Wednesday, May 2, 2018

Neo-Ghazwul Fikri, Gerakan Invasi Dan Proyek Perang Pemikiran. Liberalisasi Pemikiran Jenis ‘Pembunuhan Akidah’, Lebih Kejam Dari Membunuh Manusia.

Hasil gambar untuk Ghazwul Fikri

Neo-Ghazwul Fikri

Ahad, 5 Februari 2017
Dokumen RAND Corporation menganjurkan sangat rinci langkah-langkah agar antara satu kelompok Muslim dengan kelompok yang lain tidak pernah bersatu, saling curiga, saling menghina dan saling menghujat
Oleh: Dzikrullah 
TIBA-TIBA saja kita berhadapan dengan berbagai jenis ‘Muslimin’ yang sangat jauh dari yang dicontohkan Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alayhi wa sallam dan para Sahabatnya. Muslimin yang hati, lisan dan tindakannya jauh dari Al-Quran dan As-Sunnah, namun sangat yakin dirinya Muslim. Bahkan tidak jarang jenis ini berteriak lebih lantang dan bertindak lebih garang daripada mereka yang bermujahadah untuk setia kepada Al-Quran dan As-Sunnah.
Teriakan lantang dan tindakan garang inilah yang memancing jidal bahkan perpecahan. Semua seperti berjalan alamiah. Tidak. Tidak alamiah dan tidak tiba-tiba.
Inilah panen Neo-Ghazwul Fikri, Perang Pemikiran Jenis Baru. Sebuah kelanjutan dari usaha sistematis menjauhkan kaum Muslimin dan umat manusia dari Islam dan dilakukan secara besar-besaran.
Sasarannya lebih spesifik: individu atau komunitas Muslim tertentu yang diriset secara sungguh-sungguh, dikategorikan secara hati-hati, diperlakukan dengan tindakan-tindakan yang terukur, dalam dosis waktu yang lama, yang akhirnya menghasilkan cara berfikir individual dan komunal yang lantang dan garang menyuarakan Islam, tapi jauh dari aqidah dan akhlaq Islam. Atau tetap mengaku Muslim tapi menentang apapun yang datangnya dari Islam.
Dua puluh atau tiga puluh tahun yang silam, istilah Ghazwul Fikri masih kita fahami secara umum: Media massa yang menjauhkan umat manusia dari Islam, bahkan memusuhi Islam. Jenis ini masih berlangsung sampai sekarang.
Neo-Ghazwul Fikri lebih tajam sasarannya: individu tertentu, komunitas tertentu.
Contoh yang paling sempurna bernama Mus’ab Hassan Yousef, putra tokoh Hamas (Gerakan Perlawanan Islam Palestina) di Tepi Barat yang ditangkap penjajah Zionis Israel ketika berusia 19 tahun. Mus’ab di penjara selama 16 bulan.
Sekeluarnya ia dari penjara –tanpa diketahui siapapun kecuali agen Shin Bet (dinas rahasia Zionis) yang merekrutnya– Mus’ab bekerja untuk agen rahasia itu untuk kepentingan penjajah Zionis.
Dalam waktu 16 bulan di penjara Zionis, isi fikiran, hati, lisan dan tindakan Mus’ab berubah dramatis. Hal-hal berikut ini adalah keyakinannya yang baru:
●“Islam agama teroris”
●“Tuhannya orang Islam mengajarkan terorisme”
●“Nabinya orang Islam melakukan terorisme”
●“Al-Quran memerintahkan terorisme”
●“Hamas penjahat brutal”
●“Israel melakukan kejahatan tapi dengan tata tertib dan beradab”
Semua keyakinan barunya ini masih tersimpan secara rahasia selama sepuluh tahun sesudahnya, mulai tahun 1997 sampai 2007. Yaitu ketika Mus’ab secara aktif bekerja sebagai agen rahasia Shin Bet sambil tetap hidup serumah, makan bersama, dan bercengkerama keluarga kandungnya, termasuk ibu dan ayahnya, Hassan Yousef di Ramallah, Tepi Barat, hanya 10 kilometer dari Masjidil Aqsha.
Selama sepuluh tahun itu, tak terhitung tokoh perjuangan Palestina disekap dan disiksa oleh Zionis Israel, sebagai hasil kerja Mus’ab. Banyak operasi jihad yang digagalkan. Diantara tokoh yang dipenjara akibat lisan Mus’ab ialah Abdullah Barghouti, seorang komandan Brigade Asy-Syahid ‘Izzuddin Al-Qassam, yang divonis pengadilan penjajah Zionis dengan penjara selama 6.633 tahun.
Sambil terus bekerja sebagai pengkhianat Islam dan Masjidil Aqsha, Allah semakin jauhkan Mus’ab dari Islam sampai ia memutuskan murtad dan memeluk Kristen. Tahun 2005 secara rahasia Mus’ab dibaptis di Tel Aviv. Dua tahun kemudian, ia meninggalkan Palestina pindah ke San Diego, California.

