Tauhid Dibagi menjadi 3 (tiga) Bagian, Mana dalilnya? Bid'ahkah ? Sesatkah ? ( Bagian 1 )
Tauhid Dibagi menjadi 3 (tiga) Bagian,
Mana dalilnya? Bid'ahkah ? Sesatkah ? ( Bagian 2 )
Tauhid Itu Mengesakan Alloh yang Satu,
Kok Dibagi Tiga? [Dalil-dalil & Alasan Pembagian Tauhid, Asal-Usul
Pembagian Tauhid, Akibat Tidak Mau Membagi Tauhid Menjadi 3]
Pembagian Tauhid Menurut Ahlus-Sunnah
wal-Jama'ah
Bantahan Ilmiyyah (Dengan Dalil Shahih Dan Sharih) Komprehensif Untuk Habib
Rizeq Terkait Tuduhan Tajsim Dan Mujasimah Serta Trilogi Tauhid Kepada Salafi.
Silahkan Kaji Dengan Jujur (Tanpa Vested Interested) Dan Bawa Keranah MUI. Demi
Allah, Al-Haq Sangat Terang Benderang.
http://lamurkha.blogspot.co.id/2016/09/sanggahan-ilmiyyah-dengan-dalil-shahih.html
http://lamurkha.blogspot.co.id/2016/09/sanggahan-ilmiyyah-dengan-dalil-shahih.html
Tauhid Itu Mengesakan Alloh yang Satu,
Kok Dibagi Tiga?
Mengapa Tauhid Dibagi Tiga
Penulis: Asy-Syaikh Abdurrozzaq bin Abdul
Muhsin Al-Abbad
Penjelasan Makna Tauhid RUBUBIYYAH
Disertai Dengan Dalil-Dalilnya
Tauhid Rububiyah Mengharuskan Adanya
Tauhid Uluhiyah
Tauhid Dibagi Tiga,. Itu
Kan Bidah..?
Sebenarnya simpel saja,.
Jika kita hidup di jaman Rasulullah, maka
ga perlu pembagian yang seperti itu,. karena Rasulullah menjelaskan makna
tauhid dengan sangat jelas,.
Kaum muslimin sekarang,. banyak yang
tidak paham makna tauhid dengan benar,.
Padahal sudah dijelaskan, bahkan
pembagian menjadi tiga itu dalam rangka menjelaskan, biar memudahkan,.
Sudah dibagi tiga seperti itu saja, masih
banyak yang belum paham,.
Ibarat tulisan Alquran, sudah diberi
harakat saja banyak yang belum bisa baca alquran, apalagi jika tulisan alquran
tidak diharakati,..
Jadi pertanyaan kenapa tauhid dibagi tiga
itu bukan bidah,..
itu hanya alasan yang dicari-cari oleh
para pembenci dakwah manhaj salaf,.
Agar mereka terus bisa eksis melakukan
amalan-amalan yang tidak ada sumbernya dari Rasulullah,.
Pembagian Tauhid Menjadi Tiga Merupakan
Metoda Agar Kaum Muslimin Mudah Memahami Makna Tauhid, Apalagi Kita Hidup Jauh
Dari Jaman Rasulullah,
Jawaban Seputar Bid’ahnya Pembagian
Tauhid Menjadi Tigakenapa tauhid dibagi tiga
Para Pembenci dakwah tauhid menebarkan
tuduhan bahwa pembagian tauhid menjadi Tauhid Rubbubiyah, Tauhid Uluhiyah dan
Tauhid Asma’ wa sifat adalah bid’ah.
Mereka hanya ingin menjauhkan umat dari dakwah tauhid. mereka tidak
sadar atau pura-pura tidak tahu bahwa sesungguhnya merekapun mengakui adanya 3
tauhid ini.
Kita katakan :
1. Apakah anda mengakui bahwa Allahlah
satu-satunya yang Menciptakan, yang memberi rizqi, yang mengatur alam ini ? Jika
ya, maka anda telah mentauhidkan Rubbubiyah Allah.
2. Apakah anda meyakini bahwa hanya Allah
lah yang berhak untuk diibadahi? jika ya, maka anda telah mengakui Tauhid
ulluhiyah, yaitu mentauhidkan Allah dlm ibadah.
3. Apakah anda meyakini bahwa Allah mempunyai
Nama dan sifat Yang Maha Sempurna dan Maha Agung ? jika ya, maka anda telah
mengakui Tauhid ‘Asma wa sifat.
Namun jika anda tidak mengimani satu saja
dari ketiga tauhid tsb diatas, maka anda telah rusak tauhidnya, naudzubillah.
Maka dari jalan manakah kita menolak
ketiga tauhid ini ??
Kita katakan : banyak pembagian istilah
dalam Islam oleh para ulama yang tujuannya untuk memperjelas agar umat islam
lebih mudah memahami.
Sebagai contoh :
pembagian hukum : Wajib, sunnah, mubah,
makruh, haram
Istilah nama-nama shalat : shalat
tarawaih, tahiyatul masjid, sukrul wudhu’ dsb..
syarat wajib, syarat sah, dan rukun.
Jenis-jenis najis : mukhafafah,
mutawasithah, mugholadhoh.
dsb..
