiyyah merupakan pintu kesombongan, kecongkakan dan sikap ekstrim dalam memposisikan diri mereka. Mereka telah melupakan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai seorang nabi yang membawa kesempurnaan syariat dan akhlak yang mulia. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):
“Hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian dan telah Aku sempurnakan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.” (Ali ‘Imran: 164)
7.Tentang ajaran wihdatul wujud, Al-Ghazali berkata menyebutkan tingkatan orang-orang shiddiqin: “Mereka adalah segolongan kaum yang melihat Allah Subhanahu Wata’ala dalam keesaan-Nya. Dengan-Nya, mereka melihat segala sesuatu. Dan tidaklah mereka melihat dalam dua tempat selain dari-Nya, dan tidaklah mereka memperhatikan alam wujud selain Dia. Inilah memperhatikan de-ngan pandangan tauhid. Hal ini mengajarkan kepadamu bahwa yang bersyukur adalah yang disyukuri. Dan dia adalah yang mencintai dan yang dicintai [2]. Inilah pandangan seseorang yang mengetahui bahwa tidaklah ada di alam yang wujud ini melainkan Dia.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 4/86)
Bahkan terdapat keterikatan yang kuat antara Al-Ghazali dan Al-Hallaj yang meyakini aqidah wihdatul wujud, bahkan sebagai puncak dari tauhid. (Ihya` ‘Ulumuddin, 4/247)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata membantah keyakinan yang bejat ini: “Para salaf mengkafirkan Jahmiyah karena perkataan mereka bahwa Allah Subhanahu Wata’ala berada di semua tempat. Di antara bentuk pengingkaran para salaf adalah: Bagaimana mungkin Allah Subhanahu Wata’ala berada di perut, di tempat-tempat kotor, di tempat-tempat sunyi? Maha Tinggi Allah dari perkara tersebut! Lalu bagaimanakah dengan mereka yang menjadikan perut, tempat-tempat kotor, tempat-tempat sunyi, barang-barang najis, dan kotoran-kotoran sebagai bagian dari Dzat-Nya?” (Majmu’ Fatawa, 2/126)
Ahlus Sunnah meyakini bahwa Allah Subhanahu Wata’ala ber-istiwa` di atas ‘Arsy dan Allah Subhanahu Wata’ala tidak membutuhkan ‘Arsy. Dan Allah Subhanahu Wata’ala tidaklah serupa dengan makhluk dalam segala sifat-Nya.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):
“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)
“Sesungguhnya Rabb kalian telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian ber-istiwa` di atas Arsy.” (Yunus: 3)
“Tidaklah Allah serupa dengan apapun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
8.Ajaran khalwat atau menyendiri dan menyepi, dan kesalahan dalam memahami ‘uzlah. Al-Ghazali berkata: “Dalam ‘uzlah (menyingkir dan menjauhi umat), ada jalan keluar (kedamaian). Adapun dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar akan meninggalkan perselisihan dan membangkitkan kedengkian hati. Dan siapapun yang mencoba beramar ma’ruf niscaya kebanyakannya akan menyesal.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 2/228)
Bahkan dengan khalwat akan tersingkap kehadiran Rabb dan nampak baginya Al-Haq. (Ihya` ‘Ulumuddin, 3/78)
Syarat-syarat khalwat menurut kaum Shufi:
* Meminta bantuan dengan ruh para syaikh, dengan perantara gurunya.
* Menyibukkan diri dengan dzikir sehingga nampak Allah Subahanahu Wata’ala baginya.
* Bertempat di ruangan yang gelap dan jauh dari suara serta gerakan manusia.
* Tidak berbicara.
* Tidak memikirkan kandungan makna Al-Qur`an dan hadits, karena akan menyibukkan dari dzikir yang sebenarnya.
* Tidak boleh masuk dan keluar dari tempat khalwat kecuali dengan izin dari syaikhnya.
* Selalu mengikat hati dengan mengingat syaikh. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 186)
Ini merupakan amalan-amalan yang akan menguburkan nilai-nilai agama yang suci, akibat salah memahami ‘uzlah dan upaya meniru gaya kependetaan.
Makna ‘uzlah bukanlah khalwat ala Shufiyyah yang rancu. Maknanya adalah menjauhi suatu fitnah agar tidak menimpanya, baik itu di dalam rumah ataupun di suatu tempat, yang apabila telah hilang fitnah tersebut maka dia kembali melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, berdakwah, dan berjihad di jalan-Nya. (lihat Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 188)
Suatu fitnah harus dihadapi dengan ilmu dan bimbingan yang benar, bukan dengan sikap emosional atau mengekor pola-pola orang kafir. (baca kitab Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan)
9.Al-Ghazali lebih mengutamakan as-sama’ (mendengarkan nasyid dan dendang kerohanian) daripada membaca Al-Qur`an. Setelah menceritakan keutamaan as-sama’, beliau berkata: “Dan apabila hati telah terbakar (mabuk) dalam kecintaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, maka untaian bait syair yang aneh akan lebih membangkitkan sesuatu yang tidak bisa dibangkitkan dengan membaca Al-Qur`an.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 2/301)
Keganjilan kaum Shufi ini merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat. Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata: “Berkumpul untuk mendengarkan dendangan-dendangan rohani baik yang diiringi tepuk tangan, dawai, ataupun rebana, merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat, baik Ahlush Shuffah atau yang lainnya. Demikian pula para tabi’in (tidak pernah melakukannya).” (Majmu’ Fatawa, 11/57)
Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata: “Tidaklah aku tinggalkan Baghdad kecuali telah muncul at-taghbir (dendang kerohanian) yang dibuat orang-orang zindiq, yang hanya menghalangi manusia dari Al-Qur`an. Dan Yazid bin Harun berkata: “Tidaklah melakukan at-taghbir kecuali orang fasiq.” (Majmu’ Fatawa, 11/569)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang yang membiasakan mencari semangat dengan as-sama’ niscaya tidak akan lembut dan senang hatinya dengan Al-Qur`an. Dan dia tidak akan mendapatkan apapun saat mendengarkan Al-Qur`an sebagaimana ketika mendengarkan bait-bait syair. Bahkan apabila mendengarkan Al-Qur`an, dia akan mendengarkan dengan hati dan lisan yang lalai.” (Majmu’ Fatawa, 11/568)
Orang-orang Shufi telah melupakan firman Allah Subhanahu Wata’ala (yang artinya):
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah apabila diingatkan tentang Allah maka hati-hati mereka bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)
“Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah hati akan tenang.” (Ar-Ra’d: 28)
10.Kesalahan yang fatal dalam memahami makna tawakkal, sehingga menghilangkan sebab yang harus ditempuh. Al-Ghazali berkata: “Telah diceritakan dari Banan Al-Hammal: ‘Suatu hari saya dalam perjalanan pulang dari Mesir, dan saya membawa bekal keperluanku. Datanglah kepadaku seorang wanita dan menasehatiku: ‘Wahai Banan, engkau adalah tukang pembawa yang selalu membawa bekal di punggungmu dan engkau menyangka bahwa Dia tidak memberimu rizki?’ Banan berkata: ‘Maka aku buang bekalku’.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 4/271)
Hal ini sangatlah berseberangan dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):
“Hendaknya kalian mengambil bekal, dan sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: “Allah Azza Wa Jalla memerintahkan untuk membawa bekal bagi safar yang mubarak (diberkahi) ini (yakni haji). Sesungguhnya persiapan bekal akan mencukupinya dan bisa mencegah dari harta orang lain, tidak mengemis dan meminta bantuan. Bahkan dengan memperbanyak bekal akan bisa menolong para musafir.” Kemudian beliau berkata: “Adapun bekal yang hakiki yang akan terus bermanfaat di dunia dan di akhirat adalah bekal takwa, inilah bekal untuk menuju rumah abadi.” (Taisirul Karimirrahman hal. 74)
Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa menyimpan persediaan makanan untuk 40 hari atau kurang dari itu, maka akan terharamkan dari al-maqam al-mahmud (kedudukan terpuji) yang dijanjikan kepada orang yang bertawakkal di akhirat kelak.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 4/276)
Al-’Iraqi berkata setelah menyebutkan hadits bahwa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam mempersiapkan makanan untuk keluarganya selama satu tahun yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari: “Apakah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam telah keluar dari tingkatan orang-orang yang bertawakkal, sebagaimana yang diterangkan Al-Ghazali dalam manhajnya yang rusak dalam masalah tawakkal?” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 79)
Bahkan ketika orang-orang Nasrani menyerbu negeri Baghdad, ia lebih memilih untuk ber-khalwat daripada berjihad. (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 89)
11.Menjauhi suatu yang fitrah, bahkan yang diperintahkan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, seperti nikah.
Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa menikah maka sungguh dia telah cenderung kepada dunia.” (Ihya` ‘Ulumuddin, 3/101)
Hal ini sangat menyelisihi sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya): “Menikahlah kalian, sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat dari kalian, dan janganlah kalian meniru kependetaan Nasrani.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 4/385, hadits no. 1782. Beliau mengatakan hadits ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7/78)
PERINGATAN ULAMA SALAF TERHADAP KITAB IHYA` ‘ULUMUDDIN [3]
Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdur-rahman Alusy Syaikh berkata: “Di dalam kitab Ihya`, beliau (yakni Al-Ghazali) menulis dengan metode filsafat dan ilmu kalam dalam banyak pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan ketuhanan dan teologi, serta membingkai filsafat dengan syariat. Ibnu Taimiyyah berkata: ‘Namun Abu Hamid telah memasuki ruang lingkup ilmu filsafat dalam banyak hal, yang Ibnu ‘Aqil menyatakan ilmu filsafat sebagai bagian dari zindiq’."
Ibnul ‘Arabi, murid Al-Ghazali mengatakan: “Guru kami Abu Hamid telah masuk dalam cengkeraman ilmu filsafat, dan beliau ingin melepaskannya namun tidak berhasil.” [4]
Abu ‘Ali Ash-Shadafi berkata: “Syaikh Abu Hamid terkenal dengan berbagai berita buruk dan memiliki karya yang besar. Beliau sangat ekstrim dalam tarekat Shufiyyah dan mencurahkan waktunya untuk membela madzhabnya, bahkan menjadi penyeru dalam Shufiyyah. Beliau mengarang berbagai tulisan yang terkenal dalam hal ini dan membahasnya dalam berbagai tempat, sehingga mengakibatkan umat berburuk sangka kepadanya. Sungguh Allah Yang Maha Tahu rahasianya. Dan penguasa di tempat kami di negeri Maghrib –berdasarkan fatwa para ulama– telah memerintahkan untuk membakar dan menjauhi karyanya.”
Adz-Dzahabi berkata: “Karyanya ini penuh dengan musibah yang sungguh sangat tidak menyenangkan.”
Ahmad bin Shalih Al-Jaili: “(Al-Ghazali adalah) seorang yang fatwa-fatwanya terbangun dari sesuatu yang tidak jelas. Di dalamnya banyak riwayat-riwayat yang dicampuradukkan antara sesuatu yang tsabit/jelas dengan yang tidak tsabit. Demikian pula apa yang dia nisbatkan kepada para ulama salaf, tidak mungkin untuk dibenarkan semuanya. Ia juga menyebutkan berbagai kejadian-kejadian para wali dan renungan-renungan para wali sehingga mengagungkan posisi mereka. Ia mencampurkan sesuatu yang manfaat dan yang berbahaya.”
Abu Bakr Ath-Thurthusi berkata: “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan berbagai kedustaan atas nama Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan tidaklah ada di atas bumi yang lebih banyak kedustaan darinya, sangat kuat keterikatannya dengan filsafat dan risalah Ikhwanush Shafa, yaitu segolongan orang yang menganggap bahwa kenabian adalah sesuatu yang bisa diraih manusia biasa dan mu’jizat hanyalah halusinasi dan khayalan.”
Kata al-Hafizd al-Imam Ibn Katsir (ulama ahlul hadits sekaligus ahli tafsir yang terkenal dengan “Tafsir Ibnu Katsir”nya, wafat 774H /1372 M) berkata dalam kitab Al-Bidayah wa Al-Nihayah: “Ketika berada di Damsyik dan Baitulmaqdis, al-Ghazali mengarang kitabnya Ihya Ulumuddin. Ia sebuah kitab yang ganjil. Ia mengandung ilmu yang banyak berkaitan syara', bercampur dengan kehalusan tasawuf dan amalan hati. Namun dalamnya “banyak hadis yang gharib (asing), mungkar dan palsu”.(Rujukan: Ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, 12/186, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. )
Tajudin As Subki (ulama ahlul hadits, wafat 771H/1355 M), beliau berkata dalam kitab “Thobaqot Asy Sayafi’iyyah” jilid 4 halaman 145 dalam bab mengenai biografi Al Ghozali : “Di bab ini aku kumpulkan semua hadits2 yang ada di kitab Ihya Ulumuddin yang aku belum dapatkan sanadnya, ternyata jumlah hadits2 itu sekitar 943 hadits yang tidak ada asalnya. Sedangkan hadits yang punya sanad tetapi dho’if (lemah) atau Maudlu’ (palsu) barangkali berlipat ganda dari jumlah ini.
Kata al-Hafizd al-Imam Ibnu Al Jauzi (wafat 597H/1200M): “Kemudian datang Abu Hamid al-Ghazali menulis untuk golongan sufi kitab al-Ihya Ulumuddin berdasarkan pegangan mereka. Dia memenuhi bukunya dengan hadis-hadis batil yang dia tidak tahu kebatilannya.” (Rujukan: Ibn Jauzi, Talbis Iblis, hlm 190, Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah) .
Imam Nawawi (Ulama ahlus sunnah yang sangat masyhur dikalangan penuntut ilmu, wafat 676 H/1277 M). Beliau pernah ditanya tentang sholat Ragha’ib yang sering dilakukan orang di malam jum’at pertama bulan Rajab, apakah amalan ini termasuk sunnah ataukah bid’ah?, maka beliau menjawab :”Ia adalah bid’ah yang buruk lagi di ingkari dengan pengingkaran yang sangat keras”. Kemudian ia berkata, “Janganlah kalian tertipu dengan banyaknya orang yang melakukan amalan tersebut di banyak negri, meskipun amalan tersebut di anjurkan di kitab Quth al Qulub atau Ihya Ulumudin dan semisalnya, maka sesungguhnya sholat Ragha’ib itu adalah bid’ah yang bathil” (Al Mi’rayul Maghrib (I/300) karya Al Wansyarisi)
Ibnu Taimiyah (ulama besar ahlus sunnah, wafat 728H/1327M). Beliau berkata dalam kitab “Dar’ut Ta’aarudh jilid 7 hal 149 setelah beliau menukil tulisan panjang dari kitab Ihya Ulumudin, kemudian ia mengkritik dan mengomentarinya : “Al Ghozali tidaklah memiliki pengetahuan tentang atsar-atsar (riwayat2) Nabawi yang didasarkan pada pemahaman sahabat yang dimiliki oleh ahli ilmu, yaitu orang2 yang membedakan/memilah mana yang shahih dan yang dho’if (lemah). Oleh karena itu ia pun memasukkan hadits2 dan atsar2 yang maudhu’ (palsu) dan dusta di dalam kitab “Ihya” nya yang apabila beliau tau bahwa itu adalah palsu, niscaya beliau tidak akan memasukkannya”
Dan masih banyak lagi komentar2 dan kritikan2 para ulama ahlus sunnah lainnya tentang kesalahan2 yang ada dalam kitab Ihya Ulumudin ini.
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu menjaga kita dari tipu daya, kesesatan dan makar setan.
Wallahu a’lam.
Foot Note :
[1] Musyahadah menurut kalangan Shufi adalah melihat kehadiran Allah Subhanahu Wata’ala yang kemudian memberikan/membuka rahasia-rahasia-Nya kepada hamba-Nya.
[2] Maksudnya dia telah bersatu dengan Allah, sehingga tidak lagi terpisah antara dia dengan Allah.
[3] Diambil dari kitab At-Tahdzirul Mubin min Kitab Ihya` ‘Ulumuddin karya Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman Alusy Syaikh
[4] Tentang akhir kehidupan Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan: “…Oleh karena itu, menjadi jelas baginya (Al-Ghazali, ed) di akhir hayatnya bahwa jalan tasawuf tidaklah menyampaikan kepada tujuannya. Kemudian ia mencari petunjuk melalui hadits-hadits Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Mulailah ia menyibukkan diri dengan Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan ia meninggal di tengah kesibukannya itu, dalam keadaannya yang paling baik. Beliau juga membenci apa yang terdapat dalam bukunya berupa perkara-perkara semacam itu, yaitu perkara yang diingkari oleh orang-orang.” (‘Aqidah Asfahaniyyah, hal. 108, ed)
Judul Asli: "Mengurai Kesesatan Ihya’ ‘Ulumuddin"
Sumber: www.asysyariah.com

