Wednesday, May 2, 2018

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Adalah Ahlul Wasath [Al-Baqarah: 143], Al-Firqatun An-Najiyyah (Golongan Yang Selamat). Syi’ah Ahlul Ghuluw, Salah Satu Firqah Sesat (Diluar Islam). Wasathiyah Bukan Perusakan Aqidah, Sumbernya Alquran Dan Hadits Yang Shahih Dan Sharih, Bukan Moderat !

Membahas Ulang Konsep Moderat (Wasathiyah)

“Muslim moderat menurut Barat, adalah dengan ciri-ciri Muslim yang tidak anti semith (tidak anti Yahudi), kritis terhadap Islam dan menganggap Nabi Muhammad tidak mulia dan tidak perlu diikuti, pro kesetaraan gender, menentang jihad, menentang kekuasaan Islam, pro pemerintahan sekuler, pro Israel, pro kesamaan agama-agama, tidak merespons terhadap kritik-kritik kepada Islam dan Nabi Muhammad, anti pakaian Muslim, tidak suka jilbab, anti syariah dan anti terorisme. Inilah arti moderat menurut Barat,” tegas Hamid.
Jadi, syariah itu tidak moderat bagi Barat. Tapi moderat perspektif Barat itu adalah yang percaya pada demokrasi, toleransi, pendekatan politik tanpa kekerasan, perlakuan yang sama terhadap wanita dalam hukum.Kesimpulannya, moderat dalam pikiran Barat itu identik dengan liberal. Sehingga tidak sama dengan wasathiyah.
Jadi, ada keterkaitan pelaksanaan KTT tersebut dengan berbagai kekerasan yang terjadi, di mana salah satu yang dianggap pemicunya adalah cara umat Islam dalam memaknai dan melaksanakan agama yang dipeluknya.
Kita memang tidak bisa menafikan berbagai kejadian yang disebut sebagai kekerasan yang terjadi dengan agama Islam sebagai latarnya. Namun berbagai pembicaraan seputar Islam dan kekerasan selalu mendudukkan Islam dan kaum Muslimin sebagai “aktor.” Karenanya, kemudian pelaku dan pikirannya yang perlu diubah.
Pembicaraan sama sekali tidak pernah menyentuh faktor “penyebab.” Hampir seluruh agenda yang diadakan seputar masalah ini selalu berkutat pada faktor “api,” dan berusaha memadamkannya, tanpa pernah menyinggung dari mana sekam, minyak dan korek yang memantiknya.
Istilah yang selalu dikemukakan adalah “kekerasan.” Padahal, hampir dari seluruh kejadian yang ada, apa yang dilakukan umat Islam adalah reaksi dari penindasan dan tindak kezaliman yang terjadi sebelumnya. Siapa yang menindas, siapa yang menzalimi, apa tindakan yang harus diberikan kepada penindas dan penzalim, meminjam iklan mobil diesel era 90-an: nyaris tak terdengar.
Catatan kritis itu perlu kita sodorkan pada KTT ini, agar tidak mubazir, terkesan hanya formalitas dan basa-basi semata. Apalagi kalau definisi “Wasathiyah” ini dimaknai dengan pendekatan berbagai agama dengan cara menganggap benar semuanya (taqrib).
Sebab, cara seperti ini sudah usang. Usang, karena dahulu Abu Thalib juga mempraktikkannya. Ia tidak membantah kebenaran Islam yang dibawa keponakannya, Muhammad SAW. Namun ia juga enggan mengingkari keyakinan syirik kaum Quraisy sebagai kebatilan yang harus ditinggalkan.
Pada akhirnya, sebagai tuan rumah, kita patut berharap bahwa KTT ini bukan merupakan jelmaan baru dari “muktamar” abad ke-17 yang kemudian akhirnya “mereformasi” ajaran Kristen.

Ahlus Sunnah Adalah Ahlul Wasath

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Ahlul Wasath (ummat yang pertengahan di antara firqah-firqah [1] yang menyimpang) [2]. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan ummat (Islam) ini sebagai ummat pertengahan (ummat yang adil dan terpilih), di kalangan semua ummat manusia, sebagaimana firman-Nya:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian pula telah Kami jadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” [Al-Baqarah: 143]
Mereka (Ahlus Sunnah) adalah pertengahan di antara firqah-firqah (golongan-golongan) yang sesat. Menurut penjelasan Imam ‘Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th. 181 H) dan Yusuf al-Asbath (wafat th. 195 H) bahwa golongan yang binasa (sesat) banyak jumlahnya, akan tetapi sumber perpecahannya ada empat firqah (golongan), yaitu:
1. Rafidhah.
2. Khawarij.
3. Qadariyyah.
4. Murji’ah.
Ada orang yang bertanya kepada ‘Abdullah Ibnul Mubarak tentang golongan Jahmiyyah, maka beliau menjawab: “Mereka itu bukan ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [3]
Di antara keyakinan dan manhaj Ahlus Sunnah yang merupakan pertengahan adalah:
1. Mereka (Ahlus Sunnah) adalah pertengahan dalam masalah Sifat-Sifat Allah antara golongan Jahmiyyah dan Musyabbihah.
Jahmiyyah adalah aliran yang sesat dan dikafirkan oleh para ulama. Muncul pada akhir kekuasaan Bani Umayyah. Disebut demikian karena dikaitkan dengan nama tokoh pendirinya, yaitu Abu Mahraz Jahm bin Shafwan at-Tirmidzi yang dibunuh pada tahun 128 H. Di antara pendapat aliran ini adalah mengingkari Asma’ dan Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Al-Qur-an adalah makhluk (barang ciptaan) dan bahwa iman itu adalah hanya sekedar mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka berkeyakinan bahwa Surga dan Neraka itu fana (akan binasa) dan lain-lain.[4]
Musyabbihah yaitu aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Mereka menyamakan atau menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Termasuk dalam golongan tamtsil ini adalah Jawaliqiyyah, Hisyamiyyah dan Jawaribiyyah.[5]
Sedangkan pandangan Ahlus Sunnah tentang Sifat Allah dapat dilihat dalam pembahasan Tauhid Asma’ wash Shifat.
2. Ahlus Sunnah pertengahan antara aliran Jabariyyah dan Qa-dariyyah dalam masalah af’alul ‘ibad (perbuatan hamba-Nya).
Jabariyyah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘jabr’ artinya paksaan. Dan mereka mempunyai pandangan bahwa manusia dalam segala perbuatan, gerak-gerik dan tingkah lakunya adalah dipaksa, tidak memiliki kekuasaan dan kebebasan. Mereka menafikan perbuatan hamba secara ha-kikat dan menyandarkannya kepada Allah. Termasuk dalam aliran ini adalah Jahmiyyah, mereka berpandangan seperti itu. Menurut Syahrastani bahwa Jabariyyah ada dua golongan: Jabariyyah Khalishah dan Jabariyyah Mutawassithah. [6]
Qadariyyah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘qadar’, artinya ketentuan Ilahi. Aliran ini tidak mengakui adanya qadar tersebut dan mengatakan manusialah yang menentukan nasibnya sendiri dan dialah yang membuat perbuatannya, terlepas dari kodrat serta iradat Ilahi. Termasuk dalam aliran ini adalah Mu’tazilah yang juga berpan-dangan sama.[7]
Pandangan Ahlus Sunnah Tentang Perbuatan Hamba adalah:
Pertama : Perbuatan hamba pada hakekatnya adalah ciptaan Allah Azza wa Jalla.
Kedua : Yang melaksanakan perbuatan tersebut adalah hamba itu sendiri secara hakiki.
Ketiga : Seorang hamba mempunyai kekuasaan (kemampuan) untuk melaksanakan perbuatannya secara hakiki dan mempunyai pengaruh atas terjadinya perbuatan tersebut. Dan Allah-lah yang memberi kemampuan kepada mereka untuk melakukan perbuatan tersebut.[8]
Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni (wafat th. 499 H) rahimahullah berkata: “Pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keyakinan bahwa perbuatan hamba adalah diciptakan Allah Azza wa Jalla. Dan mereka tidak ada yang membantah serta tidak ada keraguan sedikit pun. Sebaliknya, mereka menganggap orang yang mengingkari dan tidak menerima kenyataan itu sebagai orang yang menyimpang dari petunjuk dan kebenaran.” [9]
3. Mereka (Ahlus Sunnah) pertengahan dalam masalah ancaman Allah [10], antara Murji’ah dan aliran Wa’idiyyah, dari kalangan Qadariyyah dan selain mereka.
Murji’ah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata irja’ yang berarti pengakhiran, sebab mereka mengakhirkan (memisahkan) amal dari iman. Mereka mengatakan: “Suatu dosa tidak membahayakan selama ada iman, sebagai-mana suatu ketaatan tidak berguna selama ada kekafiran.” Menurut mereka, amal tidaklah termasuk dalam kriteria iman, serta iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang.[11]
Wa’idiyyah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah, berasal dari kata wa’iid yang berarti ancaman. Mereka berpendapat bahwa Allah harus melaksanakan ancaman-Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur-an. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar, apabila ia wafat tanpa bertaubat, maka ia akan kekal di dalam Neraka, sebagaimana yang diancamkan oleh Allah terhadap mereka, sebab Allah tidak akan menyalahi janji-Nya.[12]
Sedangkan menurut pandangan Ahlus Sunnah bahwasanya seorang Muslim yang berbuat dosa besar akan mendapat ancaman dengan Neraka apabila ia tidak bertaubat, jika Allah menghendaki, Dia akan mengampuninya, dan jika Allah menghendaki, Dia akan menyiksanya di dalam Neraka, akan tetapi ia tidak kekal di Neraka.[13]
4. Ahlus Sunnah pertengahan dalam hal nama-nama iman dan agama, antara golongan Haruriyyah dan Mu’tazilah, serta antara kaum Murji’ah dan Jahmiyyah.
Haruriyyah adalah aliran sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata haruura’ (حَرُوْرَاءُ), yaitu suatu tempat di dekat Kufah. Haruriyyah termasuk salah satu sekte dalam aliran Khawarij. Dinamakan demikian karena di tempat itulah mereka ber-kumpul ketika mereka keluar (memberontak) dari kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Menurut mereka, pelaku dosa besar ada-lah kafir dan di akhirat ia kekal di dalam Neraka.[14]
Mu’tazilah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Mereka adalah pengikut Washil bin ‘Atha’ dan ‘Amr bin ‘Ubaid. Dikatakan Mu’tazilah karena mereka mengeluarkan diri (‘itizal) dari kelompok kajian al-Hasan al-Bashri (wafat tahun 110 H) rahimahullah, atau karena mereka mengisolir diri dari pandangan sebagian besar ummat Islam ketika itu dalam hal pelaku dosa besar, karena menurut Washil bin ‘Atha’, pelaku dosa besar berada dalam status antara iman dan kafir, tidak dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan kafir, atau disebut dengan istilah mereka: manzilah bainal manzilatain (tempat di antara dua kedudukan, tidak mukmin dan tidak kafir). Dan jika tidak bertaubat, maka ia di akhirat akan kekal dalam Neraka.[15]
Adapun menurut Ahlus Sunnah, pelaku dosa besar dari kaum Muslimin masih tetap disebut Mukmin karena imannya, hanya saja ia itu fasiq karena perbuatan dosa besarnya. Atau dikatakan ia itu Mukmin yang kurang imannya, sedang urusannya di akhirat -apabila belum bertaubat- adalah terserah Allah, jika Allah Azza wa Jalla menghendaki, akan disiksa-Nya (sesuai dengan keadilan-Nya) dan jika Dia menghendaki akan diampuni-Nya (sesuai dengan sifat kasih-Nya).[16]
5. Ahlus Sunnah juga pertengahan antara golongan Rafidhah dan Khawarij, dalam masalah Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rafidhah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘Rafadha’, artinya menolak. Salah satu sekte di dalam aliran Syi’ah. Mereka bersikap berlebih-lebihan terhadap ‘Ali dan Ahlul Bait, serta mereka menyatakan permusuhan terhadap sebagian besar Sahabat, khususnya Abu Bakar dan ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Disebut Rafidhah, karena mereka menolak untuk membantu serta mendukung Zaid bin ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib pada masa kepemimpinan Hisyam bin ‘Abdil Malik. Sebabnya, karena mereka meminta kepada Zaid supaya menyatakan tidak berpihak kepada Abu Bakar dan ‘Umar, beliau menolak dan tidak mau sehingga mereka pun menolak untuk mendukungnya. Oleh karena itu mereka disebut Rafidhah.[17]
Khawarij adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Suatu aliran yang menyempal dari agama Islam dan mereka keluar dari para Imam pilihan dari kaum Muslimin. Bahkan mereka mengkafirkan ‘Ali dan Mu’awiyah serta para pendukung keduanya. Mereka (Khawarij) disebut demikian karena menyatakan keluar dari kekhalifahan ‘Ali setelah peristiwa Shiffin. Prinsip Khawarij yang paling mendasar ada tiga, yang mereka telah menyimpang, sesat dan menyesatkan kaum Muslimin:
Pertama : Mengkafirkan ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Utsman bin ‘Affan dan dua hakim [18] Radhiyallahu anhum.
Kedua : Wajib keluar (berontak) dari penguasa yang zhalim.
Ketiga: Pelaku dosa besar adalah kafir dan di akhirat kekal dalam Neraka.[19]
Firqah yang pertama kali keluar dari ummat Islam adalah Khawarij, merekalah yang pertama kali mengkafirkan kaum Muslimin dengan sebab dosa besar, dan mereka juga yang meng-halalkan darah kaum Muslimin dengan sebab itu.[20]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
Footnote
[1]. Firqah adalah kelompok atau golongan, aliran, pemahaman yang menyimpang dari pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum. Mereka mempunyai prinsip dan kaidah da-lam beragama yang berbeda dengan prinsip ‘aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
[2]. Untuk lebih jelas tentang pertengahan Ahlus Sunnah di antara firqah-firqah yang sesat, bacalah kitab Wasathiyyah Ahlus Sunnah bainal Firaq karya Dr. Muhammad Bakarim Muhammad Ba’abdullah, cet. I- Daarur Rayah, th. 1415 H.
[3]. Majmuu’ Fataawaa (III/350) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[4]. Lihat Maqaalaat Islamiyyiin (juz I) oleh Abul Hasan al-Asy’ari, al-Farqu bainal Firaq (hal. 158), al-Milal wan Nihal (hal. 86-88) oleh Syahrastani, Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 185) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf, dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 296).
[5]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 185) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf, al-Farqu bainal Firaq (hal. 170-174) dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 317-318).
[6]. Lihat Maqaalaatul Islamiyyiin (I/338), al-Milal wan-Nihal (hal. 85) oleh Syah-rastani dan Wasathiyah Ahlis Sunnah (hal. 374-375).
[7]. Lihat al-Farqu bainal Firaq (hal. 79) oleh al-Khatib al-Baghdadi, tahqiq Muhyidin ‘Abdul Hamid, al-Milal wan-Nihal (hal. 43-45) oleh Syahrastani dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 378).
[8]. Lihat Wasathiyyah (hal. 379) dan Minhaajus Sunnah (II/298).
[9]. ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits (hal. 90 no. 118).
[10]. Lihat pembahasan tentang al-Wa’du wal Wa’iid pada buku ini (hal. 374-380).
[11]. Lihat al-Milal wan-Nihal (hal. 139) oleh Syahrastani, Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 294-295).
[12]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 188) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf dan Wasathiyyah Ahlus Sunnah (hal. 355-356).
[13]. Wasathiyyah Ahlus Sunnah (hal. 357).
[14]. Lihat Maqaalaatul Islamiyyiin (I/167) oleh Abul Hasan al-Asy’ari, tahqiq Muhyidin ‘Abdul Hamid, Majmu’ al-Fataawaa (VII/481-482) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 190) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf.
[15]. Lihat al-Farqu bainal Firaq (hal. 15), Wasathiyyah (hal. 296-297, 341-343).
[16] Lihat Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 346) dan Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 191) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf.
[17]. Lihat Minhaajus Sunnah (I/34-36) oleh Syaikhul Islam, tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim, Maqaalaatul Islamiyyiin (I/65, 88, 136) dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 405-418).
[18]. Yang dimaksud dengan dua hakim adalah dua orang utusan untuk melerai perselisihan antara ‘Ali dan Mu’awiyah. Dari pihak ‘Ali diutus Abu Musa al-Asy’ari dan dari pihak Mu’awiyah diutus ‘Amr bin al-‘Ash, رضوان الله عليهم أجمعين.
[19]. Lihat Maqaalaatul Islaamiyyiin (I/167-168), al-Milal wan-Nihal (hal. 114-115) oleh Syahrastani, Fat-hul Baari (XII/283-284) dan Wasathiyyah (hal. 290-291).
[20]. Majmuu’ Fataawaa (III/349 dan VII/481) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
https://almanhaj.or.id/3177-ahlus-sunnah-adalah-ahlul-wasath.html 