Yang lebih aneh bin ajaib, mereka yg
menolak pembagian tauhid ini -padahal itu diambil dari ayat Al-Qur’an- , mereka
malah membela pembagian / istilah yang sama sekali tidak dikenal,
Seperti sifat 20. dari mana mereka
membatasi sifat Allah hanya 20 saja ?!!
Contoh lain, Pembagian bid’ah menjadi
bid’ah hasanah dan sayyiah – yang sejatinya, mereka membela pembagian ini hanya
untuk melegalkan perbuatan bid’ah mereka, tidak seperti apa yang dimaui oleh
ulama yang mengatakan bid’ah hasanah. dengan memanfaatkan istilah bid’ah
hasanah, Semua ritual yg mereka ada-adakan mereka masukkan ke dalam bid’ah
hasanah.
Contoh yang lain, membagi ilmu agama ini
menjadi : syariat, hakikat dan ma’rifat. atau dibagi menjadi 2 : kulit dan isi.
ini semua pembagian batil yang tidak saja tanpa dalil yang shohih tapi juga
menyelisihi pemahaman salafussholih.
Berikut penjelasan lengkap tentang
pembagian tauhid :
Tauhid terbagi menjadi 3 ( Tauhid
rububiyyah, uluhiyyah, dan Asma’ wa sifat ) berdasarkan istiqra’ ( penelitian
menyeluruh ) terhadap dalil-dalil yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah,
sebagaimana ulama nahwu membagi kalimat di dalam bahasa arab menjadi 3 : Isim,
fi’il, dan huruf, berdasarkan penelitian menyeluruh terhadap kalimat-kalimat
yang ada di dalam bahasa arab.
Betapa tepatnya perkataan Syaikh Bakr Abu
Zaid dalam risalahnya “At-Tahdzir” halaman 30 berkisar pembagian tauhid. Kata
beliau : “Pembagian ini adalah hasil istiqra (telaah) para ulama Salaf
terdahulu seperti yang diisyaratakan oleh Ibnu Mandah dan Ibnu Jarir
Ath-Thabari serta yang lainnya. Hal ini pun diakui oleh Ibnul Qayim.
Begitu pula Syaikh Zabidi dalam “Taaj
Al-Aruus” dan Syaikh Syanqithi dalam “Adhwa Al-Bayaan” dan yang lainnya. Semoga
Allah merahmati semuanya( Lihat Kitab At-Tahdzir min Mukhtasharat Muhammad
Ash-Shabuny fii At-Tafsir karangan Syeikh Bakr Abu Zaid hal: 30, cet. Darur
Rayah- Riyadh ) .
BENARKAH PEMBAGIAN TAUHID INI TIDAK
DIKENAL ULAMA SALAF ?
Kami sebutkan disini diantara ulama-ulama
yang menyebutkan pembagian ini baik secara jelas maupun dengan isyarat.
Berkata Syaikh Al-Baijuri dalam “Syarh
Jauharah At-Tauhid” halaman 97. Firman Allah ; ‘Alhamdulillahir rabbil
‘alamiin’, mengisyaratkan pada pengakuan ‘Tauhid Rububiyah, yang konsekwensinya
adalah pengakuan terhadap Tauhid Uluhiyah.
Adapun konsekwensi Tauhid Uluhiyah adalah
terlaksananya Ubudiyah. Hal ini menjadi kewajiban pertama bagi seorang hamba
untuk mengenal Allah Yang Maha Suci. Kata beliau selanjutnya : “Kebanyakan
surat-surat Al-Qur’an dan ayat-ayatnya mengandung macam-macam tauhid ini,
bahkan Al-Qur’an dari awal hingga akhir menerangkan dan mengejawantahkan
(menjelaskan).
Kemudian berkata Imam Ibnu Athiyah (wafat
; 546H) dalam kitabnya Al-Muharrar Al-Wajiiz, juz I, hal.75. Firman-Nya :
‘Iyaaka Na’budu’ adalah ucapan seorang yang beriman kepada-Nya yang menunjukkan
pengakuan terhadap ke-rububiyah-an Allah, mengingat kebanyakan manusia
beribadah kepada selain-Nya yang berupa berhala-berhala dan lain sebagainya”.
1. Imam Abu Ja’far Ath-Thahawy ( wafat
th. 321 ) , di dalam muqaddimah kitab beliau Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah .
Beliau berkata :
نقول في توحيد الله معتقدين بتوفيق الله إن الله
واحد لا شريك له ، و لا شيء مثله ، و لا شيء يعجزه ، و لا إله غيره
Artinya: Kami mengatakan di dalam
pengesaan kepada Allah dengan meyakini : bahwa Allah satu tidak ada sekutu
bagiNya, tidak ada yang serupa denganNya, tidak ada yang melemahkanNya, dan
tidak ada tuhan yang berhak disembah selainNya.
Perkataan beliau ” tidak ada yang serupa
denganNya ” : ini termasuk tauhid Asma’ dan Sifat .
Perkataan beliau ” tidak ada yang
melemahkanNya ” : ini termasuk tauhid Rububiyyah.
Perkataan beliau ” dan tidak ada tuhan
yang berhak disembah selainNya.” : ini termasuk tauhid Uluhiyyah.
