Mereka heran kenapa orang Arab Baduwi
bisa mengalahkan pasukan yang sudah terlatih. Lalu muncul gerakan ‘syu’ubiyah’
(nasionalisme, sentimen kebangsaan) Persia. Orang-orang Persia yang baru masuk
Islam dihasut untuk lebih menonjolkan kebangsaannya dari pada keislaman, “Kita
ini Islam, tapi `kan kita orang Persia.” Ketika nasionalisme dikobarkan,
orang-orang Persia ini dalam merealisasikan gerakannya ada dua: kalau tidak ke
Syi’ah, ya ke Khawarij. Contoh gerakan yang mencoba menggunakan nasionalisme
seperti Ibrahim b. Mamsad yang ingin menghidupkan kembali keagungan
Persia.
Institute for the Study of Islamic
Thought and Civilizations (INSISTS) hari Sabtu (06/01/2018) pagi menghelat
acara “Pre-Launching” buku Dr. Syamsudin Arif yang berjudul: “Bukan Sekadar
Madzhab: Oposisi dan Heterodoksi Syi’ah.” Acara yang diselenggarakan dari pukul
10.00-12.00 ini berlangsung hangat dan padat peserta.
Dalam pembukaannya, moderator menjelaskan
bahwa di antara kelebihan buku yang ditulis oleh Peneliti Insists ini adalah:
sumber-sumber yang dijadikan referensi tulisan diambil langsung dari kitab
aslinya, sehingga bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu, pembaca akan
disajikan sumber-sumber otoritatif dari orientalis-orientalis mengenai Syi’ah.
Buku ini pada gilirannya diharapkan menjadi rujukan otoritatif utuh mengenai
Syi’ah.
Buku ini lahir –sebagaimana paparan
penulis dalam pembukaannya- sebenarnya bukan sekadar kajian literatur belaka
(atau bahkan dugaan saja), tapi sebagian besar bersumber dari pengalaman beliau
saat berinteraksi dengan tokoh atau teman yang berideologi Syi’ah. Buku pertama
yang beliau baca mengenai Syi’ah adalah kitab “al-Murâja’ât” karya Sayyid
Abdul Husain Sayarafuddin Al-Musafi, yang diberi oleh orang Syi’ah. Bahkan,
pada tahun 1992 hampir saja beliau berangkat kuliah ke Qom, Iran. Namun
akhirnya tidak jadi.
Setelah memberikan prolog, intelektual
muslim kelahiran Jakarta 19 Agustus 1971 ini memfokuskan bahasan pada tiga poin
penting: hakikat, klasifikasi dan ideologi Syi’ah. Menurut beliau, kebanyakan
orang Indonesia mengerti Syi’ah pasca revolusi Iran, yang dipimpin oleh
Ayatullah Khomeini (1979). Peristiwa ini membuat orang kagum dan penasaran bahkan ada cendikiawan
Indonesia tertarik dengannya sehingga terdorong untuk mempelajari Syi’ah.
Namun, hakikat Syi’ah sesungguhnya, masih belum banyak yang menyadari dan
mendalami.
Sebelum ditaklukkan Islam, Persia dikenal
sebagai peradaban yang agung. Kebesaran peradaban ini sudah banyak dicatat
dalam literatur sejarah. Kemegahan ini, di zaman Abu Bakar dan selanjutnya
(Umar dan seterusnya), lambat laun jatuh bahkan lenyap akibat gencarnya gerakan
ekspedisi ‘futuhat’ ke wilayah kerajaan Persia. Waktu Iraq-Iran masuk
kawasan Persia.
Menariknya, pada waktu itu pasukan muslim
cuma infantri dan kavaleri berkuda sedangkan tentara Persia memakai gajah. Karena
itu mereka heran kenapa orang Arab Baduwi bisa mengalahkan pasukan yang sudah
terlatih. Kepongahan Kisra Yazdegird III yang pernah merobek-robek surat
Rasulullah pada tahun ketujuh, pada akhirnya membawa kehancuran peradaban
Persia.
Sesudah penaklukan Persia, menurut
catatan Ustadz alumni Ponpes Darus Salam Gontor ini di wilayah Persia terjadi
konversi masal. Tentara dan penduduk Persia berbondong-bondong masuk Islam.
Selama terjadi konversi terjadi hal penting: muncul gerakan ‘syu’ubiyah’
(nasionalisme, sentimen kebangsaan) Persia. Ada usaha untuk memutus kesadaran
keumatan. Gerakan syu’ubiyah ini juga dikembangkan di Mesir dan Turki. Sisi
Islamnya dikesampingkan, sedangkan sisi kebangsaan diangkat dan ditonjolkan.
Jika meminjam bahasa M. Natsir adalah nativisme.
Kemudian, terjadi krisis identitas.
Orang-orang Persia yang baru masuk Islam dihasut untuk lebih menonjolkan
kebangsaannya dari pada keislaman. Sebagai contoh misalnya ungkapan, “Kita ini
Islam, tapi `kan kita orang Persia.” Jadi, masyarakat difokuskan pada masalah
nasionalisme. Rupanya, cara-cara demikian juga terpakai di negara-negara
muslim. Di Indonesia sendiri ada istilah “Islam Nusantara”. Ada juga ungkapan,
‘Saya orang Islam Nusantara (Indonesia), bukan Islam Arab.” Seolah-olah antara
nasionalisme dan keislaman berbenturan.
