Ini 10 Rekomendasi Multaqo Dai dan Ulama V di
Jakarta
(Jumat 06/07)
2. Untuk mencapai persatuan dan kesatuan di
antara umat. Perlu berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman yang
komprehensif dan terintegrasi yang sejalan dengan kaidah-kaidah ilmiah dan
praktis yang telah disusun oleh para ulama otoritatif dari masa ke masa.
●Pemahaman yang komprehensif dan
terintegrasi yang sejalan dengan kaidah-kaidah ilmiah dan praktis ? Sulit dipahami. kenapa
bukan sejalan dengan kaidah-kaidah ilmiah dengan dalil yang Shahih dan Sharih ?
●Siapa Ulama Otoritatif (multi tafsir), Bukan Pemahaman
Para Sahabat Nabi dan Tiga Generasi terbaik setelah Nabi ?
●Kenapa ditaruh di point (2), point (1) tidak
mungkin bisa dilaksanakan jika point (2) tidak bisa diimplementasikan secara
syar’i.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
«خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ»
Artinya,“Sebaik-baik manusia adalah yang
hidup pada masaku, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian
manusia yang hidup pada masa berikutnya.” (HR. Bukhari (2652), Muslim
(2533))
Wajibnya Mengikuti Salafush Shalih
a. Dalil Dari Al Qur’anul Karim
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya, “Dan barangsiapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran bainya dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisa : 115]
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya, “Orang-orang yang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [QS. At-Taubah : 100]
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ألا إن من قبلكم من أهل الكتاب افترقوا على ثنتين
وسبعين ملة، وإن هذه الملة ستفترق على ثلاث وسبعين، ثنتان وسبعون في النار، وواحدة
في الجنة، وهي الجماعة
Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya
orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah berpecah belah menjadi tujuh
puluh dua golongan. Sesungguhnya (ummat) agama ini (Islam) akan berpecah belah
menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam
Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.”
[Shahih, HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad
(IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimi (II/241), al-Ajurri dalam asy-Syarii’ah,
al-Lalikai dalam as-Sunnah (I/113 no. 150). Dishahihkan oleh al-Hakim
dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’a-wiyah bin Abi Sufyan. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih masyhur. Dishahihkan oleh
Syaikh al-Albani. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no.
203-204)]
Dalam riwayat lain disebutkan:
ما أنا عليه وأصحابي
Artinya, “Semua golongan tersebut
tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para Sahabatku berjalan
di atasnya.” [Hasan, HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan al-Hakim (I/129) dari
Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul
Jaami’ (no. 5343)]
Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى
اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عُضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»
Artinya:
“Barang siapa di antara kalian yang hidup
sepeninggalku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, oleh sebab itu
wajib bagi kalian berpegang dengan sunnahku dan Sunnah Khulafaaur Rasyidin
(para khalifah) yang mendapat petunjuk sepeninggalku, pegang teguh Sunnah itu,
dan gigitlah dia dengan geraham-geraham, dan hendaklah kalian hati-hati dari
perkara-perkara baru (dalam agama) karena sesungguhnya setiap perkara baru
adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” [Shahih, HR. Abu Daud
(4607), Tirmidzi (2676), dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’
(1184, 2549)]
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
anhu, ia berkata,
“اِتَّبِعُوا
وَلَا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ”
Artinya, “Ikutilah dan janganlah
berbuat bid’ah, sungguh kalian telah dicukupi.” (Al-Bida’ Wan Nahyu Anha
(hal. 13))
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
anhu, juga pernah berkata,
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ
بِمَنْ قَدْ مَاتَ، فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ،
أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانُوا
أَفْضَلَ هَذِهِ الْأُمَّةِ، أَبَرَّهَا قُلُوبًا، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا
وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، قَوْمٌ اخْتَارَهُمُ اللَّهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَإِقَامَةِ
دِينِهِ، فَاعْرَفُوا لَهُمْ فَضْلَهُمْ، وَاتَّبِعُوهُمْ فِي آثَارِهِمْ،
وَتَمَسَّكُوا بِمَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ أَخْلَاقِهِمْ وَدِينِهِمْ، فَإِنَّهُمْ
كَانُوا عَلَى الْهَدْيِ الْمُسْتَقِيمِ.
