Friday, July 6, 2018

Dauroh-19 Batu, Malang : Persatuan Berdasarkan Al-Qur’an Dan As-Sunnah Sesuai Jalan Salafush Shalih. Pesan Mendalam Syaikh Prof. Sindi Dalam Sambutannya. Menatap Langsung Akhlak Para Ulama Rabbani.



Ini 10 Rekomendasi Multaqo Dai dan Ulama V di Jakarta 
(Jumat 06/07)
2. Untuk mencapai persatuan dan kesatuan di antara umat. Perlu berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman yang komprehensif dan terintegrasi yang sejalan dengan kaidah-kaidah ilmiah dan praktis yang telah disusun oleh para ulama otoritatif dari masa ke masa.
Pemahaman yang komprehensif dan terintegrasi yang sejalan dengan kaidah-kaidah ilmiah dan praktis ? Sulit dipahami. kenapa bukan sejalan dengan kaidah-kaidah ilmiah dengan dalil yang Shahih dan Sharih ?
Siapa Ulama Otoritatif (multi tafsir), Bukan Pemahaman Para Sahabat Nabi dan Tiga Generasi terbaik setelah Nabi ?
Kenapa ditaruh di point (2), point (1) tidak mungkin bisa dilaksanakan jika point (2) tidak bisa diimplementasikan secara syar’i.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

«خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ»

Artinya,“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya.” (HR. Bukhari (2652), Muslim (2533))

Wajibnya Mengikuti Salafush Shalih
a. Dalil Dari Al Qur’anul Karim

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Artinya, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran bainya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisa : 115]

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [QS. At-Taubah : 100]

Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ألا إن من قبلكم من أهل الكتاب افترقوا على ثنتين وسبعين ملة، وإن هذه الملة ستفترق على ثلاث وسبعين، ثنتان وسبعون في النار، وواحدة في الجنة، وهي الجماعة

Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Sesungguhnya (ummat) agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.”
[Shahih, HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimi (II/241), al-Ajurri dalam asy-Syarii’ah, al-Lalikai dalam as-Sunnah (I/113 no. 150). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’a-wiyah bin Abi Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih masyhur. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 203-204)]

Dalam riwayat lain disebutkan:

ما أنا عليه وأصحابي

Artinya, “Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para Sahabatku berjalan di atasnya.” [Hasan, HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan al-Hakim (I/129) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (no. 5343)]
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عُضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»

Artinya:
“Barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, oleh sebab itu wajib bagi kalian berpegang dengan sunnahku dan Sunnah Khulafaaur Rasyidin (para khalifah) yang mendapat petunjuk sepeninggalku, pegang teguh Sunnah itu, dan gigitlah dia dengan geraham-geraham, dan hendaklah kalian hati-hati dari perkara-perkara baru (dalam agama) karena sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” [Shahih, HR. Abu Daud (4607), Tirmidzi (2676), dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (1184, 2549)]

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata,

اِتَّبِعُوا وَلَا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ

Artinya, “Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah, sungguh kalian telah dicukupi.” (Al-Bida’ Wan Nahyu Anha (hal. 13))
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, juga pernah berkata,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ، فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ، أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانُوا أَفْضَلَ هَذِهِ الْأُمَّةِ، أَبَرَّهَا قُلُوبًا، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، قَوْمٌ اخْتَارَهُمُ اللَّهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَإِقَامَةِ دِينِهِ، فَاعْرَفُوا لَهُمْ فَضْلَهُمْ، وَاتَّبِعُوهُمْ فِي آثَارِهِمْ، وَتَمَسَّكُوا بِمَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ أَخْلَاقِهِمْ وَدِينِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوا عَلَى الْهَدْيِ الْمُسْتَقِيمِ.

Artinya, “Barang siapa di antara kalian ingin mncontoh, maka hendaklah mencontoh orang yang telah wafat, yaitu para Shahabat Rasulullah, karena orang yang masih hidup tidak akan aman dari fitnah, Adapun mereka yang telah wafat, merekalah para Sahabat Rasulullah, mereka adalah ummat yang terbaik saat itu, mereka paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani NabiNya, dan menegakkan agamaNya, maka kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/97))

Imam Al Auza’i rahimahullah berkata,

العلم ما جاء عن أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم، فما كان غير ذلك فليس بعلم