Antara Zuhud Sunni dan Zuhud Sufi
Benarkah Kelompok Shufiyyah Termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Fenomena Ruwaibidhoh (Berbicara Agama Tampa Ilmu)
Habib Luthfi Bin Yahya : Isu Syiah Ini Dibuat Supaya Tidak Cinta Ahlul Bayt, Hah ?! Imam Mazhab Dan Imam Bukhari Menyatakan Syi’ah Bukan Bagian Dari Islam ! Bantahan Beberapa Habib Ahlus Sunnah Terhadapnya.
Hati Yang Bersih Dan Hakekat Cinta Kepada Allah
Hakikat Shufiyyah di Mata Syi’ah
Imam Ja’far Bin Muhammad Ash-Shadiq Menyebut Orang (Hatinya) Tidak Cinta Kepada Abu Bakar RA Dan Umar RA Adalah Ahli Neraka ! Al-Imam Malik rahimahullaah berkata (murid Imam Ja’far Ash-Shadiq): “Apa yang di jaman Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam dan sahabatnya bukan bagian dari agama, maka pada hari ini pun tak akan pernah menjadi agama!” 
Ilmu Dulu, Baru Amal (Ilmu Adalah Pemimpin Amalan)
Ibadah Nyeleneh Sufi Di Indonesia Dan Chechnya (Kebatilan Mazhab Sufi Berzikir Sambil Menari).
Ikhlas Dalam Beribadah Dan Tinggalkan Syubhat (IT)
Konferensi “Bagaimana Cara Mengalahkan Islam?” Rencana Mereka, Kyai-Kyai Kelompok Mayoritas Mengubah Tafsir Al-Qur`An Dan Hadits-Hadits, Dengan Target Menghentikan Otoritas Ulama.
KH Afifuddin Muhajir: Pemikiran Said Aqil Merusak NU, Imam Al-Ghazali Dicap Batil
Kenapa Ibadah Terasa Hambar? Keshalehan Bathin, Tinggalkan Yang Haram Sekalipun Dalam Keadaan Terdesak Dan Riya’ Mengancam Kita
Membongkar Kedok Sufisme Di Hadramaut ( Penulis Dan Kata Pengantarnya Para Ahlul Bait)
Membongkar kesesatan sufi (bahagian I, sejarah dan fitnah tasawwuf)
Membongkar kesesatan sufi (bahagian II, sorotan terhadap sufi)
Membongkar kesesatan sufi (bahagian III, Perbedaan pokok islam dan tasawwuf)
Membongkar kesesatan sufi (bahagian IV, Definisi tarekat sufi)
Membongkar kesesatan sufi (bahagian V, Kasyaf, khurafat dan shufi)
Mengoreksi ajaran tasawwuf
“Orang yang mencela sahabat-sahabat Nabi, maka ia tidak termasuk dalam golongan Islam (kafir)”
Perbedaan Pokok Ajaran Islam Dan Tasawuf
Pesta Tarekat Sufi (Tasawuf) Hilang Kewarasan
Penyakit Riya Dan Gila Popularitas. Mengapa Kita Tak Perlu Terkenal ? Mereka Orang Yang Shalih, Tapi Tidak Mau Dikenal
Rahasia tipu muslihat dedengkot shufi & syi’ah dibalik tudingan “wahabi” dalang paham takfir dan aksi terorisme 
Siapakah Sufi ? Paham Sufi Dalam Timbangan Al-Qur’an Dan Assunnah
Sufi, Benarkah Itu Ajaran Nabi?
Syi'ah Sufistis
Standar Kebenaran Bukan Pada Amalan Semata
Siapa Wali Kutub Dan Wali Ghauts?
Standarisasi Kebenaran Dalam Islam
Siapakah Wali Allah Subhanahu wa Ta'ala
Syara' Menggalakkan Zuhud Bukan Tasawuf
Tokoh Sufi Habib Luthfi Bin Yahya: Anti Maulid Lebih Berbahaya Daripada Anti Sahabat. Sedangkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Para Sahabat, Para Thabi’in, Thabi’ut Thabi’in, Imam Empat Mazhab, Para Ulama Ahlul Hadits Seperti Imam Bukhari, Muslim dan lain-lain, Tidak Ada Yang Pernah Satu Kalipun Mengadakan Perayaan Maulid Nabi....
Tafsir Orang Sufi Terhadap Al-Qur’an Bukanlah Tafsir
Ucapan Jahil Habib Luthfi Bin Yahya "Sedikit-Sedikit Mereka Katakan Yang Penting Al-Islam. Yang Penting Ahlussunah Waljamaah. Tidak Perlu NU-NU An"? Perjanjian Faisal Bin Husein (Putra Syarif Mekkah Husein Bin Ali, Penganut Sufisme, Hasyimiyah) Pintu Masuk Yahudi Eropa Miliki Tanah Di Palestina.
Zuhud

"Dhirar" Chechnya

Al-Muflis ( Bangkrut )
Apakah Anda Dicintai Rasulullah?
Al Quran : The Miracle Of Miracles. Allah Tidak Sekali-Kali Menjadikan Seseorang Mempunyai Dua Hati Dalam Jiwanya. Masukilah Islam Secara Kaffah (Not Less Than 100 % Kaffah !)
Hadist: Jika Engkau Tak Malu, Perbuatlah Sesukamu
Benang Tipis: Antara Kemudahan Islam Dan Bermudah-Mudahan Dalam Mengamalkan Syariat Islam
Habib Luthfi: Islam Nusantara Melindungi Islam dari Arabisasi
Inilah Tanda-Tanda Bahwa Allah Menghendaki Kebaikan Pada Anda (IT)
Kajian Lengkap Pro-Kontra Hakikat Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Dan Maulid Nabi. Sampai Akhir Abad Ketiga Hijriyah Tidak Pernah Ada Perayaan Maulid. Pro-Maulid Merujuk Pendapat Ulama Setelah Abad Kelima Hijriyah.
Pengikut Asy’ariyah ‘Meradang’ Hebat, Mereka Mendatangkan Para Qadhi Dan Ulamanya Untuk Mendebat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rohimahullah Yang Menulis Aqidah Firqah Najiyah Dalam Kitab Al-Aqidah Al-Wasithiyahnya.