Artinya, “Barang siapa di antara
kalian ingin mncontoh, maka hendaklah mencontoh orang yang telah wafat, yaitu
para Shahabat Rasulullah, karena orang yang masih hidup tidak akan aman dari
fitnah, Adapun mereka yang telah wafat, merekalah para Sahabat Rasulullah,
mereka adalah ummat yang terbaik saat itu, mereka paling baik hatinya, paling
dalam ilmunya, paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah
untuk menemani NabiNya, dan menegakkan agamaNya, maka kenalilah keutamaan
mereka, dan ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas
jalan yang lurus.” (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/97))
Imam Al Auza’i rahimahullah berkata,
“العلم
ما جاء عن أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم، فما كان غير ذلك فليس بعلم”
Artinya, “Sebarkan dirimu di atas
sunnah, dan berhentilah engkau dimana kaum itu berhenti (yaitu para Shahabat
Nabi), dan katakanlah dengan apa yang dikatakan mereka, dan tahanlah (dirimu)
dari apa yang mereka menahan diri darinya, dan tempuhlah jalan Salafush
Shalihmu (para pendahulumu yang shalih), karena sesungguhnya apa yang engkau
leluasa (melakukannya) leluasa pula bagi mereka.” (Jami’ul Bayan Al-ilmi
Wa Fadhlihi (2/29))
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa
membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam
ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya
dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin.
Referensi: Mu’taqad Ahlus Sunnah
Wal-Jama’ah Fi Tauhidil Asma’ Was Sifat karya Syaikh Muhammad bin Khalifah
At-Tamimi, dengan beberapa perubahan redaksi.
Penulis: Lilik Ibadurrohman
Muraja’ah: Ust. Suhuf Subhan, M.Pd.I
Dauroh-19 Batu, Malang : Persatuan
Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah Sesuai Jalan Salafush Shalih.
2018-07-06
PEMBUKAAN SYAIKH SULAIMAN BIN SALIMULLAH
AR-RUHAILI -hafizhahullaah-
[MUQADDIMAH]
Orang yang melihat realita zaman
sekarang; maka ia akan menyaksikan banyaknya fitnah (ujian), berpecah belahnya
orang-orang yang (tadinya) saling mencintai, dan banyaknya orang yang sibuk
dengan sesuatu yang tidak mendatangkan manfaat untuk dirinya, dan juga tidak
bermanfaat untuk orang lain.
Dan JALAN KELUAR (SOLUSI) dari realita
semacam itu adalah: dengan minta tolong kepada Allah, mengakui kekurangan, dan
bertaubat dari kesalahan, serta MEMPRAKTEKKAN PRINSIP-PRINSIP SYAR’I BERIKUT
INI:
PRINSIP PERTAMA: ilmu.
Dan ilmu merupakan cahaya yang dengannya
seseorang bisa melihat (kebenaran); jika ilmu tersebut (1)diambil dari
sumbernya (Al-Qur’an & As-Sunnah), dan (2)dipelajari dari ahli ilmu,
(3)dibarengi dengan hati yang baik. Inilah ilmu yang bermanfaat.
Maka, ilmu (semacam itu) harus ada,
karena ilmu lah yang akan menjadikan perkataan, perbuatan, bahkan tujuan:
menjadi benar.
Adapun keutaaman ilmu: sangatlah banyak
-sebagaimana kalian ketahui-.
Dan seorang harus berhias dengan tawadhu’
(merendahkan diri) dalam menuntut ilmu dan harus selamat dari kibr
(kesombongan), karena kibr merupakan penghalang terbesar dalam mendapatkan
ilmu.
Penuntut ilmu sangat butuh kepada sikap
tawadhu’ (merendahkan diri). Dan penuntut ilmu semakin bertambah ilmunya; maka
ia semakin bertambah kehinaannya di hadapan Allah dan semakin bertambah sikap
tawadhu’nya di hadapan hamba-hamba Allah. Dan semakin meningkat ilmunya; maka
ia semakin mengetahui bahwa dirinya adalah bodoh, sehingga semakin bertambah
keinginannya untuk menambah ilmunya.
