Silsilatudz Dzahab 1. Dimanakah Allah ?
Bantahan Terhadap Tengku Zulkarnain (oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat)
Silsilatudz Dzahab 2. Dimanakah Allah ?
Bantahan Terhadap Tengku Zulkarnain (oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat)
Silsilatudz Dzahab 3. Dimanakah Allah ? Bantahan Terhadap Tengku Zulkarnain (oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat)
Bantahan Terhadap
Pendengki Murakkab Salafi Dan KSA, KH Tengku Zulkarnain. Silahkan Bantah
Tertulis Dan Ilmiyah Dengan Dalil Yang Shahih Dan Sharih (No Youtube/Dirty
Mouth).
Bahasan Pertama (Rangkuman), Aqidah Ahlus
Sunnah Wal Jamaah MenurutUlama Tiga Abad Pertama Hijriyah Dan Ulama Al-Syafi‘Iyyah
: Allah Di Atas Arsynya (Langit). Bandingkan Dengan Pendapat Intelektual
(Muharrif Dan Mukayyif) Aswaja Zon Jonggol (Mutiara Zuhud) Dan Idrus Ramli.
Aqidah Menyerupai Mulhid Atheis, Mereka
Yang Mengatakan Bahwa Dzat Alloh Tidak Bertempat (Ada Tanpa Bertempat).
http://lamurkha.blogspot.co.id/2017/08/aqidah-menyerupai-mulhid-atheis-mereka.html?m=0Dakwah Bil Kitabah, Bukan Dominan Bil Lisan. Dakwah Bil Youtube, Berpotensi Negatif Untuk Jadi Alat Provokasi. Rahasia Produktivitas Menulis Para Ulama Salaf.
Diposting oleh Abu Al-Jauzaa' :
Tempo hari beredar sebuah rekaman drama
dari seseorang dengan para figuran membahas permasalahan ‘dimanakah Allah’.
Banyak retorika disampaikan - tanpa dalil - hingga jatuh pada satu kesimpulan
implisit/eksplisit : keliru orang yang mengatakan Allah berisitiwaa’ di atas
langit di atas ‘Arsy, dan keliru pula jika ada orang yang berisyarat dengan
tangan atau anggota tubuh lainnya ke atas (Allah di atas langit).
Berikut akan saya sampaikan beberapa
riwayat yang menunjukkan Allah di atas langit serta ketetapan bolehnya
berisyarat ke atas.
1.
Riwayat dari Nabi ﷺ.
Abu Daawud As-Sijistaaniy rahimahullah
berkata:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ يَعْقُوبَ
الْجَوْزَجَانِيُّ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، قَالَ: أَخْبَرَنِي
الْمَسْعُودِيُّ، عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُتْبَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: " أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ ﷺ
بِجَارِيَةٍ سَوْدَاءَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ عَلَيَّ رَقَبَةً
مُؤْمِنَةً، فَقَالَ لَهَا: أَيْنَ اللَّهُ ؟، فَأَشَارَتْ إِلَى السَّمَاءِ بِأُصْبُعِهَا،
فَقَالَ لَهَا: فَمَنْ أَنَا؟، فَأَشَارَتْ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ
وَإِلَى السَّمَاءِ، يَعْنِي أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ، فَقَالَ: أَعْتِقْهَا،
فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ "
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim
bin Ya’quub Al-Juuzajaaniy : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun,
ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Al-Mas’uudiy, dari ‘Aun bin
‘Abdillah, dari ‘Abdullah bin ‘Utbah, dari Abu Hurairah : Bahwasannya ada
seorang laki-laki mendatangi Nabi ﷺ dengan membawa
budak wanitanya yang berkulit hitam. Ia berkata : “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku memiliki kewajiban untuk memerdekan budak yang mukmin”. Maka
beliau ﷺ berkata kepada budak
tersebut : “Dimanakah Allah?”. Lalu budak tersebut berisyarat ke langit dengan
jarinya. Beliau ﷺ melanjutkan : “Siapakah
diriku?”. Budak itu berisyarat kepada Nabi ﷺ dan (berisyarat) ke
langit. Yaitu maksudnya : ‘engkau adalah Rasulullah (utusan Allah). Setelah itu
beliau bersabda : “Bebaskanlah ia, karena sesungguhnya ia seorang wanita
mukminah (beriman)” [As-Sunan no. 3287].
Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam
Al-Kubraa 7/388 no. 15268, semuanya dari Yaziid bin Haaruun dari Al-Mas’uudiy
dari ‘Aun bin ‘Abdillah, dari ‘Abdullah bin ‘Utbah.
Diriwayatkan juga Ahmad 2/291, Ibnu
Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 284-285, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh
Ushuulil-I’tiqaad no. 653, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 9/115, Ibnu
Qudaamah Al-Maqdiisiy dalam Itsbaatu Shifaatil-‘Ulluw hal. 72-74; namun ‘Aun
meriwayatkan dari saudaranya yang bernama ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah (bin
‘Utbah) dari Abu Hurairah.
Perbedaan syaikh dari ‘Aun ini
dikarenakan faktor Al-Mas’uudiy, seorang yang shaduuq, namun mengalami
ikhtilaath sebelum meninggalnya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 586 no. 3944]. Namun
yang benar di sini adalah ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah (saudara ‘Aun) sebagaimana
akan dijelaskan pada penjabaran di bawah.
Aun bin ‘Abdillah bin ‘Utbah; seorang
yang tsiqah lagi ‘aabid [Taqriibut-Tahdziib, hal. 758 no. 5258]. ‘Ubaidullah
bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’uud Al-Hudzaliy; seorang yang tsiqah, faqiih,
lagi tsabt [Taqriibut-Tahdziib, hal. 640 no. 4338].
Periwayatan Yaziid bin Haaruun memiliki
mutaba’aat dari:
‘Aashim bin ‘Aliy sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Usaamah dalam Bughyatul-Baahits 1/160 no. 15, Ibnu
Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 283-284, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah.
‘Abdullah bin Rajaa’ sebagaimana
diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath 3/95 no. 2598
(Majma’ul-Bahrain 4/83-84 no. 2134), dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah
Asad bin Muusaa sebagaimana diriwayatkan
oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 12/521 no. 4990, Ibnu
Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 285-286, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah.
Abu Daawud Ath-Thayaaliisiy sebagaimana
diriwayatkan oleh Syarh Musykiilil-Aatsaar 12/521 no. 4990, Ibnu Khuzaimah
dalam At-Tauhiid hal. 286-287 dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah.
Dari kelima orang perawi yang
meriwayatkan hadits dari Al-Mas’uudiy ini perlu diteliti, mana diantara mereka
yang meriwayatkan setelah dan sebelum masa ikhtilaath-nya. Ahmad bin Hanbal
berkata tentang Al-Mas’uudiy : “Tsiqah, banyak haditsnya. Dirinya mengalami
ikhtilaath di Baghdaad. Barangsiapa yang mendengar riwayat darinya di Kuufah
dan Bashrah, maka periwayatannya jayyid (baik)”. Ahmad juga berkata :
“Penyimakan ‘Aashim bin ‘Aliy dan orang-orang tersebut dari Al-Mas’uudiy
setelah dirinya mengalami ikhtilaath”. Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair
berkata : “Al-Mas’uudiy tsiqah. Ketika di akhir usianya, ia mengalami
ikhtilaath. ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy dan Yaziid bin Haaruun mendengar
hadits-hadits yang mengalami ikhtilaath. Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan
para syuyuukh (senior) darinya, maka ia lurus”. Muslim bin Qutaibah menjelaskan
bahwa Ath-Thayaaliisiy meriwayatkan dari Al-Mas’uudiy setelah masa
ikhtilaath-nya.
Di sini dapat diketahui bahwa Yaziid bin
Haaruun, ‘Aashim bin ‘Aliy, dan Abu Daawud Ath-Thayaalisiy adalah perawi yang
meriwayatkan setelah masa ikhtilaath.
Berdasarkan perkataan para ulama tersebut
di atas, Ibnu Kayyaal rahimahullah mengidentifikasi para perawi haditsnya
diterima dalam periwayatannya dari Al-Mas’uudiy sebelum masa ikhtilaath selama
berada di Kuufah dan Bashrah, yang salah satu diantaranya adalah ‘Abdullah bin
Rajaa’. Adapun Asad bin Muusaa, maka dirinya adalah penduduk kota Bashrah
[selengkapnya : Al-Mukhtalithiin – beserta komentar muhaqqiq-nya – hal. 72-73
no. 28 dan Al-Kawaakibun-Niiraats hal. 282-298 no. 35].
Oleh karena itu, riwayat dari jalan ini
adalah shahih.[1] Adz-Dzahabiy rahimahullah mengatakan : “Sanadnya hasan”
[Al-‘Ulluw, hal. 17].
‘Aun bin ‘Abdillah memiliki mutaba’ah
dari Az-Zuhriy sebagaimana diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal.
287-288. Namun riwayat ini keliru sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Khuzaimah,
dimana kekeliruan ini berasal dari Al-Husain bin Al-Waliid [idem, hal. 287].
Yang benar, hadits tersebut adalah hadits salah seorang shahabat Anshaar
(mubham), bukan hadits Abu Hurairah.
‘Abdullah bin ‘Utbah memiliki mutaba’ah
dari Abu Salamah sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar
1/29 no. 38 (berisyarat dengan tangan), Ath-Thahawiy dalam Syarh
Musykiilil-Aatsaar 12//522 no. 4991 (tanpa menyebutkan isyarat), Ibnu Khuzaimah
dalam At-Tauhiid hal. 283-284 (isyarat dengan mengangkat kepala), Abu Nu’aim
dalam Ma’rifatush-Shahaabah no. 693 (isyarat mengangkat kepala), dan
Ibnul-Atsiir dalam Usudul-Ghaabah 4/70 (mengangkat tangan).
Faedah : Hadits ini menunjukkan taqriir
(penetapan) Nabi ﷺ atas jawaban dan isyarat
budak wanita itu dengan menunjukkan tangannya ke atas langit.