Hanya Satu Jalan Menuju Allah Azza Wa Jalla
Mana Jalan Yang Harus Ditempuh ? Antara Jalan Allah Atau Jalan Iblis Dan Pengikutnya.
Jika Beragama Mengikuti Kebanyakan Orang
Subhanallah, Terbukti Dua Karakteristik Ucapan Rasulullah SAW : Keimanan Ada Pada Penduduk Al Haramain, Yaman Dan Syam Serta Kelak Sumber Malapetaka (Tanduk Setan) Ada Di 'Iraaq (Najd, Kufah, Basrah Dan Timur Lainnya). Terbukti Benar : Sekte Sesat-Kejam Syiah Ismailiyah, Qaramithah, Itsna Asyariyah, Al-Jarudiyah, An-Nushairiyah, Mu'tazillah, Khawaarij, Thoriqoh-thoriqoh Ahlul-Bid'ah Shufiyyah Dan Kerusakan Aqidah Lainnya Lahir Dari Sini (Timur) !
Al Aqidah Al Wasitiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
[Kitab “Al-Aqidah Al Wasithiyah” tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Ta’ala, adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah].
Apakah Wasathiyah itu?

Dakwah Salafiyah Dakwah Wasathiyah (Pertengahan)
Manhaj dan dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersifat wasathiyah (pertengahan) antara dua sisi: yang ekstrem dan yang meremehkan (teledor). Sifat ini adalah sifat yang lazim dan terus-menerus ada pada dakwah dan manhaj mereka, karenanya mereka menjadi umat yang terbaik.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا كُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan.” (QS Al Baqarah: 143)
Karenanya, mereka mencela orang-orang yang ekstrem dalam beragama, sebab hal tersebut adalah sunnahnya ahlul kitab. Sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’alanyatakan, “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” (QS An-Nisa`: 171, Al Maidah: 77)
Allah ‘azza wa jalla juga telah menegaskan,  “Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melampauinya (melanggarnya).” (QS Al Baqarah: 229)
Pimpinan mereka juga telah bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seseorangpun yang ekstrem (dalam beragama), kecuali dia sendiri yang akan terkalahkan”. (HR Al Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ta’ala ‘anhu)
Beliau juga bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
“Waspadalah kalian dari ghuluw (ekstrem) dalam agama, karena tidaklah menghancurkan orang-orang sebelum kalian kecuali ghuluw dalam beragama.” (HR An Nasa`i, Ibnu Majah, dan Ahmad dari Ibnu Abbas radhiyallahu ta’ala ‘anhu dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihul Jami’ no. 2680)
Di sisi lain, mereka juga menegur dan memperingatakan orang-orang yang meremehkan perkara agama, karena Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.” (QS Al Baqarah: 187)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallambersabda:
وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي
“Telah dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa saja yang menyelisihi perintahku.” (HR Ahmad dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ta’ala ‘anhuma dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihul Jami’ no. 2831)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Al ‘Aqidatul Wasithiyyah, “Bahkan mereka (Ahlussunnah wal Jama’ah) bersikap pertengahan di antara kelompok-kelompok umat ini (Islam) sebagaimana umat (Islam) ini bersikap pertengahan di antara umat-umat yang lain (non muslim). Maka mereka bersikap pertengahan dalam masalah sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala antara ahlut ta’thil (orang-orang yang menafikan sifat Allah) dan Jahmiah dengan ahlut tamtsil (orang-orang yang menyerupakan dengan makhluk) dan musyabbihah. Mereka bersikap pertengahan dalam masalah perbuatan-perbuatan hamba, antara Jabriyah dengan Qadariyah dan selain mereka. Dalam masalah ancaman Allah (mereka pertengahan), antara Murji’ah dan Al Wa’idiah dari kalangan Qadariyah dan selain mereka. Dalam masalah penamaan iman dan agama, antara Haruriyah (Khawarij) dengan Mu’tazilah dan antara Murji’ah dengan Jahmiyah. Dalam (masalah) sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam antara Rafidhah (Syi’ah) dengan Khawarij.”
Mereka juga berada di pertengahan dalam masalah bersikap terhadap pemerintah yang zhalim, antara Khawarij yang mengkafirkannya dan Murji’ah yang mengatakannya sebagai mu’min sejati. Dalam masalah bersikap kepada para ulama, mereka berada antara para muqallid (tukang taqlid) yang mengambil semua ucapan imam mazhab mereka, tanpa terkecuali; dan antara Sururiyah dan Haddadiyah yang mencerca, meremehkan dan menganggap rendah para ulama.

“Islam” Washatiyah 
Ala Abu Thalib

Para “tokoh” agama, mufti dan cendekiawan dari 43 negara berkumpul di Bogor (01/05). Selama tiga hari, mereka akan mengikuti High Level Consultation of World Muslim Scholars On Wasatiyyat Islam (HLC-WMS). Sebuah konferensi tingkat tinggi (KTT) yang membahas “konsep baru” dalam ber-Islam yang disebut “Islam Wasathiyah.”
Grand Syaikh Al-Azhar, Prof Dr Ahmed Mohamed Ahmed Altayeb hadir pada acara tersebut. Ia didampingi Rektor Universitas Al-Azhar, Prof. Dr. Muhammad Husin Abdelaziz Hassan. Nama lain muncul dalam daftar peserta, Muhammad Ali Taskhiri dan Qari Muhammad Ashim.
Taskhiri adalah tokoh Syiah asal Iran yang dikenal dengan “Taqrib Baina Al-Adyan,”semacam kampanye dialog antaragama dengan menganggap semua agama itu benar. Ia pernah hadir dalam perayaan Asyura yang digelar ABI (Ahlul Bait Indonesia). Sedangkan Muhammad Ashim dikenal aktif dalam program PVE (Prevent Violent Extremism) di negara asalnya, Inggris.
Secara ringkas, PVE adalah program bikinan PBB untuk mencegah ekstremisme dan kekerasan dengan cara memberikan panduan bagaimana cara ber-Islam yang benar (menurut PBB). Asumsinya, terorisme muncul dari ekstremisme dan kekerasan, yang salah satunya dipicu oleh pemikiran atau agama tertentu.
Anehnya, Islam menjadi satu-satunya keyakinan yang menjadi objek garap PVE. Tidak ada agama lain dalam PVE, selain Islam, yang hendak diberikan tafsir baru, atau ditonjolkan bagian tertentu dengan menegasikan bagian lain agar muncul cara wajah dan ajaran sesuai yang diinginkan.
Utusan Khusus Presiden RI Untuk Dialog dan Kerja Sama Antar Agama dan Peradaban (UKP-DKAAP), Prof. Dr. M. Din Syamsuddin saat membuka acara tersebut menyinggung ketidakteraturan dan kerusakan global di tengah masyarakat dunia sebagai pemicu kekerasan. Atas dasar itulah, menurut Din, perlunya menyodorkan gagasan Islam Wasathiyah yang di Indonesia berhasil mewujudkan Pancasila sebagai dasar negara.
Jadi, ada keterkaitan pelaksanaan KTT tersebut dengan berbagai kekerasan yang terjadi, di mana salah satu yang dianggap pemicunya adalah cara umat Islam dalam memaknai dan melaksanakan agama yang dipeluknya.
Kita memang tidak bisa menafikan berbagai kejadian yang disebut sebagai kekerasan yang terjadi dengan agama Islam sebagai latarnya. Namun berbagai pembicaraan seputar Islam dan kekerasan selalu mendudukkan Islam dan kaum Muslimin sebagai “aktor.” Karenanya, kemudian pelaku dan pikirannya yang perlu diubah.
Pembicaraan sama sekali tidak pernah menyentuh faktor “penyebab.” Hampir seluruh agenda yang diadakan seputar masalah ini selalu berkutat pada faktor “api,” dan berusaha memadamkannya, tanpa pernah menyinggung dari mana sekam, minyak dan korek yang memantiknya.
Istilah yang selalu dikemukakan adalah “kekerasan.” Padahal, hampir dari seluruh kejadian yang ada, apa yang dilakukan umat Islam adalah reaksi dari penindasan dan tindak kezaliman yang terjadi sebelumnya. Siapa yang menindas, siapa yang menzalimi, apa tindakan yang harus diberikan kepada penindas dan penzalim, meminjam iklan mobil diesel era 90-an: nyaris tak terdengar.
Catatan kritis itu perlu kita sodorkan pada KTT ini, agar tidak mubazir, terkesan hanya formalitas dan basa-basi semata. Apalagi kalau definisi “Wasathiyah” ini dimaknai dengan pendekatan berbagai agama dengan cara menganggap benar semuanya (taqrib).
Sebab, cara seperti ini sudah usang. Usang, karena dahulu Abu Thalib juga mempraktikkannya. Ia tidak membantah kebenaran Islam yang dibawa keponakannya, Muhammad SAW. Namun ia juga enggan mengingkari keyakinan syirik kaum Quraisy sebagai kebatilan yang harus ditinggalkan.
Pada akhirnya, sebagai tuan rumah, kita patut berharap bahwa KTT ini bukan merupakan jelmaan baru dari “muktamar” abad ke-17 yang kemudian akhirnya “mereformasi” ajaran Kristen.
Penulis: Tony Syarqi

Hamid Fahmy Zarkasyi: Moderat Beda dengan Wasathiyah

Senin, 27 November 2017 - 19:12 WIB
Ternyata istilah moderat ini muncul dari Barat, dengan definisi sendiri, arti sendiri, dan pemahaman sendiri
Istilah moderat atau Islam moderat belakangan ini sering didengar di media. Jika dicermati, istilah moderat sesungguhnya tidak persis identik dengan istilah wasathiyah.
Wasathiyah itu identik dengan keadilan, menunjukkan kemuliaan, kebaikan, keseimbangan dunia-akhirat, tidak berlebihan tidak juga meremehkan ibadah atau perintah agama. Sehingga wasathiyahmerupakan sifat dari Islam itu.
Demikian dikatakan oleh Dr Hamid Fahmy Zarkasyi, Direktur Pascasarjana Unida Gontor, dalam Rakerda MUI Provinsi Jawa Timur di Aula Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Jawa Timur, pekan kemarin, Kamis (23/11/2017).
Menurut Hamid, lawan istilah wasathiyah adalah ghuluw (berlebih-lebihan atau ekstrem). Contoh praktik keagamaan yang ekstrem dicontohkan dalam al-Qur’an adalah apa yang telah dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani.
“Contoh, dalam tradisi agama Nasrani, kesucian itu dengan menghindari seks. Artinya, orang yang suci itu tidak menikah. Tetapi di dalam Islam, tidak ada batasan kalau paling suci paling alim itu yang tidak menikah. Ternyata Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam menyatakan sendiri, ‘saya Nabi tapi saya menikah, makan, pergi ke pasar’,” jelasnya.
Hamid juga menambahkan, ghuluw itu adalah melampaui atau melewati batas yang ditentukan. Yang diharamkan dihalalkan. Yang dihalalkan agama diharamkan.
“Contoh ghuluw dalam akidah misalnya berlebihan dalam masalah imamah. Seperti berlaku dalam Syiah. Sikap yang tidak wasathiyah. Jadi para imam itu (dianggap) maksum seperti Nabi,” tambahnya.
Dalam diri umat Islam saat ini muncul tantangan, yaitu populernya istilah Islam moderat. Ternyata istilah moderat ini muncul dari Barat, dengan definisi sendiri, arti sendiri, dan pemahaman sendiri.
“Muslim moderat menurut Barat, adalah dengan ciri-ciri Muslim yang tidak anti semith (tidak anti Yahudi), kritis terhadap Islam dan menganggap Nabi Muhammad tidak mulia dan tidak perlu diikuti, pro kesetaraan gender, menentang jihad, menentang kekuasaan Islam, pro pemerintahan sekuler, pro Israel, pro kesamaan agama-agama, tidak merespons terhadap kritik-kritik kepada Islam dan Nabi Muhammad, anti pakaian Muslim, tidak suka jilbab, anti syariah dan anti terorisme. Inilah arti moderat menurut Barat,” tegas Hamid.
Jadi, syariah itu tidak moderat bagi Barat. Tapi moderat perspektif Barat itu adalah yang percaya pada demokrasi, toleransi, pendekatan politik tanpa kekerasan, perlakuan yang sama terhadap wanita dalam hukum.
Kesimpulannya, moderat dalam pikiran Barat itu identik dengan liberal. Sehingga tidak sama dengan wasathiyah.*

Hamid Fahmi: “Penggunaan Istilah ‘Moderat, ‘Radikal’ 
dan ‘Toleran’ Sarat Kepentingan Barat”