Ketika nasionalisme dikobarkan,
orang-orang Persia ini dalam merealisasikan gerakannya dengan cara menempel
pada gerakan pemberontakan. Pilihannya ada dua: kalau tidak ke Syi’ah, ya ke Khawarij.
Contoh gerakan yang mencoba menggunakan nasionalisme seperti Ibrahim b.
Mamsad yang ingin menghidupkan kembali keagungan Persia.
Membicarakan tentang Syi’ah, sebagaimana
paparan Syamsuddin Arif, tidak bisa lepas dari legenda Shahr Banu. Putri
Yazdegerd III ini dinikahkan dengan Sayyidina Husain bin Sayyidina Ali bin Abi
Thalib. Sedangkan putri lainnya, Izdundad dinikahkan Khalifah Umar kepada
Bustenai bin Hunainai (orang Yahudi),
seorang pejabat di Resh Galuta. Sedangkan putera Raja Persia terakhir
sempat menyelamatkan diri ke wiayah China. Akhirnya konon menikah
dengan salah seorang puteri raja
China.
Dari legenda ini, tidak mengherankan jika
Syi’ah dalam sejarah lebih memilih garis keturunan Husain daripada Hasan,
apalagi anak Ali yang lain. Di samping itu, mereka juga dekat dengan orang
Yahudi karena Izdundad dinikahi oleh orang Yahudi. Dengan demikian, tidak
berlebihan jika dikatakan: Syi’ah adalah perkawinan antara Islam dan Iran
(Persia).
Selain itu, yang cukup ironis adalah
Syiah mereduksi agama Islam menjadi Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Sehingga,
anak Ali yang bernama Muhammad bin Hanafiyah misalnya, tidak dimasukkan dalam
Ahli Bait. Lebih dari itu, bagi orang Syi’ah, jika tidak mendukung ideologi
mereka, maka tidak dianggap Islam. Dalam Syi’ah juga ada beberapa ritual yang
bernama: Ta’ziyeh, Aza-e Husayn, Nakhl Gardani dan ritual lainnya.
Setelah membincang sedikit tentang
perjalanan sejarah, Dr. Syams mengatakan, “Inti dari Syi’ah adalah imamologi.”
Yang menjadi pertanyaan: anak Ali bukan hanya Hasan dan Husain. Ada lagi
Muhammad bin Hanafiyah, mengapa sekarang tidak dimasukkan sebagai Ahli Bait?
Mengapa dalam dua belas imam dia tidak dicantumkan? Yang dimasukkan cuma jalur
Husain, bukan Hasan? Jawabannya jelas, karena Husain nikah dengan puteri Raja
Persia. Dengan bahasa lain, ada hubungan ‘mushahara’ (pertalian perkawinan)
antara anak bangsawan Qurays (Husain) dengan bangsawan Persia (Shahr Banu).
Agar tidak salah dalam memahami Syi’ah,
Dr. Syams menyebutkan pembagian Syi’ah, yaitu: terminologis (Syiah sebagai
istilah secara bahasa semacam fans atau penggemar), politis (sudah mendukung
seperti Abdullah bin Abbas yang mendukung Ali pada perang Shiffin) dan
ideologis (yang terbagi tiga Tafdhil [mengutamakan] , Rafd [menolak] dan Ghuluw
[ekstrem] ).
Klasifikasi lain yang disampaikan beliau
terkait pembagian Syi’ah adalah sebagai berikut: Rafidhah (Yang terbagi
menjadi: Zaidiyah, Imamiyah, Kasyaniyah). Imamiyah sendiri terbagi menjadi dua
yaitu: Ismailiyah-Itsna ‘Asyariyah. Dalam Syi’ah Imamiyah juga ada
pembagian berikut: Tafdili (pengutamaan), Taqdisi (pengkultusan), dan Takfiri
(pengkafiran).
Setelah menyampaikan beberapa bagian
Syi’ah, ustadz yang pernah mengabdi di Pesantren Majlis Qurra’ wa Al Huffaz
Sulawesi ini mempertanyakan, “Syiah sekarang ‘ghuluw’ (berlebihan) apa tidak?”
Menurut penelitian beliau, Syi’ah yang ada sekarang bukan saja ‘tafdhil’ dan
‘rafd’ tapi juga ‘ghuluww’. Bukan sekadar mengutamakan, melaknat tapi juga
sampai pada taraf mengafirkan.
Setelah itu, cendekiawan yang judul
disertasinya “Ibn Sina’s Cosmology: A Study of the Appropriation of Greek
Philosophical Ideas in 11th Century Islam” ini, juga mengajukan pertanyaan
menarik: “Sejak kapan orang Iran menjadi Syi’ah? Paadahal, sebelumnya, Imam
Bukhari, Muslim, Tirmidzi dll adalah orang Iran tapi mereka bukan Syi’ah.
Jawabannya adalah sejak berdirinya Dinasti Shafawiyah.
Di akhir acara, salah satu pertanyaan
menarik dari audiens adalah: “Syiah di Indonesia masuk pada bagian yang mana?”
Menurut Cendekiawan Muda yang pernah menimba ilmu di ISTAC ini, Syi’ah di
Indonesia bukan saja tafdhili, rafad, tapi juga ghuluw (ekstrim) bahkan
takfiri, tapi masih dibungkus supaya tidak kelihatan.” Dari kajian ini, semoga
pembaca lebih memperdalam kajian tentang Syi’ah. Buku teranyar Dr. Syams ini
bisa manjadi referensi memadai insya Allah.(Mahmud B Setiawan)