2.
Riwayat ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu.
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ
قَيْسٍ، قَالَ: لَمَّا قَدِمَ عُمَرُ الشَّامَ اسْتَقْبَلَهُ النَّاسُ وَهُوَ
عَلَى الْبَعِيرِ، فَقَالُوا: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لَوْ رَكِبْتَ
بِرْذَوْنًا يَلْقَاكَ عُظَمَاءُ النَّاسِ وَوُجُوهُهُمْ، فَقَالَ عُمَرُ: لَا
أَرَاكُمْ هَاهُنَا، إِنَّمَا الْأَمْرُ مِنْ هُنَا وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى
السَّمَاءِ
Telah menceritakan kepada kami Wakii’,
dari Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata : Ketika ‘Umar baru datang dari Syaam,
orang-orang menghadap kepadanya dimana ia waktu itu masih di atas onta
tunggangannya. Mereka berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, jika saja engkau
mengendarai birdzaun (sejenis kuda yang bukan berasal dari Arab), niscaya para
pembesar dan tokoh masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab : “Tidakkah
kalian lihat, bahwasannya perintah itu datang dari sana ? – Dan ia (‘Umar)
berisyarat dengan tangannya ke langit” [Al-Mushannaf, 13/40 (11/577) no.
34418].
Diriwayatkan juga di kitab yang sama
13/263 (12/186) no. 35446 dan darinya Ibnu Qudaamah Al-Maqdiisiy dalam Itsbaatu
Shifatil-‘Ulluw hal. 149 no. 56, Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 1/47. Ibnu
Abi Syaibah mempunyai mutaba’ah dari Muhammad bin Abaan Al-Balkhiy sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 399.
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
“Sanadnya seperti matahari” [Al-'Ulluw, hal. 62]. Maksudnya : Sangat shahih.
Faedah : Perintah di sini maksudnya
adalah perintah Allah ta’ala. Isyarat ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu
‘anhu dengan tangannya ke langit menunjukkan asal dari perintah datang, yaitu
dari Allah ta’ala yang ada di atas langit.
3.
Riwayat ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa
Ath-Thabaraaniy rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ الصَّائِغُ،
ثنا أَبُو مُصْعَبٍ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْحَارِثِ الْجُمَحِيُّ، ثنا زَيْدُ
بْنُ أَسْلَمَ، قَالَ: مَرَّ ابْنُ عُمَرَ بِرَاعِي غَنَمٍ، فَقَالَ: " يَا
رَاعِيَ الْغَنَمِ هَلْ مِنْ جَزْرَةٍ؟ " قَالَ الرَّاعِي: لَيْسَ هَا هُنَا
رَبُّهَا، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: " تَقُولُ: أَكَلَهَا الذِّئْبُ "،
فَرَفَعَ الرَّاعِي رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ، ثُمَّ قَالَ: فَأَيْنَ اللَّهُ ؟
قَالَ ابْنُ عُمَرَ: " فَأَنَا وَاللَّهِ أَحَقُّ أَنْ أَقُولَ: فَأَيْنَ
اللَّهُ؟ " فَاشْتَرَى ابْنُ عُمَرَ الرَّاعِي وَاشْتَرَى الْغَنَمَ، فَأَعْتَقَهُ
وَأَعْطَاهُ الْغَنَمَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Nashr Ash-Shaaigh : Telah menceritakan kepada kami Abu Mush’ab : Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Haarits Al-Jumahiy : Telah
menceritakan kepada kami Zaid bin Aslam : (Suatu ketika) Ibnu ‘Umar melewati
seorang penggembala kambing, lalu ia berkata kepadanya : “Wahai penggembala,
apakah ada hewan yang dapat dipotong/disembelih?”. Penggembala menjawab :
“Pemiliknya tidak ada di sini”. Ibnu ‘Umar berkata : “Katakan saja (kepadanya)
dimakan serigala”. Maka penggembala tersebut mengangkat kepalanya ke langit
lalu berkata : “Lantas dimana Allah?”. Ibnu ‘Umar berkata : “Dan aku – demi
Allah – lebih berhak untuk mengatakan ‘Lantas dimanakah Allah?”. Maka Ibnu
‘Umar membeli penggembala tersebut (karena statusnya bidak) dan sekaligus
membeli kambingnya (dari pemiliknya), lalu membebaskannya dan memberikan
kambing itu kepadanya [Al-Mu’jamul-Kabiir, 12/263 no. 13054].
Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam
Syu’abul-Iimaan 11/102-103 no. 8250 dari jalan Muhammad bin Nashr Ash-Shaaigh.
Sanad riwayat ini hasan.
Muhammad bin Nashr Ash-Shaaigh seorang
yang shaduuq, ahli ibadah, dan ahli qira’at [Irsyaadul-Qaashiy wad-Daaniy, hal.
623-624]. Abu Mush’ab, ia adalah Ahmad bin Abi Bakr bin Al-Haarits, Abu Mush’ab
Az-Zuhriy; seorang yang shaduuq, atau bahkan tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal.
87 no. 17 dan Tahriirut-Taqriib, 1/58 no. 17]. ‘Abdullah bin Al-Haarits
Al-Jumahiy; seorang yang shaduuq [Taqriibut-Tahdziib, hal. 498 no. 3281]. Zaid
bin Aslam, seorang yang tsiqah lagi ‘aalim [idem, hal. 350 no. 2129].
Zaid bin Aslam mempunyai mutaba’ah dari :
Naafi’ sebagaimana diriwayatkan oleh Abu
Daawud dalam Az-Zuhd no. 306, Ibnu Abid-Dunyaa dalam Qisharul-Amal no. 187,
Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 4908, Ibnu Atsiir dalam Usudul-Ghaabah
3/43, Abu Nu’aim dalam Al-Arba’iin no. 14, serta Ibnul-Jauziy dalam
Shifatush-Shafwah no. 615 dan dalam At-Tabshirah no. 237;
Asy-Sya’biy sebagaimana diriwayatkan oleh
Al-Balaadzuuriy dalam Ansaabul-Asyraf 10/452.
Faedah : Penggembala kambing itu tahu
bahwa Allah ta’ala Maha Melihat dan Mengetahui semua perbuatan hamba-Nya. Dia
Tinggi di atas langit beristiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya, sedangkan ilmu-Nya
meliputi semua tempat. Tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya.
4.
Riwayat ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy rahimahullah
Ibnu Baththah Al-‘Ukbariy rahimahullah
berkata:
حَدَّثَنَا أَبُو حَفْصٍ، قَالَ: نا أَبُو
جَعْفَرٍ، قَالَ: نا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: نا أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلادٍ، قَالَ:
سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ مَهْدِيٍّ، " إِذَا ذُكِرَ عِنْدَهُ أَمْرُ
جَهْمٍ، وَأَمْرُ بِشْرٍ يَعْنِي الْمَرِّيسِّي قَالَ: تَدْرِي إِلَى أَيِّ شَيْءٍ
يَذْهَبُونَ؟ إِلَى أَنَّهُ لَيْسَ، وَيُشِيرُ بِيَدِهِ إِلَى السَّمَاءِ، أَيْ:
لَيْسَ إِلَهٌ
Telah menceritakan kepada kami Abu Hafsh,
ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Abu Bakr bin Khallaad, ia berkata : Aku mendengar 'Abdurrahmaan bin Mahdiy
apabila disebutkan di sisinya perkara Jahm dan Bisyr Al-Mariisiy, ia berkata :
"Tahukah engkau apa yang akan mereka tuju ?. Yaitu kepada pendapat
bahwasannya - sambil ia (Ibnu Mahdiy) berisyarat dengan tangannya ke langit -
(Dzat yang ada di langit) bukan tuhan" [Al-Ibaanah (Ar-Radd 'alal-Jahmiyyah)
2/94-95 no. 327].
Sanad riwayat ini hasan atau shahih.
Abu Hafsh adalah ‘Umar bin Muhammad bin
Rajaa’, Abu Hafsh Al-‘Ukbariy, seorang yang shaduuq [Taariikh Baghdaad, 13/93
no. 5934]. Abu Ja’far adalah Muhammad bin Daawud bin Shubaih, Abu Ja’far
Al-Mishshiishiy; seorang yang tsiqah lagi mempunyai keutamaan
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 843 no. 5906]. Abu Bakr adalah Ahmad bin Muhammad bin
Al-Hajjaaj Al-Marruudziy – murid Al-Imaam Ahmad bin Hanbal yang terkenal - ;
seorang imam, tsiqah, lagi faqiih [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 13/173 no. 103].
Abu Bakr bin Khallaad adalah Muhammad bin Khallaad bin Katsiir Al-Baahiliy, Abu
Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 842 no. 5902].
Faedah : ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy
rahimahumallah mengingkari pendapat rusak Jahm dan Bisyr Al-Mariisiy yang
mengkonsekuensikan Allah yang ada di atas langit bukan tuhan yang disembah;
padahal Dia-lah Allah Yang Maha Tinggi, tuhan semesta alam.
Jika demikian, apakah layak ada
pengingkaran terhadap orang yang menetapkan 'aqidah Allah di atas langit seraya
berisyarat dengan tangan atau anggota badan lain (misalnya : kepala sebagaimana
riwayat di atas) ?. Bukan satu keharusan untuk menunjuk-nunjuk ke atas seperti
skenario acting dagelan Anda, tapi ini hanya sekedar kebolehan untuk penegasan
tentang 'aqidah ini.
Saya khawatir Anda ditimpa kekafiran
karena menyelisihi nash, ijmaa’, fithrah, dan akal sehat.
سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ صَالِحِ بْنِ هَانِئٍ،
يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْحَاقَ بْنِ خُزَيْمَةَ،
يَقُولُ: مَنْ لَمْ يُقِرَّ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَلَى عَرْشِهِ قَدِ
اسْتَوَى فَوْقَ سَبْعِ سَمَاوَاتِهِ، فَهُوَ كَافِرٌ بِرَبِّهِ يُسْتَتَابُ،
فَإِنْ تَابَ، وَإِلا ضُرِبَتْ عُنُقُهُ
Aku mendengar Muhammad bin Shaalih bin
Haani’ berkata : Aku mendengar Abu Bakr Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah
berkata : “Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwasannya Allah ta’ala
beristiwa’ di atas ‘Arsy, di atas tujuh lagit, maka ia telah kafir terhadap
Rabbnya. Ia diminta untuk bertaubat. Jika mau bertaubat, maka diterima, jika
tidak, dipenggal lehernya” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Abdillah Al-Haakim dalam
Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits hal. 84; shahih].
Apalagi ditambah perkataan level badut
yang menyamakan dengan ‘tuhan Yahudi atau Nashrani. Innaa lillaahi wa innaa
ilaihi raaji’uun. Terlalu, meminjam kata dari Bang Haji. Saya hanya berpesan,
bertaubatlah kepada Allah dari perkataan Anda. Mari terus belajar (yang giat).
Masalah sifat duduk (juluus), saya telah menuliskannya dalam dua artikel Sifat
Duduk (Juluus) – 1 dan Sifat Duduk (Juluus) – 2.
Sebagai pengayaan, silakan baca juga
artikel :
1.
Ketinggian Allah ta’ala di Atas Semua Makhluk-Nya
2.
Shahih Hadits Mu’awiyyah bin Al-Hakam tentang ‘Dimana Allah’ – dan
Bantahan Singkat Bagi yang Mendla’ifkannya
3.
Hadits Jaariyyah Riwayat Maalik bin Anas rahimahullah
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
NB : Salam buat para figuran, aktingnya
lumayan.
[abul-jauzaa’ – dps – 16012018].
[1]
Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Mukhtashar Al-‘Ulluw hal. 81-82 dan
Al-Arna’uth dalam takhriij-nya terhadap Syarh Musykiilil-Aatsaar 12/521
mendlaifkannya dengan sebab ikhtilaath Al-Mas’uudiy. Namun yang benar –
wallaahu a’lam – adalah dengan melakukan perincian sebagaimana dijelaskan di
atas.
(VIDEO)
Ingkari Allah Diatas Langit, Tengku Zulkarnain Juga Lecehkan Ustadz Abdul Hakim
bin Amir Abdat (lihat artikel diatas)
Beredar video KH. Tengku Zulkarnain حفظه
الله تعالىٰ yang mengingkari Allah سبحانه
و تعالىٰ bersemayam di atas ‘Arsy, kemudian beliau
mengolok-olok ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti
‘aqidahnya Yahudi dan Nashrani karena meyakini Allah سبحانه
و تعالىٰ bersemayam di atas ‘Arsy.
Ingkari Allah Diatas Langit, Tengku
Zulkarnain Juga Lecehkan Ustadz Abdul Hakim Bin Amir Abdat
Meyakini Allah diatas Arsy sama dengan
keyakinan Yahudi dan Nasrani?
Begitulah pendapat tengku Zulkarnaen yang tidak meyakini Allah diatas langit
kemudian melontarkan kata-kata yang tidak pantas terhadap Ustadz Abdul Hakim
bin Amir Abdat dengan sebutan bodat (monyet).
"Seandainya tengku Zulkarnaen
membantah kitab al-Masail karya Ustad Abdul Hakim Abdat dengan adab, etika, dan
dengan bahasa ilmiyah serta jauh dari celotehan 'bocah keciil' niscaya itu jauh
lebih bermartabat untuk orang sekelasnya, sehingga tidak harus keluar kata:
bodat,mami, babi, sun go kong.... Dst. Dan lebih penting lagi harusnya beliau
bisa menjaga dan merawat marwah institusi yang beliau ada di dalamnya.. Yaitu
MUI. Mohon maaf, izinkan saya agak kasar berkomentar: " sungguh cara anda
memalukan".
Fadlan Fahamsyah
Empat Imam Madzhab sepakat Allah diatas
Arsy,
101 PERKATAAN ULAMA SALAF TENTANG ALLAH
DI ATAS ARSY
https://www.facebook.com/Minang-Bertauhid-441116909260008/
Tak ketinggalan beliau juga melecehkan
kehormatan al-Ustadz ‘Abdul Hakim bin Amir Abdat حفظه
الله تعالىٰ dengan sebutan mami yang sebelumnya didahului
ungkapan babi…
Saya tak habis pikir mengapa ada seorang
ustadz atau da’i yang bisa mengingkari keberadaan Allah سبحانه
و تعالىٰ di atas langit? Sementara di dalam menyanggah
pendapat (argumentasi) ini tidak ada satu pun dalil yang beliau berikan kecuali
kata-kata umpatan dan cacimaki kepada saudaranya… tidakkah beliau ingat hadits
Nabi ﷺ akan hal ini?
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash رضي
الله تعالىٰ عنهما, ia berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Seorang muslim, ialah orang yang kaum
muslimin selamat dari lidah dan tangannya.”
(Shahiih, HR. Al-Bukhari dalam
Shahiih-nya, kitabul ‘Iimaan, bab Al-Muslimu man salimal muslimuu-na min
lisaanihi wa yadihi, no. 10, 6044, Muslim, no. 40, Abu Dawud, no. 2481, dan
An-Nasaa’i, VIII/105)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud رضي
الله تعالىٰ عنه, ia berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Memaki (mencela) seorang muslim adalah
perbuatan fasiq dan memeranginya (membunuhnya) adalah kekufuran.”
(Shahiih, HR. Al-Bukhari, no. 11, 48,
6044, 7076, Muslim, no. 42, 64, at-Tirmidzi, no. 1988, 2633, 2639 – 2640, Ibnu
Majah, no. 69, 3939, dan an-Nasaa-i, VII/122)
Dari Abu Hurairah رضي
الله تعالىٰ عنه, ia berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika
sampai menghina saudaranya sesama muslim. Seorang muslim wajib menjaga darah,
harta dan kehormatan muslim lainnya.” (Shahiih, HR. Muslim, no. 2564)
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Seorang muslim bukanlah orang yang suka
mencela, melaknat, melakukan perbuatan keji dan mencacimaki muslim lainnya.”
(Shahiih, HR. At-Tirmidzi, no. 1978)
KH. Tengku Zulkarnain mengingkari Allah سبحانه
و تعالىٰ bersemayam di atas ‘Arsy. Dan menganggap
‘aqidah ini sama persis dengan ‘aqidah Yahudi dan Nashrani sehingga siapa saja
yang mengimami ‘aqidah tersebut sesat karena menyerupai ‘aqidah Yahudi dan
Nashrani.
Baik, disini ada pertanyaan :
“Sesungguhnya yang mengetahui (paham)
tentang Allah itu siapa?”
Al-Jawaab :
“Tentu Allah itu sendiri.”
Benar, jika yang mengetahui tentang Allah
adalah Allah itu sendiri, maka mengapa kita persoalkan (baca : protes) jika
Allah سبحانه و تعالىٰ menyatakan bahwa Dia
bersemayam di atas ‘Arsy? Sebab bukankah Allah sendiri yang menyatakan Dia
bersemayam di atas ‘Arsy dengan segala keagungan dan kemuliaan-Nya? Lantas
kemudian koq bisa beliau menyamakan ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal
Jama’ah yang menetapkan Allah سبحانه و
تعالىٰ bersemayam di atas ‘Arsy dengan segala keagungan dan
kemuliaan-Nya sama dengan ‘aqidah Yahudi dan Nashrani kemudian dikatakan sesat
bahkan kafir?
Jikalau kita konsisten dengan pendapat,
‘yang mengetahui tentang Allah adalah Allah itu sendiri’, lantas mengapa kita
harus ribut (baca : komplain)? Cukup bagi kita imani bahwasanya bersemayamnya
Allah سبحانه و تعالىٰ tidak sama dan tidak
serupa dengan makhluk. Dia bersemayam sesuai dengan keagungan dan
kemuliaan-Nya, sebagaimana kita imani Allah سبحانه
و تعالىٰ Maha Mendengar dan Maha Melihat, pun manusia
juga mendengar dan melihat, akan tetapi kita tidak menyerupakan pendengaran dan
penglihatan Allah dengan makhluk bukan? Kalau demikian begitu juga dengan
semayamnya Allah سبحانه و
تعالىٰ di atas ‘Arsy, bahwasanya Dia bersemayam sesuai dengan
keagungan dan kemuliaan-Nya, berbeda dengan makhluk.
Bukankah Allah سبحانه
و تعالىٰ di dalam al-Qur-an dan Rasulullah ﷺ di dalam banyak
hadits serta keterangan para ‘ulamaa Salaf menunjukkan Allah سبحانه
و تعالىٰ di atas langit, Dia bersemayam di atas ‘Arsy?
Dalil dari al-Qur-an :
Allah سبحانه
و تعالىٰ berfirman :
“Sungguh, Rabbmu adalah Allah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas
‘Arsy.”
(QS. Al-A’raaf [7] : 54)
Allah سبحانه
و تعالىٰ berfirman :
“Sesungguhnya Rabb kamu Dia-lah Allah
yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di
atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan.”
(QS. Yuunus [10] : 3)
Allah سبحانه
و تعالىٰ berfirman :
“Allah yang meninggikan langit tanpa
tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.”
(QS. Ar-Ra’d [13] : 2)
Allah سبحانه
و تعالىٰ berfirman :
“Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih),
bersemayam di atas ‘Arsy.”
(QS. Thahaa [20] : 5)
Allah سبحانه
و تعالىٰ berfirman :
“Dia yang menciptakan langit dan bumi dan
apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di
atas ‘Arsy.”
(QS. Furqaan [25] : 59)
Allah سبحانه
و تعالىٰ berfirman :
“Allah yang menciptakan langit dan bumi
dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di
atas ‘Arsy.”
(QS. As-Sajdah [32] : 4)
Allah سبحانه
و تعالىٰ berfirman :
“Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.”
(QS. Al-Hadiid [57] : 4)
Allah سبحانه
و تعالىٰ berfirman :
“Sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia
yang di langit tidak akan membuat kamu ditelan bumi ketika tiba-tiba
berguncang?”