Artinya, “Sebarkan dirimu di atas sunnah, dan berhentilah engkau dimana kaum itu berhenti (yaitu para Shahabat Nabi), dan katakanlah dengan apa yang dikatakan mereka, dan tahanlah (dirimu) dari apa yang mereka menahan diri darinya, dan tempuhlah jalan Salafush Shalihmu (para pendahulumu yang shalih), karena sesungguhnya apa yang engkau leluasa (melakukannya) leluasa pula bagi mereka.” (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/29))
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin.
Referensi: Mu’taqad Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah Fi Tauhidil Asma’ Was Sifat karya Syaikh Muhammad bin Khalifah At-Tamimi, dengan beberapa perubahan redaksi.
Penulis: Lilik Ibadurrohman
Muraja’ah: Ust. Suhuf Subhan, M.Pd.I

Dauroh-19 Batu, Malang : Persatuan Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah Sesuai Jalan Salafush Shalih.

2018-07-06
PEMBUKAAN SYAIKH SULAIMAN BIN SALIMULLAH AR-RUHAILI -hafizhahullaah-
[MUQADDIMAH]
Orang yang melihat realita zaman sekarang; maka ia akan menyaksikan banyaknya fitnah (ujian), berpecah belahnya orang-orang yang (tadinya) saling mencintai, dan banyaknya orang yang sibuk dengan sesuatu yang tidak mendatangkan manfaat untuk dirinya, dan juga tidak bermanfaat untuk orang lain.

Dan JALAN KELUAR (SOLUSI) dari realita semacam itu adalah: dengan minta tolong kepada Allah, mengakui kekurangan, dan bertaubat dari kesalahan, serta MEMPRAKTEKKAN PRINSIP-PRINSIP SYAR’I BERIKUT INI:

PRINSIP PERTAMA: ilmu.

Dan ilmu merupakan cahaya yang dengannya seseorang bisa melihat (kebenaran); jika ilmu tersebut (1)diambil dari sumbernya (Al-Qur’an & As-Sunnah), dan (2)dipelajari dari ahli ilmu, (3)dibarengi dengan hati yang baik. Inilah ilmu yang bermanfaat.

Maka, ilmu (semacam itu) harus ada, karena ilmu lah yang akan menjadikan perkataan, perbuatan, bahkan tujuan: menjadi benar.

Adapun keutaaman ilmu: sangatlah banyak -sebagaimana kalian ketahui-.

Dan seorang harus berhias dengan tawadhu’ (merendahkan diri) dalam menuntut ilmu dan harus selamat dari kibr (kesombongan), karena kibr merupakan penghalang terbesar dalam mendapatkan ilmu.

Penuntut ilmu sangat butuh kepada sikap tawadhu’ (merendahkan diri). Dan penuntut ilmu semakin bertambah ilmunya; maka ia semakin bertambah kehinaannya di hadapan Allah dan semakin bertambah sikap tawadhu’nya di hadapan hamba-hamba Allah. Dan semakin meningkat ilmunya; maka ia semakin mengetahui bahwa dirinya adalah bodoh, sehingga semakin bertambah keinginannya untuk menambah ilmunya.

Barangsiapa yang menyangka bahwa dirinya telah mencapai puncak dalam ilmu; maka ia adalah orang bodoh. Dan seorang (penuntut ilmu) senantiasa berada dalam kebaikan; selama ia tidak menganggap dirinya adalah seorang syaikh yang tidak butuh lagi kepada ilmu. Ketika ia mencapai tingkatan ini; maka ia telah mencapai puncak kebodohan. Dan (anggapan semacam) ini merupakan pertanda kebodohannya.

PRINSIP KEDUA: bersatu dengan persatuan yang dibanguan di atas 3 (tiga) prinsip:

1. Bersatu di atas agama dan bersatu untuk menegakkan agama. Allah -‘Azza Wa Jalla- berfirman:

{…أَنْ أَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلَا تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِ…}

“…tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya…” (QS. Asy-Syuuraa: 13)

Dalam ayat ini Allah mendahulukan perintah untuk menegakkan agama, atas larangan dari berpecah belah.

Maka persatuan tidak akan benar dan tidak akan bermanfaat; kecuali jika didasari agama dan tegak di atas agama.

2. Bersatu dengan dilandasi Al-Qur’an, bukan di atas sikap basa basi, bukan pula di atas hizbiyyah, maupun organisasi. Akan tetapi bersatu di atas tali Allah, didasari Al-Qur’an. Oleh karena itulah Allah berfirman:

{وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ …}

“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,…” (QS. Ali ‘Imraan: 103)

Allah mendahulukan (perintah untuk) berpegang dengan tali Allah, atas larangan dari berpecah belah.