Dalam proses mendapatkan kewarganegaraan Amerika Serikat itulah, Mus’ab muncul secara terbuka menunjukkan jatidiri aslinya sebagai kafir, tahun 2008. Hakim pengadilan California memanggil agen Shin Bet yang merekrutnya di Palestina, untuk bersaksi bahwa Mus’ab yang berganti nama menjadi Joseph benar-benar “orang kita” (24 Juni 2010).
Agen Shin Bet itu bernama Gonen Ben-Itzhak, yang selama sepuluh tahun menjadi mentor Mus’ab yang waktu itu diberi nama sandi ‘Lu’ai’. Ben-Itzhak menjelaskan kepada pengadilan bahwa Joseph adalah “teman sejati” yang telah “bertaruh nyawa setiap hari untuk mencegah terjadinya kekerasan”. Tak lama kemudian Joseph resmi jadi warganegara Amerika Serikat.
Tak lama kemudian, Joseph alias Mus’ab jadi bintang film. Ya, bintang film layar lebar. Filmnya berjudul “Green Prince” (Pangeran Hijau) bercerita tentang kisah hidupnya dipromosikan besar-besaran di berbagai festival film. Begitulah istidraj, Allah ‘memanjakan’ seorang yang kafir agar semakin jauh tersesatnya.
Komunitas
Sekarang, bayangkan kalau resep yang telah digunakan oleh Shin Bet atas individu bernama Mus’ab Hassan Yousef, diaplikasikan kepada komunitas tertentu yang memiliki psiko-sosiologi tertentu. Maka kita akan menyaksikan pemimpin-pemimpin organisasi Islam dan sebagian massanya berpikiran, berkata-kata, bersikap dan bertindak sangat aneh karena jauh dari aqidah dan akhlaq Islam yang sebenarnya.
Dan ini bukan sekedar bayangan. Sudah terjadi. Selama 40 tahun terakhir, lewat berbagai fasilitas beasiswa besar-besaran bagi remaja dan pemuda Muslimin untuk sekolah dan belajar Islam kepada para Orientalis Yahudi dan Kristen di negara-negara barat, kini hadirlah para sarjana, master dan doktor yang fikiran, kata-kata, dan tindakannya justru melemahkan aqidah umat Islam.
Diantara fikiran dan kata-kata itu:
●Islam bukan satu-satunya sumber kebenaran
●Al-Quran bukan wahyu Tuhan tapi kata-kata manusia
●Muhammad bukan manusia suci dan sempurna
●Sahabat-sahabat Muhammad manusia biasa yang punya ambisi pribadi dan politik
●Sunnah adalah tradisi Arab, tidak cocok untuk semua manusia
●Syariah adalah hukum yang hanya cocok untuk masyarakat Arab 1400 tahun lalu
Dan banyak lagi. Ketika fikiran dan kalimat-kalimat seperti ini muncul sebagai keyakinan seorang yang mengakui Muslim, tak perlu ragu, ia atau mereka telah jadi korban Neo-Ghazwul Fikri.
Bila umat Islam sudah dikacaukan dan dibingungkan oleh fikiran-fikiran yang seperti di atas, maka resep berikutnya lebih bersifat sosial-politik. Seperti yang diluncurkan oleh RAND Corporation, sebuah lembaga riset teknologi senjata yang berubah jadi lembaga riset pemikiran. Tahun 2003, RAND menyiarkan sebuah dokumen berjudul “Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies”. 
Dokumen ini berisi tuntunan praktis bagi seluruh elemen peradaban Barat untuk memecah belah, mengadu domba serta memelihara kelemahan-kelemahan umat Islam. Seperti dulu Clifford Geertz memecah belah umat Islam Indonesia menjadi “Islam Santri” dan “Islam Abangan”. RAND Corporationmembagi umat Islam menjadi empat kelompok:
– Fundamentalis: kelompok masyarakat Islam yang menolak nilai-nilai demokrasi dan kebudayaan Barat Kontemporer, serta menginginkan formalisasi penerapan Syariat Islam;
– Tradisionalis: kelompok masyarakat Islam Konservatif yang mencurigai modernitas, inovasi dan perubahan. Mereka berpegang kepada substansi ajaran Islam tanpa peduli kepada formalisasinya;
– Modernis: kelompok masyarakat Islam Modern yang ingin reformasi Islam agar sesuai dengan tuntutan zaman, sehingga bisa menjadi bagian dari modernitas;
– Sekularis: kelompok masyarakat Islam Sekuler yang ingin menjadikan Islam sebagai urusan pribadi dan dipisah sama sekali dari urusan negara.
Dokumen RAND Corporation menganjurkan secara rinci apa saja langkah-langkah yang harus dilakukan agar antara satu kelompok Muslim dengan kelompok yang lain tidak pernah bersatu, saling curiga, saling memicingkan mata, saling menjauh, saling menghina, saling menghujat.
Siapapun tokoh Islam atau pribadi Muslim yang menggunakan keempat istilah di atas ini untuk menjelaskan umat Islam, berarti dia telah terjebak dalam adu domba yang didesain oleh RAND Corporation atau lembaga sejenisnya.
Tak heran, kalau hari-hari ini kita menghadapi kenyataan, betapa susahnya silaturrahim dan sambungan hati apalagi tindakan dipersatukan di kalangan umat Islam. Seruan Al-Quran untuk berpegang kepada tali Allah dan jangan sampai berpecah belah seperti menghadapi tembok raksasa yang seakan mustahil dijebol. Karena ternyata, benih-benih perpecahan itu telah disemai bertahun-tahun yang lalu, dan ada yang memelihara kesuburannya.
Jangan sampai ini kita biarkan menjadi warisan bagi anak keturunan kita. Berhentilah. Bersihkan hati kita masing-masing. Bertaubatlah. Lalu bersilaturrahim lah. Buka pintu kita selebar mungkin untuk Saudara-saudara Muslim kita. Berlombalah lebih dahulu mengucap salam, memberikan senyum, menjabat tangan. Semoga Allah kokohkan kekuatan kita.
Waspada
Menurut Dr. Adian Husaini, ada tiga ancaman penyakit terhadap aqidah Islam di zaman kita ini, yang berpotensi memporak-porandakan kesatuan umat: 1) Pemurtadan lewat Kristenisasi dan Yahudisasi; 2) Gerakan SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme); 3) Aliran-aliran sesat yang tampil mirip Islam tapi sebenarnya mengandung ajaran-ajaran yang merusak aqidah (Syiah, Gafatar, Bahaisme dll.).
Namun ketiga ancaman penyakit ini akan menjadi semakin mudah penyebarannya di tubuh umat Islam apabila telah berjangkit satu penyakit saja pada diri seorang Muslim, sebuah keluarga Muslim atau di sebuah masyarakat Muslim: penyakit Al-Wahn. 
Di saat Al-Wahn telah berjangkit, seseorang akan sangat mudah untuk murtad, sangat mudah menjadi sekularis, pluralis dan liberalis. Bahkan sangat mudah untuk menganut berbagai aliran sesat.
Penyakit ini telah diperingatkan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alayhi wa sallam bahayanya. Al-Wahn adalah “cinta dunia dan benci mati”. Berarti dalam keadaan sehat, seyogianya seorang Muslim “cinta mati, karena rindunya bertemu Allah, dan benci dunia, karena semua kehinaannya”.
Seorang Muslim akan mencintai semua yang ada di dunia hanya semata-mata hal yang dicintai Allah dan Rasul-Nya saja. Sedangkan kerinduannya untuk mendapatkan janji-janji Allah di Akhirat mengalahkan seluruh kecintaannya pada dunia dan segala isinya. Pada saat itulah ia, keluarganya, dan komunitasnya tak akan bisa dibeli dengan harga apapun, kecuali jaminan Syurga dari Allah.*
Penulis adalah wartawan Hidayatullah