(QS. Al-Mulk [67] : 16)
Dalil dari As-Sunnah :
Dari Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami رضي
الله تعالىٰ عنه, ia berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda kepada
seorang budak wanita,
“Di mana Allah?”
Ia menjawab,
“Allah di atas langit.”
Lalu Rasulullah ﷺ bersabda,
“Siapa aku?”
“Engkau adalah Rasulullah.”
Jawabnya.
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda,
“Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia
seorang wanita mukminah.”
(Shahiih, HR. Muslim, no. 537, Abu
‘Awanah, II/141 – 142, Abu Dawud, no. 930, an-Nasaa-i, III/14 – 16, ad-Darimi,
I/353 – 354, Ibnul Jarud dalam al-Muntaqaa’, no. 212, al-Baihaqi, II/249 – 250,
dan Ahmad, V/447 – 448)
Terdapat dua permasalahan yang terkandung
di dalam hadits ini :
1. Disyari’atkan untuk bertanya kepada
seorang muslim : “Di mana Allah?”
2. Jawabannya yang ditanya adalah : “Di
atas langit.”
Maka, barangsiapa yang memungkiri dua
masalah ini, berarti ia memungkiri Rasulullah Muhammad ﷺ.”
(Mukhtasharul ‘Uluw oleh Imam Adz-Dzahabi
رحمه الله تعالىٰ, hal. 81)
Dari Jabir bin ‘Abdillah رضي
الله تعالىٰ عنهما, ia berkata ketika Nabi ﷺ setelah berkhutbah
di Arafah. Lalu Nabi ﷺ mengatakan dengan
mengangkat jari telunjuknya ke atas langit dan mengisyaratkan kepada manusia
dengan bersabda,
“Ya Allah, saksikanlah. Ya Allah
saksikanlah. Ya Allah saksikanlah.”
(Shahiih, HR. Muslim, no. 1218)
BEBERAPA PERKATAAN PARA ‘ULAMAA SALAF.
Imam Abu Hanifah رحمه
الله تعالىٰ berkata,
“Allah سبحانه
و تعالىٰ ada di langit, tidak di bumi.”
Kemudian ada seseorang yang bertanya,
“Tahukah anda Allah ﷻ berfirman : ‘Wahuwa
ma’akum – Dan Allah bersama kalian?'”
Beliau رحمه
الله تعالىٰ menjawab,
“Ungkapan itu seperti kamu menulis surat
kepada seseorang : ‘Aku akan selalu bersamamu.’ Padahal kamu jauh darinya.”
(Al-Asma’ was Shifat, II/170)
Beliau رحمه
الله تعالىٰ juga berkata,
“Dalam berdo’a kepada Allah سبحانه
و تعالىٰ kita memanjatkan do’a ke atas, bukan ke
bawah.”
(al-Fiqh al-Absath, hal. 51)
Beliau رحمه
الله تعالىٰ juga berkata,
“Barangsiapa yang berkata, ‘Aku tidak
tahu Rabbku itu dimana, di langit atau di bumi.’ Maka orang itu kafir. Demikian
pula orang yang berkata, ‘Rabbku di atas ‘Arsy, namun aku tidak tahu ‘Arsy itu
di langit atau di bumi.'”
(al-Fiqh al-Absath, hal. 46)
Imam Malik رحمه
الله تعالىٰ pernah ditanya,
“Wahai Abu ‘Abdillah, Allah Yang Maha
Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy.”
(QS. Thahaa [20] : 5)
Maka bagaimana Dia bersemayam?’
Maka mendengar pertanyaan itu Imam Malik رحمه
الله تعالىٰ pun marah seraya menjawab,
“Istiwa’-nya Allah ma’lum (sudah
diketahui maknanya), dan kaifiyat (cara bersemayamnya) tidak dapat dicapai
nalar (tidak diketahui), dan beriman kepadanya wajib, dan bertanya tentang hal
tersebut adalah perkara bid’ah.”
Kemudian Imam Malik رحمه
الله تعالىٰ memerintahkan orang itu agar dikeluarkan dari
majelis beliau.”
(Syarhus Sunnah lil Imaam al-Baghawi,
I/171, Mukhtasharul ‘Uluw lil Imaam adz-Dzahabi, hal. 141 – 142, no. 104, Abu
Nu’aim dalam al-Hilyah, VI/325 – 326, ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimi dalam Ar-Rad
ala al-Jahmiyah, hal. 55, al-Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqaad Ahlus Sunnah
wal Jama’ah, no. 664, Abu ‘Utsman ash-Shabuni dalam ‘Aqidah Salaf Ash-Shabul
Hadits, hal. 24 – 26, al-Baihaqi dalam al-Asma’ was Shifat, hal. 408, dan
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fat-hul Baari, XIII/406 – 407)
Imam Asy-Syafi’iy رحمه
الله تعالىٰ berkata,
“Berbicara tentang sunnah yang menjadi
pegangan saya, sahabat-sahabat saya, begitu pula para ahli hadits yang saya
lihat dan saya ambil ‘ilmu mereka, seperti Sufyan, Malik bin Anas dll, adalah
menetapkan seraya bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang berhak diibadahi selain
Allah, serta bersaksi bahwa Allah itu di atas ‘Arsy di langit, dan dekat dengan
makhluk-Nya, terserah kehendak Allah, dan Allah itu turun ke langit terdekat
(dunia) kapan Allah berkehendak.”
Imam Ahmad bin Hanbal رحمه
الله تعالىٰ berkata,
“Kami mengimani bahwa Allah سبحانه
و تعالىٰ ada di atas ‘Arsy bagaimana yang Dia
berkehendak dan seperti apa yang Dia kehendaki, tanpa batasan dan sifat yang
dipakai oleh seseorang untuk mensifati dan membatasi sifat itu.”
(Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wan Naql, II/30)
Yaa, Allah Maha Tinggi lagi Maha Mulia.
Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya dan terpisah oleh makhluk-Nya.
Dari Abu Hurairah رضي
الله تعالىٰ عنه, ia berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Rabb kita (Allah) turun pada setiap
malam ke langit dunia ketika tinggal sepertiga malam yang akhir, seraya menyeru
:
‘Siapa yang berdo’a kepada-Ku, maka Aku
akan mengabulkan do’anya.
Siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku
akan memberinya.
Dan siapa yang memohon ampunan kepada-Ku,
maka Aku akan mengampuninya.'”
(Shahiih, HR. Al-Bukhari, no. 7494,
Muslim, no. 758 [168], at-Tirmidzi, no. 3498, Abu Dawud, no. 1315, 4733, Ibnu
Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, no. 492, dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab at-Tauhid,
I/280)
Abu ‘Utsman ash-Shabuni رحمه الله
تعالىٰ berkata,
“Para ‘ulamaa ahli hadits menetapkan
turunnya Rabb ke langit terendah pada setiap malam tanpa menyerupakan turun-Nya
Allah itu dengan turunnya makhluk (tasybih), tanpa mengumpamakan (tamtsil) dan
tanpa menanyakan bagaimana turun-Nya (takyif). Tetapi menetapkan sesuai dengan
apa-apa yang ditetapkan oleh Rasulullah Muhammad ﷺ dengan mengakhiri
perkataan padanya (tanpa komentar lagi), memperlakukan kabar shahiih yang
memuat hal itu sesuai dengan zhahirnya, serta menyerahkan ‘ilmunya (kaifiyatnya)
kepada Allah سبحانه و تعالىٰ.”
(‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadits, no.
38, hal. 46)
Inilah ‘aqidah Islam, ‘aqidah yang kokoh
karena berdiri di atas Kitabullah dan As-Sunnah Rasulullah ﷺ dan ijma’ para ‘ulamaa
serta fitrah manusia yang meyakini Allah سبحانه
و تعالىٰ Maha Tunggi yang bersemayam di atas ‘Arsy
dengan segala keagungan dan kemuliaan-Nya.
Semoga Allah تبارك
وتعالىٰ memberikan hidayah dan taufiq.
Abu ‘Aisyah Aziz Arief
Sumber: sangperawi.com
Menafikan Allah di atas Arsy-Nya, bukan Akidah
Ahlussunnah Waljamaah… karena itu bertentangan dengan Alqur’an, Assunnah,
Ijma’ Sahabat, dan fitrah alami manusia.
Apapun retorika yang dipakai… dan
siapapun yang menjadi rujukan… jika itu menyelisihi Alqur’an, Assunnah,
dan Ijma’ para sahabat = maka tetap saja harus ditinggalkan, karena itu
kebatilan.
Sudah sangat tegas Allah berfirman
{ الرَّحْمَنُ عَلَى
الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه: 5]
(yang artinya): “Allah yang
maha penyayang itu berada di atas Arsy” [QS. Thaha: 5].
Peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang
sangat masyhur, juga sangat tegas menjelaskan bahwa Nabi -shallallahu
alaihi wasallam- akhirnya di bawa ke atas menghadap Allah, untuk menerima
syariat shalat lima waktu.
Dan ketika itu beliau melewati langit
pertama hingga langit ketujuh, kemudian naik lagi hingga menemui Rabbnya
-subhanahu wa ta’ala.. ini jelas menunjukkan bahwa Allah berada di atas
makhluk-Nya, tidak ada yang lebih tinggi dari-Nya.
Sahabat Ibnu Mas’ud -radhiallahu anhu-
juga berkata:
“Jarak antara langit dunia dengan langit
setelahnya adalah jarak perjalanan 500 tahun, jarak antara setiap dua langitnya
adalah 500 tahun, jarak antara langit ketujuh dengan Alkursi adalah 500 tahun,
jarak antara Al-kursi dengan air adalah 500 tahun, dan Arsy di atas air itu,
dan Allah -jalla dzikruhu- di atas Arsy, tapi Dia mengetahui apapun yang
antum lakukan”.
[HR. At-Thabarani dalam Al-Mu’jamul
Kabir: 8987, sanadnya hasan].