Makhul As SYami dan lainnya berkata:
من عبد الله بالخوف وحده فهو حروري - يعني: من الخوارج -، ومن عبد الله بالرجاء وحده فهو مرجئي، ومن عبد الله بالحب وحده فهو زنديق، ومن عبد الله بالخوف والرجاء والحب فهو الموحد.
Siapa saja yang beribadah kepada Allah hanya berdasarkan rasa takut saja, maka ia adalah orang haruri (khowarij), sedangkan siapa saja yang beribadah kepada Allah hanya berdasarkan rasa harap saja, maka ia adalah orang murji'ah, dan orang yang beribadah kepada Allah hanya dengan rasa cinta saja, maka ia menjadi orang zindiq (munafik). Adapun orang yang beribadah kepada Allah dengan menyatukan rasa takut, rasa harap dan rasa cinta, maka dialah orang yang benar benar bertauhid. (Abu Nu'aim dalam kitab Hilyatul Auliya')

Kitab Ihya’ Ulumuddin Imam al-Ghazali & Kritik Hadits Didalamnya

Tak ada gading yang tak retak. Begitu kira-kira permisalan bagi kitab Ihya’ Ulumuddin karya Al Imam al-Ghzali rahimahullah. Disamping kemasyhuran dan faidah yang terkandung padanya, sayang di dalamnya banyak terselip hadits lemah, sangat lemah bahkan palsu.

Diakui, Imam al-Ghazali adalah seorang ulama pemuka umat yang dihormati. Jasa dan sumbangsihnya dalam berbagai cabang ilmu agama tidak dapat dipungkiri. Beliau adalah ahli fikir dan ushul yang tersohor. Kendati dalam bidang hadits, beliau bukanlah ahli di dalamnya, sebagaimana dinyatakan para pakar hadits. Makanya, mengkritik hadits-hadits lemah dan palsu dalam kitab beliau, tidak berarti merendahkan kedudukan al-Ghazali, karena kebenaran dan keselamatan agama berada di atas segalanya.

Simaklah pernyataan al-Hafidz al-Dzahabi kala menjelaskan kekeliruan yang ada dalam kitab al-Ihya’: “Aku katakan: Al-Ghazali adalah imam yang besar, namun bukanlah menjadi syarat seorang alim itu tidak melakukan kekeliruan’’. (Lihat: Al-Dzahabi, Siyar Alam al-Nubala 19/339, al-Maktabah al-Syamilah).

Bahkan Imam besar dalam Mazhab Syafi’i yang selalu membela al-Ghazali, Imam Tajuddin al-Subki pun mengakui hal ini dalam “Thabaqat”-nya: “Adapun apa yang dianggap cela pada kitab al-Ihya' berupa kelemahan sebagian hadits-hadistnya, maka itu kerana al-Ghazali dikenal bukanlah seorang pakar dalam bidang hadits’’. (Lihat: Tajuddin al-Subki, Thabaqat al-Syafi’yyah al-Kubra, 6/249, al-Maktabah al-Syamilah).

Nah, berikut beberapa komentar ulama mu’tabar terkait kitab Ihya’ Ulumuddin:

Pertama: Imam al-Hafidz Ibnu Katsir menyatakan: “Ketika berada di Damaskus dan Baitul Maqdis, al-Ghazali mengarang kitabnya Ihya' Ulumuddin. Ia sebuah kitab yang luar biasa, mengandung banyak ilmu yang berkaitan dengan syari’at, dan bercampur dengan kehalusan tasawuf serta amalan hati. Namun sayang, di dalamnya banyak hadits yang gharib, mungkar dan bahkan palsu’’. (Lihat: Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, 12/214, al-Maktabah al-Syamilah).

Kedua: Imam Ibnul Jauzi berkata: “Kemudian datang Abu Hamid al-Ghazali menulis untuk mereka (golongan sufi) kitab al-Ihya' berdasarkan pegangan mereka. Dia memenuhi bukunya itu dengan hadits-hadits batil yang dia tidak ketahui kebatilannya’’. (Lihat: Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, hlm 149, al-Maktabah al-Syamilah).

Ketiga: Imam al-Hafidz al-Dzahabi mengomentari: “Adapun kitab al-Ihya’ di dalamnya terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil. Padanya terkandung kebaikan yang melimpah, andai saja tidak ada padanya adab, cara dan zuhud yang diambil daripada ahli falsafah dan golongan sufi yang menyeleweng. Kami memohon daripada Allah ilmu yang bermanfaat". (Lihat: Al-Dzahabi, Siyar ‘Alam al-Nubala’, 19/339, Beirut: Dar al-Risalah, al-Maktabah al-Syamilah).

Keempat: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Abu Hamid (Al-Ghazali) tidak memiliki pengalaman (kepasitas) dalam atsar-atsar Nabi serta riwayat-riwayat salaf sebagaimana dimiliki oleh ahli-ahli yang mengetahui perkara itu yang sanggup membedakan antara yang sahih dan yang tidak sahih. Olehnya, al-Ghazali menyebut dalam kitab-kitabnya hadis dan athar yang palsu dan dusta, dimana kalau ia mengetahuinya tentu dia tidak akan menyebutnya” (Lihat: Ibn Taimiyyah, Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa al-Naql, 3/370, al-Maktabah al-Syamilah).

Itulah Imam al-Ghazali dan kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Tapi kebesaran dan kesohoran beliau di dunia Islam, tidak menjadikan beliau tutup mata terhadap kekurangannya dalam bidang ilmu hadits tersebut. Beliau mengakuinya, hingga di akhir-akhir hayatnya, sebagaimana diceritakan oleh muridnya, Abul Hasan Abdul Ghafir al-Farisy, bahwa beliau mulai melakukan kajian-kajian terhadap hadits-hadits Nabi saw, duduk mendengar pelajaran dari ahli ilmu, serta mendalami kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. (Lihat: Tajuddin al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah, 4/111, dan al-Dzahabi, Siyar al-A’lam al-Nubala, 19/325-326). Terbukti, saat ditemukan, beliau wafat sambil memeluk kitab “Shahih al-Bukhari”. (Lihat: Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh al-Aql wa al-Naql, 1/162).

Semoga Allah merahmati al-Hafidz Abu al-Fadhl Abdur Rahim al-Iraqi atas kerja keras dan upaya beliau melakukan pendalaman dan takhrij (penjelasan) bagi hadits-hadits dalam kitab al-Ihya’, kemudian beliau namakan takhrijnya tersebut “Al-Mughni ‘an Haml al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij maa fi al-Ihya min al-Akhbar”, yang dicetak bersamaan dengan kitab Ihya’ Ulumuddin tersebut.
*dari fb Rappung Samuddin (Jumat, 28/8/2015)

Tinjauan Kritis Terhadap Beberapa Pemikiran Imam Al Ghazali Dalam Kitabnya Ihya’ Ulumiddin

Pendahuluan
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath Thusi asy Syafi’i yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al Ghazali dilahirkan di kota Thûs pada tahun 450 H (1058 M) dan meninggal di Thûs pada tahun 505 H (1111 M). Dikenal di dunia Barat pada abad pertengahan dengan Algazel.

Berkun-yah Abu Hamid, karena salah seorang anaknya bernama Hâmid. Sementara gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan pekerjaan ayahnya sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazâlah di Bandar Thûs, Khurasân, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syâfi’i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi’i.

Imam al-Ghazâli rahimahullah termasuk penulis produktif, di antaranya menulis dalam bidang Ushûluddîn, Ushul Fiqh, Fiqh, Mantiq, Tasawuf, dan lainnya. Tulisan dan kitab-kitab beliau tersebut cukup banyak tersebar di kalangan kaum muslimin, meskipun di dalamnya banyak terdapat substansi-substansi yang perlu dikoreksi dan diluruskan karena penyelisihannya dari pemahaman yang benar.

Pada tulisan ini, akan sedikit diuraikan beberapa pemikiran dan pemahaman Imam al- Ghazâli rahimahullah yang perlu dikritisi, dalam rangka meluruskan kesalahan dan sebagai bentuk nasihat kepada kaum umat Islam. Pembahasan ini diangkat dari kitab berjudul Waqafat ma’a Kitab Ihya’ ‘Ulumiddîn lil Ghazali karya Sa’d bin ‘Abdirrahman al-Hushayyin.

PANDANGAN AL-GHAZALI rahimahullah DALAM MASALAH KHOLWAT [1].

Beliau mengatakan,

“Adapun kehidupan berkholwat, maka di antara faidahnya adalah meninggalkan kesibukan, menguatkan pendengaran dan penglihatan, karena sesungguhnya keduanya (pendengaran dan penglihatan) adalah saluran menuju ke hati. Dan tidaklah hal itu bisa sempurna kecuali dengan berkholwat (menyendiri) di rumah yang gelap. Dan jika tidak ada tempat yang gelap, maka hendaklah ia memasukkan kepalanya ke dalam baju, atau berselimut dengan baju atau sarungnya, maka dalam keadaan ini ia akan mendengar seruan kebenaran dan menyaksikan keagungan rubûbiyyah Allâh Azza wa Jalla .” [2].

Beliau berdalil dengan firman Allah Azza wa Jalla:

يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ

“Hai orang yang berkemul (berselimut)”. [al-Muddatstsir/74 :1]. Dan Firman Allah Azza wa Jalla:

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ

“Hai orang yang berselimut (Muhammad)”. [al-Muzzammil/73 :1].

Sanggahan :

Apakah Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat-ayat tersebut sebagai dasar untuk merealisasikan jenis kholwat semacam itu, ataukah ayat tersebut menjelaskan perintah meninggalkan tempat tidur dalam rangka berdakwah mengajak ke jalan Allâh Azza wa Jalla dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Dan apakah jenis kholwat semacam itu diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan dicontohkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?.