3. Di atas Sunnah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, dan jalan As-Salafush Shalih; yakni: para Shahabat -radhiyallaahu ‘anhum-, dan orang-orang yang mengikuti mereka. Allah -Ta’aalaa- berfirman:

{وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا}

“Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (para Shahabat), Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam Neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisaa’: 115)

Maka, orang-orang mukmin pada zaman itu (zaman Rasul) adalah: para Shahabat.

Dan ketika terjadi perselisihan; Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- telah menunjukkan jalan untuk bersatu, yakni: dengan berpegang pada Sunnah, dengan pemahaman para Shahabat. Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

((…فَإِنَّهُ مَنْ يَـعِـشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ؛ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِـيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِـيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّــيْـنَ الـرَّاشِدِيْنَ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَا، وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ،…))

“…Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku; niscaya ia akan melihat banyak perselisihan, maka WAJIB ATAS KALIAN UNTUK BERPEGANG TEGUH DENGAN SUNNAH-KU DAN SUNNAH KHULAFA-UR RASYIDIN yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham…”

PRINSIP KETIGA: Ar-Rifqu (berlemah lembut).

Kita harus saling berlemah lembut, dan selalu mengedepankannya. Karena sungguh, Ar-Rifqu adalah asas kebaikan.

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

((إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ))

“Sungguh, Ar-Rifq (sikap lemah lembut) tidaklah terdapat dalam sesuatu; melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu; melainkan akan memburukkannya.”

Dan termasuk dari sikap Ar-Rifq (lemah lembut) adalah: memberikan nasehat. Yakni: jika engkau melihat saudaramu berada dalam kesalahan; maka nasehatilah ia, dan do’akan kebaikan untuknya, serta jelaskan bahwa dirinya berada di atas kesalahan.

PRINSIP KEEMPAT: Ar-Rahmah (kasih sayang). Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

((ارْحَمُوْا مَنْ فِي الأَرْضِ؛ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ))

“Sayangilah yang ada di bumi; niscaya (Allah) yang ada di (atas) langit akan menyayangimu.”

Maka, kita harus saling menyayangi, dan melihat satu sama lain dengan pandangan kasih sayang.
Ditulis dengan ringkas oleh: Ustadz Ahmad Hendrix Eskanto

Kisah Seputar Dauroh-19 Batu, Malang : Pesan Mendalam Syaikh Prof. Sindi dalam Sambutannya

2018-07-06
Kisah Seputar Dauroh-19 Batu-Malang : *Pesan Mendalam Syaikh Prof. Sindi dalam Sambutannya*
————————–
التعب وتجشم المجيء إلى هذه البلاد الطيبة انتهى بمجرد رؤيا هذه الوجوه النيرة

_”Lelah dan letih yang menyakitkan selama perjalanan menuju negeri yang baik ini, tiba-tiba hilang begitu saja, saat (kami) melihat wajah-wajah yang bercahaya ini….”_

Demikian sepenggal kalimat pembuka yang diucapkan Syaikh Prof. Dr. Sholih Sindi dalam kalimat sambutannya ba’da Maghrib tadi di hadapan kurang lebih 600 da’i-da’i Ahlussunah dari seluruh Indonesia. Sebuah kalimat yang juga menghilangkan segenap letih perjalanan–sejauh 550 km dari Lombok ke Malang–yang telah kami tempuh.
***
Mendapat kesempatan pertama dalam memberikan sambutan, Syaikh Prof. Sindi membawakan wasiat yang dipetiknya dari ayat;

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ

_”Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu *tegakkanlah agama* dan *janganlah kamu berpecah belah di dalamnya*……”_ [QS. Asy-Syura: 13]

Bertolak dari ayat mulia tersebut, Syaikh Prof. Sindi menitikberatkan wasiatnya pada dua hal;

Tegakkanlah agama; pada diri pribadi, dan pada orang lain. Ini hanya mungkin terwujud dengan ilmu. Yaitu ilmu yang diwariskan dari Rasulullah , berupa wahyu yang menjadi sumber hidayah bagi manusia. Itulah ilmu yang sesungguhnya:

وَإِنِ اهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِي إِلَيَّ رَبِّي ۚ إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ

_”…dan jika aku mendapat petunjuk maka itu *disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku* kepadaku. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha-dekat.”_ [QS. Saba’: 50]

Ilmu ini mulia nan agung. Kebutuhan kita terhadapnya, bersifat mutlak. Melukiskan keagungan ilmu kepada seluruh hadirin, Syaikh menukil ucapan Imam Ibnul Mubarak:

لا أعلم شيئا بعد النبوة أفضل من العلم

_”Aku tak tahu, ada sesuatu setelah kenabian yang lebih mulia daripada ilmu (yang diwariskan oleh Nabi)”_

Juga ungkapan Imam Ahmad bin Hambal:

حاجة الناس إلى العلم أعظم من حاجتهم إلى الطعام والشراب

_”Kebutuhan manusia pada ilmu, jauh lebih besar dibanding kebutuhan mereka pada makan dan minum”_

Selanjutnya ada 3 hal yang harus ada pada diri penuntut ilmu, agar ilmu memiliki kekuatan;

Pertama; ilmu harus dituntut secara bertahap, dari yang terpenting lalu yang penting, lalu cabang-cabangnya. Aqidah yang shahih, berikut amal yang shahih, adalah ilmu yang paling penting, kata Syaikh. Yaitu ilmu yang menghimpun Fiqhul Akbar (Aqidah yang shahih) dan Fiqhul Ashgar (amal yang shahih).

Kedua; hendaklah penuntut ilmu, dalam perjalanannya menuntut ilmu, bersungguh-sungguh dalam hal tahqiiq dan tadqiiq, mengkaji dan menggali ilmu itu secara mendalam, terperinci, dan menelitinya secara mengakar. Tidak hanya sebatas permukaan atau casing di luar saja.

Ketiga; mudzakarah atau mendiskusikan ulang ilmu yang telah didapat. Kata Syaikh;

حياة العلم مذاكرته

_”Hidupnya ilmu, adalah dengan me-mudzkarah-kannya”_

Demikianlah 3 faktor yang harus ada, agar ilmu yang dimaksud bisa menjadi penopang utama dalam upaya menegakkan agama pada pribadi dan pada orang lain melalui dakwah.

Kemudian Syaikh menutup wasiat beliau dari ayat yang beliau bacakan di awal:

Janganlah kalian berpecah belah…!! Pesan yang sering kali kita dengar. Bahkan berkali-kali kita membacanya dalam al-Qur’an, namun realita di medan dakwah, menuturkan kisah perpecahan yang pilu. Bahkan di antara sesama ahlussunah.

Syaikh menerangkan, kita tidak heran dengan perpecahan yang terjadi di tengah ahlul ahwaa’ dan ahlut tahazzub. Mereka tidak berdiri di atas pijakan yang sama, tidak di atas al-haq. Sehingga wajar jika berpecah belah. Namun yang aneh adalah; manakala Ahlussunah yang berpecah belah, padahal mereka meniti jalan al-haq yang satu.

Tidak lupa Syaikh menegaskan dan menekankan, bahwa persatuan yang hakiki adalah persatuan di atas al-haq, di atas Islam dan aqidah yang shahih.
***
Demikian sedikit Fawaid dari kalimat sambutan Syaikh Prof. Dr. Shalih Sindi yang bisa tertuang. Semoga ada manfaatnya. Wassalam.
________
Batu, 02072018
Muhibbukum fillaah
Oleh : Ustadz Abu Ziyan Johan Saputra Halim

Kisah Seputar Dauroh-19 Batu, Malang : Menatap Langsung Akhlak Para Ulama Rabbani

2018-07-06
Kisah Seputar Dauroh-19 Batu-Malang :
*Jadi, Ceritanya Begini….*
—————-
Jangankan berinteraksi langsung dengan para ulama Rabbani, melihat mereka saja bisa menambah keyakinan kita akan kebenaran ilmu di atas manhaj Salaf ini. Kenapa demikian? Karena kita bisa menyaksikan secara langsung buah ranum nan indah dari keberkahan pohon ilmu yang ada dalam dada-dada mereka. Buah yang tidak kita dapatkan ketika kita mendalami ilmu yang tidak mereka dalami. Bagi yang telah malang melintang pindah harokah, halaqoh, dan haluan hizb, lalu kecantol dengan kajian Salaf, saya yakin bisa merasakan hal tersebut. Ada sesuatu yang beda di hati, manakala “ilmunya para sahabat Rasul” ini, kita dalami.
***
Jadi ceritanya begini. Selama mengikuti Dauroh Syar’iyyah ke-19 di Batu-Malang sejak 02 Juli 2018 sampai dengan hari ini, saya menyaksikan beberapa hal yang menakjubkan dari sosok Syaikh Prof. Dr. Shalih Sindi _hafizhahullah_ selaku narasumber.