Barangsiapa yang menyangka bahwa dirinya
telah mencapai puncak dalam ilmu; maka ia adalah orang bodoh. Dan seorang
(penuntut ilmu) senantiasa berada dalam kebaikan; selama ia tidak menganggap
dirinya adalah seorang syaikh yang tidak butuh lagi kepada ilmu. Ketika ia
mencapai tingkatan ini; maka ia telah mencapai puncak kebodohan. Dan (anggapan
semacam) ini merupakan pertanda kebodohannya.
PRINSIP KEDUA: bersatu dengan persatuan
yang dibanguan di atas 3 (tiga) prinsip:
1. Bersatu di atas agama dan bersatu
untuk menegakkan agama. Allah -‘Azza Wa Jalla- berfirman:
{…أَنْ
أَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلَا تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِ…}
“…tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah di dalamnya…” (QS. Asy-Syuuraa: 13)
Dalam ayat ini Allah mendahulukan
perintah untuk menegakkan agama, atas larangan dari berpecah belah.
Maka persatuan tidak akan benar dan tidak
akan bermanfaat; kecuali jika didasari agama dan tegak di atas agama.
2. Bersatu dengan dilandasi Al-Qur’an, bukan
di atas sikap basa basi, bukan pula di atas hizbiyyah, maupun organisasi. Akan
tetapi bersatu di atas tali Allah, didasari Al-Qur’an. Oleh karena itulah Allah
berfirman:
{وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ …}
“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,…” (QS. Ali ‘Imraan: 103)
Allah mendahulukan (perintah untuk)
berpegang dengan tali Allah, atas larangan dari berpecah belah.
3. Di atas Sunnah Rasulullah
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, dan jalan As-Salafush Shalih; yakni: para
Shahabat -radhiyallaahu ‘anhum-, dan orang-orang yang mengikuti mereka. Allah
-Ta’aalaa- berfirman:
{وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ
غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ
وَسَاءَتْ مَصِيْرًا}
“Dan barangsiapa menentang Rasul
(Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan dia mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin (para Shahabat), Kami biarkan dia dalam kesesatan yang
telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam Neraka Jahannam, dan
itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisaa’: 115)
Maka, orang-orang mukmin pada zaman itu
(zaman Rasul) adalah: para Shahabat.
Dan ketika terjadi perselisihan;
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- telah menunjukkan jalan untuk
bersatu, yakni: dengan berpegang pada Sunnah, dengan pemahaman para Shahabat.
Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
((…فَإِنَّهُ
مَنْ يَـعِـشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ؛ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِـيْرًا، فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِـيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّــيْـنَ الـرَّاشِدِيْنَ،
تَـمَسَّكُوْا بِـهَا، وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ،…))
“…Sungguh, orang yang masih hidup di
antara kalian sepeninggalku; niscaya ia akan melihat banyak perselisihan, maka
WAJIB ATAS KALIAN UNTUK BERPEGANG TEGUH DENGAN SUNNAH-KU DAN SUNNAH KHULAFA-UR
RASYIDIN yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan
gigi geraham…”
PRINSIP KETIGA: Ar-Rifqu (berlemah lembut).
Kita harus saling berlemah lembut, dan
selalu mengedepankannya. Karena sungguh, Ar-Rifqu adalah asas kebaikan.
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda:
((إِنَّ
الرِّفْقَ لَا يَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ
إِلَّا شَانَهُ))
“Sungguh, Ar-Rifq (sikap lemah lembut)
tidaklah terdapat dalam sesuatu; melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah
dicabut dari sesuatu; melainkan akan memburukkannya.”
Dan termasuk dari sikap Ar-Rifq (lemah
lembut) adalah: memberikan nasehat. Yakni: jika engkau melihat saudaramu berada
dalam kesalahan; maka nasehatilah ia, dan do’akan kebaikan untuknya, serta
jelaskan bahwa dirinya berada di atas kesalahan.
PRINSIP KEEMPAT: Ar-Rahmah (kasih
sayang). Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
((ارْحَمُوْا
مَنْ فِي الأَرْضِ؛ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ))
“Sayangilah yang ada di bumi; niscaya
(Allah) yang ada di (atas) langit akan menyayangimu.”