Dr Hamid Fahmy Zarkasyi MA
Ahad, 5 November 2017
'Nah, di antara ciri dari orang moderat (menurut orang-orang umumnya tidak suka dengan Islam itu), adalah, pertama, orang yang apabila agamanya dihina, dia tidak boleh marah.'
Kasus penistaan agama yang dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melahirkan aksi massa yang berujung gerakan Aksi Bela Qur’an 411 (4 November 2016) dan Aksi 212 (02 Desember 2016).
Pasca aksi yang kabarnya mampu menyatukan lebih dari dua juta umat Islam tanpa adanya kerusakan, istilah-istilah ‘intoleran’, ‘radikal’, dan ‘moderat’ makin sering digunakan kelompok-kelompok tertentu untuk memberi stigma kepada kelompok Islam. Belakangan, istilah ‘anti Pancasila’ ‘anti Bhinneka’ juga digunakan kelompok anti gerakan-gerakan Islam melakukan stigma-stigma buruk.
Redaksi mewawancarai Dr Hamid Fahmy Zarkasyi MA, cendekiawan yang intens memberi kajian Islamic worldview di berbagai seminar pemikiran baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2005 Direktur Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) yang serius mengkaji masalah-masalah ini. Salah satu hasilnya, sebuah buku pemikiran yang cukup renyah berjudul ‘Misykat: Refleksi tentang Islam, Westernisasi dan Liberalisasi’ (Penerbit: INSISTS).
“Istilah moderat ini sudah dibajak orang kemana-mana. Sebagian orang mendefinisikan dengan sesuka hatinya makna moderat itu,” ujar master bidang filsafat di University of Birmingham United Kingdom (1998) dan PhD bidang pemikiran Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) IIUM Malaysia (2006) ini.
Apa maksudnya? Baca lebih lengkap wawancara berikut ini.
Beberapa pihak menggunakan definisi intoleran dan radikal, dengan ciri anti LGBT bahkan anti Ahok, bagaimana pendapat Anda?
Pertama, kriteria radikal dan ekstremis itu sangat sepihak. Dan itu juga terjadi dengan istilah moderat. Saya ikut mengkaji sejak tahun 2005 itu istilah moderat ini sudah dibajak orang kemana-mana. Sebagian orang mendefinisikan dengan sesuka hatinya makna moderat itu. Dan sudah tentu ini hasil dari definisi moderat itu pasti akan memunculkan makna radikal.
Seolah kalau tidak moderat dia pasti menjadi radikal. Nah, di antara ciri dari orang moderat (menurut orang-orang umumnya tidak suka dengan Islam itu), adalah, pertama, orang yang apabila agamanya dihina, dia tidak boleh marah. Kedua, orang taat menjalankan syariat (Islam, red) itu dianggap tidak moderat, karena syariat itu sendiri dianggap mengajarkan kekerasan. Dan banyak lagi definisi itu.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa orang yang menganggap orang lain kafir itu tidak moderat. Nah, gejala ini tentu harus kita respons dengan definisi juga. Jadi definisi yang selama ini dipakai LSM dan kelompok-kelompok HAM ini adalah definisi yang sangat tidak akademis dan tidak bertanggung jawab. Itu sangat sepihak.
Kalau kita ingin membuat definisi kita dengan standar kita, tentu definisi dia itu adalah definisi radikal. Jadi ada orang yang mendefinisikan makna moderat itu secara radikal, dan ada orang yang mendefinisikan radikal itu secara radikal juga.
Artinya?
Jadi, bagaimana orang harus bertoleransi terhadap sesuatu yang oleh agamanya dilarang; Islam diminta toleransi jika saudaranya melakukan perzinaan, misalnya. Ini jelas suatu yang tidak bisa diterima oleh HAM sekalipun. Ndak bisa diterima. Itu bertentangan dengan juga hak masing-masing orang, kan.
Haknya (umat Islam) adalah tidak setuju dengan perbuatan yang ada di dalam domain agamanya, karena perzinaan dalam Islam itu haram. Kalau saya mengharamkan perzinaan kemudian orang lain menghalalkan, dan saya dianggap radikal, itu salah menurut HAM.
Nah ini, makanya perlu menggunakan akal sehatlah. Orang mengatakan radikal dan ndak radikal ujungnya dia bisa kebablasan. Misalnya, yang disebut radikal adalah yang tidak toleran terhadap Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), ini definisi yang sangat-sangat western sekali, sangat Barat sekali.
Saya pernah bertemu orang Barat dan bertanya dengan nada heran. “Katanya di Indonesia orang LGBT enggak diterima ya?” Saya jawab, “Di negara Islam manapun, LGBT tidak diterima.”
Nah, definisi yang seperti ini perlu kita sesuaikan dengan Pancasila. Pancasila ini, kan, asasnya adalah Ketuhanan. Orang yang paling dekat pada Tuhan di Indonesia ini justru yang Pancasilais. Di sini kita sebenarnya tidak bisa mentolerir orang-orang yang jauh dari Tuhan. Dan tidak ada hak orang yang tidak ber-Ketuhanan Yang Maha Esa dan tidak menjalankan kepercayaannya itu dalam kehidupan sehari-hari untuk hidup di Indonesia [penuh penegasan, red].
Ini interpretasi paling logis terhadap ideologi Pancasila. Sama misalnya, orang yang anti komunis dianggap tidak toleran. Padahal jika kita toleran terhadap komunisme, berarti kita tidak Pancasilais. Jadi sangat logis sekali itu.
Singkatnya, definisi radikal, intoleran, moderat itu sarat masalah ya?
Sarat masalah dan sangat bermasalah. Dari perspektif Islam sangat bermasalah, dari perspektif HAM juga bermasalah, dari perspektif Pancasila apalagi, bermasalah.
Apakah ada kesamaan pendapat terkait definisi dalam istilah-istilah itu di selusuh dunia?
Ya kesamaan tadi, kesamaannya dengan orang-orang Barat yang islamphobia, banyak itu. Saya bisa menyebutkan siapa orangnya di Barat yang memahami moderat dalam pengertian yang sangat radikal itu.
Menurut Anda, apakah penggunaan istilah-istilah yang dibahas tadi ada kepentingan pendonor (asing)?
Saya rasa memang ada karena bunyinya. Maknanya sih sama dengan apa yang diucapkan oleh orang-orang di Barat. Saya curiga bahwa itu sejalan dengan orang di luar Indonesia dan di luar Islam, bisa jadi dia jadi ke sana. Saya tidak bisa melacak. Yang pasti, itu ada kepentingan asingnya.
Jika ciri radikal dan intoleran itu sebagaimana digambarkan kelompok-kelompok anti Islam itu, berarti isi kandungan al-Qur’an itu intoleran?
Oh iya, itu indikasinya luas sekali. Pertama kali ajaran Islam itu sendiri ‘tidak toleran’. Misalnya, kita melarang orang Muslimah menikah dengan non-Muslim. Itu Qur’an itu. Dan itu ndak bisa ditawar. Tapi kemudian orang-orang ini mengatakan, ‘ah itu ndak ada masalah’, lho, berarti dia tidak toleran terhadap Islam.
Tidak ada dalam Islam yang namanya pria menikah dengan pria atau perempuan dengan perempuan. Bahkan dalam Islam itu dikutuk, dan dilaknat oleh Allah. Kita dilarang itu. Artinya Islam tidak toleran dengan hal itu. Tapi yang begini ini dianggap radikal dan intoleran. Jelas, lagi-lagi, mereka memusuhi Islam.
Artinya mereka secara tidak langsung menganggap isi al-Qur’an intoleran gitu ya?
Ya betul! Mereka ini secara definitif menurut saya adalah orang-orang yang sebenarnya anti Islam. Jadi tidak suka dengan ajaran Islam. Nah, kalau Islam ini dibenturkan dengan HAM, hal ini akan membenturkan sebuah peradaban yang besar. Dan itu tidak produktif, sama halnya, mereka sedang mencari gara-gara.
Kalau kita mau berbicara seperti begitu, banyak sekali peradaban sikap, konsep, dan perilaku masyarakat modern ini yang bertentangan dengan Islam.
Dalam pengertian Islam, mereka itu melanggar kemanusiaan secara radikal. Ini kemanusiaan lho, kita tidak bicara Islam. Sebab Islam itu agama yang paling manusiawi.*   

Membahas Ulang Konsep Moderat (Wasathiyah)

Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
BELAKANGAN ini, kata-kata “moderat” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi wasathiyyahmenjadi kata-kata yang bertendensi mengangkat satu kelompok tertentu dan menjatuhkan sekelompok yang lain. Kata-kata ini biasanya digunakan sebagai antonim bagi fundamentalisme dan absolutisme. Bahkan, secara salah kaprah, wasathiyyah digunakan untuk mengkategorikan orang-orang yang bertindak dan berpikir secara liberal dalam beragama. Sementara kelompok yang secara konsisten menjalankan ajaran Islam dianggap sebagai tidak moderat (wasathiyyah).
Istilah wasathiyah ini biasanya digunakan dengan menggunakan dasar dalil dari Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 143. Dalam ayat itu disebutkan wa kadzâlika ja‘alnâkum ummatan washatan… (Dan demikianlah kami jadikan kalian sebagai umat yang “wasath”…).
Ayat inilah yang seringkali dieskploitasi tidak pada tempatnya sehingga mengesankan bahwa mereka yang dicap radikal, fundamentalis, literalis, dan label-label stigmatis dan stereotyping lain yang memojokkan sebagian gerakan Islam dianggap telah melanggar ayat ini. Padahal, kalau ditelusuri secara saksama, kata-kata washatandalam ayat tersebut memiliki arti yang sangat tidak tepat bila digunakan sebagai cap-cap di atas. Tulisan ini akan menelusuri makna dari washatan dalam ayat tersebut dan relevansinya dalam kehidupan kontemporer berdasarkan penelusuran terhadap kitab-kitab tafsir mu‘tabar.
Makna Al-Wasath
Secara bahasa, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah. Dalam Mufradât Al-fâzh Al-Qur’ân Raghib Al-Isfahani (Jil. II; entri w-s-th) menyebutkan secara bahasa bahwa kata wasath ini berarti, “Sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding.”
Kata ini juga bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga, dan terpilih. Sebab, sesuatu yang ada di tengah-tengah tidak mudah untuk dijangkau secara langsung sehingga memungkinkannya untuk menjadi tempat menyimpan hal-hal yang berharga dan baik. Seperti kata “tengah kota”. Kata ini menunjukkan tempat yang paling baik dan paling berharga dari suatu kota. (Al-Tahrir wa Al-Tanwîr Jil. II hal. 17).
Sementara itu, makna  wasath dalam ayat di atas terdapat beberapa penjelasan.
Fakhrudin Al-Râzi menyebutkan ada beberapa makna yang satu sama lain saling berdekatan dan saling melengkapi.
Pertama, wasath berarti adil. Makna ini didasarkan pada ayat-ayat yang semakna, hadis nabi, dan beberapa penjelasan dari sya’ir Arab mengenai makna ini. Berdasarkan riwayat Al-Qaffal dari Al-Tsauri dari Abu Sa’id Al-Khudry dari Nabi Saw. bahwa ummatan wasathan adalah umat yang adil.
Kedua, wasath berarti pilihan. Al-Râzi memilih makna ini dibandingkan dengan makna-makna lainnya, karena beberapa alasan antara lain: kata ini secara bahasa paling dekat dengan makna wasath dan paling sesuai dengan ayat yang semakna dengannya yaitu ayat, “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan ke tangah manusia…” (QS Ali Imrân [3]: 110).
Ketiga, wasath berarti yang paling baik.
Keempat, wasath berarti orang-orang yang dalam beragama berada di tengah-tengah antara ifrâth (berlebih-lebihan hingga mengada-adakan yang bbaru dalam agama) dan tafrîth (mengurang-ngurangi ajaran agama). (Tafsîr Al-Rârî, Jil. II hal. 389-390).
Makna-makna di atas tidak bertentangan satu sama lain. Oleh sebab itu, Al-Sa’di menyimpulkan bahwa ummatwasath yang dimaksud adalah umat yang adil dan terpilih. Allah Subhanahu Wata’ala telah menjadikan umat ini pertengahan (wasath) dalam segala urusan agama (dibanding dengan agama-agama lain) seperti dalam hal kenabian, syari’at, dan lainnya.
Umat islam ini adalah umat yang paling sempurna agamanya, paling baik akhlaknya, paling utama amalnya. Allah Subhanahu Wata’ala telah menganugerahi ilmu, kelembutan budi pekerti, keadilan, dan kebaikan (ihsân) yang tidak diberikan kepada umat lain. Oleh sebab itu, mereka menjadi “ummatan wasathan”, umat yang sempurna dan adil agar “mereka menjadi saksi bagi seluruh manusia.” (Taisîr Al-Karîm Al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm Al-Mannân Jil. I hal. 70).
Dari penjelasan para ahli tafsir mengenai makna wasath dalam ayat di atas dapat disimpulkan bahwa sifat wasathyang disematkan pada umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam adalah sesuatu yang melekat sejak umat ini menerima berbagai petunjuk dari Nabi-Nya. Ini merupakan karunia Allah Subhanahu Wata’ala . kepada mereka. Saat mereka konsisten menjalankan ajaran-ajaran Allah Subhanahu Wata’ala ., maka saat itulah mereka menjadi umat terbaik dan terpilih. Oleh sebab itu, Rasyid Ridha mengaitkan kata ummatan wasathan ini dengan ayat sebelumnya, yaitu “…yahdî man yasyâ’u ilâ shirâth al-mUstadaqîm (…Dialah yang akan memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya menuju jalan yang lurus). Bila dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka umat terbaik, terpilih, dan moderat adalah mereka yang diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu Wata’ala ke jalan yang lurus (Tafsîr Al-Manâr Jil. II hal 4).
Jalan yang lurus (sirâth al-mUstadaqîm) ini, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Fatihah, adalah jalan tengah di antara jalan orang-orang yang dibenci (Yahudi) dan orang-orang yang sesat (Nashrani).
Aktualisasi Makna Al-Wasath
Setelah memperhatikan makna ummh al-wasath yang berarti umat yang secara konsisten perpegang pada petunjuk Allah Subhanahu Wata’ala . (al-shirâth al-mUstadaqîm), dapat kita fahami bahwa makna dari wasath ini sifatnya sesuatu yang sudah dipatenkan dalam Al-Quran sendiri, bukan makna yang diberi sifat baru, bukan dari Al-Quran.
Dalam hal ini, Al-Quran telah menetapkan bahwa ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah adalah ajaran yang adil, terbaik, terpilih, dan moderat sehingga umat yang secara konsisten melaksanakannya, maka secara otomatis dia akan menjadi umat yang sifatnya sama dengan ajaran yang dilaksanakannya.
Ali Muhammad Shallaby dalam Al-Wasathiyyah fî Al-Qur’ân cukup ekstensif membahas aspek-aspek wasathiyyahdalam berbagai ajaran Islam.
Dari Akidah sampai Poligami
Ia menganalisis seluruh segi ajaran Islam dan di mana letak wasathiyyah-nya dibandingkan dengan ajaran yang lain. Banyak hal yang dibahasnya, mulai dari masalah akidah sampai masalah-masalah fikih sehari-hari (tasyrî’). Dengan cara seperti itu, Shallaby ingin menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam yang murni dan bersumber pada Al-Quran dan Al-Sunnah adalah ajaran yang memang layak disebut wasath dengan berbagai pengertiannya.
Mengambil salah satu bahasan Shallaby dalam penelitiannya itu, kita ambil contoh mengenai masalah poligami yang sering menjadi sasaran tuduhan ketidakadilan ajaran Islam. Dalam kesan yang muncul dari mereka yang mendapuk diri sebagai Muslim yang berpandangan moderat, poligami  justru dianggap sebagai sesuatu yang semestinya “diharamkan” karena dianggap tidak adil kepada wanita.
Pandangan seperti ini jelas sudah bertentangan dengan ijmâ’ para ulama mujtahidîn sejak empat abad lalu yang bersepakat akan kehalalan poligami.
Kehalalan poligami dalam Islam yang disepakati para ulama itu justru memperlihatkan bagaimana Islam telah berlaku adil, moderat, dan wasath bila dibandingkan dengan ajaran-ajaran dan kepercayaan-kepercayaan lain yang berkembang di dunia hingga saat ini.
Dalam kepercayaan dan tradisi besar dunia terdapat dua ekstrim yang sama-sama berlebihan. Ekstrim pertama membolehkan laki-laki menikahi banyak wanita tanpa batas. Wanita diletakkan hanya sebagai hamba dan pemuas bagi laki-laki. Ketentuan ini dikenal dalam tradisi China Kuno, India Kuno, Persia Kuno, Yahudi, dan kepercayaan Arab Jahiliyyah. Dalam beberapa tradisi seperti China Kuno dan India Kuno, bahkan ada kepercayaan bahwa perempuan yang ditinggal mati suaminya harus membakar diri untuk menyatakan penghambaannya kepada laki-laki yang dinikahi. Dalam hal ini jelas sekali, posisi wanita menjadi sangat terhina. Tidak ada penghormatan sama sekali atas mereka.
Sementara itu, pada titik ekstrim yang lain akan ditemukan aturan dalam agama Kristen yang telah dipengaruhi kepercayaan Pagan masyakarat Eropa yang mengharamkan sama sekali laki-laki menikahi lebih dari satu istri.
Pada titik ekstrim ini, kelihatannya ada pemihakan yang adil terhadap wanita. Akan tetapi jutsru di sinilah permasalahan bermula.
Dalam ketentuan Islam poligami dibolehkan namun bukan tanpa aturan. Ia diperbolehkan hanya maksimal dengan empat wanita. Selain itu, dipersyaratkan kepada laki-laki yang berpoligami untuk berlaku adil. Bila dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil, maka laki-laki sebaiknya cukup mengambil satu istri atau budaknya. (QS. Al-Nisâ’ [4]: 3).
Ketentuan Islam ini adalah ketentuan yang moderat dibandingkan dengan kedua ekstrim di atas. Apabila ketentuan poligami tidak dibatasi seperti yang terjadi dalam berbagai tradisi, posisi perempuan menjadi sangat termarjinalkan dan terhinakan. Dampak sosial dari sana sungguh sangat besar seperti yang diperlihatkan dalam sejarah poligami tanpa aturan yang terjadi di berbagai belahan dunia sepanjang sejarahnya. Lebih dari itu, mengambil istri dalam jumlah yang sangat banyak pasti akan membuat laki-laki tidak akan memenuhi hak-hak semua istrinya secara adil.
Sementara apabila poligami diharamkan akan banyak persoalan-persoalan mendesak yang tidak bisa diatasi kecuali dengan cara-cara poligami. Misalnya ada laki-laki yang secara fisik dan finansial mampu dan butuh terhadap poligami karena berbagai alasan. Seandainya tidak ada kelonggaran poligami, maka masalah seperti ini tidak akan terselesaikan. Sangat mungkin inilah yang menjadi salah satu penyebab maraknya praktik perzinahan terselubung. Fenomena pejabat yang punya istri simpanan, perselingkuhan, pelacuran, kawin kontrak, dan semisalnya adalah salah efek yang tidak bisa dihindarkan dari tidak diperbolehkannya laki-laki berpoligami.
Dalam Islam, apabila kebutuhan memang mendesak, maka poligami diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan di atas. Akan tetapi, Islam amat menyadari bahwa tidak setiap laki-laki siap dan butuh istri lebih dari satu. Oleh sebab itu, dalam kasus ini, tidak ada celaan bagi mereka untuk hanya mengambil satu istri saja. Di sinilah letak keadilan dan wasathiyyah-nya ajaran Islam dibandingkan dengan ajaran lain. (Al-Wasathiyyah fî Al-Qur’ân, hal. 512-525).
***
Berdasarkan penjelasan dan contoh singkat di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bertindak moderat (wasathiyah) sesuai dengan petunjuk al-Quran adalah dengan cara secara konsisten mengikuti hidayah (petunjuk) yang diajarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala  melalui Nabi-Nya dan ditransmisikan melalui para ulama yang saleh. Semakin kita taat dan tunduk pada ajaran Allah Subhanahu Wata’ala ., maka kita sebetulnya semakin moderat. Sebab, ajaran Islam itu sendiri telah membawa karakternya yang moderat sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Siapa yang mengikuti ajaran-ajaran yang moderat ini secara konsisten, maka dialah yang layak disebut sebagaiummatan washathan (umat moderat). Wallâhu A’lam. *
Penulis adalah peneliti Insitute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS)