Syaikh Abdurrahman at-Tamimi _hafizhahullah_ ketika itu tepat berada di samping kiri beliau. Syaikh Abdurrahman _hafizhahullah_ tiba-tiba mengambil air botolan, lantas membuka segel dan penutupnya. Ternyata Syaikh Abdurrahman _hafizhahullah_ tidak bermaksud minum dari air botolan tersebut. Dengan penuh tawaadhu’ Syaikh Abdurrahman ternyata hendak menuangkan air ke gelas kosong yang tepat berada di hadapan Syaikh Sindi. Dengan sigap Syaikh Sindi mengambil botol air yang ada di tangan Syaikh Abdurrahman, lalu menuangkan sendiri air botolan tersebut.

Allahu Akbar…!! Pelajaran akhlak yang amat singkat, namun saya yakin, kejadian tersebut tak akan pernah terlupakan oleh siapa saja yang menyaksikannya. Pelajaran akhlak yang tak perlu menghabiskan waktu tahunan dan biaya miliaran untuk menyusun kurikulumnya. Pelajaran akhlak yang andai dituliskan dalam ribuan paragraf kalimat, belum tentu mampu memberikan bekas dan perubahan bagi pembacanya. Pelajaran akhlak yang didapat hanya dengan berada di sekeliling ulama dan berinteraksi dengan mereka.

Di situ ada akhlak memuliakan ulama, ada kurikulum hidup tentang ketawaadhuan yang ditunjukkan oleh Syaikh Abdurrahman _hafizhahullah_ yang lebih senja usianya dibanding Syaikh Sindi _hafizhahullah_. Di situ juga ada akhlak memuliakan yang lebih tua, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Syaikh Sindi kepada Syaikh Abdurrahman _hafizhahullah_. Di situ ada pelajaran tentang _al-hirsh fii tahshiil al-ajr_ (hasrat mendulang pahala) dari amal kebajikan (memberi air minum) dan akhlak yang mulia.
***
Hampir setiap saat dalam penyampaian materinya, Syaikh Prof. Sindi menyapa peserta dengan doa. Bagi yang mengikuti durus beliau di Masjid Nabawi, baik secara langsung maupun melalui rekaman kajian beliau di YouTube di di web resmi beliau (salehs.net), tentunya tak asing dengan kalimat sapaan beliau yang khas; _”Yaa ro’aakallaah….”_ (Duhai engkau, semoga Allah memeliharamu). Ungkapan yang benar-benar melukiskan kelembutan seorang guru pada murid-muridnya, disertai harapan besar agar murid-muridnya mendapatkan penjagaan dari Allah. Inilah manifestasi dari apa yang pernah disabdakan baginda Nabi :

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

_”Para penyayang, disayangi yang Maha Penyayang. Sayangilah makhluk di bumi, niscaya yang berada di langit akan menyayangimu”_ [at-Tirmidzi: 1924, Abu Dawud: 4941, ash-Shahiihah: 922]
***
Di lain kesempatan, Syaikh pernah mengingatkan para peserta yang masih berdering HP-nya, padahal sudah berada di kelas. Kata Syaikh; _”majelis ilmu punya kehormatan. Tidak layak diganggu dengan kesibukan lain selain ilmu. Matikan atau aktifkan mode silent…!!”._

Pada pertemuan berikutnya; dering HP terdengar lagi di kelas saat Syaikh Prof. Sindi menyampaikan materi. Syaikh menginterupsi; _”jika antum merasa tidak bisa lepas dari HP, berarti antum tidak layak berada di majelis ilmu, silakan meninggalkan majelis ini…!!”._ Kurang lebih seperti itu ungkapan Syaikh kepada kami semua yang hadir ketika itu (bukan hanya kepada person tertentu yang HP-nya kebetulan berdering karena lupa di-silent). Jujur, bagi saya pribadi yang selalu meng-on-kan mode silent sebelum masuk kelas, kalimat tersebut bagai petir di siang bolong, berat rasanya menengadahkan muka untuk melihat wajah Syaikh. Kami semua benar-benar malu. Hanya bisa tertunduk. Kendati Syaikh melirihkannya dengan nada yang datar dan suara yang lembut. Kejadian tersebut membuat saya berazam untuk selalu menonaktifkan HP (mode airplane, bukan sekedar silent) sebelum masuk kelas.