Sejumlah ummat Islam baik secara perorangan maupun kelompok mengidentifikasi diri mereka sebagai kelompok Islam moderat. Mereka mengklaim mengambil jalan tengah dari dua kutub ekstrim pemikiran dan pengamalan Islam yaitu kelompok fundamentalis dan  kelompok liberal. Meski pada perkembangannya, Islam moderat lebih banyak dikonfrontasikan dengan Islam fundamentalis. Kelompok yang dicirikan memiliki pandangan politik dan keagamaan Islam yang ekstrim diantaranya upaya untuk menegakan Khilafah sebagai satu-satunya sistem politik yang absah.[1]
Sikap moderat atau jalan tengah sendiri mulai dikenal luas pada masa abad pencerahan di Eropa. Sebagaimana diketahui konflik antara pihak gerejawan yang menginginkan dominasi agama dalam kehidupan rakyat dan kaum revolusioner yang berasal dari kelompok filosof yang menginginkan penghapusan peran agama dalam kehidupan menghasilkan sikap kompromi. Sikap ini kemudian dikenal dengan istilah sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan publik.[2]
Karakteristik
Para pemikir barat secara umum memiliki kriteria yang hampir seragam tentang muslim yang dikategorikan moderat. Daniel Pipes misalnya mengungkap sejumlah karakter muslim moderat antara lain: mengakui adanya persamaan hak-hak sipil antara muslim dan non muslim; membolehkan seorang muslim berpindah agama; membolehkan wanita muslim menikahi pria non-muslim; menerima dan setia pada hukum pemerintahan non-muslim; berpihak pada hukum sekular ketika terdapat pertentangan dengan budaya Islam. [3] John Esposito, menyatakan perbedaan signifikan antara radikal dan muslim moderat adalah kelompok radikal merasa bahwa Barat mengancam mereka dan berupaya mengontrol pandangan hidup mereka. Sementara kelompok moderat sangat bersemangat membangun hubungan dengan barat melalui pembangunan ekonomi. [4]
Robert Spencer–analis Islam terkemuka di AS–juga menyebut kriteria seseorang yang dianggap sebagai muslim moderat antara lain: menolak pemberlakuan hukum Islam kepada non muslim; meninggalkan keinginan untuk menggantikan konstitusi dengan hukum Islam; menolak kewajiban untuk menarik pajak berdasarkan agama (jizyah) terhadap non-muslim (QS. 9:29); menolak supremasi Islam atas agama lain termasuk perintah untuk memerangi orang-orang Yahudi dan Nasrahi hingga mereka tunduk (QS. 9:2); menolak aturan bahwa seorang muslim yang beralih pada agama lain atau tidak beragama harus dibunuh; mendorong kaum muslim untuk menghilangkan larangan nikah beda agama termasuk sanksi yang membolehkan suami memukul istri (QS. 4:34).[5]
Menjadi Alat
Muslim moderat sendiri bagi sejumlah pemikir Barat dipandang sangat cocok untuk hidup damai dengan seluruh orang di dunia. Sementara muslim radikal sangat berbahaya karena bermaksud menyingkirkan barat dan memperoleh kembali kejayaan Islam yang telah hilang. [6]
Oleh karena itu pemerintah Barat dituntut untuk mengembangkan berbagi strategi untuk melindungi kelompok moderat dan melakukan tindakan persuasif terhadap mereka yang mengancam pemerintahan barat.[7] Bahkan jika perlu mereka dapat menempuh berbagai cara antara lain:  menggunakan sarana militer dan politik untuk mengalahkan kelompok radikal demi mengamankan kepentingan mereka; membantu kelompok moderat untuk mereformasi aqidah dan syariat Islam; mengisolasi kelompok ekstrimis serta membangun komunitas muslim yang dapat menjadi komonitas dunia yang demokratis. [8]
Sejumlah strategi pun disusun oleh untuk memberdayakan kelompok moderat agar mengubah dunia Islam sehingga sesuai dengan demokrasi dan tatanan internasional maka dilakukan dengan sejumlah cara.  Strategi tersebut antara lain: mempublikasikan pemikiran mereka di media massa; mengkritik berbagai pandangan Islam fundamentalis; memasukkan pandangan mereke ke dalam kurikulum dan mengentalkan kesadaran budaya dan sejarah mereka yang non Islam dan pra Islam ketimbang Islam sendiri.[9]
Meski demikian sejumlah analis barat mengakui sejumlah kebijakan pemerintah AS tidak hanya berupaya mendukung kelompok-kolompok moderat namum juga yang dianggap radikal baik dengan pendidikan, uang dan dan legitimasi kekuasaan. Dengan kekuasaan misalnya diharapkan mereka menjadi lebih moderat dan lebih sibuk untuk mengurus jalan berlubang ketimbang memerangi negara-negara barat.[10]
Argumentasi
Sayangnya alih-alih menentang gagasan Islam moderat, sebagian kaum muslim justru beranggapan ide tersebut sejalan dengan Islam. Mereka berpandangan bahwa pemahaman dan praktek Islam yang terlalu ketat bertentangan dengan Islam. Meski demikian mereka juga tidak menginginkan adanya kebebasan yang melampaui demarkasi terluar agama Islam. Oleh karena itu sikap jalan tengah merupakan posisi yang paling tepat.
Bangunan argumentasi ide ini berangkat dari logika akal bahwa benda secara empirik memiliki dua kutub yang kontradiktif dan bagian tengah yang merupakan titik keseimbangan, keadilan dan keamanan dari dua kutubnya. Ini merupakan posisi yang paling baik. Ini pula yang dimiliki oleh Islam yang mengajarkan sikap moderat dalam segala hal baik berupa keyakian, syariat, ibadah , akhlak dan sebagainya.[11]
Lebih dari itu mereka menggunakan sejumlah ayat di dalam Al Quran yang dipandang menyerukan untuk mengambil tengah dalam berbagai hal. Salah satunya adalah firman Allah swt:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
“Demikianlah kami jadikan kalian ummat yang wasath[an] (terbaik dan adil)…” (QS. al-Baqarah [2]: 143)
Ayat ini menurut dianggap telah memerintahkan ummat Islam untuk menjadi ummat yang moderat. Kata wasath[an] pada ayat tersebut diartikan di tengah-tengah. Dengan demikian umat Islam tidak boleh terlalu berlebih-lebihan dalam beragama seperti yang dipraktekkan oleh orang-orang Yahudi. Namun sebaliknya mereka juga tidak boleh terlalu bebas sebagaimana halnya orang-orang Nashrani.
Ayat lain yang juga dijadikan sebagai pijakan adalah firman Allah swt:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan orang-orang yang jika melakukan infaq tidak berlebihan dan tidak kikir namun ada di antaranya.” (QS al-Furqan [25]: 67)
Ayat ini telah membagi kategori orang dalam berinfaq yaitu orang kikir, boros dan yang moderat. Allah mencela sifat kikir dan boros dan memuji infaq yang moderat.
Sanggahan
Menganalogikan gagasan Islam moderat dengan materi jelas batil. Ini karena objek keduanya berbeda; satu benda sementara yang lain adalah pemikiran yang ukuran penilaian keduanya berbeda. Apalagi tidak semua bagian tengah suatu benda lebih baik dari ujungnya. Ujung polpen misalnya tentu lebih berguna dibandingkan bagian tengahnya.
Sementara itu penggunaan ayat di atas untuk menjustifikasi Islam moderat  juga dipaksakan. Imam ath-Thabary misalnya mengartikan kata awsath dengan khiyâr yakni yang terbaik dan pilihan.[12] Sehingga, kata wasath pada ayat tersebut bermakna khiyâr.[13] Status sebagai umat terbaik itu tidak bisa dilepaskan dengan risalah Islam yang diberikan kepada mereka. Ibnu Katsir menyatakan, Allah telah menjadikan umat ini sebagai ummah wasath, dengan memberikan keistimewaan pada mereka berupa syariah paling sempurna, manhaj paling lurus, dan madzhab paling jelas.[14] Status mulia itu dapat disandang manakala mereka menjalankan dan mengemban risalah tersebut. Ini juga sejalan dengan firman Allah Swt:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran [3]: 110).
Wasath juga bermakna bermakna ‘adl (adil). Dengan demikian ummat ini adalah ummat yang adil. Sebagaiman diketahui di dalam Islam sifat adil merupakan syarat kesaksian. Dengan demikian sebagaiman lanjutan ayat tersebut ummat Islam dapat bersaksi pada hari kiamat nanti bahwa mereka telah menyampaikan Islam kepada mereka yang tidak beragama Islam.
Demikian pula halnya dengan surat al Furqan [25]: 67 di atas. Ayat tersebut sama sekali tidak mendorong adanya jalan tengah. Para mufassir memiliki penafsiran beragam–meski tidak bertentangan antara satu dengan yang lain–tentang ayat tersebut (ikhtilaf tanawwu’). Jika dicermati kesimpulannya sama yaitu israf adalah membelanjakan harta dalam kemaksiatan kepada Allah sementara kikir (iqtar) adalah sebaliknya, tidak membelanjakannya pada apa yang menjadi hak Allah.[15]
Oleh karena itu membeli khamar dan melakukan penyuapan misalnya dikategorikan sebagai perbuatan israf. Sementara mengabaikan kewajiban untuk membayar zakat dan naik haji bagi yang mampu, menafkahi istri dan anak, merupakan perbuatan kikir. Sementara sikap yang benar adalah selain keduanya yaitu tidak membelanjakan harta pada hal-hal yang haram dan membelankannya pada hal-hal yang diwajibkan.
Mengebiri Islam
Jalan tengah seperti dicirikan di atas nampak jelas merupakan gagasan yang mengabaikan sebagain dari ajaran Islam yang bersifat qat’iy baik dari sisi redaksi (dalalah) maupun sumbernya (tsubut) seperti superioritas Islam atas agama dan ideologi lain (QS Ali Imran [3]: 85); kewajiban berhukum dengan hukum syara’ (QS al-Maidah [5]: 48); haramnya wanita muslimah menikah dengan orang kafir (QS al-Mumtahanah [60]: 10) dan kewajiban negara memerangi negara-negara kufur hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah (QS at-Taubah [9]: 29).
Rasulullah dan para sahabat dan generasi Islam setelahnya di bawah pemerintahan Islam telah mempraktekkan hal tersebut dan bahkan telah menjadi ma’lumun min ad-din bidharurah. Rasulullah misalnya telah melaksanakan puluhan peperangan untuk melawan orang-orang kafir; menarik jizyah dari ahlu dzimmah; membunuh orang-orang yang murtad dari Islam; memotong tangan pencuri dan merajam mereka yang berzina.
Namun demikian di sisi lain meski Islam adalah agama yang unggul atas agama yang lain namun bukan berarti mereka yang beragama Islam harus dipaksa untuk memeluk agama Islam. Bandingkan dengan sistem demokrasi yang diklaim menghargai perbedaan pendapat namun berupaya memberangus pandangan kaum muslim yang dianggap ekstrim.
Demikian pula dengan jizyah,  meski dipungut dari orang-orang kafir yang merupakan kompensasi dari pilihan mereka untuk hidup di dalam naungan pemerintahan Islam, namun mereka diperlakukan sama dalam kehidupan publik tanpa ada diskriminasi. Bandingkan dengan pajak yang dibebankan pada seluruh warga negara meski ia terkategori miskin. Oleh karena itu wajah pelaksanaan Islam hendaknya tidak dilihat sepotong-sepotong sehingga keindahannya dapat dinikmati dengan utuh.
Menimbang-nimbang ajaran Islam dengan mengambil yang menguntungkan dan menolak yang dianggap keras jelas bertentangan dengan sikap seorang muslim yang digambarkan oleh al-Quran:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidak pantas bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu urusan mereka mencari pilihan lain dari urusan tersebut. Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia telah sesat sejauh-jauhnya.”(QS Al-Ahzab [36]: 33)
Sebagaimana diketahui bahwa penetapan hukum dalam Islam semata di dasarkan nash-nash syara’ dengan metode istinbathyang sama sekali mengabaikan prinsip-prinsip jalan tengah. Apapun hasil dari istinbath tersebut menjadi hukum yang mengikat bagi seseorang dan diyakini pasti mengandung kemaslahatan. Ini karena diyakini bahwa Allah swt merupakan zat yang paling mengetahui manusia beserta aturan yang layak baginya dibandingkan manusia itu sendiri (QS al-Maidah 5]: 50; al-Isra’ [17]: 53).
Adapun pandangan muslim moderat yang mengatakan bahwa penerapan hukum harus didasarkan pada maslahat (maqashidu syar’iyyah), maka cukup dikemukakan bahwa istilah maqashidu syariyyah yang digagas para ulama salaf tidak dapat diraih kecuali dengan menerapkan hukum-hukum Islam secara paripurna. Dengan kata lain ia merupakan konsekuensi dari penerapan hukum-hukum Islam.[16] Bukan dengan menggunakan timbangan akal untuk menentukan perbuatan yang dapat merealisasikan maksud-maksud syariat tersebut. Imam al-Ghazali sebagaiman halnya imam as-Syafi’i bahkan telah mengingatkan: “barangsiapa yang telah membuat-buat maslahat maka ia telah membuat syariat.[17]
Dengan penjelasan tersebut dapat dimengerti bahwa Islam moderat merupakan pemahaman Islam yang tidak dikenal dalam Islam. Pemikiran justtu berkembang pasca diruntuhkannya negara Khilafah yang mendapat sokongan dari negara-engara barat.
Tujuannya tidak lain agar nilai-nilai dan praktek Islam khususnya yang berhubungan dengan politik Islam dan berbagai hukum-hukum Islam lainnya dapat dieliminasi dari kaum muslim dan diganti dengan pemikiran dan budaya barat. Dengan demikian penjajahan atas kaum muslim dapat tetap langgeng. Wallahu a’lam bis-shawab[]