Bahkan Ibnu Abdil Barr -rohimahulloh-
(wafat 463 H) telah mengatakan, bahwa seluruh ulama dari generasi Sahabat dan
Tabi’in mengatakan bahwa Allah itu di atas Arsy. [Lihat: Attamhid 7/138-139].
Jika Anda masih sulit menerima keterangan
ini, cobalah merenung saat Anda berdoa, mengapa tangan Anda menengadah ke atas?
Mengapa juga hati Anda menghadap ke atas? bisakah Anda mengingkari fitrah ini.
Dan masih banyak lagi, dalil-dalil yang
menunjukkan bahwa Allah berada di atas, berada di atas Arsy-Nya… tidak
sepantasnya orang yang mengaku berakidah ahlussunnah waljama’ah menolak
keterangan ini, hanya karena akalnya tidak mampu memahaminya dengan baik
dan dengan tetap mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya.
Harusnya kita menerima kabar langit yang
bersanad shahih tersebut dengan apa adanya, memaknainya sesuai
dengan kemuliaan dan keagungan Allah ta’ala, dengan tanpa mentakwilnya, atau
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Seringkali orang menolak nash syariat,
karena adanya kaidah yang dia anggap bertentangan dengan nash
tersebut, contoh mudahnya: sebagian orang menolak ketentuan hukum waris dalam
Alquran, karena membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, hal itu
dia anggap bertentangan dengan kaidah keadilan Allah.
Padahal sebenarnya “keadilan” itu tidak
harus berarti persamaan, tapi keadilan adalah memberikan sesuatu sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan masing-masing. Tentunya kebutuhan anak laki-laki
jauh lebih banyak daripada kebutuhan anak perempuan.
(Anak laki-laki saat menikah harus
memberikan mahar, sedang yang perempuan malah mendapatkan mahar… saat
sudah menikah, anak laki-laki harus menafkahi isterinya, sedang anak perempuan,
malah mendapatkan nafkah dari suaminya… saat ada yang terjatuh dalam
pembunuhan secara tidak sengaja, saudara laki-laki harus menanggung diyat-nya,
sedang yang perempuan tidak).
Hal ini juga terjadi dalam bab
sifat-sifat Allah, sebagian orang menolak kabar tentang sebagian sifat Allah,
karena dlm pandangan dia, hal itu tidak sesuai dengan kaidah bahwa Allah
tidak menyerupai makhluk-Nya.
Padahal kriteria “tidak menyerupai
makhluk” itu tidak berarti harus menafikan atau mentakwil sifat tersebut, tapi
bisa juga dengan menetapkan sifat itu sesuai kemuliaan dan keagungan
Allah, yang sangat jauh berbeda dengan makhluk-Nya… Dan inilah yang harusnya diambil oleh seorang hamba yang menjunjung tinggi Firman
Allah dan Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- telah
menyebutkan perkataan yang pantas ditorehkan dengan tinta emas
dalam hal ini, beliau mengatakan:
“Adapun kita membuat suatu kaidah, dan
kita katakan itulah hukum asalnya, kemudian kita menolak Assunnah (Hadits)
karena alasan menyelisihi kaidah itu, maka sungguh demi Allah, merusak SERIBU
kaidah yang tidak dibuat Allah dan Rasul-Nya lebih wajib bagi kita,
daripada menolak SATU hadits”. [I’lamul Muwaqqi’in 2/252].
Dan jauh sebelum itu, Imam Syafi’i -rahimahullah-
telah mengatakan:
“Tidak boleh ada qiyas, bila sudah ada
khabar”. [Ar-Risalah, hal: 599].. dan itu berarti: “Tidak boleh ada ijtihad,
bila sudah ada nash yang menjelaskan”, karena qiyas dan ijtihad menurut
beliau adalah dua kata yang satu makna. [Ar-Risalah, hal 477].
Sehingga bila sudah ada nash yang
menjelaskan tentang dimana keberadaan Allah dan sifat-sifat Allah
lainnya, maka tunduklah kepada nash-nash itu, dan buanglah semua ijtihad kita..
lalu nafikan semua konsekuensi batil yang berasal dari kepala kita yang lemah ini.
Karena nash yang haq, pasti punya
konsekuensi yang haq, dan itulah yang harusnya diambil.
Bila Anda menemukan konsekuensi yang
batil dari nash yang haq, maka yakinlah bahwa konsekuensi yang
batil itu pasti dari akal Anda yang lemah, dan itulah yang harus Anda buang.
Nash yang haq tidak mungkin
menunjukkan kebatilan bila dipahami dengan baik dan lurus.
Inilah manhaj ulama salaf kita, manhaj
ahlussunnah waljama’ah dalam bab sifat-sifat Allah ta’ala. wallahu a’lam.
Silahkan dishare… semoga bermanfaat.
via fb Aslam
Umar Bamajbur
Mengetuk pintu langit tapi tidak
mempercayai Tuhan di atas langit ??? Ternyata kodrat manusia Allah sedang
duduk di langit di tujuh langit. Jika tidak percaya kepada Tuhan di atas
langit mengapa tidak mengubah kata-katanya "GAMBAR TANPA TEMPAT DAN
ARAH"
.
"Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam hari, dan Dia teguh di atas Arasy." (QS Al-Araf: 54)
.
"Tuhan Yang Maha Pengasih yang duduk di atas Arasy" (QS. Thaha: 5)
.
"Dia yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari: Kemudian Ia tinggal
di atas 'arsy ..." (QS Al-Hadid: 4)
.
"Siapa yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara mereka
dalam enam hari, maka dia duduk di atas Arasy" (QS Al-Furqan: 59)
.
"Allah, yang meninggikan langit tanpa tiang yang kamu lihat, lalu Dia
duduk di atas Arasy" (QS Ar-Rad: 2)
.
"Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam hari, lalu Dia duduk di atas Arasy" (QS Yunus: 3)
ungarans.blogspot.co.id
ungarans.blogspot.co.id
Ahlul Sunnah Wal Jamaah, Al-Asyairah ,
Al-Maaturidiyyah, Salafiyah dan Wahabiyah
Ahlul Sunnah Wal Jamaah
Mereka adalah golongan yang berpegang
teguh pada al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad serta orang-orang yang mengikut
jejak langkah mereka. Generasi paling awal dan utama di kalangan mereka adalah
para sahabat, kemudian diikuti oleh para tabi’in dan orang-orang yang menurut
jejak langkah mereka.
Generasi pertama di kalangan mereka
dikenali dengan nama Salaf. Mereka berpandukan al-Quran dan sunnah tanpa membahas
secara mendalam ayat-ayat yang samar (mutasyabihat) dan menyerahkan maksudnya
kepada Allah. Ini berdasarkan firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 7.
Maksudnya: “Dia lah Yang menurunkan
kepadamu (Wahai Muhammad) Kitab suci Al-Quran. sebahagian besar dari Al-Quran
itu ialah ayat-ayat “Muhkamaat” (yang tetap, tegas dan nyata maknanya serta
jelas maksudnya); ayat-ayat Muhkamaat itu ialah ibu (atau pokok) isi Al-Quran.
Dan yang lain lagi ialah ayat-ayat “Mutasyaabihaat” (yang samar-samar, tidak
terang maksudnya). Adapun orang-orang yang ada dalam hatinya kecenderungan ke
arah kesesatan, maka mereka selalu menurut apa yang mutasyaabihaat kerana
mempunyai tujuan menimbulkan fitnah dan mencari takwilnya. Padahal tidak ada
yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya yang sebenar) melainkan Allah. Dan
orang-orang yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya dalam ilmu-ilmu
ugama, berkata:” Kami beriman kepada-Nya, semuanya itu datangnya dari sisi
Tuhan kami” dan tiadalah yang mengambil pelajaran dan peringatan melainkan
orang-orang yang berfikiran.”
Pada zaman awal salaf, mereka tidak
banyak berhujah menggunakan logika akal. Mereka menerima tanpa perlu banyak
berhujah tentang apa saja yang dinyatakan dalam al-Quran, dan as-sunnah.
Mengenai para sahabat, mereka menjunjung
tinggi semuanya, mengakui keempat khalifah ar-Rasyidin adalah orang yang paling
layak pada zaman masing-masing. Mereka memohon supaya Allah mengampuni para
sahabat dalam perseturuan dan peperangan yang berlaku di kalangan mereka. Ini
kerana jasa mereka besar bagi menegakkan kalimah Allah walaupun di antara
mereka sudah tentu ada yang bersalah dalam pertentangan itu. Inilah yang
disifatkan oleh Allah dalam al-Quran surah al- Hasyr, ayat 10.
Maksudnya: “Dan orang-orang yang datang
kemudian daripada mereka berkata, “Wahai Tuhan kami! Ampuni kami dan
saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam iman dan janganlah engkau
menjadikan dalam hati kami perasaan hasad dan dendam terhadap orang-orang yang
beriman. Wahai Tuhan kami! Sesungguhnya Engkau amat limpah belas kasih-Mu dan
maha penyayang”.
Generasi pertama ini tidak menamakan diri
mereka dengan nama aliran-aliran pemahaman tertentu. Ini kerana umat Islam pada
waktu itu bersatu dari segi hidupnya dan para sahabat yang masih hidup menjadi
tumpuan bagi bertanya berbagai masalah. Amalan ini juga terjadi pada zaman para
tabi’in. Mereka bukan saja tidak mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat,
sebaliknya menyandarkan apa yang dinyatakan oleh Allah dan Nabi Muhammad tanpa
tambahan apapun dan penguraian yang bertele-tele.
Semua imam mazhab yang terkenal seperti
Abu Hanifah, Malik, Syafie, Ahmad bin Hambal, Sufian as-Sauri dan lain-lain
berpegang dengan aliran salaf ini.