Moderat

Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Istilah moderat akhir-akhir ini mencuat menjadi jawaban terhadap stigmatisasi umat Islam dengan fundamentalisme dan terrorisme. Istilah ini nampaknya berfungsi sebagai penjinak terorisme. Mirip dengan fungsi sekularisme tahun 70an sebagai penjinak fundamentalisme. Tahun 2008 Sebuah symposium digelar di Tokyo Jepang. Isunya adalah tentang arti Muslim moderat dan masa depan politik Islam.
Karena pentingnya istilah ini maka pada edisi tahun 2000 keatas American Journal of Islamic Social Sciences mengangkat tema ini secara serial. Sedikitnya ada tiga kelompok yang memperebutkan arti moderat ini yaiu mereka yang anti-Islam, orang Barat dan orang Islam.
Definisi Islam moderat yang anti Islam dapat dilihat pada situs “muslimsagainstshariah”. Disitu ditulis begini diantaranya: moderat adalah yang tidak anti bangsa semit, menentang kekhalifahan, kritis terhadap Islam, menganggap Nabi bukan contoh yang perlu ditiru, pro kebebasan beragama, pro-kesetaraan gender, menentang jihad, menentang supremasi Islam, pemerintah sekuler, pro atau netral terhadap Israel, tidak bereaksi ketika Islam dan Nabi Muhammad dikritik, menentang pakaian Islam, syariah, dan terorisme serta pro-humanisme universal.
Andrew McCarthy dalam National Review Online, August 24, 2010 justru dengan tegas menyatakan siapapun yang membela syariat tidak dapat dikatakan moderat. (No one who advocates shariah can be a moderate). Kedua pengertian ini sungguh-sungguh tidak moderat.
Islam moderat dalam perspektif Barat hampir seragam. Muslim moderat, kata Graham Fuller adalah yang menolak literalisme dalam memahami kitab suci, tidak monopoli penafsiran Islam dan menekankan persamaan dengan agama lain dan bahkan tidak menolak kebenaran agama lain.
Inilah yang ditirukan orang liberal di Indonesia. Fuller bahkan ngelantur moderat adalah yang mendukung kebijakan dan kepentingan Amerika dalam mengatur dunia. Senada tapi lebih ekstrim lagi, Ariel Cohen mengartikan moderat sebagai menghormati hak menafsirkan al-Qur’an, hak menyembah Allah dengan caranya sendiri, atau tidak menyembah atau bahkan tidak percaya. Lagi-lagi ini alam pikiran kelompok “Islam Liberal” yang kental bau orientalismenya.
Bagi Rabasa moderat adalah mereka yang dapat menerima kultur demokratik, mendukung demokrasi dan menerima HAM internasional, termasuk mengakui kesetaraan gender, kebebasan beribadah), menghormati pluralitas, menerima sumber hukum yang tidak sectarian, dan memusuhi terrorisme dan segala bentuk kekerasan.
Definisi Rabasa, Graham maupun Cohen memang benar-benar liberal. Dan mungkin bagi orang liberal itu biasa dan “nothing wrong”. Tapi justru yang menemukan kesalahannya adalah John L. Esposito. Dengan bijak dan adil dia kritik begini: Pertama, Jika definisi Barat itu diterima maka Muslim konservatif dan tradisionalis menjadi tidak moderat. Selain itu jika seorang wanita Muslim memimpin Salat Jumat menjadi kriteria moderat, maka banyak orang Kristen, Yahudi dan penganut agama lain termasuk Paus John Paul II yang patrialistik itu justru tidak masuk kriteria moderat.
Louay Safi dan Ubid Ullah Jan tokoh Muslim di Canada, memiliki kesan yang sama. Pengertian moderat yang pro-Barat ataupun yang anti Islam sama saja. 
Seorang Muslim belum dianggap moderat jika belum menolak al-Qur’an secara publik. Tapi masalahnya, menurut Esposito jika untuk menjadi moderat orang harus mengingkari kitab sucinya, maka Yahudi moderat juga harus mengingkari kitab sucinya. Padahal kitab suci itulah yang menjadi penyebab klaim negara Israel dan pendudukan tanah Palestina.

Kerancuan lain juga ditemukan Safi. Menurutnya pengertian “Muslim moderat” di Barat adalah “a person who is not comfortable with his/her Islamic roots and heritage, and openly hostile to Islam, and eager to transcend all Islamic norms”. Contoh yang nyata, katanya ada pada figur Irsyad Manji seorang feminis yang terkenal mengkritik Syariat (Bukunya: The Trouble with Islam: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith), tapi pada saat yang sama mengaku sebagai pelaku lesbi. Anehnya figur seperti ini oleh Barat dianggap sebagai “the voice of moderation”.
Bagi Muqtedar Khan, cendekiawan Muslim asal Canada moderat itu adalah yang berpikiran terbuka, kritis, menghormati semua orang, bermoral, beramar ma’ruf nahi munkar (QS. 5 : 48, 3 : 110), tidak ada intimidasi dan kekerasan. Sahabatnya Ubid Ullah Jan menambahkan, Muslim yang menolak ketidakadilan atau Muslim yang hidupnya hanya untuk ibadah masih dianggap moderat. Tentu semua itu tanpa kekerasan.
Jadi, istilah moderat bisa diplesetkan menjadi sama arti dengan liberal. Atau bahkan bisa menjadi anti Islam dan pro-Barat. Inilah alat untuk mengalahkan apa yang mereka sebut radikalisme. Padahal untuk mengalahkan bayang-bayang fundamentalisme tidak perlu liberalism. Dan agar menang melawan hegemoni kolonialisme Barat tidak perlu ekstremisme. Kebajikanlah yang akan mengalahkan kejahatan atau kekerasan, vincit vim virtus.

Syarah Aqidah Al Wasithiyah

Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthaniy
Mukadimah Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah Syaikh Al-Islam Ibn Taimiyah Rahimahullah
Segala puji bagi Allah, Rab semesta alam. Shalawat dan salam yang lengkap dan sempurna semoga dilimpahkan kepada Nabi dan Rasul paling mulia, Nabi dan Imam kita, Muhammad bin Abdullah, juga kepada segenap keluarga, shahabatnya, dan siapa saja yang mengikuti jejak mereka dengan baik, hingga Hari Kiamat. Amma ba’du.
Kitab “Al-Aqidah Al Wasithiyah” tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Ta’ala, adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adapun latar belakang penulisan, dan penamaannya dengan Al Wasithiyah, ialah : Bahwa seorang Qadhi dari negeri Wasith yang sedang melaksanakan haji datang kepada Syaikhul Islam dan memohon beliau untuk menulis tentang Aqidah Salafiyah yang beliau yakini. Maka, beliau Rahimahullah menulisnya dalam tempo sekali jalsah, (sekali duduk), seusai shalat ‘Ashar. Ini merupakan bukti nyata bahwa beliau Rahimahullah memiliki ilmu yang luas dan dikaruniai oleh Allah kecerdasan dan keluasan ilmu yang mengagumkan. Dan itu tidak aneh, karena karunia Allah itu diberikan dan diharamkan bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Agung, kita memohon akan keutamaan dan kemuliaan-Nya.
Ketika saya mengetahui betapa pentingnya kandungan Kitab “Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah” tersebut, saya berkeinginan untuk membuat syarah -penjelasan- ringkas tentang kitab Aqidah ini. Saya memohon kepada Allah agar hal itu saya laksanakan semata-mata untuk mencari ridha-Nya. Tidak diragukan lagi bahwa banyak ulama telah melakukan upaya yang besar untuk menjaga, mengajarkan, mengulas, dan mensyarah, terhadap kitab “Al-.’Aqidah Al-Wasithiyah” ini dan di antara yang aku ketahui dari syarah-syarah tersebut antara lain : “Ar-Raudhah An-Nadiyyah, Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah” tulisan Syaikh Zaid bin Fayadh, “Al-Kawasyif Al-Jaliyyah ‘An- Ma’ani Al-Aqidah Al-Wasithiyah” tulisan Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad [1], “Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah” tulisan Muhammad Khalil Al-Haras, dan “At-Ta’liqat Al-Mufidah ‘ala Al-”Aqidah Al-Wasithiyah” tulisan Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Asy-Syarif. Beberapa syarah tersebut cukup baik dan berhasil menjelaskan makna-makna aqidah tersebut. Adapun dalam syarah ringkas yang saya susun ini, saya melakukan hal-hal sebagai berikut:
Saya mentakhrij hadist-hadits Rasulullah dan menisbahkannya, kadang-kadang kepada sumber aslinya, tapi kadang-kadang cukup saya tunjukkan sumber aslinya tanpa teks. Saya juga menisbahkan ayat-ayat kepada surah dan nomornya, selain saya juga memberikan judul yang sesuai untuk setiap tema, misalnya : “Definisi Al-Firqah An-Najiyah:, “Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang Sifat-sifat Allah”, “Rukun Iman menurut Firqah Najiyah”, Metode Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Menafikan dan Menetapkan Asma’ dan Sifat-sifat Allah”, “Madzhab Mereka dan Ayat-ayat serta hadits-hadits tentang Asma’ dan Sifat-sifat Allah”. Kemudian saya membuat judul sendiri untuk masing-masing sifat, tapi kadang-kadang saya gabungkan beberapa sifat dalam satu judul. Ini tidak saya maksudkan untuk membatasi, melainkan untuk menyebutkan sifat-sifat yang telah disebutkan oleh penulis. Penulis juga menyebutkan banyak ayat dan hadits, akan tetapi saya hanya menyebutkan satu dalil untuk setiap sifat, dari ayat atau hadits, sementara yang lain saya hapuskan untuk meringkaskan syarah ini. Kemudian saya menyebutkan “Sikap pertengahan Ahlus Sunnah dalam masalah sifat Allah” di antara golongan-golongan lain yang ada. Sikap pertengahan mereka dalam masalah perbuatan manusia, Sikap pertengahan mereka dalam masalah ancaman Allah”, Sikap pertengahan mereka mengenai nama-nama Iman dan Dien”, “Sikap pertengahan mereka mengenai shahabat-shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Iman kepada Hari Akhir dan hal-hal yang berkaitan dengannya”, “Takdir dengan keempat tingkatannya”, “Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang Iman dan Dien, Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Karamah para wali”, serta “Akhlak mulia Ahlus Sunnah wal Jama’ah”. Semoga Allah memberikan taufik kepada saya dalam melaksanakan apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Shalawat, salam, dan barakah, semoga dilimpahkan Allah kepada hamba dan Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , juga kepada segenap keluarga dan shahabatnya.
——————————————————————————–
Foote Note