[1] Lieutenant Colonel Carmia L. Salcedo, Moderate Moslem: Myth or Reality? U.S. Army War College, 2007.
[2] Muhammad Husain Abdullah, Mafâhim Islâmiyyah, vol.2, 18 (Beirut: Darul Ummah, 1996)
[3] Lawrence Auster, The Search for Moderate Islam, January 28, 2005. http://www.frontpagemag.com
[4] John L. Esposito & Dalia Mogahed, What makes a Muslim radical? Source: Foreign Policy, November 2006, http://www.foreignpolicy.com
[5] Lihat Danel Pipes, Finding Moderate Muslims – More Questions. www.danielpipes.org.
[6] Lawrence Auster, The Search for Moderate Islam, January 28, 2005. http://www.frontpagemag.com
[7] John L. Esposito & Dalia Mogahed, What makes a Muslim radical? http://www.foreignpolicy.com
[8] Lawrence Auster, Ibid.
[9] Cheryl Benard, Civil Democratic Islam, hlm. xi. (USA: Rand Corporation, 2005)
[10] Steven A. Cook, The Myth of Moderate Islam. http://www.foreignpolicy.com
[11] Abdul Qadim Zallum, Mafâhim Khathirah li Dharbi al-Islâm(ttp: Hizbut Tahrir, 1998), 14
[12] al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 2, 8
[13] al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 197; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’ wîl, vol. 1(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 87
[14] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 237
[15] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-’Adzhim, vol. 6, 123. al-Maktabah asy-Syamilah
[16] Mahmud Abdul Karim Hasan, al-Mashalih al-Mursalah, (Beirut: Dar an-Nahdhah al-Islamiyyah, 1995), 37
[17] al-Ghazaly, Al-Musthashfa, v.I, 245 dikutip dari Mahmud Abdul Karim Hasan, Ibid, 65

Liberalisasi Pemikiran Jenis ‘Pembunuhan Akidah, Lebih Kejam dari Membunuh Manusia

Selasa, 19 Desember 2017
Pengistilahan “Islam Radikal” bagian ghazwul fikri (perang pemikiran) antara Islam dan ideologi-ideologi besar di dunia
Tantangan bagi umat Islam dalam bernegara adalah apabila mereka memegang komitmen kepada agamanya, maka mereka akan mendapatkan predikat sebagai fundamentalis, meskipun istilah fundamentalis sendiri tidak ada di dalam Islam.
“Orang yang mempunyai komitmen terhadap Islam, katakanlah orang-orang yang shaleh, yang memperjuangkan Islam, yang menegakkan kebenaran, yang melakukan amar makruf nahi mungkar tiba-tiba disebut dengan fundamentalis. Nah ini, kata fundamentalis saja di dalam Islam tidak ada. Ini salah satu tantangan kita bernegara seperti itu,” ujar Direktur  Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A. Ed, M. Phil., dalam acara dialog interaktif bertema “Islam Dalam Ranah Kebangsaan” yang diselenggarakan Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor Pakistan.
Dialog yang dihadiri puluhan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di International Islamic University Islamabad (IIUI) ini digelar di kawasan I10 sector Islamabad, Jumat malam, (15/12/2017).
Pimred Majalah ISLAMIA yang kerap disapa Gus Hamid ini sempat menyinggung Istilah “Islam radikal”  yang sering dikutip kelompok yang terentu, di mana istilah itu tidak dikenal dalam terminologi Islam.
Menurutnya, pengistilahan tersebut adalah bagian dari ghazwul fikri (perang pemikiran) antara Islam dan ideologi-ideologi besar di dunia. Itulah yang membuatnya gigih untuk melakukan deliberalisasi.
“Islam radikal itu tidak ada terminologinya di dalam Islam. Orang yang menjalankan Islam dengan baik dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar sekarang disebut radikal. Padahal di dalam Islam itu adalah orang yang shaleh. Ini termasuk pembagian dari ghazwul fikri, perang pemikiran antara ideologi-ideologi besar di dunia di mana Islam ini sekarang menjadi bulan-bulanan ideologi kontemporer. Itu yang selama ini saya lakukan dengan deliberalisasi atau melakukan proses counter attack terhadap liberalisasi pemikiran Islam,” jelasnya.

Selanjutnya Wakil Rektor  Universitas Darussalam (UNIDA) ini juga menjelaskan bahwa ‘liberalisasi pemikiran Islam’ sangatlah membahayakan. Dan itu lebih bahaya daripada membunuh orang, dalam  arti spiritual.
“Dan itu (liberalisasi pemikiran Islam) sangat berbahaya. Lebih berbahaya dari ‘membunuh orang’. ‘Liberalisasi pemikiran’ adalah dekonstruksi syariah dan dekonstruksi akidah, berarti dia akan membunuh ribuan orang, membunuh dalam arti spiritual, membunuh orang yang selama ini beriman menjadi tidak beriman. Nah di sini, kalau kata-kata ini dikaitkan dengan takwil yukhrij al-hayya min al-mayyiti wa yukhrij al-mayyita min al-hayyi artinya bahwa mengafirkan orang itu sama dengan mematikan orang,” jelas pendiri Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) tersebut.*/FakhruddinA (Pakistan)

Menyikapi Orang Bermuka Dua. Tanpa Sokongan Kaum Munafik, Orang Kafir Tak Bakal Jumawa
Kaum Munafik Dan Perang Pemikiran
Musuh Yang Kerap Kita Lupakan
Waspadai Perang Pemikiran (Ghazwul Fikri)
Hati-Hati Penggiringan Media Menjelekkan Islam (Zuhud Dan Wara’ Terhadap Media Kufar !)