Al-Asyairah
Apabila negara Islam berkembang luas,
terjadi perbincangan-perbincangan mengenai agama di antara mereka yang baru
masuk Islam. Di antara topik yang terpenting adalah membicarakan masalah
akidah. Sayangnya ketika membicarakan masalah akidah, mereka terpengaruh dengan
filsafat barat yang materialis dan rasionalis yang sedang diterjemahkan secara
besar-besaran ke dalam dunia Islam. Hasil dari beberapa pembicaraan itu,
lahirlah berbagai macam pemahaman yang berpandukan logika. Pemahaman-pemahaman
yang berdasarkan logika itu saja, menyebabkan penyelewengan dalam memahami teks
al-Quran yang sebenarnya. Dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa
menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Walaupun begitu, apapun yang terjadi
Allah berjanji memelihara agama-Nya dengan melahirkan ilmuwan untuk
mempertahankan akidah yang murni. Di antara ilmuwan-ilmuwan tersebut adalah
Imam Abu Hasan al-Asy’ari.
Abu Hasan al-Asy’ari dilahirkan di Basrah
pada tahun 260 Hijrah. Beliau pernah berpegang pada pemahaman Muktazilah dan
berguru kepada ayah tirinya Abu Ali aljubbai, syeikh aliran Mu’tazilah. Periode
ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat
mengerti seluk beluk aqidah Mu’tazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya
dan kelebihannya.
Abu Hasan al-Asy’ari membuat pembaharuan
dalam aliran Ahli Sunnah dengan mengemukakan hujah-hujah akal beserta teks-teks
al-Quran dan hadis yang ada. Hujah-hujah yang dikumpulkan cukup kuat bagi
mematahkan hujah Muktazilah yang berkembang pesat pada masa itu.
Untuk membedakan dengan aliran-aliran
akidah yang ada, beliau membangkitkan atau mempopulerkan kembali istilah Ahli
Sunnah wal Jamaah. Berlainan dengan anggapan kebanyakan pengikut aliran
Asya’irah, istilah Ahli Sunnah wal Jamaah sudah ada sejak zaman para sahabat
dan bukannya diciptakan oleh Abu Hasan al-Asy’ari. Sayangnya oleh sebagian
pengikut aliran Asya’irah yang fanatik, Ahli Sunnah wal Jamaah tetap identik
dengan Asya’irah. Jadi tidak bisa dikatakan golongan Ahli Sunnah wal Jamaah,
kalau tidak memakai metode Abu Hasan al Asy’ari dalam memahami akidah.
Hujah-hujah Abu Hasan al-Asy’ari membawa
kekuatan kepada Ahli Sunnah wal Jamaah bagi menghadapi hujah golongan
Muktazilah yang berkembang pesat dan mendapat dukungan dari kerajaan Abbasiah.
Pada akhirnya, golongan Muktazilah bukan saja dapat dibendung dengan hujah,
tetapi kerajaan yang didirikan di kemudian hari, memberi sumbangan politik yang
besar bagi mempertahankan dan mengembangkan pemahaman Asya’irah.
Akidah ini menyebar luas di zaman wazir Nizhamul
Muluk pada dinasti Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Semakin
berkembang lagi di masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di
Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah
universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti
Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin
Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama,
terutama para fuqaha mazhab Asy-syafi’i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir.
Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-’ariyah ini adalah
akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
Mereka yang beraqidah ini sebagaimana
yang dikatakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah adalah yang paling dekat di
antara yang lain kepada ahlussunnah wa al-jamaah yang sebenarnya. Aliran mereka
adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
Al-Maaturidiyyah
Di sebelah timur negara Islam yaitu di
daerah Maturid, wilayah Samarkand, lahir seorang ilmuwa Islam yang bernama Muhammad
bin Muhammad bin Mahmud Abu Mansur Maturidi. Beliau lahir pada tahun 332
Hijrah. Beliau membawa aliran ideologi akidah mengikuti pemahaman Ahli Sunnah
wal Jamaah bagi menghadapi beberapa penyelewengan pada zamannya. Beliau adalah
seorang ilmuwan Islam yang bermazhab Hanafi.
Beliau muncul di Asia Tengah pada waktu
masyarakat Islam dilanda aliran ideologi yang menyeleweng dari akidah yang
sebenarnya. Di antaranya adalah aliran Muktazilah, Mujassimah, Muhammad bin
Karam Sajassatani yaitu pemimpin ideologi Karamiah, Qaramitah yang dipimpin
oleh Hamdan As’ad, Jaham bin Safuan iaitu pemimpin ideologi Jahamiah, dan ahli
tasauf Husin bin Mansur al-Hallaj. Imam Abu Mansur Maturidi membawa peranan
yang besar bagi menghadapi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh
mereka.
Walaupun beliau hidup sezaman dengan Imam
Abu Hasan al-Asy’ari, namun beliau mempunyai teknik berhujah dan huraian yang
berbeda. Para sarjana Islam menyatakan, Imam Abu Mansur Maturidi lebih
cenderung kepada pendapat Imam Abu Hanifah dalam perkara akidah. Ini kerana
beliau merujuk risalah-risalah dan buku-buku yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah
seperti Fikh Akbar, Fikh Absat, Kitab Ilm dan sebagainya.
Terdapat beberapa perselisihan antara Abu
Mansur Maturidi dengan Abu Hassan al-Asy’ari. Antaranya dalam isu Makrifatullah
(mengenal Allah), Abu Hassan menyatakan wajib mengetahuinya menurut sumber
agama tetapi Abu Mansur berkata wajib juga dengan berpandu dengan akal.
Pemahaman Maturidiah mewajibkan hukum
akal beserta syarak sehingga beliau bertentangan dengan sebagian ilmuwan Fikah
dan Hadis. Ada lagi penjelasan-penjelasannya mengenai Qada’ dan Qadar dan
lain-lain yang berbeda dengan penguraian aliran Asya’irah.
Pengikut golongan ini kebanyakan dari
ahli kalam, sufi, murjiah dan kuburiyah (lihat dalam Kitab Qawaid Fi Bayan
Hakikatul Iman tulisan Syeikh Adil Ali Syaikhan cetakan Maktabah Adhaul Salaf).
Abu Mansur Maturidi juga seperti Abu
Hassan Asy’ari yang membawa pembaharuan dalam pengajian akidah. Beliau
memasukkan hujah-hujah logika akal ketika menghadapi perkembangan pemahaman
baru yang timbul pada zamannya.
Pada zaman para sahabat dan generasi awal
kalangan tabi’in termasuk imam-imam mujtahidin yang pertama lebih bergantung
kepada hujah-hujah teks daripada al-Quran dan hadis Nabi Muhammad saja.
Ilmu kalam dan akal menurut Imam Abu
Yusof ra (Ya’kub Ibn Ibrahim) merupakan sesuatu yang tercela dan dibenci oleh
para ulama salaf soleh.
Pemahaman Maturidiyah ini adalah sebuah
pemahaman yang berdasarkan ilmu kalam dan filsafat. Pemahan seperti ini tidak
diakui oleh ulama ahlul sunnah seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafie, Imam Ahmad ra, serta ulama ahlul sunnah wal jamaah lainnya.
Salafiyah
Setelah lahir berbagai teori mengenai
akidah beserta lahirnya pemahaman yang bukan saja berhujah dengan logika tetapi
juga menggunakan falsafah, maka lahir pula dalam masyarakat Islam orang-orang
yang mahu supaya kembali pada sumber asli saja. Mereka muncul pada abad ke
tujuh Hijrah.
Aliran ini berasal dari Imam Ahmad bin
Hanbal yang mengingankan pembahasan mengenai akidah dikembalikan seperti zaman
Nabi Muhammad s.a.w, para sahabat dan tabi’in. Salah satu tokoh terkemuka yang
menghidupkan pendekatan ini kembali adalah Imam Ibnu Taimiyah.
Beliau dan pengikut-pengikutnya menentang
keras golongan yang mencoba menjelaskan ayat-ayat mutasyabihat. Mereka hanya
menyebut sifat-sifat Allah berdasarkan teks-teks yang jelas di dalam al-Quran
dan hadis. Di antara ayat-ayat mutasyabihat adalah seperti nuzul (turun),
istiwa’ (bersemanyam), al-dhahaq (ketawa) dan lain-lain, dengan tidak
menyamakan Allah dengan makhluk.
Selain itu, mereka membangkitkan kembali
isu amalan masyarakat yang berkaitan dengan perkara-perkara yang membawa kepada
kesyirikan, seperti kesalahan-kesalahan yang terjadi ketika bertawassul
(memohon dengan perantaraan), ziarah kubur dan sebagainya.
Mereka juga dengan tegas menentang
penggunaan ilmu logika. Ini menyebabkan golongan salaf yang baru ini bergesekan
dengan aliran Asya’irah dan Maturidiah yang menjadikan ilmu logika sebagai
bagian dari perbincangan akidah. Golongan salaf ini menolak penguraian
ayat-ayat mutasyabihat yang dilakukan oleh Asya’irah dan Maturidiah.
Wahabiyah
Sebenarnya istilah Wahabi bukanlah
istilah yang disepakati oleh mereka yang sering diidentikkan dengan istilah
itu. Mereka lebih sering menyebut dengan istilah salafiyyin, karena dakwah
mereka merupakan kesinambungan dari aliran salaf yang dibawa oleh Imam Ahmad
dan Ibnu Taimiyah.
Gerakan ini diperlopori oleh seorang
tokoh ulama terkemuka yaitu Syeikh Muhamad bin Abdul Wahhab At-Tamimi Al-Najdi
(1115-1206 H atau 1703-1791 M). Beliau lahir di Uyaynah dan belajar Islam dalam
mazhab Al-Hanabilah dan telah menghafal Al-Quran sejak usia 10 tahun.
Dakwah beliau banyak disambut ketika
beliau datang di Dir`iyah bahkan beliau dijadikan guru dan dimuliakan oleh
penguasa setempat yaitu pangeran Muhammad bin Suud yang berkuasa 1139-1179.
Oleh pangeran, dakwah beliau ditegakkan dan akhirnya menjadi semacam gerakan
nasional di seluruh wilayah Saudi Arabia hingga hari ini.
Para pendiri dakwah ini umunya bermazhab
fiqih dengan mazhab Al-Hanabilah, jadi tidak benar kalau dikatakan mereka
anti mazhab. Namun memang mereka tidak selalu terikat dengan mazhab tersebut
dalam fatwa-fatwanya. Terutama bila mereka menemukan dalil yang lebih rajih.
