Februari
16, 2014
Muhammad bin Abdul
Wahhab, Agen Inggris dan Meruntuhkan Daulah Utsmaniyah ???
Assalaamu’alaikum,
Sebagian orang menuduh Syekh Muhamad bin Abdul Wahab melakukan gerakanya
semata-mata untuk membantu keluarga Su’ud agar dapat menguasai tanah-tanah yang
banyak dan keluar dari kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyah. Mereka juga mengatakan
bahwasanya dia adalah agen inggris di Baghdad. Mohon penjelasanya, terima
kasih.
Jawab:
Wa ‘alaikumussalam
warohmatullah wa barokatuh, dan terima kasih.
Barangsiapa yang
mengetahui perjalanan hidup Syekh Muhamad bin Abdul Wahab –rahimahullah– dengan objektif, tidak mungkin akan mengatakan
seperti itu.
Syaikh Muhamad bin
Abdul Wahab adalah Imam Mujadid (pembaharu) bagi pilar-pilar ketauhidan yang telah redup, hal itu disaksikan oleh banyak
ulama umat, baik dari India, Mesir, Syam, atau dari negeri-negeri muslim yang
lain.
Syaikh Muhamad Ridho –rahimahullah– berkata:
Anda melihat dalam
kitab-kitab sejarah modern, bahwa lafadz “al-wahabiyah” digunakan untuk menyebut para pengikut Syekh Muhamad
bin Abdul Wahab ulama sunni pembaharu
kebangkitan agama di Nejed yang terkenal itu.
Dan penguasa al-Astanah
ingin mengotori citra gerakan pembaharuan itu, mereka menyebarluaskan berita
bahwa gerakan tersebut adalah gerakan menciptakan madzhab baru yang
diada-adakan dalam Islam yang menyelisihi madzhab ahli sunnah wal
jama’ah, dan mereka mempengaruhi
para ulama dan mufti ahlussunah agar melakukan penolakan terhadap madzhab ini
dan menyatakan sesat dan kafir para pengikutnya!
Dan mereka (para
pengikut Syekh Muhamad bin Abdul Wahab) mengingkari setiap madzhab dalam
masalah usul selain madzhab salafus soleh, dan mengikuti madzhab Imam Ahmad bin
Hambal dan para pengikutnya dalam masalah furu’.
Akan tetapi Daulah
Utsmaniyah dan pemerintahan Mesir ketika itu lebih kuat dari mereka dalam
menjelaskan kepada rakyat mereka bahwa mereka (kaum wahabi) menganut madzhab
baru.
Sekilas pengamatan
terhadap pandangan orang-orang seputar Wahabiyah:
Banyak kaum muslimin di
Hijaz, Mesir, Suriyah, al-Astanah, al-Anadhul dan ar-Rumlali masih meyakini
bahwa penduduk Nejed memilki madzhab yang menyelisihi madzhab ahlusunnah,
karena sebagian yang menulis tentang mereka mengatakan: “Sesunggunnya mereka adalah
orang-orang yang mengkafirkan kaum muslimin yang selain mereka, dan mengatakan
tentang Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sesuatu yang sifatnya menghina,
dan tatkalah mereka menguasai Madinah Al-Munawwaroh, mereka mengambil bintang
yang berkilauan dari kamar Nabi, juga mengambil permata dan harta-harta yang
berharga, dan mereka mengikat tali kuda di dalam masjid yang mulia.”