2. Ibnu Abi Zaid Al-Qairawany Al-Maliky (
wafat th. 386 H ) , di dalam muqaddimah kitab beliau Ar-Risalah Al-Fiqhiyyah
hal. 75 ( cet. Darul Gharb Al-Islamy ) . Beliau mengatakan :
من ذلك : الإيمان بالقلب و النطق باللسان بأن
الله إله واحد لا إله غيره ، و لا شبيه له و لا نظير، … ، خالقا لكل شيء ، ألا هو
رب العباد و رب أعمالهم والمقدر لحركاتهم و آجالهم .
Artinya : Termasuk diantaranya adalah
beriman dengan hati dan mengucapkan dengan lisan bahwasanya Allah adalah
sesembahan yang satu, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, tidak
ada yang serupa denganNya dan tidak ada tandinganNya…Pencipta segala sesuatu,
ketahuilah bahwa Dia adalah pencipta hamba-hambaNya dan pencipta amalan-amalan
mereka, dan yang menakdirkan gerakan-gerakan mereka dan ajal-ajal mereka .
Perkataan beliau ” sesembahan yang satu,
tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia ” : ini termasuk tauhid
Uluhiyyah .
Perkataan beliau ” tidak ada yang serupa
denganNya dan tidak ada tandinganNya ” : ini termasuk tauhid Asma’ wa Sifat.
Perkataan beliau ” Pencipta segala
sesuatu, ketahuilah bahwa Dia adalah pencipta hamba-hambaNya dan pencipta
amalan-amalan mereka, dan yang menakdirkan gerakan-gerakan mereka dan ajal-ajal
mereka ” : ini termasuk tauhid Rubiyyah.
3. Ibnu Baththah Al-’Akbary ( wafat th.
387 H ), di dalam kitab beliau Al-Ibanah ‘an Syariatil Firqatin Najiyyah wa
Mujanabatil Firaq Al-Madzmumah ( 5 / 475 )
وذلك أن أصل الإيمان بالله الذي يجب على الخلق
اعتقاده في إثبات الإيمان به ثلاثة أشياء : أحدها : أن يعتقد العبد ربانيته ليكون
بذلك مباينا لمذهب أهل التعطيل الذين لا يثبتون صانعا . الثاني : أن يعتقد
وحدانيته ، ليكون مباينا بذلك مذاهب أهل الشرك الذين أقروا بالصانع وأشركوا معه في
العبادة غيره . والثالث : أن يعتقده موصوفا بالصفات التي لا يجوز إلا أن يكون
موصوفا بها من العلم والقدرة والحكمة وسائر ما وصف به نفسه في كتابه
Artinya : Dan yang demikian itu karena
pokok keimanan kepada Allah yang wajib atas para makhluk untuk meyakininya di
dalam menetapkan keimanan kepadaNya ada 3 perkara :
Pertama : Hendaklah seorang hamba
meyakini rabbaniyyah Allah ( kekuasaan Allah ) supaya dia membedakan diri dari
jalan orang-orang atheisme yang mereka tidak menetapkan adanya pencipta.
Kedua : Hendaklah meyakini wahdaniyyah
Allah ( keesaan Allah dalam peribadatan ) supaya dia membedakan diri dari jalan
orang-orang musyrik yang mereka mengakui adanya pencipta alam kemudian mereka
menyekutukanNya dengan selainNya.
Ketiga : Hendaklah meyakini bahwasanya
Dia bersifat dengan sifat-sifat yang memang harus Dia miliki, seperti ilmu,
qudrah ( kekuasaan ), hikmah ( kebijaksanaan ) , dan sifat-sifat yang lain yang
Dia tetapkan di dalam kitabNya.
4. Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid
Ath-Thurthusyi ( wafat th. 520 H ), di dalam muqaddimah kitab beliau Sirajul
Muluk ( 1 / 1 ) , beliau berkata :
وأشهد له بالربوبية والوحدانية. وبما شهد به
لنفسه من الأسماء الحسنى. والصفات العلى. والنعت الأوفى
Artinya : Dan aku bersaksi atas
rububiyyahNya dan uluhiyyahNya, dan atas apa-apa yang Dia bersaksi atasnya
untuk dirinya berupa nama-nama yang paling baik dan sifat-sifat yang tinggi dan
sempurna.
5. Al-Qurthuby ( wafat th. 671 H ) , di
dalam tafsir beliau (1/ 102) , beliau berkata ketika menafsirkan lafdzul
jalalah ( الله) di dalam Al-Fatihah:
فالله اسم للموجود الحق الجامع لصفات الإلهية،
المنعوت بنعوت الربوبية، المنفرد بالوجود الحقيقي، لا إله إلا هو سبحانه.
Artinya : Maka ( الله ) adalah nama untuk
sesuatu yang benar-benar ada, yang mengumpulkan sifat-sifat ilahiyyah (
sifat-sifat sesuatu yang berhak disembah ) , yang bersifat dengan sifat-sifat
rububiyyah ( sifat-sifat sesuatu yang berkuasa ) , yang sendiri dengan
keberadaan yang sebenarnya, tidak ada sesembahan yang berhak disembah
selainNya.
6. Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy
( wafat th. 1393 H ) di dalam Adhwaul Bayan (3 / 111-112), ketika menafsirkan
ayat:
)إِنَّ
هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ
الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْراً كَبِيراً) (الاسراء:9)
7. Syeikh Abdul Aziz bin Abdillah bin
Baz, diantaranya dalam kitab beliau Kaifa Nuhaqqiqu At-Tauhid ( hal. 18-28 ) .
8. Syeikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin,
diantaranya dalam Fatawa Arkanil Islam ( hal. 9-17 )
9. Syeikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-’Abbad
Al-Badr ( pengajar di Masjid Nabawy ), diantaranya dalam muqaddimah ta’liq
beliau terhadap kitab Tathhir ul I’tiqad ‘an Adranil Ilhad karangan Ash-Shan’any
dan kitab Syarhush Shudur fi Tahrim Raf’il Qubur karangan Asy-Syaukany (hal .
12-20.)
10 Syeikh Abdul Aziz Ar-Rasyid, di dalam
kitab beliau At-Tanbihat As-Saniyyah ‘ala Al-Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 14) .
11. Syeikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin
Al-Badr, di dalam kitab beliau Al-Mukhtashar Al-Mufid fi Bayani Dalaili Aqsamit
Tauhid. Kitab ini adalah bantahan atas orang yang mengingkari pembagian tauhid.
12. Dan lain-lain.
Jadi pembagian tauhid menjadi tiga
tersebut adalah pembagian secara ilmu dan merupakan hasil tela’ah seperti yang
dikenal dalam kaidah keilmuan. Barangsiapa yang mengingkarinya berarti tidak
ber-tafaquh terhadap Kitab Allah, tidak mengetahui kedudukan Allah, mengetahui
sebagian dan tidak mengetahui sebagian yang lainnya. Allah pemberi petunjuk ke
jalan nan lurus kepada siapa yang Dia kehendaki.
DALIL-DALIL TENTANG MACAM-MACAM TAUHID :
Sesungguhnya pembagian tauhid menjadi
tiga ini, dikandung dalam banyak surat di dalam Al-Qur’an Al-Karim. Yang paling
tampak serta paling jelas adalah dalam dua surat, yaitu Al-Fatihah dan An-Naas,
dimana keduanya adalah pembuka dan penutup Al-qur’an.
‘Alhamdulillahir rabbil ‘alamiin’, :
mengandung pengukuhan akan ke-rububiyah-an Allah Jalla wa Alaa terhadap seluruh
makhluk-Nya,
‘Ar-Rahmanir Rahiim Maliki Yaumid Diin’
di disini mengandung pengukuhan terhadap sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi dan
nama-nama-Nya Yang Maha Mulia,
‘Iyaaka Na’budu Wa Iyaaka Nasta’iin’ : di
sana mengandung pengukuhan ke-ubudiyah-an seluruh makhluk kepada-Nya dan
ke-uluhiyah-an Allah atas mereka.
Demikian didalam surat An-Naas :
Artinya :
“Katakanlah : “Aku berlindung kepada Rabb
manusia”
“Raja Manusia”
“Sembahan manusia”
Kesemuanya memberikan penjelasan tentang
Tauhid Rubbubiyah, ulluhiyah dan tauhid Asma’ wa sifat.
Berikut dalil-dalil lain tentang 3 tauhid
tsb :
Tauhid Rububiyyah
Tauhid Rububiyyah adalah : Suatu
keyakinan yang pasti bahwa Allah subhaanahu wa ta’ala satu-satunya pencipta,
pemberi rizki, menghidupkan dan mematikan, serta mengatur semua urusan makhluk-makhluk-Nya
tanpa ada sekutu bagi-Nya.
Dalil-dalil yang menunjukkan Tauhid
Rububiyyah ini diantaranya firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
”Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta
alam” [QS. Al-Fatihah : 2].
Juga firman-Nya :
أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ
رَبُّ الْعَالَمِينَ
”Ingatlah, menciptakan dan memerintah
hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam” [QS. Al-A’raf : 54].
Dalam ayat di atas Allah menjelaskan
kepada hamba-Nya bahwa Dia-lah satu-satunya pencipta dan pemilik seluruh alam
semesta ini serta Dia pulalah yang mengaturnya secara mutlak, tidak ada
pengecualian (yang luput) dari-Nya sesuatupun.
Di samping dua ayat di atas, Allah juga
menjelaskan tentang Rububiyyah-Nya dengan firman-Nya :
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ قُلِ
اللَّهُ
Katakanlah: “Siapakah Tuhan langit dan
bumi?” Jawabnya: “Allah.” [QS. Ar-Ra’d : 16].
Dan juga firman-Nya :
قُلْ لِمَنِ الأرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ * سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَذَكَّرُونَ * قُلْ مَنْ رَبُّ
السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ * سَيَقُولُونَ لِلَّهِ
قُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ * قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ
يُجِيرُ وَلا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ * سَيَقُولُونَ لِلَّهِ
قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ
Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini,
dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?”. Mereka akan menjawab:
“Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?”. Katakanlah:
“Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?”.
Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak
bertakwa?”. Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas
segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi
dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?”. Mereka akan menjawab: “Kepunyaan
Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?”
[QS. Al-Mukminun : 84-89].
Dari pengertian ayat di atas, tiada keraguan
bagi orang yang berakal tentang rububiyyah Allah bahwa Dia-lah satu-satunya
Dzat yang mampu menciptakan langit dan bumi, memberi rizki, menghidupkan dan
mematikan. Demikian pula pengakuan mereka (orang-orang Quraisy) ketika ditanya
tentang siapa pencipta langit dan bumi ? Dan siapa Rabb langit dan bumi ?