Oleh karena itu dakwah merka sering disebut La Mazhabiyyah, namun sebenarnya
lebih kepada masalah ushul, sedangkan masalah furu`nya, mereka tetap
pada mazhab Al-Hanabilah.
Dakwah ini jelas-jelas sebuah dakwah
ahlisunnah wal jamaah serta berpegang teguh dengannya. Mereka menyeru kepada
pemurnian tauhid dengan menuntut umat agar mengembalikan kepada apa yang
dipahami oleh umat Islam generasi pertama.
Mereka pun aktif menumpas segala bentuk
khurafat, syirik, bid`ah dan beragam hal yang menyeleweng dari ajaran Islam
yang asli. Mereka melarang membangun bangunan di atas kuburan, menyelimutinya
atau memasang lampu di dalamnya. Mereka juga melarang orang meminta kepada
kuburan, orang yang sudah mati, dukun, peramal, tukang sihir dan tukang teluh.
Mereka juga melarang tawassul dengan menyebut nama oran shaleh sepeti kalimat
bi jaahi rasul atau keramatnya syiekh fulan dan fulan.
Asy'ariyah itu kalau kita kembali kepada para Ulama' Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, ialah antara lain saya nukilkan
di sini terjemah keterangan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah (Ahmad bin Abdul Halim
bin Taimiyah Al Harrani lahir th. 661 H. Dan wafat th. 728 H.)
dalam kitabnya yang berjudul DAR'U TA'ARUDHIL AQLI WAN NAQLI jilid 1 hal. 71
menerangkan : "Ar Razi dan para pengikutnya telah meletakkan satu
metodologi yang menyatakan bahwa wajib mendahulukan akal atas naqal (dalil yang
dinukil dari keterangan Al Qur'an dan As Sunnah). Atau dengan kata lain
wajib mendahulukan dalil aqli atas dalil naqli (dalil Sam'ie). Maka bila dalil
Aqli bertentangan dengan dalil naqli, maka tidak mungkin diutamakan dalil naqli
atas dalil Aqli. Sebab dalil Aqli adalah asal segala sesuatu. Mendahulukan
dalil naqli atas dalil Aqli berarti mendahulukan cabang atas pokok. Yang
berarti mempertanyakan kebenaran pokok sehingga lebih yakin kepada kebenaran
cabang. Dan yang demikian itu adalah mustahil, karena meragukan pokok
berarti juga harus meragukan cabang yang dibangun atas pokok yang diragukan
itu. Jadi kalau dalil naqli bertentangan dengan dalil aqli, maka nash dalil
naqli itu dilakukan padanya :
a. Harus dita'wil .
b. Diserahkan kepada Allah maknanya dan tidak diartikan.
C. Bila tidak mungkin samasekali untuk dikompromikan maknanya dengan akal, kedua dalil itu (baik aqli maupun naqli) dibuang.
Mereka menjadikan metodologi ini sebagai landasan menerima atau menolak dalil yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul dari Wahyu Allah. Baik dalam perkara sifat-sifat Allah dan Nama-Namanya, bila dalil-dalil itu dianggap bertentangan dengan akal mereka, bahkan sebagian mereka beranggapan bahwa dalil naqli (sam'ie) tidaklah bisa memberikan keyakinan kebenaran sesuatu". Demikian Ibnu Taimiyah menerangkan prinsip Asy'ariyah yang diambil dari Ar Razi (Abu Abdillah Fakhrud Dien Muhammad bin Amr bin Al Hasan bin Al Husain At Tamimi Al Bakri Ar Razi) yang terkenal dengan Al Fakhrur Razi atau Ibnu Khatib Ar Rai. Lahir th. 544 H. Dan meninggal dunia th. 606 H. Beliau adalah salah seorang Imam dari kalangan Asya'irah yang mencampurkan madzhab Asy'ari dengan filsafat Yunani dan Mu'tazilah yang notabe dari falsafah Yunani juga. Pendahulu Al Fakhrur Razi adalah Abu Bakar bin Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Al Arabi Al Mu'afiri, lahir isbilia Andalus pada tahun 486 H. Dan meninggal dunia pada th. 543 H. Beliau belajar agama dari Al Imam Al Ghazali dan beliau termasuk pengkritik Al Ghazali ketika beliau menyatakan : "Syeikh (guru) kita Abu Hamid Al Ghazali telah masuk ke perut Filsafat dan ketika ingin keluar daripadanya, beliau tidak bisa keluar daripadanya". Namun Ibnul Arabi tetap memakai qaidah Asy'ariyah tersebut yang diambilnya dari Al Ghazali. Beliau menjadi Qadli Isbilia dan Imam dalam madzhab Maliki dan Huffadl terbesar dari kalangan madzhab Maliki. Dan Abu Bakar bin Al Arabi mencampurkan qaidah pemahaman Asy'riyah ini dengan qaidah yang hampir serupa yang dibikin oleh Abul Ma'ali Imamul Haramain Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al Juwaini yang lahir pada th. 419 H. Dan meninggal dunia pada th. 478 H. Beliau adalah termasuk Imam Asya'irah yang terbesar dan beliau adalah salah seorang gurunya Al Imam Al Ghazali. Dan sebelum Abul Ma'ali ini adalah Al Baqalani yang namanya adalah Muhammad bin At Thayyib dan beliau adalah Qadli negeri Baqalan dan beliau adalah Imam Asya'irah terbesar setelah Al Imam Abul Hasan Al Asy'ari. Beliau lahir pada th. 375 H. Dan meninggal dunia pada th. 403 H. Beliau hidup di Baghdad dan banyak menulis buku bantahan terhadap filsafat dan ilmu Manthiq dan berbagai agama selain Islam. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menambahkan "Para imam ini membikin qaidah-qaidah berfikir dalam memahami agama Al Islam dimana mereka menyangka bahwa apa yang diyakini benar oleh akal mereka itu adalah asal usul kebenaran dan harus dijadikan sandaran untuk menilai kebenaran dan apa yang dibawa oleh para Nabi dari Allah itu harus ditundukkan kepada sangkaan akal fikiran mereka. Maka bila yang dibawa oleh para Nabi itu bila mencocoki teori akal mereka, maka yang demikian itu mereka terima. Dan bila menyelisihi akal mereka, maka mereka tidak akan mengikutinya". Demikian Ibnu Taimiyah menerangkannya. Dimana prinsip utama Asy'riyah ialah bahwa yang paling tinggi kedudukan dalil kebenaran itu adalah akal pikiran dan dalil Al Qur'an dan As Sunnah harus ditundukkan kepada akal pikiran. Bila Al Qur'an dan As Sunnah mencocoki qaidah berfikir mereka, maka keduanya akan diterima dan bila menyelisihi keduanya, maka itu dikatagorikan sebagai dalil yang tidak bisa diterima atau dianggap dalil yang tidak bisa dipahami atau mutasyabihat yang tidak bisa mengerti tentangnya kecuali hanya Allah saja. Oleh sebab itu Abul Hasan Al Asy'ari hanya mau menerima 7 Sifat saja dari sifat-sifat Allah dan berita tentang sifat Allah yang lainnya harus dita'wil kepada makna salah satu dari tujuh sifat itu dalam rangka tanzihullah (mensucikan Allah dari keserupaan dengan makhluqNya). Yaitu : sifat Al Hayah (Hidup), Al Iradah (Berkehendak), Al Kalamu (berbicara), Al Ilmu (Maha Mengetahui), Al Qudrah (Maha Menentukan), As Sam'u (Maha Mendengar), Al Basharu (Maha Melihat). Kemudian kaum Asya'irah menggabungkannya dengan keyakinan Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al Maturidi As Samarqandi (lahir th. 238 H dan meninggal dunia pada tahun 333 H) yang sering disebut aqidah Maturidiyah yang menambahkan sifat-sifat Allah yang digagas oleh logika Maturidiyah : Wujud (Allah itu ada), Qidam (AdaNya terdahulu), Baqa' (AdaNya kekal selama-lamanya), Mukhalafatuhu Lil Hawadits (Dia berbeda dengan segenap makhluq), Qiyamuhu Bi Nafsihi (Dia berdiri sendiri), Wahdaniyat (Dia tunggal tidak berbilang). Sehingga jadilah 13 Sifat bagi Allah. Dan setelah itu agar menjadi genap, diulangi tuju sifat sebelumnya dalam bentuk mubalaghah dan jadilah sifat dua puluh bagi Allah yang diambil dari logika Asy'ariyah - Maturidiyash. Maka bila ada sifat Allah yang diberitakan di dalam Al Qur'an dan As Sunnah, mereka menolak untuk mengartikan secara leterlek. Mereka tundukkan dalil Al Qur'an dan Al Hadits itu kepada logika mereka dengan ta'wil yang bathil dengan alasan untuk tanzihullah. Sehingga mereka mengingkari sifat Uluw bagi Allah (yakni sifat Allah yang memberitakan bahwa Dirinya berada diatas ArsNya dan ArsNya berada di atas lautan yang ada di atas langit ke tujuh). Karena sifat Uluw tersebut tidak ada dalam rangkaian sifat dua puluh yang dihasilkan oleh logika mereka. Maka ayat Al Qur'an yang berbunyi :
الرحمان علي العرش استوي - طه 5.
"Dia yang Maha Pengasih berada diatas ArsyNya". S. Thaha 5.