[1] As Salman, Al-As ilah wal Ajwibah al-Ushuliyyah Al-Aqidah Al-washithiyyah‌ yang juga tulisan beliau.

page 2
Definisi Al-Firqah An-Najiyah [Ahlus Sunnah Wal Jama’ah]
Firqah (dengan huru fa’ dikasrahkan) artinya sekelompok manusia. la disifati dengan an-najiyah, (yang selamat), dan Al-Manshurah, (yang mendapat pertolongan), berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang tegar di atas al-haq, yang tidak akan terkena mudharat dari orang yang enggan menolong atau menentang mereka, sehingga datanglah keputusan Allah sedangkan mereka tetap dalam keadaan begitu.”[1]
Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adalah merupakan pengganti atau nama lain dari kelompok tersebut. Yang dimaksud dengan As-Sunnah adalah Thariqah (cara/jalan ) yang dianut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka hingga Hari Kiamat.
Adapun al-jama’ah, makna asalnya adalah sejumlah orang yang mengelompok. Tetapi, yang dimaksud dengan al-jama’ah dalam pembahasan aqidah ini adalah Salaf (pendahulu) dari umat ini dari kalangan shahabat dan orang-orang yang mengikuti kebaikan mereka, sekalipun hanya seorang yang berdiri di atas kebenaran yang telah dianut oleh jama ‘ah tersebut. [2]
Abdullah bin Mas’ud Radhiyalahu anhu berkata :
“Artinya : Jama’ah adalah apa yang selaras dengan kebenaran, sekalipun engkau seorang diri.
Dari ‘Auf bin Malik yang berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Umat Yahudi berpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, satu golongan di jannah sedangkan tujuh puluh golongan di naar. Umat Nasrani berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, tujuh puluh satu golongan di naar sedangkan satu golongan di jannah. Demi Allah, yang jiwaku di tangan-Nya, umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu golongan di jannah sedangkan tujuh puluh dua golongan di naar.”[3]
——————————————————————————–
Foote Note
[1]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dengan lafazhnya dari Mughirah RA, IV/187 dan Muslim III/1523.

[2]. Ar-Raudah An-Nadiyyah Syarh Al-Aqidah Al-Washitiyyah‌, hal. 14 Zaid bin

Fayyadh dan Muhammad Khalil Al-Haras, hal 16.

[3]. Ibnul Qayyim, ighasatul Lahfan Min Mashayid Asy-Syaithan‌, I/70

page 3
Rukun Iman Menurut Al-Firqah An-Najiyah
[1]. Iman Kepada Allah Ta’ala
Iman kepada Allah adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah adalah Rabb dan Raja segala sesuatu; Dialah Yang Mencipta, Yang Memberi Rezki, Yang Menghidupkan, dan Yang Mematikan, hanya Dia yang berhak diibadahi. Kepasrahan, kerendahan diri, ketundukan, dan segala jenis ibadah tidak boleh diberikan kepada selain-Nya; Dia memiliki sifat-sifat kesempurnaan, keagungan, dan kemuliaan; serta Dia bersih dari segala cacat dan kekurangan.[1]

[2]. Iman Kepada Para Malaikat Allah
Iman kepada malaikat adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah memiliki malaikat-malaikat, yang diciptakan dari cahaya. Mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah, adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan. Apapun yang diperintahkan kepada mereka, mereka laksanakan. Mereka bertasbih siang dan malam tanpa berhenti. Mereka melaksanakan tugas masing-masing sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat mutawatir dari nash-nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Jadi, setiap gerakan di langit dan bumi, berasal dari para malaikat yang ditugasi di sana, sebagai pelaksanaan perintah Allah Azza wa Jalla. Maka, wajib mengimani secara tafshil, (terperinci), para malaikat yang namanya disebutkan oleh Allah, adapun yang belum disebutkan namanya, wajib mengimani mereka secara ijmal (global).[2]

[3]. Iman Kepada Kitab-kitab
Maksudnya adalah, meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Allah memiliki kitab-kitab yang diturunkan-Nya kepada para nabi dan rasul-Nya; yang benar-benar merupakan Kalam, (firman, ucapan),-Nya. la adalah cahaya dan petunjuk. Apa yang dikandungnya adalah benar. Tidak ada yang mengetahui jumlahnya selain Allah. Wajib beriman secara ijmal, kecuali yang telah disebutkan namanya oleh Allah, maka wajib untuk mengimaninya secara tafshil, yaitu: Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur’an. Selain wajib mengimani bahwa Al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah, wajib pula mengimani bahwa Allah telah mengucapkannya sebagaimana Dia telah mengucapkan seluruh kitab lain yang diturunkan. Wajib pula melaksanakan berbagai perintah dan kewajiban serta menjauhi berbagai larangan yang terdapat di dalamnya. Al-Qur’an merupakan tolok ukur kebenaran kitab-kitab terdahulu. Hanya Al-Qur’an saja yang dijaga oleh Allah dari pergantian dan perubahan. Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan, dan bukan makhluk, yang berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.[3]

[4]. Iman Kepada Para Rasul
Iman kepada rasul-rasul adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah telah mengutus para rasul untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya. Kebijaksanaan-Nya telah menetapkan bahwa Dia mengutus para rasul itu kepada manusia untuk memberi kabar gembira dan ancaman kepada mereka. Maka, wajib beriman kepada semua rasul secara ijmal (global) sebagaimana wajib pula beriman secara tafshil (rinci) kepada siapa di antara mereka yang disebut namanya oleh Allah, yaitu 25 di antara mereka yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Wajib pula beriman bahwa Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi selain mereka, yang jumlahnya tidak diketahui oleh selain Allah, dan tidak ada yang mengetahui nama-nama mereka selain Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Wajib pula beriman bahwa Muhammad SAW. adalah yang paling mulia dan penutup para nabi dan rasul, risalahnya meliputi bangsa jin dan manusia, serta tidak ada nabi setelahnya.[4]

[5]. Iman Kepada Kebangkitan Setelah Mati
Iman kepada kebangkitan setelah mati adalah keyakinan yang kuat tentang adanya negeri akhirat. Di negeri itu Allah akan membalas kebaikan orang-orang yang berbuat baik dan kejahatan orang-orang yang berbuat jahat. Allah mengampuni dosa apapun selain syirik, jika Dia menghendaki. Pengertian al-ba’ts, (kebangkitan) menurut syar’i adalah dipulihkannya badan dan dimasukkannya kembali nyawa ke dalamnya, sehingga manusia keluar dari kubur seperti belalang-belalang yang bertebaran dalam keadaan hidup dan bersegera mendatangi penyeru. Kita memohon ampunan dan kesejahteraan kepada Allah, baik di dunia maupun di akhirat.[5]

[6]. Iman Kepada Takdir Yang Baik Maupun Yang Buruk Dari Allah Ta’ala.
Iman kepada takdir adalah meyakini secara sungguh-sungguh bahwa segala kebaikan dan keburukan itu terjadi karena takdir Allah. Allah Subhanallahu wa ta’ala telah mengetahui kadar dan waktu terjadinya segala sesuatu sejak zaman azali, sebelum menciptakan dan mengadakannya dengan kekuasaan dan kehendak-Nya, sesuai dengan apa yang telah diketahui-Nya itu. Allah telah menulisnya pula di Lauh Mahfuzh sebelum menciptakannya.[6]

Banyak sekali dalil mengenai keenam rukun Iman ini, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala :
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
“Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikat-malaikat, dan Nabi-nabi…”[Al-Baqarah : 177]
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Artinya : Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut qadar (ukuran).”[Al-Qamar : 49]
Juga sabda Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits Jibril :
“Artinya : Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir. Dan engkau beriman kepada takdir Allah, baik maupun yang buruk.”[7]
——————————————————————————–
Foote Note.
[1].Ar-Raudah An-Naiyah Syarh Al-Aqidah Al-Washithiyah‌, hal. 15; Al-Ajwibah Al-Ushuliyyah‌, hal. 16; dan At-Thahawiyah, hal. 335. Iman kepada Allah Ta’ala meliputi empat perkara : (1). Iman kepada wujud-Nya Yang Maha Suci. (2). Iman kepada Rububiyyah-Nya.(3). Iman kepada Uluhiyyah-Nya.(4). Iman kepada Asma dan sifat-sifat-Nya.

[2]. Ar-Raudhah An-Nadiyah‌, hal. 16 dan Al-Aqidah At-Thahawiyyah‌, hal. 350.

[3]. Al-Ajwibah Al-Ushuliyah‌, hal. 16 dan 17.

[4]. Lihat Al-Kawasyif Al-Jaliyah An Ma’ani Al-Wasithiyah‌, hal 66.

[5]. Ibid

[6]. Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah‌, Muhammad Khalil Al-Haras, hal. 19.

[7]. Dikeluarkan oleh Muslim, I/37 no.8
page 4
Metode Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Dalam Meniadakan Dan Menetapkan Asma’ Dan Sifat Bagi Allah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya secara tafshil, dengan landasan firman Allah :
وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Artinya : Dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.” [Asy-Syura : 11]
Karena itu, semua nama dan sifat yang telah ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya atau oleh Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam, mereka tetapkan untuk Allah, sesuai dengan keagungan sifat-Nya. Sebaliknya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah menafikan apa yang telah dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, atau oleh rasul-Nya, dengan penafian secara ijmal, berdasarkan kepada firman Allah :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Artinya : Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya…” [Asy-Syura : 11]
Penafian sesuatu menuntut penetapan terhadap kebalikannya, yaitu kesempurnaan. Semua yang dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, berupa kekurangan atau persekutuan makhluk dalam hal-hal yang merupakan kekhususan-Nya, menunjuk-kan ditetapkannya kesempurnaan-kesempurnaan yang merupakan kebalikannya. Allah telah memadukan penafian dan penetapan dalam satu ayat. Maksud saya penafian secara ijmal dan penetapan secara tafshil yaitu dalam firman Allah Subhanallahu wa ta’ala :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Artinya : Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Syura: 11]
Ayat ini mengandung tanzih, -penyucian- Allah dari penyerupaan dengan makhluk-Nya, baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Bagian awal ayat di atas merupakan bantahan bagi kaum Musyabbihah (yang menyerupakan Allah), yaitu firman Allah Ta’ala:
“Artinya : Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya …”
Adapun bagian akhir dari firman Allah tersebut merupakan bantahan bagi kaum Mu’athilah -yang melakukan ta’thil-, yaitu firman Allah:
وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِير
“Artinya : Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Syura : 11]
Pada bagian pertama terkandung penafian secara ijmal sedangkan pada bagian terakhir terkandung penetapan secara tafshil. Ayat di atas juga mengandung bantahan bagi kaum Asy’ariyah yang mengatakan bahwa Allah mendengar tanpa pendengaran dan melihat tanpa penglihatan. [1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Ta’ala mencantumkan ayat diatas, berikut surah Al-Ikhlas dan ayat Al-Kursi, karena surah Al-Ikhlas dan ayat-ayat tersebut mengandung penafian dan penetapan. [2] Surah Al-Ikhlas memiliki bobot yang sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam [3] Para Ulama menyebutkan penafsiran sabda beliau itu, bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan tiga macam kandungan, yaitu : Tauhid, kisah-kisah, dan hukum-hukum, sedangkan surah Al-Ikhlas ini mengandung tauhid dengan ketiga macamnya, yaitu: Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah, dan Tauhid Asma’ wa Shifat. Karena itulah ia dikatakan sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an. [4]
Ayat Al-Kursi adalah ayat yang agung, bahkan merupakan ayat yang paling agung di dalam Al-Qur’an.[5] Itu disebabkan, ia mengandung nama-nama Allah Yang Maha Indah dan sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi. Nama-nama dan sifat-sifat tersebut terkumpul di dalamnya, yang tidak terkumpul seperti itu dalam ayat lainnya. Karena itu, ayat yang mengandung makna-makna agung ini layak untuk menjadi ayat yang paling agung dalam Kitabullah. [6]
——————————————————————————–
Foote Note.

[1]. Al-Ajwibah Al-Ushuliyah ‘ala Al-Aqidah Al-Wasithiyah‌, hal.26

[2]. Ar-Raudah An-Nadiyah‌, hal. 120 dan Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah‌, Al-haras, hal.31

[3]. Al-Bukhari, lihat Fathul Bari‌XIII / 347 dan Muslim I/556 no.811.

[4]. Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah‌, Al-Haras, hal.21

[5]. Muslim I/556 no.810, Ahmad V/142, dan lain-lain.