Maka, kita harus saling menyayangi, dan
melihat satu sama lain dengan pandangan kasih sayang.
Ditulis dengan ringkas oleh: Ustadz Ahmad
Hendrix Eskanto
Kisah Seputar Dauroh-19 Batu, Malang :
Pesan Mendalam Syaikh Prof. Sindi dalam Sambutannya
2018-07-06
Kisah Seputar Dauroh-19 Batu-Malang :
*Pesan Mendalam Syaikh Prof. Sindi dalam Sambutannya*
————————–
التعب وتجشم المجيء إلى هذه البلاد الطيبة انتهى
بمجرد رؤيا هذه الوجوه النيرة
_”Lelah dan letih yang menyakitkan selama
perjalanan menuju negeri yang baik ini, tiba-tiba hilang begitu saja, saat
(kami) melihat wajah-wajah yang bercahaya ini….”_
Demikian sepenggal kalimat pembuka yang
diucapkan Syaikh Prof. Dr. Sholih Sindi dalam kalimat sambutannya ba’da Maghrib
tadi di hadapan kurang lebih 600 da’i-da’i Ahlussunah dari seluruh Indonesia.
Sebuah kalimat yang juga menghilangkan segenap letih perjalanan–sejauh 550 km
dari Lombok ke Malang–yang telah kami tempuh.
***
Mendapat kesempatan pertama dalam
memberikan sambutan, Syaikh Prof. Sindi membawakan wasiat yang dipetiknya dari
ayat;
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ
نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ
وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ
_”Dia (Allah) telah mensyariatkan
kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa yaitu *tegakkanlah agama* dan *janganlah kamu berpecah belah di
dalamnya*……”_ [QS. Asy-Syura: 13]
Bertolak dari ayat mulia tersebut, Syaikh
Prof. Sindi menitikberatkan wasiatnya pada dua hal;
Tegakkanlah agama; pada diri pribadi, dan
pada orang lain. Ini hanya mungkin terwujud dengan ilmu. Yaitu ilmu yang
diwariskan dari Rasulullah ﷺ, berupa wahyu yang
menjadi sumber hidayah bagi manusia. Itulah ilmu yang sesungguhnya:
وَإِنِ اهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِي إِلَيَّ
رَبِّي ۚ إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ
_”…dan jika aku mendapat petunjuk maka
itu *disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku* kepadaku. Sungguh, Dia Maha
Mendengar, Maha-dekat.”_ [QS. Saba’: 50]
Ilmu ini mulia nan agung. Kebutuhan kita
terhadapnya, bersifat mutlak. Melukiskan keagungan ilmu kepada seluruh hadirin,
Syaikh menukil ucapan Imam Ibnul Mubarak:
لا أعلم شيئا بعد النبوة أفضل من العلم
_”Aku tak tahu, ada sesuatu setelah
kenabian yang lebih mulia daripada ilmu (yang diwariskan oleh Nabi)”_
Juga ungkapan Imam Ahmad bin Hambal:
حاجة الناس إلى العلم أعظم من حاجتهم إلى الطعام
والشراب
_”Kebutuhan manusia pada ilmu, jauh lebih
besar dibanding kebutuhan mereka pada makan dan minum”_
Selanjutnya ada 3 hal yang harus ada pada
diri penuntut ilmu, agar ilmu memiliki kekuatan;
Pertama; ilmu harus dituntut secara
bertahap, dari yang terpenting lalu yang penting, lalu cabang-cabangnya. Aqidah
yang shahih, berikut amal yang shahih, adalah ilmu yang paling penting, kata
Syaikh. Yaitu ilmu yang menghimpun Fiqhul Akbar (Aqidah yang shahih) dan Fiqhul
Ashgar (amal yang shahih).
Kedua; hendaklah penuntut ilmu, dalam
perjalanannya menuntut ilmu, bersungguh-sungguh dalam hal tahqiiq dan tadqiiq,
mengkaji dan menggali ilmu itu secara mendalam, terperinci, dan menelitinya
secara mengakar. Tidak hanya sebatas permukaan atau casing di luar saja.