Membaca Gerakan Invasi Perang Pemikiran

Bentuk lain dari ‘perang pemikiran” adalah wacana HAM dan diterimanya “hermeneutika” sebagai metode penafsiran kitab suci, di Perguruan Tinggi Islam dan IAIN/UIN
“Sungguh, Perang Kebudayaan Merasuk di Waktu Senggang Kita”
~Syeikh Muḥammad al-Ghazālī~
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
MENURUT Muḥammad ‘Imārah, tidak sedikit hari ini orang yang menolak adanya wacana “perang pemikiran” (al-ghazw al-fikrī). Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan lain, yaitu: bahwa ide perang pemikiran hanya digiring kepada satu dari dua pernyataan: ilusi atau relita.[al-Ghazw al-Fikrī: Wahm am Ḥaqīqah?, Universitas Al-Azhar)
Tulisan ini mencoba untuk mengkaji sejauh mana “perang pemikiran” itu ada dan beraksi di tengah-tengah kondisi umat Islam.
Perang Pemikiran, Makhluk Apa itu?
Dalam bahasa Arab, perang pemikiran dikenal dengan istilah الغزو الفكري, yaitu berbagai upaya yang dilakukan oleh satu bangsa untuk menguasai bangsa lain. Perang Pemikiran ini lebih berbahaya ketimbang perang prajurit/tentara (al-ghazw al-‘askarī), karena “perang pemikiran” berjalan secara “rahasia”. Sehingga, bangsa yang diperangi tidak merasa bahkan tidak siap untuk membendungnya. Pada gilirannya, bangsa yang diperangi menderita sakit pemikiran dan mencintai dan membenci apa yang disukai dan dibenci oleh musuhnya. “Perang pemikiran”, menurut Alī ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd dalam “al-Ghazw al-Fikrī wa al-Firaq al-Mu‘ādiyah li al-Islām” (al-Riyāḍ, 1981) memiliki banyak otot untuk memangsa bangsa-bangsa lain dan menghilangkan identitasnya. Secara umum, perang pemikiran ini biasa terjadi terhadap bangsa-bangsa berkembang (al-umam al-nāmiyah) dan secara khusus terhadap umat Islam.
Menurut Khādim Ḥusain dalam “al-Ghazw al-Fikrī Ta‘rīfuhu wa Ahdāfuhu”, kalangan non Muslim sangat terbiasa melakukan praktik ini. Tujuannya mengajak umat lain untuk “menghilangkan” karakteristik kehidupan islami, mengalihkan umat Islam agar tidak berpegang kepada akidah dan etika Islam. Biasanya, sasaran “perang pemikiran” adalah fondasi Islam, yaitu: akidah, ekonomi, sistem pemerintahan, sistem pendidikan bahkan penerangan.
Melalui “perang pemikiran”, seseorang tak harus berganti agama, misalnya dari Islam menjadi Kristen. Namnun, denahn “perang pemikiran”, seseorang akan bisa hilangk karakteristik kehidupan islami nya.
Penjelasan di atas mengingatkan kita kepada pandangan sejarawan, sosiolog dan antropolog Muslim klasik kenamaan, Ibn Khaldūn (w. 808 H). Dalam kitab “al-Muqaddimah” nya yang terkenal itu, Ibn Khaldūn menyatakan, …أَنَّ المــَغْلُوْبَ مُوْلَعٌ أَبَدًا بِالاِقْتِدَاءِ بِالْغَالِبِ فِى شِعَارِهِ وَزِيِّهِ وَنِحْلَتِهِ وَسَائِرِ أَحْوَالِهِ وَعَوَائِدِهِ
“…bangsa pecundang selalunya mengikuti bangsa pemenang, baik dalam: syiarnya (motto hidup), pakaiannya, keyakinannya, tindak-tanduknya bahkan kebiasaannya.”
Sikap meniru itu, kata Ibn Khaldūn, disebut al-iqtidā’. Sikap itu tampak dari perilaku sang pecundang yang mengimitasi sang pemenang dalam berpakaian (malbas), berkendaraan (markab) dan senjatanya, bahkan seluruh pernak-pernik kehidupannya. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam sikap anak terhadap bapak. Mereka tampak serupa, karena sang anak meyakini bahwa kesempurnaan kepribadian ada dalam diri bapaknya.
Melalui “perang pemikiran” inilah para pembenci dan musuh-musuh Islam merasuk ke tengah-tengah kehidupan berbagai bangsa. Merusak kehidupan, merusak sejarahnya, masa lalunya dan perikehidupan orang-orang shaleh mereka. Dengan tradisi dan nilai-nilai baru inilah, kaum Muslim tidak lagi mengetahui mana yang haq dan mana yang batil.
Sampai hari ini, fenomena yang ditegaskan oleh Ibn Khaldūn di atas begitu kentara. Yang paling dekat adalah di Indonesia. Dimana produk hukum yang ada masih kental nuansa kolonialis-Belanda. Bahkan untuk memasukkan nilai-nilai Islam begitu susah dilakukan. Sementara memegang hokum warisan Belanda dipertakankan mati-matian, seolah itu sudah sebagai kebenaran mutlak.
Fase Perang Salib
Fase “perang pemikiran” bisa dilihat sejak risālah Nabi Muḥammad turun. Di sana sudah terjadi perhelatan antara tauhid dan syirik. Nilai-nilai islami kemudian coba dihapuskan wujudnya, meskipun Allah Subhanahu Wata’ala tidak pernah memberikan kesempatan kepada siapapun yang ingin memadamkan cahaya agama-Nya.
Fase selanjutnya ‘perang pemikiran” dapat dilihat sebelum runtuhnya Khilāfah Islāmiyyah ditandai dengan adanya Perang Salib (al-ḥurūb al-ṣalībiyyah), kemudian diikuti oleh gerakan masukknya Orientalisme (al-istisyrāq), injilisasi atau kristenisasi (al-tabsyīr), dan memotong nadi negara khilāfah.
Dalam ‘Alī Laban al-Ghazw al-Fikrī fī al-Manāhij al-Dirāsiyyah (awwalan) fī al-‘Aqīdah: Fī al-Radd ‘alā Zakī Najīb Maḥmūd wa Ghairihi (Cairo: Dār al-Wafā’Pasca), dijelaskan, bahwa runtuhnya Khilāfah Islāmiyyah, melahirkan berbagai wacana yang menyerang Islam. Seperti ide pemisahan agama dari negara, penyebaran nasionalisme (al-qawmiyyah) untuk melawan Khilāfah Islāmiyyah dan meruntuhkan Khilāfah.
Setelah itu dilanjutkan dengan perubahan besar-besaran dalam urusan politik. Perubahan sosial ini ditandai dengan lahirnya westernisasi alias pembaratan (al-taghrīb), yang ditandai dengan: sekularisme (al-‘almāniyyah), nasionalisme (al-qawmiyyah), dan liberalis perempuan (taḥrīr al-mar’ah).
Bentuk lain ‘perang pemikiran’ adalah program-program Barat bernama wacana hak asasi manusia (HAM). Dengan ukuran HAM, seolah-olah Islam mengekang kehidupan para wanita. Padahal, sejak turunnya risālah Islam, posisi wanita dimuliakan. Islam membawa warna berbeda bagi perempuan, jauh dibanding masah jahiliyyah. Bahkan, penghormatan Islam terhadap kaum perempuan jauh di atas penghormatan Barat.[ Lihat, Waḥīd al-Dīn Khān, al-Mar’ah baina Syarī‘at al-Islām wa al-Ḥaḍārah al-Gharbiyyah, Terj. Sayyid Ra’īs Aḥmad al-Nadwī (Cairo: Dār al-Ṣaḥwah, 1414 H/1994 M). Lihat juga, Muḥammad ibn Aḥmad Ismā‘īl al-Muqaddam, al-Mar’ah baina Takrīm al-Islām wa Ihānat al-Jāhiliyyah (Cairo: Dār Ibn al-Jawzī, 1426 H/2005 M)]
Pemikiran-pemikiran Barat, seperti HAM, sekularisme, pluralism dan liberalism, cukup menjadi bukti nyata betapa umat Islam tengah diinvasi secara pemikiran. Bagi kalangan pemuja sekularisme, pluralisme dan liberalism (ada yang menyingkatnya menjadi SePILIS), nilai-nilai itu adalah satu kemestian diterapkan jika suatu negara ingin maju dan berkembang.
Karenanya gagasan yang sering mereka lontarkan adalah tidak bolehnya ada campur-tangan agama dalam hal-hal duniawi, khususnya dalam ranah politik.[baca; M. Dawam Rahardjo, “Merayakan Kemajemukan, Kebebasan dan Kebangsaan” (Jakarta: 2010), juga, Luthfi Assyaukani dalam “Islam Benar versus Islam Salah” (Depok: 2005].
Padahal sekularisme adalah bentuk “perang pemikiran” yang sudah lama dihembuskan untuk meruntuhkan sendi-sendi kehidupan dan nilai-nilai Islami. Kritik tajam dan sangat mendasar terhadap paham SePILIS pernah disampaikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam karyanya berjudul, “Islam and Scularism”. Menurut Al-Attas, baik sekularisme maupun sekularisasi adalah murni produk Barat dan tidak kompatibel – jika diamalkan – dengan ajaran Islam.
Ini lah yang dilakukan oleh Kamal Attaurk, pengusung sekularisme dan penghancur khilāfah islāmiyyah. Di era kontemporer ini, usulan sekularisme terus diusung kembali. Salah satunya oleh akademisi asal Sudan, Abdullahi Ahmed An-Na’im. Padahal Islam tidaklah dapat disatukan dengan sekularisme. Karena Islam tidak terpisah dari ranah kehidupan, termasuk politik.
Bahkan, pemikir Barat sekelas David de Santillana, orientalis Italia, sendiri mengaku bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (dīn wa dawlah).[ Lihat, Muḥammad ‘Imārah, al-Islām fī ‘Uyūn Gharbiyyah: Baina Iftirā’ al-Juhalā’ wa Inṣāf al-‘Ulamā’ (Cairo: Dār al-Syurūq, 2006), hlm. 145-146. Lihat juga, Yūsuf al-Qaraḍāwī, Meluruskan Dikotomi Agama & Politik: Bantahan Tuntas terhadap Sekularisme dan Liberalisme, Terj. Khoirul Amru Harahap (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008).
Bentuk lain dari ‘perang pemikiran” selain disebutkan tadi adalah; diterimanya “hermeneutika” sebagai metode penafsiran kitab suci, khususnya Al-Qur’an di Perguruan Tinggi Islam dan IAIN atau UIN. Padahal hermeneutika, sebagai metode penafsiran Bible, dipandang memiliki banyak masalah serius. Konon lagi jika diterapkan untuk menafsirkan Al-Qur’an. Padahal Al-Qur’an tidak mungkin ditafsirkan dengan metode hermeneutika yang murni Barat.
Alhasil, sesungguhnya apa yang dijajakan oleh Barat kepada dunia Islam melalui produk pemikiran mereka, sejatinya mereka tengah melancarkan “perang pemikiran”. Sejatinya, mereka ingin menipu umat Islam dan menjadikan mereka seperti istri Aladin. Mereka memberikan lampu yang palsu yang dipoles seolah lebih indah, lebih mahal dan lebih berharga.
Melalui ‘perang pemikiran, seperti istri Aladin, kita lebih mudah takjub (bahasa lain tertipu) produk baru yang menarik, dibanding ilmu-ilmu wariran Islam melalui para ulama-ulama salaf.
Inilah saatnya, kaum Muslim untuk tidak lagi tertipu dan takjub. Sebab “perang pemikiran” akan masuk kapan saja.