[6]. Al-Ajwibah Al-Ushuliyah ‘ala Al-Aqidah Al-Wasithiyah‌, hal.40

page 5
Madzhab Ahluss Sunnah Wal Jama’ah Secara Ijmal Mengenai Sifat-Sifat Allah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala, tanpa ta’thil, tamtsil, tahrif, dan takyif[1]. Mereka mempercayainya sebagaimana tersebut dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadits.
[1]. Tahrif
Tahrif secara bahasa berarti merubah dan mengganti. Menurut pengertian syar’i berarti: merubah lafazh Al-Asma’ul Husna dan Sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi, atau makna-maknanya. Tahrif ini dibagi menjadi dua:

Pertama:
Tahrif dengan cara menambah, mengurangi, atau merubah bentuk lafazh. Contohnya adalah ucapan kaum Jahmiyah, dan orang-orang yang mengikuti pemahaman mereka, bahwa istawa [2] Adalah istaula [3] Disini ada penambahan huruf lam. Demikian pula perkataan orang-orang Yahudi, “Hinthah [4] ketika mereka diperintah untuk mengatakan “Hiththah[5]” Contoh lain adalah perkataan Ahli Bid’ah yang memanshubkan[6] lafazh Allah dalam ayat :

وَكَلَّمَ اللّهُ مُوسَى تَكْلِيماً
“Artinya : Dan Allah berbicara kepada Musa dengan langsung.”[An-Nisa’ : 164].
Kedua:
Merubah makna. Artinya, tetap membiarkan lafazh sebagaimana aslinya, tetapi melakukan perubahan terhadap maknanya. Contohnya adalah perkataan Ahli Bid’ah yang menafsirkan Ghadhab (marah), dengan iradatul intiqam (keinginan untuk membalas dendam); Rahmah (kasih sayang), dengan iradatul in’am (keinginan untuk memberi nikmat); dan Al-Yadu (tangan), dengan an-ni’mah (nikmat).

[2]. Ta’thil
Ta’thil secara bahasa berarti meniadakan. Adapun menurut pengertian syar’i adalah : Meniadakan sifat-sifat Ilahiyah dari Allah Ta’ala, mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut pada Dzat-Nya, atau mengingkari sebagian darinya. Jadi, perbedaan antara tahrif dan ta’thil yaitu : ta’thil adalah penafian suatu makna yang benar, yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan tahrif adalah penafsiran nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan interpretasi yang bathil.

Macam-Macam Ta’thil
Ta’thil ada bermacam-macam.
[a]. Penolakan terhadap Allah atas kesempurnaan sifat-Nya yang suci, dengan cara meniadakan Asma’ dan Sifat-sifat-Nya, atau sebagian dari-Nya, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut paham Jahmiyah dan Mu’tazilah.
[b]. Meninggalkan muamalah dengan-Nya, yaitu dengan cara meninggalkan ibadah kepada-Nya, baik secara total maupun sebagian, atau dengan cara beribadah kepada selain-Nya di samping beribadah kepada-Nya.
[c]. Meniadakan pencipta bagi makhluk. Contohnya adalah pendapat orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya, alamlah yang menciptakan segala sesuatu dan yang mengatur dengan sendirinya.
Jadi, setiap orang yang melakukan tahrif pasti juga melakukan ta’thil, akan tetapi tidak semua orang yang melakukan ta’thil melakukan tahrif. Siapa yang menetapkan suatu makna yang batil dan menafikan suatu makna yang benar, maka ia seorang pelaku tahrif sekaligus pelaku ta’thil. Adapun orang yang menafikan sifat, maka ia seorang mu’athil (pelaku ta’thil), tetapi bukan muharif (pelaku tahrif).
[3]. Takyif
Takyif artinya bertanya dengan kaifa (bagaimana). Adapun yang dimaksud takyif di sini adalah menentukan dan memastikan hakekat suatu sifat, dengan menetapkan bentuk/ keadaan tertentu untuknya. Meniadakan bentuk/ keadaan bukanlah berarti masa bodoh terhadap makna yang dikandung dalam sifat-sifat tersebut, sebab makna tersebut diketahui dari bahasa Arab. Inilah paham yang dianut oleh kaum Salaf, sebagaimana dituturkan oleh Imam Malik Rahimahullahu Ta’ala ketika ditanya tentang bentuk/ keadaan istiwa’, -bersemayam-. Beliau Rahimahullah menjawab :

“Istiwa’ itu telah diketahui (maknanya), bentuk/ keadaannya tidak diketahui, mengimaninya wajib, sedangkan menanyakannya adalah bid’ah.”[7]
Semua sifat Allah menunjukkan makna yang hakiki dan pasti. Kita mengimani dan menetapkan sifat tersebut untuk Allah, akan tetapi kita tidak mengetahui bentuk, keadaan, dan bentuk dari sifat tersebut. Yang wajib adalah meyakini dan menetapkan sifat-sifat tersebut maupun maknanya, secara hakiki, dengan memasrahkan bentuk/ keadaannya. Tidak sebagaimana orang-orang yang tidak mau tahu terhadap makna-maknanya.
[4]. Tamtsil
Tamtsil artinya tasybih, menyerupakan, yaitu menjadikan sesuatu yang menyerupai Allah Ta’ala dalam sifat-sifat Dzatiyah maupun Fi’liyah-Nya.

Tamtsil ini dibagi menjadi dua, yaitu :
Pertama :
Menyerupakan makhluk dengan Pencipta. Misalnya orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih putera Maryam dengan Allah Ta’ala dan orang-orang Yahudi yang menyerupakan ‘Uzair dengan Allah pula. Maha Suci Allah dari itu semua.

Kedua :
Menyerupakan Pencipta dengan makhluk. Contohnya adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai wajah seperti wajah yang dimiliki oleh makhluk, memiliki pendengaran sebagaimana pendengaran yang dimiliki oleh makhluk, dan memiliki tangan sebagaimana tangan yang dimiliki oleh makhluk, serta penyerupaan-penyerupaan lain yang bathil. Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.[8]

Ilhad Terhadap Asma’ Dan Sifat-Sifat Allah
Pengertian ilhad terhadap Asma’ dan Sifat-sifat Allah adalah menyimpangkan nama-nama dan sifat-sifat Allah, hakekat-hakekatnya, atau makna-maknanya, dari kebenarannya yang pasti. Penyimpangan ini bisa berupa penolakan terhadapnya secara total atau pengingkaran terhadap makna-maknanya, atau pembelokannya dari kebenaran dengan menggunakan interpretasi yang tidak benar, atau penggunaan nama-nama tersebut untuk menyebut hal-hal yang bid’ah, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut paham “Ittihad”. Jadi, yang termasuk dalam kategori ilhad adalah tahrif, ta’thil, takyif, tamtsil dan tasbih. [9]
——————————————————————————–
Foote Note.
[1]. Serta tanpa tafwidh

[2]. Istawa artinya berada di atas; (setelah dahulunya tidak)

[3]. Istaula artinya menguasai

[4]. Hinthat artinya gandum

[5]. Hiththah artinya bebaskan kami dari dosa

[6]. Maksudnya, lapazh Allah dibaca dengan harakat akhir fathah, padahal semestinya harakat akhirnya dibaca dengan dhammah . Dengan dimanshubkan, maka kedudukan lapazh Allah dalam ayat tersebut menjadi obyek, sehingga arti ayat tersebut berubah menjadi, Dan Musa berbicara kepada Allah secara langsung.

[7]. Fatawa Ibnu Taimiyyah, V/144
[8]. Al-Kawasyif Al-jaliyah an Ma’ani Al-Wasithiyah, hal.86.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz hafizhahullah berkata : Ada tasybih jenis ketiga, yaitu menyerupakan Sang Pencipta dengan madumat, (sesuatu yang tidak ada), tidak sempurna dan benda-benda mati. Inilah tasybih yang dilakukan oleh orang-orang yang menganut paham Jahmiyah dan Mu’tazilah.
[9]. Lihat Al-Ajwibah Al-Ushuliyah, hal. 32 dan Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah, Al-Haras, hal. 24.

page 6
Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Tentang Asma’ Dan Sifat-Sifat Allah Secara Tafshil
Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah madzhab kaum salaf Rahimahumullah Ta’ala. Mereka beriman kepada apa saja yang disampaikan oleh Allah mengenai diri-Nya di dalam kitab-Nya dan oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam dengan keimanan yang bersih dari tahrif dan ta’thil serta dari takyif dan tamtsil. Mereka menyatukan pembicaraan mengenai sifat-sifat Allah dengan pembicaraan mengenai Dzat-Nya, dalam satu bab. Pendapat mereka mengenai sifat-sifat Allah sama dengan pendapat mereka mengenai Dzat-Nya. Bila penetapan Dzat adalah penetapan tentang keberadaannya, bukan penetapan tentang bagaimananya, maka seperti itu pulalah penetapan sifat. Menurut mereka, wajib mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah yang telah ditegaskan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau oleh salah satu dari keduanya. Nama-nama dan sifat-sifat tersebut wajib diimani sebagaimana yang disebutkan dalam nash, tanpa takyif, wajib diimani berikut makna-makna agung yang terkandung didalamnya yang merupakan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla. Wajib mensifati Allah dengan makna sifat-sifat tersebut, dengan penyifatan yang layak bagi-Nya, tanpa tahrif, ta’thil, takyif, atau tamtsil [1]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengkiaskan Allah dengan makhluk-Nya, karena mereka tidak memperbolehkan penggunaan berbagai kias (analogi) yang mengandung konsekuensi penyerupaan dan penyamaan antara apa yang dikiaskan dengan apa yang menjadi obyek pengkiasan dalam masalah-masalah Ilahiyah. Karena itu mereka tidak menggunakan kias, tamtsil dan kias syumul/ menyeluruh terhadap Allah Ta’ala. Terhadap Allah SWT mereka menggunakan kias aula/ yang lebih utama. Inti kias ini adalah bahwa setiap kesempurnaan yang terdapat pada makhluk, tanpa kekurangan dipandang dari berbagai segi, maka Al-Khaliq lebih layak untuk memilikinya, sebaliknya setiap sifat kekurangan dihindari oleh makhluk, maka Al-Khaliq lebih layak untuk terhindar darinya.
Ayat-Ayat Dan Hadits-Hadits Tentang Sifat-Sifat Allah
Setelah Syaikhul Islam Rahimahullah Ta’ala menyebutkan akidah Firqah Najiyah secara ijmal, yaitu: Iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan takdir yang baik maupun yang buruk dari Allah, maka beliau mulai menjelaskan hal itu secara mendetail. Beliau Rahimahullah menyebutkan bahwa di antara manifestasi iman kepada Allah adalah iman kepada apa yang disifatkan oleh-Nya untuk diri-Nya, atau oleh rasul-Nya Sallallahu ‘alaihi wassalam, tanpa tahrif, ta’thil, takyif atau tamtsil.
Beliau Rahimahullah lalu menyebutkan sejumlah ayat dan hadits sahih yang di situ Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam menetapkan Sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla, dengan penetapan yang layak bagi-Nya. Dalam hal ini, beliau Rahimahullah bermaksud menegaskan bahwa tidak ada jalan bagi seorang muslim untuk mengetahui Sifat-sifat Rabbnya yang Maha Tinggi dan Asma’-Nya yang Maha Indah, melainkan melalui perantaraan wahyu. Asma’ dan Sifat-sifat Allah itu bersifat tauqifiyah (hanya bisa diketahui dari Allah). Maka, apapun yang ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya, atau oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam, kita meyakininya. Demikian pula, apa yang dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, atau oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam, kita menafikannya. Cukuplah bagi kita informasi yang datang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih ini.
Di antara ayat dan hadits yang disebutkan oleh beliau Rahimahullah adalah sebagai berikut:
——————————————————————————–
Foote Note.
[1]. Lihat “Al-Aqidah Asy-Shahihah wa maa Yudhaadhuha”, Syaikh Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz, hal 7 dan ‘Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah”, Al-Haras hal. 25

page 7
AYAT-AYAT DAN HADITS-HADITS TENTANG SIFAT-SIFAT ALLAH
Sifat: Al-Izzah, Al-ihathoh, Al-Ilmu, Al-Hikmah, Al-Khibrah, Ar-Rizq, Al-Quwwah, As-Sam’u, Al-Bashar
[1]. Sifat Al-‘Izzah (Perkasa)
١٨٠. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ. ١٨١. وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ. ١٨٢. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Artinya : Maha Suci Rabbmu, Yang Memiliki Keperkasaan (lzzah), dari apa yang mereka katakan. Keselamatan semoga dilimpahkan kepada para rasul. Dan segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam.” [Ash-Shafat : 180-182]
Dalam ayat ini, Allah me-Mahasucikan diri-Nya dari apa yang disifatkan, oleh orang-orang yang menyelisihi para rasul, kepada-Nya, serta memberikan keselamatan kepada para rasul dikarenakan perkataan mereka bersih dari kekurangan dan cela.
[2]. Sifat Al-Ihathah (Meliputi)
٣. هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Artinya : Dialah yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin, dan Dia Mulia Mengetahui segala sesuatu.”[Al-Hadid : 3]
Firman Allah di atas ditafsirkan dengan sabda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam :
“Artinya : Ya Allah, Engkaulah Al-Awwal, maka tidak ada sesuatu pun sebelum-Mu; Engkaulah Al-Aakhir, maka tidak ada sesuatu pun sesudah-Mu; Engkaulah Azh-Zhahir, maka tidak ada sesuatu pun di atas-Mu, dan Engkaulah Al-Bathin, maka tidak ada sesuatu pun di bawah-Mu.”[1]
Ayat dan hadits di atas menunjukkan sifat Al-Ihathah Az-Zamaniyah (meliputi waktu) yaitu pernyataan, “Dialah Al-Awwal dan Al-Akhir; serta Al-Ihathah Al-Makaniyah (meliputi tempat), yaitu pernyataan, “Dan Azh-Zhahir dan Al-Bathin.”
[3]. Sifat Al-Ilmu (Mengetahui) [4]. Sifat Al-Hikmah (Bijaksana) [5]. Sifat Al-Khibrah (Mengetahui)
١٠٠. إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Artinya : Sesungguhnya, Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [Yusuf : 100].
“Artinya : Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” [Al-An’am : 18]
Al-Ilmu merupakan salah satu sifat Dzatiyah yang tidak akan pernah lepas dari Allah Ta’ala. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu, secara global maupun terperinci. Kebijaksanaan Allah berlaku di dunia maupun di akhirat. Apabila Allah menyempurnakan sesuatu, maka sesuatu itu tidak mengandung kerusakan. Allah telah menciptakan manusia dan Dia Maha Suci, Maha Bijaksana, lagi Maha Mengetahui. [2]
[6]. Sifat Ar-Rizq (Memberi Rezki) [7] . Al-Quwwah (Kuat) [8]. Al-Matanah (Kokoh)
٥٨. إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Artinya : Sesungguhnya Allah Maha Pemberi Rezki, Yang Mempunyai Kekuatan, dan Yang Sangat Kokoh.” [Adz-Dariat : 58]
Ar-Razzaq artinya Yang banyak memberi rezki secara luas (sebagaimana ditunjukkan oleh shighah mubalaghah bentuk kata yang menyangatkan. Apapun rezki yang ada di alam semesta ini berasal dari Allah Ta’ala. Rezki itu ada dua :
Pertama : Rezki yang manfaatnya berlanjut sejak di dunia hingga di akhirat, yaitu rezki hati. Contohnya : Ilmu, iman, dan rezki halal.
Yang kedua : Rezki yang secara umum diberikan kepada seluruh manusia, yang shalih maupun yang jahat, termasuk binatang dan lain-lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat Al-Quwwah (Kekuatan), Al-Qawiy artinya adalah Syadidul Quwwah (Sangat Kuat). Maka, Al-Qawiy merupakan salah satu nama-Nya, yang berarti Yang Memiliki Sifat Kuat. Adapun Al-Matin berarti Yang Memiliki Puncak Kekuatan dan Kekuasaan.[3].
[9]. As-Sam’u (Mendengar) [10]. Al-Bashar (Melihat)
١١. لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Artinya : Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Sura: 11]
Di antara sifat-sifat Dzatiyah Allah adalah As-Sam’u dan Al-Bashar. Jadi, Allah memiliki sifat mendengar dan melihat, sesuai dengan keagungan-Nya, tidak sebagaimana mendengar dan melihatnya makhluk-Nya. Bahkan, pendengaran-Nya meliputi segala hal yang terdengar, dan Dia Melihat dan menyaksikan segala sesuatu, sekalipun sesuatu tersebut tersembunyi secara lahir maupun batin. [4]
Seorang penyair berkata :
Duhai Dzat Yang Melihat nyamuk, ketika mengembangkan sayapnya
Di kegelapan malam yang pekat dan kelam

Dan Melihat urat syaraf di lehernya

Juga otak yang didalam tulang-tulang nan amat mungil itu

Berikanlah kepadaku, ampunan yang menghapuskan

Dosa-dosa yang kulakukan, sejak kali pertama

——————————————————————————–
Foote Note.
[1]. Shahih Muslimâ€‌ IV/2084. Lihat juga Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah‌, Al-Haras, hal. 42.