Al-Ghazali rahimahullah juga mengatakan tentang kholwat,

“Dan hendaklah ia menyendiri di ruangan khusus, dengan hanya melaksanakan perkara-perkara yang wajib, dan tidak mengiringi keinginannya untuk membaca al-Qur’ân, tidak pula menelaah tafsirnya, serta tidak pula menulis Hadits.” [3].

Sanggahan :

Pernahkah Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam , para Sahabat, dan para imam (panutan) beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan meninggalkan membaca al-Qur`ân, mentadabburinya, dan menyebarkan Sunnah (Hadits)?.

Al-Ghazali rahimahullah menambahkan mengatakan,

“Ketahuilah bahwa orang yang masih dalam tahapan awal [4] , hendaklah tidak menikah terlebih dahulu. Karena, hal itu (pernikahan) merupakan urusan yang mendatangkan kesibukan dan akan menghalanginya dari menempuh perjalanan (suluk). Demikian pula, hal itu akan mengantarkannya untuk berkasih-sayang dengan istrinya. Dan barangsiapa berkasih-sayang dengan selain Allâh Azza wa Jalla , itu akan melalaikannya dari Allâh Azza wa Jalla . Janganlah ia tertipu dengan keberadaan Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam yang mempunyai banyak isteri. Karena beliau adalah orang yang hatinya tidak terlalaikan dari mengingat Allâh Azza wa Jalla dengan seluruh yang ada di dunia. Jadi, tidaklah bisa dikiaskan antara malaikat dengan tukang besi……..Oleh karena itulah, Abu Sulaimân ad-Dârâni berkata, “Barangsiapa yang menikah, maka ia telah cenderung (tertarik) kepada dunia.” [5].

Sanggahan :

Lihatlah pertentangan perkataan tersebut dengan firman Allah Azza wa Jalla berikut :

وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا

“Dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya”. [ al-A’raf/7:189].

Juga berseberangan dengan perintah Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat:

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، لِأَنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ

“Barang siapa di antara kalian yang mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah karena hal itu bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan” [HR. al-Bukhari Muslim].

PANDANGAN AL-GHAZALI BERKAITAN DENGAN AL-QUR’AN.

1). Ta’wil Batiniyah

Para pengikut tharekat Sufiyah berpendapat seperti yang menjadi pendapat kaum batiniyah secara umum, yaitu membagi ilmu syar’i menjadi ilmu yang bersifat lahir dan ilmu yang bersifat batin, atau ilmu thariqah (jalan) dan ilmu hakikat. Dan al-Ghazâli rahimahullah termasuk pemandu mereka dalam masalah ini, sebagaimana kenyataan yang ada, dimana beliau telah mambuka pintu ajaran tasawuf kepada para pengikut yang datang setelahnya. Dan juga memudahkan sarana untuk menjadikan ajaran ini nampak, padahal sebelumnya ajaran ini tersembunyi dan tidak terang-terangan.

Berikut ini contoh penafsiran al-Ghazali rahimahullah terhadap beberapa ayat al-Quran :

Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ

“Maka tanggalkanlah kedua terompahmu. [Thaha/20:12].

Al-Ghazâli rahimahullah menafsirkan ayat di atas dengan berkata, “Aku mengatakan bahwa Musa memahami perintah untuk menanggalkan kedua terompahnya, yang maksudnya adalah menanggalkan kedua alam. Maka Musa melaksanakan perintah secara lahir dengan menanggalkan terompah dan secara batin dengan menanggalkan kedua alam.”[6].

Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. tahun 728 H) mengomentari penafsiran tersebut dengan menyatakan, “Ini adalah kebiasaan ahli takwil, ahli filsafat….shabiah dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan Qaramithah, Bathiniyah dan para pengikut aliran tasawuf”[7].

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Dan dari sisi inilah orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahlul hulûl, ahlul wihdah, dan ahlul ittihâd [8]”[9].

Ibnul Jauzi rahimahullah (w. tahun 597 H) juga menukil perkataan al-Ghazâli rahimahullah, “Yang dimaksudkan dengan bintang-bintang dan bulan (yang dilihat Nabi Ibrâhîm) [10] adalah cahaya-cahaya, yaitu hijab Allâh Azza wa Jalla , dan bukanlah yang dimaksudkan adalah matahari dan bulan yang sudah dimaklumi.” Maka, Ibnul Jauzi rahimahullah mengomentari perkataan ini dengan mengatakan, “Ini termasuk jenis perkataan orang-orang Batiniyah.”[11].

Demikian pula,

Allah Azza wa Jalla berfirman :

فَإِنْ آَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. [an-Nisâ/4:6].

Al-Ghazali rahimahullah menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla tersebut dengan mengatakan bahwa, orang yang sudah cukup bekal ilmunya, hendaklah dibukakan kepadanya hakikat-hakikat ilmu, dan ia naik dari pengetahuan yang sifatnya lahiriyah dan nampak kepada pengetahuan yang sifatnya rinci, tersembunyi, dan batin.” [12].

2). Membandingkan al-Quran dan Nyanyian

Al Ghazali rahimahullah menyebutkan dalam al-Ihya’ satu bab tentang al-ghina (nyanyian). Secara panjang-lebar, beliau membicarakan tentang kondisi orang-orang yang menekuninya, dan juga perasaan gembira yang mereka rasakan. Dan beliau menyebutkan dalil-dalil orang yang berpendapat akan haramnya nyanyian, kemudian membantahnya. Dan menyebutkan orang-orang yang berpendapat akan bolehnya nyanyian dan kemudian mendukungnya.

Kemudian beliau menjawab pertanyaan berkaitan dengan hal ini, yaitu pertanyaan, “Jika sudah diketahui bahwa mendengar al-Quran jelas memberikan manfaat kepada jiwa, maka mengapakah mereka masih berkumpul untuk mendengarkan nyanyian dari orang-orang yang ahli dalam pembicaraan, bukan mendengar dari para pembaca al-Quran ?”.

Maka al- Ghazali -rahimahullah- menjawabnya langsung,

“Ketahuilah, sesungguhnya nyanyian lebih memberikan dorongan kepada jiwa daripada al-Qur’an ditinjau dari tujuh sisi” (?!)[13] :

Sisi pertama : Sesungguhnya tidak semua ayat-ayat al-Quran sesuai dengan kondisi orang yang mendengarkannya. Orang yang ditimpa kesedihan, rasa rindu, atau penyesalan, dari sisi mana kondisinya sinkron dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan [an-Nisa/4:11].

Dan dari sisi mana kondisinya sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla :

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik. [an-Nûr/24:4]. Jadi, yang bisa menggerakkan perasaan dalam hati ialah hal-hal yang sesuai dengannya.

Sisi kedua : Bahwasanya al-Quran telah banyak orang yang menghafalnya, sering didengar, dan sering diresapi dalam hati. Ketika pertama kali didengar, maka pengaruhnya terasa besar pada kalbu. Setelah mendengar kedua kalinya, pengaruhnya akan menurun. Dan pada kali yang ketiga, seolah-olah pengaruhnya lenyap. Berkaitan dengan apa yang kami sebutkan itu, Abu Bakr ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu telah mengisyaratkan kenyataan tersebut ketika ia melihat beberapa orang arab Badui datang mendengarkan al-Qur`ân kemudian mereka menangis, maka ia berkata,“Dahulunya kami juga menangis seperti kalian, akan tetapi sekarang sudah keras hati kami.” Akan tetapi, berulang-ulangnya hati menelaah al-Qur`ân mengakibatkan kerasnya hati, dan sedikitnya pengaruh yang dirasakan, disebabkan kebiasaan dan seringnya mendengar al-Qur`ân. Menurut kebiasaan, tidak mungkin seseorang mendengar satu ayat yang belum pernah didengar sebelumnya lalu ia menangis, dan ia terus-menerus bisa menangis karenanya dalam jangka dua puluh tahun, kemudian setiap kali ia mengulang ia selalu menangis” [14].

Sanggahan :

Sangat mengherankan, bukankah alGhazali rahimahullah telah mengatakan tidak hanya sekali dalam kitabnya Ihya Ulumiddin bahwa al Quran tidaklah usang dengan banyaknya diulang ? Dan bahwa hati tidaklah bosan dengannya?[15].

Dari manakah beliau mendatangkan kisah palsu yang dihikayatkan dari Abu Bakar Radhiyallahu anhu tersebut? Sedangkan telah diriwayatkan dalam hadits yang shahîh dari ‘Aisyah Radhyallahu anhuma , bahwasanya ia berkata :

إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيْقٌ إِذَا قَرَأَ غَلَبَ عَلَيْهِ الْبُكَاءُ

“Sesungguhnya Abu Bakar adalah orang yang sangat lembut hatinya, jika ia membaca al Quran, maka ia tidak bisa menahan tangisnya [16].

Ini adalah riwayat yang jelas menunjukkan kedustaan kaum yang menganggap telah sampai pada tingkatan ma’rifah dan wushûl, dan mereka lebih mengedepankan nyanyian daripada al Quran, dan berdalil dengan riwayat yang dibuat-buat (dipalsukan) atas nama Abu Bakar Radhiyallahu anhu.

PANDANGAN AL-GHAZALI DALAM ROJA DAN KHAUF [17].

Al-Ghazali rahimahullah menyebutkan beberapa perkataan kaum Sufi dan pendapat-pendapat mereka dalam masalah roja’ dan khauf. Di antaranya beliau mengatakan,

“Adapun orang yang beramal karena mengharapkan surga dan takut neraka maka dia adalah seorang yang mukhlis (ikhlas) jika ditinjau dari bagian yang didapatkannya segera. Jika tidak demikian, maka hakikatnya dia sedang mencari pemenuhan kebutuhan perut dan farji (kemaluan). Dan sesungguhnya yang benar-benar dituntut dari orang-orang yang berakal adalah mengharapkan wajah Allâh Azza wa Jalla semata (bukan berharap surga dan takut dari neraka, pent)” [18].

Kemudian beliau menukil perkataan Rabi’ah al ‘Adawiyah kepada Sufyân ats-Tsauri rahimahullah,

“Aku tidaklah beribadah kepada-Nya karena takut dari neraka-Nya, tidak pula karena menginginkan surga-Nya. Jika seperti itu, tentulah aku termasuk kuli yang buruk (mengharap upah dam takut kena marah, pent). Akan tetapi, aku beribadah kepada-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya”.[19].

Beliau juga menceritakan bahwa Isa Alaihissallam pernah melewati sejumlah orang ahli ibadah dan mereka sedang tekun beribadah. Mereka berkata,

“Kami takut akan neraka dan kami mengharapkan surga.” Maka Isa Alaihissallam berkata, “Mengapa kalian takut kepada makhluk (neraka) dan mengharapkan makhluk (surga)?”. Kemudian Isa Alaihissallam melewati sekelompok orang lain yang mengatakan,“Kami beribadah karena cinta kepada-Nya dan mengagungkan kebesaran-Nya.”Maka Isa Alaihissallam berkata, “Kalian adalah wali-wali Allâh Azza wa Jalla yang sejati, dan bersama kalian lah aku diperintahkan untuk tinggal.”[20].