Sebagaimana peringatan Allah;
وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ
“Kaum Yahudi dan Kristen tidak akan pernah ridha sampai kalian mengikuti millah mereka.” (Qs. al-Baqarah (2): 120); dan jika kaum Muslimin tidak menerima agama lain, maka tidak ada jalan lain kecuali mengeluarkan mereka dari Islam dan membiarkan mereka dalam keadaan tanpa agama.” Wallāhu al-hādī ilā al-ṣawāb!
Penulis adalah pengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan, Sumatera Utara. Penulis buku “Salah Paham tentang Islam: Dialog Teologis Muslim-Kristen di Dunia Maya” (2012). Tulisan merupakan ringkasan makalah “Perang Pemikiran: Membaca Gerakan Invasi Pemikiran” yang pernah disampaikan dalam Kajian Rutin Guru-guru Siti Hajar, Senin 29 Dzulqa’dah 1433 H/15 Oktober 2012 M

“Proyek” Politik Pemikiran

Ketika suatu pemikiran bernuansa politik, aktifitasnya hampir tidak beda dari gerakan politik
Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi*
ADAKAH politik dalam pemikiran? Istilah ini boleh jadi akan dianggap sebagaian orang sebagai istilah yang terlalu bombastis. Namun kasus di bawah ini menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya politik pemikiran itu sangat nyata.
Ketika segelintir ulama dan cendekiawan Muslim menolak Rancangan Undang-undang Anti Pornoaksi dan Pornografi (RUU-APP), mereka sesungguhnya tidak hanya membenarkan gambar-gambar dan tarian atau goyang tabu (baca porno), atau bicara masalah halal-haram, moralitas atau akhlak bangsa. Mereka, sesungguhnya tengah memasarkan sebuah paham relativisme, hedonisme dan kebebasan (liberalisme).
Ketika Aminah Wadud menjadi imam Jum’at di sebuah gereja di Amerika, ia tidak sedang mengaplikasikan ijtihad fiqhiyyah-nya. Ia sesungguhnya tengah memasarkan sebuah paham gender dan feminisme.
Pernyataan-pernyatan sebagaian anak-anak muda Muslim, bahwa “semua agama sama benarnya”, “tidak ada syariat Islam, tidak ada hukum Tuhan”, sesungguhnya bukanlah pernyataan tentang teologi atau syariat Islam. Namun sebuah pelaksanaan proyek globalisasi dengan biaya tinggi. Buku berjudul“Fiqih Lintas Agama” yang terbit dua tahun silam, bukan buku bacaan tentang fiqih, tapi buku “pesanan” untuk proyek bernama ‘pluralisme agama’ dengan dana yang tak sedikit.
Segala sesuatu, kata Habermas, harus dipahami berdasarkan motif kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest). Pemahaman seperti ini sudah sangat jamak dikalangan aktifis liberal dan postmodernis. Mereka sendiri memahami Islam dengan cara yang sama. Islam bagi mereka adalah produk dari sebuah kepentingan dan kekuasaan. Dan karena itu, mereka tidak merasa bersalah jika memahami Islam juga untuk kepentingan tertentu. Itulah yang, kalau boleh saya katakan sebagai ‘politik pemikiran’.
Dalam bahasa Gadamer, itu lah yang disebut effective historical consciousness (kesadaran kesejarahan yang efektif). Mereka memahami realitas segala sesuatu sebatas ruang dan waktu kekinian saja.
Mungkin, secara pejoratif bisa disebut ghirah tarikhiyyah, yang tidak sejalan bahkan menggeser dan menggusur ghirah diniyyah..

Benarkah pemikiran liberal itu sarat kepentingan? Benar! sebab liberal adalah posmodernis dan posmodernis, tulis Akbar S Ahmed, adalah pendukung pluralisme, anti fundamentalisme, banyak protes terhadap tradisi, dan cara berfikirnya eklektik (Akbar S. Ahmed, Postmodernism). Pemikiran bukan untuk pengetahuan, tapi untuk kepentingan (kekuasaan atau politik). Buktinya, dari pemikiran mereka tiba-tiba menggalang komunitas, gerakan sosial dan bahkan menjelma menjadi pressure group. Demi “memasarkan” paham pluralisme agama, misalnya, pertama-tama mereka menolak adanya kebenaran mutlak, yang ada hanya kebenaran relatif.