Mereka akan mengatakan : ”Allah”.
Sebagaimana firman Allah :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
”Dan jika kamu bertanya kepada mereka :
Siapakah yang menciptakan tujuh langit dan bumi. Pasti mereka akan mengatakan :
Allah” [QS. Luqman : 25].
Juga firman-Nya :
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ
الْعَرْشِ الْعَظِيمِ * سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ
Katakanlah : ”Siapakah Rabb langit yang
tujuh dan ’Arsy yang besar ?”. Pasti mereka akan mengatakan : ”Allah”.
Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” [QS. Al-Mukminun : 86-87].
Allah banyak menyebutkan dalam Al-Qur’an
pengakuan orang-orang kafir Quraisy terhadap rububiyyah Allah, akan tetapi
dengan pengakuan tersebut mereka tetap menyekutukan Allah dengan yang lainnya.
Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Uluhiyyah adalah : Pengesaan Allah
subhaanahu wa ta’ala dalam hal ibadah dengan penuh ketaatan dan rendah diri
serta cinta pada setiap peribadatan tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun.
Dalil tentang Tauhid Uluhiyyah di
antaranya adalah firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
”Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta
alam” [QS. Al-Fatihah : 2].
Lafadh Allah maknanya adalah Al-Ma’luh
(yang disembah) dan Al-Ma’bud (Yang diibadahi). Dan juga
firman Allah :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
”Hanya kepada Engkaulah kami menyembah
dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan” [QS. Al-Fatihah : 5].
Kemudian juga firman-Nya :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ
الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
”Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang
telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” [QS.
Al-Baqarah : 21].
Juga firman-Nya :
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ * أَلا لِلَّهِ الدِّينُ
الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ
إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
”Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu
Kitab (Al Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang
bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah
(berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan
kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” [QS. Az-Zumar : 2-3].
Dan firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus” [QS. Al-Bayyinah : 5].
Ayat-ayat di atas menjelaskan kepada kita
agar kita mengesakan Allah dalam beribadah. Oleh sebab itu dilarang menyembah
selain Allah baik dia seorang Nabi, wali, raja, atau malaikat sekalipun.
Yang dimaksud dengan ibadah adalah segala
aktifitas kehidupan yang Allah ridlai dan Allah cintai baik berupa perkataan
atau perbuatan yang lahir maupun yang batin. Ibadah dibangun di atas tiga hal
yang sangat besar dan sangat penting pengaruhnya dalam perjalanan ibadah
seseorang, yaitu : cinta (mahabbah), takut (khauf), dan harapan (raja’).
Cinta kepada Allah dalam beribadah akan
membuahkan keikhlasan, takut kepada Allah akan membawa seseorang untuk menjauhi
segala larangan Allah subhaanahu wa ta’ala dan membimbingnya untuk selalu taat
kepadanya. Sedangkan pengharapan akan membangkitkan semangat dalam menjalankan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya untuk mendapatkan janji-janji Allah
subhaanahu wa ta’ala.
Kalau ketiga penggerak hati tersebut
sudah tumbuh dengan kuat di hari seorang hamba, maka akan mudah baginya untuk
mendapatkan ridla dan cinta Allah subhaanahu wa ta’ala.
Dengan kata lain kalau seseorang masih
berbuat maksiat atau suatu hal yang tidak dicintai dan diridlai Allah berarti
kecintaannya dan ketakutannya terhadap Allah sangat rendah, bahkan dapat
dikatakan orang tersebut tidak mengharapkan atau tidak percaya terhadap
janji-janji Allah dan meremehkan ancaman-ancaman Allah subhaanahu wa ta’ala.
Na’uudzu billahi min-dzaalik.
Dari dalil-dalil dan keterangan di atas
dapat diketahui bahwa tauhid ibadah (uluhiyyah) adalah hakekat makna Laa ilaaha
illallaah yang mengandung nafi (peniadaan) dan itsbat (penetapan). Makna nafi
adalah meniadakan segala macam peribadatan kepada selain Allah bagaimanapun
bentuk dan macamnya, atau peniadaan segala macam bentuk ketuhanan. Sedangkan
makna itsbat adalah menetapkan ke-Esa-an Allah dalam beribadah dengan berbagai
bentuk ibadah yang sesuai dengan tuntunan syari’at Islamiyyah yang telah
disampaikan oleh Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam dan penetapan bahwa
tidak ada ilah yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah saja.
Dua kandungan di atas – yaitu nafi dan
itsbat – tidak boleh dipisahkan dan harus dipahami dan diambil keduanya. Karena
kalau diambil salah satu saja, tidaklah seseorang dikatakan muslim. Misalnya,
seseorang yang mengambil nafi saja tanpa itsbat, berarti dia seorang komunis
karena dia meniadakan segala macam bentuk ketuhanan tanpa menetapkan ketuhanan
bagi Allah.
Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang
hanya mengambil itsbat saja tanpa nafi, dia juga bukan seorang muslim. Bahkan
dia seorang kafir karena disamping menetapkan Allah sebagai ilah, ia juga
menetapkan selain Allah sebagai ilah. Penyebabnya adalah karena dia tidak
mengingkari tuhan-tuhan selain Allah sebagaimana orang-orang kafir Quraisy yang
disamping mengakui Allah sebagai Rabb alam semesta, juga mengakui adanya
sesembahan selain Allah seperti Latta, ’Uzza, dan lain-lain. Dengan perbuatan
mereka ini, Allah dan Rasul-Nya menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang
kafir.
Oleh sebab itu tidaklah cukup seseorang
mengambil nafi saja tanpa itsbat, begitu pula itsbat saja tanpa nafi. Kalau
seseorang mengakui dirinya seorang muslim, maka wajib baginya untuk mengambil,
meyakini, dan mengamalkan keduanya secara bersamaan tanpa memisah-misahkannya
dalam rangka membenarkan persaksian (syahadat) Laa ilaaha illallaah (tiada Rabb
yang berhak untuk diibadahi dengan benar kecuali Allah).
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan
keesaan Allah dalam uluhiyyah-Nya adalah firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ
إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun
sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan
(yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” [QS.
Al-Anbiyaa’ : 25].
Juga firman-Nya :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا
أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan
jauhilah Thaghut (= segala sesuatu yang diibadahi selain Allah dan dia ridla
dengan peribadatannya tersebut)” [QS. An-Nahl : 36].
Juga firman-Nya :
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ
وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ
الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para
malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak
ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana” [QS. Ali-’Imran : 18].
Ayat-ayat di atas adalah dalil yang
sangat jelas akan keesaan Allah dalam hal uluhiyyah-Nya.
Kerancuan (syubhat) yang biasa
dilontarkan oleh sebagian manusia adalah pernyataan mereka : ”Bagaimana kamu
menyatakan tidak ada Rabb (Tuhan) selain Allah sedangkan Allah sendiri
menyatakan keberadaan tuhan-tuhan selain-Nya ? sebagaimana firman-Nya :
وَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ
”Janganlah kamu sembah di samping
(menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain” [QS. Al-Qashash : 88].
Juga firman-Nya :
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا
بُرْهَانَ لَهُ
”Dan barang siapa menyembah tuhan yang
lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu”
[QS. Al-Mukminun : 117].
Juga firman-Nya :
فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي
يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
”Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit
pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah” [QS. Huud :
101].
Jawaban atas kerancuan tersebut :
Pertama, yang perlu diketahui bahwa
ketuhanan selain Allah adalah ketuhanan yang bathil atau tidak hak (benar),
walaupun tuhan-tuhan tersebut diibadahi atau disembah oleh orang-orang yang
bodoh dan sesat. Sesungguhnya tuhan-tuhan tersebut adalah sesuatu yang tidak
pantas untuk diibadahi sebagaimana firman-Nya :
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ
مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ
”Demikianlah, karena sesungguhnya Allah,
Dia-lah yang hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah
itulah yang batil” [QS. Luqman : 30].
Kedua, sebutan tuhan bagi tuhan-tuhan
selain Allah adalah sekedar penamaan saja sebagaimana firman-Nya subhaanahu wa
ta’ala :
إِنْ هِيَ إِلا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا
أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
”Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang
kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu
keterangan pun untuk (menyembah) nya” [QS. An-Najm : 23].
Dua macam tauhid di atas (Tauhid
Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah) tidak ada yang menentangnya dan tidak ada pula
yang mengingkarinya dari kalangan ahli kiblat yang menyandarkan diri kepada
Islam, kecuali orang yang berlebih-lebihan dari kalangan Syi’ah Rafidlah.
Mereka menyatakan bahwa ’Ali bin Abi
Thalib adalah tuhan sebagaimana yang dilakukan oleh ’Abdullah bin Saba’
(pemimpin Syi’ah yang pertama) yang datang kepada ’Ali bin Abi Thalib dan
berkata kepadanya : ”Kamu (wahai ’Ali) adalah Allah yang sebenarnya”. Akan
tetapi ’Abdullah bin Saba’ adalah Yahudi yang berpura-pura masuk Islam. Dengan
pengakuan ingin melindungi keluarga Rasulullah, dia berusaha menghancurkan
Islam dari dalam. Perbuatan ’Abdullah bin Saba’ ini diingkari oleh ’Ali bin Abi
Thalib dan beliau tidak ridla kepada siapa saja yang menempatkan dirinya lebih
dari semestinya.
Karena beliau juga seorang hamba Allah,
bahkan di atas mimbar Kuffah beliau berkata : ”Sebaik-baik umat setelah
Nabi-Nya (shallallaahu ’alahi wa sallam) adalah Abu Bakar, kemudian ’Umar”.
’Ali juga memerintahkan untuk membakar ’Abdullah bin Saba’ dan
pengikut-pengikutnya. Yang jelas, kedua macam tauhid di atas tidak ada yang
mengingkari secara terang-terangan dari ahli kiblat (kaum muslimin) walaupun
ada dari kalangan ahli bid’ah yang mengingkarinya dengan berbagai penakwilan
(penyelewengan makna).