Sanggahan :

Allah Azza wa Jalla berfirman dalam rangka menyampaikan tarhib [21]:

فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu”. [al-Baqarah/2:24].

Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam rangka menyampaikan targhib [22] :

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. [Ali ‘Imran/3:133].

Maka, bagaimanakah seseorang bisa disebut sebagai orang yang mengagungkan Allah Azza wa Jalla , sedangkan ia mendengar firman Allah Azza wa Jalla tersebut, kemudian ia tidak mau memperhatikan ancaman yang menjadikan seseorang takut dari-Nya, dan tidak pula mengharapkan kenikmatan yang telah Allâh Azza wa Jalla janjikan ( dalam surga)?.

Apakah ia berkeyakinan bahwa ia lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla dan lebih dekat kepada-Nya daripada para Nabi yang telah dipuji oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :

وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا

“Mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas [al-Anbiya/21:90].

Dan apakah ia menganggap bahwa dirinya lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada para malaikat yang telah Allâh Azza wa Jalla puji dalam firman-Nya :

يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ

“Mereka takut kepada Rabb mereka yang di atas mereka” [an-Nahl/16:50].

Bukankah hakekat pengagungan dan makna ketakwaan dengan seluruh maknanya adalah seseorang takut akan hal-hal yang menjadi ancaman Allâh Azza wa Jalla , dan seseorang mengharapkan kenikmatan yang telah dijanjikan Allâh Azza wa Jalla .

Tidakkah ia mendengar firman Allâh Azza wa Jalla :

ذَلِكَ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ يَا عِبَادِ فَاتَّقُونِ

“Demikianlah Allâh mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan adzab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku [az-Zumar/39:16].

Simaklah pernyataan al-Qusyairi –seorang tokoh Sufi dan termasuk peletak pokok-pokok ajaran Tasawuf – yang diriwayatkan dari perkataan Abu Sulaimân ad Darani, “Yang dimaksud dengan ridha adalah engkau tidak meminta surga kepada Allâh Azza wa Jalla, dan tidak memohon perlindungan dari neraka.” [23].

Tidakkah ia mengetahui bahwa ketidaktakutan seseorang terhadap ancaman Allâh Azza wa Jalla termasuk sifat orang-orang yang melampaui batas, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَنُخَوِّفُهُمْ فَمَا يَزِيدُهُمْ إِلَّا طُغْيَانًا كَبِيرًا

“Dan kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar besar kedurhakaan mereka” [al-Isrâ/17:60].

Sifat thughyan (melampai batas) ini telah menimpa kaum Sufi dengan penyimpangan mereka dari sunnah (petunjuk) Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam , dan meremehkan pahala dan siksaan di sisi Allâh Azza wa Jalla . Mereka berpandangan bahwa apabila seseorang takut akan neraka dan adzab Allâh Azza wa Jalla berarti ia telah takut kepada selain Allâh Azza wa Jalla , dan bahwasanya hal itu termasuk kategori syirik. Dalam hal ini, mereka telah melalaikan akan perintah Allah Azza wa Jalla :

وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا

“Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan” [al-A’raf/7:56].

Dengan demikian, mereka tidak meminta surga kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak pula berlindung dari neraka karena menganggap bahwa hal itu adalah tingkatan ridha kepada Allâh Azza wa Jalla .

Al-Ghazali Mengutip Kisah Tokoh-Tokoh Tasawuf.

Al-Ghaza li rahimahullah mengatakan,

“Dan diriwayatkan bahwa Abu Turab an-Nakhsyabi, suatu ketika ia merasa kagum terhadap seorang pengikut tarekat Sufi. Ia pun mendekatinya dan menyediakan segala kebutuhannya, sementara orang tersebut tetap sibuk dalam ritual ibadahnya. Kemudian Abu Turab berkata kepadanya, “Seandainya engkau mau melihat Abu Yazid!” Maka orang itu menjawab, “Celaka kamu, apa yang aku butuhkan dari Abu Yazid? Aku telah melihat Allâh Azza wa Jalla (!?), maka aku tidak butuh kepada Abu Yazid.” Abu Turab berkata, “Maka bergoncanglah perasaanku, dan aku pun tidak bisa menguasai jiwaku, lalu aku pun berkata kepadanya, “Celakalah engkau, engkau telah terpedaya dengan Allâh Azza wa Jalla . Kalau lah engkau melihat Abu Yazid sekali saja, maka itu lebih bermanfaat bagimu daripada melihat Allah Azza wa Jalla tujuh puluh kali (!?)” [24].

Sanggahan :

Perkataan yang buruk ini tidak perlu lagi untuk dikomentari, kecuali kita hanya berlindung kepada Allah Azza wa Jalla dari penyimpangan setelah datangnya hidayah. Namun demikian, al-Ghazâli rahimahullah tidak mengingkari perkataan tersebut, demikian pula cerita-cerita lainnya dari tokoh-tokoh Sufi. Justru berkomentar positif, “Ini adalah bagian awal dari perjalanan mereka (menuju Allah), sekecil-kecil kedudukan mereka, dan semulia-mulia orang yang bertakwa(?! ).” [25].

Imam al-Ghazali rahimahullah juga menceritakan dari Ibnu al-Kuraibi bahwa ia berkata,

“Aku mendatangi suatu tempat dimana penduduknya mengenalku sebagai orang shalih. Di situ, hatiku menjadi gundah. Lalu aku masuk ke kamar mandi dan aku melihat ada sehelai baju yang mewah. Aku mencurinya dan kemudian mengenakannya. Lalu aku pakai pakaianku yang penuh tambalan di atas baju tersebut, kemudian aku keluar. Aku pun berjalan pelan-pelan. Orang-orang pun menemuiku dan melepaskan baju luarku. Selanjutnya, mereka mengambil pakaian yang mewah itu dan menampari dan menyakitiku dengan pukulan. Sejak itu, aku dikenal sebagai seorang pencuri barang-barang yang tertinggal di kamar mandi. Namun, dengan kasus itu lah jiwaku menjadi tenang (?!).” [26].

Sanggahan :

Perkara ini jelas menyelisihi syariat Allâh Azza wa Jalla dan sunnah (petunjuk) Nabi-Nya. Karena pencurian termasuk perbuatan dosa besar.Allâh Azza wa Jalla menggandengkan penyebutan tindak pencurian dengan dengan perbuatan zina yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla atas orang-orang beriman laki-laki maupun perempuan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ

“Tidak akan mencuri dan tidak akan berzina”. [al-Mumtahanah/60:12]. Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”. [an-Nûr/24: 3].

TAUHID AL-GHAZALI DAN KEYAKINAN AL-HALLAJ [27].

Para ulama telah mengingkari pendapat al-Ghazali rahimahullah yang membagi tauhid menjadi empat, yaitu :

Tingkatan pertama: Seseorang mengucapkan kalimat La Ilaha illallah dengan lisannya, namun hatinya ghoflah (lalai) darinya atau mengingkarinya, seperti tauhid orang-orang munafik”. [28].

Sanggahan :

Telah dimaklumi bahwa nifaq (kemunafikan) bukanlah satu tingkatan dari tauhid menurut para Ulama Salaf. Bahkan sebaliknya, termasuk tingkaran kekufuran paling tinggi. Sementara ghoflah (kelalaian) itu berbeda dengan inkâr (pengingkaran).

Tingkatan kedua: “Seseorang membenarkan makna kalimat ini dengan hatinya sebagaimana umumnya kaum Muslimin membenarkannya. Ini adalah keyakinan orang-orang awam”.[29].

Tingkatan ketiga : “Seseorang menyaksikan (alam semesta) dengan jalan al-kasyf (penyingkapan) melalui perantara cahaya dari Allâh Azza wa Jalla . Ini adalah tingkatan muqorrabîn (orang-orang yang didekatkan kepada-Nya). Yaitu, dengan melihat benda-benda yang banyak, disertai keyakinan bahwa semuanya itu muncul dari satu Dzat Yang Maha Mulia”.

“Maka, orang yang menyaksikan adalah orang yang bertauhid, karena ia tidak menyaksikannya kecuali (bersumber) dari perbuatan satu Dzat……dan tidak melihat satu pun perbuatan secara hakiki kecuali (bersumber) dari yang satu.[30].

Tingkatan keempat: “Seseorang tidak melihat apa yang ada ini kecuali semuanya itu hakikatnya adalah satu. Ini adalah yang disaksikan oleh shiddîqîn. Para pengikut Tasawuf menamainya dengan fanâ (melebur) dalam tauhid. Inilah puncak tertinggi dalam tauhid.”[31].

Sanggahan :

Di sini kita sampaikan satu pertanyaan, yaitu di manakah letak tauhid (aqidah) yang diserukan oleh Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi lainnya (mengesakan Allâh Azza wa Jalla dalam seluruh ibadah) di antara empat tingkatan tauhid yang disebutkan tersebut, mengapa tidak ada bagiannya di sana?.

Dan apa benar puncak tertinggi dalam tauhid diwujudkan dengan melihat segala apa yang ada sebagai sesuatu yang hakikatnya satu? Apakah yang dimaksudkan satu tersebut adalah Allâh Azza wa Jalla ? Jika demikian, maka ini adalah pemahaman wihdatul wujud. [32].

Al-Ghazali rahimahullah telah mengisyaratkan hal itu [33] ketika beliau mengatakan dalam kitab Misykatul Anwar, “La ilaha illallah adalah tauhid (keyakinan) orang-orang awam, dan ‘La huwa illa huwa’ (tidak ada dia kecuali dia) adalah tauhid (keyakinan) orang-orang khusus.”[34].

Ketika al-Ghazâli rahimahullah menyebutkan tingkatan keempat dari tauhid tersebut, beliau mengatakan, “Jika engkau bertanya, “Bagaimana dapat dibayangkan seseorang tidak melihat kecuali satu, padahal ia melihat langit, bumi, seluruh benda-benda yang bisa dijangkau oleh panca indera, dan jumlahnya sangat banyak, maka bagaimana bisa dikatakan yang banyak tersebut sebagai sesuatu yang satu ?”.

Maka beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan membuat permisalan yang mengherankan, dan tidak terbayang bahwa itu muncul dari seorang yang alim (berilmu) terhadap syariat Allâh Azza wa Jalla , yang mestinya mengembalikan perkara ketika terjadinya perselisihan kepada nash-nash wahyu dari Allâh Azza wa Jalla . Beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan,

“Hal itu seperti pada diri seorang insan, ia bisa dikatakan banyak jika ditinjau dari ruhnya, jasadnya, anggota badannya, urat-uratnya, tulang-tulangnya, dan juga lambungnya. Dan ditinjau dari sisi lainnya, ia juga bisa dikatakan sebagai sesuatu yang satu. Betapa banyak orang yang melihat orang lain, namun tidak terlintas di dalam benaknya tentang banyaknya usus orang itu, urat-uratnya, anggota badannya, rincian ruh dan jasadnya, demikian pula anggota tubuhnya yang lain. Demikian pula segala sesuatu yang ada ini dari al- Khâliq (Dzat Yang Maha Pencipta) dan seluruh makhluk mempunyai sisi penyaksian yang banyak dan beraneka ragam. Maka, ditinjau dari satu sisi, semuanya itu bisa dikatakan sebagai sesuatu yang satu, dan ditinjau dari sisi lainnya bisa dikatakan sebagai sesuatu yang banyak, sebagiannya lebih banyak dari sebagian yang lain.“[35].