Antara Deridda dan Sophistik
Karena itu adalah ‘politik pemikiran’, tak heran jika aktifisnya pun menjadi militan dan terkadang emosional. Substansi pemikirannya sarat dengan muatan politik, buktinya, ia bersifat responsif dan akomodatif terhadap suatu kepentingan ideologi tertentu (baca: Barat).
Niatnya, nampak tidak tulus karena sikap apriori dan kritis mereka terhadap tradisi pemikiran Islam lebih menonjol ketimbang terhadap Barat. Konsep-konsepnya sulit untuk dikategorikan ke dalam gerakan pembaharuan pemikiran Islam karena sifatnya lebih cenderung destruktif daripada konstruktif.
Ketika suatu pemikiran bernuansa politik, aktifitasnya hampir tidak beda dari gerakan politik. Media grafis, media elektronik, film, musik, aksi sosial dan berbagai media lainnya menjadi kendaraan. Pemikiran bukan di dakwahkan, tapi “dijual” ketengah masyarakat untuk suatu kepentingan. Ketika pemikiran bernuansa politik, pernyataan tentang suatu gagasan selalu bermakna ganda. Antara ucapan, ungkapan atau pernyataan bisa berbeda dari makna yang dimaksud. Bahkan terkadang, mengikuti gaya Derrida, makna yang sudah mapan di dekonstruksi sehingga menjadi bermakna baru.
Untuk mendekonstruksi institusi agama, diperkenalkanlah teori dualisme dan relativisme: agama dan pemikian keagamaan adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama absolut dan yang kedua relatif. Pemikiran ini secara politis ditujukan untuk memberantas sikap-sikap keagamaan ekslusif, fundamentalis dan absolutis.
Jika dualisme pemikiran dianut, maka semua pemikiran keagamaan akan menjadi relatif, yang mutlak hanyalah agama dan yang tahu agama hanya Tuhan. Siapapun boleh berfikir tentang apapun dalam soal agama.
Tidak ada kebenaran mutlak, tidak ada yang berhak menyalahkan pemikiran orang lain, tidak ada yang bisa mencegah kemunkaran. Tidak ada lembaga atau kelompok yang boleh mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan. Baik buruk, salah benar tergantung kepada individu. Semua bebas!. Inilah ‘politik pemikiran’. Jika target ini tercapai, maka paham teologi global (global theology) atau teologi dunia (world theology) akan menemukan jalannya menembus semua agama. Inilah sebenarnya kepentingan ‘politik pemikiran’ itu.
Kalaupun tidak dengan teori dekonstruksinya Derrida, mereka menggunakan metode aliran sophist (indiyah, la adriyah dan inadiyah). Ketika argumentasi mereka tentang kebebasan menafsirkan agama dengan sebebas-bebasnya mulai nampak lemah, misalnya, mereka akan berkelit dan berlindung di bawah prinsip-prinsip HAM. Ketika ide feminisme tidak bisa mendekonstruksi fiqih, mereka justru akan menggunakan dalih perlunya persamaan dan pemberantasan penindasan dan pelecehan terhadap wanita. Targetnya sama saja, agar di masyarakat tidak ada lagi yang mempunyai otoritas. Tidak ada yang bisa berkuasa karena agama dan agar agama tidak mengisi ruangan publik.
Jika dibaca dengan cermat buku-buku seperti Clash of Civilizations, karya S.Huntington, Who Are We, karya Bernad Lewis, When Religions Become Evil, karya Richard Kimbal, The End of History, karya Fukuyama, Islam Unveiled: Disturbing Question About the World’s Fastest-Growing Faith, karya Robert Spencer dan lain-lain, sesungguhnya mengandung fakta-fakta pemikiran yang berimplikasi politik. Yang kurang kritis bisa saja menilai buku-buku itu dengan sikap positif. Mungkin alasannya karena asumsinya baru, analisasnya tajam, argumentasinya valid, pertanyaan-pertanyaannya menantang untuk dijawab dan lain sebagainya. Tapi jika ia mencermati implikasi politik dalam semua asumsi, analisa dan argumentasinya, maka, ia akan menilai dengan sikap sebaliknya.
Karena tidak semua orang dapat menemukan hubungan antara pemikiran dan target politis dibaliknya, maka tidak heran jika diantara umat Islam ada yang bersikap apatis terhadap wacana-wacana pemikiran yang dikenal “liberal” itu. Padahal pemikiran yang politis itulah yang menjadi bahan kebijakan strategis.
Untuk mengetahui bagaimana sebuah pemikiran berubah menjadi kebijakan strategis, kita rujuk sebuah buku yang berjudul Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies, (2003), ditulis oleh Cheryl Bernard. Buku ini membahas tentang politik perang pemikiran atau strategi dan taktik pemikiran yang perlu dilakukan Barat untuk menghadapi umat Islam pasca 11 September. Targetnya untuk melawan sesuatu yang tidak jelas “terorisme dan fundamentalisme” dalam Islam. Bahkan setelah menulis buku ini ia menulis buku lain berjudul “U.S. Strategy in the Muslim World After 9/11 (2004), The Muslim World After 9/11 (2004), dan Three Years After: Next Steps in the War on Terror (2005).

Sudah tentu, tulisan-tulisannya itu merujuk kepada pemikiran, pandangan dan gambaran tentang ummat Islam yang ditulis oleh cendekiawan sebelumnya. Jargon science for science, yang konon dipegang Barat secara konsisten ternyata tidak. Karya-karya tentang Islam yang diwarnai oleh bias kultural dan sentimen keagamaan, misalnya digunakan untuk kepentingan eksploitasi dan bahkan klonialisasi. Pemikiran sekularisme, demokrasi, liberalisme yang disuntikkan kedalam pemikiran umat Islam bukanlah murni pemikiran, ia telah berubah bentuk menjadi ‘politik pemikiran’. Pemikiran ini tidak menjadi ilmu tapi menjelma menjadi kebijakan politik.