Mereka yang melemparkan
tuduhan-tuduhan itu tidak melakukan klarifikasi, dan tidak pula mempelajari
dengan teliti mana hal yang dikategorikan kekufuran dan mana yang tidak,
tuduhan-tuduhan itu hanyalah bersifat politis, dan politik itu selalu
menghalalkan kebohongan, fitnah, membalikan fakta dan segala bentuk kemungkaran
yang dapat mengantarkan tujuan!, kemudian mereka itu lupa terhadap apa yang
terjadi dalam undang-undang mereka, undang-undang mereka jelas-jelas telah
melakukan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip agama dan furu’nya yang qoth’i dan disepakati, perkara yang ma’lum dalam agama yang setiap pengingkarnya
adalah kafir dengan kesepakatan para ulama, seperti melegalkan perzinaan, riba,
pembunuhan karena alasan politik maupun militer yang jelas melanggar syar’i, dan mereka juga lupa apa yang dikatakan ulama
mereka: Bahwa ridho terhadap kekufuran adalah sebuah kekufuran, dan lupa dengan omongan-omongan yang mereka dengar
dan prilaku-prilaku yang mereka lihat setiap hari yang dikategorikan para fuqoha’ mereka sebagai kekufuran dan kefasikan, dan
kenapa mereka tidak mengatakan: “Barangkali apa yang dikatan terkait penduduk Nejd – jika itu benar – semata-mata karena
kebodohan sebagian mereka bukan karena doktrin madzhab mereka, sebagaimana
hukum undang-undang dan prilaku-prilaku kebanyakan orang-orang fasik dan murtad
di negeri kami semata-mata karena kebodohan sebagian orang terhadap agama dan
meninggalkan petunjuk yang benar dan bukan sebagai bentuk madzhab Abu Hanifah
yang menjadi madzhab pemerintah dan kebanyakan wilayah di Turki, tidak pula
bentuk madzhab Malik dan Syafi’i yang dianut oleh kebanyakan penduduk
negeri-negeri arab ini.”
Hingga akhirnya Syekh
Muhamad Rosyid Ridho mengatakan:
Dan pemerintah
Nejed tidak berhukum kecuali dengan fiqh Imam Ahmad, tidak ada undang-undang
di sana selainya, dan tidak seorang pun di sana mengamalkan dan berhukum dengan
perkataan hasil ijtihad Muhammad bin Abdul Wahhab, dan tidak pula ada disana
seseorang yang terang-terangan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan besar.
Kemudian Syekh Muhamad
Rosyid Ridho menyebut para fanatis madzhab, beliau mengatakan:
Mereka sesungguhnya
ingin mencabut dari penduduk Nejd sebutan Hanabilah (para pengikut madzhab
Ahmad bin Hambal), karena sebutan itu mendukung mereka, lalu mereka memberi
nama al-Wahabiyah ( para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab ), atau jika tidak
hendaklah mereka mendatangkan satu permasalahan saja yang dijalankan oleh
mayoritas penduduk Nejed yang tidak memilki dasar dalam kitab maupun sunnah,
tidak pula dalam kitab-kitab madzhab Imam Ahmad bin Hambal, sebagaimana mereka
mendatangkan kepada mereka banyak permasalahan yang menyalahi aqidah islam,
hukum-hukum ibadah dan peradilan, yang merebak di negeri mereka yang tidak
memilki dasar dalam kitab maupun sunnah dan pendapat imam-imam.
Syaikh menutup
pembicaraanya itu dengan perkataanya: “Itu adalah hakekat orang-orang yang
disebut dengan al-Wahabiyah dan al-Mutadayinah, dan penisbatan mereka kepada
para pengikut madzhab-madzhab yang masyhur, kami rangkumkan dari apa yang telah
kami baca dalam kitab-kitab mereka, dan dari apa yang kami amati dan kami
klarifikasikan”, selesai.
Dan keluarnya Imam
Muhammad bin Abdul Wahhab serta munculnya beliau di Nejd bukanlah bentuk
pembangkangan terhadap Daulah Utsmaniyah, dengan beberapa argument:
Pertama: Sesungguhnya Nejd tidak masuk dalam pemerintahan
Daulah Utsmaniyah ketika muncul dakwah Syekh Muhamad bin Abdul Wahab,
tetapi dipemerintahan oleh beberapa kabilah-kabilah, dan ia bukan
pemerintahan syar’iyah, bukan pula wilayah umum, setiap kampung di sana memliki
amir (pemimpin) yang tidak berkewajiban taat kepada seorang pun.
Di wilayah Huraimla’
ada amir, di wilayah Uyainah ada amir, di Jubailah ada amir, dan di Dir’iyah
juga ada amir.