[2]. Lihat Al-Ajwibah Al-Ushuliyah‌, hal.42

[3]. Ar-Raudhah An-Nadiyah‌, hal. 74

[4]. Lihat Ar-Raudhah An-Nadiyah‌, hal. 74 dan 112

page 8
Ayat-Ayat Dan Hadits-Hadits Tentang Sifat-Sifat Allah
Sifat : Al-Iradah, Al-Masyi’ah, Al-Mahabbah, Al-Mawaddah, Ar-Rahmah, Al-Maghfirah
[11]. Sifat Al-Iradah Dan [12]. Sifat Al-Masyi’ah (Menghendaki)
٢٥٣. وَلَوْ شَاء اللّهُ مَا اقْتَتَلُواْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
“Artinya : Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” [Al-Baqarah : 253]
١٢٥. فَمَن يُرِدِ اللّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقاً حَرَجاً كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاء َ
“Artinya : Siapa yang Allah berkehendak untuk memberikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk) Islam. Dan siapa yang Allah berkehendak untuk menyesatkannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.”[Al-An’am : 125]
Iradah (kehendak) Allah terbagi menjadi dua :
[1]. Al-Iradah Al-Kauniyah
Al-Iradah Al-Kauniyah ini bersinonim dengan Al-Masyi’ah. Iradah Kauniyah atau Masyi’ah ini berkenaan dengan apa saja yang hendak dilakukan dan diadakan oleh Allah Subhanallahu wa ta’ala Apabila Allah Subhanallahu wa ta’ala menghendaki terjadinya sesuatu, maka sesuatu itu terjadi begitu. Dia menghendakinya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

٨٢. إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Artinya : Sesungguhnya perintah-Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya “Kun” (Jadilah), maka jadilah ia.” [Yasin : 82]
Jadi, apapun yang dikehendaki oleh Allah, niscaya terjadi, sedangkan apapun yang dikehendaki Allah untuk tidak terjadi, niscaya tidak terjadi.
[2]. Al-Iradah Asy-Syar’iyah
Iradah ini berkaitan dengan apa saja yang diperintahkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya, berupa hal-hal yang dicintai dan diridhai-Nya. Iradah ini disebutkan, misalnya, dalam firman Allah Ta’ala :

١٨٥. يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [Al-Baqarah : 185]
Perbedaan Antara Kedua Iradah Ini.
Al-Iradah Al-Kauniyah Al-Qadariyah bersifat umum, meliputi seluruh peristiwa dan apapun yang terjadi di jagad raya ini, entah berupa kebaikan maupun keburukan, kekafiran maupun keimanan, dan ketaatan maupun kemaksiatan.
Adapun Al-Iradah Ad-Diniyah Asy-Syar’iyah bersifat khusus berkaitan dengan apa saja yang dicintai dan diridhai oleh Allah, yang dijelaskan di dalam Al-Kitab dan As-sunah.

Kedua Iradah di atas berpadu pada diri seorang hamba yang taat. Adapun orang yang bermaksiat dan kafir hanya mengikuti Al-Iradah Al-Kauniyah Al-Qadariyah. Artinya, ketaatan seseorang itu sesuai dengan iradah (kehendak) Allah, baik Al-Iradah Ad-Diniyah Asy-Syar’iyah maupun Al-Iradah Al-Kauniyah Al-Qadariyah. Adapun orang kafir, perbuatannya itu sesuai dengan iradah kauniyah qadariyah, tetapi tidak sesuai dengan iradah diniyah syar’iyah. [1]
[13]. Sifat Al-Mahabbah (Cinta) [14]. Al-Mawaddah (Cinta yang Murni)
١٩٥. وَأَحْسِنُوَاْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Artinya : Dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” [Al-Baqarah : 195]
Cinta Allah itu merupakan sifat yang sesuai dengan keagungan-Nya, sebagaimana telah dijelaskan di muka. la merupakan sifat Fi’liyah, yang muncul disebabkan dilaksanakannya perintah Allah, yaitu ibadah kepada Allah dengan baik dan perbuatan baik kepada hamba-hamba-Nya. Demikian halnya sifat Mawaddah. Karena Allah berfirman :
١٤. وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ
“Artinya : Dan Dia Maha Pengampun dan Maha Pencinta dengan kecintaan yang murni.” [Al-Buruj : 14]
Al-Wudd artinya kecintaan yang bersih dan murni.
[15]. Sifat Ar-Rahmah (Kasih Sayang), [16]. Al-Maghfirah (Mengampuni)
٧. رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْماً
“Artinya : Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi sesutu.” [Ghafir : 7]
١٠٧. وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Artinya : Dan Dia Yang memberikan ampunan dan sayang.” [Yunus : 107]
Pada ayat pertama, Allah menetapkan sifat rahmah bagi diri-Nya, sedangkan pada ayat kedua, Allah Subhanallahu wa ta’ala menetapkan sifat Maghfirah. Kita menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya, dengan artian yang layak bagi-Nya
——————————————————————————–
Foote Note.
[1]. “Al-Aqidah Ath-Thawiyah‌, hal.116, Syarh Al-Wasithiyah‌ Al-Haras, hal. 52 dan Al-Ushuliyah‌, hal.48

page 9
Ayat-Ayat Dan Hadits-Hadits Tentang Sifat-Sifat Allah
Sifat : Ar-Ridha, Al-Ghadhab. As-Sukht, Al-La’n, Al-Karahiyah, Al-Wajhu, Al-Yadain, Al-Ainain
[17]. Sifat Ar-Ridha [18]. Al-Ghadhab (Marah) [19]. As-Sukht (Murka)
[20]. Al-La’an (Melaknat) [2l]. Al-Karahiyah (Benci) [22]. Al-Asaf (Marah) [23]. Al-Maqt (Murka)
٨. رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
“Artinya : Allah meridhai mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” [Al-Bayyinah : 8]
٩٣. وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ
“Artinya : Dan siapa membunuh seorang mukmin secara sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, ia kekal di dalamnya, sedangkan Allah marah dan melaknatnya.” [An-Nisa’ : 93]
٢٨. ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ
“Artinya : Itu dikarenakan mereka mengikuti apa yang menjadikan Allah murka dan mereka membenci keridhaan-Nya.” [Muhammad : 28]
٥٥. فَلَمَّا آسَفُونَا انتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَاهُمْ أَجْمَعِينَ
“Artinya : Maka ketika mereka telah menyebabkan Kami marah, maka Kami menghukum mereka.” [Az-Zukhruf : 55]
٣. كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Artinya : Amat besarlah kemurkaan di sisi Allah, jika kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” [Ash-Shaf : 3]
٤٦. وَلَـكِن كَرِهَ اللّهُ انبِعَاثَهُمْ
“Artinya : Tetapi Allah membenci keberangkatan mereka.” [At-Taubah : 46]
Dalam ayat-ayat ini, Allah menetapkan bagi diri-Nya sifat Al-Ghadhab, marah, As-Sukht, murka, Ar- Ridha, Al-La’an (melaknat), Al-Karahiyah (benci), Al- Asaf (marah), serta Al-Maqt (murka). Ini semua merupakan sifat-sifat Af’al (perbuatan) yang dilakukan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, bila Dia menghendaki. Selain menetapkan sifat-sifat Dzatiyah bagi Allah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga menetapkan sifat-sifat Fi’liyah-Nya yang bersifat ikhtiyari (pilihan), dengan makna yang layak dengan keagungan-Nya.
[24]. Al-Maji’ (Tiba) [25]. Al-Ityan (Datang)
٢١٠. هَلْ يَنظُرُونَ إِلاَّ أَن يَأْتِيَهُمُ اللّهُ فِي ظُلَلٍ مِّنَ الْغَمَامِ وَالْمَلآئِكَةُ وَقُضِيَ الأَمْرُ
“Artinya : Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan kedatangan Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya.” [Al-Baqarah : 210]
٢١. كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكّاً دَكّاً. ٢٢. وَجَاء رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفّاً صَفّاً
“Artinya : Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut. Dan tibalah Rabbmu sedangkan malaikat berbaris-baris.” [Al-Fajr : 21-22]
Ayat-ayat yang disebutkan oleh penulis ini, juga ayat-ayat yang lain, memuat penetapan sifat Al-Maji’ (tiba’) dan Al-ltyan (datang), demikian pula sifat An-Nuzul (turun), sesuai dengan makna yang layak dengan keagungan Allah Ta’ala. Perbuatan-perbuatan ikhtiari ini dilakukan berkaitan dengan Al-Masyi’ah (kehendak) dan Al-Qudrah (kemampuan) Allah.
[26]. Sifat Al-Wajhu (Wajah), [27]. Al-Yadain (Dua Tangan), [28]. Al-‘Ainain (Dua Mata)
٢٧. وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Artinya : Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” [Ar-Rahman : 27]
٤٨. وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا
“Artinya : Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabbmu, sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Mata Kami” [Ath-Thur : 48]
٧٥. مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ
“Artinya : Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada (Adam) yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” [Shad : 75]
Dalam ayat-ayat ini terkandung penetapan wajah, dua tangan, dan dua mata bagi Allah Ta’ala, dengan sifat yang sesuai dengan kebesaran-Nya. Adapun hadits yang menunjukkan sifat dua mata ini, adalah sabda Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam :
Artinya : Sesungguhnya Rabbmu tidak buta sebelah matanya.” [1]
——————————————————————————–
Foote Note.
[1]. Fathul Bari‌ XII/91 dan Muslim IV/2248

page 10
Ayat-Ayat Dan Hadits-Hadits Tentang Sifat-Sifat Allah
Sifat : Al-Makru, Al-Kaid, Al-‘Afwu, Al-Maghfirah, Al-Izzah Dan Al-Qudrah
[29]. Sifat Al-Makru (Makar) [30]. Al-Kaid (Tipu Daya)
٥٤. وَمَكَرُواْ وَمَكَرَ اللّهُ وَاللّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
“Artinya : Mereka (orang-orang kafir itu) membuat makar, dan Allah membalas makar mereka. Dan Allah sebaik-baik pembuat makar.” [Ali Imran : 54]
١٥. إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْداً. ١٦. وَأَكِيدُ كَيْداً
“Artinya : Sesungguhnya mereka (orang-orang kafir itu) merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Dan Aku pun merencanakan tipu daya pula, dengan sebenar-benarnya.” [Ath-Thariq : 15-16]
١٣. وَهُوَ شَدِيدُ الْمِحَالِ
“Artinya : Dan Dia-lah Dzat Yang Maha keras tipu daya-Nya.” [Ar-Ra’d : 13]
Allah telah menetapkan bagi diri-Nya sifat-sifat yang tersebut dalam ayat-ayat tersebut, yaitu : Makar, Al-Kaid (tipu daya), dan Al-Mumahalah (tipu daya). Ini semua merupakan sifat Fi’liyah yang ada pada Allah, dengan makna yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya. Namun, dari sifat-sifat Fi’liyah ini tidak boleh diambil nama, sehingga tidak boleh mengatakan : bahwa salah satu nama-Nya adalah Al-Makir (Maha Makar), atau Al-Kaaid (Yang Maha Menipu Daya), karena nama tersebut tidak disebutkan. Kita berhenti pada apa yang tersebut saja, yaitu bahwa Dia Subhanallahu wa ta’ala adalah sebaik-baik pembuat makar dan bahwa Dia merencanakan tipu daya terhadap musuh-musuh-Nya yang kafir itu. Jadi Allah mensifati diri-Nya dengan sifat makar dan menipu daya sebagai balasan, sebagaimana dalam firman-Nya :
٤٠. وَجَزَاء سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا
“Artinya : Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” [Asy-Syura : 40]
Sifat tersebut termasuk dalam kategori ini, yaitu menimpakan makar dan tipu muslihat kepada siapa yang layak, sebagai hukuman baginya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengakui untuk diri-Nya perbuatan-perbuatan, akan tetapi Dia tidak menamai diri-Nya dengan isim fa’il dari perbuatan-perbuatan tersebut. Misalnya : Araada, -menghendaki- , syaa’a, -menghendaki-, ahdatsa, -mengadakan- , akan tetapi Allah tidak menyebut diri-Nya dengan nama Asy-Syaa’i (Yang Menghendaki), Al-Murid (Yang Menghendaki), Al-Muhdits (Yang Mengadakan). Dia juga tidak menyebut diri-Nya dengan nama Ash-Shani’ (Yang Membuat), Al-Fail (Yang Berbuat), Al-Mutqin (Yang Membuat dengan kokoh), dan nama-nama lain yang diambil dari perbuatan-perbuatan yang dinyatakan Allah sebagai perbuatan diri-Nya. Jadi, bab Af’al (perbuatan-perbuatan), lebih luas daripada bab Asma’ (nama-nama). Tetapi, apa yang dinyatakan oleh Allah untuk diri-Nya, maka kitapun meyakininya, misalnya firman-Nya :
١٦. فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ
“Artinya : Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya‌ [Al-Buruj : 16]
٨٨. صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ
Artinya : Begitulah perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh segala sesuatu.” [An-Naml : 88]
[31]. Sifat Al-‘Afwu (Memaafkan) [32]. Al-Maghfirah (Mengampuni) [34] Al-‘Izzah (Mulia) Dan Al- Qudrah (Kuasa, Mampu)
١٤٩. إِن تُبْدُواْ خَيْراً أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُواْ عَن سُوَءٍ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ عَفُوّاً قَدِيراً
“Artinya : Jika kamu menyatakan sesuatu kebaikan, menyembunyikan, atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” [An-Nisa’ : 149]
٨. وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
“Artinya : Padahal, kemuliaan hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman.” [Al-Munafiqun : 8]
٢٢. أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Artinya : Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [An-Nur : 22]
Dalam ayat-ayat di atas, Allah Subhanallahu wa ta’ala menetapkan bagi diri-Nya sifat Al-‘afwu (memaafkan), Al-maghfirah (mengampuni), Al-‘Jzzah (mulia), dan Al-Qudrah (kuasa, mampu), karena itu kita pun meyakininya sebagai sifat Allah, dengan makna yang layak bagi-Nya, tidak ada satupun dari makhluk-makhluk-Nya yang menyerupai sifat-sifat tersebut.[1]
——————————————————————————–
Foote Note.