Ketiga; mudzakarah atau mendiskusikan
ulang ilmu yang telah didapat. Kata Syaikh;
حياة العلم مذاكرته
_”Hidupnya ilmu, adalah dengan
me-mudzkarah-kannya”_
Demikianlah 3 faktor yang harus ada, agar
ilmu yang dimaksud bisa menjadi penopang utama dalam upaya menegakkan agama
pada pribadi dan pada orang lain melalui dakwah.
Kemudian Syaikh menutup wasiat beliau
dari ayat yang beliau bacakan di awal:
Janganlah kalian berpecah belah…!! Pesan
yang sering kali kita dengar. Bahkan berkali-kali kita membacanya dalam
al-Qur’an, namun realita di medan dakwah, menuturkan kisah perpecahan yang
pilu. Bahkan di antara sesama ahlussunah.
Syaikh menerangkan, kita tidak heran
dengan perpecahan yang terjadi di tengah ahlul ahwaa’ dan ahlut tahazzub.
Mereka tidak berdiri di atas pijakan yang sama, tidak di atas al-haq. Sehingga
wajar jika berpecah belah. Namun yang aneh adalah; manakala Ahlussunah yang
berpecah belah, padahal mereka meniti jalan al-haq yang satu.
Tidak lupa Syaikh menegaskan dan
menekankan, bahwa persatuan yang hakiki adalah persatuan di atas al-haq, di
atas Islam dan aqidah yang shahih.
***
Demikian sedikit Fawaid dari kalimat
sambutan Syaikh Prof. Dr. Shalih Sindi yang bisa tertuang. Semoga ada
manfaatnya. Wassalam.
________
Batu, 02072018
Muhibbukum fillaah
Oleh : Ustadz Abu Ziyan Johan Saputra
Halim
Kisah Seputar Dauroh-19 Batu, Malang :
Menatap Langsung Akhlak Para Ulama Rabbani
2018-07-06
Kisah Seputar Dauroh-19 Batu-Malang :
*Jadi, Ceritanya Begini….*
—————-
Jangankan berinteraksi langsung dengan
para ulama Rabbani, melihat mereka saja bisa menambah keyakinan kita akan
kebenaran ilmu di atas manhaj Salaf ini. Kenapa demikian? Karena kita bisa
menyaksikan secara langsung buah ranum nan indah dari keberkahan pohon ilmu
yang ada dalam dada-dada mereka. Buah yang tidak kita dapatkan ketika kita
mendalami ilmu yang tidak mereka dalami. Bagi yang telah malang melintang
pindah harokah, halaqoh, dan haluan hizb, lalu kecantol dengan kajian Salaf,
saya yakin bisa merasakan hal tersebut. Ada sesuatu yang beda di hati, manakala
“ilmunya para sahabat Rasul” ini, kita dalami.
***
Jadi ceritanya begini. Selama mengikuti
Dauroh Syar’iyyah ke-19 di Batu-Malang sejak 02 Juli 2018 sampai dengan hari
ini, saya menyaksikan beberapa hal yang menakjubkan dari sosok Syaikh Prof. Dr.
Shalih Sindi _hafizhahullah_ selaku narasumber.
Syaikh Abdurrahman at-Tamimi
_hafizhahullah_ ketika itu tepat berada di samping kiri beliau. Syaikh
Abdurrahman _hafizhahullah_ tiba-tiba mengambil air botolan, lantas membuka
segel dan penutupnya. Ternyata Syaikh Abdurrahman _hafizhahullah_ tidak
bermaksud minum dari air botolan tersebut. Dengan penuh tawaadhu’ Syaikh
Abdurrahman ternyata hendak menuangkan air ke gelas kosong yang tepat berada di
hadapan Syaikh Sindi. Dengan sigap Syaikh Sindi mengambil botol air yang ada di
tangan Syaikh Abdurrahman, lalu menuangkan sendiri air botolan tersebut.
Allahu Akbar…!! Pelajaran akhlak yang
amat singkat, namun saya yakin, kejadian tersebut tak akan pernah terlupakan
oleh siapa saja yang menyaksikannya. Pelajaran akhlak yang tak perlu
menghabiskan waktu tahunan dan biaya miliaran untuk menyusun kurikulumnya.