Tauhid Asmaa’ wa Shifat
Tauhid Asmaa’ wa Shifat Allah adalah :
Berkeyakinan dengan keyakinan yang pasti tentang nama-nama Allah, sifat-sifat
dan perbuatan-perbuatan-Nya yang termuat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, tanpa
merubah-rubah atau menolak atau menanyakan bagaimana hakekatnya atau
menyerupakan dengan makhluk-Nya. Dalil tentang Tauhid Asmaa’ wa Shifaat ini
adalah firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ
أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى
Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah
Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaulhusna
(nama-nama yang terbaik)” [QS. Al-Israa’ : 110].
Juga firman-Nya :
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
”Apakah kamu mengetahui ada seorang yang
sama dengan Dia)?” [QS. Maryam : 65].
Juga firman-Nya :
اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى
”Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) melainkan Dia, Dia mempunyai al asmaul-husna (nama-nama yang
baik)” [QS. Thaha : 8].
Juga firman-Nya :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ
”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].
Ayat-ayat di atas merupakan hujjah yang
menyatakan tentang tauhid asma’ wa shifat Allah.
Dalam mengimani nama-nama Allah
subhaanahu wa ta’ala ada beberapa kaedah, antara lain :
Semua nama Allah adalah terbaik dan
berada dalam puncak kebaikan. Karena nama Allah mengandung atau menunjukkan
sifat-Nya yang sempurna, tidak ada cacat atau kekurangan dari segi apapun.
Seperti Al-Hayyu (الْحَيُّ) ”Yang Maha Hidup”,
salah satu dari nama Allah yang mengandung arti bahwa Allah hidup secara
mutlak, tidak didahului oleh ketiadaan dan tidak pula berakhir dengan
kebinasaan. Dia hidup dengan kesempurnaan-Nya.
Nama Allah adalah nama sekaligus sifat
bagi-Nya subhaanahu wa ta’ala. (Al-Hayyu, Al-’Aliim, As-Samii’) ”Yang Maha
Hidup, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Mendengar” ; semua adalah nama untuk
Dzat yang satu, yaitu Allah subhaanahu wa ta’ala. Nama-nama tersebut mengandung
makna dan sifat yang berbeda-beda, karena makna Al-Hayyu lain dengan makna
Al-’Aliim dan lain pula dengan makna As-Samii’. Dan begitu pula nama-nama Allah
yang lain. Nama Al-Hayyu mengandung sifat al-hayat (hidup), Al-’Aliim
mengandung sifat al-’ilmu (ilmu/mengetahui), As-Samii’ mengandung sifat
as-sam’u (mendengar). Dan begitu pula nama-nama Allah yang lain.
Nama Allah yang mengandung sifat
Muta’addi (sifat yang pengaruhnya mengenai makhluk-Nya), ia mengandung tiga
perkara :
a. Penetapan nama tersebut untuk Allah.
b. Penetapan sifat yang terkandung dalam
nama tersebut bagi-Nya.
c. Penetapan hukum dan pengaruh-Nya.
Contohnya : As-Samii’ – salah satu nama
Allah yang artinya Yang Maha Mendengar. Lafadh tersebut ditetapkan sebagai nama
Allah dan ditetapkan pula sebagai sifat Allah. Adapun hukum dan pengaruhnya
adalah Dia mendengar apa saja, baik yang tersembunyi ataupun yang tampak pada
makhluk-Nya.
Sedangkan jika nama Allah menunjukkan
sifat yang Lazim (yang tidak berpengaruh kepada yang lainnya), maka ia
menunjukkan dua perkara :
– Penetapa nama bagi-Nya.
– Penetapan sifat yang terkandung dalam
nama tersebut untuk-Nya.
Seperti nama Al-Hayyu yang berarti Yang
Maha Hidup. Maka lafadh Al-Hayyu ditetapkan sebagai nama Allah dan sekaligus
sifat bagi Allah semata.
Nama-nama Allah menunjukkan atas Dzat dan
sifat-Nya sesuai dengan kandungannya, nama dan sifat itu akan terus ada dan
tidak pernah sirna, seperti : Al-Khaaliq, salah satu nama Allah yang artinya
Yang Maha Menciptakan – menunjukkan atas Dzat dan sifat Allah yang mengandung
makna bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia tetap serta terus-menerus
sebagai Sang Pencipta.
Nama-nama Allah semuanya harus diambil
dari Al-Qur’an atau As-Sunnah. Tidak ada tempat bagi akal untuk menentukannya.
Oleh karena itu janganlah menambah atau menguranginya, karena nama-nama Allah
adalah merupakan permasalahan ilmu yang ghaib, dan hanya Allah sajalah yang
mengetahuinya.
Nama-nama Allah tidak terbatas dengan
jumlah tertentu sebagaimana diterangkan dalam hadits yang masyhur tentang doa
ketika dalam kesedihan :
أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ
بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي
كِتَابِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ
”(Ya Allah), aku minta dengan (menyebut)
segala nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau
Engkau turunkan pada kitab-Mu, atau Engkau ajarkan pada seseorang dari
makhluk-Mu atau Engkau tentukan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu…” [HR.
Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim].
Dalil ini menunjukkan ketidakterbatasan
nama Allah. Adapun nama Allah yang disebutkan dalam hadits 99 (sembilan puluh
sembilan) nama tidak menunjukkan batas akhir. Hadits yang menunjukkan perincian
atau penyebutan nama-nama-Nya yang berjumlah 99 adalah hadits yang lemah
(dla’if).