Dan hukum yang
diterapkan juga bukan kitab dan sunnah, tetapi berhukum kepada adat istiadat
dan lainya.
Kedua: Jika demikian, maka yang merebak di Nejd ketika
itu dan juga di negeri-negeri islam yang lain, baik yang berupa kesyirikan,
menyembah kubur, menyembelih dan nazar untuk kuburan, bergantung kepada selain
Allah -subhanahu wa ta’ala-;
seperti kepada pohon dan batu, berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala – sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Syekh
Rosyid Ridho – menjadikan orang yang membangkang terhadap Daulah Utsmaniyah
ketika itu bukan termasuk pemberontak ataupun agen, tetapi ia dikategorekan
keluar dari ketaatan kepada Daulah berdasarkan sabda Raulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam saat melihat
adanya kekufuran yang nyata (kufrun bawwah).
Ubadah bin
as-Shomit radhiyallahu ‘anhu berkata:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammemanggil kami, lalu kami berbaiat kepadanya, maka yang Beliau wajibkan
atas kami adalah berbaiat untuk mendengar dan taat, baik dikala giat
maupun tidak, sulit maupun mudah, dan di kala keadaan tidak menyenangkan kami,
dan hendaklah kami tidak menentang perintah orang yang memiliki otoritas untuk
memerintah, kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian
memiliki bukti dari Allah subhanahu wa ta’ala di dalamnya. (HR: Bukhari Muslim).
Ketiga: Kalau saja Daulah Utsmaniyah kita anggap
memiliki kekuasaan, dan kekuasaanya adalah syar’i, lalu terjadilah apa yang
terjadi, dan memberontaklah orang yang memberontak, kemudian ia menguasai
sisi-sisinya atau menguasai Negara, maka kekuasaanya menjadi kekuasaan yang
syar’i jika pemimpinya berhukum dengan hukum Allah.
Tidakah anda melihat
bahwa Daulah Umawiyah berdiri berdasarkan kemenangan Abdul Malik bin Marwan
atas Ibnu Zubair, dan penentanganya terhadapnya hingga keadaan stabil?
Para ahli sejarah
mengkatagorikan pemerintahan Ibnu Zubair sebagai pemerintahan khilafah.
Ibnu Katsir mengatakan:
Pemerintahan Abdullah bin Zubair, dan menurut Ibnu Hazm dan sekelompok orang
adalah amirul mukminin ketika itu.
Kemudian berkata:
Dan pemerintahan Ibnu
Zubair semakin besar di Hijaz dan sekitarnya, orang-orang membaitnya di sana
setelah Yazid, ia mengutus saudaranya Ubaidullah bin Zubair untuk memerintah
kota Madinah, kemudian penduduk Bashrah mengutus utusan kepada Ibnu Zubair. Dan
ia mengutus Abdurohman bin Yazid al-Anshori ke Kufah , dan mengutus Tolhah bin
Ubaidillah untuk memerintah Kharaj, dan dua negeri itu tunduk semua kepadanya,
dan mengutus utusan kepada penduduk Mesir, lalu mereka membaitnya, dan
mengangkat Abdurahman bin Jahdar untuk memerintah di Mesir, dan seluruh jazirah
taat kepadanya, dam mengutus Harits bin Abdillah bin Robi’ah, dan mengutus
utusan ke Yaman lalu mereka membaiatnya, dan mengutus utusan ke Khurosan lalu
mereka membaiatnya, dan mengutus utusan kepada Dhohak bin Qais di Syam lalu ia
berbaiat.
Anda melihat bahwa pemerintahan
Ibnu Zubair bukan sebuah pembangkangan terhadap al-Hajjaj, akan tetapi baiat
umum dan khilafah yang mencakup Hijaz, Yaman, Mesir dan sebagian besar
negeri-negeri Syam, meski demikian menangnya Abdul Malik bin Marwan atas
pemerintahan telah menjadikanya sebagai khalifah.
Dan ijma’ telah
menetapkan syahnya Daulah Umawiyah secara syar’i, dan bahwasanya ia adalah
Daulah Islamiyah.