Mereka tahrif (rubah) makna "ISTAWA" yang asalnya bermakna "DI ATAS", Ditahrif menjadi ISTAWLA (BERKUASA) yakni kepada makna Qudrah. Ta'wil batuk (tahrif) yang demikian mereka lakukan atas semua ayat Al Qur'an dan As Sunnah yang maknanya dianggap menyelisi metodologi Asy'ariyah - Maturidiyah. Mereka mengingkari adanya sifat NUZUL (TURUN) bagi Allah, dan mereka menolak hadis shahih yang memberitakan Turunnya Allah ke langit dunia di sepertiga terakhir setiap malam. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya (hadis ke 758). Bahkan meyakini bahwa Allah turun ke langit dunia di sepertiga terakhir malam itu adalah keyakinan lucu. Karena sifat NUZUL sebagimana diberitakan dalam hadits itu tidak ada dalam sifat dua puluh hasil otak-atik otak mereka. Dan masih banyak lagi sifat-sifat Allah yang akan mereka tolak walaupun telah disebutkan dalam Al Qur'an dan As Sunnah As Shohihah bila sifat itu tidak bisa ditundukkan maknanya kepada salah satu sifat dua puluh itu. Dan yang demikian itu adalah petaka besar atas Tauhid Ummat ini dan menghalangi mereka untuk kenal lebih dekat dengan Allah Ta'ala.
Padahal seandainya mereka menjadikan Al Qur'an dan As Sunnah itu diletakkan sebagai rujukan utama dalam menilai benar atau salahnya segala sesuatu diatas akal mereka, niscaya mereka akan dengan mudah mengimani segala sifat Allah yang diberitakan didalam Al Qur'an dan As Sunnah Shahihah dengan tidak membatasinya pada angka dua puluh atau angka berapa saja. Sebab kesempurnaan sifat-sifat Allah tak terhingga sehingga tidak dapat dibatasi dengan angka tertentu.
Ustadz Ja'far Umar Thalib
a. Harus dita'wil .
b. Diserahkan kepada Allah maknanya dan tidak diartikan.
C. Bila tidak mungkin samasekali untuk dikompromikan maknanya dengan akal, kedua dalil itu (baik aqli maupun naqli) dibuang.
Mereka menjadikan metodologi ini sebagai landasan menerima atau menolak dalil yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul dari Wahyu Allah. Baik dalam perkara sifat-sifat Allah dan Nama-Namanya, bila dalil-dalil itu dianggap bertentangan dengan akal mereka, bahkan sebagian mereka beranggapan bahwa dalil naqli (sam'ie) tidaklah bisa memberikan keyakinan kebenaran sesuatu". Demikian Ibnu Taimiyah menerangkan prinsip Asy'ariyah yang diambil dari Ar Razi (Abu Abdillah Fakhrud Dien Muhammad bin Amr bin Al Hasan bin Al Husain At Tamimi Al Bakri Ar Razi) yang terkenal dengan Al Fakhrur Razi atau Ibnu Khatib Ar Rai. Lahir th. 544 H. Dan meninggal dunia th. 606 H. Beliau adalah salah seorang Imam dari kalangan Asya'irah yang mencampurkan madzhab Asy'ari dengan filsafat Yunani dan Mu'tazilah yang notabe dari falsafah Yunani juga. Pendahulu Al Fakhrur Razi adalah Abu Bakar bin Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Al Arabi Al Mu'afiri, lahir isbilia Andalus pada tahun 486 H. Dan meninggal dunia pada th. 543 H. Beliau belajar agama dari Al Imam Al Ghazali dan beliau termasuk pengkritik Al Ghazali ketika beliau menyatakan : "Syeikh (guru) kita Abu Hamid Al Ghazali telah masuk ke perut Filsafat dan ketika ingin keluar daripadanya, beliau tidak bisa keluar daripadanya". Namun Ibnul Arabi tetap memakai qaidah Asy'ariyah tersebut yang diambilnya dari Al Ghazali. Beliau menjadi Qadli Isbilia dan Imam dalam madzhab Maliki dan Huffadl terbesar dari kalangan madzhab Maliki. Dan Abu Bakar bin Al Arabi mencampurkan qaidah pemahaman Asy'riyah ini dengan qaidah yang hampir serupa yang dibikin oleh Abul Ma'ali Imamul Haramain Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al Juwaini yang lahir pada th. 419 H. Dan meninggal dunia pada th. 478 H. Beliau adalah termasuk Imam Asya'irah yang terbesar dan beliau adalah salah seorang gurunya Al Imam Al Ghazali. Dan sebelum Abul Ma'ali ini adalah Al Baqalani yang namanya adalah Muhammad bin At Thayyib dan beliau adalah Qadli negeri Baqalan dan beliau adalah Imam Asya'irah terbesar setelah Al Imam Abul Hasan Al Asy'ari. Beliau lahir pada th. 375 H. Dan meninggal dunia pada th. 403 H. Beliau hidup di Baghdad dan banyak menulis buku bantahan terhadap filsafat dan ilmu Manthiq dan berbagai agama selain Islam. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menambahkan "Para imam ini membikin qaidah-qaidah berfikir dalam memahami agama Al Islam dimana mereka menyangka bahwa apa yang diyakini benar oleh akal mereka itu adalah asal usul kebenaran dan harus dijadikan sandaran untuk menilai kebenaran dan apa yang dibawa oleh para Nabi dari Allah itu harus ditundukkan kepada sangkaan akal fikiran mereka. Maka bila yang dibawa oleh para Nabi itu bila mencocoki teori akal mereka, maka yang demikian itu mereka terima. Dan bila menyelisihi akal mereka, maka mereka tidak akan mengikutinya". Demikian Ibnu Taimiyah menerangkannya. Dimana prinsip utama Asy'riyah ialah bahwa yang paling tinggi kedudukan dalil kebenaran itu adalah akal pikiran dan dalil Al Qur'an dan As Sunnah harus ditundukkan kepada akal pikiran. Bila Al Qur'an dan As Sunnah mencocoki qaidah berfikir mereka, maka keduanya akan diterima dan bila menyelisihi keduanya, maka itu dikatagorikan sebagai dalil yang tidak bisa diterima atau dianggap dalil yang tidak bisa dipahami atau mutasyabihat yang tidak bisa mengerti tentangnya kecuali hanya Allah saja. Oleh sebab itu Abul Hasan Al Asy'ari hanya mau menerima 7 Sifat saja dari sifat-sifat Allah dan berita tentang sifat Allah yang lainnya harus dita'wil kepada makna salah satu dari tujuh sifat itu dalam rangka tanzihullah (mensucikan Allah dari keserupaan dengan makhluqNya). Yaitu : sifat Al Hayah (Hidup), Al Iradah (Berkehendak), Al Kalamu (berbicara), Al Ilmu (Maha Mengetahui), Al Qudrah (Maha Menentukan), As Sam'u (Maha Mendengar), Al Basharu (Maha Melihat). Kemudian kaum Asya'irah menggabungkannya dengan keyakinan Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al Maturidi As Samarqandi (lahir th. 238 H dan meninggal dunia pada tahun 333 H) yang sering disebut aqidah Maturidiyah yang menambahkan sifat-sifat Allah yang digagas oleh logika Maturidiyah : Wujud (Allah itu ada), Qidam (AdaNya terdahulu), Baqa' (AdaNya kekal selama-lamanya), Mukhalafatuhu Lil Hawadits (Dia berbeda dengan segenap makhluq), Qiyamuhu Bi Nafsihi (Dia berdiri sendiri), Wahdaniyat (Dia tunggal tidak berbilang). Sehingga jadilah 13 Sifat bagi Allah. Dan setelah itu agar menjadi genap, diulangi tuju sifat sebelumnya dalam bentuk mubalaghah dan jadilah sifat dua puluh bagi Allah yang diambil dari logika Asy'ariyah - Maturidiyash. Maka bila ada sifat Allah yang diberitakan di dalam Al Qur'an dan As Sunnah, mereka menolak untuk mengartikan secara leterlek. Mereka tundukkan dalil Al Qur'an dan Al Hadits itu kepada logika mereka dengan ta'wil yang bathil dengan alasan untuk tanzihullah. Sehingga mereka mengingkari sifat Uluw bagi Allah (yakni sifat Allah yang memberitakan bahwa Dirinya berada diatas ArsNya dan ArsNya berada di atas lautan yang ada di atas langit ke tujuh). Karena sifat Uluw tersebut tidak ada dalam rangkaian sifat dua puluh yang dihasilkan oleh logika mereka. Maka ayat Al Qur'an yang berbunyi :
الرحمان علي العرش استوي - طه 5.
"Dia yang Maha Pengasih berada diatas ArsyNya". S. Thaha 5.
Mereka tahrif (rubah) makna "ISTAWA" yang asalnya bermakna "DI ATAS", Ditahrif menjadi ISTAWLA (BERKUASA) yakni kepada makna Qudrah. Ta'wil batuk (tahrif) yang demikian mereka lakukan atas semua ayat Al Qur'an dan As Sunnah yang maknanya dianggap menyelisi metodologi Asy'ariyah - Maturidiyah. Mereka mengingkari adanya sifat NUZUL (TURUN) bagi Allah, dan mereka menolak hadis shahih yang memberitakan Turunnya Allah ke langit dunia di sepertiga terakhir setiap malam. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya (hadis ke 758). Bahkan meyakini bahwa Allah turun ke langit dunia di sepertiga terakhir malam itu adalah keyakinan lucu. Karena sifat NUZUL sebagimana diberitakan dalam hadits itu tidak ada dalam sifat dua puluh hasil otak-atik otak mereka. Dan masih banyak lagi sifat-sifat Allah yang akan mereka tolak walaupun telah disebutkan dalam Al Qur'an dan As Sunnah As Shohihah bila sifat itu tidak bisa ditundukkan maknanya kepada salah satu sifat dua puluh itu. Dan yang demikian itu adalah petaka besar atas Tauhid Ummat ini dan menghalangi mereka untuk kenal lebih dekat dengan Allah Ta'ala.
Padahal seandainya mereka menjadikan Al Qur'an dan As Sunnah itu diletakkan sebagai rujukan utama dalam menilai benar atau salahnya segala sesuatu diatas akal mereka, niscaya mereka akan dengan mudah mengimani segala sifat Allah yang diberitakan didalam Al Qur'an dan As Sunnah Shahihah dengan tidak membatasinya pada angka dua puluh atau angka berapa saja. Sebab kesempurnaan sifat-sifat Allah tak terhingga sehingga tidak dapat dibatasi dengan angka tertentu.
Ustadz Ja'far Umar Thalib