Pelajaran akhlak yang andai dituliskan dalam ribuan paragraf kalimat, belum
tentu mampu memberikan bekas dan perubahan bagi pembacanya. Pelajaran akhlak
yang didapat hanya dengan berada di sekeliling ulama dan berinteraksi dengan
mereka.
Di situ ada akhlak memuliakan ulama, ada
kurikulum hidup tentang ketawaadhuan yang ditunjukkan oleh Syaikh Abdurrahman
_hafizhahullah_ yang lebih senja usianya dibanding Syaikh Sindi
_hafizhahullah_. Di situ juga ada akhlak memuliakan yang lebih tua, sebagaimana
yang ditunjukkan oleh Syaikh Sindi kepada Syaikh Abdurrahman _hafizhahullah_.
Di situ ada pelajaran tentang _al-hirsh fii tahshiil al-ajr_ (hasrat mendulang
pahala) dari amal kebajikan (memberi air minum) dan akhlak yang mulia.
***
Hampir setiap saat dalam penyampaian
materinya, Syaikh Prof. Sindi menyapa peserta dengan doa. Bagi yang mengikuti
durus beliau di Masjid Nabawi, baik secara langsung maupun melalui rekaman
kajian beliau di YouTube di di web resmi beliau (salehs.net), tentunya tak
asing dengan kalimat sapaan beliau yang khas; _”Yaa ro’aakallaah….”_ (Duhai
engkau, semoga Allah memeliharamu). Ungkapan yang benar-benar melukiskan
kelembutan seorang guru pada murid-muridnya, disertai harapan besar agar
murid-muridnya mendapatkan penjagaan dari Allah. Inilah manifestasi dari apa
yang pernah disabdakan baginda Nabi ﷺ:
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ،
ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
_”Para penyayang, disayangi yang Maha
Penyayang. Sayangilah makhluk di bumi, niscaya yang berada di langit akan
menyayangimu”_ [at-Tirmidzi: 1924, Abu Dawud: 4941, ash-Shahiihah: 922]
***
Di lain kesempatan, Syaikh pernah
mengingatkan para peserta yang masih berdering HP-nya, padahal sudah berada di
kelas. Kata Syaikh; _”majelis ilmu punya kehormatan. Tidak layak diganggu
dengan kesibukan lain selain ilmu. Matikan atau aktifkan mode silent…!!”._
Pada pertemuan berikutnya; dering HP
terdengar lagi di kelas saat Syaikh Prof. Sindi menyampaikan materi. Syaikh
menginterupsi; _”jika antum merasa tidak bisa lepas dari HP, berarti antum
tidak layak berada di majelis ilmu, silakan meninggalkan majelis ini…!!”._
Kurang lebih seperti itu ungkapan Syaikh kepada kami semua yang hadir ketika
itu (bukan hanya kepada person tertentu yang HP-nya kebetulan berdering karena
lupa di-silent). Jujur, bagi saya pribadi yang selalu meng-on-kan mode silent
sebelum masuk kelas, kalimat tersebut bagai petir di siang bolong, berat
rasanya menengadahkan muka untuk melihat wajah Syaikh. Kami semua benar-benar
malu. Hanya bisa tertunduk. Kendati Syaikh melirihkannya dengan nada yang datar
dan suara yang lembut. Kejadian tersebut membuat saya berazam untuk selalu
menonaktifkan HP (mode airplane, bukan sekedar silent) sebelum masuk kelas.
Sebagai seorang pendidik, terlebih ustadz
yang mengajarkan ilmu din, sikap tegas Syaikh Prof. Sindi yang dikombinasikan
dengan sikap lembut beliau, wajib dicontoh.
***
Syaikh Prof. Sindi adalah sosok yang
sangat menghargai waktu. Beliau selalu hadir ke kelas tepat waktu sesuai
jadwal. Beberapa kali beliau bahkan sudah berada di kelas sebelum seluruh
peserta hadir menduduki bangkunya. Peserta yang telat, jadi tersipu malu
melihat Syaikh telah duduk di depan, dan papan tulis telah beliau isi dengan
tema inti yang akan beliau sampaikan.