Karena itu, para ulama
mengkatagorikan di antara syarat-syarat syahnya kepemimpinan adalah menangnya
seseorang atas pemerintahan dengan kekuatan.
Syaikhul islam ibnu
Taimiyah mengatakan: Para imam salaf mengatakan bahwa barang siapa memiliki
kemampuan dan kekuasaan yang dapat ia gunakan untuk mencapai kepemimpinan, maka
ia termasuk pemimipin-pemimpin yang Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan agar ditaati selama mereka tidak
memerintah untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Syekh Syinqiti
mengatakan: Ketahuilah bahwa imamah (kepemimpinan) itu syah dengan salah satu
dari perkara-perkara berikut – kemudian ia menyebutkan diantaranya – :
Keempat: Ketika ia mengalahkan manusia dengan pedangnya
dan merebut kekhilafahan dengan kekuatan hingga kondisi stabil dengan
orang-orang tunduk kepadanya, karena memberontak kepadanya ketika itu sama
dengan menyalahi jamaah muslimin dan menumpahkan darah mereka. Sebagian ulama
mengatakan: Dan termasuk ke dalam jenis inilah ketika Abdul Malik bin Marwan
melakukan pemberontakan terhadap Abdullah bin Zubair dan membunuhnya dengan
tangan Hajjaj bin Yusuf, lalu kondisi stabil, sama dengan yang dikatakan Ibnu
Qudamah dalam kitab al-mughni.
Kemudian Muhamad bin
Abdul Wahab –rahimahullah–
dalam melakukan dakwah tidak semata-mata untuk menolong seseorang tertentu,
namun ia berdakwah untuk menolong agama, kemudian ia diperangi dan di lawan,
kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menundukan
dan mengarahkan Imam Muhammad bin Su’ud –rahimahullah– untuk menolong membantu beliau dalam memperlancar
tersebarnya dakwah.
Dan barang siapa
mengetahui perjalanan hidup Syekh Muhamad bin Abdul Wahab –rahimahullah– dengan penuh objektifitas tidak akan mungkin
mengatakan bahwa ia adalah seorang agen, dengan beberapa alasan:
Pertama: Bahwa Syekh melakukan berbagai perjalanan untuk
menuntut ilmu, ia pergi ke Makah, kemudian ke Madinah, kemudian ke Irak, semua
itu dalam rangka menuntut ilmu, dan beliau ingin pergi ke Syam, akan tetapi
bekalnya tidak mencukupi untuk sampai ke Syam.
Kedua: Bahwa Syekh sangat getol dalam menegakan tauhid
dan menanamkanya, ia melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, prilaku seperti
itu bukan prilaku para agen, justru itu adalah prilaku para ulama pewaris Nabi.
Ketiga: Bahwa Syekh sebelum ia berhubungan dengan Imam
Muhamad bin Su’ud, dulunya ia di negeri Huraimla’, kemudian keluar dari
Huraimla’ ketika menerima siksaan yang disebabkan ia mengingkari kemungkaran,
kesyirikan dan pelanggaran-pelanggaran yang gemar dilakukan masyarakat. Maka ia
pergi ke negeri Uyainah, kemudian keluar dan pergi ke Dir’iyah.
Keempat: Beliau menghancurkan kubah di dekat negeri
Jubailah, yang dianggap masyarakat berada di atas kuburan Zaid bin Khottob,
penduduk Jubailah menentangnya, namun penguasa Uyainah Ibnu Mu’ammar mendukung
dan membantunya dalam menghancurkan kubah dan membersihkan wajah-wajah
kesyirikan. Para agen biasanya mendirikan kubah-kubah, mencari segala yang
dapat melalaikan manusia dan menyibukan mereka, sedang para ulama tugasnya
menghancurkan kubah-kubah dan mengembalikan manusia kepada agama mereka.
Kelima: Bahwa hubungan Imam Muhammad bin Abdul Wahab
dengan Imam Muhamad bin Su’ud adalah terjadi setelah gemparnya perkara dan
tersebarnya berita dan penyebutan tentang Syekh Muhamad bin Abdul Wahab,
terutama setelah beliau menghancurkan kubah dan tidak ada dampak apapun yang
terjadi seperti yang diyakini para pendiri kubah dan penyembah kubur!