Sebagai seorang pendidik, terlebih ustadz yang mengajarkan ilmu din, sikap tegas Syaikh Prof. Sindi yang dikombinasikan dengan sikap lembut beliau, wajib dicontoh.
***
Syaikh Prof. Sindi adalah sosok yang sangat menghargai waktu. Beliau selalu hadir ke kelas tepat waktu sesuai jadwal. Beberapa kali beliau bahkan sudah berada di kelas sebelum seluruh peserta hadir menduduki bangkunya. Peserta yang telat, jadi tersipu malu melihat Syaikh telah duduk di depan, dan papan tulis telah beliau isi dengan tema inti yang akan beliau sampaikan.

Pernah di salah satu sesi, listrik padam beberapa kali. Sound system off semua. Sambil melihat jam tangannya, Syaikh beranjak dari kursinya lalu berdiri dan berjalan agak mendekat ke kursi peserta di baris depan, _”sa-arfa’u shouti”_ (saya akan menaikkan suara) kata beliau, sambil melanjutkan materi. Benar-benar tidak rela ada waktu yang terbuang percuma di kelas.

Saat listrik dan sound system kembali on, beliau terlihat enggan kembali duduk untuk memanfaatkan mic yang melekat di meja. Bagi beliau, lumayan makan waktu berjalan kembali ke kursi, karena waktu untuk sesi beliau sebentar lagi kelar. Beliau memilih melanjutkan materi yang tinggal sedikit lagi akan tuntas tanpa mic. Ini semua menunjukkan betapa beliau sangat apik memenej waktu, dan betapa persiapan materi dengan alokasi waktu yang tersedia menjadi hal yang urgen di mata beliau.

Demikianlah seharusnya seorang guru sejati; sebisa mungkin memenej waktu untuk alokasi materi yang akan disampaikan. Guru seperti ini sudah barang tentu telah mempersiapkan dan merencanakan materi ajarnya sebelum tampil di kelas. _Baarakallaahufiik Yaa Syaikhonaa…_, engkau telah memberi kami pelajaran berharga.
***
Syaikh Prof. Sulaiman ar-Ruhaily _hafizhahullah_ juga demikian. Tetap energik dengan suara khas beliau yang lantang. Padahal beliau sedang sakit lho..?!! Infeksi saluran pencernaan dan diabet dengan kadar gula yang tinggi (Syafallaahu Syaikhonaa syifaa-an kaamilaa). Kendati demikian, beliau sedikitpun tak pernah mengeluh. Bahkan selalu tepat waktu hadir di kelas.
***
Allahu Akbar…!! Merenungi itu semua, saya bergumam melemparkan pertanyaan ke dalam hati; apa yang menjadikan para Masyaikh ini begitu mulia, begitu kokoh karakter dan akhlaknya…?? Apa yang telah menjelmakan mereka menjadi figur berakhlak luhur dan berkarakter, tentu bisa menjadikan kita, anak-anak didik kita–di rumah maupun di madrasah–memiliki keluhuran akhlak yang sama.

Pastinya, mereka punya satu kesamaan. Ya, kesamaan ilmu dan kesamaan sumber ilmu, juga kesamaan pemahaman terhadap sumber ilmu tersebut. Ilmu Aqidah dan manhaj yang lurus. Aqidah dan manhajnya para sahabat. Ilmu al-Quran dan Sunnah di atas pemahaman yang satu, pemahaman Salafuna ash-Shaalih. Inilah pasokan energi yang mampu mengikis kerak-kerak negatif dalam jiwa manusia, lantas menggerakkan semua potensi positif yang ada.

Ilmu tentang Aqidah para Sahabat, akan mengundang petunjuk dan taufik dari Allah. Jika petunjuk dan taufik Allah menyertai, maka nantikanlah perubahan besar yang akan terjadi.

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ۖ

_Maka jika mereka telah beriman (beraqidah) sebagaimana yang kamu (wahai para Sahabat) imani, sungguh, *mereka telah mendapat petunjuk*. Tetapi jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (denganmu),…_ [QS. Al-Baqarah: 137]

Ilmu jenis inilah yang harus ada di setiap madrasah anak-anak kita, dan wajib ada pada diri guru bagi anak-anak kita. Yaitu ilmu al-Quran dan as-Sunnah yang dengannya Rasulullah menyucikan jiwa-jiwa para Sahabat:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

_Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, *menyucikan (jiwa) mereka* dan *mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah)*, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata._ [QS. al-Jumu’ah: 2]
__________
Batu-Malang, 05072018
Muhibbukum fillaah
Oleh : Abu Ziyan Johan Saputra Halim (Ma’had Abu Hurairah – Lombok)