Pernah di salah satu sesi, listrik padam
beberapa kali. Sound system off semua. Sambil melihat jam tangannya, Syaikh
beranjak dari kursinya lalu berdiri dan berjalan agak mendekat ke kursi peserta
di baris depan, _”sa-arfa’u shouti”_ (saya akan menaikkan suara) kata beliau,
sambil melanjutkan materi. Benar-benar tidak rela ada waktu yang terbuang
percuma di kelas.
Saat listrik dan sound system kembali on,
beliau terlihat enggan kembali duduk untuk memanfaatkan mic yang melekat di
meja. Bagi beliau, lumayan makan waktu berjalan kembali ke kursi, karena waktu
untuk sesi beliau sebentar lagi kelar. Beliau memilih melanjutkan materi yang
tinggal sedikit lagi akan tuntas tanpa mic. Ini semua menunjukkan betapa beliau
sangat apik memenej waktu, dan betapa persiapan materi dengan alokasi waktu
yang tersedia menjadi hal yang urgen di mata beliau.
Demikianlah seharusnya seorang guru
sejati; sebisa mungkin memenej waktu untuk alokasi materi yang akan
disampaikan. Guru seperti ini sudah barang tentu telah mempersiapkan dan
merencanakan materi ajarnya sebelum tampil di kelas. _Baarakallaahufiik Yaa
Syaikhonaa…_, engkau telah memberi kami pelajaran berharga.
***
Syaikh Prof. Sulaiman ar-Ruhaily
_hafizhahullah_ juga demikian. Tetap energik dengan suara khas beliau yang lantang.
Padahal beliau sedang sakit lho..?!! Infeksi saluran pencernaan dan diabet
dengan kadar gula yang tinggi (Syafallaahu Syaikhonaa syifaa-an kaamilaa).
Kendati demikian, beliau sedikitpun tak pernah mengeluh. Bahkan selalu tepat
waktu hadir di kelas.
***
Allahu Akbar…!! Merenungi itu semua, saya
bergumam melemparkan pertanyaan ke dalam hati; apa yang menjadikan para
Masyaikh ini begitu mulia, begitu kokoh karakter dan akhlaknya…?? Apa yang
telah menjelmakan mereka menjadi figur berakhlak luhur dan berkarakter, tentu
bisa menjadikan kita, anak-anak didik kita–di rumah maupun di madrasah–memiliki
keluhuran akhlak yang sama.
Pastinya, mereka punya satu kesamaan. Ya,
kesamaan ilmu dan kesamaan sumber ilmu, juga kesamaan pemahaman terhadap sumber
ilmu tersebut. Ilmu Aqidah dan manhaj yang lurus. Aqidah dan manhajnya para
sahabat. Ilmu al-Quran dan Sunnah di atas pemahaman yang satu, pemahaman
Salafuna ash-Shaalih. Inilah pasokan energi yang mampu mengikis kerak-kerak
negatif dalam jiwa manusia, lantas menggerakkan semua potensi positif yang ada.
Ilmu tentang Aqidah para Sahabat, akan
mengundang petunjuk dan taufik dari Allah. Jika petunjuk dan taufik Allah
menyertai, maka nantikanlah perubahan besar yang akan terjadi.
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ
فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ۖ
_Maka jika mereka telah beriman
(beraqidah) sebagaimana yang kamu (wahai para Sahabat) imani, sungguh, *mereka
telah mendapat petunjuk*. Tetapi jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka
berada dalam permusuhan (denganmu),…_ [QS. Al-Baqarah: 137]
Ilmu jenis inilah yang harus ada di
setiap madrasah anak-anak kita, dan wajib ada pada diri guru bagi anak-anak
kita. Yaitu ilmu al-Quran dan as-Sunnah yang dengannya Rasulullah ﷺ menyucikan
jiwa-jiwa para Sahabat:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا
مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
_Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada
kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat-Nya, *menyucikan (jiwa) mereka* dan *mengajarkan kepada mereka
Kitab dan Hikmah (Sunnah)*, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam
kesesatan yang nyata._ [QS. al-Jumu’ah: 2]
__________
Batu-Malang, 05072018
Muhibbukum fillaah
Oleh : Abu Ziyan Johan Saputra Halim
(Ma’had Abu Hurairah – Lombok)