Dari Pemikiran ke Strategi
Cheryl Bernard adalah sosiologis yang pernah menulis novel-novel feminis yang memojokkan ulama dan menyatakan wanita dalam Islam itu tertindas. Jilbab menurutnya diambil dari pemahaman yang salah terhadap Al-Qur’an, dan merupakan simbol pemaksanaan dan intimidasi.
Suaminya adalah Zalmay Khalilzad, blasteran Afghan-Amerika yang menjadi asisten khusus Presiden George W Bush dan Ketua Dewan Keamanan Nasional (National Security Council (NSC) khusus untuk teluk Persia dan Asia Barat-Daya. Selain itu ia pada tahun 1980 bekerja di bawah Paul Wolfowitz pada Policy Planning Council. Pada saat terjadi perang terhadap Iraq tahun 1991, Zalmay menjadi sekretaris menteri pertahanan.
Cheryl Bernard menulis ini dibawah proyek penelitian sebuah lembaga swadaya masyarakat di Amerika, lembaga itu bernama Rand Corporation. Sebuah lembaga riset yang mengklaim sebagai lembaga independen yang membuat “analisa obyektif dan solusi efektif terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat ataupun individu diseluruh dunia”. Di lembaga yang dibiayai oleh Smith Richardson Foundation ini, Cheryl menulis untuk Divisi Riset Keamanan Nasional (National Security Research Division) dimana suaminya bekerja.
Tujuan dari buku ini adalah untuk membuat suatu laporan dan usulan dalam rangka membantu kebijakan pemerintah Amerika, khususnya dalam soal pemberantasan ekstrimisme, dan pengembangan bidang sosial, ekonomi, politik melalui proses demokratisasi. Yang jelas, divisi ini bertugas memberi saran-saran kepada pemerintah AS bagaimana menghadapi “fundamentalisme” dalam Islam dan menyebarkan pemikiran liberal ketengah-tengah umat Islam. Diantara bunyinya sebagai berikut:
“To encourage positive change in the Islamic world toward greater democracy, modernity, and compatibility with the contemporary international world order, the United States and the West need to consider very carefully which elements, trends, and forces within Islam they intend to strengthen (hal x).”
Karena tujuannya untuk mem-Barat-kan umat Islam, maka ia hanya memilih elemen-elemen dan nilai-nilai Islam yang sesuai dengan Barat saja untuk dikembangkan. Ini tentu untuk memuluskan jalannya modernisasi, westernisasi dan Amerikanisasi. Bahkan lebih praktis lagi Bernard menyarankan agar Barat memberikan “bantuan” bagi pengembangan nilai-nilai Barat tersebut kedalam pemikiran ummat Islam. Bantuan itu kini telah mengucur ke berbagai LSM-LSM di Indonesia.
Tidak hanya menyeret nilai-nilai Islam kedalam nilai-nilai Barat, Cheryl Bernard juga membuat kategori kelompok-kelompok umat Islam dengan bahasa kultural Barat. Kelompok Islam dalam laporan itu dibagi menjadi Muslim sekularis, tradisionalis, fundamentalis dan modernis (dalam kelompok terakhir ini termasuk Muslim liberal). Muslim modernis misalnya, dinisbahkan kepada Muslim yang bekerja untuk Barat dan yang mendukung masyarakat demokratis modern. Sementara itu Muslim fundamentalis radikal (the radical fundamentalists) adalah mereka yang anti demokrasi Barat, nilai-nilai Barat secara umum, dan Amerika Serikat khususnya; pokoknya tujuan dan visi kelompok ini tidak sesuai dengan Barat. Jadi standar klasifikasi ini adalah Barat, dan bukan berdasarkan realitas umat Islam. Memang, inilah strategi pemikiran.
Dari pemikiran dan gambaran tentang umat Islam yang salah itu Cheryl mengusulkan saran-saran strategi pemikiran kepada pemerintah AS.
Saran-saran strategis yang diberikan Cheryl kepada pemerintah AS adalah sbb: 1) Ciptakan tokoh atau pemimpin panutan yang membawa nilai-nilai modernitas. 2) Dukung terciptanya masyarakat sipil (civil society) didunia Islam.3) Kembangkan gagasan Islam warna-warni, seperti Islam Jerman, Islam Amerika, Islam Inggris dst. 4) Serang terus menerus kalompok fundamentalis dengan cara pembusukan person-personnya melalui media masa. 5) Promosikan nilai-nilai demokrasi Barat modern 6) Tantang kelompok tradisionalis dan fundamentalis dalam soal kemakmuran, keadilan sosial, kesehatan, ketertiban masyarakat dsb. 7) Fokuskan ini semua kepada dunia pendidikan dan generasi muda Muslim.
Ia juga mengajak mempercepat pembangunan masyarakat sipil Islam yang demokratis dan modern ala Cheryl. Ia mengusulkan beberapa strategi; 1) Dukunglah kelompok modernis, perluas visi mereka tentang Islam sehingga mengungguli kelompok tradisionalis. Kemudian angkat mereka secara publik sehingga menjadi figure Muslim kontemporer. 2) Dukunglah kelompok sekularis kasus per kasus. 3) Kembangkan lembaga-lembaga dan program-program sekuler dibidang sosial dan kultural. 4) Dukung kelompok tradisionalis secukupnya sekedar dapat berlawanan dengan fundamentalis dan dapat menghindari persatuan kedua kelompok ini. 5) Musuhi kelompok fundamentalis secara energik dengan menyerang kelemahan mereka dalam pemahaman dan ideologi keislaman mereka, seperti membuktikan korupsi, kebrutalan, kebodohan, bias mereka dan kesalahan mereka dalam mengamalkan Islam serta ketidak mampuan mereka dalam memimpin dan memerintah.
Empat Strategi
Nah, yang tak kalah penting adalah yang terakhir, langkah-langkah strategis usulan Cheryl.
Pertama-tama, ia meminta mendukung kelompok cendekiawan modernis (liberal). Menurut Cheryl, doronglah mereka menulis untuk publik dan anak muda. Terbitkan dan sebarkan kerja-kerja mereka dengan bantuan biaya. Masukkan ide-ide mereka ini kedalam kurikulum pendidikan Islam. Usahakan agar pandangan mereka tentang masalah-masalah mendasar dalam penafsiran agama dapat dibaca oleh masyarakat dan agar berkompetisi dengan kelompok fundamentalis dan tradisionalis.
Kedua, dukung kelompok tradisionalis dalam menghadapi fundamentalis. Publikasikan kritik-kritik kelompok tradisionalis terhadap tindak kekerasan dan ektrimisme kelompok fundamentalis. Pupuk terus perselisihan antara tradisionalis dan fundamentalis, dan jangan sampai mereka bersatu. Upayakan agar pemikiran tradisionalis mendekati modernis. Kalau perlu didiklah kelompok tradisionalis agar dapat melawan fundamentalis. Fundamentalis biasanya lebih superior dalam retorika, tapi tradisionalis masih agak tertinggal. Tingkatkan jumlah kelompok modernis (liberal) dalam institusi tradisionalis.
Ketiga, hadapi dan lawan fundamentalis. Tantanglah penafsiran mereka tentang Islam dan tunjukkan ketidakakuratannya. Bongkar jaringan mereka dengan kelompok-kelompok illegal. Publikasikan segala konsekuensi dari tindak kekerasan mereka. Tunjukkan juga ketidak mampuan mereka untuk memimpin, untuk mencapai perkembangan positif bagi Negara dan masyarakatnya. Kemudian sebarkan hal ini kepada generasi muda, kepada masyarakat tradisionalis yang taat, minoritas Muslim di Barat dan kepada para wanita. Hindarkan rasa respek atau pemujaan terhadap kekerasan yang dilakukan kelompok fundamentalis, ekstrimis dan teroris. Juluki mereka sebagai pahlawan jahat, penakut dan tidak waras. Doronglah para wartawan untuk menginvestigasi korupsi, kemunafikan dan tindak amoral dalam kelompok fundamentalis dan teroris. Pecah belahlah kelompok fundamentalis.
Keempat, dukunglah kelompok sekularis dengan secara hati-hati. Dorong kelompok ini agar mengakui fundamentalisme sebagai musuh bersama. Hindarkan agar kelompok sekularis ini tidak beraliansi dengan kekuatan anti AS yang didorong oleh nasionalisme atau ideologi kiri. Dukunglah ide bahwa dalam Islam agama dan Negara dapat dipisahkan dan ini tidak membahayakan keimanan tapi malah memperkuat keimanan. Posisikan sekularisme dan modernisme sebagai pilihan bagi ummat Islam. Upayakan agar di kalangan ummat Islam tumbuh kesadaran dan ketertarikan kepada sejarah dan kultur pra-Islam dan non-Islam. Bantulah kelompok ini dalam mengembangkan organisasi sipil yang independen agar mereka dapat mengembangkan diri melalui proses politik. (hal.48)

Lebih lanjut Cheryl Bernard memberi masukan tentang langkah praktis yang perlu dilakukan untuk mendukung strategi dan taktik diatas. Kegiatan-kegiatan yang ia usulkan adalah sbb: 1) Rebut atau rusaklah “monopoli” kelompok fundamentalis dan tradisionalis dalam menjelaskan dan menafsirkan Islam. 2) Cari kelompok modernis/liberal yang dapat membuat website yang menjawab berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan perilaku harian dan kemudian menawarkan pendapat Muslim modernis tentang hukum-hukumnya. 3) Doronglah cendekiawan Modernis/liberal untuk menulis buku teks dan mengembangkan kurikulum dan berilah bantuan finansial. 4) Gunakan media regional yang populer, seperti radio, untuk memperkenalkan pemikiran-pemikiran Muslim modernis/liberal agar membuat dunia internasional melek tentang apa arti Islam dan dapat berarti apa Islam itu.
Meski disini tidak dapat dihadirkan bukti bahwa Amerika menerima dan melaksankan saran-saran Cheryl Bernard, tapi kita bisa saksikan saran-saran Cheryl Bernard di implementasikan di Indonesia secara perlahan-lahan tapi pasti. Fenomenanya jelas. Muslim pendukung Barat dipromosikan media masa menjadi tokoh baru. Kini istilah civil socity sudah sering keluar mulut cendekiawan Muslim dan akrab ditelinga mahasiswa. Konsep civil socity pun dianggap sepadan dengan konsep masyarakat madani. Modernis dan Liberal Muslim pendukung Barat adalah pembela aliran “sesat”, atau aliran-aliran sempalan. Muslim yang tidak sejalahn dengan liberal, sekuler, demokrasi Barat, akan segera dicap teroris, fundamentalis dan anti Barat.
LSM-LSM kini tidak lagi berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, tapi lebih kepada pembaratan masyarakat. Proposal proyek untuk “mengekspor” kemiskinan masyarakat ke Negara-negara Barat tidak laku lagi. Sementara proposal untuk menjual paham masyarakat sipil, demokrasi, gender, liberalisme, pluralisme agama, multikulturalisme dan semacamnya tidak lagi mencari bantuan Barat, tapi dicari-cari Barat untuk dibantu. Bahkan yang paling keras mengkritik ajaran Islam dan tradisi pemikiran Islam serta membawa gagasan-gagasan “aneh” kini mudah mendapat dana dan biasiswa dari Barat.
Inilah barangkali yang disindir al-Baqarah (Q.S. 2:41, 79, 173), Ali Imran (Q.S. 3:77,187, 199), al-Mai’dah (Q.S. 9:44), al-Tawbah (Q.S. 9:9) dan al-Nahl (Q.S. 16: 95). sebagai “menjual” ayat-ayat Tuhan dengan harga murah.
Well done Mrs. Cheryl !!
Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com.