Maka, makna dari perkataan al-Ghazali rahimahullah tersebut bahwa puncak tertinggi tauhid adalah wihdatul wujud dan bersatunya al-Khâliq (Dzat Yang Maha Pencipta) dengan makhluk-Nya.

Inilah beberapa kekeliruan dari kekeliruan Abu Hamid al-Ghazali yang banyak dalam kitabnya yang sangat terkenal . Namun pemaparan yang sedikit ini kiranya dapat memberikan gambaran tentang bahaya besar yang tidak (belum) disadari dari kitab Ihya’ ‘Ulumiddin.

Tulisan ini bukanlah untuk mencela ataupun menghina Imam al-Ghozali yang termasuk Ulama Islam yang masyhur. Namun tujuannya sebagaimana disampaikan Syaikh Sa’d al-Hushayyin dalam muqoddimah kitab yang menjadi sumber naskah ini, ”Kami memandang pentingnya menyebarkan tulisan ini secara terpisah karena banyak orang yang menjadikan Ihyâ’ ‘Ulumiddîn sebagai bahan rujukan namun tidak selektif. Kitab ini meskipun juga memang memuat kebaikan, kebenaran dan petunjuk (yang benar), akan tetapi juga berisi gulungan kejelekan dan kebatilan serta kesesatan, jauh dari petunjuk al-Qur`ân dan Sunnah. Hanya saja, orang-orang yang fanatik kepada beliau, tetap menyebarkan kekeliruan dan kesalahan beliau di dalamnya. Kewajiban kita tiada lain, memohon ampunan kepada Allâh Azza wa Jalla bagi beliau dan kita semua, dan menjelaskan penyimpangan-penyimpangan pemikirannya yang bertentangan dengan syariat, dalam rangka menjaga Allâh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para penguasa dan kaum Muslimin pada umumnya”.

PENUTUP.

Di akhir pembahasan ini, setelah kami menyebutkan beberapa pendapat dan pemikiran al-Ghazâli rahimahullah yang dinukil dari kitab-kitab beliau sendiri, demikian pula dari kitab-kitab yang menjelaskan biografi beliau, maka perlu kami sampaikan bahwa telah disebutkan pernyataan tentang taubat beliau dari kesalahan-kesalahan tersebut. Dan di akhir-akhir kehidupannya, beliau menyibukkan diri dengan menekuni hadits dan ilmu-ilmunya. Sampai-sampai disebutkan bahwa beliau meninggal dengan kitab Shahih al-Bukhâiari berada di atas dadanya. Hal ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196].
Footnote
1.Kholwat adalah menyendiri dalam rangka mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , pent)
2.al-Ihyâ’ 3/76
3.al-Ihyâ (3/19).
4.Dalam tahapan awal dalam menempuh tarekat Sufi, Pent)
5.al-Ihyâ 3/110
6.Misykâh al-Anwâr, hlm. 30
7.Majmû Fatâwâ 6/180
8.Maksudnya adalah orang-orang yang berkeyakinan bersatunya Rabb dengan makhluk, Pen)
9.Dâr-u at-Ta’ârudh al-‘Aql wa an-Naql 1/318
10Sebagaimana disebutkan dalam QS. al An’âm : 77-78, Pen)
11.Talbîs Iblîs, hlm. 166
12.Mizân al-‘Amâl, hlm. 111
13.Di sini kami hanya menyebutkan dua sisi yang disebutkan al-Ghazâli karena keterbatasan tempat. (Pent)
14.al-Ihyâ (2/299).
15.al-Ihyâ (1/272-289).
16.HR. al-Bukhâri (1/162, 165, 167) dalam Kitâb al-Adzân
17.Rojâ maknanya mengaharpkan pahala dan surge Allâh Azza wa Jalla , sedangkan khauf maknanya takut dari adzab dan neraka Allâh Azza wa Jalla . (Pen)
18.al-Ihyâ 4/381
19.al-Ihyâ 4/310
20.al-Arba’în min Ushûl ad-Dîn 192
21.Tarhîb adalah hal-hal yang menyebabkan seseorang takut akan ancaman dan siksaan Allâh Azza wa Jalla (Pent)
22.Targhîb adalah hal-hal yang menyebabkan seseorang bersemangat untuk mendapatkan pahala dan kenikmatan yang dijanjikan Allâh Azza wa Jalla (Pent)
23.ar-Risâlah al-Qusyairiyah hlm. 90
24.al-Ihyâ 4/356, Bab Hikâyatu al-Muhibbin wa Aqwâlihum wa Mukasyafâtihim
25.al-Ihyâ 4/357
26.al-Ihyâ 4/358
27.Al-Hallâj adalah tokoh pemahaman wihdatul wujûd (segala yang ada di semesta merupakan perwujudan Allâh Azza wa Jalla , Pent).
28.Al-Ihyâ 4/245
29.Al-Ihyâ 4/245
30.Idem.
31.Idem.
32.Yaitu pemahaman bahwa segala yang ada di semesta merupakan perwujudan Allâh Azza wa Jalla , Pent)
33.Yaitu pemahaman wihdatul wujud. (Pen)
34.Misykâh al-Anwâr (19/20).
35.Al-Ihyâ 4/246-247.

Kesesatan Al Ghazali & Ihya Ulumuddin

Tak banyak yang tahu, Ihya` ‘Ulumiddin, kitab yang banyak dipuja orang ini, merupakan salah satu gudangnya kemungkaran. Kajian berikut memang tidak memaparkannya secara keseluruhan. Namun cukuplah menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak lagi menggeluti buku ini terlebih mengagungkannya.

Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan suatu umat yang senantiasa berupaya untuk komitmen di atas kemurnian agama, serta bersikap tegas terhadap segala bentuk penyimpangan atau upaya segolongan orang yang akan mengaburkan As-Sunnah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَإِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي اْلأَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ
“Yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah imam-imam yang menyesat-kan.” (HR. Abu Dawud, 4/4252 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, jilid 4 no. 1586)

Abdurrahman bin Abu Hatim Ar-Razi berkata: “Aku mendengar bapakku dan Abu Zur’ah, keduanya memerintahkan untuk memboikot ahlul bid’ah. Keduanya sangat keras terhadap mereka, dan mengingkari pemahaman kitab (Al-Qur`an, red.) dengan akal semata tanpa bersandar dengan atsar (hadits, red.), melarang duduk bersama ahlul kalam (kaum filsafat), dan melihat kitab-kitab ahlul kalam.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 322)

Ibnu Mas’ud z berkata: “Kalian akan mendapati segolongan kaum yang menyangka bahwa mereka menyeru kepada Kitabullah, namun hakekatnya mereka telah melemparkannya ke belakang punggung-punggung mereka.” (Al-Ibanah, 1/322)

Mengingat hal ini, akan kami paparkan secara ringkas tentang kitab Ihya` ‘Ulumiddin yang selalu dibanggakan segolongan orang. Bahkan dianggap sebagai literatur yang sarat akan bimbingan aqidah dan akhlak!
Berikut beberapa kesalahan yang terdapat dalam kitab Ihya` ‘Ulumiddin dan bantahannya secara global.

1. Dalam pembahasan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Al-Ghazali terkadang melakukan penakwilan ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ahlus Sunnah Wal Jamaah selalu meyakini bahwa sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak boleh disamakan dengan sifat makhluk, tidak boleh ditanyakan tentang bagaimana keadaannya, tidak boleh menakwilkan dengan sesuatu yang keluar dari makna zhahir sebagaimana yang telah diyakini salafus shalih, dan tidak boleh pula mengingkarinya. (lihat Fathur Rabbil Bariyyah bi Talkhisil Hamawiyyah, hal. 27-28)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab Al-Wushabi hafizhahullah berkata: “Tauhid asma wash shifat adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada apa yang telah Dia namakan diri-Nya sendiri dengannya atau dengan apa yang telah dinamakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada apa yang Dia sifatkan terhadap diri-Nya atau yang telah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sifatkan untuk-Nya, tanpa mempertanyakan bagaimananya (kaifiyah), atau menyerupakannya dengan makhluk, memalingkan maknanya, dan mengingkarinya. (Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, hal. 81)

Sebagai contoh, Al-Ghazali telah menakwilkan makna istiwa` (artinya naik di atas ‘Arsy) dengan istaula (menguasai). (lihat Ihya` ‘Ulumiddin, jilid 1 sub pemba-hasan Aqidah)
Hal ini telah menyelisihi Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ para salafush shalih.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى
“Sucikan Rabbmu yang Maha Tinggi.” (Al-A’la: 1)

إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
“Sesungguhnya Allah itu Maha Tinggi dan Maha Besar.” (An-Nisa`: 34)

الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas ‘Arsy-Nya.” (Thaha: 5)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَمَّا قَضَى اللهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ
“Ketika Allah menentukan ketentuan makhluk, maka Dia tulis dalam Kitab-Nya yang ada di sisi-Nya, di atas ‘Arsy…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Tidak ada satupun salafush shalih yang mengingkari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar ber-istiwa` di atas Arsy-Nya. Yang tidak mereka ketahui adalah bagaimana cara ber-istiwa`. Dan sungguh hal itu tidaklah diketahui hakekatnya.” (Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah wa Kitabuhu Al-’Arsy, hal. 187)

2. Al-Ghazali berkata tentang ilmu kalam: “Dia merupakan penjaga aqidah masyarakat awam dan yang melindungi dari berbagai kerancuan para ahli bid’ah. Dan perumpamaan ahli ilmu kalam adalah seperti penjaga jalan bagi para jamaah haji.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/22)

Aqidah yang bersih akan selalu terbangun di atas pondasi yang benar berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Adapun ilmu kalam adalah belenggu yang menjadikan orang terlena dengan akal, sehingga akan menjauh dari hakekat kemurnian aqidah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوُلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, bagi mereka yang mengharap Allah dan hari kiamat, dan dia banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah: “Contoh yang baik adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang yang mengambil suri teladan darinya berarti telah menempuh suatu jalan yang akan menyampaikan kepada kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah jalan yang lurus.”

Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah: “Ketahuilah –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu–, sungguh tidaklah muncul kezindiqan, kekufuran, keraguan, bid’ah, kesesatan, dan kebingungan dalam agama kecuali akibat ilmu kalam, ahli ilmu kalam, debat, berbantahan, dan perselisihan.” (Syarhus Sunnah, hal. 93)

Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Mengikuti ocehan ahli ilmu kalam dan filsafat merupakan kerusakan yang nyata. Tak sedikit orang yang mencoba menyelami perkara itu akhirnya berlumuran dengan berbagai kotorannya, sebagaimana ucapan Al-Imam Ahmad: ‘Tidaklah orang yang melihat ilmu kalam kecuali akan terpengaruh dengan Jahmiyyah’. Beliau dan para ulama salaf lainnya selalu memperingatkan dari ahli ilmu kalam walaupun (ahli ilmu kalam itu) berniat membela As-Sunnah.” (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf, hal. 43)

Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Ilmu kalam –yang telah disepakati Al-Imam Malik, Abu Hani-fah, Ahmad, dan Asy-Syafi’i sebagai suatu yang bid’ah– tidak akan mungkin menjadi penjaga aqidah dari berbagai bid’ah. Karena ilmu kalam itu sendiri adalah bid’ah.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-uhu wa Tashawwufuhu hal. 9)

Sungguh malang nasib pengagum ilmu kalam. Na’udzubillahi min dzalika (Kita berlindung kepada Allah k dari hal itu).

3. Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian:
a. Ilmu zhahir: ilmu muamalah.
b. Ilmu batin: ilmu kasyaf. (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/19-21)

Keyakinan bahwa ilmu kasyaf merupakan puncak ilmu merupakan hal yang umum di kalangan para Shufi! Kasyaf menurut keyakinan Shufi adalah tersingkapnya hijab di hadapan para wali Shufi, sehingga dia bisa melihat dan mengetahui sesuatu yang ghaib tanpa melalui indera perasa. Namun ilmu kasyaf adalah ilmu yang terilhamkan dalam hati. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsu-ruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114)
Sungguh menakutkan keadaan mereka. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ
“Katakanlah: ‘Tidak ada siapapun yang ada di langit dan di bumi yang mengetahui suatu yang ghaib selain Allah.’” (An-Naml: 65)

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dialah) Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan tidak menampakkannya kepada siapapun, kecuali kepada utusan-Nya yang telah Dia ridhai. Sesungguhnya Dia memberikan penjagaan (dengan para malaikat) dari depan dan belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Dia mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dan sungguh tidak ada makhluk-Nya yang bisa mengetahui ilmu-Nya kecuali yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beritahukan kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/462)

Rasulullah n bersabda:

خَمْسٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ تَعَالَى
“Ada lima perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.”
Kemudian beliau membaca ayat:

إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي اْلأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34) [HR. Ahmad, 5/353. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Shahihul Jami’, 6/361]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ilmu ghaib merupakan sifat khusus bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan segala perkara ghaib yang Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam kabarkan merupakan sesuatu yang dikabarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya. Dan tidaklah beliau mengetahui dari dirinya sendiri.” (Fathul Bari, 9/203)

Adanya keyakinan kasyaf merupakan upaya penghinaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4. Penafsiran ayat secara ilmu batin dan keluar dari kaedah-kaedah salaf.

Sebagai contoh Al-Ghazali menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ
“Dan jauhkan aku serta keturunanku dari penyembahan terhadap berhala.” (Ibrahim: 35)
Al-Ghazali menyatakan bahwa yang dimaksud berhala adalah dua batu, yaitu emas dan perak! (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/235)
Cara seperti ini merupakan tipudaya setan, karena hanya akan menjadikan seseorang keluar dan menyeleweng dari pemahaman salafush shalih.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakanlah, jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami jadikan ia di Jahannam. Dan Jahannam adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)

Ilmu batin menurut Shufiyyah adalah rahasia-rahasia ilmu yang ganjil, dan hanya diketahui oleh orang-orang Shufi yang berbicara dengan lisan yang abadi. (Majmu’ Fatawa, 13/231)
Keadaan ini menyerupai orang-orang bathiniyyah Qaramithah yang menafsirkan Al-Qur`an secara ilmu batin, seperti shalat berarti doa, puasa berarti menahan rahasia, haji bermakna safar dan berkunjung kepada guru serta para syaikh. (Majmu’ Fatawa, 13/236)

5. Al-Ghazali terpengaruh dengan suluk orang-orang Cina dan kependetaan dalam Nasrani. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/334)
Ia berkata: “Upaya para wali dalam penyucian, pencerahan, kebersihan, dan keindahan jiwa sehingga suatu kebenaran menjadi gemerlap, nampak dan bersinar sebagaimana dilakukan orang-orang Cina. Dan demikianlah upaya kaum cendekiawan dan ulama untuk meraih dan menghiasi ilmu, sehingga terpatri indah dalam hati sebagaimana yang dilakukan orang-orang Romawi.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/24)

Bahkan hubungan manis antara Shufiyyah dengan Nasrani dinyatakan Ibrahim bin Adham. Ia berkata: “Aku mempelajari ma’rifat dari seorang pendeta bernama Sam’an dan aku pernah masuk ke dalam tempat ibadahnya.” (Talbis Iblis, hal. 137)

Abdurrahman Al-Badawi berkata: “Sungguh, kalangan Shufiyyah dari kaum Muslimin menganggap tidak mengapa untuk mendengarkan pelajaran-pelajaran para pendeta dan perihal olah batin mereka karena terdapatnya faedah, walaupun hal itu datang dari Nasrani. (Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 64)
Anggapan seperti ini sangatlah naif, dan hanya akan melumpuhkan serta menelanjangi seseorang dari al-wala` wal-bara`.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَتَتْبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ …
“Benar-benar kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang sebelum kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka.” (HR. Abu Dawud, 2/74. Dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adabuz Zifaf hal. 116)

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan jelas menyatakan:

لاَ رَهْبَانِيَّةَ فَي اْلإِسْلاَمِ
“Tidak ada kependetaan dalam Islam.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/7)

Sungguh perilaku Shufiyyah merupakan virus pluralisme yang akan selalu bergulir seperti bola liar dengan kemerdekaan berfikir tanpa batas (freedom of thinking is every-thing).

6. Menurut Al-Ghazali, martabat kenabian bisa diraih seorang Shufi dari sisi turunnya ilham Ilahi di dalam hatinya. (Ihya`, 3/18-19)
Menurut para Shufi, ilham adalah pancaran ilmu kepada para syaikh dan wali dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang tercurahkan dalam hati, yang bisa didapatkan baik saat terjaga ataupun tidur, sehingga terbukalah rahasia ilmu yang ada di Lauhul Mahfuzh. Hal ini terkadang mereka namakan ilmu laduni, yang tidak akan berakhir seperti berhentinya wahyu kepada para nabi. (Ash-Shufiyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114-115)

Bahkan Al-Ghazali berkata: “Sesungguhnya hati, di hadapannya siap tergelar hakekat sesuatu yang haq dalam semua urusan. Bahkan tercurahkan segala bentuk yang rahasia dan tersingkap dengan mata hati, menjadikan apa yang tertulis di Lauhul Mahfuzh terpampang, sehingga bisa mengetahui apa yang akan terjadi.”
Kemudian beliau menambahkan: “Berbagai urusan tersingkap bagi para nabi dan wali. Dan suatu cahaya tertuang dalam hati mereka yang didapatkan tanpa belajar, mengkaji, menulis, dan buku-buku, yang diraih dengan zuhud di dunia. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/18-19)

Beliau juga berkata: “Sesungguhnya ilmu-ilmu yang didapatkan para nabi dan wali itu melalui pintu batin atau melalui hati, dan melalui pintu yang terbuka dari alam malakut/ Lauhul Mahfuzh.” (Ihya` ‘Ulu-middin, 3/20)

Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Perkataan Al-Gha-zali tentang kenabian merupakan kepanjangan tangan Ibnu Sina yang menganggap bahwa para nabi memiliki tiga kekuatan: kekuatan kesucian, kekuatan khayalan, kekuatan perasaan dan batin.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashaw-wufuhu hal. 35)

Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah menukilkan ucapan Al-Ghazali dalam kitab Al-Jawahirul Ghali: “Tidak ada perbedaan sedikitpun antara wahyu dan ilham, bahkan dalam kehadiran malaikat yang memberikan faedah ilmu. Sesungguhnya ilmu didapatkan dalam hati kita dengan perantara para malaikat.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 38)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya yang terkandung dalam ucapan mereka adalah bahwa berita-berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam tidaklah berfaedah sedikitpun dalam sisi ilmiah. Bahkan hal yang seperti itu bisa diraih oleh setiap orang dengan musyahadah1, nur, dan kasyaf.” (Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql, 5/347)

Al-Ghazali bahkan menghina para fuqaha dengan ucapannya: “Para fuqaha hanyalah sekedar ulama dunia dan tugas mereka tidak lebih dari itu.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/18)

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Kebenciannya kepada para fuqaha merupakan kezindiqan terbesar. Karena para fuqaha selalu menghadirkan fatwa-fatwa tentang kesesatan dan kefasikan mereka. Dan sungguh al-haq itu berat sebagaimana beratnya zakat.” (Talbis Iblis hal. 374)

Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyyah berkata: “Fiqih merupakan suatu upaya untuk membenahi sesuatu yang zhahir dan yang batin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَ يَفْقَهُوْنَ
“Akan tetapi orang-orang munafiq tidaklah memahami.” (Al-Munafiqun: 7)
Jikalau hati-hati mereka bersih dan tercermin dalam zhahir-zhahirnya, sungguh mereka adalah orang yang memahami. Ingatlah pemimpin para fuqaha, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang didoakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Ya Allah, fahamkanlah dia dalam urusan agama’.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-tuhu wa Tashawwufuhu hal. 45)

Perilaku Shufiyyah merupakan pintu kesombongan, kecongkakan dan sikap ekstrim dalam memposisikan diri mereka. Mereka telah melupakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang nabi yang membawa kesempurnaan syariat dan akhlak yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian dan telah Aku sempurnakan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)

لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ إِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.” (Ali ‘Imran: 164)

7. Tentang ajaran wihdatul wujud, Al-Ghazali berkata menyebutkan tingkatan orang-orang shiddiqin: “Mereka adalah segolongan kaum yang melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keesaan-Nya. Dengan-Nya, mereka melihat segala sesuatu. Dan tidaklah mereka melihat dalam dua tempat selain dari-Nya, dan tidaklah mereka memperhatikan alam wujud selain Dia. Inilah memperhatikan dengan pandangan tauhid. Hal ini mengajarkan kepadamu bahwa yang bersyukur adalah yang disyukuri. Dan dia adalah yang mencintai dan yang dicintai2. Inilah pandangan seseorang yang mengetahui bahwa tidaklah ada di alam yang wujud ini melainkan Dia.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/86)

Bahkan terdapat keterikatan yang kuat antara Al-Ghazali dan Al-Hallaj yang meyakini aqidah wihdatul wujud, bahkan sebagai puncak dari tauhid. (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/247)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata membantah keyakinan yang bejat ini: “Para salaf mengkafirkan Jahmiyah karena perkataan mereka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di semua tempat. Di antara bentuk pengingkaran para salaf adalah: Bagaimana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di perut, di tempat-tempat kotor, di tempat-tempat sunyi? Maha Tinggi Allah dari perkara tersebut! Lalu bagaimanakah dengan mereka yang menjadikan perut, tempat-tempat kotor, tempat-tempat sunyi, barang-barang najis, dan kotoran-kotoran sebagai bagian dari Dzat-Nya?” (Majmu’ Fatawa, 2/126)