Imam Muhammad bin Abdul
Wahab masuk negeri Dir’iyah dengan diam-diam, beliau tinggal di sisi salah
seorang ulama di sana, namanya Muhammad al-Uraini, Syekh Uraini takut kepada
Muhamad bin Su’ud dan mengkhawatirkan dirinya, kemudian istri Imam Muhamad bin
Su’ud yang bernama Mudhy mendengar berita tentang Syekh, maka ia mendorong dan
menganjurkan suaminya agar menolong Syekh, dan menjelaskan kepadanya bahwa yang
demikian itu adalah kemuliaan di dunia dan akhirat, maka ia menerima saran
istrinya, dan Allah subhanahu wa ta’ala menolong Imam Muhamad bin Abdul Wahab melalui
Imam Muhamad bin Su’ud, dan Allah pun memberi kejayaan kepada Imam Muhamad bin
Su’ud sebagai balasan atas pertolongan yang ia berikan kepada Imam Muhammad bin
Abdul Wahab.
Anda sekarang melihat
bahwa Imam Muhamad bin Abdul Wahab tidak memilki hubungan apapun sebelumnya
dengan penguasa Dir’iyah Imam Muhamad bin Su’ud, dari sini nampak kebohongan
perkataan bahwa Syekh Muhamad bin Abdul wahab tidak melakukan gerakan dakwanya
kecuali untuk membantu keluarga Su’ud dalam menguasai tanah yang banyak.
Keenam: Fakta membuktikan kebohongan tuduhan itu, karena
sesungguhnya telah terjadi komitmen antara Ibnu Su’ud dan Syekh untuk menolong
agama Allah dan menegakan tauhid. Itulah fakta yang ada, dan itulah yang
terjadi sesungguhnya.
Dulu jazirah arab penuh
dengan kesyirikan, seperti menyembah kuburan, bertabaruk dengan pohon dan batu,
meminta kepada jin dan lain-lain, lalu semua itu hilang berkat karunia
Allah subhanahu wa ta’ala,
kemudian berkat dakwah Syekh Imam pembaharu dan pertolongan Imam Muhamad bin
Su’ud.
Ketujuh: Kalau sekiranya Syekh adalah seorang agen, tentu
serangan-serangan Mesir yang di pelopori Ibrahim Basya dan ayahnya Muhamad Ali
Basya dan Ahmad Tusun dan antek-anteknya tidak akan terjadi secara bertubi-tubi
untuk memadamkan cahaya dakwah Syekh yang telah menyinari kegelapan itu!, dan
serangan-serangan itu terjadi atas isyarat dari penjajah perancis yang
menduduki beberapa negeri muslim, karena mereka khawatir terhadap bangkitnya
gerakan dakwah yang benar yang mengajak kepada islam yang benar yang bersih
dari noda-noda kesyirikan, karena mereka sadar bahwa hal itu akan
menghancurkan aqidah salib mereka!
Akhirnya:
Timbul pertanya pada
diri sendiri:
Kenapa kita tidak mendengar celaan seperti ini terjadi terhadap orang
yang sebenarnya lebih berhak untuk itu?
Kenapa perkataan seperti itu tidak dikatakan terhadap orang yang telah
menghancurkan Daulah Utsmaniyah lalu mendirikan negara sekuler di atas
puing-puingnya?!
Maksud saya adalah boneka barat yang bernama:
” Kamal
At-taturk “!!!
Dia itu agen
sesungguhnya !
Dialah penghancur
Daulah Utsmaniyah, dia pula yang membangun Negara kafir sekuler di atas
puing-puingnya!
Aneh, orang seperti dianggap pembaharu !
Penyusun : Abdurahman
Muhamad bin Abdullah as-Suhaim
Penerbit :
IslamHouse.com
sumber
: http://abangdani.wordpress.com/2012/09/19/muhammad-bin-abdul-wahhab-agen-inggris-dan-meruntuhkan-daulah-utsmaniyah/