Haram bagi seseorang untuk mengingkari,
menolak sifat-sfat Allah, atau menyerupakan dengan makhluk-Nya.
Tentang masalah sifat-sfat Allah,
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah mengimaninya tanpa merubah (tahrif), mengingkari
(ta’thil), menanyakan bagaimana (takyif), dan tidak pula menyerupakan (tasybih)
dengan sifat makhluk-Nya.
1. Tanpa tahrif (merubah) artinya tdak
merubah makna yang terkandung dalam sifat tersebut. Seperti perkataan Jahmiyyah
tentang sifat istiwaa’ (bersemayam), mereka rubah menjadi istaulaa’
(menguasai). Juga perkataan sebagian ahlul-bid’ah tentang makna al-ghadlab
(marah) diartikan dengan iradatul-intiqaam (kehendak untuk menyiksa); dan makna
ar-rahmah dirubah menjadi iradatul-in’am (kehendak untuk memberi nikmat).
Semuanya ini tidak benar. Yang benar adalah bahwa makna istiwaa’ bagi Allah
adalah bahwa Allah mempunyai sifat ketinggian dan berada dalam ketinggian yang
sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya. Begitu pula dengan al-ghadlab dan
ar-rahmah, adalah sifat bagi Allah secara hakekat sesuai dengan kemuliaan Allah
dan keagungan-Nya.
2. Tanpa ta’thil (menolak) adalah tidak
mengingkari sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Pengingkaran atas hal ini adalah seperti yang dilakukan oleh
Jahmiyyah dan semisalnya. Perbuatan mereka merupakan puncak kebatilan. Padahal
dalam Al-Qur’an dan As-Sunah banyak sekali diterangkan sifat-sifat Allah yang
sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya.
3. Tanpa tasybih (menyerupakan) adalah
tidak menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Untuk itu
kita tidak boleh mengatakan bahwa sifat Allah itu adalah seperti sifat kita.
Hal itu dikarenakan Allah sudah menyatakan tidak ada yang serupa dengan-Nya
sesuatupun.
4. tanpa takyif (menanyakan bagaimananya)
adalah tidak menanyakan bagaimana hakekatnya. Seperti menanyakan bagaimana
istiwaa’-nya Allah ? Atau menanyakan bagaimana wajah dan tangan Allah ? Yang
seharusnya kita lakukan adalah kita beriman akan keberadaan sifat Allah yang telah
ditetapkan oleh Al-Qur’an maupun As-Sunnah sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa
menanyakan bagaimana hakekat sifat itu, karena Allah dan Rasul-Nya tidak pernah
mengkhabarkan bagaimana hakekat sifat tersebut.
Pedoman yang harus dipegang oleh setiap
muslim adalah :
Semua sifat Allah adalah sifat yang
paling sempurna, tidak memiliki kekurangan sama sekali dari segi apapun.
Sifat Allah dibagi menjadi dua :
Sifat tsubutiyyah, yaitu sifat yang
ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya dalam Al-Qur’an atau melalui lisan
Rasul-Nya. Semuanya adalah sifat yang sempurna, tidak ada unsur kekurangan sama
sekali.
Sifat salbiyyah, yaitu sifat yang
di-nafi-kan (ditiadakan) oleh Allah untuk diri-Nya, baik peniadaan tersebut
termuat dalam Al-Qur’an mapun As-Sunnah. Semuanya yang di-nafi-kan tersebut
berupa sifat-sifat kekurangan seperti sifat mati, bodoh, lemah, dan lain-lain.
Untuk itu wajib bagi kaum muslimin untuk meniadakan sifat-sifat tersebut dari
Allah subhaanahu wa ta’ala dan menetapkan sifat kesempurnaan lawan sifat
tersebut.
Semua sifat Allah harus berasal dari
Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada tempat bagi akal untuk menentukannya.
Dari dalil-dalil pada pembagian di atas
dapat diketahui oleh siapa saja tentang kebenaran pembagian tauhid menjadi
tiga, yaitu :
– Tauhid Rububiyyah.
– Tauhid Uluhiyyah.
– Tauhid Asmaa’ wa Shifat.
Orang yang mengingkari pembagian tauhid
ini adalah orang yang mengingkari sesuatu tanpa ilmu dan berbicara atas nama
Allah tanpa didasari ilmu. Karena orang yang mempunyai ilmu sedikit saja dari
kalangan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dimana saja ia berada dan kapan saja, mesti
akan mengetahui kebenaran pembagian tersebut. Seseorang tidak dikatakan beriman
kalai ia tidak mengimani tiga macam tauhid di atas. Barangsiapa mengimani
tauhid rububiyyah saja, maka ia belum dikatakan mukmin. Demikian juga kalau dia
hanya mengimani tauhid uluhiyyah atau tauhid asmaa’ wa shifaat saja. Jadi,
seseorang dikatakan mukmin kalau dia mengimani ketiga macam tauhid di atas.
Silahkan bagi yang ingin mendalami
pembagian tauhid ini baca buku diatas tulisan Asy Syaikh Abdurrozzaq bin Abdul
Muhsin al-Abbad Penerbit : Darulilmi
Wallaahu a’lam bish-shawwab.
referensi
Sumber:
reposting :