[1]. Ar-Raudhah An-Nadiyah‌, hal.115, Al-Kawasyif Al-Jaliyah‌, hal.267, dan Mukhtashar Ash-Shawaiq Al-Mursalah Ala Al-Jahmiyahwal Mu’athilah‌, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah II/31-35

page 12
AYAT-AYAT DAN HADITS-HADITS TENTANG SIFAT-SIFAT ALLAH
Sifat : Al-Istiwa, Al-Uluw, Al-Maiyah Dan Al-Kalam
[35]. Sifat Al-Istiwa’ (Bersemayam) [36]. Al-‘Uluw (Tinggi)
٥. الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Artinya : Allah Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” [Thaha : 5]
Sifat itu disebutkan oleh Allah Subhanallahu wa ta’ala di tujuh tempat dalam kitab-Nya dan kita meyakini apa yang telah ditegaskan oleh Allah bagi diri-Nya. Kita mengatakan bahwa Dia benar-benar bersemayam, dengan sifat bersemayam yang layak dengan kebesaran-Nya. Bersemayam itu telah diketahui artinya, bagaimananya tidak diketahui, mengimaninya merupakan kewajiban, sedangkan bertanya mengenainya adalah bid’ah, dan inilah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.[1]
١٠. إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
“Artinya : Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya.” [Fathir : 10]
Al-Uluw (Tinggi) merupakan sifat Dzatiy bagi Allah Ta’ala. dia memiliki ketinggian absolut : ketinggian dzat, ketinggian kekuasaan, dan ketinggian pemaksaan [2] dalam hadits disebutkan :
“‘Artinya : Arsy itu -di atas air, sedangkan Allah di atas ‘Arsy dan Dia mengetahui apa yang kamu di atasnya.” [3]
[37]. Sifat Al-Ma’iyah (Kebersamaan) Bagi Allah Ta’ala
٤. هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَاء وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Artinya : Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia rnengetahui apa yang rnasuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya, juga apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Meihat apa yang kamu kerjakan.” [Al-Hadid : 4]
١٢٨. إِنَّ اللّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَواْ وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ
“Artinya : Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa ‘dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” [An-Nahl : 128]
Dalam ayat-ayat ini, kita menemukan bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan bagi diri-Nya sifat Al-Ma’iyah (kebersamaan). Ma’iyah ini terbagi menjadi dua macam :
[1]. Kebersamaan Allah dengan seluruh makhluk, yang konsekuensinya berupa sifat Al-llmu (mengetahui), Al-lhathah (meliputi), dan Al-Ithla’ (melihat). Dalil kebersamaan ini adalah apa yang terkandung dalam surah Al-Hadid di depan.
[2]. Kebersamaan Allah khusus dengan orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang konsekwensinya berupa penjagaan, perhatian, dan pertolongan. Kebersamaan yang umum, termasuk salah satu sifat Dzatiyah, sedangkan kebersamaan yang khusus, termasuk salah satu sifat Fi’liyah. Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya, bila seseorang dari kamu berdiri dalam shalatnya, maka ia sesungguhnya bermunajat kepada Rabbnya. Rabbnya berada diantara dirinya dan kiblat. Karena itu, janganlah salah seorang dari kamu meludah di hadapan wajahnya, tetapi hendaklah ia meludah di sebelah kirinya atau di bawah kedua telapak kakinya.” Dalam riwayat lain, “… atau di bawah telapak kaki kirinya.”[4]
” Artinya : Yang kamu seru dalam doamu lebih dekat kepada salah seorang dari kamu, daripada leher kendaraan tunggangan salah seorang dari kamu.” [5]
[38]. Sifat Al-Kalam (Berbicara)
١٦٤. وَكَلَّمَ اللّهُ مُوسَى تَكْلِيماً
“Artinya : Dan Allah berbicara kepada Musa dengan langsung.” [An-Nisa’ : 164]
Ayat ini, juga ayat-ayat lain yang disebutkan oleh penulis, menunjukkan bahwa Allah benar-benar berbicara dengan pembicaraan yang sesuai dengan kebesaran-Nya. Dia berbicara bila Dia menghendaki, tentang apa yang Dia kehendaki, dan kapan saja Dia menghendaki. Dia, benar-benar telah berbicara dengan Al-Qur’an dan kitab-kitab lain yang diturunkan kepada para nabi ‘alaihimush shalatu wassalam. Al-Qur’an adalah kalam-Nya Subhanahu wa Ta’ala , dirurunkan, bukan makhluk, bermula dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Bila manusia menulis Al-Qur’an di mushaf atau membacanya, maka hal itu tidak merubah keberadaannya sebagai Kalam Allah. Karena perkataan itu disandarkan kepada siapa yang mengatakannya pertama kali, bukan kepada siapa yang menyampaikannya. Allah telah berbicara dengan huruf-hurufnya dan makna-maknanya, dengan lafazh dari diri-Nya sendiri, tidak sedikit pun dari hal itu yang berasal dari selain-Nya. Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara dengan perkataan yang dari segi jenisnya adalah Qodim , akan tetapi dari segi satu persatunya adalah Hadits (baru), dan Dia terus-menerus berbicara dengan huruf, suara, dan perkataan yang didengar oleh siapa saja di antara makhluk-Nya yang Dia kehendaki. Dia akan berbicara kepada orang-orang mukmin pada Hari Kiamat dan sebaliknya mereka berbicara kepada-Nya. Pembicaraan-Nya terjadi dengan dzat-Nya dan merupakan sifat Dzat sekaligus sifat perbuatan, karena itu ia masih dan akan terus berbicara apabila la menghendaki, dengan pembicaraan yang sesuai dengan kebesaran-Nya [6] Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda :
“Artinya : Tidak ada seorang pun di antara kamu, kecuali Rabb-nya akan berbicara dengannya, tanpa perantara seorang penerjemah.[7]
Beliau juga bersabda : Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
” Artinya : Wahai Adam! “Adam alaihissalam menjawab, “Ku-penuhi panggilan-Mu, saya sangat berbahagia menjumpai-Mu, dan segala kebaikan berada di kedua tangan-Mu.”Nabi bersabda : Lalu Allah berfirman, “Keluarkanlah utusan naarl” Adam bertanya, “Apakah utusan naar itu !” Allah menjawab, “Untuk setiap seribu orang, ada 999 orang.” Nabi bersabda, “Itulah hari dimana anak kecil beruban, setiap wanita yang hamil melahirkan kandungannya, dan kamu melihat manusia mabuk padahal mereka tidak mabuk, akan tetapi siksa Allah itu sangat keras.” [8]
——————————————————————————–
Foote Note.
[1]. “Fatawa” Ibnu Taimiyah V/144

[2]. “Ar-Raudhah An-Nadiyah”, hal.131

[3]. Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud. Lihat “Aunul Ma’bud” XIII/14. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani dalam”Mukhtashar Al-‘Uluw lil “Aliyyi Al-Ghaffar”, hal.103

[4]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, “Fathul Bari” I/84 dan Muslim IV/2303

[5]. Fathul Bari XI/500 dan Muslim IV/2077, lafazh ini milik Muslim. Lihat Fatawa Ibnu Taimiyah V/103

[6]. “Ar-Raudhah An-Nadiyah”, 146, “Al-Ajwibah Al-Ushuliyah”, 93, dan “Syarh Al-Wasithiyah”, Al-Haras, hal.96

[7]. Diriwayatkan Al-Bukhari, “Fathul Bari” XI/377 dan Muslim I/201
[8]. Diriwayatkan Al-Bukhari, “Fathul Bari” XI/377 dan Muslim I/201

Referensi Menarik untuk Dibaca :  

Silsilah Penjelasan Al Aqidah Al Washithiyah 1/-
Penjelasan Silsilah Aqidah Al Wasithiyah 2/-

Firqah Sesat, Al-Firqatun An-Najiyyah (Golongan Yang Selamat) Dan Kapan Keluar Dari Ahlus-Sunnah ?
Pengikut Asy’ariyah ‘Meradang’ Hebat, Mereka Mendatangkan Para Qadhi Dan Ulamanya Untuk Mendebat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rohimahullah Yang Menulis Aqidah Firqah Najiyah Dalam Kitab Al-Aqidah Al-Wasithiyahnya.
Sebagian Besar Isi Deklarasi Pemimpin Munafiqun Moderat Semata-Mata Kedengkian Kepada Saudi Dan Salafi /Ahlus Sunnah ( Terutama Point 8,9,10,11 ). Imam Masjidil Haram: Tidak Ada Islam Moderat Atau Islam Ekstrem, Munculnya Klasifikasi Karena Kepentingan Kelompok Tertentu Yang Membenci Islam Sebagai Agama Yang Benar (Manhaj Yang Satu) Dan Tetap (Al-Haq) !
“Islam Moderat” Dan Misi Barat
Imam Besar Al-Azhar Serukan Eropa Dukung Lembaga Islam Moderat. Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi: Islam Moderat Isinya Ya Liberalisasi , sesat !
Alwi Shihab ar Rafidhi : Iran dan Indonesia Siapkan “Islam yang Benar dan Moderat ” ? !
Azyumardi Azra: Islam Indonesia beda dengan Islam Arab [ Banyak Statemennya menunjukan Kedengkian Luar Biasa Terhadap Bangsa Arab, Agama di Akal-akalin ]
Menag: Kita Adalah Orang Indonesia Yang Islam, Bukan Orang Islam di Indonesia
Sumber Agama Islam itu Alquran dan Hadis, bukan Nusantara. Terima Saja Bahwa Islam Itu ya Arab
Islam Nusantara Didesain untuk Mengobok-Obok Islam
Menanggapi Tulisan Ali Masykur Musa “Etika Sosial Islam Nusantara” yang Dimuat di Harian Republika Kamis 9 Juli 2015
Pilih Islam Yang Mana ? “Nusantara” Ataukah “Timur Tengah” ? Fitnah Ulama Sū’ (Jahat) Perusak Umat
Siapa yang Merusak Sejarah Islam?
Kenapa Di Indonesia Marak Aliran Sesat Dan Ormas-Ormas Islam Yang Menakutkan, Di Negeri “Wahhabi” Saudi Tidak Ada ?
Su'per Cendekiawan Muslim Sunni Abu-Abu Didikan Orientalis Terpedaya Syiah, Pendengki Salafi “ Wahabi ”
Mewaspadai Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam
Berkedok Risalah Amman Syiah Siap Membantai Muslim Indonesia
AWAS!! Risalah Amman - Seruan Sesat Penyatuan Semua Madzhab Sahihah & Sesat
Masukan Untuk Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin Terkait Risalah Amman
Konferensi “Bagaimana Cara Mengalahkan Islam?” Rencana Mereka, Kyai-Kyai Kelompok Mayoritas Mengubah Tafsir Al-Qur`An Dan Hadits-Hadits, Dengan Target Menghentikan Otoritas Ulama.
Kemana Umat Islam Akan Dibawa? Ke Blok Putin (Komunis) Dan Ini Berarti Dukung Syi’ah Iran Dan Rezim (Pembantai) Suriah, Atau Pilih Blok Salafi, Yang Berarti Ke Blok Saudi ( Tempat Al-Haramain, Al-Haq) ? Pecah Belah, Strategi Kuno Tapi Tetap Efektif.
Penyalahgunaan Kata Teroris, Fundamentalis & Khawarij Untuk Melampiaskan Kebencian" By @Syarifbaraja
Sekjen Ulama Sedunia: Pemikiran Radikal tidak mungkin bisa diperbaiki dengan Pemikiran Liberal
Prof.Dr.Kh Said Agil Siraj : Islam Saja Belum Tentu Bisa Menyatukan Umat, Di Timur Tengah Tidak Ada Ulama Yang Nasionalis ( Tapi Al-’Ulama Waratsatil Anbiya ) ! Ulama Di Indonesia Top Markotop !
Hasyim Muzadi “Kita menanamkan Pancasila ke seluruh dunia, karena inti Islam ada di Pancasila,” Hah ?! Berbicara Tentang Allah ( Agama ) Tanpa Ilmu" Lebih Besar Dosanya Dari Dosa Syirik. Rakyat Rusak karena Ulamanya Menyimpang.
[OOT] Kaidah dan Landasan Para Juru Dakwah
Ciri-ciri Aqidah dan Karakteristik Pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah
Tolok Ukur Kebenaran Adalah Secara Syar'i
Standarisasi Kebenaran Dalam Islam
Mungkinkah Membela Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Tapi Tidak Mentaati Beliau ??
Mendahulukan Akidah Sebelum Ukhuwah
Perselisihan Adalah Rahmat? Yang Benar Saja!
Solusi Di Tengah Kondisi Keterpurukan Dan Perpecahan Ummat Islam.
Tantangan Aktual Ahlusunnah Wal Jama’ah
Tong Sampah
Ahlus Sunnah Untuk Keutuhan NKRI
Al Aqidah Al Washithiyah: Penjelasan Aqidah Islam
Nasehat Menggugah Hadratus Syaikh Kh. Hasyim Asy’ari Untuk Menjaga Persatuan
Apa karakteristik firqah najiyah yang paling menonjol?
(Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)
Mengikuti Manhaj Salaf Dalam Segala Hal
Persatuan, Dengan Syarat Tak Mengusik (Mengkritik) 'Aqidah Dan Amalan Mereka ? Tidak Akan Terwujud Diatas Perbedaan Manhaj Dan Akidah (Manhaj Bunglon, Mutalawwin)