Ahlus Sunnah meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala ber-istiwa` di atas ‘Arsy dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membutuhkan ‘Arsy. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah serupa dengan makhluk dalam segala sifat-Nya.
Allah k berfirman:

الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)

إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِيْ سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Sesungguhnya Rabb kalian telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian ber-istiwa` di atas Arsy.” (Yunus: 3)

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidaklah Allah serupa dengan apapun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)

8. Ajaran khalwat atau menyendiri dan menyepi, dan kesalahan dalam memahami ‘uzlah.

Al-Ghazali berkata: “Dalam ‘uzlah (menyingkir dan menjauhi umat), ada jalan keluar (kedamaian). Adapun dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar akan meninggalkan perselisihan dan membangkitkan kedengkian hati. Dan siapapun yang mencoba beramar ma’ruf niscaya kebanyakannya akan menyesal.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 2/228)
Bahkan dengan khalwat akan tersingkap kehadiran Rabb dan nampak baginya Al-Haq. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/78)

Syarat-syarat khalwat menurut kaum Shufi:
* Meminta bantuan dengan ruh para syaikh, dengan perantara gurunya.
* Menyibukkan diri dengan dzikir sehingga nampak Allah Subhanahu wa Ta’ala baginya.
* Bertempat di ruangan yang gelap dan jauh dari suara serta gerakan manusia.
* Tidak berbicara.
* Tidak memikirkan kandungan makna Al-Qur`an dan hadits, karena akan menyibukkan dari dzikir yang sebenarnya.
* Tidak boleh masuk dan keluar dari tempat khalwat kecuali dengan izin dari syaikhnya.
* Selalu mengikat hati dengan mengingat syaikh. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 186)

Ini merupakan amalan-amalan yang akan menguburkan nilai-nilai agama yang suci, akibat salah memahami ‘uzlah dan upaya meniru gaya kependetaan.

Makna ‘uzlah bukanlah khalwat ala Shufiyyah yang rancu. Maknanya adalah menjauhi suatu fitnah agar tidak menimpanya, baik itu di dalam rumah ataupun di suatu tempat, yang apabila telah hilang fitnah tersebut maka dia kembali melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, berdakwah, dan berjihad di jalan-Nya. (lihat Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 188)
Suatu fitnah harus dihadapi dengan ilmu dan bimbingan yang benar, bukan dengan sikap emosional atau mengekor pola-pola orang kafir. (baca kitab Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan)

9. Al-Ghazali lebih mengutamakan as-sama’ (mendengarkan nasyid dan dendang kerohanian) daripada membaca Al-Qur`an. Setelah menceritakan keutamaan as-sama’, beliau berkata: “Dan apabila hati telah terbakar (mabuk) dalam kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka untaian bait syair yang aneh akan lebih membangkitkan sesuatu yang tidak bisa dibangkitkan dengan membaca Al-Qur`an.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 2/301)

Keganjilan kaum Shufi ini merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Berkumpul untuk mendengarkan dendangan-dendangan rohani baik yang diiringi tepuk tangan, dawai, ataupun rebana, merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat, baik Ahlush Shuffah atau yang lainnya. Demikian pula para tabi’in (tidak pernah melakukannya).” (Majmu’ Fatawa, 11/57)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Tidaklah aku tinggalkan Baghdad kecuali telah muncul at-taghbir (dendang kerohanian) yang dibuat orang-orang zindiq, yang hanya menghalangi manusia dari Al-Qur`an.

Dan Yazid bin Harun berkata: “Tidaklah melakukan at-taghbir kecuali orang fasiq.” (Majmu’ Fatawa, 11/569)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang yang membiasakan mencari semangat dengan as-sama’ niscaya tidak akan lembut dan senang hatinya dengan Al-Qur`an. Dan dia tidak akan mendapatkan apapun saat mendengarkan Al-Qur`an sebagaimana ketika mendengarkan bait-bait syair. Bahkan apabila mendengarkan Al-Qur`an, dia akan mendengarkan dengan hati dan lisan yang lalai.” (Majmu’ Fatawa, 11/568)

Orang-orang Shufi telah melupakan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah apabila diingatkan tentang Allah maka hati-hati mereka bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)

أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
“Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah hati akan tenang.” (Ar-Ra’d: 28)

10. Kesalahan yang fatal dalam memahami makna tawakkal, sehingga menghilangkan sebab yang harus ditempuh. Al-Ghazali berkata: “Telah diceritakan dari Banan Al-Hammal: ‘Suatu hari saya dalam perjalanan pulang dari Mesir, dan saya membawa bekal keperluanku. Datanglah kepadaku seorang wanita dan menasehatiku: ‘Wahai Banan, engkau adalah tukang pembawa yang selalu membawa bekal di punggungmu dan engkau menyangka bahwa Dia tidak memberimu rizki?’ Banan berkata: ‘Maka aku buang bekalku’.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/271)

Hal ini sangatlah berseberangan dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Hendaknya kalian mengambil bekal, dan sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: “Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk membawa bekal bagi safar yang mubarak (diberkahi) ini (yakni haji). Sesungguhnya persiapan bekal akan mencukupinya dan bisa mencegah dari harta orang lain, tidak mengemis dan meminta bantuan. Bahkan dengan memperbanyak bekal akan bisa menolong para musafir.” Kemudian beliau berkata: “Adapun bekal yang hakiki yang akan terus bermanfaat di dunia dan di akhirat adalah bekal takwa, inilah bekal untuk menuju rumah abadi.” (Taisirul Karimirrahman hal. 74)

Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa menyimpan persediaan makanan untuk 40 hari atau kurang dari itu, maka akan terharamkan dari al-maqam al-mahmud (kedudukan terpuji) yang dijanjikan kepada orang yang bertawakkal di akhirat kelak.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/276)
Al-’Iraqi berkata setelah menyebutkan hadits bahwa Rasulullah n mempersiapkan makanan untuk keluarganya selama satu tahun yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari: “Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah keluar dari tingkatan orang-orang yang bertawakkal, sebagaimana yang diterangkan Al-Ghazali dalam manhajnya yang rusak dalam masalah tawakkal?” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 79)

Bahkan ketika orang-orang Nasrani menyerbu negeri Baghdad, ia lebih memilih untuk ber-khalwat daripada berjihad. (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 89)

11. Menjauhi suatu yang fitrah, bahkan yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti nikah.
Al-Ghazali berkata: “Barang siapa menikah maka sungguh dia telah cenderung kepada dunia.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/101)
Hal ini sangat menyelisihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

تَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلاَ تَكُوْنُوا كَرَهْبَانِيَّةِ النَّصَارَى
“Menikahlah kalian, sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat dari kalian, dan janganlah kalian meniru kependetaan Nasrani.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 4/385, hadits no. 1782. Beliau mengatakan hadits ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7/78)

Peringatan Ulama Salaf terhadap Kitab Ihya` ‘Ulumiddin3

Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdur-rahman Alusy Syaikh berkata: “Di dalam kitab Ihya`, beliau (yakni Al-Ghazali) menu-lis dengan metode filsafat dan ilmu kalam dalam banyak pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan ketuhanan dan teologi, serta membingkai filsafat dengan syariat. Ibnu Taimiyyah berkata: ‘Namun Abu Hamid telah memasuki ruang lingkup ilmu filsafat dalam banyak hal, yang Ibnu ‘Aqil menyatakan ilmu filsafat sebagai bagian dari zindiq’.

Ibnul ‘Arabi, murid Al-Ghazali mengatakan: “Guru kami Abu Hamid telah masuk dalam cengkeraman ilmu filsafat, dan beliau ingin melepaskannya namun tidak berhasil.”4

Abu ‘Ali Ash-Shadafi berkata: “Syaikh Abu Hamid terkenal dengan berbagai berita buruk dan memiliki karya yang besar. Beliau sangat ekstrim dalam tarekat Shufiyyah dan mencurahkan waktunya untuk membela madzhabnya, bahkan menjadi penyeru dalam Shufiyyah. Beliau mengarang berbagai tulisan yang terkenal dalam hal ini dan membahasnya dalam berbagai tempat, sehingga mengakibatkan umat berburuk sangka kepadanya. Sungguh Allah Yang Maha Tahu rahasianya. Dan penguasa di tempat kami di negeri Maghrib –berdasarkan fatwa para ulama– telah memerintahkan untuk membakar dan menjauhi karyanya.”

Adz-Dzahabi berkata: “Karyanya ini penuh dengan musibah yang sungguh sangat tidak menyenangkan.”

Ahmad bin Shalih Al-Jaili: “(Al-Ghazali adalah) seorang yang fatwa-fatwanya terbangun dari sesuatu yang tidak jelas. Di dalamnya banyak riwayat-riwayat yang dicampuradukkan antara sesuatu yang tsabit/jelas dengan yang tidak tsabit. Demikian pula apa yang dia nisbatkan kepada para ulama salaf, tidak mungkin untuk dibenarkan semuanya. Ia juga menyebutkan berbagai kejadian-kejadian para wali dan renungan-renungan para wali sehingga mengagungkan posisi mereka. Ia mencampurkan sesuatu yang manfaat dan yang berbahaya.”

Abu Bakr Ath-Thurthusi berkata: “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan berbagai kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidaklah ada di atas bumi yang lebih banyak kedustaan darinya, sangat kuat keterikatannya dengan filsafat dan risalah Ikhwanush Shafa, yaitu segolongan orang yang menganggap bahwa kenabian adalah sesuatu yang bisa diraih manusia biasa dan mu’jizat hanyalah halusinasi dan khayalan.”

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala selalu menjaga kita dari tipu daya, kesesatan dan makar setan.
Wallahu a’lam.

1 Musyahadah menurut kalangan Shufi adalah melihat kehadiran Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kemudian memberikan/membuka rahasia-rahasia-Nya kepada hamba-Nya.
2 Maksudnya dia telah bersatu dengan Allah, sehingga tidak lagi terpisah antara dia dengan Allah.
3 Diambil dari kitab At-Tahdzirul Mubin min Kitab Ihya` ‘Ulumiddin karya Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman Alusy Syaikh
4 Tentang akhir kehidupan Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “…Oleh karena itu, menjadi jelas baginya (Al-Ghazali, ed) di akhir hayatnya bahwa jalan tasawuf tidaklah menyampaikan kepada tujuannya. Kemudian ia mencari petunjuk melalui hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulailah ia menyibukkan diri dengan Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan ia meninggal di tengah kesibukannya itu, dalam keadaannya yang paling baik. Beliau juga membenci apa yang terdapat dalam bukunya berupa perkara-perkara semacam itu, yaitu perkara yang diingkari oleh orang-orang.” (‘Aqidah Asfahaniyyah, hal. 108, ed)